Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk

STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK

DWI AGUS SASONGKO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengelolaan
Hutan Lindung Angke Kapuk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini, saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor,
Juli 2014

Dwi Agus Sasongko
NRP P052100211

RINGKASAN
DWI AGUS SASONGKO. Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk.
Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan HIKMAT RAMDAN.
Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), yang merupakan formasi mangrove
memiliki fungsi penting dalam memberi daya dukung terhadap lingkungan.
Fungsi penting HLAK ditegaskan statusnya sebagai bagian tata ruang DKI Jakarta
yang dipertahankan dan wajib dilindungi. Kondisi terkini kawasan yang semakin
terancam keberadaannya memerlukan langkah strategis pengelolaan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor internal – eksternal
HLAK; mengindentifikasi dan menganalisis stakeholder HLAK; dan menyusun
strategi pengelolaan HLAK.
Matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI) dan Matriks Evaluasi Faktor
Eksternal (EFE) digunakan untuk menganalisis faktor internal dan eksternal
HLAK. Stakeholder Grid digunakan untuk menganalisis stakeholder HLAK.
Adapun strategi pengelolaan HLAK disusun menggunakan Matriks Strength
Weakness Opportunity Treath (SWOT) dan diurutkan prioritasnya menggunakan
Teknik Quantitive Strategic Planning Matrix (QSPM).

Stakeholder HLAK terbagi dalam empat kategori. Keempat kategori
tersebut adalah player, actor, bystander, dan subject. Player terdiri dari Dinas
Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah
DKI Jakarta, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Lingkungan Hidup, Entitas PIK, PT Murindra Karya Lestari, PT
Kapuk Naga Indah, dan masyarakat. Lembaga Swadaya Masyarakat dikategorikan
sebagai actor. Akademisi dikategorikan sebagai subject. Bystander terdiri dari
Badan Usaha Milik Negara dan kelompok swasta lain.
Evaluasi Faktor Internal pengelolaan HLAK mempunyai skor 2.15. Skor ini
mengindikasikan bahwa HLAK belum mendapatkan manfaat maksimal dari
kekuatan yang dimilikinya. Di sisi lain, HLAK masih sangat terpengaruh oleh
kelemahan yang dimilikinya. Evaluasi Faktor Eksternal menunjukkan skor 2.20.
Hal ini berarti bahwa HLAK belum memperoleh keuntungan maksimal dari
peluang yang ada. Kondisi demikian juga berarti HLAK masih lemah dalam
menghadapi dinamika lingkungan eksternalnya. Perumusan strategi pengelolaan
HLAK menghasilkan delapan alternatif strategi. Rehabilitasi ekosistem mangrove
menjadi prioritas utama dari strategi pengelolaan yang diusulkan.
Kata kunci : faktor eksternal, faktor internal, HLAK, stakeholder, strategi
pengelolaan


SUMMARY
DWI AGUS SASONGKO. Management Strategy of Angke Kapuk Protection
Forest. Supervised by CECEP KUSMANA and HIKMAT RAMDAN.
Angke Kapuk Protection Forest (AKPF) which is formed by mangroves
has many important benefits for environment. AKPF, as implied in Master Plan of
Jakarta City (RTRW DKI Jakarta) serve as a guarded and protected area. AKPF
condition which is more threatened, needs strategic policy in management.
Accordingly, this research was aimed to identify and analyze internal-external
factors of AKPF, AKPF stakeholders, and to make arrangement of AKPF
management strategies.
Internal Factor Evaluation (IFE) and External Factor Evaluation (EFE) are
used for identifying and analyzing AKPF internal-external factors. Stakeholder
Grid was applied to identify the stakeholders’ role. Strength Weakness
Opportunity Treath (SWOT) Matrix and Quantitive Strategic Planning Matrix
(QSPM) are used for arranging management strategies and its priority.
AKPF has four stakeholder categories. They are players, bystanders, actors,
and subjects. Players consist of Department of Maritime and Agriculture of
Jakarta Capital City, Board of Environmental Management of Jakarta Capital City,
Ministry of Forestry, Ministry of Environment, Ministry of Maritime Affairs and
Fisheries, Pantai Indah Kapuk entities, PT Murindra karya Lestari, PT Kapuk

Naga Indah, and public. Bystanders consist of State Enterprises (BUMN) and
other private sectors. Non Government Organizations was categorized as actor.
Last, academic community was categorized as subject.
AKPF internal factors are strengths and weaknesses. AKPF external
factors are opportunities and threats. Evaluation result shows, that AKPF internal
factors have a score of 2.15. AKPF has not fully received the benefits for its
strength. On the other hand, AKPF is greatly influenced by its weakness. AKPF
external factors have a score of 2.20. According to the score, AKPF has not
received benefits from the various opportunities that exist. On the other hand,
AKPF is still weak in the face of dynamic external environment. There are eight
management strategies for AKPF, in which mangrove rehabilitation is the main
priority.
Keywords: AKPF, external factors, internal factors, management strategy,
stakeholder

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK

DWI AGUS SASONGKO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Nyoto Santoso, MS

Judul Tesis : Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk
Nama
: Dwi Agus Sasongko
NIM
: P052100211

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Ketua

Dr Ir Hikmat Ramdan, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 11 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, atas izinNya karya ilmiah berjudul “Strategi
Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk” telah berhasil diselesaikan. Terima
kasih diucapkan kepada Komisi Pembimbing (Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS dan
Dr Ir Hikmat Ramdan, MSi), Penguji Tesis (Dr Ir Nyoto Santoso, MS), serta
semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
Karya ini tidak lepas dari dukungan istri (Into Wahyu Arum), anak-anak

tercinta (Faizan Muhammad Rauf dan Daffa Muhammad Aqil), serta kedua
pasang orang tua atas segala doa dan jerih payahnya.
Semoga karya yang jauh dari kesempurnaan ini dapat memberikan kebaikan
dan manfaat bagi semua.

Bogor,

Juli 2014

Dwi Agus Sasongko

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii


DAFTAR LAMPIRAN

ii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Penelitian

1
1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Lindung

Pengelolaan Hutan Lindung
Analisis Stakeholder
Perencanaan Strategis
Strength Weakness Opportunity Treath (SWOT)
Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM)

3
3
4
5
6
7
7

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data

8

8
9
9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Hutan Lindung Angke Kapuk
Analisis Stakeholder Hutan Lindung Angke Kapuk
Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk

12
12
21
30

SIMPULAN

50

DAFTAR PUSTAKA

50

LAMPIRAN

54

RIWAYAT HIDUP

56

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Matriks Evaluasi Faktor Internal
Matriks Evaluasi Faktor Eksternal
Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder
Matriks SWOT
Quantitative Strategic Planning Matrix
Status Indeks Pencemar Sungai di DKI Jakarta Tahun 2011
Evaluasi Faktor Internal (EFI) Hutan Lindung Angke Kapuk
Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Hutan Lindung Angke Kapuk
Identifikasi Stakeholder pada Pengelolaan HLAK
Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder HLAK
Kriteria dan Indikator Prasyarat Pengelolaan Hutan Lindung Lestari
Kriteria dan Indikator Fungsi Ekologis dan Tata Air pada Pengelolaan
Hutan Lindung Lestari
Kriteria dan Indikator Sosial Ekonomi pada Pengelolaan Hutan
Lindung Lestari
Strategi Prioritas Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk
Kondisi DAS di DKI Jakarta yang Berhubungan dengan Kawasan
HLAK
Pola Reproduksi dan Masa Panen Spesies Mangrove
Hubungan Antara Salinitas, Kelas Penggenangan, dan Sebaran
Mangrove di Indonesia

10
10
10
12
12
16
19
19
21
22
30
31
32
34
35
36
37

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Kerangka Pemikiran Penelitian
Lokasi Penelitian di Hutan Lindung Angke Kapuk
Stakeholder Grid
Stakeholder Grid Hutan Lindung Angke Kapuk
Matriks SWOT Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk

3
8
11
22
33

DAFTAR LAMPIRAN
1 Penilaian Kepentingan Stakeholder HLAK
2 Penilaian Pengaruh Stakeholder HLAK
3 Rekapitulasi Hasil Quantitive Strategic Planning Matrix Hutan Lindung
Angke Kapuk

54
54
55

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 131 279 115.98 hektar. Luas
hutan Indonesia semakin terancam oleh kerusakan hutan (deforestasi). Pada
periode 2009 – 2010, Indonesia mengalami deforestasi sebesar 832 126.9 hektar
per tahun (Kemenhut 2012). Deforestasi yang tidak diimbangi dengan kegiatan
rehabilitasi hutan akan menurunkan daya dukung lingkungan bagi kehidupan
manusia.
Tekanan lingkungan di wilayah DKI Jakarta sangat besar. Daya dukung
lingkungan semakin tidak memadai akibat terus meningkatnya jumlah penduduk
(BPLHD DKI 2012). Peningkatan daya dukung lingkungan dapat dilakukan
dengan menjaga dan mempertahankan kawasan hutan. DKI Jakarta mempunyai
475.45 hektar kawasan hutan, yang terdiri dari hutan kota, hutan mangrove, dan
kawasan hutan lainnya.
Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) adalah hutan mangrove seluas
44.76 hektar yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov). HLAK
dikelola oleh Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta (DKP DKI).
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah 2030 (RTRW 2030) menyebutkan bahwa kawasan hutan
lindung termasuk salah satu peruntukan ruang untuk fungsi lindung. HLAK
berfungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Hutan mangrove pada HLAK mengalami degradasi akibat tingginya tekanan
lingkungan yang disebabkan oleh permasalahan kependudukan, sampah, dan
pencemaran (rumah tangga dan industri). Hal tersebut diperparah dengan
lemahnya pengelolaan kawasan sebagai akibat dari kurangnya pendanaan,
sumberdaya manusia, dan fasilitas pendukung (Santoso 2011). Kondisi yang
demikian menunjukkan bahwa pengelolaan HLAK belum optimal sehingga
diperlukan perencanaan strategi pengelolaan mangrove yang tepat.
Perumusan Masalah
Hutan lindung memiliki peran penting secara ekonomi dan ekologi.
Apabila terjadi kerusakan hutan lindung maka komponen lingkungan akan
terganggu (Ginoga 2009). Hutan lindung berperan sebagai pengatur tata air,
pencegah banjir, pengendali erosi, pencegah intrusi air laut dan pemelihara
kesuburan tanah. Sehubungan dengan hal tersebut, hutan lindung berperan dalam
mencegah dan mengurangi dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat
menurunnya daya dukung lingkungan. Onrizal et al. (2004) menjelaskan bahwa
HLAK sangat rentan terhadap kerusakan. Hal ini karena posisinya yang berada
pada area transisi antara ekosistem daratan dan lautan. Pengaruh dari kedua
ekosistem tersebut berujung pada gangguan terhadap mangrove. Kerusakan
HLAK akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi kawasan. Bentuk

2
penurunan fungsi kawasan dapat berupa terjadinya intrusi air laut, abrasi pantai,
banjir rob, dan menurunnya tangkapan hasil laut.
Kerusakan HLAK akan menyebabkan menurunnya daya dukung bagi
lingkungan di sekitarnya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka memunculkan
pertanyaan penelitian :
1. Faktor-faktor internal dan eksternal apa yang berpengaruh dalam pengelolaan
HLAK?
2. Sejauhmana peranan stakeholder dalam pengelolaan HLAK?
3. Bagaimana strategi pengelolaan HLAK yang dapat diterapkan?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor internal dan eksternal HLAK.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholder
dalam pengelolaan HLAK.
3. Menyusun strategi pengelolaan HLAK.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan dalam
perencanaan pengelolaan HLAK agar tetap terjaga keberadaannya sehingga
mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi perlindungan lingkungan.

Kerangka Penelitian
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung (Keppres 32/1990) menjelaskan bahwa salah satu kategori kawasan
lindung adalah kawasan yang berada di sempadan pantai dan kawasan mangrove.
HLAK mempunyai karakteristik tersebut sehingga menjadi kawasan yang wajib
dilindungi agar mampu memberikan fungsi sebagaimana mestinya.
Keberadaannya di ibukota menjadikan HLAK sebagai kawasan hutan dengan
tekanan yang besar. Tekanan tersebut berupa sampah, pencemaran limbah
domestik dan industri. Selain permasalahan kependudukan, HLAK menerima
imbas dari kerusakan lingkungan dari hulu berupa sedimentasi sebagai hasil dari
erosi. Dari arah laut, HLAK menerima akibat dari gempuran ombak yang
menyebabkan terjadinya abrasi.
Upaya meminimalkan tekanan dapat dilakukan dengan pengelolaan
kawasan hutan secara tepat. Pengelolaan kawasan hutan yang baik berdampak
pada pasokan daya dukung lingkungan secara maksimal. Dalam rangka
memperoleh strategi pengelolaan HLAK yang tepat diperlukan adanya
pemahaman stakeholder terkait. Hal tersebut menjadi salah satu kunci penting
untuk menentukan langkah dalam mengelola HLAK. Pemahaman stakeholder
adalah menganalisis peran masing-masing dalam pengelolaan kawasan.

3
Pemahaman yang baik mengenai peran stakeholder memberi ruang bagi pengelola
untuk menangkap peluang dan ancaman di sekeliling HLAK. Hal tersebut
kemudian menjadi modal dasar untuk mengenali dan menganalisis lingkungan
HLAK baik internal maupun eksternalnya.
Analisis lingkungan internal dan eksternal diperlukan untuk mengetahui
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dimiliki HLAK. Analisis
tersebut merupakan evaluasi terhadap HLAK dalam memanfaatkan kekuatan dan
peluang serta mengatasi kelemahan dan ancaman. Hasil analisis lingkungan yang
cermat membawa pada pemahaman mendalam mengenai keberadaan sisi positif
(kekuatan dan peluang) dan negatif (kelemahan dan ancaman). Berdasarkan hal
itu pula dapat disusun strategi pengelolaan untuk dapat memaksimalkan kekuatan
dan peluang yang dimiliki dan meminimalkan dampak kelemahan dan ancaman
yang dihadapi (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Lindung
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (Perppu 1/2004), mendefinisikan hutan sebagai suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi
konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Oleh karena itu, hutan
berdasarkan fungsi pokoknya dapat dibedakan menjadi hutan konservasi, hutan
lindung, dan hutan produksi.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

4
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004
tentang Perencanaan Kehutanan (PP 44/2004), HLAK merupakan kategori hutan
lindung yang memenuhi persyaratan sebagai kawasan hutan untuk
perlindungan pantai. Kriteria hutan lindung menurut peraturan tersebut yaitu
kawasan hutan yang memenuhi salah satu atau lebih kondisi berikut :
1. Kawasan hutan dengan faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan
mempunyai jumlah skor ≥ 175
2. Kawasan hutan yang memiliki kelerengan lapangan ≥ 40%
3. Kawasan hutan pada ketinggian ≥ 2000 meter di atas permukaan laut
4. Kawasan hutan dengan tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng
lapangan ≥ 15%
5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air
6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai

Pengelolaan Hutan Lindung
Pengelolaan hutan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan.
Perubahan kebijakan tidak terlepas dari latar belakang kondisi yang sedang terjadi
pada saat kebijakan dibuat. Produk kebijakan yang ada pada tiap periode sangat
dipengaruhi oleh paradigma penentu kebijakan terhadap hutan. Sejak merdeka,
Indonesia mengalami tiga pergantian periode penting yang secara mendasar turut
mempengaruhi sistem hukum dan pranata sosial. Periode yang terjadi hingga saat
ini adalah Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi.
Simon (2007) menjelaskan bahwa sebelum masa kemerdekaan, Indonesia
memiliki peraturan perundangan berupa Undang-Undang Kehutanan Tahun 1927
yang mengatur pengelolaan hutan di Jawa dan Madura. Pokok pentingnya
adalah monopoli pengelolaan hutan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
memperoleh keuntungan finansial yang sebesar-besarnya bagi pemerintah.
Pada era kemerdekaan, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan (UUPK) dan UU 41/1999. UUPK
dikeluarkan atas dasar r e n d a h n ya p e n d a p a t a n p e r k a p i t a masyarakat
dan ketiadaan modal pada saat itu. Di sisi lain, Indonesia memiliki
potensi ekonomi tinggi hutan alam tropika basah di luar Jawa yang sangat luas
untuk dimanfaatkan. Pelaksanaan UUPK menyisakan banyak permasalahan
dalam pengelolaan hutan. Atas dasar itulah, kemudian diterbitkan UU 41/1999.
Namun demikian, jiwa dan semangat pengelolaan hutan yang adil dan demokratis
ternyata belum tercermin dalam peraturan tersebut.
Pengelolaan hutan di Indonesia dapat dikelompokkan dalam dua periode
besar, yaitu periode pengelolaan hutan konvensional dan periode pengelolaan
hutan modern. Pengelolaan hutan konvensional meliputi penambangan kayu
(timber extraction) dan perkebunan kayu (timber management). Pengelolaan
hutan modern meliputi pengelolaan hutan sebagai sumber daya (forest resource
management) dan pengelolaan hutan sebagai ekosistem (forest ecosistem
management). Pengelolaan hutan modern termasuk dalam golongan kehutanan
sosial.

5
BSN (2013) memberikan standar pengelolaan hutan lindung yang
dituangkan dalam Standar Nasional Indonesia 7896:2013 tentang Pengelolaan
Hutan Lindung Lestari (SNI 7896:2013). Pengelolaan hutan lindung lestari harus
memiliki prinsip pengelolaan berupa kelestarian fungsi ekologis, tata air, sosial
ekonomi, dan memenuhi prasyarat pengelolaan hutan lindung lestari. Kelestarian
fungsi ekologis dan tata air meliputi terpeliharanya sumberdaya hutan lindung,
fungsi tata air, dan fungsi lingkungan lain. Kelestarian fungsi sosial ekonomi
meliputi terpeliharanya akses pengelolaan dan pemanfaatan masyarakat yang adil,
terpeliharanya sumber-sumber ekonomi masyarakat, dan terpeliharanya integrasi
sosial budaya masyarakat. Prasyarat pengelolaan hutan lindung lestari meliputi
penataan organisasi, penyiapan sumberdaya manusia, dan dukungan pendanaan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menhut-II/2013 tentang
Pedoman, Kriteria, dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
(P 47/2013) menjelaskan lebih lanjut bahwa pemanfaatan hutan di wilayah
tertentu haruslah memenuhi kriteria kelayakan untuk diusahakan dan belum ada
rencana investasi lain. Penyelenggara pemanfaatan hutan dapat dilakukan oleh
masyarakat setempat, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), koperasi, dan Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM).
UU 41/1999 menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan lindung dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu. Pemanfaatan hutan lindung meliputi budidaya tanaman obat,
budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya perlebahan, budidaya
penangkaran satwa liar, budidaya ulat sutera, silvopastura, rehabilitasi satwa, atau
budidaya hijauan makanan ternak. Pemanfaatan jasa lingkungan meliputi
pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan
keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau
penyerapan dan penyimpanan karbon. Hasil hutan bukan kayu yang boleh
dipungut di hutan lindung meliputi rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang
burung walet. Pemanfaatan hutan pada hutan lindung hanya dapat dilakukan pada
blok pemanfaatan. Pelaksanaan pemanfaatan kawasan pada hutan lindung tidak
boleh menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; tidak boleh membangun
sarana dan prasarana permanen; dan/atau tidak boleh mengganggu fungsi kawasan.
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat berupa segala bentuk usaha yang
menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan.

Analisis Stakeholder
Hovland (2005) berpendapat bahwa stakeholder adalah orang maupun
kelompok yang memiliki kepentingan atau terkena dampak dari suatu kegiatan.
Analisis stakeholder berguna untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan
dan perhatian para stakeholder pada kegiatan. Analisis ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi semua pihak yang terlibat mulai dari penentu kebijakan,
pelaksana kegiatan, maupun para pihak lain sebagai pendukung. Analisis ini juga
dapat dijadikan alat penting dalam melakukan penilaian terhadap perbedaan

6
kepentingan antar kelompok stakeholder
mempengaruhi hasil akhir kegiatan.

dan

kemampuannya

dalam

Golder et al. (2005) menerangkan bahwa stakeholder adalah gambaran
kepentingan individu, kelompok, dan institusi terhadap sumberdaya alam. Selain
itu, stakeholder juga dapat diartikan sebagai penerima dampak positif atau negatif
dari suatu kegiatan. Menurut Crosby (1992), stakeholder dikategorikan dalam tiga
kelompok, yaitu :
1. Stakeholder utama, yaitu pihak yang berkepentingan langsung dalam kegiatan.
Stakeholder ini merupakan penentu dalam kegiatan.
2. Stakeholder kunci, yaitu stakeholder yang penting terkait dengan masalah
kegiatan. Stakeholder kunci memiliki kewenangan legal dalam hal
pengambilan keputusan, misalnya eksekutif dan legislatif.
3. Stakeholder pendukung, yaitu kelompok stakeholder yang menjadi perantara
dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Stakeholder pendukung
merupakan stakeholder sekunder, yaitu stakeholder yang tidak berkaitan
langsung dalam kegiatan namun masih memiliki pengaruh terhadap sikap
masyarakat dan pemerintah.
Race dan Millar (2006) menjelaskan bahwa dalam analisis stakeholder
akan dilakukan identifikasi stakeholder beserta perannya dalam suatu kegiatan.
Analisis tersebut berguna untuk mengetahui kategori stakeholder. Kategori tersebut
dikelompokkan menurut kepentingan dan pengaruh tiap stakeholder dalam suatu
kegiatan. Selanjutnya, analisis stakeholder dapat digunakan untuk
mendefinisikan hubungan antar stakeholder dalam proses kegiatan.

Perencanaan Strategis
Manajemen strategis adalah cara yang digunakan dalam organisasi
untuk menyusun strategi, pelaksanaan, dan penilaian atas tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam perencanaan strategis, pencapaian tujuan organisasi menjadi
yang terpenting (Umar 2008). Sementara itu, Rangkuti (1997) menyebutkan
bahwa perencanaan strategis (formulasi strategis) adalah proses analitis. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa analisis lingkungan organisasi sangat
dibutuhkan. Formulasi strategis bertujuan untuk menyusun strategi sesuai
dengan kebijakan organisasi. Formulasi strategi harus dilakukan agar mampu
menyelesaikan masalah baik saat ini maupun yang diprediksi akan terjadi di
masa datang.
Lebih lanjut dijelaskan Rangkuti (1997), bahwa tahapan formulasi
strategis dibedakan menjadi tahap pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap
pengambilan keputusan. Tahap pengumpulan data tidak hanya sekedar
kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan
pengklasifikasian dan pra analisis. Pada tahap ini diperoleh berupa data internal
dan eksternal. Data yang telah terkumpul kemudian dirumuskan ke dalam
model-model kuantitatif seperti Matriks SWOT, Matriks BCG, Matriks Internal
Eksternal, Matrik Grand Startegy, dan lain-lain. Tahapan terakhir adalah
perumusan dan formulasi strategi berdasarkan hasil olahan analisis sebelumnya.

7
Rangkuti (1997) menekankan pentingnya analisis lingkungan eksternal
berupa peluang dan ancaman sebelum strategi diterapkan. Masalah strategis
yang akan dimonitor harus ditentukan karena mungkin dapat mempengaruhi
organisasi di masa datang. Penggunaan metode-metode kuantitatif sangat
dianjurkan untuk membuat peramalan dan asumsi. Metode tersebut misalnya
ekstrapolasi, brainstorming, model statistik, riset, dan operasi. Faktor internal
juga perlu dianalisis agar diketahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri.
Manajemen puncak perlu menganalisis hubungan antara fungsi manajemen
organisasi dengan mempelajari struktur, budaya, dan sumberdaya yang dimiliki
sebuah organisasi.

Strength Weakness Opportunity Treath (SWOT)
SWOT merupakan instrumen sederhana dalam menentukan strategi untuk
mencapai tujuan. SWOT membantu memberikan arah tujuan secara realistis dan
fokus pada bagian tertentu. Analisis SWOT dimulai dengan memperhitungkan
setiap aspek yang dimiliki objek penelitian. Aspek tersebut berupa kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman. SWOT seringkali digunakan untuk melengkapi
analisis stakeholder (Start dan Hovland 2004). Fungsi analisis SWOT adalah
mendapatkan informasi yang bersumber dari analisis situasi. Berdasarkan analisis
tersebut kemudian dipisahkan ke dalam faktor internal (kekuatan dan kelemahan)
dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) terpenting dalam organisasi (Ferrel
dan Hartline 2005).
Rangkuti (1997) menjelaskan bahwa analisis SWOT membandingkan
antara faktor eksternal dan faktor internal. Analisis ini berdasarkan logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan dan ancaman. Matrik SWOT dapat menggambarkan
secara jelas peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi sehingga dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat
menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi, yaitu Strategi StrengthOpportunities (Strategi SO), Strategi Strength-Treaths (Strategi ST), Strategi
Weakness-Opportunities (Strategi WO), dan Strategi Weakness-Treaths (Strategi
WT).

Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM)
QSPM merupakan teknik penentuan prioritas alternatif strategi
berdasarkan kemenarikan relatifnya (attractiveness score) terhadap faktor internal
dan eksternal yang dipunyai (Sarkis 2003). QSPM merupakan tahap akhir dalam
analisis formulasi strategi (Purwanto 2008). Konsep QSPM adalah menentukan
daya tarik strategi yang dibangun terhadap faktor internal dan eksternal. Daya
tarik relatif tiap strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari
setiap faktor keberhasilan penting internal dan eksternal (Kurniawati dan Sari
2009).
David et al. (2009) menerangkan bahwa meskipun sangat bergantung pada
keputusan subyektif, namun QSPM memperkecil kemungkinan terabaikannya

8
faktor kunci internal atau eksternal dari obyek yang diteliti. Keterbatasan QSPM
terletak pada ketepatan informasi awal sebagai landasan dalam melakukan
penilaian. Keterbatasan selanjutnya adalah dibutuhkannya penilaian yang tepat
terhadap penentuan attractiveness score. Selain itu, kadang terjadi perbedaan skor
total yang sangat tipis sehingga keputusan akhir tidak jelas. Hal yang harus
dipahami adalah bahwa QSPM hanyalah instrumen untuk memberi masukan
dalam perencanaan, sehingga bukan sebagai keputusan mutlak yang harus
dilaksanakan.

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian berada pada kawasan HLAK di Kecamatan Penjaringan,
Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 2). Penelitian dilakukan pada
bulan Agustus – September 2013. Secara geografis, HLAK terletak antara 6005’ –
6010’LS dan 106043’ – 106048’ BT. HLAK terbentang sekitar 5 kilometer dari
barat ke timur di antara Kali Kamal dan Kali Angke, dengan lebar sekitar 100
meter. HLAK berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara. Di sebelah selatan
berbatasan dengan Pantai Indah Kapuk (PIK), Taman Wisata Alam Angke Kapuk
(TWA), dan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA).

Gambar 2 Lokasi Penelitian di Hutan Lindung Angke Kapuk
HLAK merupakan bagian dari kawasan Hutan Angke Kapuk berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 667/Kpts-II/1995 tentang Penetapan
Kawasan Hutan Angke Kapuk (SK Menhut 667/1995). Kawasan Hutan Angke
Kapuk seluas 327.7 hektar terdiri dari :
1. Hutan lindung (HLAK) seluas 44.76 hektar

9
2. Cagar Alam Muara Angke (sekarang bernama SMMA) seluas 25.02 hektar
3. Hutan Wisata (sekarang bernama TWA) seluas 99.82 hektar
4. Hutan Dengan Tujuan Istimewa seluas 158.01 hektar, yang terbagi menjadi
Kebun Pembibitan (sekarang bernama arboretum) seluas 10.51 hektar,
Transmisi PLN seluas 23.07 hektar, Cengkareng Drain seluas 28.93 hektar,
Jalan Tol dan Jalur Hijau/ Ekowisata Mangrove seluas 95.50 hektar
Kawasan HLAK menerima aliran air tawar dari beberapa sungai. Aliran
tersebut berasal dari Kali Kamal, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, dan Saluran
Mookervart. Cengkareng Drain yang membelah kawasan HLAK merupakan
saluran air yang memotong dan mengalirkan kembali Kali Angke, Kali
Pesanggarahan, dan Kali Mookervart ke Laut Jawa. Cengkareng Drain
merupakan salah satu jaringan pengendali banjir yang ada di Jakarta. Saluran
Mookervart adalah saluran air pengendali banjir yang dibuat pada masa Kolonial
Belanda (1678-1689). Saluran tersebut dibuat dengan menghubungkan Kali
Angke dengan Sungai Cisadane. Selain itu, masih terdapat saluran lain berupa
Banjir Kanal Barat (BKB). BKB merupakan tampungan aliran Kali Ciliwung,
Kali Cideng, dan Kali Krukut yang bertemu di Kali Angke

Jenis dan Sumber Data
Sumber data penelitian berasal dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara dengan informan. Pemilihan informan
dilakukan secara purposive yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Data
sekunder diperoleh dari pengelola HLAK, perpustakaan, dan dan lain-lain.

Metode Analisis Data
Identifikasi dan analisis faktor internal dan eksternal
Analisis lingkungan merupakan pemahaman mendalam terhadap faktor
internal dan eksternal HLAK. Analisis tersebut mencakup segala hal mengenai
data-data internal dan kondisi lingkungan eksternal yang terjadi di sekitarnya.
Faktor internal dan eksternal adalah faktor-faktor yang diperkirakan berhubungan
atau berpengaruh terhadap pengelolaan HLAK. Identifikasi seluruh faktor tersebut
kemudian dianalisis sehingga diketahui kondisi terkini kawasan HLAK dalam
memanfaatkan sisi positif dan negatif yang dimilikinya.
Matrik evaluasi faktor internal (EFI) dan matriks evaluasi faktor eksternal
(EFE) digunakan untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal HLAK.
Rangkuti (1997) menyebutkan bahwa penyusunan matriks tersebut dimulai
dengan menentukan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal
(peluang dan ancaman). Faktor-faktor tersebut diberi bobot dengan skala 0.0-1.0
(tidak penting sampai paling penting). Masing-masing bobot total faktor internal
dan faktor eksternal bernilai 1.0. Pada kolom 3 diberikan skor untuk semua faktor
dengan skala 1-4 berdasarkan pengaruhnya tersebut terhadap HLAK. Variabel
kekuatan dan peluang bersifat positif sehingga nilai 1 berarti kekuatan atau
peluang yang dimiliki rendah dan nilai 4 berarti kekuatan atau peluang tinggi.

10
Skala variabel kelemahan dan ancaman bersifat negatif sehingga diberikan nilai
sebaliknya. Hasil identifikasi ditampilkan seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1 Matriks Evaluasi Faktor Internal (Rangkuti 1997)
Faktor Internal
Kekuatan
1
2
Kelemahan
1
2
Total

Bobot

Skor

Bobot x Skor

1,00

Tabel 2 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (Rangkuti 1997)
Faktor Eksternal
Bobot
Skor
Bobot x Skor
Peluang
1
2
Ancaman
1
2
Total
1,00
Analisis stakeholder
Analisis stakeholder merupakan metode yang digunakan untuk
mengetahui posisi masing-masing stakeholder dalam pengelolaan HLAK. Posisi
stakeholder dapat diidentifikasi berdasarkan pengaruh dan kepentingannya
terhadap HLAK. Interpretasi skor kepentingan dan pengaruh stakeholder dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder (Abbas 2005)
Kriteria
Kepentingan Stakeholder
Ketergantungan sangat tinggi pada sumberdaya
Ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya
Cukup bergantung pada sumberdaya
Ketergantungan kecil terhadap sumberdaya
Tidak tergantung pada sumberdaya
Pengaruh Stakeholder
Respon sangat berpengaruh terhadap stakeholder lain
Respon berpengaruh terhadap stakeholder lain
Respon cukup berpengaruh terhadap stakeholder lain
Respon kurang berpengaruh terhadap stakeholder lain
Respon tidak berpengaruh terhadap stakeholder lain

Skor
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1

11
Pengaruh adalah kemampuan dalam mempengaruhi kegiatan pengelolaan
HLAK atau mempengaruhi stakeholder lain. Kepentingan adalah kepentingan
stakeholder pada sumberdaya HLAK atau untuk terlibat dalam pengelolaan
HLAK. Besaran skor kepentingan dan pengaruh stakeholder yang diperoleh
kemudian dipetakan ke dalam Stakeholder Grid (Gambar 3). Skor pengaruh
ditempatkan pada sumbu X. Skor kepentingan ditempatkan pada sumbu Y.

Gambar 3 Stakeholder Grid (Rohdewohld dan Poppe 2005)

Strategi Pengelolaan
Formulasi strategi merupakan langkah untuk menentukan alternatif strategi
pengelolaan HLAK. Tahap ini menggunakan Matrik SWOT (Tabel 4). Matrik
SWOT adalah pencocokan kondisi internal dan eksternal HLAK. Berdasarkan
Matrik SWOT dapat diperoleh empat strategi pengelolaan, diantaranya Strategi SO,
Strategi ST, Strategi WO, dan Strategi WT.
Tabel 4 Matriks SWOT (Rangkuti 1997)
Opportunity

Treath

Strength

Strategi SO

Strategi ST

Weakness

Strategi WO

Strategi WT

Langkah terakhir dalam penelitian ini adalah dengan penggunaan teknik
QSPM (Nurhayati 2008). Penyusunan QSPM dimulai dengan menyusun daftar
faktor internal pada Tabel 1 dan faktor eksternal pada Tabel 2. Alternatif strategi
pada Tabel 4 dimasukkan ke dalam kolom strategi. Langkah selanjutnya adalah
memberi nilai Attractiveness Score (AS) masing-masing strategi terhadap faktor
internal dan eksternal yang ada. Nilai 1 berarti tidak menarik, nilai 2 berarti agak
menarik, nilai 3 berarti secara logis menarik, serta nilai 4 berarti sangat menarik.
Total Attractiveness Score (TAS) diperoleh dari perkalian bobot dengan AS. TAS
menunjukkan kemenarikan relatif dari masing-masing alternatif strategi. Nilai

12
TAS terbesar adalah prioritas utama dan nilai terkecil adalah prioritas terakhir
pilihan strategi. Penggunaan teknik QSPM ditampilkan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Quantitative Strategic Planning Matrix (Nurhayati 2008)
Faktor Kunci

Bobot

Strategi 1
AS
TAS

Strategi 2
AS
TAS

Strategi 3
AS
TAS

Kekuatan
1
2
Kelemahan
1
2
Peluang
1
2
Ancaman
1
2
Total

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Hutan Lindung Angke Kapuk
Analisis lingkungan
HLAK merupakan kawasan yang penting bagi lingkungan pesisir Angke
Kapuk. HLAK sangat rentan terhadap gangguan akibat dari aktivitas manusia
yang berlebihan. Pantai merupakan tempat strategis bagi kehidupan. Pantai
menjadi akses utama aktivitas perdagangan antar pulau, negara, dan benua.
Kawasan pesisir mempunyai daya tarik kuat bagi setiap orang untuk
memanfaatkannya. Pertumbuhan kawasan ini berkembang dari pusat perdagangan
dan permukiman sampai menjadi pusat pemerintahan, rekreasi, pendidikan, dan
lain-lain. Pada akhirnya, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya konsentrasi
penduduk. Kepadatan penduduk yang berlebihan berpotensi memunculkan
berbagai tekanan lingkungan di wilayah ini.
Mangrove adalah formasi hutan yang berada di pantai, namun tidak
semua pantai dapat ditumbuhi mangrove. Mangrove memerlukan persyaratan
khusus untuk dapat berkembang. Kusmana (2007) menjelaskan bahwa mangrove
berada pada daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan. Kondisi
tersebut menyebabkan mangrove sangat dipengaruhi oleh perubahan pada
ekosistem daratan dan lautan. Mangrove dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa mangrove mempunyai berbagai fungsi penting.
Mangrove berguna untuk melindungi pantai dari bahaya abrasi. Tanpa keberadaan
vegetasi mangrove, gempuran ombak air laut dapat dengan bebas menggerus
pantai. Abrasi dapat berkurang karena vegetasi mangrove mampu mengurangi

13
kecepatan dan tinggi gelombang. Mangrove juga berfungsi untuk mencegah
tercemarnya air tawar oleh air laut (intrusi air laut). Pantai yang mempunyai
mangrove akan terlindungi oleh pengaruh tiupan angin kencang dari arah laut.
Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai pembersih polutan di perairan dan
sebagai tempat untuk berwisata.
Otonomi daerah memberi dampak pada pengalihan sebagian wewenang
pemerintah kepada pemda. Pengelolaan hutan lindung adalah salah satu
kewenangan yang dilimpahkan ke daerah. Kewenangan pengelolaan hutan
lindung di DKI Jakarta diserahkan kepada Pemprov. Pemprov mengatur kejelasan
status HLAK sebagai salah satu bagian dari tata ruang yang dipertahankan dalam
RTRW 2030. DKP DKI ditunjuk sebagai pengelola HLAK. DKP DKI merupakan
unsur pelaksana otonomi daerah di bidang kelautan, pertanian, kehutanan, dan
ketahanan pangan. Secara khusus, pelimpahan tugas pengelolaan hutan
didelegasikan kepada Bidang Kehutanan DKP DKI. Tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) bidang kehutanan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Perda 10/2008.
Tupoksi tersebut diantaranya adalah menyusun bahan kebijakan teknis bidang
kehutanan dan pembinaan kawasan hutan, hutan kota, dan kawasan hijau lainnya.
Mangrove HLAK merupakan salah satu kawasan hutan yang menjadi
sasaran program prioritas/ unggulan bidang kehutanan. HLAK belum dikelola
sebagai unit pengelolaan tersendiri. Selama ini, HLAK dikelola bersama kawasan
mangrove lain (TWA, SMMA, Ekowisata Mangrove Tol Sedyatmo, dan
Arboretum Mangrove) dibawah satu penanggungjawab yang berkantor di
Kawasan Ekowisata Mangrove Tol Sedyatmo (Mangrove Education Centre).
Dijadikannya mangrove HLAK sebagai program unggulan dapat memberikan sisi
positif. Salah satu sisi positif yang dapat dimanfaatkan adalah dengan tumbuhnya
kesadaran lingkungan global. Kecenderungan masyarakat global dalam perbaikan
kualitas lingkungan ditunjukkan dengan berkembangnya skema Corporate Sosial
Responsibility (CSR). Beberapa BUMN turut serta dalam kegiatan rehabilitasi
mangrove, diantaranya adalah Pertamina, PT Antam, dan Bank Mandiri.
HLAK termasuk salah satu bentuk ruang terbuka hijau (RTH) yang ada di
DKI Jakarta. Hutan lindung dikategorikan sebagai bagian dari kawasan hijau
lindung. HLAK mempunyai luas 44.76 hektar atau 6.99% dari total 640.04 hektar
RTH dan 10.4% dari total 430.45 hektar hutan daratan di DKI Jakarta (DKP DKI,
2011). HLAK merupakan bagian dari kawasan lindung. Menurut Keppres 32/1990
dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU
26/2007), kawasan lindung adalah adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam dan sumber daya buatan. Posisi HLAK dan hutan mangrove lain terletak
melingkar dan mengapit kawasan budidaya (pemukiman).
Bidang Kehutanan DKP DKI dan Kemenhut menetapkan kawasan
restorasi mangrove seluas 10 hektar. Kawasan tersebut terletak di HLAK (DKP
DKI, 2011). Kawasan restorasi seluas 10 hektar merupakan 22.34% dari total luas
HLAK. BPLHD DKI (2012) merilis data tutupan kawasan hutan pada HLAK
hanya sekitar 75%, artinya 25% kawasan HLAK tidak bervegetasi (rusak).
Memahami situasi seperti ini, Pemprov membuka ruang bagi setiap stakeholder

14
yang berminat untuk berpartisipasi dalam rehabilitasi mangrove. DKP DKI (2011)
mencatat realisasi rehabilitasi mangrove di kawasan restorasi HLAK tahun 2010
mencapai 12 525 pohon.
HLAK belum dikelola berdasarkan zonasi pengelolaan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan
Kawasan Hutan (PP 34/2002). Peraturan tersebut menyatakan bahwa kegiatan
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan dilakukan pada semua
kawasan hutan, termasuk hutan lindung. Pengelolaan HLAK berdasarkan bloknya
memberi arahan yang jelas pada setiap unit pengelolaan. Dengan demikian pada
tiap unit kelola akan mendapat perlakuan dan prioritas yang berbeda sesuai
dengan karakteristiknya.
Secara garis besar, HLAK terpisah (fragmentasi) menjadi dua bagian.
Fragmentasi kawasan disebabkan oleh adanya oleh Cengkareng Drain.
Cengkareng Drain merupakan saluran yang memotong dan mengalirkan kembali
aliran Kali Pesanggrahan, Kali Angke dan Kali Mookervart ke Laut Jawa. Sejarah
panjang Cengkareng Drain dimulai tahun 1973. Pada tahun tersebut disusun
Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta. Rencana tersebut
merancang sistem pengendalian dengan membuat kanal yang memotong aliran
sungai atau saluran di wilayah Jakarta Barat. Rencana tersebut sempat tertunda
karena sebagian besar alur kanal ini melintasi daerah permukiman padat. Banjir di
wilayah Jakarta Barat pada Januari 1979 memunculkan rencana pembuatan
jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang
dinamakan Sistem Drainase Cengkareng (Cengkareng Drain) pada tahun 1983.
Sejak saat itu, HLAK terfragmentasi menjadi dua bagian. Kawasan hutan
sebaiknya berupa area yang utuh dalam satu hamparan (kompak). Areal hutan
yang demikian akan menghasilkan ekosistem utuh dan tidak terpisah-pisah.
Sedangkan areal hutan terfragmentasi cenderung berpotensi mengalami gangguan
lebih besar bila dibandingkan dengan areal yang kompak.
Abrasi adalah terkikisnya pantai oleh gempuran ombak. HLAK yang
merupakan hutan mangrove sangat rawan terkena dampak ini. Abrasi
mengakibatkan terkikisnya daratan pantai sehingga membahayakan bagi
kelangsungan mangrove. Beberapa bagian HLAK mengalami abrasi. Dalam upaya
mempertahankan keberadaan hutan lindung, di beberapa bagian pantai di lakukan
penanaman vegetasi mangrove. Keberhasilan tumbuh vegetasi tersebut mengalami
hambatan oleh gelombang laut yang cukup besar (BPLHD DKI, 2012).
Santoso (2011) menyebutkan bahwa pada kawasan mangrove Muara
Angke terjadi abrasi seluas 59.09 hektar antara tahun 1984 sampai 2010. Sebagian
besar abrasi terjadi di sebelah barat muara Kali Angke dan Cengkareng Drain,
dan yang paling parah berada disekitar Kamal Muara. Di sisi lain, di wilayah
tersebut juga terjadi akresi (sedimentasi) sehingga menambah lahan daratan seluas
42.85 hektar. Secara keseluruhan, abrasi dan akresi menyebabkan terjadinya
pengurangan lahan pantai seluas 16.14 hektar.
Jakarta merupakan salah satu wilayah yang mengalami penurunan tanah.
Penurunan dapat terjadi pada tanah yang mempunyai komporesibilitas tinggi.
Masalah ini sering terjadi akibat sifat material alluvium yang belum terkonsolidasi

15
dengan baik, sehingga pendirian bangunan di atasnya dapat menyebabkan
penurunan tanah apabila tidak memperhitungkan daya dukung tanah tersebut
(Astuti et al. 2010). Pendapat tersebut dikuatkan oleh Kemen ESDM (2013) yang
menyatakan bahwa penurunan tanah Jakarta rata-rata sekitar 5 cm dengan
kecenderungan semakin kecil ke arah selatan dan semakin besar ke arah utara. Hal
tersebut dapat dipahami karena di bagian utara terdiri tanah-tanah lunak yang
cukup luas dan ditunjang oleh pengambilan air tanah sehingga menyebabkan
terjadinya pemadatan tanah (natural consolidation).
Abidin et al. (2008) menjelaskan penurunan tanah di Jakarta merupakan
peristiwa yang kemungkinan disebabkan oleh pengambilan air tanah secara
berlebihan, beban bangunan (settlement), konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan
tanah, dan gaya-gaya tektonik. Sejalan dengan hal tersebut, Kompas (2010)
menjelaskan bahwa eksploitasi air tanah di Jakarta secara berlebihan
menyebabkan turunnya permukaan tanah dan intrusi air laut. Tingginya salinitas
menyebabkan air laut bersifat korosif. Kadar salinitas air laut yang tinggi mampu
mempengaruhi pelapukan tanah dan batuan. Intrusi air laut terjadi karena
penyedotan air tanah secara berlebihan dan tak terkendali dalam jangka waktu
lama. Rongga-rongga tanah yang kosong akibat penyedotan air mengalami
pemadatan sehingga menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah. Di
daerah pesisir, rongga tanah diisi oleh air laut yang bersifat korosif. Air laut akan
semakin banyak mengisi rongga yang kosong seiring dengan makin maraknya
penyedotan air tanah.
Pelapukan tanah dan batuan akibat korosi oleh air laut menjadi salah satu
faktor yang mempercepat terjadinya penurunan tanah. Pada wilayah pantai,
penurunan tanah semakin memperparah ancaman rob. Pantai Utara Jakarta
memiliki peluang tinggi mengalami rob. Rob merupakan fenomena global yang
terjadi akibat berbagai hal. Rob salah satunya ditambah oleh adanya pemanasan
global di seluruh dunia. Pemanasan global sebagai akibat kerusakan ozon
menyebabkan mencairnya sebagian es di kutub. Mencairnya es di kutub bumi
menyebabkan kenaikan muka air laut terhadap daratan. Fenomena tersebut
kemudian menyebabkan terjadinya rob di kawasan pantai.
Nelwan (2014) mengatakan bahwa selain giant sea wall, sabuk pantai
menjadi salah satu cara untuk menanggulangi rob. Sabuk pantai merupakan
bentangan penahan ombak yang terbuat dari vegetasi. Jenis vegetasi yang dapat
dijadikan sabuk pantai adalah mangrove dan cemara udang. Hal ini didasarkan
pada studi kasus di Teluk Semarang. Kejadian rob tidak dialami ketika vegetasi
mangrove masih baik. Rob baru dialami ketika kondisi mangrove telah rusak.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa mangrove dapat berperan
dalam mengatasi atau mengurangi rob. Namun demikian, sabuk pantai hanyalah
salah satu dari beberapa solusi holistik untuk mencegah banjir dan rob.
Vegetasi mangrove yang berada di kawasan HLAK memerlukan daya
dukung lingkungan yang baik untuk bertumbuh-kembang secara normal.
Kerusakan habitat mangrove di kawasan HLAK terlihat dari adanya plastik dan
sampah lain yang menempel pada vegetasi mangrove. Plastik dan sampah lainnya
terbawa arus pasang dan tersangkut diantara akar-akar mangrove ketika air laut
surut. Kejadian yang terus berulang tersebut menyebabkan terbentuknya endapan
yang menutupi akar mangrove. Untuk mendukung kehidupannya, vegetasi

16
mangrove memiliki akar nafas sebagai bentuk adaptasi lingkungan. Akar nafas
berfungsi menghirup oksigen di udara. Apabila sampah, terutama plastik atau
jenis sampah lain yang sulit terdegradasi secara alami menutupi akar mangrove
dalam jangka waktu lama maka dapat dipastikan akan mengganggu bahkan
menyebabkan kematian vegatasi mangrove. Penumpukan sampah di sepanjang
pantai, lantai hutan dan pinggir sungai dapat menghambat terjadinya regenerasi
komunitas mangrove
Tingginya tingkat pencemaran air laut di Teluk Jakarta menjadi
permasalahan yang dapat mengganggu kelangsungan HLAK. Lestari (2004)
menyebutkan bahwa kadar logam berat di Muara Angke cenderung meningkat.
Logam berat seperti merkuri (Hg), Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) mencemari
perairan dan biota laut. Terganggunya biota laut pada akhirnya dapat
mempengaruhi keseimbangan ekosistem mangrove, sehingga apabila terjadi
dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan pergeseran keseimbangan
ekosistem.
BPLHD DKI (2011) menyatakan bahwa perairan Teluk Jakarta
mendapatkan dampak dari kegiatan dari beberapa sektor, diantaranya industri,
perdagangan, perhubungan, pertambangan, pertanian, dan pariwisata. Teluk
Jakarta merupakan muara dari beberapa sungai yang membawa limbah berupa
sampah industri dan rumah tangga. Kondisi semacam ini menyebabkan perairan
Teluk Jakarta menerima beban pencemaran yang berat. Kualitas perairannya
tergolong buruk. Parameter kimia berupa BOD, fenol, amonia, detergen, fosfat
berada dalam kondisi konsentrasi tinggi dan telah melebihi baku mutu. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari pencemaran pada sungai-sungai
yang bermuara di Teluk Jakarta. Pada periode pengamatan tahun 2011, indeks
pencemar air sungai di DKI Jakarta lebih dari 83% dari 47 titik pantau berstatus
cemar berat (Tabel 6). Selain itu, kualitas biologi perairan berupa zooplankton,
phytoplankton, dan makrozoobentos berada pada kisaran tercemar ringan sampai
berat.
Tabel 6 Status Indeks Pencemar Sungai di DKI Jakarta Tahun 2011 (BPLHD
DKI 2012)
Periode
Pengamatan
Maret
Mei
Agustus
Oktober
Desember

Status Mutu (%)
Baik
2
0
0
2
0

Cemar Ringan
2
0
0
0
2

Cemar Sedang
13
6
11
9
9

Cemar Berat
83
94
89
89
89

Partisipasi masyarakat adalah salah satu faktor kunci kesuksesan
pengelolaan HLAK. Masyarakat adalah penerima langsung dari semua dampak
yang terjadi akibat dari pengelolaan HLAK. Dengan demikian, partisipasi
masyarakat sangat diperlukan dalam mendukung setiap langkah dalam
pengelolaan kawasan. Menurut Santoso (2011), partisipasi pengelolaan
masyarakat terhadap mangrove masih rendah karena dukungan serta kesadaran

17
masyarakat meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove