Konsep Rehabilitas Terhadap Pengguna Narkotika Dalam Persepektif Hukum Positif dan Hukum Islam

(1)

KONSEP REHABILITASI TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA

DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh :

MUHAMMAD MASRUR FUADI N I M : 1110045100022

KONSENTRASI HUKUM PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh :

MUHAMMAD MASRUR FUADI N I M : 1110045100022

Di Bawah Bimbingan

KONSENTRASI HUKUM PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar strata satu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 April 2015


(5)

v

ABSTRAK

Muhammad Masrur Fuadi. NIM : 1110045100022, Konsep Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam, . Konsentrasi Kepidanaan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1437 H/2015 M. viii + 80 halaman +1 lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, menguraikan, menjelaskan dan menganalisa tentang Konsep Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam. Berdasarkan fenomena yang terjadi, penulis ingin menjelaskan konsep pelaksanaan rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika yang terdapat dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan hukum pidana Islam. Dan sejauh mana pandangan hukum pidana Islam terhadap pelaksanaan rehabilitasi bagi pengguna Narkotika. sudahkah sesuai dengan konsep rehabilitasi yang telah diatur oleh Undang-Undang No.35 Tahun 2009?, apakah pelaksanaanya sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam konsep rehabilitasi untuk menimbulkan efek jera dan mengembalikan fungsi sosial bagi pengguna narkotika?

Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan (Library reaserch). Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri berbagai literatur, baik berupa undang-undang, buku-buku, majalah, artikel, website, serta kasus yang berhubungan dengan tema penelitian.

Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Kata kunci : Jarimah Ta’zir

Pembimbing : Dr. Asmawi, M.Ag


(6)

vi

berfikir, tanpa lupa akan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya. Shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad SAW, semoga kita menjadi pengikut beliau yang diakui serta diberikan syafa’atnya di akhirat kelak. Ậmîn.

Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang, baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.

2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah. Dra. Hj. Maskufa, M.Ag dan Dra. Hj. Rosdiana, M.Ag.

3. Dr. Asmawi, M.Ag selaku dosen pembimbing, yang dengan arahan dan bimbingan beliau saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan ikhlas menyampaikan ilmu dan pengetahuannya dalam kegiatan belajar mengajar.

5. Kedua orang tua penulis, Ayah Dr. H. Ahmad Dardiri H.S dan Ibu Hj. Nahwiyah, atas semua yang telah diberikan dan dikorbankan, termasuk motivasi dan masukan yang diberikan keduanya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi dan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Nurul Husna, Thorik Makky, Etty Herawati, Faisal Anwar, Diana Ratna sari, Suhaemi, Yulia Alfianti, Muhammad Nur Ihsan selaku kakak dan Dewi Agustina yang selalu memberi dukungan khususnya selama penulisan skripsi ini berjalan.


(7)

vii

7. Teman-Teman seperjuangan Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Pidana Islama ngkatan 2010 yang telah memberikan semangat dan motivasi selama menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Kepada sahabat-sahabatku dalam kelompok Kampak Mintul mikael El Dhafin (Ra-key), Andika yudho, Gerardin Ferari (Kesek), Rijal El Muslim (El- Hadaed), Ridwan Daus (Tile), M.Fadillah (Bedil), Farid Fauzi (Hul-q), Edo Fahmi (Edos), dan Badru Tamam (Gondes) Terima kasih sebanyak-banyaknya yang selalu bersedia menemani penulis baik berdiskusi maupun berpetualang.

9. Kepada sahabatku yang setia menamaniku dalam pembuatan skripsi, Ahmad Sahuri, Rodhi Firdaus, Faqih, Badru Tamam, Dan Gerardin Ferrari saya ucapkan beribu-ribu terimakasih.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberi mereka balasan yang jauh lebih besar dari apa yang mereka lakukan dan berikan, khususnya kepada penlis, umumnya kepada semua pihak, baik yang menyangkut penulisan skripsi ini atau hal lainya.

Peulis berharap semoga skripsi ini Allah jadikan wasîlah yang dapat memberikan manfaat khususnya terhadap diri saya sendiri, umumya bagi pembaca sekalian.

Ậmîn yâ Rabb al- ‘Ậlamîn.

Jakarta, 20 April 2015


(8)

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metodologi Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II: TINJAUAN UMUM TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA DAN REHABILITASI A. Narkotika ... 16

1. Sejarah Narkotika ... 16

2. Definisi Narkotika ... 20

3. Jenis-Jenis Narkotika ... 26

4. Penggunaan Narkotika ... 29

5. Pecandu Narkotika……….35

B. Rehabilitasi ... 37

1. Pengertian Rehabilitasi ... 37

2. Bentuk-bentuk Rehabilitasi ... 39

3. Sasaran Rehabilitasi ... 44

4. Tujuan Rehabilitasi ... 47

BAB III: KONSEP REHABILITASI NARKOTIKA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Analisa Konsep Rehabilitasi Narkotika Menurut Hukum Pidana Positif ... 50

B. Analisa Konsep Rehabilitasi Narkotika Menurut Hukum Pidana Islam ... 56


(9)

BAB IV: PERBANDINGAN ASPEK-ASPEK REHABILITASI TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Subjek Rehabilitasi ... 63 B. Bentuk Rehabilitasi ... 64 C. Pelaksana Rehabilitasi ... 73

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran-saran ... 77


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia sekarang ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana materiil dan hukum pelaksaanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya.1 Salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum pidana adalah kemajuan teknologi dan informasi.2 Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.3 Dalam sudut pandangan ahli, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari:4

Sudut pendekatan kebijakan: a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada

1

Lilik Mulyadi , Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, (Jakarta: Djambatan, 2007), h. 38

2

Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 1.

3

Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), h. 20

4

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenada, 2008), h. 31-32.


(11)

2

hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

Sedangkan sudut pendekatan nilai dalam Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filosofis dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.

Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku.5 Menurut Alf Ross, untuk dapat dikategorikan sebagai sanksi pidana (punishment), suatu sanksi harus memenuhi dua syarat atau tujuan. Pertama, pidana ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan. Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.

Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku. Pidana itu pada hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak

5

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), h. 5.


(12)

dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.6 Landasan pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana.

Hakim dapat mempertimbangkan jenis pidana apa yang paling sesuai untuk kasus tertentu dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana. Untuk pemidanaan yang sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai pembuat. Ini memerlukan informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi pembuat, tetapi juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan. Digunakannya pidana sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak akan begitu saja berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang menjadi objeknya. Hal yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah si pembuat untuk mengulangi perbuatannya.7

Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika digunakan untuk hal-hal negatif.8 Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, serta kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia,

6

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta; Sinar Grafika, 1996), h. 3.

7

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2006), h. 86.

8

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 100.


(13)

4

peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Disamping itu, melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan adanya penyebaran narkotika yang juga telah menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentral peredaran narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar dilepaskan ketergantungannya.

Hal yang menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi. Secara tersirat, kewenangan ini, mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi(“victim”

= korban dan “logis/logos = ilmu pengetahuan) kerap disebut dengan self victimization atau victimless crime. Uraian dalam pasalnya menitik beratkan pada kekuasaan hakim dalam memutus perkara narkotika. Sayangnya rumusan tersebut tidak efektif dalam kenyataannya. Peradilan terhadap pecandu napza sebagian besar berakhir dengan vonis pemenjaraan dan bukan vonis rehabilitasi sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang tersebut.

Setelah undang-undang narkotika berjalan hampir selama 12 tahun, pada tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah surat edaran (SEMA RI no


(14)

7/2009) yang ditujukan kepada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di panti rehabilitasi dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009.

Tentunya Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan langkah maju didalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap pecandu narkotika. Dekriminalisasi adalah proses perubahan dimana penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana menjadi perilaku biasa. Hukuman penjara bagi penyalahgunan narkotika terbukti tidak dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika.

Undang-undang tentang narkotika dalam perkembangannya telah diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Telah terjadi suatu pembaharuan hukum dalam ketentuan undang-undang ini, yakni dengan adanya dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Reformasi hukum pidana dalam undang-undang Narkotika di Indonesia tampak sekali berproses dalam suatu dinamika perkembangan sosial dan teknologi yang berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas di Indonesia, yang menuntut tindakan dan kebijaksanaan antisipatif.


(15)

6

Reformasi hukum pidana tersebut, khususnya ketentuan yang mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, merupakan bentuk langkah pembaharuan hukum pidana nasional yang menunjukkan adanya kebijakan hukum pidana yang merupakan kebijakan yang bertujuan agar pengguna narkotika tidak lagi menyalahgunakan narkotika tersebut.

Sampai saat ini masalah penyalahgunaan narkotika pada remaja di indonesia adalah ancaman yang sangat mencemaskan bagi keluarga khususnya dan suatu bangsa pada umumnya. Pengaruh narkotika sangatlah buruk, baik dari segi kesehatan pribadinya maupun dampak sosial yang ditimbulkannya. Para remaja korban narkotika akan menanggung beban psikologis dan sosial. Oleh karena itu solusi yang perlu dilakukan dengan cara menginformasikan tempat rehabilitasi guna menyediakan tempat untuk membantu dalam hal pemulihan bagi para pengguna.

Dalam hukum Islam narkotika dipandang sama dengan khamar.9 Hal ini disebabkan karena sifat barang tersebut sama-sama memabukan. Baik dalam bentuk padat maupun cair, zat-zat yang memabukan, melemahkan dan menenangkan ini dikenal dalam sebutan makhaddirat dan termasuk benda-benda

yang diharamkan syara’ tanpa diperselisihkan lagi di antara ulama.10

Dalam jarimah hudud, bagi pelaku tindak pidana khamar ini akan dikenai sanksi empat puluh (40) kali jilid. Bahkan bisa jadi delapan puluh (80) kali jilid seperti yang diperaktikan pada masa Umar. Penambahan 40 kali tersebut dianggap

9

Khamar adalah segala sesuatu yang memabukan dan menutup akal

10

Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm.274.


(16)

sebagai jarimah ta’zir karena pada hakikatnya Rasulullah SAW hanya

menghukum dengan 40 kali jilid.11

Upaya rehabilitasi bagi pengguna narkotika belum didapatkan dalam sejarah hukum pidana Islam.12 Namun walaupun demikian bukan berarti praktik pemindanaan dalam bentuk rehabilitasi tersebut bertentangan dengan ajaran Islam karena jika dilihat dari kesesuaian antara tindak pidana dengan sanksinya, maka rehabilitasi merupakan jenis pemindanaan yang tepat dan sesuai bagi pengguna narkotika. Melalui rehabilitasi, para pelaku tindak pidana narkotika dapat sembuh dari ketergantungannya sehingga mereka tidak akan merasa butuh untuk memakai zat haram tersebut lagi.

Berdasarkan permasalahan dan gejala fenomena yang ada di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian skripsi yang berjudul : (Konsep Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika Dalam Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam)

B. Pembatasan dan perumusan masalah

Fokus masalah dalam studi ini berkisar pada masalah bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif terkait konsep rehabilitasi terhadap pengguna narkotika. Dari masalah pokok di atas dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimana pandangan hukum pidana positif tentang konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika?

11

Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 280.

12


(17)

8

2. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam tentang konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika?

3. Bagaimana segi pandangan yang dapat diperbandingkan antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam tentang konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum studi ini bertujuan pertama, menjelaskan pandangan hukum pidana positif tentang konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika; kedua, menjelaskan pandangan hukum pidana Islam tentang konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika; ketiga, menjelaskan perbandingan antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam tentang konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika. Secara spesifik penelitian ini bertujuan:

a. Menjelaskan secara komprehensif pandangan hukum pidana positif tentang konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika.

b. Menjelaskan secara komprehensif pandangan hukum pidana Islam tentang konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika.

c. Menjelaskan secara komprehensif segi perbandingan pendapat antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam tentang konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika.


(18)

2. Manfaat penelitian

Adapun signifikansi penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan yang

mendalam bagi pembaca mengenai konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika dalam hukum pidana positif.

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang mendalam bagi pembaca mengenai konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika dalam perspektif hukum pidana Islam.

c. Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan dapat membuka pemikiran pembaca terkait perbandingan antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam tentang konsep rehabilitasi pengguna Narkotika.

D. Tinjauan Pustaka

Penulis belum menemukan penelitian yang secara spesifik membahas topik tentang konsep rehabilitasi dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, akan tetapi banyak literatur yang hanya menyinggungnya secara umum. Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya tersebut.

Karya Didik Dwi Nugroho pada Tahun 2010 dalam skripsinya yang berjudul “Pertanggung Jawaban Bagi Orang Tua atau Wali Pecandu Narkotika di Bawah Skripsi yang berjudul. “ Analisa Hukum Pidana dan Kriminologi Umur Perspektif Hukum Islam”. Kesimpulan Pertanggung jawaban pidana bagi orang tua atau wali pecandu narkotika dibawah umur menurut Pasal 128 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 128 ayat 1 yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau


(19)

10

denda paling banyak Rp.1.000.000.00 (satu juta rupiah). Sedangkan ayat 2 pecandu narkotika yang masih dibawah umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 128 tidak dituntut pidana. Sedangkan sanksi pidana bagi anak-anak yang bersalah dalam Islam telah dibebankan kepada walinya, yaitu orang tua.

Karya Lina Muakhiroh pada Tahun 2008 dalam skripsinya yang berjudul

“Sanksi Pengguna Narkotika oleh Anak yang diPutusankan di Pengadilan Negeri

Yogyakarta Tahun 2002”. Kesimpulan putusan dan dasar hukum Putusan

Pengadilan Negeri Yogyakarta terhadap pengguna Narkotika oleh anak Tahun 2002 diputus Pengadilan Negeri Yogyakarta No.1/Pid.B.An/2002/PN.YK. Bahwa terbukti secara sah dan melanggar hukum telah menggunakan narkotika untuk diri sendiri, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai dengan pasal 85 huruf a Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu diancam dengan penjara selama 4 Tahun namun karena berbagai macam pertimbangan diantaranya berdasarkan saksi-saksi dan barang bukti dan dalam persidangan para terdakwa pun berperilaku sopan maka Pengadilan Negeri Yogyakarta hanya memutus para terdakwa dengan penjara selama 8 bulan dikurangi sepenuhnya selama masa tahanan.

Karya AR. Sujono dan Bony Daniel yang bertajuk Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam buku ini memang tidak dibahas secara eksplisit mengenai rehabilitasi namun pengarang hanya membahas dari sisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni: ketentuan mengenai rehabilitasi bagi penyalahguna


(20)

Narkotika dalam UU No.35 Tahun 2009 diatur dari pasal 54 sampai dengan pasal 59, pasal 103, dan pasal 127.

Karya Sumarmo Masum yang bertajuk Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat. Dalam buku ini juga tidak secara tegas mengenai pembahasan tentang rehabilitasi penulis disini memberikan suatu upaya untuk meningkatkan stabilitas fisik, moral, mental dan keterampilan untuk pemulihan penyalahgunaan Narkotika yaitu: 1) Pemantapan fisik/badaniah adalah meliputi segala upaya yang bertujuan meningkatkan perasaan sehat jasmaniah pada umumnya dan juga mentalnya rohaniah. 2) Pemantapan keagamaan adalah meliputi segala upaya yang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa. 3) Pemantapan sosial meliputi segala upaya yang bertujuan memupuk , memelihara, membimbing, dan meningkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial bagi pribadinya, keluarga, dan masyarakat. 4) Pemantapan pendidikan dan kebudayaan meliputi segala upaya yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, vokalisional, sikap mental dan rasa keindahan (estetika). 5) pemantapan vokalisional meliputi segala upaya yang bertujuan meningkatkan kecekatan dan keterampilan melakukan pekerjaan dan sikap mental yang bergairah dan membangun.

Karya Hartati Nurwijaya, Zullies Ikawati, dkk yang bertajuk Bahaya Alkohol dan Cara Mencegah Kecanduannya. Dalam buku ini penulis menggambarkan mengatasi alkholisme bisa dilakukan bisa dilakukan dengan cara, yaitu: secara medis dan psikologis. Mengatasi secara medis meliputi: pencegahan dan pengatasan gejala putus alkohol, detoksifikasi dan penghentian minuman


(21)

12

alkohol, dan terapi menggunakan obat-obatan untuk mengatasi ketergantungan alkohol. Sedangkan pengatasan secara psikologis meliputi metode CORE (Commit, Objectify, Respond, Enjoy), Cold Turkey (penghentian tiba-tiba karena motivasi diri), metode ala alcoholic Anonymous (AA), dan MC. Kami yakin pembaca akan dapat mengambil pelajaran dari cara-cara pencegahan dan pengatasan kecanduan alkohol ini.

E. Metode Peneltian

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif13, yakni penelitian yang memuat deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis. Penelitian ini juga bersifat kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan untuk menelaah bahan-bahan dari buku utama yang berkaitan dengan masalah, dan buku penunjang berupa lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji.14 2. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, dan sebagainya.15 Dalam hal ini yang menjadi sumber data primer diantaranya

13

Fahmi Muhammad Ahmadi, Zaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum, cet. ke-1, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 10.

14

P. Joko Subagio, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 109.

15

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 206.


(22)

adalah Al-Quran dan As-Sunnah, dan juga buku-buku yang membahas Sistem Penerapan Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika. Kemudian sumber bahan skunder yang penulis gunakan yaitu antara lain informasi yang relevan, artikel, buletin, Undang-undang No 35 Tahun 2009 atau karya ilmiah para sarjana.

3. Teknik Analisis Data

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan penulis menggunakan metode kualitatif. Yakni dengan mengumpulkan dan menganalisa data-data yang diperoleh dan faktor-faktor yang merupakan pendukung dan relevan terhadap objek yang diteliti sehingga dapat ditarik kesimpulan dari hal yang dijadikan objek penelitian.

Data yang diklarifikasikan maupun dianalisa untuk mempermudah dan menghadapkan pada pemecahan masalah. Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis isi secara kualitatif. Dalam analisis ini, semua data yang dianalisis adalah berupa teks. Analisis isi kualitatif digunakan untuk menemukan, mengidentifikasi, dan menganalisa teks atas dokumen untuk memahami, signifikasi dan relevansi teks atau dokumen.

F. Sistematika Penulisan

Materi laporan penelitian skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab

pertama bertajuk “pendahuluan”. Di dalam bab ini diurailkan pokok-pokok pikiran yang melatar belakangi penelitian ini, yang dibagi menjadi 6 (enam)


(23)

sub-14

bab, yaitu (1) latar belakang, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) tinjauan pustaka/penelitian terdahulu, (5) metode penelitian, (6) sistematika pembahasan.

Bab kedua berjudul “Tinjauan Umum Terhadap Pengguna Narkotika”. Bab ini menyajikan uraian mengenai Narkotika dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub-bab, yaitu (1) pengertian Narkotika, (2) bentuk-bentuk Narkotika, (3) sanksi tindak pidana terhadap pengguna Narkotika.

Bab ketiga berjudul “Konsep Rehabilitasi Narkotika Menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam”. Dalam bab ini diuraikan mengenai bagaimana pandangan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam terhadap konsep rehabilitasi Narkotika. Bab ini menyajikan 3 (tiga) sub-bab, yaitu (1) pengertian rehabilitasi, (2) bentuk-bentuk rehabilitasi, (3) tujuan dan sasaran rehabilitasi.

Bab keempat berjudul “Analisa Konsep Rehabilitasi terhadap Pengguna Narkotika Menurut Hukum Pidana Posistif dan Hukum Pidana Islam”. Dalam bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub-bab, yaitu (1) analisis konsep pelaksanaan rehabilitasi terhadap korban penyalah gunaan dalam hukum pidana positif, (2) analisis konsep pelaksanaan rehabilitasi terhadap korban penyalah gunaan dalam hukum pidana Islam, (3) perbandingan antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam tentang penerapan konsep rehabilitasi terhadap pengguna Narkotika.


(24)

Bab kelima berjudul “penutup” bab ini merupakan bab penutup dari hasil penelitian tersebut, yang didalamnya terdiri dari 2 (dua) sub-bab, yaitu (1) kesimpulan, (2) saran.


(25)

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA DAN REHABILITASI

A. Narkotika

Masyarakat luas mengenal istilah Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan berbahaya) yang kini menjadi fenomena berbahaya yang populer di tengah masyarakat kita. Adapula istilah lain yang digunakan DepKes RI yaitu NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua istilah diatas mengacu pada sekelompok zat yang mempunyai resiko kecanduan atau adiksi. Narkotika dan Psikotropika itulah yang secara umum biasa dikenal Narkoba dan NAPZA. Namun karena hadirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang baru, maka beberapa peraturan mengenai psikotropika dilebur ke dalam perundang-undangan yang baru. Namun dalam hukum pidana Islam istilah yang lebih dikenal adalah khamr (Alkohol).

1. Sejarah Narkotika

Sejarah singkat awal perkenalan Narkotika. Nusantara kita yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah telah banyak menarik pedagang asing untuk mendapatkan pala, cengkeh, dan lada dari sumbernya. Jalur perdagangan dari Eropa sampai Malaka semakin ramai dan komoditi rempah-rempah merupakan bahan perdagangan yang penting disamping sutrera, manik, dan sebagainya.

Ternyata bahan Narkotika yang disebut candu juga sudah merupakan bahan perdagangan, khususnya dari Persia dan India. Bahan tersebut sangat


(26)

penting sebagai perlengkapan untuk mengarungi samudra untuk penahan angin dan gelombang di samping guna mendapatkan kesenangan dan ketenangan.

Perkataan candu dan klelet sudah sejak lama dikenal orang. Dalam buku suluk Gatholoco dan Darmagandhul, yang diperkirakan ditulis pada awal abad kesembilan belas, candu dan klelet sudah digunakan orang. Pengalaman menggunakan candu pada waktu itu sudah diungkapkan oleh orang Jawa, yang maksud tidak berbeda dengan pengalaman korban Narkotika pada masa kini. Mereka mendapatkan kenikmatan selama pengaruh opium masih terdapat di dalam badan, dan apabila pengaruh opium itu sudah hilang, rasa ketagihan akan timbul disertai dengan penderitaan yang sangat menyedihkan. Hanya candulah yang dapat menghilangkan penderitaan itu, sehingga bahan tersebut akhirnya menjadikan kebutuhan hidup sehari-hari. Itulah sebabnya mereka lebih mementingkan membeli candu dari pada bahan kebutuhan lainnya.

Pada zaman Belanda pembatasan penggunaan candu dimulai sejak tanggal 1 september 1894. Pemerintah Belanda, yang mengadakan monopoli perdagangan candu, mendatangkan bahan tersebut dari Timur Tengah, kemudian diolah dan diedarkan kepada mereka yang mempunyai surat keterangan boleh menghisap madat. Candu yang didatangkan itu masih harus diolah dengan jalan memasak dan meragikan serta dicampur dengan bahan netral lainnya untuk meredahkan kadar khasiatnya, di samping masih harus diberi tanda bahwa candu yang diisap itu berasal dari pemerintah.1

1

Sumarmo Masum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat,


(27)

18

Pada era Sembilan puluhan, pemakai narkotika sudah masuk segala lapisan, baik kalangan atas, kalangan menengah maupun kalangan bawah sekalipun. Dari sudut usia, narkotika sudah tidak dinikmati golongan remaja, tetapi juga golongan setengah baya maupun golongan usia tua. Penyebaran narkotika sudah tidak lagi hanya dikota besar, tetapi sudah masuk ke kota-kota kecil dan merambat di kecamatan atau desa. Jika dilihat dari kalangan pengguna, narkotika tidak hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja, tetapi sudah memasuki beberapa profesi. Macam-macam profesi tersebut, misalnya seperti manager perusahaan, pengusaha, dokter, pengacara dan sebagainya.yang menyedihkan lagi, sudah menjalar dikalangan birokrat dan penegak hukum.

Psikotropika yang pada waktu dulu termasuk golongan obat keras yang dinikmati golongan menengah, saat ini juga dinikmati oleh golongan atas. Macam golongan psikotropika tersebut seperti shabu, ekstasi dan sebagainya. Sehingga pemerintah perlu mengeluarkan golongan obat psikotropika dari golongan obat keras, dan mengaturnya dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Sedangkan untuk obat bius atau narkotika yang semula diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 diganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 dengan sanksi yang lebih keras.2

Namun kini Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 diganti dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang sanksi yang lebih luas dalam penerapannya.

2

Hari Sasangka, Narkotika dan P3sikotropika dalam Hukum Pidana (Bandung: Mandar Maju, 2003), h.2-3.


(28)

Di zaman Nabi Muhammad SAW, kisah opium dan ganja tidak terungkap secara jelas, kecuali masalah khamr, ada juga yang menyebutkan khamr sebagai arak.Khamr berasal dari perasan buah yang diragikan. Khamr dapat mengganggu kejernihan akal, mengganggu daya tangkap manusia, membuat mabuk, dan lupa diri.

Dalam sejarah Islam, masalah khamr muncul pada awal periode Madinah, saat Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat jamaah. Salah seorang jamaah melaksanakan sholat dalam kondisi mabuk. Bau alkohol menebar dari mulutnya. Nabi Muhammad pun lalu menganjurkan agar seseorang jangan melakukan sholat dalam kondisi mabuk. Mengapa? Karena shalat adalah momen spiritual yang cukup penting dimana manusia mendekatkan diri dengan sang khaliq.

Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW pernah menegur seseorang yang bernama Ibnu Suwaid yang membuat minuman beralkohol dari anggur dan kurma. Ibnu Suwaid berkata bahwa minuman beralkohol yang dibikinnya akan digunakan sebagai obat. Lalu, Nabi Muhammad SAW memperingatkan bahwa minuman beralkohol (khamr) bisa memunculkan banyak penyakit dan mudharat, daripada manfaat. Tapi, dalam episode perjalanan umat Islam dari masa ke masa, ternyata khamr masih juga dikonsumsi oleh banyak orang. Inilah yang menjadi salah satu noda dan kelemahan sejarah peradaban Islam.3

3

M. Arief Hakim,Bahaya Narkoba Alkohol Cara Islam Mencegah,Mengatasi,dan Melawan,(Majalengka: Nuansa, 2004), h.85-86.


(29)

20

2. Definisi Narkotika

Narkotika merupakan singkatan dari Narkotika dan obat-obat berbahaya. Dari istilah Narkoba tersebut maka ada dua hal yang dapat dijelaskan yaitu Narkotika dan obat-obat terlarang atau yang sering disebut psikotropika.

Sejak dunia pertama kali mengurusi candu, maka istilah yang dipergunakan adalah opium, karena candu adalah getah dari buah popi. Pertemuan internasional yang membahas masalah candu pernah dilangsungkan di Den Haag (tahun 1912), dan Jenewa (tahun 1925). Pada pertemuan berikutnya di Jenewa tahun 1931, diperkenalkanlah istilah baru, yaitu Narkotika (narco = tidur yang tidak sadar).4

Berbicara mengenai Narkotika, sering terdengar beberapa akronim yang berkaitan erat dengan hal tersebut, misalnya: NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif); dan NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif).

Dari akronim NAPZA, yang mempunyai arti lebih lengkap dibanding yang pertama, maka obat yang dianggap berbahaya adalah Narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif.5

Secara umum Narkotika merupakan suatu kelompok zat yang bila dikonsumsi ke dalam tubuh maka akan berpengaruh terhadap tubuh pemakai yang akan berdampak, merangsang, menimbulkan khayalan dan menenangkan .

Secara etimologi Narkotika berasal dari kata “Narkoties” yang sama artinya dengan kata “Narcosis” yang berarti membius.6 Sifat dari zat tersebut

4

Sumarmo Masum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, Cet 1. h.61.

5


(30)

terutama berpengaruh terhadap otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, dan halusinasi disamping dapat digunakan dalam pembiusan.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dapat dilihat pengertian dari Narkotika itu sendiri, yakni:

Pasal 1 point 1 : Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Berikut adalah pandangan dari ahli hukum mengenai pengertian dari Narkotika :

Menurut Smith Klise dan French Clinical Staff mengatakan bahwa:

“Narcotics are drugs which produce insebilty stupor duo to their depressant effect on the control nervous system. Included in this definition are opium derivates (morphine, codein, heroin, and synthetics opiates (meperidine, methadone).7

Yang artinya kurang lebih sebagai berikut :

Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksamaan atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut berkerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisi Narkotika ini sudah termasuk jenis candu dan

6

Moh. Taufik Makarao. Tindak Pidana Narkotika. ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), h. 21.

7


(31)

22

turunan-turunan candu (morphine, codein, heroin), candu sintetis ( meperidine, methadone).

Prof. Sudarto, S.H. Mengatakan bahwa: Perkataan Narkotika berasal dari bahasa yunani “Narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Dalam Encyclopedia Amerikana dapat dijumpai pengertian “narcotic” sebagai

“a drug thah dulls the senses, relieves pain induces sleep an can produce addiction in varying degrees” sedang “drug” diartikan sebagai: Chemical agen that is used therapeuthically to treat disease/Morebroadly, a drug maybe delined as any chemical agen attecis living protoplasm: jadi Narkotika merupakan suatu bahan yang menumbuhkan rasa menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya.8

Soedjono. D mengemukakan bahwa: Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dengan memasukannya ke dalam tubuh. Pengaruh tubuh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau khayalan-khayalan. Sifat tersebut diketahui dan ditemui dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti dibidang pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit.9

Sedangkan Drs. H. M. Ridho Ma’ruf dalam bukunya Narkotika masalah dan bahayanya, mengatakan: “Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat

8

Djoko Prakoso. Bambang Riyadi Lany dan Muhksin. Kejahatan- Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 480.

9


(32)

mengakibatkan ketidaksadaraan atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut

bekerja mempengaruhi syaraf sentral”.10

Dalam hukum pidana Islam, istilah Narkotika dalam konteks hukum Islam, disebutkan dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah yaitu khamr. Ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad SWT :

ََع

َِنَ

َ باَِن

ََُع

ََمََر

َََق

ََلا

َََق

ََلا

َََر

َُسَ

و

َُل

َ

َِل

َ

ََص

َ ل

َُلَى

َََع

ََلَ يَِه

َََوَ

ََسَ ل

ََم

ََ

:

ٌَماَرَحٍَرِك سُمَُلُكَوٌَر ٍَََرِك سُمَُلُك

Artinya:

“Semua yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr adalah haram.”11

Khamr (minuman keras) secara etimologi berasal dari kata (ار خر ي ر خ)

yg berarti menutupi. Oleh karena itu, dalam bahasa Arab, untuk menyebut kerudung yang dipakai wanita digunakan istilah khimar, karena kerudung itu menutupi kepala dan rambutnya. Secara terminology khamr adalah:

ا

ّ

لا

ر

ف

ل ى

س

ا

ا

ّ ل

ر

لا

غل

ا ة

س

ل

م

ي ا

ر

لا

ع ق

ي

غ

ط

هي

آ

ع

ر

ص

و

لا

ا

ّلا ت

ي ي

ت

م

ن ه

ف ا

ق

ي

و

م

لا

ع ن

ق

ي

و

م

غ

ي

ر

Artinya: “Bahwa khamr (minuman keras) menurut pengertian syara’ dan bahasa adalah nama untuk setiap yang menutup akal dan menghilangkannya, khususnya zat yang dijadikan untuk minuman keras terkadang terbuat dari anggur dan zat lainnya.12

ا ل

ر

ف

ل ى

غ

ة

لا

ع

ر

ّلا

ي

خ

ط

لا

ق

ر

آ

ك

ا

ي

ت ن

ا

ل

سلا

ر

م

ّتلا

ر

غ

ي

ر

ل

ي

ت

سلا

ر

م

لا

ع ن

10 M. ridho Ma’ruf,

Narkotika, Masalah dan Bahayanya, (Jakarta : CV Marga Jaya, 1978), h. 15.

11

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mâjah, (Beirut: Dar al- Fikr, T.Tt), Juz. 2, hlm. 1124.

12

Mahmud Syaltut, al-Fatawa Dirasah Musykilat al-Muslim al-Mu’ashirah fi Hiyah al -Yaumiyyah wa al-mmah (Qahirah: Dar al-Qalam, T. Th), cet. Iii, h.369.


(33)

24

Artinya: “Khamr dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an yang bila dikonsumsi bisa menimbulkan mabuk, terbuat dari kurma atau zat lainnya, tidak terbatas dari yang memabukan dari anggur saja”.13

Sedangkan menurut pendapat Sayyid Sabiq yang mengutip penjelasan dari Ibn Tammiyah mengatakan bahwa Narkoba lebih berbahaya dari khamr, sebagai berikut:

ة ي ح لا ّ ا

ا ن ت م ح ي ا ر ح

ل

ر لا را ش ح ي ا ك ا ه

ا هّن ا ةّه ج م ر لا م ث خ ا ى ه

ُ

س ف

ق ع لا

جا ز لا

ة ثا ي ث ن ت ى ف ر ي ص ي ىّت ح

ع ص ت ا ّن ا ا س فلا م ك ل ر ي غ

مّر ح ا ي ف ة ل خا ي ه َّصلا ع ه ر ك

ل ر سلا ر لا م ه ل و س ر ه ه

م ا اًظ ف

ًن ع

ى

Artinya: “Sesungguhnya ganja itu haram, diberikan sanksi had orang yang menyalahgunakannya, sebagaimana diberikan sanksi had peminum khamr (minuman keras) ditinjau dari segi sifatnya yang dapat merusak otak, sehingga pengaruhnya dapat menjadikan laki-laki menjadi banci dan pengaruh jelek lainnya. Ganja dapat menyebabkan orang berpaling dari mengingat Allah dan shalat. Dan ia termasuk dalam kategori khamr yang secara lafdzi dan maknawi telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya”.14

Dalam firman Allah SWT larangan menggunakan khamr disebutkan dalam Al-Qur’an surat An Nahl ayat 67:







































Artinya: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.”

13

Ahmad Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-fatawa (Beirut: Dar al-Arabiyah, 1978), cet. I, h.34.

14


(34)

Dalam surat Al-Baqarah ayat 219:















































































Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir segala minuman yang memabukkan.”

Dalam surat An Nisaa’ ayat 43:























































































































































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat Ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.”


(35)

26

Dalam surat Al Maa-idah ayat 91:



























































Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”

Sedangkan Drs. H. M. Ridho Ma’ruf dalam bukunya Narkotika masalah dan bahayanya, mengatakan: “Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksadaraan atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi syaraf sentral”.15

3. Jenis-jenis Narkotika

Narkotika atau NAZA atau NAPZA adalah obat atau zat-zat yang berbahaya apabila disalahgunakan atau apabila penggunaannya tanpa pengawasan medis. Jenis-jenis Narkotika yang umum dibahas yaitu Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif/obat-obat berbahaya.

Adapun penggolongan jenis-jenis dari Narkotika berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, adalah sebagai berikut:

(1) Narkotika sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: Narkotika golongan I, Narkotika golongan II; dan Narkotika golongan III.

15 M. ridho Ma’ruf,

Narkotika, Masalah dan Bahayanya, (Jakarta : CV Marga Jaya, 1978), h. 15.


(36)

(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana dicantum sebagai Lampiran I dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Mentreri.16

Penjelasan Undang – Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menjelaskan mengenai maksud dari golongan - golongan Narkotika tersebut, yaitu:

Narkotika golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jumlahnya ada 65 jenis.

Contoh: Heroin, ganja, opium, sabu-sabu, Extacy dan kokain.

Narkotika golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jumlahnya ada 86 jenis.

Contoh: morfin, fentamil, alfametadol, ekgonia dan bezetidin.

Narkotika golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunya potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Jumlahnya ada 13 jenis.

16


(37)

28

Contoh: kodein, propiram, norkedenia, polkodina dan etilmorfina.

Pada Lampiran Undang – Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, telah terjadi peluasan jenis dan golongan Narkotika. Yang sebelumnya Undang – Undang No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Undang – Undang No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Pada Undang – Undang terdahulu, jenis dan golongan Narkotika dan Psikotropika dipisahkan secara jelas sesuai dengan lampiran jenis golongan disetiap Undang – Undang.

Yang dimaksud dengan obat – obat terlarang atau psikotropika adalah obat – obat Narkotika, tetapi mempunyai efek dan bahaya yang sama dengan Narkotika. Jenis – jenis Psikotropika yaitu:

a. Golongan Depresia yaitu barbiturate dan turunan-turunannya, benzodiazepin dan turunan-turunanya, metakualon, alcohol, zat-zat pelarut/solvent.17

b. Golongan Stimulansia yaitu amphetamin dan turunannya dan zat lain.18 c. Golongan Hipnotika dan LSD, DMT, DET, DOM (STP), PCP,

Mescaline.19

Sedangkan pada zaman klasik, cara mengkonsumsi benda yang memabukan

diolah oleh manusia dalam bentuk minuman sehingga para pelakunya disebut dengan peminum/pemabuk. Pada zamar modern, benda yang memabukan dapat dikemas menjadi bentuk tablet, kapsul, makanan, serbuk atau minuman, sesuai

17

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, h.83.

18

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, h.70.

19


(38)

dengan kepentingan dan kondisi si pemakai.20 Ada beberapa jenis atau nama minuman keras (khamr), sebagai berikut: Khamr, perasan buah anggur yang telah menjadi minuman keras, Bata, rendaman madu, Mazar, yang dibuat dari jagung, Sakar, rendaman khurma yang belum dimatangkan/dimasak, Fadlieh, yang dibuat dari perasan putik kurma tanpa dimasak, Ji’ah, rendaman sya’ir, Chiltin, yang dibuat dari campuran putik kurma dan kurma matang.21

Islam melarang minuman keras (khamr), karena dianggap sebagai induk keburukan (ummul khabaits), disamping merusak akal, jiwa, kesehatan dan harta. Dari sejak semula, Islam telah berusaha menjelaskan kepada umat manusia, bahwa manfaat tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkannya, karena akal adalah salah satu sendi kehidupan manusia yang harus dilindungi dan dipelihara. Untuk itu, dalam rangka pemeliharaan terhadap akal segala apapun yang dapat mengakibatkan rusak atau berakibat jelek harus dilarang.22

4. Penggunaan Narkotika

Memang tidak dapat dikesampingkan bahwa zat-zat Narkotika dan yang sejenis memiliki manfaat yang cukup besar di dunia kedokteran, bidang penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan,. Berikut aplikasinya pemakaian dalam dosis yang teratur akan memberikan manfaat, akan tetapi

20

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. Ke-1, h.78.

21

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 9,

(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Ke-3, h. 391.

22


(39)

30

pemakaian zat-zat jenis Narkotika dalam dosis yang tidak teratur, lebih-lebih disalahgunakan akan membawa efek-efek yang negative.23

Namun harus ada pengawasan dan pengelolahan dalam penggunaannya, agar tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang nantinya akan menjadi ketergantungan untuk pasien, disamping itu juga merupakan tugas dari Departemen Kesehatan untuk melakukan pengendalian dan pengawasan yang baik dengan membuat atau meletakan dasar peraturan-peraturan pengelolaan agar tujuan penggunaan sesuai dengan sasaran dan membantu manusia agar mengurangi atau menghilangkan rasa sakit pada manusia.

Adapun manfaat lainnya dari jenis-jenis Narkotika lainnya. Seperti:

Ganja Untuk dunia kedokteran pengguna ganja tidak ada, akan tetapi sebagai pengobatan ganja dapat menghilangkan rasa nyeri. Khasiat ganja sebenarnya dikarenakan oleh sifat psikotropikanya; terutama yang disebabkan oleh kandungan THC. Sejak tahun 1965 THC telah dibuat secara sintetis. Akan tetapi sifat halusinogennya (menyebabkan halusinasi) lebih lemah dibanding dengan LSD.24

Efek positif lainnya dari penggunaan ganja, adalah: Mengatasi mual pada pengguanaan obat antgi kanker, Menurunkan tekanan intra okuler pada penderita glaucoma dan Melemaskan otot.25

Cocain Dalam bidang ilmu kedokteran cocain dipergunakan sebagai anestesi (pemati rasa) local: Dalam pembedahan pada mata, hidung, dan

23

Harsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), h.51-52.

24

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum, h. 52.

25


(40)

tenggorokan, Menghilangkan rasa nyeri selaput lender dengan cara menyemburkan larutan cocain, Menghilangkan rasa nyeri saat luka dibersihkan dan dijahit. Cara yang digunakan adalah menyuntikan cocain subkutan dan Menghilangkan rasa nyeri yang lebih luas dengan menyuntikan cocain ke dalam ekstradural bagian lumbal, anastesi lumbal.26

Candu (opium): Penggunaan opioid (berasal dari kata opium: candu) dalam klinik adalah: Analgetika pada penderita kanker, Eudema paru akut, Batuk, Diare, Premedikasi anesthesia dan mengurangi rasa cemas.

Kegunaan candu seperti yang terurai diatas, adalah khasiat candu pada umumnya. Sebenarnya khasiat candu secara lebih spesifik adalah akibat alkoloida yang dikandungnya.27

Morphin : Khasiat morphin adalah untuk analgetik (penghilang rasa sakit) yang sangat kuat, misalnya waktu pembedahan atau pasien menderita luka bakar. Disamping itu juga banyak jenis kerja sentral lainnya, antara lain menurunkan rasa kesadaran (sedasi, hipnotis), menghambat pernafasan, menghilangkan refleks batuk dan menimbulkan rasa nyaman(euforia). Yang semuanya berdasarkan penekanan susunan syaraf pusat (SSP).

Namun harus ada pengawasan dan pengelolahan dalam penggunaannya, agar tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang nantinya akan menjadi ketergantungan untuk pasien, disamping itu juga merupakan tugas dari Departemen Kesehatan untuk melakukan pengendalian dan pengawasan yang baik dengan membuat atau meletakan dasar peraturan-peraturan pengelolaan agar

26

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, h.58.

27


(41)

32

tujuan penggunaan sesuai dengan sasaran dan membantu manusia agar mengurangi atau menghilangkan rasa sakit pada manusia.

Adapun dampak negatif dalam penggunaan Narkotika, dalam rangkaian pengamanan, Narkotika yang pengaruhnya berlipat ganda yang apabila dibandingkan dengan efek morfin baik dalam sifat eforia, ketergantungan dan toleransi dilarang dipergunakan untuk pengobatan. Seperti halnya heroin yang memiliki kecendrungan yang sangat besar untuk disalahgunakan, walau di Inggris masih dipergunakan untuk pengobatan kanker sebagai penghilang rasa nyeri, di Indonesia dilarang dipergunakan sebagai obat.

Obat Narkotika lain yang dilarang dipergunakan sebagai obat yang ditetapkan oleh menteri kesehatan adalah: asetorfin, alfa-asetilmetadol, hidromorfon, ketobemidon, nikomorfin, oksimorfon, rase morfon, tebakon dan heroin.

Dari beberapa hasil sintetis kimia ternyata dapat dibuat suatu obat yang khasiatnya sampai 1000 kali pengaruh morfin. Seperti halnya tebain yang direaksikan dalam keadaan basa dengan vinil-keton kemudian dengan reaksi Grignard akan menghasilkan oripavin yang pengaruhnya sampai 12.000 kali morfin. Apabila ada kawanan binatang badak yang bergerombol disumpit dengan bahan tersebut, binatang yang terkena secara perlahan akan meninggalkan gerombolannya yang akhirnya hanya bergerak dan berputar-putar di satu tempat. Dengan sumpitan yang kadarnya hanya 1 mg badak liar yang beratnya 2 ton dapat dengan mudah dipegang culanya untuk ditarik dibawa ke mana saja.


(42)

Dengan pengaruh yang sangat berbahaya dari sintetis kimia turunan alkoloid morfin atau tebain perlu adanya usaha preventif untuk dilarang dipergunakan dalam pelayanan kesehatan untuk manusia.28

Akibat-akibat lainnya yang ditimbulkan oleh dampak dari penyalahgunaan Narkoba. Dapat membawa efek-efek terhadap tubuh si pemakai sebagai berikut:

a. Euphoria: ialah suatu perasaan riang gembira (well being) yang dapat ditimbulkan oleh Narkoba yang abnormal dan tidak sepadan dan tidak sesuai dengan keadaan jasmani atau rohani si pemakai yang sebenarnya. Efek ini ditimbulkan oleh dosis yang tidak begitu tinggi.

b. Delirium: yaitu menurunnya kesadaran mental si pemakai disertai kegelisahan yang agak hebat yang terjadi secara mendadak, yang dapat menyebabkan gangguan koordinasi otot-otot gerak motorik (mal coordination) efek delirium ini ditimbulkan oleh pemakai dosis yang lebih tinggi disbanding dosis euphoria.

c. Halusinasi: yaitu suatu kesalahan persepsi panca indra, sehingga apa yang dilihat, apa yang didengar tidak seperti kenyataan sesungguhnya.

d. Weakness: yaitu suatu kelemahan jasmani dan rohani atau keduanya yang terjadi akibat ketergantungan dan kecanduan Narkoba.

e. Drowsiness: yaitu kesadaran yang menurun, atau keadaan sadar atau tidak sadar, seperti keadaan setengah tidur disertai dengan fikiran yang sangat kacau dan kusut.

28

Sumarmo Masum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, cet. 1. h.26.


(43)

34

f. Collapse: yaitu keadaan pingsan dan jika si pemakai over dosis, dapat mengakibatkan kematian29.

Akibat-akibat lain yang bias terjadi pada pemakai Narkoba adalah: a. Terjadinya keracunan (toxicity);

b. Fungsi-fungsi tubuh yang tidak normal (mal function)

c. Terjadinya kekurangan gizi (mal nutrition);

d. Kesulitan poenyesuaian diri (mal adjustment);

e. Kematian30.

Dalam penelitian lain Dadang Hawari mengatakan bahwa, penyalahgunaan Narkoba antara lain, merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan keinginan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk, perbuatan pelaku menjadi anti sosial, merosotnya produktivitas kerja, gangguan kesehatan, memperbaiki jumlah kecelakaan lalu lintas, kriminalitas dan tindak kekerasan lainnya baik kuantitatif dan kualitatif.31

Jika menilik kilas balik sejarah syariat pengharaman khamr, akan kita temukan bahwa khamr merupakan sebuah kebiasaan yang sudah mendarah daging pada masyarakat arab dan masyarakat dunia umumnya pada waktu turunnya pelarangan khamr. Khamr merupakan sebuah minuman kebanggaan yang biasa disungguhkan saat menjamu tamu, hari-hari besar dan perayaan-perayaan yang diadakan oleh pembesar ataupun masyarakat biasa.32

29

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, h.24-25.

30

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, h.25.

31

Dadang Hawari, Al-qur’an ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h.133.

32

Hartati Nurwijaya, Zullies Ikawati, dkk, Bahaya Alkohol dan Cara Mencegah Kecanduannya (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009), h. 68.


(44)

Dampak negatif minuman beralkohol (khamr) sudah lama menjadi bahan penelitian ilmiah sebagai sebuah masalah yang berdampak pada semua sisi kehidupan manusia, ekonomi industri, administrasi, sosial, politis dan sebagainya. Alkohol (khamr) terutama berdampak negatif terhadap moral dan spiritual individu sebagai pelaku hubungan antar manusia yang rumit.33

Ketika minuman alkohol (khamr) sudah menjadi kebiasaan, pria yang menjadi korbannya sulit untuk disembuhkan, apalagi wanita” komentar ini diucapkan oleh Sir Andrew Clark, dokter pribadi Ratu Victoria. Kebiasaan minum-minuman keras pada seorang wanita akan merusak mental dan fisiknya, dan dampak negatifnya terhadap anak-anak si peminum lebih besar dibandingkan dampak yang ditimbulkan jika pria atau ayah si anak yang menjadi peminum.34

5. Pecandu Narkotika

Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hampir di segala bidang. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan.

33

M. Arief Hakim,Bahaya Narkoba Alkohol Cara Islam Mencegah,Mengatasi,dan Melawan,(Majalengka: Nuansa, 2004), h.107

34

M. Arief Hakim,Bahaya Narkoba Alkohol Cara Islam Mencegah,Mengatasi,dan Melawan, h.152.


(45)

36

Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu:35

a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku.

b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.

c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.

Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims”, karena pecandu

narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri.

35

Moh. Taufik Makarao, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), h. 49-50


(46)

B. Rehabilitasi

1. Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah restorasi (perbaikan, pemulihan) pada normalitas, atau pemulihan menuju status yang paling memuaskan terhadap individu yang pernah menderita penyakit mental.36

Adapun pengertian lainnya mengatakan bahwa rehabilitasi adalah usaha untuk memulihkan untuk menjadikan pecandu Narkotika hidup sehat jasmani dan rohaniah sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali ketrampilan, pengetahuannya, serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.37 Penanganan kasus Narkotika dengan praktek rehabilitasi dilakukan agar keadilan hukum dapat terlaksana sebagaimana mestinya.38

Mengingat bahwa dalam tindak pidana ini pelaku juga sekaligus menjadi korban, maka praktik pemulihan ini diberikan kepada pecandu Narkotika bukan hanya sebagai bentuk pemidanaan. Asas-asas perlindungan korban juga salah satu dari beberapa hal yang mendorong lahirnya pemidanaan dalam bentuk rehabilitasi.39

Rehabilitasi dalam hukum pidana Islam bagi pengguna sekaligus korban belum didapat dalam sejarah hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana Islam pelaku penyalahgunaan Narkotika dihukum 40/80 jilid. Namun walaupun demikian bukan berarti praktik pemidanaan dalam bentuk rehabilitasi tersebut

36

J.P. Caplin, kamus lengkap psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h.425.

37

Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 87.

38

O.C. Kaligis, Narkoba dan peradilannya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2002), h.8.

39


(47)

38

bertentangan dalam hukum pidana Islam karena jika dilihat dari tujuan dan manfaat antara tindak pidana dengan sanksinya, maka rehabilitasi merupakan pemidanaan yang tepat untuk sanksi bagi para pelaku atau korban penyalahgunaan Narkotika. Pada hakikatnya segala yang telah digariskan oleh agama terutama agama Islam selalu baik dengan tujuan tunggal yakni, membimbing umat manusia menentukan jalan yang baik dan benar secara vertical maupun horizontal.40

Berdasarkan masing-masing definisi, penulis memiliki pandangan subtansi antara rehabilitasi menurut hukum pidana di Indonesia (positif) maupun hukum pidana Islam. kepada definisi rehabilitasi yaitu suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik secara fisik, mental maupun sosial agar mantan pecandu Narkoba dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Pemberian sanksi dalam bentuk ini dimaksudkan agar para pelaku yang juga bisa dikatakan korban harus bisa menghilangkan ketergantungan mereka atas Narkoba agar tidak terulang lagi. Dalam hukum pidana Islam juga dapat dikaitkan dengan Al-Qur’an surat Al Bayyinah ayat 5.



























































Artinya: “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat”.(Al-Quran Surat Al Bayyinah ayat: 5)

Dapat disimpulkan rehabilitasi memiliki arti ialah untuk memperbaiki diri si pengguna atau korban penyalahgunaan Narkotika agar tidak kembali untuk

40

Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h.91.


(48)

melakukan atau menjalankan hidup yang bertergantungan kepada zat-zat Narkoba, supaya pelaku atau korba merasa jera dan kembali kepada jalan yang lurus yaitu selalu mengingat-Nya.

2. Bentuk-Bentuk Rehabilitasi

Dalam menjalankan rehabilitasi penyalahgunaan Narkotika, bentuk-bentuk rehabilitasi yaitu:

Rehabilitasi Medis (Medical Rehabilitation) adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.41 Sehingga dalam pelaksanaannya dibutuhkan spesialis ilmu kedokteran yang berhubungan penanganan secara menyeluruh dari pasien yang mengalami gangguan fungsi atau cidera, susunan otot syaraf, serta gangguan mental, sosial dan kekaryaan yang menyertai kecacatan tersebut. Dalam pasal Pasal 56: 42

(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.

(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.

Berikut ruang lingkup kegiatan rehabilitasi medis: Pemeriksaan fisik, Mengadakan diagnose, Pengobatan dan pencegahan, dan Latihan penggunaan alat-alat bantu dan fungsi fisik tujuan rehabilitasi medis

41

Lihat Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

42


(49)

40

Adapun yang dimaksud rehabilitasi medis yaitu untuk pemantapan fisik/badaniah adalah meliputi segala upaya yang bertujuan meningkatkan perasaan sehat jasmaniah pada umumnya dan juga mentalnya.43

Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation) adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.44 Rehabilitasi sosial merupakan upaya agar mantan pemakai atau pecandu Narkotika dapat membangun mental kehidupan bersosial dan menghilangkan perbuatan negatif akibat pengaruh dari penggunaan Narkoba agar mantan pecandu dapat menjalankan fungsi sosial dan dapat aktif dalam kehidupan di masyarakat. Dalam pasal 59:45

(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Kegiatan yang dilakukan dalam rehabilitasi sosial :

Pencegahan; artinya mencegah timbulnya masalah social penca, baik masalah datang dari penca iru sendiri, maupun masalah yang datang dari lingkungan penca itu.

43

Sumarmo Masum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, Cet 1. h.138

44

Lihat Pasal 1 ayat (17) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

45


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis memaparkan hasil penelitian yang diuraikan pada bab demi bab, maka penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari perumusan masalah. Adapun beberapa kesimpulan tersebut, antara lain:

1. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 bahwa Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang dilakukan dirumah sakit yang ditelah ditunjuk oleh menteri dan rehabilitasi dilakukan oleh lembaga tertentu yang diselenggarahkan oleh instansi pemerintah dan masyarakat boleh melakukan rehabilitasi medis dan non medis seperti melalui pendekatan keagamaan dan tradisional setelah mendapatkan persetujuan menteri.

2. Konsep hukum pidana Islam dalam melakukan rehabilitasi korban pecandu narkoba memiliki tiga tahap pembersihan diri, pengembangan diri dan penyempurnaan diri, ketrampilan dan keahlian tidak akan datang dan bertambah dengan sendirinya tanpa adanya suatu latihan-latihan. Latihan-latihan yang dilakukan dalam konsep rehabilitasi yang dimaksud berupa tahap Takhalli, Tajall, Tahalli.


(2)

3. Perbandingan antara UU dan hukum pidana Islam, pada dasarnya kedua hukum ini saling melengkapi untuk melaksanakan rehabilitasi terhadap korban pengguna narkoba dan juga sama-sama diatur oleh peraturan menteri, namun dilihat dari sumber dan aspek pelaksanaan hukumnya penulis dapat membedakan, hukum pidana positif bersumber kepada Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, sedangkan hukum pidana Islam bersumber kepada Al-Qur’an, hadits, ijma dan jumhur ulama. Dan dilihat dari aspek pelaksanaannya hukum yang telah diatur oleh UU pelaksaannya dirumah sakit dan kalau hukum pidana Islam pelaksaanya bisa dilakukan di pesanteren yang telah persetujui oleh peraturan menteri.

B. Saran-Saran

Adapun saran-saran yang dapat Penulis sampaikan, antara lain:

1. Narkoba atau khamr merupakan satu aspek yang memiliki dampak yang hamper sama namun penulis mencoba memaparkan dampak negative atau positif dari penggunaan narkoba dan khamr.

2. Pada dasarnya rehabilitasi dalam hukum pidana Islam itu tidak ada pada zaman dahulu maka sulit bagi penulis mendefiniskan tentang rehabilitasi menurut hukum pidana Islam, penulis hanya dapat mensubtansikan dengan definisi menurut hukum positif.

3. Penulis ini masih banyak keterbatasan baik dari segi variabel yang digunakan maupun waktu penelitian, sehingga diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk


(3)

78

dapat melengkapi, mengembangkan, melanjutkan, maupun meneliti lebih jauh tentang pengulangan tindak pidana dalam hukum Islam, baik mengenai sanksi maupun yang lainnya.


(4)

79

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Ahyadi. Psikologi Agama Kepribadian Pancasila. Bandung: Sinar Baru, 1987.

Adz –Dzaky, Hamdan Bakran. Konseling dan Psikoterapi Islam. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Ancok , Djamaludin, dan Fuad, Nashori Suroso. Psikologi Islami : Solusi atas Berbagai Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Anwar, Yesmil dan Adang. Pembaharuan Hukum Pidana. Jakarta: Grasindo, 2008.

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana Prenada, 2008.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta, 2002.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Cet. Ke-3. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Audah, Abdul Qadir. al-Tasyri’ al-Jinayi al-Islami, juz 1. Beirut: Daar el-Kitab, T.th

Caplin, J.P. kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Daradjat, Zakiyah. Kesehatan Psikologi Islam. Jakarta: Hajimas Agung, 1998. Daradjat, Zakiyah. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung, 2001.

Dikdik M. Arief Mansur dan Gultom, Elisatris. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Zaenal Arifin. Metode Penelitian Hukum, cet. ke-1. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.


(5)

80

Hawari, Dadang. Al-qur’an ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996

Hawari, Dadang. Al-Qur'an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997.

Hakim, M. Arief, Bahaya Narkoba Alkohol Cara Islam Mencegah, Mengatasi dan Melawan, Majalengka: Nuansa, 2004

Ibnu Taimiyah, Ahmad, Majmu’ al-fatawa cet. I, Beirut: Dar al-Arabiyah, 1978 Kaligis, O.C., Narkoba dan peradilannya di Indonesia, Bandung: Alumni, 2002

Kairo, Tim Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah. Mu’jam al-Wasit. Kairo: Daar

al-Da’wah, T.th.

Ma’luf, Lowis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1975

Ma’ruf, M. Ridho, Narkotika, Masalah dan Bahayanya, Jakarta : CV Marga Jaya, 1978

Madani. Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008

Masum, Sumarno, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, Jakarta: CV Haji Masagung, 1987

Moh. Taufik Makarao, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005

Moh. Taufik Makarao. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992

Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, Jakarta: Djambatan, 2007

Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984


(6)

Nurwijaya, Hartati, Zullies Ikawati, dkk, Bahaya Alkohol dan Cara Mencegah Kecanduannya, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009

Prakoso, Djoko, Bambang Riyadi Lany dan Muhksin. Kejahatan- Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987

Qardhawi, Yusuf, fatwa-fatwa kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003

R.N.L. O’riodan, Sulaiman Al-Kumayyi, Seni Penyembuh Alami, Jakarta: Pasarindo Bunga Mas Nagari , 2002

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-sunnah, jilid ii, cet. iii, Beirut : Dar al-Fikr,1981, Sasangka, Hari. Narkotika dan Pesikotropika dalam Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju, 2003

Sujono, AR dan Daniel, Bony. Komentar dan Pembahasan Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Soedjono. D. Hukum Narkotika Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1987 Subagio, P. Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1991

Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 1990 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 2006

Suparni, Niniek Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika, 1996

Supramono, Gatot, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2004

Syaltut, Mahmud, al-Fatawa Dirasah Musykilat al-Muslim al-Mu’ashirah fi Hiyah Al-Yaumiyyah wa al-mmah, Qahirah: Dar al-Qalam, T. Th

Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, Cet. Ke-2 Syukur, Amin, Pengantar Psikologi Islam, Semarang: Duta Grafika, 1991 ____________ Pengantar Studi Islam, Semarang: Duta Grafika, 2000 ____________ Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2004

Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2002