Pengaturan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional Terkait Isu Pornografi Anak di Dunia Maya (Cyber Child Pornography).

(1)

SKRIPSI

PENGATURAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA

INTERNASIONAL TERKAIT ISU PORNOGRAFI

ANAK DI DUNIA MAYA

(CYBER CHILD

PORNOGRAPHY)

I WAYAN SUPAR ARTAWAN NIM. 1103005057

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

SKRIPSI

PENGATURAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA

INTERNASIONAL TERKAIT ISU PORNOGRAFI

ANAK DI DUNIA MAYA

(CYBER CHILD

PORNOGRAPHY)

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I WAYAN SUPAR ARTAWAN NIM. 1103005057

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini yakni “PENGATURAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERKAIT ISU

PORNOGRAFI ANAK DI DUNIA MAYA (CYBER CHILD

PORNOGRAPHY). Skripsi ini diajukan untuk memenuhi kewajiban dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa dalam tahap penyusunan sampai pada tahap penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, arahan, saran, dukungan serta doa dari berbagai pihak yang sedia meluangkan waktu serta tenaga dalam membantu penulis. Oleh sebab itu ijinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

5. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional serta Bapak I Gede Putra Ariana, S.H., M.Kn., selaku Sekretaris Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam proses pelancaran proses administrasi skripsi ini.

6. Bapak Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS, Dosen Pembimbing I yang telah memberi arahan, bimbingan, dukungan, saran serta pencerahan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak I Made Budi Arsika, SH., LLM, Dosen Pembimbing II yang telah dengan sangat baik memberikan segenap bimbingan, arahan, masukan, saran serta segenap hal yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini. 8. I Gusti Ngurah Dharma Laksana SH., M.Kn selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang senantiasa mengarahkan dan membimbing penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

9. I Nengah Darmayasa dan Ni Putu Suriartini selaku orang tua penulis yang senantiasa sabar dan tak pernah berhenti memberikan doa disertai dukungan baik moril maupun finansial dalam penyusunan skripsi ini.

10.I Kadek Budi Astawa, Komang Cari Artiwi dan I Ketut Mustika selaku saudara penulis, yang selalu membantu penulis dalam memenuhi setiap kebutuhan dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

11.Wulan Trisna Siska, teman yang senantiasa mengingatkan, mendukung, membantu serta memotivasi penulis sampai pada tahap penyelesaian skripsi ini.


(7)

12.Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah sedia memberikan pembelajaran serta membagi ilmu pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

13.Seluruh Staff Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

14.Keluarga besarAsian Law Students’ Association Local Chapter Universitas Udayana serta seluruh rekan Asian Law Students’ Association National Chapter Indonesia sebagai tempat menempa diri dalam menambah pengetahuan serta segenap pemahaman dalam berbagai bidang sehingga sangat menunjang penulis dalam penyusunan serta penyelesaian tugas akhir ini.

Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih mengandung kelemahan serta kekurangan sehingga dibutuhkan kritik serta saran membangun dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta dapat berguna sebagai salah satu sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum secara umum.

Denpasar, 12 Januari 2016


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI...iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI...viii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN...xi

ABSTRAK...xii

ABSTRACT...xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………...…...1

1.2 Rumusan Masalah ………...6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ………...7

1.4 Tujuan Penelitian ………..…....7

1.5 Manfaat Penelitian ………...8

1.6 Landasan Teoritis ………...………..……...10


(9)

BAB II TINJAUAN UMUM

2.1 Tinjauan Umum tentang Anak………...………...…………...22

2.1.1 Definisi Anak... ………....………….22

2.1.2 Hak-Hak Anak...………....……….23

2.2Tinjauan Umum tentang Pornografi Anak di Dunia Maya...………...….……...26

2.2.1 Definisi dan Ruang Lingkup Pornografi...………….………...…...26

2.2.2 Definisi dan Perkembangan Dunia Maya (Cyberspace) ...29

2.2.3 Ruang Lingkup Pornografi Anak di Dunia Maya (Cyber Child Pornography)...32

2.3 Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia ………....……….35

2.3.1 Pengertian Hak Asasi Manusia…………...…...35

2.3.2 Konsep Dasar Hak Asasi Manusia………...37

2.3.3 Instrumen-Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia...…..39

BAB III PENGATURAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERKAIT ISU PORNOGRAFI ANAK DI DUNIA MAYA 3.1 Pengaturan dalam Conventionon The Rights of The Child…...………44 3.2 Pengaturan dalam Optional Protocol on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography ...47

3.3 Pengaturan Pornografi Anak di Dunia Maya berdasarkan The Council of Europe Convention on Cybercrime………..……...…….51


(10)

BAB IV UPAYA HARMONISASI PENGATURAN HUKUM NASIONAL INDONESIA DENGAN INSTRUMEN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN ISU PORNOGRAFI ANAK DI DUNIA MAYA

4.1 Teori Mengenai Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional...…59 4.2 Peraturan Perundang-Undangan Nasional Indonesia Mengenai Anak…...……....63 4.3 Peraturan Perundang-Undangan Nasional tentang Hak Asasi Manusia...69 4.4 Peraturan Perundang-Undangan Nasional Indonesia Mengenai Penggunaan Dunia Maya dan Pornografi...………..………...…...73 4.5 Upaya Harmonisasi Pengaturan Hukum Nasional Indonesia dengan Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional Terkait dengan Isu Pornografi Anak di Dunia Maya...……….………...……....……..77 4.6 Tinjauan Komprehensif……….…………..………...…………...80

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan………..…………84

5.2 Saran………..………..85


(11)

(12)

ABSTRAK

PENGATURAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

TERKAIT ISU PORNOGRAFI ANAK DI DUNIA MAYA (CYBER CHILD

PORNOGRAPHY)

Sejumlah file yang berkaitan dengan pornografi anak (child pornography) kerap kali muncul di beberapa situs maupun forum di internet. Hal ini merupakan cerminan dari dampak yang ditimbulkan perkembangan teknologi yang awalnya diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia. Kasus eksploitasi anak di dunia maya juga telah merambah ke Indonesia sejak cukup lama. Instrumen-instrumen hukum yang ada belum dapat berlaku secara efektif, dibuktikan dengan laporan bahwa angka tindakan kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia cukup tinggi, yakni mencapai 70 ribu video. Kenyataan ini menunjukkan bahwa isu pornografi anak di dunia maya sudah memasuki tahap mengkhawatirkan sehingga dianggap memerlukan solusi dan pencegahan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu penelitian hukum normatif dengan pendekatan perbandingan, pendekatan perundang-undangan, serta pendekatan analisis konsep hukum. Skripsi ini akan membahas dua permasalahan hukum yakni: pengaturan hukum hak asasi manusia internasional pornografi anak di dunia maya serta upaya harmonisasi pengaturan hukum nasional Indonesia dengan instrumen hukum hak asasi manusia internasional terkait isu pornografi anak di dunia maya.

Dengan penelitian normatif ini, dapat disimpulkan dua hal yakni: 1) pengaturan hukum hak asasi manusia internasional terkait isu pornografi anak di dunia maya terdapat di dalam Convention on the Right of the Child (CRC) hanya berfungsi sebagai pedoman bagi negara peserta untuk dapat melakukan kerja sama dalam mencegah pornografi anak di dunia maya tanpa adanya kewajiban mutlak untuk melaksanakannya, disamping itu Optional Protocolon the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (OPSC)yang mengatur secara lebih spesifik mengenai pornografi anak masih belum dapat memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak ketika hendak diaplikasikan untuk perbuatan yang terjadi di dunia maya. 2) Upaya harmonisasi instrumen hukum hak asasi manusia internasional dalam isu pornografi anak di dunia maya amat penting dilakukan, upaya harmonisasi hukum yang dimaksud berupa upaya untuk mengadopsi substansi hukum yang tertuang di dalam CRC dan OPSC ke dalam sejumlah peraturan perundang-undangan nasional Indonesia terkait.

Kata kunci : pornografi anak di dunia maya, pengaturan, harmonisasi hukum, hak asasi manusia


(13)

ABSTRACT

A number of files which is related with child pornography has oftenly appeard in several sites and forum in internet. This case means a reflection from the effect caused by development of technology which is in the beginning was created in

order to ease human’s life. Cyber child exploitation also has been spread to Indonesia since long time ago. Some local regulations are not applied effectively yet, it is proven by the report that the number of sexual criminal toward children in Indonesia is quite high, which reach 70 thousand videos. This fact showed that cyber child pornography issue has been considered as apprehensive case, so it need solution and prevention.

The type of the reseacrh which is used in this writing is a normative legal research with comparative approach, statute approach, analitical and conseptual approach. It will discuss two legal issues, namely the regulation of international human rights law related with cyber child pornography and the effort of harmonization of Indonesian domestic laws with instrument of international human rights law related with cyber child pornography issue.

It can be concluded that: the regulation of international human rights law related with cyber child pornography issue which is provided in Convention on the Rights of the Child (CRC) has a function as basic for state members in order to perform cooperation in preventing cyber child pornography, without any absolute obligation to do it, besides that Optional Protocol on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (OPSC) which regulates specifically about cyber child pornography is not able yet to give any legal protection toward children when it’s about to be applicated. An effort for legal harmonization of international human rights law instrument in cyber child pornography issue which is very important to be executed. An effort for legal harmonization in this case is in the form of adoption of the legal substance which is provided in CRC and OPSC into relevant Indonesian domestic law.

Keywords: cyber child pornography, regulation, legal harmonization, human rights


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejumlah file yang berkaitan dengan pornografi anak (child pornography)

kerap kali muncul di beberapa situs maupun forum di internet.1 Hal ini merupakan cerminan dari dampak yang ditimbulkan perkembangan teknologi yang awalnya diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia.

Isu pornografi anak dimulai pada abad ke sembilan belas pasca ditemukannya kamera.2 Pada masa itu hanya berkembang isu pornografi anak dalam bentuk hard copy.3 Era internet di awal tahun 1980-an kemudian merubah secara dramatis skala dan sifat dari masalah pornografi anak dan memerlukan pendekatan baru dalam meneliti serta mengontrol.4

Sampai saat ini, hal yang sangat mengkhawatirkan yaitu semakin banyaknya terdapat jaringan pengguna internet yang sengaja membentuk grup di dunia maya sebagai ruang untuk berbagi file yang memuat konten-konten pornografi yang melibatkan anak di bawah umur sebagai obyek untuk memuaskan nafsu seksual. Di samping itu pula, dengan mudahnya transaksi melalui dunia

1

Lihat Alexander Kalim, 2014, Addressing The Gap In International Instruments Governing Internet Child Pornography, Journal of Communications Law and Technology Policy, The Catholic University of America Columbus School of Law, h. 428. http://scholarship.law.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1530&context=commlaw diakses pada tanggal 8 November 2014.

2

Lihat Richard Wortley dan Stephen Smallbone, 2006, The Problem of Internet Child Pornography, Child Pornography on the Internet, Guide No.41 (2006), Center for Problem-Oriented Policing, URL : http://www.popcenter.org/problems/child_pornography/ diakses pada tanggal 15 November 2014.

3

Ibid.

4


(15)

maya tindakan buruk ini dapat dimanfaatkan untuk menambah penghasilan bagi pelaku.

Pornografi anak di dunia maya sebagai pelanggaran kesusilaan merupakan salah satu contoh penyalahgunaan teknologi maju. Hal ini tentunya sangat meresahkan karena kemajuan teknologi tidak digunakan sebagai sarana positif untuk meningkatkan kualitas kehidupan, tetapi justru digunakan sebagai sarana negatif yang dapat membawa dampak negatif.5

Dalam website Radio Nederland Wereldomroep, pada tanggal 3 September 2011 memberikan informasi bahwa kepolisian Belanda telah berhasil melacak 220 ribu foto dan video pornografi anak.6 Dokumen yang dirahasiakan ini terungkap saat dilakukan penyelidikan terhadap cabang internasional yang tersangkut kasus pelecehan seksual anak di Amsterdam.7 Kasus ini melibatkan pemuda asal Latvia bernama Robert M, dimana telah ditemukan berbagai situs melalui komputernya.8 Data yang dimilikinya telah dibagi ke seluruh dunia dengan menggunakan 20 situs, antara lain di Amerika Serikat.9

Kemudian pada tanggal 15 November 2013 situs Radio Australia melaporkan bahwa polisi Kanada telah menangkap hampir 350 orang dalam operasi pemberantasan pornografi anak, dimana 65 dari mereka merupakan warga

5

Barda Nawawi Arief, 2006, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Rajawali Press, Jakartah. 178.

6

NOS, 2011, Jaringan Terbaru Pornografi Anak Terbingkar, URL : http://archief.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/jaringan-terbaru-pornografi-anak-terbongkar diakses pada tanggal 13 November 2014.

7

Ibid.

8

Ibid.

9


(16)

negara Australia.10 Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai guru, polisi, dokter, dan pastor.11 Penangkapan besar-besaran itu disebut sebagai upaya pembongkaran jaringan pornografi anak.12

Kasus mengenai pornografi anak terus terjadi, pada tanggal 9 Agustus 2014 Liputan6.com memberitakan bahwa seseorang yang bernama John Skillern diringkus oleh Polisi Texas karena dicurigai telah berbagi gambar tak senonoh yang mengandung unsur pornografi anak.13 Hal ini dikuatkan dengan temuan dari

Google (sebuah mesin pencari di internet) dengan men-scan akun John Skillern dan menemukan gambar-gambar ilegal menggunakan akun layanan surel milik

Google yaitu Gmail.14

Dengan mencermati beberapa kasus di atas, dapat dilihat bahwa permasalahan ini sangat kompleks dan serius. Dalam mengakses konten pornografi anak di dunia maya, para pelaku dapat melakukannya di mana saja, kapan saja, serta kepada siapa saja tanpa harus diperhatikan status kewarganegaraannya, di samping itu identitas para pelaku memungkinkan hanya diwakili oleh IP address (identitas numerik yang dilabelkan kepada alat seperti komputer, router, atau printer yang terhubung dalam jaringan internet) dengan sifat anonim. Begitu pula dengan korban dari tindakan ini, seorang pelaku dapat saja mengakses maupun berbagi file pornografi anak baik berupa foto maupun

10

Anonim, 2013, 65 Warga Australia Diciduk Terkait Jaringan Pornografi Anak, URL : http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-11-15/65-warga-australia-diciduk-terkait-jaringan-pornografi-anak/1220204 diakses pada tanggal 13 November 2014.

11

Ibid.

12

Ibid.

13

Iskandar, 2014, Kirim Gambar Porno, Email Pria Ini Digeledah Google, URL : http://tekno.liputan6.com/read/2086838/kirim-gambar-porno-email-pria-ini-digeledah-google diakses pada tanggal 13 November 2014.

14


(17)

video dari lebih dari satu negara yang tanpa disadari bahwa hak-hak anak tersebut telah dilanggar. Hal ini merupakan karakter dari dunia maya yang tidak memiliki batas ruang pergerakan bagi para pelaku tindakan ini.

Isu eksploitasi anak selama ini cenderung dikaitkan dengan konteks Hukum Pidana. Dalam perkembangannya jaringan eksploitasi anak dunia maya lambat laun telah menyentuh ranah Hukum Internasional, khususnya Hukum Hak Asasi Manusia Internasional (Hukum HAM Internasional).

Convention on the Right of the Child (CRC) merupakan instrumen Hukum HAM Internasional yang memberikan perlindungan hukum bagi anak-anak dari berbagai wujud eksploitasi. Dalam Pasal 34(c) CRC dinyatakan bahwa pornografi anak merupakan salah satu bentuk dari eksploitasi seksual dan kekerasan seksual, dan bagi negara-negara yang ikut meratifikasi konvensi ini wajib untuk melindungi hak anak secara khusus melalui kerja sama internasional maupun membentuk hukum nasional. CRC juga dilengkapi dengan instrumen hukum tambahan yang berkaitan dengan isu ini yakni Optional Protocol to the Convention on the Right of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (OPSC).

Kasus eksploitasi anak di dunia maya juga telah merambah ke Indonesia sejak cukup lama. Sebagai bentuk kepedulian dan upaya perlindungan hukum bagi anak-anak, Indonesia telah meratifikasi CRC melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 serta melakukan ratifikasi terhadap Optional Protocol to the Convention on the Right of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun


(18)

2012. Selain itu sejumlah peraturan perundang-undangan nasional juga menegaskan perlindungan tersebut sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.15

Sayangnya, instrumen-instrumen hukum di atas belum dapat berlaku secara efektif yang dibuktikan dengan laporan bahwa angka tindakan kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia cukup tinggi, yakni mencapai 70 ribu video.16 Jumlah tersebut membuat Indonesia menempati posisi pertama terkait tindakan kejahatan seksual terhadap anak di dunia maya sehingga sudah memasuki tahap mengkhawatirkan yang dianggap memerlukan solusi dan pencegahan.17

Situs resmi Badan Intelijen Negara juga menyampaikan laporan dari ICT

Watch dalam seminar Online Child Pornography yang diselenggarakan di Kampus Universitas Indonesia (UI) pada tanggal 3 Juni 2009 lalu, melansir temuannya bahwa setiap mengetik password seperti “SMP” atau “SMA” pada

mesin pencari Google, maka akan selalu ditemukan hal-hal yang mengacu pada aktivitas atau foto-foto porno anak-anak Indonesia.18 Hal ini merupakan suatu yang penting untuk dapat disoroti bersama dan dicarikan pemecahannya.

15

Undang-undang ini dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

16

Denny Mahardy, 2014, Indonesia Negara Paling Aktif Soal Pornografi Anak, URL : http://tekno.liputan6.com/read/2066738/indonesia-negara-paling-aktif-soal-pornografi-anak-di-dunia diakses pada tanggal 15 November 2014.

17

Ibid.

18

Badan Intelijensi Negara, 2014, Mewaspadai Terpaan Pornografi di Internet, URL : http://www.bin.go.id/awas/detil/151/4/18/10/2012/mewaspadai-terpaan-pornografi-di-internet diakses pada tanggal 15 November 2014.


(19)

Komnas Perlindungan Anak menyatakan saat ini Indonesia sedang dalam kondisi darurat kekerasan seksual pada anak.19 Parameter yang digunakan yakni catatan dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) pada tahun 2010-2014 yang menunjukkan bahwa telah terjadi 21,6 Juta kasus pelanggaran hak anak yang dimana 58% dari angka tersebut dikategorikan sebagai kekerasan seksual.20 Salah satu bentuk kekerasan itu yakni berupa pornografi anak yang menyebar di media sosial melalui jaringan dunia maya.

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut dengan mengidentifikasi instrumen hukum internasional serta secara khusus mengkaji instrumen hukum nasional negara Indonesia karena hal ini sangat penting sebagai upaya untuk pemecahan isu hukum yang berhubungan dengan pornografi anak di dunia maya dalam bentuk skripsi dengan judul “PENGATURAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERKAIT ISU PORNOGRAFI ANAK DI DUNIA

MAYA (CYBER CHILD PORNOGRAPHY)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, lebih lanjut penulis akan membahas beberapa permasalahan, adapun permasalahan tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum hak asasi manusia internasional terkait isu pornografi anak di dunia maya?

19

Anonim, 2015, Indonesia Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak, URL :

http://www.kompasiana.com/arteriadahlan/indonesia-darurat-kekerasan-seksual-terhadap-anak_5629b0b84b7a61820597b3df diakses pada tanggal 11 November 2015.

20


(20)

2. Bagaimanakah upaya harmonisasi pengaturan hukum nasional Indonesia dengan instrumen hukum hak asasi manusia internasional terkait isu pornografi anak di dunia maya?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu adanya penegasan mengenai materi yang diatur di dalamnya. Hal ini dimaksudkan agar nantinya tidak terjadi penyimpangan terhadap pembahasan materi pokok permasalahan yang sudah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut :

1. Ruang lingkup untuk permasalahan pertama, penulis akan membahas mengenai pengaturan hukum hak asasi manusia internasional terkait isu pornografi anak di dunia maya.

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai upaya harmonisasi pengaturan hukum nasional Indonesia dengan instrumen hukum hak asasi manusia internasional terkait isu pornografi anak di dunia maya.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak penulis capai dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut :


(21)

1. Untuk lebih memahami dan memperdalam pemahaman mengenai hukum internasional terutama yang berkaitan dengan hukum hak asasi manusia internasional yang berkaitan dengan anak.

2. Untuk lebih memahami dan memperdalam pemahaman mengenai hukum nasional Indonesia yang berkaitan dengan hukum hak asasi manusia internasional.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisis pengaturan hukum hak asasi manusia internasional terkait isu pornografi anak di dunia maya.

2. Untuk menganalisis upaya harmonisasi pengaturan hukum nasional Indonesia dengan instrumen hukum hak asasi manusia internasional terkait isu pornografi anak di dunia maya.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum.21 Manfaat praktis memberikan kontribusi untuk keperluan praktek.22 Penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai tanggung jawab yang dimiliki negara Indonesia dalam menangani pelanggaran HAM terhadap anak terkait pornografi di dunia maya. Selain itu diharapkan karya ini dapat menunjang

21

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 75.

22


(22)

pengembangan ilmu hukum secara umum, khususnya dalam bidang hukum hak asasi manusia internasional mengenai pola perkembangan pengaturan hukum hak asasi manusia internasional dalam melindungi hak asasi anak.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, terutama dalam hal merumuskan, menetapkan serta melaksanakan kebijakan di bidang komunikasi dan informasi terkait pornografi anak di dunia maya. 2. Bagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam

mencapai tujuan untuk memastikan pemenuhan dan peningkatan hak anak.

3. Bagi Kementerian Luar Negeri, semoga tulisan ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran kepada Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional dalam melaksanakan fungsinya dalam penyiapan perumusan serta pelaksanaan kebijakan kementerian luar negeri di bidang hukum dan perjanjian internasional.

4. Bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam menjalankan tugas dan fungsinya terutama dalam penyusunan laporan, saran, masukan serta pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.


(23)

5. Bagi kejaksaan dalam menyusun dakwaan serta melakukan penuntutan terkait kasus pelanggaran pornografi anak di dunia maya.

1.6 Landasan Teoritis

a. Prinsip Perlindungan Anak

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak

(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.23 Tetapi dalam hal ini masalah perlindungan hukum bagi anak tidak hanya mencakup perlindungan hukum dalam proses peradilan, melainkan mencakup segala hal atas kebebasan si anak untuk memperoleh perlakuan yang layak seperti warga negara lainnya.24 Makin meningkatnya suasana kekerasan dan ketidaktentraman dalam lingkungan kehidupan sehari-hari di dalam suatu kota/wilayah akan menempatkan anak-anak dalam risiko yang sangat gawat dimana dia tidak lagi merasa aman bermain bersama anak-anak lainnya.25 Perasaan tidak aman tersebut merupakan salah satu gejala bahwa hak anak atas rasa aman telah dilanggar.

Lahirnya berbagai dokumen atau instrumen internasional berupa pernyataan (deklarasi), konvensi, resolusi, dan pedoman (guidelines) dapat kiranya dimaknai sebagai upaya perlindungan hukum di tingkat

23

Lukman Hakim Nainggolan, 2005, Masalah Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Jurnal Equality Volume 10 No 2, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, h.82. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15230/1/equ-agu2005-4.pdf

24

Ibid.

25


(24)

internasional. Selain itu, keberadaan sejumlah instrumen tersebut jelas merupakan refleksi dari kesadaran dan keprihatinan masyarakat internasional akan perlunya perlindungan terhadap keadaan buruk atau menyedihkan yang menimpa anak-anak di seluruh dunia.

Beberapa deklarasi internasional pernah diadakan guna memaksimalkan dan merealisasi perlindungan hukum terhadap anak tersebut. Seperti halnya Declaration on The Right of The Childs Tahun 1958, dimana deklarasi tersebut melahirkan prinsip-prinsip dasar (basic principles) perlindungan anak yakni:

1. Prinsip non-diskriminasi (Non-Discrimination),

2. Prinsip kepentingan terbaik untuk anak (the best interest of the child),

3. Prinsip hak-hak anak untuk hidup, bertahan hidup dan pengembangan

(the right to life, survival, and development),

4. Prinsip menghormati pandangan anak (respect to the views of the child).

Prinsip-prinsip dasar dari Deklarasi Hak anak tersebut, saat ini telah menjadi pedoman (guidelines) atau asas pokok bagi konvensi-konvensi internasional berukutnya, aturan perundang-undangan, ataupun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh suatu negara berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak di wilayahnya masing-masing.26

26

Tini Rusmini Gorda, 2014, Formulasi Baru Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Pedofilia, Perwira Media Nusantara, Surabaya, h. 1-4.


(25)

Dari berbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat, bahwa kebutuhan terhadap perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat mencakup berbagai bidang/aspek, antara lain:

1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak, 2) Perlindungan anak dalam proses peradilan,

3) Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial),

4) Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan,

5) Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan atau penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya,

6) Perlindungan terhadap anak-anak jalanan,

7) Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata, 8) Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. Jadi masalah

perlindungan hukum bagi anak tidak hanya perlindungan hukum dalam proses peradilan, tetapi mencakup spektrum yang sangat luas.27

b. Teori Monisme dan Teori Dualisme

Tidak ada satu cara pemahaman yang sebaik-baiknya atas pokok-pokok hukum internasional yang melebihi pemahaman yang jelas

27


(26)

mengenai hubungannya dengan hukum nasional.28 Dalam membahas hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional tidak lepas dari dua teori yakni teori monisme dan dualisme. Menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek hukum yang sama dari satu sistem hukum umumnya; menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda, hukum internasional mempunyai suatu karakter secara instrinsik dari hukum nasional.29

Terdapat beberapa alasan yang diajukan oleh penganut dua aliran yang berbeda ini, yakni mendasarkan pada alasan formal maupun berdasarkan pada alasan kenyataan.30 Di antara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebagai berikut31 :

1) Kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara; 2) Kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya. Subjek

hukum dari hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subjek hukum dari hukum internasional ialah negara;

28

J.G.Starke, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, h.95.

29

Ibid, h.96.

30

Mochtar Kusumaatmadja, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, h. 57.

31


(27)

3) Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan hukum nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas kenyataan ialah bahwa daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan perkataan lain dalam kenyataan ketentuan hukum nasional tetap berlaku secara efektif sekalipun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.

Kedua teori ini nantinya akan digunakan dalam memecahkan rumusan masalah kedua. Teori ini akan sangat berguna ketika digunakan dalam melihat harmonisasi antara hukum nasional negara Indonesia dengan hukum internasional yang masih berlaku saat ini.

1.7 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.32 Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari

32

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2012, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.34.


(28)

pengaturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.33 Menurut Soerjono Soekanto, berdasarkan tujuannya penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.34

b. Jenis Pendekatan

Dalam buku pedoman pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, penelitian hukum normatif umumnya mengenai 7 (tujuh) jenis pendekatan, yakni :35

a) Pendekatan kasus (The Case Approach)

b) Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach)

c) Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

d) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach)

e) Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)

f) Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

g) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

Dalam penulisan skripsi ini, pendekatan yang digunakan yaitu sebagai berikut:

1. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

33

Ibid.

34

Ibid, h.153.

35


(29)

Pendekatan perbandingan merupakan pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama.36 Sebagai bahan perbandingan, dalam penulisan tulisan ilmiah ini penulis memberikan pengertian pornografi anak dalam tinjuan umum di Bab II yang dikemukan oleh undang-undang federal Amerika Serikat (18 U.S Code § 1466A) serta

Kitab Undang-Undang Pidana Kanada.

2. Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach)

Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach)

merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.37 Dalam penulisan ilmiah ini, pendekatan perundang-undangkan dimaksudkan sebagai analisis terhadap peraturan perundang-undangan, yaitu mencakup peraturan perundang-undangan nasional Indonesia serta instrumen-instrumen hukum internasional, khususnya hukum hak asasi manusia internasional.

3. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach)

Pendekatan analisis konsep hukum yaitu beranjak dari konsep-konsep hukum yang ada dalam hukum primer maupun beberapa

36

Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitan Hukum, Kencana, Jakarta, h.95.

37


(30)

sumber lain yang berhubungan dengan isu yang hendak dibahas. Disamping itu pula, dalam pendekatan ini penulis juga beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.38 Dengan pendekatan inilah penulis bertujuan untuk mampu mengalisis dan memahami substansi ilmu hukum yang diperlukan sesuai dengan isu hukum yang hendak dibahas.

c. Sumber Bahan Hukum

Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung pada jenis datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari: bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.39 Untuk dapat memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.40 Adapun sumber-sumber hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu:

1. Bahan hukum primer, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,

38

Ibid, h.137.

39

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h.163.

40


(31)

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.41 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan hukum ini yaitu :

Universal Declaration of Human Rights

Convention on the Rights of the Child

Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography

Convention on Cybercrime

International Covenant on Civil and Political Rights

 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik

 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

41


(32)

 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019

 Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia 2015

2. Bahan hukum sekunder, bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.42 Dalam penulisan ini bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu berupa buku-buku, makalah hukum, internet yang berkaitan dengan pornografi anak di dunia maya.

3. Bahan Hukum tersier, bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia Online melalui situs kbbi.web.id

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam penulisan hukum ini, yaitu teknik studi dokumen. Dimana dalam penulisan karya ilmiah ini teknik yang akan digunakan yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum, baik itu sumber hukum primer maupun sekunder. Dalam pengumpulan bahan hukum primer akan diperoleh dengan mengumpulkan peraturan yang terkait sesuai dengan masalah yang akan dibahas. Sementara untuk bahan hukum sekunder akan diperoleh melalui penelitian kepustakaan.

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

42


(33)

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang terkumpul digunakan berbagai teknis analisis seperti deskripsi, interpretasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi, dan sistimatisasi. Adapun teknik analisis bahan hukum yaitu: sebagai berikut43 :

1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistimatis, teologis, kontektual, dan lain-lain.

3. Teknik konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi (a contrario).

4. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

5. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan

43


(34)

hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.

6. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.

Berdasarkan penjabaran teknik analisi bahan hukum di atas, dalam penulisan ini hampir secara keseluruhan 6 teknik yang ada, hal ini sangat penting dilakukan untuk menghasilkan tulisan ilmiah yang komprehensif serta agar tujuan serta manfaat dari penelitian ini senantiasa dapat direalisasikan.


(35)

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1Tinjauan Umum tentang Anak 2.1.1 Definisi Anak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak diartikan sebagai manusia yang masih kecil.1 Sementara itu Menurut Suryana seorang anak merupakan sebuah rahmat serta anugerah yang diberikan Allah sebagai penguji keimanan, sebuah media beramal yang menjadi bekal di akhirat, tempat bergantung ketika usia senja, dan makhluk yang wajib dididik.2 Selanjutnya Nurhayati Puji Astuti menyebutkan bahwa seorang anak merupakan suatu titipan yang harus dijaga dan dididik sebagai buah hati dimana kelak orang tua menaruh harapan terhadapnya kelak.3

Definisi anak telah tercantum dalam Convention on the Right of the Child. Di dalam Pasal1 konvensi hak-hak anak merumuskan bahwa anak merupakan setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

Dalam instrumen hukum nasional Indonesia, Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pengertian anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan

1

Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), URL: http://kbbi.web.id/anak diakses pada tanggal 11 November 2015.

2

Joel, Pengertian Anak Menurut Para Ahli, URL : http://www.idjoel.com/pengertian-anak-menurut-para-ahli/ diakses pada tanggal 24 September 2015.

3


(36)

belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Begitu pula pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2.2.2 Hak-Hak Anak

Pada tanggal 20 November 1959 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan Deklarasi tentang hak-hak anak.4 Dalam Mukadimah Deklarasi ini, tersirat bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. deklarasi ini memuat 10 (sepuluh) asas tentang hak-hak anak yaitu5 :

1. Anak berhak menikmati hak-haknya sesuai ketentuan yang terkandung dalam deklarasi ini. Setiap anak tanpa pengecualian harus dijamin hak-haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahsa, agama, pandangan politik, kebangsaan, tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atau status lain, baik yang ada pada dirinya maupun pada keluarganya. (Pasal 2 Konvensi Hak Anak) 2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh

kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk mengembangkan diri secara fisik, kejiwaan, moral, spritual, dan kemasyarakatan dalam situasi yang

4

Maidin Gultom, 2006, Perlindungan Hukum Terhadap Anak: Dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 45.

5


(37)

sehat, normal sesuai dengan kebebasan dan harkatnya. Penuangan tujuan itu ke dalam hukum, kepentingan terbaik atas diri anak harus merupakan pertimbangan utama. (Pasal 27 Konvensi Hak Anak) 3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan. (Pasal 7

Konvensi Hak Anak)

4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh kembang secara sehat. Untuk ini baik sebelum maupun setelah kelahirannya harus ada perawatan dan perlindungan khusus bagi anak dan ibunya. Anak berhak mendapat gizi yang cukup, perumahan, rekreasi, dan pelayanan kesehatan. (Pasal 24 Konvensi Hak Anak) 5. Anak yang cacat fisik, mental dan lemah kedudukan sosialnya akibat

keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan, dan perlakuan khusus. (Pasal 23 Konvensi Hak Anak)

6. Agar kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin dia harus dibesarkan di bawah asuhan dan tanggung jawab orang tuanya sendiri, dan bagaimanapun harus diusahakan agar tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang, sehat jasmani dan rohani. Anak dibawah usia lima tahun tidak dibenarkan terpisah dari ibunya. Masyarakat dan pemerintah yang berwenang berkewajiban memberikan perawatan khusus kepada anak yang tidak memiliki keluarga dan kepada anak yang tidak mampu. Diharapkan agar pemerintah atau pihak lain


(38)

memberikan bantuan pembiayaan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga besar. (Pasal 18 Konvensi Hak Anak)

7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapat perlindungan yang dapat meningkatkan pengetahuan umumnya, dan yang memungkinkan, atas dasar kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya, pendapat pribadinya, dan perasaan tanggung jawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Kepentingan anak haruslah dijadikan pedoman oleh mereka yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan bimbingan anak yang bersangkutan : pertama-pertama pertanggungjawaban tersebut terletak pada orang tua mereka. Anak harus mempunyai kesempatan yang leluasa untuk bermain dan berekreasi yang diharapkan untuk tujuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah yang berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanaan hak ini. (Pasal 28 Konvensi Hak Anak)

8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan. (Pasal 3 Konvensi Hak Anak)

9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan dan kekerasan. Ia tidak boleh dijadikan subjek perdagangan. Anak tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan atau pendidikannya, maupun yang dapat


(39)

mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa, dan akhlaknya. (Pasal 35 Konvensi Hak Anak)

10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Mereka harus dibesarkan dalam semangat penuh pengertian, toleransi dan persahabatan antar bangsa, perdamaian serta persaudaraan semesta dengan penuh kesadaran bahwa tenaga dan bakatnya harus diabdikan kepada sesama manusia. (Pasal 2 Konvensi Hak Anak)

2.2 Tinjauan Umum tentang Pornografi Anak di Dunia Maya

Disamping mengkaji beberapa pengertian dari beberapa ahli terkait pornografi anak di dunia maya, perlu ditinjau unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, sub bahasan berikut akan menjabarkan terkait

istilah “pornografi” serta istilah “internet” sebagai kata yang mewakili istilah

“dunia maya (cyberspace)”. Hal ini bertujuan untuk memberikan pengertian

mengenai pornografi anak di dunia maya sehingga nantinya cukup relevan untuk digunakan.

2.2.1 Definisi dan Ruang Lingkup Pornografi

Porno dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai cabul, cabul diartikan sebagai keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar


(40)

kesopanan, kesusilaan).6 Sedangkan pornografi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai7 :

1. Penggambaran tingkah laku secara erotis; dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan bafsu birahi,

2. Bahan bacaan yang diangkap sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan bafsu birahi di seks.

Dalam konteks diskursus mengenai citra pornografi dan media massa, Atmakusumah Astraatmadja dalam sebuah tulisannya “Mitos dan

Hiruk Pikuk di Balik Pornografi” menawarkan definisi pornografi8

:

a) Pornografi adalah publikasi atau penampilan materi seksual secara eksplisit yang tidak berhubungan dengan tujuan sastra, artistik, dan seni, ilmu pengetahuan, atau politik.

b) Pornografi adalah citra atau gambaran gamblang yang memperlihatkan alat kelamin atau kegiatan seksual yang semata-mata bertujuan untuk membangkitkan birahi serta tidak berkaitan dengan tujuan sastra, artistik dan seni, ilmu pengetahuan, atau politik.

Kedua rumusan dapat ditafsirkan bahwa pornografi merupakan suatu hal yang dapat disebarkan melului media. Seiring dengan perkembangan teknologi media, pengertiannya kemudian berkembang tidak hanya di media massa dua dimensi, namun juga mencakup media

6

Syahrial Wiryawan dan Wahyu Wagiman, 2007, Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi dalam RUU KUHP, ELSAM, Jakarta, h. 11-12

7

Ibid.

8


(41)

lain, seperti lagu dalam kaset atau CD, program televisi, acara radio, film, komik, iklan, situs internet, bilboard, dan sebagainya.9

Dalam hukum Indonesia, definisi pornografi dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut mendefinisikan pornografi sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi, dan/atau pertunjukkan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Suatu perbandingan dapat diambil dari Amerika Serikat yakni ketika pada tahun 1986, Komisi Meese yang dibentuk untuk mengetahui ragam pornografi yang berkembang pada masa kepemimpinan Presiden Amerika, Lyndon Johnson. berhasil mengidentifikasi lima jenis pornografi, yaitu10:

1. Sexually violent material, yaitu materi pornografi dengan menyertakan kekerasan. Jenis pornografi ini tidak saja menggambarkan adegan seksual secara eksplisit tetapi juga melibatkan tindakan kekerasan.

2. Nonviolent material depicting degradation, domination, subordination, or humiliation. Meskipun jenis ini tidak menggunakan kekerasan dalam materi seks yang disajikannya,

9

Azimah Soebagijo, 2008, Pornografi: Dilarang Tapi Dicari, Gema Insani, Jakarta, h.25-27.

10


(42)

di dalamnya terdapat unsur yang melecehkan perempuan,

misalnya dengan melakukan seks oral, atau “dipakai” oleh

beberapa pria, atau melakukan hubungan seks dengan binatang. 3. Nonviolent and nondegradation materials adalah produk media yang memuat adegan berhubungan seksual tanpa unsur kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan.

4. Nudity, yaitu materi seksual yang menampilkan model telanjang. Majalah Playboy masuk dalam kategori ini.

5. Child Pornography adalah produk media yang menampilkan anak atau remaja sebagai modelnya.

2.2.2 Definisi dan Perkembangan Dunia Maya (Cyberspace)

Terminologi yang muncul seiring dengan pertumbuhan dan penggunaan internet dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia adalah

cyberspace. Istilah cyberspace pertama kali digunakan oleh John Perry Barlow untuk interaksi online ke internet pada tahun 1990 dengan mengartikannya sebagai ruang yang muncul ketika anda sedang menelpon, ruang interaksi interaktif yang diciptakan oleh media sehingga ada kesadaran tentang kehadiran orang lain.11 Sejalan dengan pengertian

cyberspace tersebut, Bruce Sterling mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

“Cyberspace is the “place” where a telephone conversation

appears to occur. Not inside your actual phone, the plastic device

on desk. Not inside the other person’s phone, in some other city.

THE PLACE BETWEEN the phones. The indefine place OUT

11


(43)

THERE, where the two of you, two human beings, actually meet and communicate.” 12

Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia memiliki pengertian bahwa

dunia maya adalah “ruang” tempat berlangsungnya percakapan jarak jauh.

Bukan di dalam benda plastik (telepon) yang berada di atas meja. Bukan di dalam telepon milik orang lain, di kota lainnya. Ruang yang berada di antara kedua telepon tersebut. Ruang yang tidak berwujud di luar sana, tempat dimana dua orang secara aktual bertemu dan berkomunikasi.

Pengertian cyberspace dalam konteks penggunaan internet dan yurisdiksi dikemukakan oleh Georgios I. Zekos yang mengartikan

cyberspace sebagai suatu bentuk ruang yang tidak terdiri dari unsur fisik maupun lokasi geografi (an amorphous space that does not occupy a set physical or geographic location).13 Lebih lanjut cyberspace sebagai medium komunikasi global diartikan Zekos sebagai: 14

“An electronic place and sovereignty and never before have we seen a space in wich individuals, corporation, communities, goverments, and other entities can exist within and beyond the borders of the nation state in such an instanneous, contemporaneous, or ubiquitous manner.”

Dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan bahwa dunia maya merupakan ruang elektronik yang mandiri dan kita tidak pernah sebelumnya mengetahui ruang dimana individu, korporasi, masyarakat, pemerintah dan entitas lainnya dapat muncul di dalam dan di luar batas-batas negara dengan seketika dan serta merta. Hal ini tentunya merupakan

12

Ibid.

13

Ibid.

14


(44)

kenyataan besar yang telah dimiliki masyarakat dunia yang terhubung dengan jaringan dunia maya.

Definisi yang dikemukan Zekos tersebut menggambarkan bahwa

cyberspace merupakan tempat kedudukan tersendiri, yaitu tempat dan kedaulatan secara elektronik di mana para pengguna internet berada di luar batas yurisdiksi negara. Kedaulatan suatu negara tidak dapat mengendalikan aktivitas para pengguna internet di cyberspace karena hakekat internet sebagai jaringan elektronik yang tidak dibatasi oleh tempat.15

Sejarah perkembangan dunia maya (cyberspace) tidak dapat dipisahkan dari terjadinya Perang Dingin antara Uni Sovyet dengan Amerika Serikat seusai Perang Dunia II. Perang Dingin tersebut berimplikasi dengan semakin giatnya kedua negara mengembangkan teknologi, baik Amerika Serikat maupun Uni Sovyet kemudian mengembangkan teknologinya dengan peruntukan militer. Dalam hal ini, dibentuklah Advanced Research Project Agency (ARPA). Tugas pertama yang diemban oleh ARPA adalah mengamankan dan melindungi data-data dan sistem komunikasi yang telah dibangun dan tidak dapat dihancurkan.16

Upaya pengamanan informasi dan sistem komunikasi telah menghantarkan terjalinnya kerja sama antara kalangan militer dengan berbagai universitas di Amerika Serikat. Licklider dan W. Clark adalah orang-orang pertama yang membuat paper dengan judul paper online man

15

Ibid

16

Maskun, 2013, Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,h.88.


(45)

communication. Melalui paper tersebut, Licklider kemudian menjadi orang pertama yang memimpin Computer Research Program pada Departemen Pertahanan Amerika Serikat.17 Dalam upaya untuk membuat jaringan komputer yang bisa saling berhubungan antara yang satu dan lainnya, Departemen Pertahanan Amerika Serikat telah melakukan suatu eksperimen yang disebut ARPAnet yang diharapkan dapat tetap berfungsi, meskipun terjadi gangguan pada sebagian jaringan tersebut.18

Pada saat hampir bersamaan Local Area Network (LAN) berbasis Ethernet mulai dikembangkan. Pada umumnya, LAN tersebut menggunakan UNIX yang dilengkapi perangkat lunak jaringan IP. Pada saat itu, banyak organisasi yang membangun jaringan-nya sendiri menggunakan protokol komunikasi seperti yang disebut oleh ARPAnet sebagai IP. Hal tersebut memungkinkan komputer pada suatu LAN dapat mengakses fasilitas ARPAnet. Jaringan tersebut makin banyak dan disempurnakan, sehingga terbentuk internet seperti yang ada sekarang ini.19

2.2.3 Ruang lingkup Pornografi Anak di Dunia Maya (Cyber Child Pornography)

Pornografi anak atau child pornography atau child porn adalah bahan-bahan porno yang menampilkan anak-anak, kebanyakan negara menyebutkan hal itu sebagai bentuk dari child sexual abuse yang

17

Ibid.

18

Ibid, h.88-89.

19


(46)

merupakan hal yang melanggar hukum.20 Child pornography tersebut berupa foto-foto yang menampilkan anak-anak yang terlibat dalam perilaku seksual dan memproduksi bahan-bahan tersebut dengan sendirinya dilarang oleh hukum sebagai child sexual abuse di kebanyakan negara.21

Menurut undang-undang federal Amerika Serikat (18 U.S Code § 1466A), child pornography didefinisikan sebagai berikut22 :

“A visual depiction of any kind, including a drawing, cartoon, sculpture, or painting, photograph, film, video, or computer- generated image or picture, whether made or produced by electronic, mechanical, or other means, of sexually explicit conduct, where it

depicts a minor engaged in sexually explicit conduct and is obscene, or

depict an image that is, or appears to be, of a minor engaging in graphic bestiality, sadistic or masochistic abuse, or sexual intercourse, including genital-genital, oral-genital, anal-genital, or oral-anal, whether between persons of the same or opposite sex, and such depiction lacks serious literary, artistic, political, or scientific value.”

Dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan bahwa pornografi anak merupakan segala bentuk pengambaran yang dapat dilihat yang memuat gambar, kartun, patung, atau lukisan, fotografi, film, video, atau gambar yang dihasilkan oleh komputer, baik itu dibuat atau diproduksi secara elektronik, mekanik, atau dalam bidang lain, yang menunjukkan secara jelas mengandung tindakan seksual, sebagai berikut:

20

Sutan Remy Syahdeini, 2009, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Grafiti, Jakarta, h. 176.

21

Ibid.

22


(47)

 Menggambarkan tindakan seksual dan cabul yang dilakukan dengan anak di bawah umur, atau

 Menggambarkan hubungan seksual yang menyangkut anak di bawah umur dengan binatang, perbuatan sadis atau penyalahgunaan tindakan seksual atau hubungan kelamin, seperti antar kelamin, oral-kelamin, dubur-kelamin, atau oral-dubur, baik melalui sesama atau berbeda jenis kelamin, dimana hal tersebut tidak mengandung nilai sastra, artistik, politik atau sain.

Menurut Pasal 163.1 Kitab Undang-Undang Pidana Kanada, istilah

child pornography diartikan sebagai23 :

“Any written material or visual representation, whether photographic, film or video, made by any mechanical or electronic means, that:

shows or depicts a person who is, or appears to be, under the age of eighteen engaging in (or depicted as engaging in) explicit sexual activities

has as its dominant characteristic the depiction, for sexual purpose, of a sexual organ or the anal region of a person under the age of eighteen years

advocates or counsels sexual activity with a person under the age of eighteen years.”

Dalam bahasa Indonesia dapat pornografi anak dapat dimaknai sebagai berbagai materi tertulis atau wujud visual, baik dalam bentuk foto, film, video yang dbuat dari alat mekanik atau elektronik, yang :

 menunjukkan atau menggambarkan seseorang di bawah umur 18 tahun melakukan hubungan seksual secara langsung

23


(48)

 mempunyai penggambaran ciri-ciri yng berpengaruh untuk tujuan seksual berupa organ seksual atau daerah dubur anak di bawah 18 tahun

 Menganjurkan suatu aktivitas seksual kepada anak di bawah 18 tahun.

2.3 Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia 2.3.1 Pengertian Hak Asasi Manusia

Istilah hak asasi manusia adalah terjemahan dari istilah droit de l’

homme dalam bahasa Perancis yang berarti “hak manusia”.24 Hak asasi manusia dalam bahasa Inggrisnya adalah human rights, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan menselijke rechten. Di Indonesia pada

umumnya dipergunakan istilah “hak-hak asasi” atau “hak-hak dasar” yang

merupakan terjemahan dari basic rights (bahasa Inggris) dan grodrechten

(bahasa Belanda).25 Kemudian, di beberapa literatur sebagian pengarangnya menggunakan istilah hak-hak asasi menjadi istilah hak-hak fundamental, sebagai terjemahan dari istilah fundamental rights dari bahasa Inggris dan fundamentele rechten dalam bahasa Belanda.26 Di Amerika Serikat disamping dipergunakan istilah human rights juga digunakan istilah civil rights.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh

24

Theresia Rifeni Widiartati, 2010, Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan Berdasarkan Asas Pancasila Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 103-104.

25

Ibid.

26


(49)

jaminan hukum, sebab hak-hak hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dapat dilindungi hukum. Melindungi hak dapat terjamin, apabila hak-hak itu merupakan bagian dari hukum, yang memuat prosedur hukum untuk melindungi hak-hak tersebut. Hukum pada dasarnya merupakan pencerminan dari HAM, sehingga hukum itu mengandung keadilan atau tidak, ditentukan oleh HAM yang dikandung dan diatur atau dijamin oleh hukum itu.

HAM merupakan alat untuk memungkinkan warga masyarakat dengan bebas mengembangkan bakatnya untuk penunaian tugasnya dengan baik. Kemungkinan ini diselenggarakan oleh negara dengan jalan membentuk kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum, yang merupakan tugas penting negara. Kebebasan dijamin oleh negara demi kepentingan masyarakat. Kaidah hukum ini memungkinkan anggota masyarakat mengembangkan bakatnya bermanfaat bagi perkembangan hukum dan tercapainya tertib hukum.27

Mengenai pengertian HAM, A Gunawan Setiardja mengemukakan28 :

1. Definisi yuridis HAM menunjuk pada HAM yang dikodifikasikan dalam naskah atau dokumen secara hukum mengikat baik dalam konstitusi nasional maupun dalam perjanjian internasional.

2. Definisi politis HAM, yang menunjuk pada pengertian politik, yaitu proses dinamis dalam arti luas berkembangnya suatu

27

Maidin Gultom, Op.cit, h.7-8.

28


(50)

masyarakat tertentu. Termasuk di dalamnya keputusan-keputusan yang diambil dalam rangka kebijaksaan pemerintah dalam upaya-upaya mengorganisir sarana-sarana atau sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut. hukum merupakan suatu hasil terpenting dari proses politik, hukum berakar dalam keadaan politik kongrit masyarakat.

3. Definisi moral HAM yang menunjuk pada dimensi normatif HAM. Makna etis HAM menyangkut justru problem esensial, klaim individul harus diakui sebagai hak-hak yuridis atau hak-hak politik. Pengertian klaim etis, tuntutan etis mengandung di dalamnya suatu pandangan teoritis mengenai landasan norma-norma etis.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

2.3.2 Konsep Dasar Hak Asasi Manusia

Sistem nilai yang menjelma dalam konsep hak asasi manusia (HAM) tidaklah semata-mata sebagai produk Barat, melainkan memiliki dasar


(51)

pijakan yang kokoh dari seluruh budaya dan agama.29 Pandangan dunia tentang HAM adalah pandangan kesemestaan bagi eksistensi dan proteksi kehidupan dan kemartabaan manusia.30

Wacana HAM terus berkembang seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Namun demikian, wacana HAM menjadi aktual karena sering dilecehkan dengan sejarah manusia sejak awal hingga kurun waktu kini. Gerakan dan diseminasi HAM terus berlangsung bahkan dengan menembus batas-batas teritorial sebuah negara. Manfred Nowak menegaskan human right must be considered one of the major achievements of modern day philosophy. Ruth Gavison juga menegaskan, the twentieth century is often described as “the age of right.”31

Begitu derasnya kemauan dan daya desak HAM, maka jika ada sebuah negara yang diidentifikasi mengabaikan HAM, dengan sekejap mata nation-state di belahan bumi ini memberikan respon, terlebih beberapa negara yang dijuluki sebagai adi kuasa memberikan kritik, tudingan, bahkan kecaman keras seperti embargo dan sebagainya.32

Terdapat tiga generasi HAM, dimana ciri yang terpenting dalam generasi HAM pertama adalah bahwa pengertian HAM hanya terbatas pada bidang hukum dan politik.33 Elemen dasar dari konsepsi generasi

29

Majda El Muhtaj, 2009, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Rajawali Pers, Jakarta, h. 1.

30

Ibid.

31

Ibid, h.1-2.

32

Ibid, h.2.

33


(52)

HAM pertama mencakup soal prinsip intergritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan kebebasan sipil, dan politik.34 Generasi HAM kedua menyusul pada keinginan yang kuat masyarakat global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan HAM yang melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya.35 HAM generasi kedua lebih dalam konteks tuntutan untuk persamaan sosial (claims to social equality).36

perkembangan pemikiran HAM juga mengalami peningkatan ke arah kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan hukum dalam

“satu keranjang” yang disebut dengan hak untuk pembangunan (the right

to development).37 Inilah generasi HAM ketiga, hak atas atau untuk pembangunan mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut.38

2.3.3 Instrumen-Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia

Perlindungan yang diperoleh masyarakat internasional dalam kerangka universal saat ini tidak lepas dari upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Tiga tahun setelah berdiri, Majelis Umum mencanangkan

34

Ibid.

35

Ibid, h.23.

36

Ibid, h.25.

37

Ibid.

38


(53)

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) pada tanggal 10 Desember 1948.39

Setelah diterimanya Deklarasi Universal tahun 1948, timbullah pemikiran untuk mengukuhkan pemajuan perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam dokumen-dokumen yuridik yang mengikat negara-negara yang menjadi pihak.40 Bila Deklarasi Universal hanya bersifat himbauan betapapun nilai politis dan historisnya, dokumen-dokumen yuridik hak-hak asasi mengingat sifatnya yang mengikat akan dapat mengawasi pelaksanaan yang efektif hak-hak tersebut.41

Instrumen-instrumen hukum hak asasi manusia yang telah disepakati yakni42 :

1. Perjanjian internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), Perjanjian internasional ini berupaya meningkatkan dan melindungi 3 kategori hak yakni hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan; hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas, standar kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai; hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Perjanjian internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik

(Internasional Covenant on Civil and Political Rights) berikut

39

Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, h. 679.

40

Ibid.

41

Ibid.

42


(54)

Protokol Opsionalnya, sebagaimana instrumen ini memberikan hak petisi kepada individu-individu yang memenuhi semua persyaratan untuk melakukannya. Selanjutnya terdapat pula pengapusan terhadap hukuman mati, tercakup pula hak-hak seperti kebebasan bergerak, persamaan di depan hukum, praduga tidak bersalah, kebebasan berpikir, berkesadaran dan kebebasan berserikat, berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan dan pemilihan umum serta perlindungan terhadap kaum minoritas. Perjanjian ini juga melarang perampasan secara sewenang-wenang atas kehidupan; penyiksaan, perlakuan, atau hukuman yang kejam atau merendahkan martabat; perbudakan, kerja paksa; penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang dan lain-lainya.

3. Konvensi tentang Pencegahan dari Pencegahan dari Penghukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan Ras (Convention on the Protection and Punishment of the Crime of Genocide), konvensi ini merupakan jawaban terhadap kekejaman-kekejaman yang terjadi selama Perang Dunia II dan mengkategorikan kejahatan pemusnahan ras sebagai perbuatan untuk menghancuhkan kelompok-kelompok nasional etnis atau agama serta meminta negara untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut.

4. Kovensi tentang status para Pengungsi (Convention Relating to the Status of Refugees), konvensi ini menjelaskan hak-hak dan kewajiban pengungsi, terutama hak mereka untuk tidak dipaksa kembali ke


(55)

negeri mereka dan membuat ketentuan-ketentuan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan mereka sehari-hari termasuk hak untuk bekerja, pendidikan, bantuan publik dan jaminan sosial.

5. Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elemination of All Forms of Racial Discrimination), Konvensi ini mengutuk segala macam bentuk diskriminasi rasial dan meminta negara-negara mengambil tindakan untuk menghapuskan diskriminasi tersebut baik dari segi hukum maupun dalam praktiknya.

6. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination againts Women), konvensi ini memberikan jaminan hak yang sama di depan hukum antara wanita dan pria dan menjelaskan tindakan-tindakan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap wanita sehubungan dengan kehidupan politik dan publik, kewarganegaraan, pendidikan, lapangan kerja, kesehatan, perkawinan, dan keluarga.

7. Konvensi tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam dan tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment of Punishment), konvensi ini mengkategorikan penyiksaan sebagai kejahatan internasional dan meminta negara bertanggungjawab untuk mencegah penyiksaan dan menghukum para pelakunya.


(56)

8. Konvensi mengenai Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), konvensi ini menegaskan hak-hak anak untuk memperoleh perlindungan dan kesempatan serta fasilitas khusus bagi kesehatan dan pertumbuhan secara normal.


(1)

pijakan yang kokoh dari seluruh budaya dan agama.29 Pandangan dunia tentang HAM adalah pandangan kesemestaan bagi eksistensi dan proteksi kehidupan dan kemartabaan manusia.30

Wacana HAM terus berkembang seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Namun demikian, wacana HAM menjadi aktual karena sering dilecehkan dengan sejarah manusia sejak awal hingga kurun waktu kini. Gerakan dan diseminasi HAM terus berlangsung bahkan dengan menembus batas-batas teritorial sebuah negara. Manfred Nowak menegaskan human right must be

considered one of the major achievements of modern day philosophy. Ruth

Gavison juga menegaskan, the twentieth century is often described as “the

age of right.”31

Begitu derasnya kemauan dan daya desak HAM, maka jika ada sebuah negara yang diidentifikasi mengabaikan HAM, dengan sekejap mata nation-state di belahan bumi ini memberikan respon, terlebih beberapa negara yang dijuluki sebagai adi kuasa memberikan kritik, tudingan, bahkan kecaman keras seperti embargo dan sebagainya.32

Terdapat tiga generasi HAM, dimana ciri yang terpenting dalam generasi HAM pertama adalah bahwa pengertian HAM hanya terbatas pada bidang hukum dan politik.33 Elemen dasar dari konsepsi generasi

29

Majda El Muhtaj, 2009, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Rajawali Pers, Jakarta, h. 1.

30 Ibid. 31

Ibid, h.1-2. 32

Ibid, h.2. 33


(2)

HAM pertama mencakup soal prinsip intergritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan kebebasan sipil, dan politik.34 Generasi HAM kedua menyusul pada keinginan yang kuat masyarakat global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan HAM yang melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya.35 HAM generasi kedua lebih dalam konteks tuntutan untuk persamaan sosial (claims to social equality).36 perkembangan pemikiran HAM juga mengalami peningkatan ke arah kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan hukum dalam

“satu keranjang” yang disebut dengan hak untuk pembangunan (the right

to development).37 Inilah generasi HAM ketiga, hak atas atau untuk

pembangunan mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut.38

2.3.3 Instrumen-Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia

Perlindungan yang diperoleh masyarakat internasional dalam kerangka universal saat ini tidak lepas dari upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Tiga tahun setelah berdiri, Majelis Umum mencanangkan

34

Ibid. 35

Ibid, h.23. 36

Ibid, h.25. 37

Ibid. 38


(3)

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal

Declaration of Human Right) pada tanggal 10 Desember 1948.39

Setelah diterimanya Deklarasi Universal tahun 1948, timbullah pemikiran untuk mengukuhkan pemajuan perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam dokumen-dokumen yuridik yang mengikat negara-negara yang menjadi pihak.40 Bila Deklarasi Universal hanya bersifat himbauan betapapun nilai politis dan historisnya, dokumen-dokumen yuridik hak-hak asasi mengingat sifatnya yang mengikat akan dapat mengawasi pelaksanaan yang efektif hak-hak tersebut.41

Instrumen-instrumen hukum hak asasi manusia yang telah disepakati yakni42 :

1. Perjanjian internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights), Perjanjian internasional ini berupaya meningkatkan dan

melindungi 3 kategori hak yakni hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan; hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas, standar kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai; hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Perjanjian internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik

(Internasional Covenant on Civil and Political Rights) berikut

39

Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, h. 679.

40 Ibid. 41

Ibid. 42


(4)

Protokol Opsionalnya, sebagaimana instrumen ini memberikan hak petisi kepada individu-individu yang memenuhi semua persyaratan untuk melakukannya. Selanjutnya terdapat pula pengapusan terhadap hukuman mati, tercakup pula hak-hak seperti kebebasan bergerak, persamaan di depan hukum, praduga tidak bersalah, kebebasan berpikir, berkesadaran dan kebebasan berserikat, berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan dan pemilihan umum serta perlindungan terhadap kaum minoritas. Perjanjian ini juga melarang perampasan secara sewenang-wenang atas kehidupan; penyiksaan, perlakuan, atau hukuman yang kejam atau merendahkan martabat; perbudakan, kerja paksa; penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang dan lain-lainya.

3. Konvensi tentang Pencegahan dari Pencegahan dari Penghukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan Ras (Convention on the Protection

and Punishment of the Crime of Genocide), konvensi ini merupakan

jawaban terhadap kekejaman-kekejaman yang terjadi selama Perang Dunia II dan mengkategorikan kejahatan pemusnahan ras sebagai perbuatan untuk menghancuhkan kelompok-kelompok nasional etnis atau agama serta meminta negara untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut.

4. Kovensi tentang status para Pengungsi (Convention Relating to the

Status of Refugees), konvensi ini menjelaskan hak-hak dan kewajiban


(5)

negeri mereka dan membuat ketentuan-ketentuan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan mereka sehari-hari termasuk hak untuk bekerja, pendidikan, bantuan publik dan jaminan sosial.

5. Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elemination of

All Forms of Racial Discrimination), Konvensi ini mengutuk segala

macam bentuk diskriminasi rasial dan meminta negara-negara mengambil tindakan untuk menghapuskan diskriminasi tersebut baik dari segi hukum maupun dalam praktiknya.

6. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elemination of All Forms of

Discrimination againts Women), konvensi ini memberikan jaminan

hak yang sama di depan hukum antara wanita dan pria dan menjelaskan tindakan-tindakan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap wanita sehubungan dengan kehidupan politik dan publik, kewarganegaraan, pendidikan, lapangan kerja, kesehatan, perkawinan, dan keluarga.

7. Konvensi tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam dan tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment of

Punishment), konvensi ini mengkategorikan penyiksaan sebagai

kejahatan internasional dan meminta negara bertanggungjawab untuk mencegah penyiksaan dan menghukum para pelakunya.


(6)

8. Konvensi mengenai Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the

Child), konvensi ini menegaskan hak-hak anak untuk memperoleh

perlindungan dan kesempatan serta fasilitas khusus bagi kesehatan dan pertumbuhan secara normal.