Cyber pornography (pornografi dunia maya) dalam persepektif hukum positif dan hukum islam

“CYBER PORNOGRAPHY (PORNOGRAFI DUNIA MAYA)
DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM”
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:
NURCHOLIS
NIM: 1110043100006

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M

ABSTRAK

NURCHOLIS : 1110043100006. CYBER PORNOGRAPHY (PORNOGRAFI

DUNIA MAYA) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM. Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh, Program Studi Perbandingan
Madzhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2015. 1 x 66 Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perbuatan apa saja yang
termasuk dalam kejahatan dunia maya serta bagaimana hukum positif Indonesia
mengatur tentang kejahatan cyber pornography. Selain itu penelitian ini juga
bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap
pornografi dunia maya.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka
(library research), dengan mencari buku-buku atau bahan bacaan lain yang
berkaitan dengan masalah pornografi dunia maya. Serta mengambil data dari
Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cyber pornography merupakan
suatu perbuatan kejahatan, karena dalam hukum Islam perbuatan tersebut sudah
termasuk perbuatan mendekati zina yang diharamkan. Selain itu, cyber
pornography juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terutama bagi
kalangan anak-anak dan remaja baik terhadap perilaku, moral (akhlak), maupun

terhadap sendi-sendi serta tatanan keluarga dan masyarakat beradab.
Kata Kunci: Cyber Pornography, Pornografi Dunia Maya

Pembimbing

: Hj. Siti Hanna, Lc., M.A. dan Dr. H. Nahrowi, S.H., M.H.

Daftar Pustaka

: tahun 1958 s/d tahun 2014

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, tak ada kata yang pantas penulis ucapkan selain ungkapan
puja dan puji serta syukur atas karunia yang tak terhingga yang diberikan Allah
swt, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “CYBER
PORNOGRAPHY (PORNOGRAFI DUNIA MAYA) DALAM PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM”.
Shalawat serta salam dicurahkan kepada Nabi akhir zaman, Nabi
Muhammad Saw, juga kepada keluarganya, sahabatnya, dan ummatnya yang

senantiasa istiqomah dalam menjalankan semua ajarannya sampai akhir zaman,
Aamin.
Setelah perjuangan yang berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini selesai
ditulis. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1.

Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si., selaku Ketua
Program Studi Perbandingan Madzhab dan Ibu Hj. Siti Hanna, Lc.,
M.A., Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab.

i

3.


Ibu Hj. Siti Hanna, Lc., M.A., dan Bapak Dr. H. Nahrowi, S.H.,
M.H., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
membantu memberikan arahan dalam penyusunan sampai pada akhir
skripsi.

4.

Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan di lingkungan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan pengetahuan dan bantuannya kepada penulis.

5.

Segenap Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dalam
pengumpulan bahan skripsi ini.

6.


Keluarga penulis, kedua orang tua tersayang Bapak H. Kusairi dan
Ibu Hj. Naziro yang sangat penulis hormati dan cintai, yang telah
memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan doa demi kelancaran
dan kesuksesan penulis. Kakak-kakak penulis, Musleha, Anton
Setianto, dan Muhamad Sulaiman, yang selalu memberikan
semangat, motivasi, serta dorongan doa yang sangat luar biasa
kepada penulis. Keponakan tersayang Iecha yang selalu menghibur
dan melepas rasa lelah penulis.

7.

Sahabat terbaikku, Abdul Rosyid dan Muhammad Hilman Tohari.
Terima kasih atas semua persahabatan yang telah kita rajut selama
ini. Terima kasih atas canda tawa dan dorongan semangatnya,
semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus oleh jarak dan

ii

waktu. Serta untuk semua teman-teman penulis, Eka Fitriyana, Siti

Hafizah Adawiyah, Ida Handayani, Siti Raihanun, Ade Tri Cahyani,
Muhtadin, Aqid, Aziz, Anas, Arifin, Sya’ban, Deuis, Adam, serta
teman-teman yang lain yang tidak penulis sebutkan satu persatu,
terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.
Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril
maupun materi, penulis ucapkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah Swt
membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal
jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak. Amiin.

Jakarta, Dzulqa’dah 1436 H
September 2015 M

Penulis

iii

DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR .................................................................................…...... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................ 8
D. Tinjauan Pustaka...................................................................... 9
E. Metode Penelitian................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan............................................................. 13

BAB II

CYBER

PORNOGRAPHY

SEBAGAI

VARIAN


DARI

Tindak

Pidana

TINDAK PIDANA CYBER CRIME
A. Pengertian

dan

Macam-macam

Cyber Crime .......................................................................... 15
B. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak
Pidana Cyber Crime............................................................... 20
C. Definisi dan Karakteristik Cyber Pornography..................... 23
BAB III


TINJAUAN HUKUM POSITIF INDONESIA TERHADAP
KEJAHATAN CYBER PORNOGRAPHY

iv

A. Cyber Pornography dalam Peraturan Perundang-undangan
Indonesia ................................................................................ 26
B. Unsur Kriminal

&

Pertanggungjawaban Pidana

Cyber

Pornography .......................................................................... 32
C. Dampak Cyber Pornography di Masyarakat ......................... 39
BAB IV

KEJAHATAN


CYBER

PORNOGRAPHY

DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Islam .............................. 44
B. Pandangan Hukum Islam terhadap Cyber Pornography ....... 49
BAB V

Penutup
A. Kesimpulan ............................................................................ 60
B. Saran ...................................................................................... 61

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 63

v


BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi dan informasi pada masa kini berkembang
pesat, seperti komputer yang pada awalnya merupakan mesin penghitung
yang cepat, namun saat ini komputer merupakan suatu alat bantu yang
mampu melaksanakan tugas-tugas pengolahan data yang juga merupakan
suatu alat yang memegang peranan penting dalam suatu sistem
penyimpanan data elektronik.1 Pada saat ini komputer sudah memasuki
hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Dari kalangan perguruan
tinggi sampai sekolah menengah bahkan sampai dengan dapur-dapur rumah
tangga komputer telah menyumbangkan jasanya.2
Selain itu sistem komputer yang terus berkembang melahirkan suatu
jaringan yang dapat menghubungkan antara komputer yang satu dengan
yang lain, juga dapat memberikan berita ke komputer yang lain walaupun
berlainan area.3 Jaringan tersebut adalah internet (Interconnected Network)
yang merupakan jaringan komputer yang terdiri dari ribuan jaringan
komputer independen yang dihubungkan satu dengan yang lainnya. Internet
atau nama pendeknya Net merupakan jaringan komputer yang terbesar di

1

John J Longkutoy, Pengenalan Komputer, (Jakarta : Cendanamas, 1978), h. 34.
Eko Nugroho, Pengenalan Komputer, (Yogyakarta : Andi Offset, 1990), h. 3.
3
Jogiyanto Hartono, Pengenalan Komputer, Edisi ke III, Cet. I, (Yogyakarta : Andi, 1999),

2

h. 331.

1

2

dunia. Jaringan komputer ini dapat terdiri dari lembaga pendidikan,
pemerintahan, militer, organisasi bisnis dan organisasi-organisasi lainnya.4
Perkembangan teknologi komputer, informasi dan komunikasi saat ini
sangat cepat. Kehadiran internet telah memunculkan paradigma baru dalam
kehidupan manusia. Paradigma baru tersebut yaitu kehidupan manusia tidak
lagi bersifat manual, namun berkembang menjadi serba online dan global.
Kehidupan berubah dari yang bersifat nyata (real) ke realitas baru yang
bersifat maya (virtual). Realitas yang kedua ini biasa dikaitkan dengan
internet dan cyber space.5
Teknologi

selain

membawa

keuntungan

berupa

semakin

dipermudahnya hidup manusia, juga membawa kerugian-kerugian berupa
semakin dipermudahkannya penjahat melakukan kejahatannya. Teknologi
juga memberikan pengaruh yang signifikan dalam pemahaman mengenai
kejahatan terhadap aliran-aliran dalam kriminologi yang menitikberatkan
pada faktor manusia, baik secara lahir maupun psikologis.6
Saat ini, internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan
baru. Masyarakat yang tak lagi dihalangi oleh batas-batas teritorial antara
negara yang dahulu ditetapkan sangat rigid sekali. Masyarakat baru dengan
kebebasan beraktifitas dan berkreasi yang paling sempurna. Namun dibalik
kegemerlapan itu, internet juga melahirkan kekerasan-kekerasan baru.
Diantaranya, muncul kejahatan yang lebih canggih dalam bentuk “cyber
4

Jogiyanto Hartono, Pengenalan Komputer, h. 341.
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Jakarta : PT.
Refika Aditama, 2005), h. 103.
6
Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi,
(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002), h. 29.
5

3

crime”. Hal ini ditandai dengan berkembang pesatnya situs-situs porno
dalam berbagai tampilan situs yang sangat menggoda atau tempat
penyebaran kabar bohong (fitnah) yang paling efektif. Bahkan berbagai data
terakhir menunjukkan bahwa transaksi terbesar perdagangan melalui
internet diperoleh melalui bisnis pornografi ini.7 Hal tersebut saat ini dikenal
dengan istilah “cyber pornography”.
Beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia diantaranya yaitu
video porno Ariel “Peterpan” dengan Luna Maya dan Cut Tari yang
diunggah di internet pada tahun 2010. Pada kasus tersebut Ariel ditetapkan
sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal 4 Undang-undang Pornografi,
pasal 27 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan pasal 282
KUHP tentang kesusilaan.8
Selain itu, pada Mei 2013 aktor Taura Denang Sudiro alias Tora
Sudiro dan Darius Sinathrya mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Polda
Metro Jaya untuk membuat laporan penyebaran dan pendistribusian gambar
atau foto hasil rekayasa yang melanggar kesusilaan di media elektronik.
Dalam laporan tersebut, disimpulkan bahwa foto yang melanggar kesusilaan
yang tersebar di media elektronik tersebut merupakan foto editan, bukan
foto asli. Hanya kepala mereka (Tora dan Darius) dipasang ke dalam
gambar asli. Editor tidak bekerja keras (mengubah) foto tersebut, karena
hampir mirip gambar asli. Namun sampai saat ini, pelaku yang mengedit
7

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2003), h. 196-197.
8
Benhan, “Kontroversi UU Pornografi dalam Penahanan Ariel Peterpan”, artikel diakses
pada 2 November 2014 dari http://benhan8.wordpress.com/2010/06/23/kontroversi-uu-pornografidalam-penahanan-ariel-peterpan/.

4

dan memposting gambar itu pertama kali belum tertangkap, dikarenakan
kesulitan melacak disebabkan kendala waktu yang cukup lama, karena foto
tersebut diedit kira-kira tahun 2010.9
Pemanfaatan internet sebagai akses untuk melakukan kejahatan
pornografi sebenarnya bukan hal baru. Namun maraknya pemberitaan media
massa akhir-akhir ini tentang video porno online yang mengeksploitasi
anak-anak sebagai obyeknya, sungguh sangat memprihatinkan. Tim Cyber
Crime Direktorat Tindak Pidana Khusus Mabes Polri beberapa waktu lalu
berhasil mengungkap pengelola situs internet memuat ratusan ribu video
porno yang sebagian besar diperankan oleh anak berusia SMP dan SMA.
Perdagangan video porno ditaksir mencapai 14 ribu video. Bahkan dari
ribuan video yang ditemukan sekitar 100 film diperankan oleh siswi SMP
yang masih berusia sekitar 10-12 tahun.10
Dalam hukum positif Indonesia, baik Undang-undang No. 44 Tahun
2008 (UU Pornografi) dan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 (UU ITE)
dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan pornografi yang
menggunakan media internet tersebut. Selain itu, pasal 282 KUHP juga
masih dapat digunakan karena rumusan pasal tersebut yang cukup luas,
ditambah lagi pasal 44 UU Pornografi menegaskan bahwa semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana

9

Bayu Marhaenjati, “Tora dan Darius Laporkan Penyebar Foto Rekayasa Adegan Syurnya
ke Polisi”, artikel diakses pada 2 November 2014 http://www.beritasatu.com/hiburan/113924-toradan-darius-laporkan-penyebar-foto-rekayasa-adegan-syurnya-ke-polisi.html/.
10
Badan Intelijen Negara, “Waspadai maraknya Video Porno Anak” artikel diakses pada 2
November 2014 dari http://www.bin.go.id/arsip/listing/2014/03/12/.

5

pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
UU tersebut.11
Dampak pornografi berpotensi menimbulkan kerusakan otak melebihi
bahaya narkoba. Tidak dapat dipungkiri, pornografi menyebabkan
kecanduan. Contoh sederhana adalah ketika seseorang menyaksikan sebuah
film porno, maka suatu saat pasti ada keinginan untuk menontonnya lagi.
Jika kecanduan kokain bisa dihilangkan dari tubuh pecandunya, tapi ingatan
tentang adegan atau gambar porno akan tetap tinggal di otak selamanya.
Pornografi yang dijejalkan ke otak secara terus-menerus pada akhirnya akan
menyebabkan jaringan otak mengecil dan fungsinya juga terganggu.12
Ditinjau dari hukum Islam, pada zaman Rasulullah belum ditemukan
teknologi komputer dan internet seperti zaman ini. Maka dari itu tidak ada
satu ayat atau hadits pun yang menyebutkan secara eksplisit eksistensi
kejahatan dunia maya seperti yang ada di zaman sekarang ini.13
Pornografi dalam al-Qur’an diletakkan dalam dua prinsip utama.
Pertama, larangan

memandang lawan jenis

(laki-laki

memandang

perempuan dan perempuan memandang laki-laki) dengan pandangan
mesum dan penuh birahi, sekalipun keduanya mengenakan pakaian pantas

11

Shanti Rachmadsyah, “Cyber Pornografi (Pornografi Dunia Maya)”, artikel diakses pada
3 November 2014 dari http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b86b6c16c7e4/cyberpornography-(pornografi-dunia-maya)12
Muhammad Fahri Mansyur, “Dampak Pornografi Melebihi Bahaya Narkoba”, artikel
diakses
pada
5
November
2014
dari
http://www.slideshare.net/mobile/muhammadfahrimansyur/dampak-pornografi-melebihi-bahayanarkoba.
13
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Amzah, 2013), h. 189.

6

dan wajar, apalagi berpakaian seronok. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS.
An-Nuur (24): 30-31

           
    

     

           
           
         
           
           
             
     
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau puteraputera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara lakilaki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak
yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(QS. An-Nuur (24): 30-31)

7

Kedua, perintah untuk memelihara secara utuh dan sempurna
kemaluan, dengan cara tidak membiarkannya kelihatan kecuali kepada
orang yang diperbolehkan. Prinsip yang kedua ini dijelaskan di dalam QS.
Al-Ahzab (33): 59

         
             
Artinya : “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab (33):
59)
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh
mengenai perbuatan-perbuatan berkenaan dengan tindak pidana cyber
pornography, serta pandangan hukum Islam tentang pornografi dunia maya.
Oleh karena itu, penelitian skripsi ini penulis tuangkan dalam karya ilmiah
yang berjudul “CYBER PORNOGRAPHY (PORNOGRAFI DUNIA
MAYA) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM”.

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam skripsi ini, penulis ingin mengemukakan suatu fenomena yang
telah terjadi di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut adalah
masalah cyber pornography yang saat ini cukup memprihatinkan terutama
bagi generasi muda bangsa Indonesia. Meskipun hal tersebut hanya dapat

8

dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki keahlian dan
kemampuan dalam menggunakan komputer atau teknologi canggih saat ini,
namun hal ini tidak dapat dibiarkan supaya tidak dapat tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan di masyarakat. Karena luasnya bahasan
mengenai cyber pornography, maka penulis membatasi kepada beberapa
permasalahan, yaitu:
1.

Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan sebagai kejahatan dalam dunia
maya.

2.

Kejahatan cyber pornography yang diatur dalam Hukum positif
Indonesia.

3.

Pandangan hukum Islam tentang kejahatan pornografi dalam dunia
maya.
Dari beberapa pembatasan masalah diatas, kemudian penulis

merumuskan permasalahan utama dalam skripsi ini, sebagai berikut:
1.

Perbuatan apa sajakah yang dirumuskan sebagai kejahatan dalam
dunia maya?

2.

Bagaimanakah hukum positif mengatur tentang kejahatan cyber
pornography?

3.

Bagaimana pandangan hukum Islam tentang kejahatan pornografi
dalam dunia maya?

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:

9

1.

Untuk mengetahui berbagai macam perbuatan yang dirumuskan
sebagai kejahatan dalam dunia maya.

2.

Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang hukum positif yang
mengatur tentang kejahatan cyber pornography.

3.

Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pandangan hukum Islam
terhadap kejahatan pornografi dalam dunia maya.
Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini

adalah:
a.

Secara Akademis
Dilihat dari akademis, manfaat dari penulisan ini adalah memberikan
pengetahuan tambahan di bidang hukum Islam dan hukum positif
tentang tindak pidana cyber pornography.

b.

Secara Praktis
Dari segi praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan penjelasan
kepada masyarakat luas tentang bagaimana cyber pornography itu
terjadi dan hukum apa saja yang mengatur tentang kejahatan tersebut.

D.

Tinjauan Pustaka
Dari beberapa literatur yang ada penulis akan mengambil untuk
menjadikan sebuah perbandingan mengenai cyber pornography. Adapun
judul-judul skripsi itu antara lain:
“Cyber Sex dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam” yang
ditulis oleh Agus Eriyansyah Konsentrasi Kepidanaan Islam Program Studi

10

Jinayah Siyasah tahun 2008. Dalam skripsi ini dijelaskan tentang penyebab
dan dampak dari cyber sex, serta penanggulangan dan pandangan hukum
positif dan hukum Islam. Skripsi ini juga membahas tentang hukum
melakukan suatu kejahatan dengan media komputer, dengan menguraikan
tentang perkembangan teknologi yang kian cepat tidak hanya memudahkan
komunikasi manusia dalam urusan bisnis atau sosial saja, tetapi juga dalam
hal berasmara. Dengan teknologi yang semakin canggih, seni bercinta dapat
dilakukan dengan melihat, mendengar dan merasakan dengan mengunjungi
situs-situs internet tertentu tanpa harus berhubungan badan atau terjadi
kontak fisik. Pada intinya hanya menggunakan imajinasi dalam meraih
kepuasan seksual. Sedangkan penulis lebih mengarah kepada hukum
berbagai macam kejahatan yang mengandung unsur pornografi dalam dunia
maya.
“Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pornografi
Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif” yang ditulis oleh
Syahputra Atmanegara Konsentrasi Pidana Islam Program Studi Jinayah
Siyasah tahun 2007. Dalam skripsi ini dijelaskan tentang pornografi sebagai
tindak pidana kesusilaan dalam hukum pidana, perbuatan yang tergolong
sebagai tindak pidana pornografi secara umum, serta analisis putusan hakim
tentang penegakan hukum dari tindak pidana pornografi. Sedangkan
pembahasan penulis lebih mengarah tentang pornografi dalam lingkup dunia
maya.

11

“Data Elektronik Sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pidana
Perzinahan Menurut Hukum Islam” yang ditulis oleh Rizki Syafa’at Nur
Rahim Konsentrasi Perbandingan Hukum Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum tahun 2012. Dalam skripsi ini dijelaskan tentang
pembuktian dalam kasus perzinahan, syarat persaksian dalam hukum Islam,
serta bagaimana kedudukan data elektronik yang berupa gambar atau video
sebagai alat bukti perzinahan menurut hukum Islam. Sedangkan penulis
lebih mengarah kepada pembahasan tentang segala aktivitas yang
mengandung unsur pornografi di dunia maya.

E.

Metode Penelitian
1.

Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang

dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya.14 Kemudian penelitian ini
bersifat hukum normatif doktriner, karena di dalamnya akan dipakai aturanaturan yang telah baku dan juga pendapat-pendapat para ahli.
Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
jenis kualitatif karena data yang diperoleh berupa data kualitatif yakni
berupa kata-kata, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti.

14

10.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, (Jakarta: UI Press, 1986), h.

12

2.

Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh

secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang
diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (data dasar),
sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan
data sekunder.
Adapun dalam penelitian hukum ini sumber data yang penulis gunakan
adalah sumber data sekunder yang mencakup:15
a.

Bahan hukum primer, yaitu Undang-undang No. 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), Al-Qur’an dan Al-Hadits.

b.

Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum,
kamus-kamus hukum, termasuk data-data atau dokumen-dokumen dari
internet yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.16

c.

Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu
buku-buku tafsir, terjemahan dan lain-lain.

3.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen, yaitu

dengan membaca, meneliti dan mempelajari dokumen dan data-data yang
15

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Cet. XIII, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), h. 13.
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. IV, (Jakarta : Kencana, 2008), h. 155.

13

diperoleh dari karya-karya atau literatur dan referensi yang berhubungan
dengan judul skripsi ini.
4.

Teknik Analisis Data
Dalam tahap ini teknik analisis data yang digunakan berupa analisis

normatif kualitatif.
5.

Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan karya tulis ini, penulis mengacu kepada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi yang disusun oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2007.

F.

Sistematika Penulisan
BAB I :

Berisi tentang Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.

BAB II :

Cyber pornography sebagai varian dari tindak pidana cyber
crime. Dalam bab ini penulis akan memuat tentang pengertian
dan macam-macam tindak pidana cyber crime, peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
cyber crime serta definisi dan karakteristik cyber pornography.

BAB III : Tinjauan hukum positif Indonesia terhadap kejahatan cyber
pornography. Bab ini berisi tentang peraturan perundangundangan

di

Indonesia

yang

mengatur

tentang

cyber

14

pornography, unsur kriminal dan pertanggungjawaban pidana
dari cyber pornography serta dampaknya di masyarakat.
BAB IV : Kejahatan cyber pornography dalam perspektif Hukum Islam.
Bab ini berisi tentang tujuan pemidanaan dalam hukum Islam
serta pandangan hukum Islam terhadap kejahatan cyber
pornography.
BAB V :

Merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan dari
pembahasan skripsi dan saran. Serta di akhir dilengkapi dengan
daftar pustaka.

BAB II
CYBER PORNOGRAPHY SEBAGAI VARIAN DARI
TINDAK PIDANA CYBER CRIME

A.

Pengertian dan Macam-macam Tindak Pidana Cyber Crime
Dewasa ini komputer sudah merupakan suatu alat bantu yang amat
bermanfaat bagi masyarakat dan digunakan pada berbagai aktivitas manusia
dalam kehidupannya, seperti rumah tangga, sekolah, perdagangan dan
pemerintahan. Namun, dengan penggunaan komputer yang semakin
meningkat tersebut pada akhirnya disadari, bahwa berbagai kemungkinan
yang buruk dapat atau telah terjadi, baik yang diakibatkan oleh keteledoran
dan kekurangan kemampuan, maupun kesengajaan yang dilandasi sikap
batin yang tidak terpuji.1
Kehadiran internet sebagai sebuah fenomena kemajuan teknologi
menyebabkan terjadinya percepatan globalisasi dan lompatan besar bagi
penyebaran informasi dan komunikasi di seluruh dunia. Penggunaan internet
sebagai media informasi multimedia membuat beragam karya digital dapat
secara terus-menerus digandakan dan disebarluaskan ke ribuan orang dalam
waktu singkat, hanya dengan menekan beberapa tombol komputer. Tidak
heran jika internet dipandang sebagai lautan informasi.2

1

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : Alumni,
2010), h. 27.
2
Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2009), h. 1.

15

16

Perkembangan teknologi informasi ini di satu sisi akan mempermudah
manusia dalam menjalankan aktivitasnya, di sisi lain dapat menimbulkan
berbagai masalah yang memerlukan penanganan yang serius, seperti
munculnya berbagai bentuk kejahatan baru yang dikenal dengan cyber
crime.3
Istilah cyber crime saat ini merujuk pada suatu tindakan kejahatan
yang berhubungan dengan dunia maya (cyber space) dan tindakan kejahatan
yang menggunakan komputer. Ada ahli yang menyamakan antara tindak
kejahatan cyber crime dengan tindak kejahatan komputer, dan ada ahli yang
membedakan di antara keduanya.
Pada awalnya para ahli hukum terfokus pada alat/perangkat keras
yaitu komputer. Namun dengan adanya perkembangan teknologi informasi
berupa jaringan internet, maka fokus dari identifikasi terhadap definisi cyber
crime lebih diperluas lagi yaitu seluas aktivitas yang dapat dilakukan di
dunia maya (cyber space) melalui sistem informasi yang digunakan. Jadi
tidak sekedar pada komponen hardware-nya saja kejahatan tersebut
dimaknai sebagai cyber crime, tetapi sudah dapat diperluas dalam lingkup
dunia yang dijelajah oleh sistem teknologi informasi yang bersangkutan.
Sehingga akan lebih tepat jika pemaknaan dari cyber crime adalah kejahatan
teknologi informasi.4

3

Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi
Informasi, (Bandung : Refika Aditama, 2005), h. 122.
4
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi Pengaturan
dan Celah Hukumnya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), h. 11.

17

Kejahatan dalam dunia maya (cyber crime) secara sederhana dapat
diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan media
internet sebagai alat bantu. Memang definisi ini relatif sederhana dan belum
mencakup semua aspek yang terkandung dalam kejahatan ini, tetapi
pengertian ini kiranya dapat dipakai sebagai pedoman dalam memahami
jenis kejahatan ini.
Jenis-jenis kejahatan yang masuk dalam kategori cyber crime
diantaranya:5
1.

Cyber-terorism
National Police Agency of Japan (NPA) mendefinisikan Cyber
Terrorism sebagai serangan elektronik melalui jaringan komputer
terhadap infrastruktur yang memiliki efek potensi paling penting pada
kegiatan sosial dan ekonomi bangsa.

2.

Cyber-pornography: penyebarluasan muatan atau materi yang bersifat
cabul, termasuk pornografi, muatan tidak senonoh, dan pornografi
terhadap anak.

3.

Cyber-harassment: pelecehan seksual melalui e-mail, websites, atau
chat programs.

4.

Cyber-stalking: kejahatan melakukan pengintaian melalui penggunaan
komputer dan internet.

5.

Hacking: penggunaan kemampuan membuat atau mengubah suatu
program dengan maksud yang bertentangan dengan hukum.

5

Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Cyber Law, h. 26.

18

6.

Carding (credit-card fraud): melibatkan berbagai macam aktivitas
yang melibatkan kartu kredit. Carding muncul ketika seseorang yang
bukan pemilik kartu kredit menggunakan kartu kredit tersebut secara
melawan hukum.
Dengan

memperhatikan

jenis-jenis

kejahatan

sebagaimana

dikemukakan di atas, dapat diklasifikasikan beberapa kategori dari cyber
crime, diantaranya yaitu:
1.

Kejahatan dengan kekerasan atau secara potensial mengandung
kekerasan, seperti: cyber terrorisme (melakukan teror di internet),
cyber stalking (kejahatan melakukan pengintaian), dan cyber
pornography (pornografi dunia maya).

2.

Kejahatan tanpa kekerasan, meliputi: hacking (perusakan suatu
program), cyberfraud (penipuan di internet).

3.

Kejahatan non kekerasan lainnya, seperti iklan internet prostitusi,
perjudian di internet, dan penjualan narkotika di internet.6
Selain itu, dapat digambarkan bahwa cyber crime memiliki ciri-ciri

khusus, yaitu:
1.

Sedikit melibatkan kontak fisik (Minimize of physical contact)

2.

Menggunakan peralatan (equipment) dan teknologi

3.

Memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan
informatika) global.7

6

Tekkom BSI, “Cyber Crime”, artikel diakses pada 20 November 2014 dari
http://tekkombsi-share.blogspot.co.id/2012/10/cyber-crime-dan-cyber-law.html?m=1.

19

Beberapa

bentuk

kejahatan

yang

berhubungan

erat

dengan

penggunaan teknologi informasi yang berbasis utama komputer dan jaringan
telekomunikasi ini, dalam beberapa literatur dan praktiknya dikelompokkan
dalam beberapa bentuk yaitu:
1.

Unauthorized Access to Computer System and Service. Kejahatan ini
dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem
jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa
sepengetahuan dari pemilik jaringan komputer yang dimasukinya.
Motifnya bisa bermacam-macam, antara lain adalah sabotase,
pencurian data, dan sebagainya. Contohnya perusakan website milik
Pemerintah RI oleh hacker (Kompas, 11/08/1999).

2.

Illegal Contents. Kejahatan ini dilakukan dengan memasukkan data
atau informasi ke internet tentang sesuatu yang tidak benar, tidak etis,
dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban
umum. Contohnya pornografi, pemuatan berita bohong, dan lain-lain.

3.

Data Forgery. Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada
dokumen-dokumen penting yang tersimpan dalam system yang
terkomputerisasi.

4.

Cyber Espionage. Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan
internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain,
dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. Biasanya

7

Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Cyber Law, h. 27.

20

kejahatan ini ditujukan untuk saingan bisnis yang dokumen atau
datanya tersimpan dalam sistem yang terkomputerisasi.
5.

Cyber Sabotage and Exortion. Kejahatan ini dilakukan dengan
membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu
data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang
terhubung ke internet.

6.

Offence Against Intellectual Property. Kejahatan ini ditujukan
terhadap HAKI yang dimiliki pihak lain di internet. Contohnya meniru
tampilan web suatu situs tertentu.

7.

Infringements of Prifacy. Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi
seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia.
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi
seseorang yang tersimpan secara komputerisasi.8

B.

Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana
Cyber Crime
Melalui kemajuan teknologi informasi masyarakat memiliki ruang
gerak yang lebih luas. Aktivitas manusia yang semula bersifat nasional telah
berubah menjadi internasional, peristiwa yang terjadi di suatu negara dalam
hitungan detik sudah dapat diketahui oleh penduduk di belahan dunia
lainnya, sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil.9 Manfaat teknologi
dan informasi selain memberikan dampak positif juga disadari memberi
8

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Bandung :
Refika Aditama, 2010), h. 83.
9
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Cyber Law, h. 22.

21

peluang untuk dijadikan sarana melakukan tindak kejahatan-kejahatan baru
sehingga diperlukan upaya proteksi.10
Internet atau yang disebut pula dengan cyber space sesungguhnya
dapat diartikan sebagai sebuah ruang, dimana entitas elektronik (netters)
berinteraksi. Dengan kata lain, pelaku-pelaku dunia digital yang ada di
berbagai sudut belahan dunia membutuhkan apa yang disebut sebagai ruang
elektronik untuk melakukan aktivitasnya. Sifat aktivitas internet yang khas
dan tidak mengenal batas teritorial wilayah negara pada akhirnya
menimbulkan permasalahan mendasar, yaitu menyangkut kemampuan
hukum dalam melaksanakan fungsinya melakukan pengaturan dan
penegakan sanksi.11
Cyber Crime merupakan suatu perbuatan melanggar hukum yang
secara khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu, dalam hukum
positif di Indonesia, juga terdapat beberapa perundang-undangan lain yang
mengatur tentang cyber crime khususnya berkaitan dengan cyber
pornography, diantaranya yaitu:
1.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
Undang-undang ini telah disahkan dan diundangkan pada
tanggal 21 April 2008, walaupun sampai saat ini belum ada sebuah PP
yang mengatur teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat

10

Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, (Jakarta : Rineka Cipta,
2009), h. 39.
11
Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, h. 3.

22

menjadi sebuah undang-undang yang dapat menjerat pelaku-pelaku
cyber crime yang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung
hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai
sebuah kepastian hukum.
Delik yang berkaitan dengan cyber pornography diatur dalam
beberapa pasal dalam UU ITE, yang bunyinya sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan.12
Pasal 34
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
a. Perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang
atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;
b. Sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan
itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses
dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak
pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian
Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri
secara sah dan tidak melawan hukum.13
2.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
a.

12

Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi

Pasal 27 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
13
Pasal 34 ayat 1 dan 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.

23

b.

Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus
penyebaran foto atau film pribadi seseorang.14

C.

Definisi dan Karakteristik Cyber Pornography
Cyber Pornography berasal dari dua kata, yaitu cyber dan
pornography. Cyber merupakan singkatan dari cyber space. Kata cyber
berasal dari kata cybernetics yang merupakan suatu bidang ilmu yang
memadukan antara robotik, matematik, elektro dan psikologi.15

Cyber

space yaitu sebuah ruang imajiner atau “maya”. Cyber space sesungguhnya
merupakan sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang menawarkan
realitas baru dalam kehidupan manusia yang disebut dengan realitas virtual
(maya).16 Singkatnya, kata cyber disini dapat diartikan sebagai dunia maya.
Sedangkan pornography berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne dan
graphein yang secara harfiah berarti “tulisan tentang pelacur”.17 Pornografi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu
birahi.18
Sebenarnya belum ada definisi khusus yang disepakati oleh para ahli
mengenai cyber pornography. Dari beberapa literatur yang penulis telusuri,
14

Criminalita Informatica, “Undang-undang yang Mengatur tentang Cyber Crime”, artikel
diakses pada 26 November 2014 dari http://criminalita-informatica.blogspot.com/2013/05/undangundang-yang-mengatur-tentang.html.
15
Adek We, “Cyber Crime”, artikel diakses pada 30 November 2015 dari
http://www.academia.edu/6752746/CYBER_CRIME.
16
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), h. 32.
17
Relly Komaruzaman, “Pornografi”, artikel diakses pada 26 Nopember 2014 dari
http://id.m.wikipedia.org/wiki/pornografi.
18
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), h. 696.

24

pengertian dari cyber pornography hanya berkisar pada terjemahan dari kata
tersebut, yaitu pornografi dunia maya. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa cyber pornography dapat diartikan sebagai penyebarluasan muatan
atau materi pornografi dalam dunia maya melalui teknologi informasi
berupa internet.

Selain itu, pencemaran nama baik dan penyebarluasan

fitnah dalam bentuk tulisan, gambar, maupun video yang mengandung unsur
pornografi ke dalam internet juga termasuk dalam ruang lingkup cyber
pornography.
Dunia maya (cyber/virtual world) atau internet dan World Wide Web
(www) saat ini sudah sangat penuh (berlimpah) dengan bahan-bahan
pornografi atau yang berkaitan dengan masalah seksual. Menurut perkiraan,
40 % dari berbagai situs di www menyediakan bahan-bahan seperti itu.
Bahkan dinyatakan dalam tesis Peter David Goldberg, yang bersumber dari
Nua Internet Surveys 2001 bahwa seks merupakan topik paling populer di
internet (the most populer topic on the internet). Dalam tesis Goldberg
dikemukakan pula bahwa perdagangan bahan-bahan porno melalui internet
sudah mencapai miliaran dolar US per tahun, sekitar 25 % pengguna
internet mengunjungi lebih dari 60.000 situs seks tiap bulan dan sekitar 30
juta orang memasuki situs seks setiap hari.19
Di Indonesia sendiri, beberapa tahun belakang masih sedikit sekali
adanya warung internet (warnet) di sepanjang jalan raya, namun sekarang
warnet sudah terdapat dimana-mana bahkan tidak hanya di sepanjang jalan
19

Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2006), h. 177.

25

raya namun sudah masuk di gang-gang perkampungan. Dengan demikian
maka akan sulit untuk mencegah masyarakat khususnya generasi muda yang
demam internet bahkan anak-anak membuka situs-situs porno yang telah
tersedia di jaringan internet. Ironisnya mereka tidak hanya membuka secara
sekilas saja, namun hingga menyebabkan ketagihan.
Berawal dari rasa penasaran dan karena terbawa teman maka mulailah
mengklik muatan pornografi di dunia maya. Lama-kelamaan intensitas
kunjungan ke situs porno pun semakin rutin. Dilandasi rasa penasaran yang
cukup tinggi, maka semakin sering mengakses tautan pornografi.
Seorang ahli bedah otak dari Amerika Serikat Dr. Donald Hilton Jr,
mengatakan bahwa pornografi sesungguhnya merupakan penyakit, karena
mengubah struktur dan fungsi otak, atau dengan kata lain merusak otak.
Terjadi perubahan fisiologis ketika seseorang memasukkan gambar-gambar
pornografi lewat mata ke otaknya.20 Kerusakan yang dihasilkannya pun
sangat dahsyat. Kecanduan pada pornografi di dunia maya sebenarnya sama
seperti kecanduan pada narkotika, perbedaannya jika kecanduan narkoba
jelas terlihat efeknya, sedangkan kecanduan pornografi tidak terlihat secara
fisik.

20

Diah Kartika, “Pornografi Merusak Otak 2x Lebih Parah Ketimbang Narkoba”, artikel
diakses pada 26 November 2014 dari http://m.kompasiana.com/post/read/652057/3/pornografimerusak-otak-2x/lebih-parah-ketimbang-narkoba.html.

BAB III
TINJAUAN HUKUM POSITIF INDONESIA TERHADAP KEJAHATAN
CYBER PORNOGRAPHY

A.

Cyber Pornography dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia
Cyber crime telah menjadi bahaya nyata yang merugikan masyarakat
dan negara. Setiap pengguna komputer saat memasuki dunia maya melalui
jaringan internet sama artinya dengan memposisikan dirinya akan menjadi
korban berbagai bentuk informasi global yang bersifat menjerat,
menyesatkan, menipu dan mengorbankannya.1
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa internet dipenuhi dengan
informasi yang kadang kala berlebihan. Salah satu informasi tersebut atau
bahkan tidak bisa dibilang informasi adalah materi pornografi. Internet telah
menjadi semacam ‘referensi’ dalam mencari materi yang berbau pornografi.
Hal ini cukup sulit untuk dicegah, karena dalam hal ini informasi tersebar
tanpa batas di internet. Walaupun masih bisa diberikan peringatan, bahwa
suatu situs tidak sepatutnya untuk dikunjungi, tetapi tetap saja bisa
dikunjungi.2
Telah menjadi kesulitan baru bahwa pergerakan pornografi sudah
merambah ke dalam dunia maya. Masalah yang ditimbulkan pornografi di
dunia maya pun saat ini sudah demikian kompleks. Dari mulai materinya

1

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Bandung :
Refika Aditama, 2010), h. 132.
2
Syarif Hidayatullah dan Zulfikar s dharmawan, Islam Virtual Keberadaan Dunia Islam di
Internet, (Ciputat : Mifta, 2004), h. 181.

26

27

yang semakin eksplisit/vulgar dan menjijikan, sehingga membuat banyak
anggota masyarakat yang tergoda untuk mengaksesnya, sampai masalah
pendistribusiannya yang masih dapat terjangkau generasi muda termasuk
anak-anak SD. Sedangkan aparat belum sepenuhnya memahami bagaimana
melakukan upaya penegakkan hukum dengan menggunakan ketentuan
hukum yang berlaku.
Hal ini menjadi salah satu pendorong bagi pembuat Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) untuk menjerat pornografi di lingkungan dunia maya. Sebagaimana
diatur dalam beberapa pasal dalam undang-undang ini sebagai perbuatan
yang dilarang. Pasal 27 ayat 1 mengatur perbuatan yang dilarang dalam hal
penyebaran/pendistribusian muatan melanggar kesusilaan atau pornografi
sebagaimana berbunyi sebagai berikut.
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.”3
Pasal ini memiliki sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 45 ayat
(1), dimana berbunyi:
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara

3

Pasal 27 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.

28

paling

lama

6

(enam)

tahun

dan/atau

denda

paling

banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”4
Konstruksi Pasal 27 ayat 1 di atas menjelaskan perkembangan modus
kejahatan dan/atau pelanggaran dengan media komputer/internet (dalam
bentuk informasi/dokumen elektronik). Hal tersebut sangatlah penting
khususnya membantu para penegak hukum dalam memproses dan
mengadili kasus-kasus yang telah menggunakan media informasi elektronik
untuk memuluskan kejahatan/pelanggaran yang dilakukan.5
Setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pasalpasal tersebut, diantaranya dalam hal penetapan pelaku (subjek hukum).
Pelaku yang dapat dijerat oleh ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU ITE adalah
pihak yang mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, sedangkan pihak yang
memproduksi dan yang menerima distribusi dan transmisi tersebut tidak
dapat terjerat dengan pasal ini. Selain itu pihak yang mengakses muatan
tersebut juga tidak dapat dipidana dengan pasal ini.6
Dalam hal ini, diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam
mengimplementasikan undang-undang ini agar tidak terjadi kesalahan
dalam penangkapan dan pengenaan pasal yang dituntutkan. Menurut Budi

4

Pasal 45 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
5
Maskun, Kejahatan Siber Cyber Crime; suatu pengantar, (Jakarta : Kencana, 2014), h.
34.
6
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime): Urgensi
Pengaturan dan Celah Hukumnya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), h. 162.

29

Suhariyanto, setidaknya terdapat empat pihak yang bekerja dalam hal
mewabahnya

pornografi

dunia

maya,

yaitu:

yang

memproduksi

(produsen/pem