PENDAHULUAN PRINSIP-PRINSIP EKOLOGISILVIKULTUR TEGAKAN CAMPURAN A. Prinsip interaksi komplementer

2 Tekno Hutan Tanaman Vol. No. , 2 1 April 2009, 1 - 7

I. PENDAHULUAN

Capaian pembangunan Hutan Tanaman Industri di Indonesia sampai saat ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pencapaian 10 tahun yang lalu. Luas pembangunan HTI kayu pertukangan pada tahun 1996 mencapai 123.897,36 ha, dan terus mengalami penurunan luasan penanaman sampai tahun 2006 yang hanya mencapai 31.784,51 ha Dephut, 2006. Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai kendala teknis dan non-teknis, yang diikuti oleh kurangnya upaya dalam mencari solusi penyebab kendala di atas. Terlepas dari berbagai permasahan yang ada, perlu adanya alternatif solusi untuk merangsang kembali pembangunan Hutan Tanaman Industri melalui pengembangan hutan tanaman campuran. Berbagai hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa hutan tanaman campuran dengan desain yang tepat dan cermat dapat menghasilkan potensi produksi tegakan yang lebih tinggi daripada hutan tanaman murni. Selain mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap serangan hama dan penyakit, hutan tanaman campuran dapat menghasilkan produksi yang berbeda pada waktu rotasi yang berbeda, mengurangi resiko perubahan pasar, lebih berhasil dalam rehabilitasi lahan dan menangkap karbon yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan tanaman murni.

II. PRINSIP-PRINSIP EKOLOGISILVIKULTUR TEGAKAN CAMPURAN A. Prinsip interaksi komplementer

Prinsip ini mencampur jenis berdasarkan perbedaan persyaratan tumbuh agar penggunaan tempat tumbuh dapat optimal. Kunci dalam prinsip interaksi ini adalah mengkombinasikan jenis yang mempunyai perbedaan toleransi terhadap naungan atau kebutuhan cahaya, perbedaan kecepatan pertumbuhan tinggi, perbedaan leaf area indeks, perbedaan phenologi daun gugur daun dan evergreen dan perbedaan dalam kedalaman akar. Dengan pencampuran yang tepat dan cermat jenis-jenis tersebut dapat memanfaatkan seluruh sumber daya tempat tumbuh seperti ruang, cahaya dan tanah secara optimal dan akan menghasilkan biomas yang lebih besar dibandingkan jika masing-masing jenis ditanam secara monokultur. Selanjutnya prinsip komplementer ini dibagi dalam 2 jenis interaksi, yaitu interaksi interspesifik dan interaksi intra spesifik. Interaksi interspesifik adalah interaksipersaingan yang terjadi pada 2 jenis tanaman yang mempunyai persyaratan tumbuh yang berbeda, sedangkan interaksi intraspesifik adalah interaksi persaingan yang terjadi pada jenis yang sama. Jenis-jenis yang mempunyai sifat komplementer disebut juga jenis yang mempunyai kombinasi ekologis yang baik Haggar dan Ewel, 1997. Jenis-jenis dengan ciri komplemen mempunyai persaingan interspesifik yang lebih rendah daripada intraspesifiknya. Fenomena inilah yang disebut dengan mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dengan sebutan prinsip produksi yang kompetetif Vandelmeer, 1989. Penerapan ciri komplementer untuk tanaman campuran, pertumbuhan jenis intoleran lebih cepat akan membentuk tajuk sehingga jenis intoleran yang dibawahnya dapat tumbuh dengan baik. Pola pendekatan tajuk diatas dapat diterapkan dengan 2 model hutan tanaman campuran, antara lain: a. A fine-grained spatial pattern, campuran 2 jenis tanaman berselang-seling dalam baris b. A coarse-grained spatial pattern, campuran dalam blok-blok atau gabungan beberapa baris. Berdasarkan hasil penelitian dari Poleno 1981, campuran Pinus sylvestris dengan Picea abies di Chechnia mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan jika ditanam secara murni. S. Agung Sri Raharjo, Tigor Butar Butar dan A. Syaffari Kosasih dalam Pembangunan HTI 3 Gambar 1. Diagram kema 2 model tanaman campuran dengan dua spesies. Tiap gambar menunjukkan tahap sampling dan tahap akhir daur. A model fine-grained, B model coarse-grained. Kelty, 2006 Diagram of 2 model mixed plantation with 2 species, each picture shows sampling stage until old stage. A fine-grained model, B Coarse-grained model

B. Prinsip Fasilitasi