TINJAUAN YURIDIS DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG TENTANG KEPOLISIAN
ABSTRAK
TINJAUAN YURIDIS DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG
TENTANG KEPOLISIAN
Oleh
ALHUDA TRI PUTRA
Diskresi polisi merupakan kewenangan anggota kepolisian untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Diskresi berkaitan dengan kebijaksanaan untuk pengambilan suatu keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi anggota polisi, yang harus dilakukan secara proporsional, memenuhi rasa keadilan dan bukan kesewenang-wenangan. Permasalahan penelitian ini adalah: 1.Apakah segala bentuk penyampingan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh pihak kepolisian merupakan suatu tindakan diskresi ? 2. Apakah tindakan diskresi yang dilakukan oleh pihak kepolisian hanya mengacu pada aturan-aturan pokok kepolisian ?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian sebanyak empat orang yaitu dua orang Penyidik pembantu pada satreskrim polresta Bandar Lampung dan dua orang Dosen Bagian Hukum pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: Terkait perkara tindak pidana yang dikesampingkan oleh pihak kepolisian merupakan suatu tindakan diskresi, tapi tidak semua bentuk penyampingan perkara dikatakan diskresi kepolisian, karena tidak sepenuhnya perkara tersebut dikesampingkan.
Dalam hal penegakan hukum (law Enforcement officiao) tindakan diskresi yang
(2)
oleh Kepolisian itu sendiri.Tindakan Diskresi kepolisian yang dilakukan oleh anggota polisi berpedoman pada Asas kewajiban kepolisian, asas kewajiban sering di gunakan di dalam bidang kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Salah satu contoh anggota kepolisian yang bertugas dilapangan yang pangkatnya paling bawah atau bayangkara dua, sabhara, ataupun anggota lain yang pangkatnya lebih tinggi dari itu. Pelaksanaan Diskresi Kepolisian memang harus mengacu pada aturan-aturan pokok kepolisian agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapan Diskresi.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pihak kepolisian hendaknya melaksanakan kewenangan diskresi dengan sebaik-baiknya secara jujur dan bertanggung jawab serta bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam sistem peradilan pidana. (2) Masyarakat diharapkan untuk memahami bahwa kewenangan diskresi memang diberikan oleh hukum kepada polisi dalam lingkup tugasnya, tetapi dalam batas-batas yang ditentukan hukum.
(3)
TINJAUAN YURIDIS DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG
TENTANG KEPOLISIAN
Oleh
ALHUDA TRI PUTRA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2014
(4)
TINJAUAN YURIDIS DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG
TENTANG KEPOLISIAN
Oleh
ALHUDA TRI PUTRA
Skripsi
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2014
(5)
(6)
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7
E. Sistematika Penulisan ... 13
II. TINJAUANPUSTAKA ... 15
A. Tinjauan umum tentang Kepolisian ... 15
1. Pengertian Polisi ... 15
2. Hukum Kepolisian ... 17
3. Obyek Hukum Kepolisian ... 17
4. Wewenang Kepolisian ... 18
B. DiskresiKepolisian ... 20
1. Pengertian Diskresi ... 20
2. Dasar Hukum Tindakan Diskresi ... 21
3.Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggung Jawabannya Secara Hukum ... 21
(8)
B.Sumber Dan Jenis Data ... 24
C.Penentuan Populasi dan Sampel ... 25
D.Prosedur Pengumpulan Dan Pengolahan Data ... 26
E.Analisis Data ... 27
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29
A.Karakteristik Responden ... 29
B.Bentuk penyampingan penanganan perkara tindak pidana yang di lakukan oleh pihak kepolisian merupakan suatu tindakan diskresi ... 31
C.Tindakan diskresi yang di lakukan oleh pihak kepolisian hanya Mengacu pada aturan-aturan pokok Kepolisian ... 39
V. PENUTUP ... 50
A. Kesimpulan ... 50
B. Saran ... 51
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(9)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan Polisi ditengah masyarakat sangat dibutuhkan, kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau polisi tidak ada, bisa jadi keadaan masyarakat akan kacau, kejahatan akan terjadi dimana dan bisa jadi hukum tidak dapat ditegakkan. Pada hakekatnya fungsi polisi dimanapun didunia ada tiga hal yaitu ketertiban, legalitas dan keadilan Dalam sistem peradilan pidana, polisi merupakan penegak hukum yang umumnya berkaitan dengan pemeliharaan ketertiban umum, pertolongan dan bantuan dalam semua jenis keadaan darurat, pencegahan dan peneyelidikan kejahatan.
Pasal 18 ayat (1) undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang kepolisian Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanaan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini bertindak dengan penilaian sendiri dapat disebut sebagai diskresi.
(10)
Diskresi dalam polisi dimulai pada tahun 1960, pada awalnya dalam sistem peradilan pidana tidak mengenal adanya diskresi karena polisi dan jaksa harus bekerja sesuai dengan hukum bila melakukan diluar itu berarti illegal. Definisi diskresi menurut K.C.Davis, adalah membuat pilihan atau putusan dari sejumlah kemungkinan yang akan ada atau bisa terjadi.
Diskresi didalam penegakan hukum memang tidak dapat dihindarkan, mengingat keterbatasan-keterbasan baik dalam kualitas perundang-undangan, sarana dan prasarana, kualitas penegak hukum maupun partisipasi masyarakat. Diskresi ini
merupakan refleksi pengakuan bahwa konsep penegakan hukum secara total (total
enforcement) dan penegakan hukum secara penuh (full enforcement) tidak
mungkin dilaksanakan, sehingga penegakan hukum yang aktual (actual
enforcement) yang terjadi. Hikmah yang terjadi adalah, bahwa diskresi inilah yang menjadi sumber pembaharuan hukum apabila direkam dan dipantau dengan baik dan sistematis1.
Setiap penerapan diskresi oleh polisi perlu dijauhkan dari kecenderungan tindakan represif dan militeristik, apalagi sampai sewenang-wenang bahkan anarki. Kultur-kultur kekerasan itu sangat mudah memperangkap diskresi polisi ke dalam bingkai pelanggaran HAM. Oleh karena itu, kultur polisi, terutama yang secara langsung atau tidak langsung memberikan kesempatan untuk penerapan diskresi polisi, semestinya mampu memposisikan kultur itu untuk senantiasa berlandaskan HAM. Bukan sebaliknya, kultur polisi bahkan menjadi pemicu pelanggaran HAM. Hal ini mutlak dibutuhkan, terutama buat polisi di Indonesia, yang telah menyatakan diri sebagai polisi sipil.
1
(11)
3
Sehingga reformasi kultur Polri merupakan syarat utama guna menghilangkan stigmanisasi oleh masyarakat atas kewenangan/kekuasaan yang berlebihan. Sebab, jika hal tersebut dibiarkan terus berlanjut maka akan membuat semakin
berkembangnya stigmanisasi tersebut berupa superbody-nya Polri. Kesan
demikian sama sekali tidak menguntungkan, karena Polri sebenarnya punya batas kewenangan ditengah luasnya wewenang yang dimiliki polisi, sebagaimana diatur Undang Undang No:2 Tahun 2002 tentang kepolisian.
Reformasi Polri yang sesungguhnya mutlak dibutuhkan, karena dengan itu akan dapat terwujud kinerja kepolisian tentang apa, bagaimana, dan sejauh mana setiap anggota boleh dan tidak boleh berbuat, sehingga diharapkan hal ini menjadi wacana bagi setiap orang yang menyandang status polisi atas boleh tidaknya pribadi yang bersangkutan melakukan pengaturan sikap serta perilaku seseorang atau sejumlah orang lain dalam situasi konflik. Tertutama jika situasi konflik tersebut dapat mengganggu keamanan dan ketertiban orang lain di sekitarnya.
Seorang petugas kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas ditengah-tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap keteriban dan keamanan umum atau bila diperkirakan akan timbul bahaya bagi kepentingan umum. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin baginya untuk meminta pengarahan terlebih dahulu dari atasannya sehingga dia harus berani memutuskan sendiri tindakannya. Namun dalam pelaksanaannya perlu beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi apabila seorang petugas Kepolisian akan “diskresi” yaitu :
1. Tindakan yang harus “benar-banar dilakukan “noodzakelijk, notwending”
(12)
2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian
“Zakelijk, sachlich).
3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya suatu
gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang tidak dikhawatirkan. Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan
4. Azas keseimbangan (evenredoig) dalam mengambil tindakan, harus
senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknya) tindakan atau sasaran yang dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau
berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.2
Selanjutnya didalam mengambil tindakan berdasarkan penilaiannya sendiri yang paling menentukan kualitas tindakan adalah kemampuan dan pengalaman petugas kepolisian yang mengambil tindakan tersebut. Oleh karena itu, pemahaman
tentang penting “diskresi kepolisian” dalam Pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan
dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 sehingga terlihat adanya jaminan bahwa petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan profesional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Berdasarkan latar belakang diatas membuat penulis
tertarik untuk mengangkat judul “Tinjauan Yuridis Diskresi Kepolisian Dalam
Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Undang-undang tentang Kepolisian”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan
Setelah memaparkan sejarah dan latar belakang dari penelitian yang membahas tentang tindakan serta kebijakan kepolisian di dalam menghadapi segala
2Kombes Pol Drs. DBM. Suharya, Diskresi Kepolisian dalam rangka Penaganan Anak Berkonflik Dengan Hukum,
disampaikan dalam acara Seminar Sehari “Peradilan Anak” Atas Kerjasama Maber Polri-Unisef-Sntra HAM Univ. Indonesia, Jakarta 11 Desember 2003
(13)
5
perkara tindak pidana, penulis mencoba merumuskan masalah dari penelitian yang akan di lakukan:
1. Apakah segala bentuk penyampingan perkara tindak pidana yang di lakukan oleh pihak kepolisian merupakan suatu tindakan diskresi ?
2. Apakah tindakan diskresi yang dilakukan oleh pihak kepolisian hanya mengacu pada aturan-aturan pokok kepolisian ?
2. Ruang Lingkup
Penelitian yang di lakukan oleh penulis tentang diskresi kepolisian, hanya memberikan ruang lingkup yang khusus mengenai hal-hal menyangkut tentang penanganan perkara-perkara oleh pihak-pihak kepolisian yang hanya mengacu pada penyampingan perkara atau perkara tindak pidana yang tidak berlanjut, dan aturan-aturan pokok kepolisian yang mengatur tentang Diskresi, Ruang lingkup ilmu yaitu Hukum Pidana.
C. Tujuan Dan Kegunaan penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat yang ingin di capai dalam penelitian ini 1. Tujuannya
(14)
a. Untuk mengetahui segala bentuk penyampingan perkara tindak pidana yang di lakukan oleh pihak kepolisian yang merupakan suatu tindak diskresi.
b. Untuk mengetahui tindakan diskresi yang dilakukan oleh pihak kepolisian hanya mengacu pada aturan-aturan pokok kepolisian.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah wawasan peneliti dalam kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan penyampingan perkara yang dilakukan pihak kepolisian yang merupakan suatu tindakan diskresi dan aturan-aturan pokok kepolisian mengenai diskresi.
b. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi instansi terkait, khususnya kepolisian untuk mengambil kebijaksanaan dalam hal
penyampingan perkara. Hal ini dalam rangka meningkatkan
profesionalisme dan kredibilitas dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk
(15)
7
mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan.3
Kerangka toeri yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang kebijakan
kriminal (criminal policy), yang menyatakan bahwa kebijakan kriminal pada
dasarnya terdiri dari:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application)
b. Pencegahan tanpa pidana (prevetion without punishment)
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime
and punishment/mass media)4
Kebijakan kepolisian tidak meneruskan tersangka ke penuntut umum atau dikesampingkan perkaranya tidak terlepas dari kebijakan legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang. Hal ini penting agar kepolisian dalam mengambil
kebijakan mempunyai landasan yuridis sebagai pedoman bertindak5.
Diskresi adalah kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas, terutama di dalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri.
Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara
3
Soerjono Soekanto (1986: 125) 4
Barda Nawawi Arief, 1996: 48 5
(16)
pidana yang ditanganinya. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang atau arogansi polisi, maka tindakan diskresi dibatasi oleh: asas keperluan, yaitu diskresi harus benar-benar diperlukan untuk kepentingan tugas kepolisian; asas tujuan, yaitu tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya kekhawatiran pada akibat yang lebih besar; dan asas keseimbangan, yaitu tindakan yang diambil harus keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat
ringannya obyek yang harus ditindak.6
Pemberian diskresi kepada polisi menurut Chambliss dan Seidman pada hakekatnya bertentangan dengan negara yang didasarkan pada hukum. Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan terjadi, tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan dapat dicapai. Di sini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh peraturan yang jelas dan tegas, suatu keadaan yang tidak dapat dicapai7.
Berdasarkan pendapat Chambliss dan Seidman maka dapat dikatakan bahwa hukum itu hanya memberikan arah pada kehidupan bersama secara garis besarnya saja, sebab begitu ia mengatur hal-hal secara sangat mendetail, dengan memberikan arah langkah-langkah secara lengkap dan terperinci, maka pada waktu itu pula kehidupan masyarakat akan macet. Maka dari itu sesungguhnya diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan yang diperlukan dan
6
(Kelana, 1981: 31). 7 opcit hal 88
(17)
9
memang diberikan oleh hukum itu sendiri untuk menyelesaikan masalah yang ada dimasyarakat.
Kewenangan kekuasaan diskresi oleh polisi maka polisi memiliki
kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh
Samuel Walker bahwa: ”Satu hal yang dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian
atau lembaga lain dalam melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk bertindak dalam situasi khusus
sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas sendiri” 8
Sekalipun polisi dalam melakukan diskresi terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada polisi guna memberikan efisiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar, selanjutnya diskresi memang tidak seharusnya dihilangkan. Hal ini seperti pendapat yang dikemukakan oleh Anthon F. Susanto bahwa: Diskresi tidak dapat dihilangkan dan tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi merupakan bagian integral dari peran lembaga atau organisasi tersebut.Namun, diskresi bisa dibatasi dan dikendalikan, misalnya dengan cara diperketatnya perintah tertulis serta adanya keputusan terprogram yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut tindakan diskresi. Persoalannya,keputusan-keputusan tidak terprogram
sering muncul dan membuka pintu lebar lebar bagi pengambilan diskresi9
8
Susanto,upaya dalam penegakan hukum di indonesia 2004: 97
9
(18)
Menurut Thomas Becker dan David L. Carter dalam Anthon F. Susanto bahwa: Keputusan yang tidak terprogram lebih menyerupai perintah khusus. Keputusan ini merupakan keputusan dengan tujuan khusus yang sering membutuhkan kreativitas dan penilaian dalam tingkat yang lebih besar. Meskipun masih ada batas-batas dalam perilaku personel, batas tersebut jauh lebih longgar
sehingga mengijinkan lebih banyak pengambilan diskresi 10
Meskipun diskresi dapat dikatakan suatu kebebasan dalam mengambil keputusan, akan tetapi hal itu bukan hal yang sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi. Menurut Skolnick adalah keliru untuk berpendapat, bahwa diskresi itu disamakan begitu saja dengan kesewenang-wenangan untuk bertindak atau berbuat sekehendak hati polisi
Tindakan yang diambil oleh polisi menurut Skolnick bahwa:
Tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan kepada pertimbangan pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan prinsip kelembagaan,sebagai berikut:
a. Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan.
b. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional dari polisi akan lebih terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga menimbulkan rasa tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum
10
(19)
11
Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas,
maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh
petugas,terutama didalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri. Sebagai contoh didalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan penyidikan didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi penyelidikan ini merupakan alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin
atau yang akan diteliti11
Untuk menghindari kericuan dalam memahami penulisan skripsi ini , penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pedoman. Adapun istilah-istilah yang digunakan adalah :
a. Tinjauan yuridis adalah meninjau atau mengkaji secara rinci suatu
permasalahan dan peristiwa dari sisi Hukum nya.12
b. Diskresi menurut H. Warsito Hadi Utomo adalah Kebijaksanaan,
keleluasaan atau kemampuan untuk memilih rencana kebijakan atau mempertimbangkan bagi diri sendiri.
11 Soerjono Soekanto,faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, 1986:132
(20)
c. Kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).
d. Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama presiden.
e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
dan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut.13
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini secara keseluruhan ,maka telah disusun Sistematika penulisan sebagai berikut :
I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah dalam penulisan skripsi , sehingga dapat dirumuskan permasalahan serta ruang lingkup selain itu bab ini juga membahas tentang tujuan dan manfaat penelitian , kerangka teoritis dan konseptual , serta sistematika penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang pengertian polisi , Pengertian Polisi , Hukum kepolisian ,Obyek Hukum Kepolisian , Wewenang kepolisian ,
(21)
13
Diskresi Kepolisian ,Dasar hukum tindakan diskresi , Kewenangan Diskresi kepolisian dan pertanggung jawabanya secara hukum , Alasan Pembenar, Alasan Pemaaf dan alasan Pengahapus penuntutan.
III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini dibahas tentang metode penelitian yang dilakukan guna menjawab permasalahan dalam penelitian ini. adapun langkah-langkah
penelitian yang dilakukan sebagai berikut : Jenis penelitian ,metode
penelitian, sumber dan jenis data, teknik pengumpulan data , analisis data.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan penjelasan dan pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian mengenai pelaksanaan Diskresi yang dilakukan pihak kepolisian berdasarkan Undang-undang tentang kepolisian. Dan juga akan diuraikan karakteristik responden yang terkait didalam nya.
V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan diakhiri dengan memberikan saran sebagai masukan bagi instansi yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
(22)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan umum tentang Kepolisian 1. Pengertian Polisi
Pengertian Polisi Dalam sepanjang sejarah arti dari polisi mempunyai tafsiran yang berbeda-beda, polisi yang sekarang dengan yang awal di temukan istilah sangat berbeda. Pertama kali polisi di temukan dari perkataan yunani",
politea",yang berarti seluruh pemerintah negara kota.1 Di negara Belanda pada
zaman dahulu istilah polisi di kenal melalui konsep Catur Praja dan Van VollenHonen yang membagi pemerintahan menjadi 4 (empat ) bagian, yaitu: 1. Bestur
2. Politic 3. Rechtspraak 4. Regeling
Politic dalam pengertian ini sudah di pisahkan dari Bestuur dan merupakan bagian
pemerintahan tersendiri2. Pada pengertian ini Polisi termasuk organ-organ
pemerintah yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban umum.
1
Djoko Prakoso,S.H. POLRI Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, PT. BINA AKSARA-Jakarta 1987 hal 34 2
(23)
15
Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of History mengemukakan
Pengertian Polisi dalam bahasa Inggris:
"Police Indonesia The English Language Came to Mean of planning for improving ordering communal exsistence", yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan susunan kehidupan masyarakat. Di dalam Encyclopaedia and social Science di kemukakan bahwa pengertian Polisi meliputi bidang fungsi, tugas yang luas, yang di gunakan untuk menjelaskan berbagai aspek pada pengawasan keseharian umum.
Kemudian dalam arti yang sangat khusus di pakai dalam hubunganya dengan penindasan pelanggaran-pelanggaran politik, yang selanjutnya meliputi semua bentuk pengertian dan ketertiban umum. Dengan demikian Polisi di berikan pengertian dan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum.
Dalam kamus bahasa Indonesia W.J.S. Poerwodarmita di kemukakan bahwa istilah Polisi mengandung pengertian:
1. Badan pemerintah ( sekelompok pegawai negeri ) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum.
2. Pegawai negeri yang bertugas menjaga ke amanan dan ketertiban Umum.
Pengertian ini istilah polisi mengandung 2 (dua) pengertian makna polisi tugas dan sebagai organnya.
(24)
2. Hukum kepolisian
Hukum kepolisian setiap negara berbeda, perbedaanya itu terletak pada bahasa, dan bentuk sistem pemerintahan di antaranya seperti:
1) Jerman, istilah hukum Kepolisian dengan sebutan Polizei Recht yaitu kumpulan-kumpulan hukum yang di khususkan pada kedudukan dan wewenang polisi yang antara lain memuat sejarah perkembangan sejarah polisi.
2) Istilah hukum kepolisian di negara belanda di sebut dengan" Politie Recht" yang isinya sama dengan Poliezei Rechr di jerman.
3) Inggris, sebutan hukum kepolisian di inggris adalah Policie Law, yang dimaksud negara inggris yang di namakan: England, Wales dan
Scotland.3
4) Hukum kepolisian di indonesia, negara republik indonesia adalah bekas jajahan belanda termasuk peraturan-peraturan khusus yang mengatur tentang masalah polisi yang di ciptakan oleh belanda.dan hukum kepolisian di indonesia masih mengikuti paham Belanda, yaitu Politie Recht.
3. Obyek Hukum Kepolisian
Hukum Kepolisian, tidak terlepas dari rumusan pokok pengertian dari hukum Kepolisian yaitu Hukum yang mengatur hal ikhwal mengenai polisi, baik polisi sebagai tugas maupun sebagai organ serta mengatur pula cara-cara bagaimana
3
(25)
17
organ tersebut melaksanakan tugasnya. Jadi obyek daripada hukum Kepolisian adalah:
1. Tugas Polisi
Tugas Polisi sebagai obyek, di atur dan di tentukan oleh hukum kepolisian. 2. Hubungan polisi dan tugasnya
Bila organ polisi melaksanakan tugasnya maka berarti organ tersebut sudah bergerak, sehingga timbul hubungan antara organ dan tugasnya. Hubungan antara organ Polisi dengan tugasnya adalah berupa "pelaksanaan". Artinya hukum kepolisian mengatur tentang bagaimana Kepolisian melaksanakan tugas
dan wewenangnya.4
4. Wewenang kepolisian
Undang-undang Nomor 13 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok kepolisian negara, maupun UU Nomor : 8 tahun 1981 tentang Undang¬Undang Hukum Acara Pidana, terdapat wewenang kepolisian negara dalam penyidikan suatu perkara Pidana.
a. Wewenang Umum
Negeri belanda mengenai wewenang kepolisian di nyatakan dengan tegas oleh pengadilan tertinggi Hooge Raad dalam arresnya pada tanggal 19 maret 1917
bahwa tindakan polisi dapat di anggap rechmatig (sah ) walaupun tanpa
"speciale wettelijke machtingin", atau pemberian kekuasaan khusus oleh Undang-Undang.
Indonesia secara tegas belum tercantum dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 1961, dimana tindakan kepolisian selalu di anggap sah apabila
4
(26)
tindakanya tidak melampaui batas-batas dan wewenangnya dan tidak melanggar HAM dan ukuran untuk kepentingan umum.
b. Wewenang khusus
Seperti di kemukakan pada bagian sebelumnya bahwa wewenang khusus ini merupakan weweriang yang di berikan polri dalam rangka melakukan fungsinya sebagai alat negara. Khususnya sebagai penyelidikan sebagaimana dalam pasal 13 Undang-undang Nomor : 13 tahun 1961.
Dalam Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 1961 tersebut bahwa: untuk kepentingan penyidikan maka Kepolisian Negara berwenang:
1. Menerima pengaduan 2. Memeriksa tanda pengenal
3. Mengambil sidik jari dan memotret seorang 4. Menangkap orang
5. Menggeledah badan 6. Menahan orang sementara
7. Memanggil orang untuk di dengar dan di periksa 8. Mendatangkan ahli
9. Menggeledah halaman, rumah, gudang, alat pengangkutan darat, laut dan udara 10. Mengambil barang untuk di jadikan bukti
11. Mengambil tindakan-tindakan lain
Semua yang di paparkan di atas adalah wewenang dari penyidik kepolisian yang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dan mengenai Undang-undang No 8/1981 tentang KUHAP adalah sama dengan kewenangan yang ada di Undang-undang No 13/1961.
(27)
19
B. Diskresi Kepolisian 1. Pengertian Diskresi
Pengertian diskresi menurut H. Warsito Hadi Utomo adalah Kebijaksanaan, keleluasaan atau kemampuan untuk memilih rencana kebijakan atau
mempertimbangkan bagi diri sendiri.5Pengertian diskresi menurut kamus Y.C.T.
Simorangkir Dkk adalah, sebagai kebebasan mengambil kepantasan dalam setiap situasi yang di hadapi menurut pendapatnya sendiri.
Apabila pengertian diskresi di gabungkan dengan kata kepahitan, maka istilah diskresi kepolisian dapat di artikan suatu kebijakan berdasarkan keluasanya untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya. Uraian di atas menyimpulkan bahwa dirinya itu di lakukan bukan lepas dari ketentuan hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum. Diskresi kepolisian menurut. Ade Rahmad Idnal, adalah wewenang pejabat Kepolisian untuk memilih bertindak atau tidak bertindak baik secara legal maupun secara ilegal dalam menjalankan tugasnya.
2. Dasar hukum tindakan diskresi
Dasar hukum kepolisian bagi petugas kepolisian negara republik indonesia (Polri ) dalam melaksanakan tugasnya dapat di lihat pada Pasal 18 ayat 1, Pasal 15 ayat 2 huruf k Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian republik indonesia, KUHAP juga memuat dasar hukum tentang diskresi dalam Pasal 7 ayat
5
(28)
1 huruf J KUHAP, yang berbunyi “Penyidik karena kewajibannya mempunyai
wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab”.Dan juga Pasal 5 Ayat I Huruf a angka 4 KUHAP.
3. Kewenangan Diskresi kepolisian dan pertanggung jawabanya secara hukum
"Integritas profesional yang utuh dan menyeluruh merupakan prasyarat bagi suksesnya pelaksanaan tugas kepolisian. Sebab tanpa integritas profesionalnya, dapat saja sikap dan tindakan polisi hanya di landasi oleh persepsi dan motivasi kepentingan subyektif pribadi yang memungkinkan pelanggaran kode etik dan standard moralitas polisi sebagai berlaku secara universal. Pada makalah yang di sampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro dengan judul " Ilmu Kepolisian dan Propesional Polri.
Bahwa profesional polri mengacu pada adanya sejumlah kemahiran dan
pengetahuan khusus yang menjadi ciri pelaku, tujuan dan kualitas (conduct, aims
and qualities) pekerjaan polisi. Sebagai seorang profesional, maka seorang
anggota polri adalah otonom, netral, dan independen6. Dalam kaitan dengan
kedudukan organisasi kepolisian dalam bidang kekuasaan Eksekutif (yang mencerminkan kekuasaan partai), maka Profesional Polri akan beard di cegah campur tangan kalangan politisi dalam kaitan kepolisian melakukan tugas pokonya secara propesional sesuai Pasal 13 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian.
6
makalah yang di sampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro dengan judul " Ilmu Kepolisian dan . Propesional Polri (seperti yang di kutip oleh Ade Rahmat Idnal)
(29)
21
Terkait dengan profesionalisme ini adalah juga adanya diskresi suatu propesi melakukan suatu pekerjaanya. Diskresi ini juga ada pada setiap anggota kepolisian dalam melakukan propesinya. Namun harus di ingat dan di jaga secara terus menerus, bahwa " kewenangan atau kekuasaan profesi malaksanakan diskresi ( terdapat juga profesi penuntut umum profesi hakim, dan advokat ) selalu mempunyai rambu-rambu pembatas. Penggunaan diskresi secara yang tidak di salah gunakan harus dapat di kendalikan secara internal melalui kode etik dan di siplin profesi. Tetapi juga harus di sediakan mekanisme pengawasan eksternal
berupa pertanggung jawaban secara hukum yang accountability. Penjabaran lebih
rinci tentang yang di maksud oleh Pasal 16 (2) dan Pasal 18 (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian ,merupakan tugas ilmu kepolisian.
(30)
A. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasari pada metode sistematika dan pemikiran-pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu beserta dangan bagaimana cara menganalisanya. Pada penelitian ini untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang diajukan dengan cara mencari data, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan dengan dua cara, yaitu mengacu pendapat Soerjono Soekanto (1986:76), yang menyatakan bahwa pendekatan masalah dalam penelitian hukum menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pendekatan secara yuridis normatif (library research) adalah pendekatan yang
dilakukan berdasarkan bahan hukum utama, menelaah beberapa hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan, dan doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum serta sistem hukum yang berkenaan dengan skripsi yang sedang dibahas atau menggunakan data sekunder diantaranya adalah asas-asas, kaidah, norma, dan aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan
(31)
23
perundang-undangan, dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
Pendekatan secara yuridis empiris disebut juga dengan sosiologis(field research)
Dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara langsung kelapangan, yaitu dengan melihat penerapan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum yang lain yang berkaitan dengan diskresi kepolisian dalam penanganan tindak pidana , serta melakukan wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai tindakan diskresi yang dilakukan oleh pihak kepolisian hanya mengacu pada aturan-aturan pokok kepolisian.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data primer
Data primer yaitu data yang di peroleh dari sumber pertama atau yang paling pokok. Data primer merupakan langkah awal dari bahan di dalam penelitian. Data sekunder yaitu data atau bahan hukum setelah bahan hukum primer yang antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.
1. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
(32)
1
Soerjono soekanto,1986:119)
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer bersumber dari:
1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah yaitu bahan-bahan berkaitan dengan bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, petunjuk teknis maupun pelaksanaan diskresi kepolisian dalam pelaksanaan tugas penyidikan.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, bibiliografi, dan hasil-hasil penelitian terdahulu.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu
dan ditetapkan untuk diteliti1.Berdasarkan pengertian tersebut diatas maka yang
menjadi populasi dalam penelitian ini adalah aparat kepolisian kota Bandar Lampung, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.
(33)
25
2
Ibid hal 121
Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari
populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian2.Dalam menentukan
sampel, metode yang digunakan “purposive proposional sampling” yaitu, metode
pengambilan sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan
penelitian, dimana pemilihan responden disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah dapat mewakili populasi terhadap masalah yang sedang diteliti.
Sesuai dengan metode pengambilan sampel, populasi yang akan diteliti sebagaimana tersebut diatas, maka responden/sampel dalam membahas masalah ini adalah sebagai berikut :
1. Polisi pada Polresta Bandar Lampung : 2(dua) orang
2. Dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Unila : 2(dua) orang +
Jumlah :4(empat)orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Penelitian normatif persoalan data adalah merupakan pantangan bagi penelitian ini hanya penelitian sosiologis saja, walaupun demikian tidak menutup kemungkinan penelitian normatif menggunakan data karena di dalam studi kasus yang di lakukan jelas mengacu pada data-data hukum yang telah terjadi. Adapun teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Studi lapangan
Kegiatan ini di maksud untuk mengetahui berapa kasus yang pernah di kesampingkan oleh pihak kepolisian atau yang di sebut dengan tindakan diskresi
(34)
kepolisian, dan terfokus pada data yang terjadi pada waktu tidak lampau atau lama. Dalam wawancara ini responden atau pihak-pihak kepolisian memberikan jawaban sesuai dengan kasus-kasus yang terjadi.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melalui
serangkaian kegiatan membaca , mencatat, mengutip, dan menelaah hal –hal yang
berkaitan dengan penulisan skripsi.
E. Analisis Data
Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara
sistematis, jelas, dan terperinci yang kemudian diinterprestasikan untuk
memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode
induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat umum sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Pada kegiatan penulisan skripsi, data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan dan menggambarkan data dan fakta yang dihasilkan dari penelitian dilapangan dengan suatu interprestasi evaluasi dan pengetahuan umum. Selanjutnya data yang diperoleh dari penelitian,
baik data primer maupun data sekunder, kemudian dianalisis dengan
menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum, dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan yang
(35)
27
bersifat khusus guna menjawab permasalahan berdasarkan penelitian dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.
(36)
V. PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bentuk Penyampingan penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh kepolisian merupakan suatu tindakan diskresi, tapi tidak semua bentuk penyampingan perkara dikatakan diskresi kepolisian, karena tidak sepenuhnya
perkara tersebut dikesampingkan. Dalam hal penegakan hukum (law
Enforcement officiao) tindakan diskresi yang diterapkan oleh Kepolisian juga berlandaskan norma-norma yang telah ditentukan oleh Kepolisian itu sendiri. Diskresi kepolisian dapat dilakukan di dalam semua bentuk pelaksanaan tugas kepolisian, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif. Dan tugas represif tersebut dapat dibagi menjadi represif yustisial (penyidikan ) dan represif non yustisial (pemeliharaan ketertiban).
2. Tindakan Diskresi kepolisian yang dilakukan oleh semua jajaranya berpedoman pada Asas kewajiban kepolisian, asas kewajiban sering di gunakan di dalam bidang kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Salah satu contoh anggota kepolisian yang bertugas dilapangan yang pangkatnya paling bawah
(37)
49
atau bayangkara dua, sabhara, ataupun anggota lain yang pangkatnya lebih tinggi dari itu. Pelaksanaan Diskresi Kepolisian memang harus mengacu pada aturan-aturan pokok kepolisian agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapan Diskresi.
B.Saran
1. Perlunya pihak Kepolisian melaksanakan kewenangan diskresi dengan sebaik-baiknya secara jujur dan bertanggung jawab serta bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam sistem peradilan pidana.
2. Perlunya peran masyarakat untuk memahami bahwa kewenangan diskresi memang diberikan oleh hukum kepada Polisi dalam lingkup tugasnya, tetapi dalam batas-batas yang ditentukan aturan hukum.
(38)
DAFTAR PUSTAKA
Alam ,Tunggal Wawan,. Memahami Profesi Hukum. Melinea Popular, Jakarta.2004. Farouk, Muhammad . Menuju Reformasi Polri, Restu Agung, Jakarta 2003.
Faal, M. Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita, jakarta 1997
H. Warsito Hadi Utomo, SH, Mhum, Hukum Kepolisian di Indonesia Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta-Indonesia 2005.
Kelana, Momo. 1981. Hukum Kepolisian. PTIK. Jakarta.
Moeljatno,asas-asas hukum pidana,Bina aksara.1987.
Muladi, Kapita Selekte Sistem Peradilan Pidana (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 1995
Marzu ,Mahmud Peter. Peneletian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta 2006. Prakoso,Djoko. POLRI Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, PT. BINA
AKSARA-Jakarta 1987.
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Susanto, F. Anton. 2004. Kepolisan dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia
Rineka Cipta. Jakarta
Suharya, DBM .Diskresi Kepolisian dalam rangka Penaganan Anak Berkonflik
Dengan Hukum, disampaikan dalam acara Seminar Sehari “Peradilan Anak”
Atas Kerjasama Maber Polri-Unisef-Sntra HAM Univ. Indonesia, Jakarta 11 Desember 2003
(39)
Widyadharma,Ridwan Ignatus, Etika Profesi Hukum. 1996. Indonesia, Undang Undang No.2 tahun 2002 ,tentang kepolisian. Indonesia, Undang Undang No. 81 tahun 1981, tentang KUHAP Indonesia, Kitab Undang-undang hukum acara pidana(KUHAP). Rahardjo,1991: 112
Ade Rahmat Idnal, AKP, SIK, MSI. www.google.com Artikelnya berjudul Kewenangan Diskresi kepolisian.
(1)
26
kepolisian, dan terfokus pada data yang terjadi pada waktu tidak lampau atau lama. Dalam wawancara ini responden atau pihak-pihak kepolisian memberikan jawaban sesuai dengan kasus-kasus yang terjadi.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melalui serangkaian kegiatan membaca , mencatat, mengutip, dan menelaah hal –hal yang berkaitan dengan penulisan skripsi.
E. Analisis Data
Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas, dan terperinci yang kemudian diinterprestasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Pada kegiatan penulisan skripsi, data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan dan menggambarkan data dan fakta yang dihasilkan dari penelitian dilapangan dengan suatu interprestasi evaluasi dan pengetahuan umum. Selanjutnya data yang diperoleh dari penelitian, baik data primer maupun data sekunder, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum, dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan yang
(2)
27
bersifat khusus guna menjawab permasalahan berdasarkan penelitian dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.
(3)
48
V. PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bentuk Penyampingan penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh kepolisian merupakan suatu tindakan diskresi, tapi tidak semua bentuk penyampingan perkara dikatakan diskresi kepolisian, karena tidak sepenuhnya perkara tersebut dikesampingkan. Dalam hal penegakan hukum (law Enforcement officiao) tindakan diskresi yang diterapkan oleh Kepolisian juga berlandaskan norma-norma yang telah ditentukan oleh Kepolisian itu sendiri. Diskresi kepolisian dapat dilakukan di dalam semua bentuk pelaksanaan tugas kepolisian, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif. Dan tugas represif tersebut dapat dibagi menjadi represif yustisial (penyidikan ) dan represif non yustisial (pemeliharaan ketertiban).
2. Tindakan Diskresi kepolisian yang dilakukan oleh semua jajaranya berpedoman pada Asas kewajiban kepolisian, asas kewajiban sering di gunakan di dalam bidang kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Salah satu contoh anggota kepolisian yang bertugas dilapangan yang pangkatnya paling bawah
(4)
49
atau bayangkara dua, sabhara, ataupun anggota lain yang pangkatnya lebih tinggi dari itu. Pelaksanaan Diskresi Kepolisian memang harus mengacu pada aturan-aturan pokok kepolisian agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapan Diskresi.
B.Saran
1. Perlunya pihak Kepolisian melaksanakan kewenangan diskresi dengan sebaik-baiknya secara jujur dan bertanggung jawab serta bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam sistem peradilan pidana.
2. Perlunya peran masyarakat untuk memahami bahwa kewenangan diskresi memang diberikan oleh hukum kepada Polisi dalam lingkup tugasnya, tetapi dalam batas-batas yang ditentukan aturan hukum.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Alam ,Tunggal Wawan,. Memahami Profesi Hukum. Melinea Popular, Jakarta.2004. Farouk, Muhammad . Menuju Reformasi Polri, Restu Agung, Jakarta 2003.
Faal, M. Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita, jakarta 1997
H. Warsito Hadi Utomo, SH, Mhum, Hukum Kepolisian di Indonesia Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta-Indonesia 2005.
Kelana, Momo. 1981. Hukum Kepolisian. PTIK. Jakarta. Moeljatno,asas-asas hukum pidana,Bina aksara.1987.
Muladi, Kapita Selekte Sistem Peradilan Pidana (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 1995
Marzu ,Mahmud Peter. Peneletian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta 2006. Prakoso,Djoko. POLRI Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, PT. BINA
AKSARA-Jakarta 1987.
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Susanto, F. Anton. 2004. Kepolisan dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia
Rineka Cipta. Jakarta
Suharya, DBM .Diskresi Kepolisian dalam rangka Penaganan Anak Berkonflik Dengan Hukum, disampaikan dalam acara Seminar Sehari “Peradilan Anak” Atas Kerjasama Maber Polri-Unisef-Sntra HAM Univ. Indonesia, Jakarta 11 Desember 2003
(6)
Widyadharma,Ridwan Ignatus, Etika Profesi Hukum. 1996. Indonesia, Undang Undang No.2 tahun 2002 ,tentang kepolisian. Indonesia, Undang Undang No. 81 tahun 1981, tentang KUHAP Indonesia, Kitab Undang-undang hukum acara pidana(KUHAP). Rahardjo,1991: 112
Ade Rahmat Idnal, AKP, SIK, MSI. www.google.com Artikelnya berjudul Kewenangan Diskresi kepolisian.