5
Secara historis agama yang dianut di Indonesia
sebenarnya berjumlah
sangat banyak, dari agama yang sering disebut
sebagai agama samawi Yahudi, Kristen, dan Islam hingga agama-agama lain, seperti
Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, dan lain sebagainya. Belum lagi agama-agama lokal
yang telah lama dianut oleh masyarakat sebelum kedatangan agama pendatang Islam
dan Kristen, yang kemudian sering disebut sebagai aliran kepercayaan sesuai dengan
kebudayaan dan adat istiadat. Secara
hukum, negara
membatasi agama-agama yang diakui secara resmi.
Negara tidak mengakui secara resmi seluruh keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat
Indonesia yang sangat banyak atau paling tidak mengakui seluruh keyakinan agama yang
berkembang di Masyarakat. Negara justru hanya memberi batasan bahwa ada 6 enam
agama resmi yang diakui. Selain agama yang 6 enam agama resmi yang diakui. Selain
agama yang 6 enam ini, dianggap tidak resmi dan tidak diakui.
Dalam KUHPidana WvS sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai tindak pidana
agama, meski ada beberapa tindak pidana yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana agama. Istilah tindak pidana agama itu sendiri sebenarnya mengandung
beberapa penegrtian : a
tindak pidana menurut agama; b
tindak pidana terhadap agama; c
tindak pidana yang berhubungan dengan agama.
Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik
agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama.
meski demikian, bila dicermati sebenarnya delik menurut agama bukan tidak ada dalam
KUHP meski hal itu tidak secara penuh ada dalam KUHPidana seperti delik pembunuhan,
pencurian, penipuanperbuatan
curang, penghinaan, fitnah, delik-delik kesusilaan
zina, perkosaan dan sebagainya
5
. B.
Peranan Kepolisian
Dalam Pengawasan
Dan Pencegahan
Penyalahgunaan Dan
Penodaan Agama
1. Pengaturan penodaan agama di
Indonesi kaitannya dengan kebebasan dan keyakinan.
Pelaku penodaan agama melakukan pembelaan dengan alasan kebebasan memeluk
agama dan
keyakinan sesuai
dengan konstitusi.
Namun, dalam
kenyataannya aturan-aturan normatif belum memberikan
perlindungan terhadap
masyarakat yang
berbeda pemahaman
agamanya dengan
sebagian besar dianut oleh rakyat Indonesia. Banyak sekali arga Negara Indonesia yang
merasa dikekang
kebebasannya dalam
memeluk agama dan berkeyakinan. Kebebasan itu h
anya ada dalam agama yang “diakui”
5
Oemar Seno Adji,
Hukum Acara Pidana Dalam Propeksi,
Erlangga, Jakarta, 1996, hlm 331.
6
pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar agama yang “diakui” itu maka ada efek
yang dapat mengurangi hak-hak sipil wwarga negara. bahkan, orang yang mempunyai
keyakinan tertentu, bisa dituduh melakukan penodaan agama.
Jaminan kebebasan beragama pertama- tama dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-
Undang dasar negara kita. pasal 28 e ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan
: Pasal 28 e ayat 1 berbunyi :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya,
memilih pendidikan
dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
Pasal 28 e ayat 2 berbunyi : “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Hal tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 29 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agama da n kepercayaan itu”.
Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia memberikan landasan
normatif bahwa agama dan keyakinan
merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. dalam pasal 22 ditegaskan :
1 Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu; 2
Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan
kepercayaannya itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi
tanggung jawab negara, tertutama pemerintah. Dari pasal tersebut di atas, jelas bahwa negara
c.q pemerintah
adalah institusi
yang pertama-tama berkewajiban untuk menjamin
kebebasan berkeyakinan. Hal itu bermula dari penetapan Presiden
No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan agama yang
status hukumnya kemudian ditingkatkan menjadi UU berdasar UU No. 5 tahun 1969.
Penetapan Presiden
Republik Indonesia
Nomor 1PNPS
tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama tersebut belakangan mulai direvisi dengan terbitnya Inpres No. 14 tahun
1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Meskipun Inpres tersebut tidak
secara eksplisit mencabut pengakuan terhadap eksiistensi agama Konghucu, namun dalam
praktek dilapangan
kesan pengingkaran
terhadap Konghucu sangat dirasakan, sehingga hak-hak sipil Penganut Agama Konghucu
menjadi terabaikan,
seperti masalah
perkawinan dimana Kantor Catatan Sipil tidak
7
mau mencatat, tidak memperoleh pendidikan agama Konghucu di sekolah, perayaan hari
raya dan sebagainya. Hal demikian semakin dipertegas dengan terbitnya Surat edaran SE
Menteri Dalam
negeri No.
47774054BA.01.2468395 tanggal
18 Nopember 1978 yang antara lain menyatakan
bahwa agama yang diakui oleh Pemerintah adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan
Budha. dari
SE tersebut,
Konghucu dikeluarkan dari daftar agama-agama di
Indonesia. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk
mencegah agar
jangan sampai
terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang
dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para pemimpin keagamaan yang diakui oleh
dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaanpenghinaan
serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang
Maha esa. Tak pelak lagi, Undang-undang ini dimaksudkan untuk membatasi aliran-aliran
keagamaan diluar agama yang resmi. Selanjutnya menurut Oemar seno Adji,
tujuan dimasukannya delik penodaan agama dalam KUHP pidana adalah :
“Yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu sendiri. agama, menurut pasal ini,
perlu dilindungi
dari kemungkinan-
kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol
agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski demikian, karena agama
“tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini ditujukan melindungi penganut agama”
6
. Selain
itu, hukum
pidana dalam
menentukan jenis perbuatan yang dapat dikatakan melanggar hukum dikenal dua jenis
sifat melawwan hukum, yaitu sifat melawan hukum Formil dan sifat melawan hukum
materil. ajaran sifat melawan hukum secara formal
asa s legalitas
menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana jika melakukan
hal-hal yang dilarang undang-undang yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Ajaran inilah
yang dianut sehingga perlunya dibuat aturan pencegahan dan penodaan agama. sedangkan
sifat melawan
hukum materiil
yaitu memungkinkan orang dijatuhi hukuman jika
melakukan hal-hal yang tidak patut dan merusak rasa keadilan dalam masyarakat,
meski perbuatan itu tidak dilarang undang- undang.
Persoalan antara perbuatan melawan hukum secara materiil dan secara formal
merupakan persoalan dilematis yang cukup lama. dilemanya terletak pada apakah kita
akan menggunakan prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan. Keduanya semata-mata
ada didalam konsepsi negara hukum. Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam
tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep negara hukum
reshstaat
, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi
6
Ibid, hlm.79-80.
8
hukum kawasan anglo Saxon dengan konsep negara hukum
the rule of law
. Pasal 156a yang sering dijadikan
rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan agama, Pasal ini selengkapnya berbunyi :
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa
dengan sengaja
di muka
umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: a.
yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan
dan penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang
tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Perlu dijelaskan bahwa Pasal 156a tidak
berasal dari Wetboek van Strafrecht WvS Belanda, melainkan dari Penetapan Presiden
Republik Indonesia Nomor 1PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan
atau Penodaan Agama. Pasal 4 Undang- Undang tersebut langsung memerintahkan
agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHPidana. Secara hukum, dimasukannya
Penetapan Presiden
Republik Indonesia
Nomor 1PNPS
tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama dalam KUHPidana dalam Pasal 156a menjadikan perbuatan yang diatur
dalam pasal tersebut sebagai tindak pidana kriminalisasi.
2. Peranan