PABRIK ROKOK SUKUN DI DESA GONDOSARI KECAMATAN GEBOG KABUPATEN KUDUS (1947 – 2012)

(1)

i

KECAMATAN GEBOG KABUPATEN KUDUS

(1947

2012)

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Sejarah

Oleh :

Hanas Aulia Winando NIM. 3150407010

JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2014


(2)

ii Hari : Rabu

Tanggal : 20 Agustus 2014

Pembimbing I Pembimbing II

Arif Purnomo, S.Pd, SS, M.Pd Drs. Abdul Muntholib, M.Hum NIP. 19730131 199903 1 002 NIP. 19541012 198901 1 001

Mengetahui, Ketua Jurusan Sejarah

Arif Purnomo, S.Pd, SS, M.Pd NIP. 19730131 199903 1 002


(3)

iii Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang pada:

Hari : Senin

Tanggal : 25 Agustus 2014

Penguji 1 Penguji 2

Arif Purnomo, S.Pd, SS, M.Pd Drs. Abdul Muntholib, M.Hum NIP. 19730131 199903 1 002 NIP. 19541012 198901 1 001


(4)

iv

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 25 Agustus 2014

Hanas Aulia Winando NIM. 3150407010


(5)

v

 Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Alam Nasyrah:5-6)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan, skripsi ini kupersembahkan kepada:

1. Kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih sayang dan doa tanpa henti-hentinya dalam menyusun skripsi ini.

2. Saudara-saudaraku yang selalu mendoakan. 3. Sahabatku semuanya yang tidak bisa disebutkan

satupersatu.

4. Bpk.Yusuf Wartono selaku Direksi P.R.Sukun Kudus

5. Andriyani Nilya


(6)

vi

yang mengiringi penulis selama dalam penyusunan skripsi. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada pihak-pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan dengan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberi kesempatan menempuh pendidikan di Universitas Negeri Semarang.

2. Dr. Subagyo, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang atas pemberian ijin penelitian.

3. Arif Purnomo, S.Pd, SS, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu sosial sekaligus pembimbing I yang telah memberikan bimbingan selama menempuh perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Abdul Muntholib, M.Hum, selaku pembimbing II yang memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Sejarah yang telah memberikan ilmu yang tidak dapat ternilai selama dalam bangku perkuliahan.

6. Pimpinan Pabrik Rokok Sukun yang telah memberikan ijin penelitian.

7. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(7)

vii

Semarang, Agustus 2014


(8)

viii Kata kunci: Pabrik Rokok Sukun

Kudus merupakan kabupaten yang mempunyai banyak jenis pabrik rokok, salah satu diantaranya yang berkembang cukup pesat adalah pabrik rokok Sukun. Namun demikian, kajian mengenai keberadaan pabrik ini belum banyak dilakukan. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan adalah 1) bagaimana sejarah berdirinya pabrik rokok Sukun di Desa Gondosari Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus, 2) bagaimana pengaruh ekonomi masyarakat dengan adanya pabrik rokok Sukun dari tahun 1947 – 2012.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode historis/ sejarah. Langkah awal dalam metodologi penelitian sejarah ini adalah heruistik (heuristic) merupakan sebuah kegiatan pencarian-sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi-materi sejarah atau evidensi (bukti) sejarah. Setelah peneliti mendapatkan berbagai sumber yang dianggap relevan dengan permasalahan yang dikaji, tahap selanjutnya adalah peneliti mengkritisi sumber-sumber yang telah ditemukan tersebut baik dari buku, dokumen, browsing internet, sumber tertulis dan hasil dari penelitian serta sumber lainnya. Interpretasi sejarah atau yang biasa disebut juga dengan analisis sejarah merupakan tahap dimana peneliti melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Historiografi adalah usaha mensintesiskan seluruh hasil penelitian atau penemuan yang berupa data-data dan fakta-fakta sejarah menjadi suatu penulisan yang utuh, baik itu berupa karya besar ataupun hanya berupa makalah kecil.

PR Sukun adalah suatu perusahaan perseorangan yang didirikan Bapak MC Wartono Pada tahun 1949 serta mendapatkan izin cukai no. SIP 6500/F; no. pengawasan bandrol K2417; dan ijin HO no. 067/WF/HO. Pada waktu itu semua kegiatan perusahaan terpusat di Kudus, meliputi bidang produksi, keuangan, personalia, dan pemasaran. Daerah pemasarannya masih sangat terbatas, khusus untuk memenuhi permintaan di Jawa Tengah. Pada waktu berdiri perusahaan hanya mempunyai tempat kerja yang sangat kecil dan produksinya masih sedikit sekali hanya sebesar ratusan ribu batang perharinya, rokok yang diproduksi antara lain: Klobot sukun,kretek dan lain sebagainya (www.sukunmcwartono.com ).Pembangunan dan perkembangan Pabrik Rokok Sukun di Kabupaten Kudus menyebabkan perubahan sosial ekonomi pada masyarakat, selain itu tentunya banyak menimbulkan dampak untuk masyarakat di sekitarnya. Dampak berdirinya Pabrik Rokok Sukun bagi pemerintah dan masyarakat diantaranya menambah penghasilan daerah yang dapat digunakan untuk memajukan dan mengembangkan potensi daerah kudus, menciptakan lapangan pekerjaan dan menyerap tenaga kerja disekitar area industri, dan perubahan sosial budaya dan ekonomi masyarakat.


(9)

ix

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

SARI ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penilitian ... 8

E. Kajian Pustaka ... 8

1. Sejarah Kretek di Indonesia ... 8

2. Kudus Sebagai Kota Kretek ... 13

F. Metode Penelitian ... 18

1. Pengumpulan Data/ Heuristic ... 20

2. Kritik Sumber ... 23

3. Penafsiran Data / Interpretasi dan Eksplanasi ... 26

4. Penyajian Data / Historiografi ... 27

BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN KUDUS ... 28

A. Kondisi Geografis dan Sejarah Kota Kudus ... 28

B. Kependudukan ... 36

C. Pendidikan ... 38


(10)

x

A. Sejarah Pabrik Rokok Sukun ... 47

B. Profil Pendiri Pabrik ... 59

C. Perkembangan Pabrik Rokok Sukun ... 62

D. Dampak Perkembangan Pabrik Rokok Sukun Terhadap Perekonomian Masyarakat ... 66

BAB IV PENUTUP ... 71

A. Simpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ……… 74

DOKUMENTASI………... 76 LAMPIRAN


(11)

xi 1. Surat Ijin Penelitian


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pengembangan suatu kota, tentu saja membutuhkan identitas kota yang kuat dan berkarakter. Dengan kata lain, hal ini terbentuk berdasarkan citra kota itu sendiri, yang merupakan kesan fisik yang memberikan ciri khas kepada suatu kota. Oleh karena itu, adanya citra kota yang kuat akan memperkuat identitas kota sehingga dapat membentuk kota yang menarik dan menimbulkan daya tarik bagi para wisatawan. Identitas kota seakan telah menjadi tolak ukur bagi kualitas lingkungan, khususnya menyangkut cara pandang orang terhadap lingkungan tersebut (Lynch dalam Purwanto, 2001:88).

Kudus dikenal sebagai Kota Kretek. Tentu saja selain dengan jenangnya di kabupaten ini tercatat ada lebih dari 100 pabrik rokok memproduksi berbagai jenis rokok, mulai dari rokok klobot, kretek tangan, rokok mesin (filter), hingga cerutu. Beragam pabrik besar, kecil, hingga industri rumahan tersebar di berbagai penjuru kota. Wilayah Kabupaten Kudus merupakan salah satu kabupaten terkecil di Propinsi Jawa Tengah, dengan luas wilayah 425.16 km2 / 42.516 ha. Secara administratif Kabupaten Kudus terdiri dari 9 kecamatan, 125 desa dan 7 kelurahan. Perekonomian Kabupaten Kudus didukung oleh berbagai sektor dengan sektor andalan bidang industri terutama industri rokok yang memberikan kontribusi terbesar, sehingga Kota Kudus disebut sebagai Kota Kretek (Kabupaten Kudus dalam Angka 2012).


(13)

Kudus sebagai kota yang bersifat plural dan terkenal dengan industri rokoknya, tentunya mendorong munculnya jenis-jenis usaha baru guna memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Kota Kudus memiliki kepentingan sebagai pengumpul dan penyalur komoditi yang diperlukan oleh masyarakat kota dan masyarakat sekitarnya. Jadi kota Kudus memerankan fungsinya menjadi suatu tempat-tempat sentral pelayanan administratif, perniagaan, dan kebutuhan-kebutuhan daerah pedesaan lainnya yang berdekatan dengan kota Kudus.

Kabupaten Kudus memiliki identitas kota yakni dengan sebutan Kota Kretek. Hal ini dikarenakan budaya kretek di Kudus memiliki sejarah yang penting bagi lingkup perekonomian warga Kudus. Ditandai dengan perkembangan perindustrian rokok kretek, mulai dari industri kecil hingga industri besar. Berdasarkan data survei penduduk dari pemerintah kota Kudus dinyatakan produk domestik regional bruto sektor industri di Kudus 62%, perdagangan 25%, dan pertanian kurang dari 5%, dimana sektor industri terbesar adalah industri rokok yang memberikan kontribusi sebesar Rp15,1 triliun dari total pendapatan cukai Rp 60 triliun (http://www.kuduskab.go.id).

Kretek dianggap sebagai salah satu kebudayaan dari Kota Kudus, yang tidak dapat dilupakan oleh masyarakatnya. Rokok kretek selain menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat Kudus, juga mampu diaplikasikan menjadi ikon kota Kudus.

Sekilas kota ini terlihat kecil dibanding kota-kota di Jawa lainnya, akan tetapi menurut sebuah catatan pada pertengahan abad ke-20, hampir di setiap


(14)

jalanan terdapat pabrik kretek. Baik besar maupun kecil mampu menebarkan aroma cengkeh dan tembakau yang khas dari rokok kretek. Sementara berbagai rokok lokal dapat dijumpai di warung-warung kecil dan toko-toko kelontong. Namun, julukan kota Kretek sendiri baru disandang oleh Kudus sejak awal abad ke-20.

Di samping perdagangan, hasil padi juga memainkan peran cukup penting dalam perekonomian lokal. Istilah Klobot, merupakan salah satu jenis kretek tradisional di Indonesia yang pertama kali ada dan menggunakan daun jagung kering. Meski kini kretek modern, berfilter yang dihasilkan dari mesin sudah puluhan tahun memenuhi pasar, klobot masih tetap diproduksi dan dikonsumsi oleh sebagian penduduk Indonesia, khususnya di pedesaan Jawa. Bahkan, beberapa pabrik besar kretek modern seperti PT Sukun, PT Gudang Garam tetap memproduksi rokok klobot (Hanusz Mark, 2011: 31).

Kretek merupakan produk yang dihasilkan dari tembakau yang dicampur dengan cengkeh dan sausage. Ketika dinyalakan dengan api, maka

akan menimbulkan bunyi “kretek-kretek”. Inilah awal mula masyarakat Jawa

memberikan nama rokok kretek yang dikenal sampai saat ini. Rokok kretek memberikan keuntungan tersendiri bagi warga Kudus. Hingga, keberadaan rokok kretek memiliki sejarah dan budaya yang cukup panjang untuk dijelaskan dari waktu ke waktu (Hanusz, Mark.2011:3).

Kebiasaan penduduk asli Jawa yakni mengunyah tembakau dengan sirih pinang yang menjadi tradisi nusantara sudah mulai ditinggalkan oleh preferensi estetika dan imperatif budaya modern dari luar. Hal ini tentu saja


(15)

dikarenakan karena masyarakat sudah mulai mengenal rokok kretek dan juga rokok mesin yang dijual akibat pengaruh perdagangan orang asing ke pulau Jawa (Topatimasang, Roem, dkk. 2010 : 3-4).

Melalui kretek pula masyarakat Kudus mendapatkan kesejahteraan tersendiri. Sehingga, wajar ketika kretek Indonesia telah memberi pemasukan dana yang cukup besar bagi negeri ini, ikut menggerakkan roda perekonomian nasional dan daerah, menyediakan lapangan kerja bagi petani dan buruh cengkeh dan tembakau, buruh rokok kretek tangan (SKT), para pengumpul dan penyalur, para juru angkut dan juru antar, serta memberikan penghasilan bagi para pengusaha ataupun stakeholder yang terlibat dalam bisnis rokok kretek. Tercatat dari data BPS 2011/2012, industri tembakau masih mendominasi dengan 34, 91 % dari jumlah usaha industri besar dan sedang. Menurut data PPRK, produksi rokok (SKT, SKM & klobot) di kabupaten Kudus tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 3,47 % dibandingkan tahun sebelumnya.

Kontribusi rokok yang besar, bahkan menyebabkan Kudus menjadi kabupaten yang perkembangan ekonominya cukup meningkat. Setidaknya dibandingkan dengan kabupaten Semarang yang memiliki pendapatan per kapita sebesar Rp 12.518.883 dan Kudus mencapai Rp 15.187.782 (tahun 2008-2011). Dari sudut pandang ketenagakerjaan, dapat dikatakan bahwa kehidupan warga Kudus bergantung pada rokok. Sebab dari 98.874 tenaga kerja pada tahun 2008, lebih dari 80 % terserap dalam industri rokok kretek (Badil, Rudy.2011:36).


(16)

Simbiosis mutualisme antara pedagang keliling sekitar perusahaan rokok seperti PT Djarum, Gudang Garam, Nojorono di Kudus, terlihat jelas pada saat pergantian shift (giliran) antara pagi hari dan siang hari. Salah satunya dijelaskan dalam buku KRETEK, yakni puluhan buruh tiap pagi/ tiap istirahat siang hari, sebelum masuk ke kantor akan mampir untuk membeli sesuatu di pasar dadakan atau untuk sekedar ngopi dan merokok di warung makan yang berada di depan pabrik rokok kretek tersebut (Topatimasang.2010:109).

Bagi warga Kudus, menjadi pengusaha rokok adalah sebuah kebanggaan. Menjadi pengusaha rokok adalah usaha turun-temurun yang diwariskan nenek moyang warga Kudus. Walaupun beromzet kecil, menjadi penghasil rokok adalah sebuah keunggulan dalam tataran sosial masyarakat Kudus.

Salah satu cikal bakal perusahaan rokok yang mampu bertahan sampai saat ini adalah perusahaan rokok Sukun Kudus yang didirikan oleh Bapak Mc. Wartono pada tahun 1947 di desa Gondosari kecamatan Gebog, sekitar 10 km dari kota Kudus. Saat didirikan perusahaan hanya memproduksi rokok Klobot dan sigaret kretek tangan, dengan karyawan 10 orang. Semula rokok Sukun hanya dipasarkan di kota Kudus dan sekitarnya, yang dalam perkembangannya bertambah luas. Untuk mengatasi permintaan yang semakin meningkat perusahaan menambah kapasitas bahan baku, tenaga kerja dan alat-alat produksinya. Saat ini perusahaan rokok Sukun Kudus merupakan salah satu dari 5 besar perusahaan rokok yang terdapat di Kabupaten Kudus, dengan karyawan kurang lebih sekitar 7000 orang yang sebagai besar terdiri dari wanita.


(17)

Setelah Mc. Wartono meninggal pada tahun 1974, usahanya diteruskan

oleh ketiga putranya yaitu Tas’an Wartono (putrakedua), Ridho Wartono (putra

keempat) dan Yusuf Wartono (putra kelima). Sedang putra keenam yang bernama Edi Wartono masih kuliah di Jakarta. Berekembangan selanjutnya,

perusahaan rokok “Soekoen” tetap dapat bertahan hingga kini karena memiliki

beberapa usaha lain yang dapat menopang kelancaran produksinya yaitu usaha percetakan dan industri pembuatan filter rokok. Jadi untuk kepentingan pembuatan rokok filter, bahan filternya dapat dipenuhi dari hasil perusahaannya sendiri.

Usaha rokok sebagai kerajinan tangan yang pada mulanya dikelola pengusaha Pribumi ini, dari hari ke hari semakin banyak peminatnya dari luar Kudus, sehingga peredarannya juga mengikuti gerak permintaan tersebut ke luar Kudus. Persebaran rokok semakin luas hampir menjangkau seluruh wilayah pulau Jawa. Ini berarti keuntungan yang akan diperoleh oleh kalangan industriawan Pribumi di Kudus juga semakin meningkat. Pencarian pasar baru ke luar pulau Jawa, juga telah dilakukannya dengan sambutan sangat baik. Semua perkembangan yang sangat luar biasa ini terjadi pada awal dasawarsa pertama pada abad ke 20. Melihat kemajuan yang dicapai para pengusaha Pribumi yang fantastis dalam waktu yang cukup singkat ini, membuat parapengusaha Cina yang semula lebih dulu bergerak dalam bidang perniagaan, secara beramai-ramai menjadi tertarik untuk mengikuti jejak dengan membuat usaha serupa, seperti yang telah dilakukan oleh kalangan pengusaha Pribumi yaitu industri rokok. Seiring dengan munculnya pengusaha Cina, mulailah terjadi persaingan diantara kedua golongan pengusaha rokok kretek yaitu Pribumi dan Non-Pribumi (Cina).


(18)

B.Rumusan Masalah

Kudus merupakan kabupaten yang mempunyai banyak jenis pabrik rokok, salah satu diantaranya yang berkembang cukup pesat adalah pabrik rokok Sukun. Perusahaan ini berkembang dengan pemasarannya bukan hanya di Kudus tetapi juga ke daerah – daerah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung dan Bali. Namun demikian, kajian mengenai keberadaan pabrik ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu penulis berupaya untuk melakukan penelitian mengenai pabrik rokok Sukun secara lebih mendalam. Berdasarkan latar belakang diatas, maka beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah berdirinya pabrik rokok Sukun di Desa Gondosari Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus?

2. Bagaimana pengaruh ekonomi masyarakat dengan adanya pabrik rokok Sukun dari tahun 1947 – 2012?

C.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan sejarah berdirinya pabrik rokok Sukun di Desa Gondosari Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pengaruh ekonomi masyarakat dengan adanya pabrik rokok Sukun dari tahun 1947 – 2012.


(19)

D.Manfaat Penilitian

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat menambah dan melengkapi kajian pengetahuan dalam ilmu sejarah terutama dalam menyediakan bahan tulisan tentang Sejarah berdirinya pabrik rokok Sukun di desa Gondosari sehingga dapat dipakai sebagai muatan local dan sekaligus menjadi sumbangan bagi perkembangan informasi dan khasanah ilmu sejarah Indonesia sebagai sub Sejarah Nasional Indonesia.

2. Manfaat Teoritik

Studi ini juga dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dna wawasan tentang episode local penelusuran Sejarah berdirinya pabrik rokok Sukun pada khususnya berkaitan dengan pengaruh ekonominya terhadap masyarakat desa Gondosari, sebagaimana pabrik memberikan pengaruhnya dalam masyarakat desa Gondosari dari segi pendapatan. Dan menelusuri persoalan-persoalan yang berkenaan dengan munculnya pabrik rokok Sukun dalam kaitannya dengan aspek ekonomi masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pendidikan dan penelitian lanjutan.

E.Kajian Pustaka

3. Sejarah Kretek di Indonesia

Rokok merupakan salah satu bentuk olahan dari tembakau yang sediaannya berbentuk gulungan tembakau (rolls of tobacco) yang dibakar


(20)

dan dihisap. Contohnya adalah bidi, cigar, cigarette. Sigaret/Cigarette merupakan sediaan yang paling dikenal dan paling banyak digunakan (Gondodiputro, 2007: 15).

Rokok yang dikonsumsi masyarakat Indonesia beragam jenisnya. Jenis-jenis rokok ini dibedakan berdasarkan bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok, dan penggunaan filter pada rokok. Rokok berdasarkan bahan pembungkusnya dibagi menjadi 4 yaitu rokok Klobot (rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun jagung), rokok Kawung (rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun aren), rokok sigaret (rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas), rokok cerutu (rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun tembakau).

Berdasarkan bahan yang digunakan terdapat rokok atau sigaret, kretek, rokok putih, dan juga rokok Klobot. Rokok atau sigaret terbuat dari daun tembakau, dan rokok kretek dibuat dari daun tembakau dan mempunyai campuran aroma dan rasa cengkeh. Masyarakat Jawa sebagai perokok pertama, juga mengenal istilah rokok putih, yaitu rokok tanpa cengkeh. Sedangkan rokok klobot terbuat dari daun jagung kering yang diisi dengan daun tembakau murni dan cengkeh. Di Indonesia pada tahun 1800 telah dikenal rokok kretek, yang merupakan campuran tembakau dan cengkeh, yang diperkenalkan oleh Studebacher Hock. 80% konsumsi rokok di Indonesia adalah rokok kretek (WHO, 2010).

Rokok kretek merupakan produk utama perusahaan rokok yang ada di Indonesia dan merupakan produk rokok khas Indonesia yang terdiri dari


(21)

beberapa campuran resep diantaranya adalah : Tembakau, cengkeh dan saus/ flavor. Rokok inilah yang membedakan rokok Indonesia dengan rokok dari daerah lain dengan citarasa cengkeh yang khas.

Sejarah rokok kretek di Indonesia berawal dari pulau Jawa. Kretek adalah rokok khas Indonesia yang terbuat dari campuran tembakau dan

cengkeh. Kata “kretek” sendiri berasal dari bunyi gemeretak cengkeh yang

timbul ketika rokok dibakar. Tembakau hadir di Indonesia sejak tahun 1600-an yang pertama kali dibawa ke pulau Jawa oleh pedagang dari Portugis. Tembakau (jawa: mbako) secara fonologis lebih dekat dengan

kata “tumbaco” dalam bahasa Portugis (http://www.kretek.co).

Momentum industrialisasi kretek diyakini dimulai oleh warga Kudus yang lain, yaitu M. Nitisemito yang melihat peluang usaha kretek dalam skala produksi massal. Ia mengubah usaha rumahan tersebut menjadi produksi massal melalui dua cara (http://www.kretek.co).

Pertama, ia menciptakan mereknya sendiri, yaitu Bal Tiga, dan membangun citra merek tersebut. Pengembangan label-label produknya dicetaknya di Jepang dan berbagai hadiah diberikan secara cuma-cuma kepada perokok setianya bila mereka menyerahkan bungkus kosong produknya (http://www.kretek.co).

Kedua, ia mulai mengerjakan berbagai tugas melalui subkontrak. Misalnya ada pihak yang menangani para pekerja, sedangkan Nitisemito menyediakan tembakau, cengkeh dan sausnya. Praktik bisnis seperti ini cepat diadopsi oleh pabrik rokok kretek yang lain dan berlanjut hingga


(22)

pertengahan abad ke-20, ketika perusahaan-perusahaan mulai merekrut para karyawan sendiri untuk menjamin kualitas dan loyalitas. Perusahaan Bal Tiga sendiri sudah lama hilang dan diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Kudus, sebuah kesaksian atas warisan kretek Indonesia (http://www.kretek.co).

Perkembangan rokok kretek Indonesia dimulai di Kudus pada tahun 1890 kemudian menyebar ke berbagai daerah lain di Jawa Tengah antara lain Magelang, Surakarta, Pati, Rembang, Jepara, Semarang juga ke Daerah Istimewa Yogyakarta (Gatra, 2000: 54). Perkembangan industri rokok di Indonesia ditandai dengan lahirnya perusahaan rokok besar yang menguasai pasar dalam industri ini, yaitu PT. Gudang Garam,Tbk yang berpusat di Kediri, PT. Djarum yang berpusat di Kudus, PT.HM Sampoerna, Tbk yang berpusat di Surabaya, PT. Bentoel yang berpusat di Malang dan PT. Nojorono yang berpusat di Kudus.

Pada pertengahan tahun 70-an, kondisi ekonomi yang meningkat menarik investasi luar negeri ke Indonesia. Pemerintah menginvestasikan arus masuk uang ini untuk mengembangkan industri pribumi, dan menawarkan pinjaman berbunga rendah kepada produsen rokok kretek. Rokok kretek buatan mesin juga pertama kali muncul pada era ini, sehingga pembuatan kretek dapat diotomatisasi. Bentuk dan ukuran rokok kretek jenis baru yang seragam ini menjadi kesukaan kalangan atas, dan pada akhir tahun 70-an, rokok kretek telah bersaing langsung dengan merek luar negeri. Akhirnya, kebijakan transmigrasi pemerintah pada tahun 70-an turut


(23)

menyebarkan rokok kretek ke seluruh penjuru nusantara. Transmigrasi pun mendorong perusahaan kretek untuk memperluas distribusinya secara nasional (http://www.kretek.co).

Dilihat dari jumlah perusahaan secara total, pada periode tahun 1981-2002 industri rokok cukup dinamis. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaan yang bergerak pada industri rokok kurun waktu tersebut telah mencapai 201 perusahaan. Tahun berikutnya jumlah perusahaan mengalami penurunan sampai dengan tahun 1990 yang merupakan pada titik terendah, dengan jumlah perusahaan sebanyak 170. Pada tahun 1990, industri rokok mulai bangkit kembali, dan terus berkembang hingga sampai tahun 1995 dengan jumlah perusahaan mencapai 244 perusahaan. Tahun 1996, industri rokok kembali lesu, sehingga hanya 228 perusahaan. Setelah tahun 2000, industri rokok relatif stabil, hal ini terlihat dari jumlah perusahaan yang jumlahnya berkisar 244 sampai dengan 247 perusahaan (Wibowo, 2003: 85)

Dari total industri rokok tersebut, sebesar 84,6 persen terdiri dari industri rokok kretek (31420), sebesar 4,1 persen merupakan industri rokok putih (31430), dan sebesar 11,3 persen dari industri rokok lainnya (31440). Dilihat dari pertumbuhan, secara total industri rokok tumbuh rata-rata 3,2 persen per tahun. Perusahaan rokok kretek (31420) tumbuh sebesar 4,64 persen per tahun, industri rokok putih (31430) tumbuh sebesar – 1,01 persen per tahun, serta industri rokok lainnya (31440) tumbuh sebesar – 1,98 per tahun (Wibowo, 2003: 85).


(24)

4. Kudus Sebagai Kota Kretek

Kabupaten Kudus terletak di Bagian utara Propinsi Jawa Tengah,

tepatnya terletak antara 110º36’ dan 110º50’ Bujur Timur dan antara 6º 51’

dan 7º16’ Lintang Selatan. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah 16 km

dan dari utara ke selatan 22 km. Merupakan Kabupaten dengan luas wilayah terkecil di Jawa Tengah. Kabupaten Kudus terbagi dalam 9 Kecamatan, 123 Desa dan 9 kelurahan, serta 701 Rukun Warga (RW), 3.662 Rukun Tetangga (RT) dan 363 Dukuh/Lingkungan (Kabupaten Kudus dalam angka, 2012).

Kabupaten Kudus sebagai salah satu sentra industri di daerah Pantura mempunyai peranan sentral dalam perkembangan industri di Indonesia pada umumnya dan Jawa Tengah pada khususnya. Berbagai industri mikro dan makro berkembang demikian pesatnya seiring diberlakukanya pasar bebas dewasa ini. Salah satu industri penting yang ada di kota Kudus adalah industri rokok. Banyak industri rokok berkembang di Kudus, dalam bentuk perusahaan rokok home industri maupun perusahaan besar lainya sebagai salah satu motor penggerak perekonomian daerah ini.

Sekilas kota ini terlihat kecil dibanding kota-kota di Jawa lainnya, akan tetapi menurut sebuah catatan pada pertengahan abad ke-20, hampir di setiap jalanan terdapat pabrik kretek. Baik besar maupun kecil mampu menebarkan aroma cengkeh dan tembakau yang khas dari rokok kretek. Sementara berbagai rokok lokal dapat dijumpai di warung-warung kecil dan toko-toko kelontong. Namun, julukan kota Kretek sendiri baru


(25)

disandang oleh Kudus sejak awal abad ke-20. Pada abad ke-17 dengan adanya pergeseran pusat politik dari kerajaan Demak ke Mataram Islam di daerah pedalaman Jawa Tengah, terjadilah pergeseran administrasi pemerintahan lokal sehingga kedudukan politik Kudus mengalami kemerosotan. Hal ini diikuti pergeseran kedudukan sosial ekonomi yang ditandai oleh kehadiran Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 1743 dan akibatnya keadaannya pun memburuk. Kudus menjadi daerah yang harus menyerahkan upeti beras kepada VOC. Lepas dari pemerintahan VOC, masuk ke masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada abad ke-19, Kudus berubah lagi statusnya menjadi kabupaten di bawah naungan Keresidenan Pati. Pada periode ini, secara bertahap kegiatan perdagangan lokal bermunculan kembali. Faktor pendukungnya

adalah posisi Kudus yang berada di jalur “Jalan Raya Postweg”dari Anyer

(Jawa Barat) hingga Panarukan (Jawa Timur), dan faktor yang lain yakni adanya jalur kereta api Semarang-Pati-Rembang. Di samping perdagangan, hasil padi juga memainkan peran cukup penting dalam perekonomian lokal. Istilah Klobot, merupakan salah satu jenis kretek tradisional di Indonesia yang pertama kali ada dan menggunakan daun jagung kering. Meski kini kretek modern, berfilter yang dihasilkan dari mesin sudah puluhan tahun memenuhi pasar, klobot masih tetap diproduksi dan dikonsumsi oleh sebagian penduduk Indonesia, khususnya di pedesaan Jawa. Bahkan, beberapa pabrik besar kretek modern seperti PT Sukun, PT Gudang Garam tetap memproduksi rokok klobot (Hanusz, Mark. 2011: 31).


(26)

Nitisemito adalah pribumi pertama yang mendirikan perusahaan rokok kretek merek Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito). Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kabupaten Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis) (http://id.wikipedia.org).

Kudus memiliki riwayat yang cukup panjang tentang kretek. Jika ditelusuri, banyak kisah – kisah menarik untuk diikuti, terutama cerita tentang sejarah kretek di masa lalu. Kretek tidak sekadar komoditi belaka. Dalam perjalanan sejarahnya ia juga membentuk sebuah kultur. Tidak hanya kebiasaan mengisap (udud), namun juga dampak di bidang industri kretek itu sendiri.

M. Nitisemito, salah satu ikon rokok kretek. Dia menjadikan sentral rokok kretek di kota Kudus. Sebagai mana disebutkan dalam buku Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya ini bahwa pada perempat pertama abad ke-20 ada tiga sentral industri rook di Jawa. Salah satunya ada di Kudus dengan perusahaan rokok milik Nitisemito. Nitisemito menjadi kebanggaan dan simbul pemicu lahirnya perusahaan rokok, baik bersekala


(27)

kecil maupun menengah dan besar di wilayah Pantura tengah. Selain milik Nitisemito ada juga pusat industri rokok di Jawa Vorstenlande

(kekeratonan Surakarta dan Yogyakarta) dan Lembah Brantas (Kediri, Tulungangung, Blitar, dan Malang). Riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu sekitar 1870-1880-an. Haji Djamhari wafat sebelum dapat meraup kekayaan dari rokok kretek. Hal ini justru diteruskan oleh seorang warga Kudus lain, salah satunya yaitu Nitisemito. Jadi, Haji Djamari lebih cocok disebut sebagai penemu rokok di Kudus. Pelopor industri rokok di Kudus, yakin Nitisemito. Nama Nitisemito memang sulit dilepaskan dari sejarah rokok di Jawa. Roesdi, nama kecil Nitisemito, sebetulnya diharapkan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai lurah. Ternyata Roesdi lebih suka berwirausaha. Setelah menikah dengan Nasilah, Roesdi mengganti namanya dengan Nitisemito. Menurut buku Raja Kretek Nitisemito (1980), yang ditulis Drs. Alex S. Nitisemito, sebelum menjadi juragan rokok, Nitisemito berganti – ganti usaha. Mulai tukang jahit, blantik alias pialang jual beli kerbau, jagal kerbau, rental dokar, dan jual – beli tembakau. Pada sekitar 1906, Nitisemito memberanikan diri memproduksi rokok. Semula diberi merek Kodok Mangan Ulo (Katak Makan Ular). Merek tersebut akhirnya diganti Bal Tiga. Perintisan ini dibantu dua putrinya, Nafiah dan Nahari. Selang delapan tahun, Nitisemito sudah menjadi pengusaha rokok raksasa (http://radarmuria.com).


(28)

Nitisemito menjalankan manajemen perusahaannya secara modern, untuk ukuran masa itu. Ia sudah menggunakan mobil untuk pemasaran. Ia mengubah industri rumahan tersebut menjadi produksi massal dengan cara yang cukup modern. Melancarkan kampanye pemasaran yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Label – label yang cantik dicetaknya dan berbagai hadiah diberikan secara Cuma – cuma kepada perokok setianya bila mereka menyerahkan bungkus kosong produknya. Hal tersebut hanya bertahan dan berkembang hingga pertengahan abad ke-20. Kudus disulap menjadi produsen rokok utama di tataran nasional. Tercatat 2009 terdapat 209 unit produksi rokok di Kudus. Sedangkan tahun 2008 dari 98.874 tenaga kerja, 80 persen adalah tenaga kerja industri rokok (http://radarmuria.com).

Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta. Kretek juga merambah Jawa Barat. Di daerah ini pasaran rokok kretek dirintis dengan keberadaan rokok kawung, yakni kretek dengan pembungkus daun aren. Pertama muncul di Bandung pada tahun 1905, lalu menular ke Garut dan Tasikmalaya. Rokok jenis ini


(29)

meredup ketika kretek Kudus menyusup melalui Majalengka pada 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok kawung di Ciledug Wetan. Perkembangan selanjutnya terdapat empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di Indonesia; Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing masing (http://id.wikipedia.org).

Perkembangan kretek secara cepat menyebar ke seluruh warga Kudus. Mereka meminta agar Hj.Djamhari mau memproduksi ramuannya serta menjualnya untuk umum. Sebagian warga Kudus, juga meniru cara memproduksi rokok kretek itu sehingga kretek berkembang menjadi industri rumah tangga dan baik secara langsung maupun tidak langsung (Badil, Rudy, 2011: 29). Perjalanan sejarah kretek tersebut merupakan alasan mengapa Kudus diberi julukan sebagai kota Kretek.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode historis/ sejarah. Menurut Louis Gottschalk (1986: 32) metode historis adalah suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman peninggalan masa lampau.

Menurut Kuntowijoyo, (1994: xii), metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah. Jadi metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang akan diteliti (Helius Sjamsuddin, 2007: 13).


(30)

Dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi arsip (dokumen), studi pustaka. Data yang diperoleh dikritik, baik secara intern maupun ekstern, sehingga menghasilkan fakta-fakta sejarah. Fakta sejarah menurut Louis Gottschalk, (1986:96) adalah sesuatu unsur-unsur yang dapat dijabarkan secara langsung atau secara tidak langsung dari dokumen-dokumen sejarah dan dianggap kredibel setelah pengujian yang seksama sesuai dengan hukum-hukum metode sejarah. Fakta sejarah tersebut kemudian diinterpretasikan dan disusun dalam bentuk cerita sejarah atau historiografi.

Penelitian ini membahas mengenai sejarah berdirinya perusahaan rokok Sukun dan pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat desa Gondosari Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Dilihat dari sasaran yang akan diteliti, dapat dikatakan sebagai penelitian sejarah yang bersifat emporal. Oleh karena itu, metode sejarah merupakan metode yang relevan untuk mendeskripsikan sejarah berdirinya perusahaan rokok Sukun dan pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat desa Gondosari Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Penelitian ini dilakukan melalui proses penggalian informasi dari karyawan pabrik rokok Sukun, dimana mereka merupakan narasumber yang dapat dikategorikan sebagai sumber primer.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Adapun langkah-langkah penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan merujuk pada metode historis yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut:


(31)

5. Pengumpulan Data/ Heuristic

Langkah awal dalam metodologi penelitian sejarah ini adalah heruistik (heuristic) merupakan sebuah kegiatan pencarian-sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi-materi sejarah atau evidensi (bukti) sejarah (Helius Sjamsuddin, 2007:86).

Menurut Renier yang dikutip oleh Abdurahman (2007: 64) menjelaskan Heuristik adalah suatu teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu. Oleh karena itu heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan umum. Namun, heuristik sering kali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, menangani dan merinci bibliografi atau mengklasifikasi dan merawat catatan-catatan.

Sedangkan menurut Ismaun (2005: 49), heuristik yaitu pencarian dan pengumpulan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan masalah yang akan diangkat oleh peneliti. Cara yang dilakukan adalah mencari dan mengumpulkan sumber, buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Secara sederhana, sumber-sumber sejarah dapat berupa: sumber benda, sumber tertulis dan sumber lisan. Secara lebih luas lagi, sumber sejarah dapat dibedakan ke dalam sumber formal dan sumber informal. Selain itu, dapat diklasifikasikan dalam sumber primer dan sumber sekunder.

Untuk memperoleh informasi mengenai teori dan hasil penelitian, peneliti dapat mengkaji berbagai sumber yang dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis menurut isi dan bentuk. Klasifikasi menurut bentuk


(32)

dibedakan atas sumber tertulis yang disebut dokumen antara lain: buku harian, surat kabar, majalah, buku notulen rapat, buku inventarisasi, ijazah, buku pengetahuan, surat keputusan, dan lain-lain yang secara umum dibedakan atas bahan-bahan yang ditulis tangan dan dicetak atau yang diterbitkan oleh penerbit. Sedangkan sumber bahan tidak tertulis adalah segala bentuk sumber bukan tulisan antara lain rekaman suara, benda peninggalan purbakala (relief, manuskrip, prasasti, film, slide, dan lain-lain).

Pengumpulan data – data dalam studi ini didapatkan melalui metode penelitian dengan teknik pengumpulan data dari proses penggalian sumber

– sumber sejarah yaitu sumber tertulis dan sumber lisan. Kedua sumber tersebut dapat dikategorikan ke dalam sumber primer dan sumber sekunder. Adapun teknik pengumpulan data tersebut yaitu:

a. Studi Pustaka

Studi pustaka adalah proses mencari informasi, menelaah dan menghimpun data sejarah yang berupa buku-buku, referensi, surat kabar, majalah dan sebagainya untuk menjawab pertanyaan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti (Louis Gottschalk, 1985: 46).

Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari sumber-sumber tertulis yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Studi pustaka yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan


(33)

berbagai buku yang berhubungan dengan konsep – konsep maupun teori yang digunakan dalam menjelaskan sejarah berdirinya pabrik rokok Sukun di Desa Gondosari Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus dan pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat sekitar.

Berkaitan dengan permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah kajian sejarah lokal, peneliti mengalami kesulitan untuk menemukan sumber tertulis yang mengkaji secara khusus mengenai sejarah berdirinya pabrik rokok Sukun di Desa Gondosari Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Literatur yang digunakan sebagian besar menjelaskan konsep-konsep yang berhubungan dengan sejarah rokok di Kabupaten Kudus. Sehingga penggunaan literatur dinilai sangat penting untuk melandasi argumen dalam pembahasan mengenai sejarah berdirinya pabrik rokok Sukun di Desa Gondosari Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus dan pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat sekitar. Dalam upaya mencari dan mengumpulkan sumber dalam studi literatur ini, maka penelti melakukan kegiatan kunjungan pada perpustakaan-perpustakaan seperti Perpustakaan UNNES, Perpustakaan Jurusan Sejarah UNNES, Perpustakaan Wilayah Propinsi Jawa Tengah, Perpustakaan Daerah Kota Semarang.

b. Wawancara (interview)

Metode wawancara adalah cara yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi (data) dari responden dengan cara bertanya


(34)

langsung secara bertatap muka (face to face) (Bagong Suyatno, Sutinah, 2008: 70). Teknik wawancara bertujuan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah yang benar-benar dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan dari para pelaku sejarah atau saksi sejarah. Wawancara selain itu juga merupakan alat informasi berupa tanggapan pribadi, pendapat, atau opini serta keyakinan.

c. Studi dokumen (kearsipan)

Surat-surat keputusan, surat kabar dan majalah, penetapan, dan sebagainya yang merupakan sumber primer. Dan dilengkapi buku-buku penunjang/literature sebagai studi kepustakaan yang merupakan sumber sekunder. Adapun dokumen – dokumen yang diperoleh berasal dari surat kabar kompas dan suara merdeka dari Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Semarang serta Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah.

6. Kritik Sumber

Kritik sumber, setelah peneliti mendapatkan berbagai sumber yang dianggap relevan dengan permasalahan yang dikaji, tahap selanjutnya adalah peneliti mengkritisi sumber-sumber yang telah ditemukan tersebut baik dari buku, dokumen, browsing internet, sumber tertulis dan hasil dari penelitian serta sumber lainnya.

Tujuan dilakukan kritik sumber adalah seorang sejarawan atau peneliti tidak serta merta menerima begitu saja sumber yang sudah didapatkan akan tetapi sumber tersebut disaring secara kritis, terutama sumber-sumber


(35)

pertama, agar terjaring fakta yang menjadi pilihannya (Helius Sjamsuddin, 2007:131)

Lebih lanjut Helius Sjamsuddin (2007: 131) menjelaskan bahwa seorang sejarawan tidak akan menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber yang diperoleh. Melainkan ia harus menyaringnya secara kritis, terutama terhadap sumber pertama, agar terjaring fakta-fakta yang menjadi pilihannya. Sehingga dari penjelasan tersebut dapat ditegaskan bahwa tidak semua sumber yang ditemukan dalam tahap heuristik dapat menjadi sumber yang digunakan oleh peneliti, tetapi harus disaring dan dikritisi terlebih dahulu keotentikan sumber tersebut.

Ismaun (2005: 48) menambahkan bahwa dalam tahap inilah timbul kesulitan yang sangat besar dalam penelitian sejarah, karena kebenaran sejarah itu sendiri tidak dapat didekati secara langsung dan karena sifat sumber sejarah juga tidak lengkap serta kesulitan menemukan sumber-sumber yang diperlukan dan dapat dipercaya. Sehingga agar peneliti mendapatkan sumber-sumber yang dapat dipercaya, relevan dan otentik, maka peneliti harus melakukan kritik eksternal dan kritik internal terhadap sumber-sumber tersebut.

a. Kritik ekstern atau kritik luar, yakni untuk menilai otentitas atau keaslian sumber sejarah. Sumber otentik tidak mesti harus sama dengan sumber aslinya, baik menurut isinya yang tersurat maupun yang tersirat. Sumber otentik juga bisa merupakan salinan atau turunan


(36)

dari aslinya. Dokumen otentik tidak boleh dipalsukan, namun otentesitasnya belum tentu memberikan jaminan bahwa dokumen tersebut dapat dipercaya. Dalam kritik ekstern dipersoalkan mengenai bahan dan bentuk sumber, umur dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siapa, instansi apa, atau atas nama siapa.

b. Kritik intern atau kritik dalam, yaitu untuk menilai kredibilitas sumber dengan mempersoalkan isinya, maupun pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan kesaksian-kesaksian di dalam sumber dengan kesaksian-kesaksian-kesaksian-kesaksian dari sumber lain. Untuk menguji kredibilitas sumber diadakan penilaian instrinsik terhadap dengan mempersoalkan hal-hal tersebut. Kemudian diambil fakta-fakta sejarah melalui perumusan data yang diperoleh setelah diadakan penelitian terhadap evidensi-evidensi dalam sumber. Pada tahap ini peneliti mencoba untuk menganalisis dan melakukan perbandingan fakta-fakta yang peneliti dapatkan dari beberapa buku untuk selanjutnya dicari keterhubungan fakta-fakta yang telah dianalisis dan dibandingkan menjadi suatu kesimpulan yang berhubungan dengan tema yang dikaji oleh peneliti.

Menurut Sjamsuddin yang dikutip oleh Abdurahman (2007: 68-69) kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau cara pengujian

terhadap aspekaspek “luar” dari sumber sejarah. Aspek-aspek luar tersebut

bisa diuji dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: kapan sumber itu dibuat?, dimana sumber itu dibuat?, siapa yang membuat?, dari bahan apa sumber


(37)

itu dibuat? dan apakah sumber itu dalam bentuk asli atau tidak?. Sedangkan untuk kritik internal menurut Ismaun (2005: 50) adalah kritik yang bertujuan untuk menilai kredibilitas sumber dengan mempersoalkan isinya, kemampuan pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan kesaksian-kesaksian di dalam sumber dengan kesaksian-kesaksian dari sumber lain. Untuk menguji kredibilitas sumber (sejauh mana dapat dipercaya) diadakan penilaian intrinsik terhadap sumber dengan mempersoalkan hal-hal tersebut. Kemudian dipungutlah fakta-fakta sejarah melalui perumusan data yang didapat, setelah diadakan penelitian terhadap evidensi-evidensi dalam sumber. 7. Penafsiran Data / Interpretasi dan Eksplanasi

Interpretasi, menurut Kuntowijoyo yang dikutip Abdurahman (2007: 73) interpretasi sejarah atau yang biasa disebut juga dengan analisis sejarah merupakan tahap dimana peneliti melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Gottschalk yang dikutip oleh Ismaun (2005: 56) menambahkan bahwa interpretasi atau penafsiran sejarah itu memiliki tiga aspek penting, yaitu : pertama, analisis-kritis yaitu menganalisis stuktur intern dan pola-pola hubungan antar fakta-fakta. Kedua, historis-substantif yaitu menyajikan suatu uraian prosesual dengan dukungan fakta-fakta yang cukup sebagai ilustrasi suatu perkembangan. Sedangkan ketiga


(38)

adalah sosial-budaya yaitu memperhatikan manifestasi insani dalam interaksi dan interrelasi sosial-budaya.

8. Penyajian Data / Historiografi

Historiografi adalah usaha mensintesiskan seluruh hasil penelitian atau penemuan yang berupa data-data dan fakta-fakta sejarah menjadi suatu penulisan yang utuh, baik itu berupa karya besar ataupun hanya berupa makalah kecil (Helius Sjamsuddin, 2007: 156). Sama halnya menurut Ismaun (2005: 28) historiografi ialah usaha untuk mensintesiskan data-data dan fakta-fakta sejarah menjadi suatu kisah yang jelas dalam bentuk lisan maupun tulisan. Tahap historiografi yang peneliti lakukan adalah dalam bentuk tulisan setelah melewati tahap pengumpulan dan penafsiran sumber-sumber sejarah. Fakta-fakta yang peneliti peroleh disajikan menjadi satu kesatuan tulisan dalam skripsi yang berjudul

”Pabrik Rokok Sukun di Desa Gondosari Kecamatan Gebog Kabupaten

Kudus (1947 – 2013)” dan dalam hal ini peneliti akan menuliskannya dalam bentuk skripsi.


(39)

28 BAB II

GAMBARAN UMUM KABUPATEN KUDUS

A. Kondisi Geografis dan Sejarah Kota Kudus

Kudus merupakan kabupaten terkecil di Jawa Tengah dengan luas wilayah mencapai 42.516 Ha yang terbagi dalam 9 kecamatan. Secara administratif Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 kecamatan dengan 123 desa, 9 kelurahan. Kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan terbanyak


(40)

adalah Kecamatan Kota dengan 25 desa/kelurahan, sedangkan kecamatan dengan jumlah desa terkecil yaitu Kecamatan Bae dengan 10 desa.

Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah, terletak diantara 4 (empat) Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, sebelah selatan dengan Kabupaten Grobogan dan Pati serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara 110o36’ dan 110o50’Bujur Timur dan antara 6o51’ dan 7o16’ Lintang Selatan. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah 16 km dan dari utara ke selatan 22 km.

Sejarah kota Kudus awalnya desa kecil di tepi Sungai Gelis, bernama Desa Tajug. Warga hidup dari bertani, membuat batu bata, dan menangkap ikan. Setelah kedatangan Sunan Kudus, desa kecil itu dikenal sebagai Al-Quds yang berarti Kudus. Sunan Kudus yang gemar berdagang menumbuhkan Kudus menjadi kota pelabuhan sungai dan perdagangan di jalur perdagangan Sungai Gelis -> Sungai Wulan -> Pelabuhan Jepara.

Pedagang dari Timur Tengah, Tiongkok, dan pedagang antar pulau dari sejumlah daerah di Nusantara berdagang kain, barang pecah belah, dan hasil pertanian di Tajug. Warga Tajug juga terinspirasi filosofi yang dihidupi Sunan Kudus, Gusjigang. Gus berarti bagus, ji berarti mengaji, dan gang berarti berdagang. Melalui filosofi itu, Sunan Kudus menuntun masyarakat menjadi orang berkepribadian bagus, tekun mengaji, dan mau berdagang. Dari pembauran lewat sarana perdagangan dan semangat ”gusjigang” itulah


(41)

masyarakat Kudus mengenal dan mampu membaca peluang usaha. Dua di antaranya usaha batik dan jenang.

Berdirinya Masjid Menara Kudus sebagai Hari Jadi Kabupaten Kudus. Masjid Menara Kudus tidak lepas dari peran Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana para walisongo yang lainnya, Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di antaranya, beliau mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindu dan Budha. Pencampuran budaya Hindu dan Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya dapat kita lihat pada masjid Menara Kudus ini. Masjid ini didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini dapat diketahui dari inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab.

Menara Kudus adalah bangunan tua yang terbuat dari batu bata merah berbentuk Menara yang merupakan hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Jawa dan Islam. Menara Kudus bukanlah bangunan bekas Candi Hindu melainkan menara yang dibangun pada zaman kewalian / masa transisi dari akhir Kerajaan Majapahit beralih ke zaman Kerajaan Islam Demak. Bentuk konstruksi dan gaya arsitektur Menara Kudus mirip dengan candi-candi Jawa Timur di era Majapahit sampai Singosari misalnya Candi Jago yang

menyerupai menara Kulkul di Bali. Menara Kudus menjadi simbol “Islam


(42)

dengan tetap menghormati pemeluk agama Hindu-Jawa yang dianut masyarakat setempat.

Diperkirakan Menara Kudus ini berasal dari abad 16, dibangun oleh Syeh

Ja’far Shodiq (Sunan Kudus, salah seorang dari Wali Songo). Ditiang atap

Menara terdapat sebuah candrasengkala yang berbunyi "Gapura rusak ewahing jagad". Menurut Prof. DR RM Soetjipto Wirjosoepano, candrasengkala ini menunjukkan Gapuro (6), Rusak (0), Ewah (6) dan Jagad (1) yang di dalam bahasa jawa dibaca dari belakang sehingga menjadi 1609 yang bermakna Menara dibangun pada tahun Jawa 1609 atau 1685 M.

Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai bukti proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Masjid ini tergolong unik karena desain bangunannya, yang merupakan penggabungan antara Budaya Hindu dan Budaya Islam. Sebagaimana kita ketahui, sebelum Islam, Di Jawa telah berkembang agama Budha dan Hindu dengan peninggalannya berupa Candi dan Pura. Selain itu ada penyembahan terhadap Roh Nenek Moyang (Animisme) dan kepercayaan terhadap benda-benda (Dinamisme). Masjid Menara Kudus menjadi bukti, bagaimana sebuah perpaduan antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik dan bergaya arsitektur tinggi. Sebuah bangunan masjid, namun dengan menara dalam bentuk candi dan berbagai ornamen lain yang bergaya Hindu.

Menurut sejarah, Masjid Menara Kudus didirikan oleh Sunan Kudus atau Ja'far Shodiq ialah putera dari R.Usman Haji yang bergelar dengan Sunan


(43)

Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan tempat tersebut terletak di sebelah utara Blora). Sunan Kudus kawin dengan Dewi Rukhil, puteri dari R.Makdum Ibrahim, Kanjeng Sunan Bonan di Tuban. R.Makdum Ibrahim adalah putera R.Rachmad (Sunan Ampel) putera Maulana Ibrahim. Dengan demikian Sunan Kudus adalah menantunya Kanjeng Sunan Bonang. Sunan Kudus selain dikenal seorang ahli agama juga dikenal sebagai ahli ilmu tauhid, ilmu hadist dan ilmu fiqh. Karena itu, diantara kesembilan wali, hanya beliau yang terkenal sebagai "Waliyil Ilmi". Adapun cara Sunan Kudus menyebarkan agama Islam adalah dengan jalan kebijaksanaan, sehingga mendapat simpati dari penduduk yang saat itu masih memeluk agama Hindu. Salah satu contohnya adalah, Sapi merupakan hewan yang sangat dihormati oleh agama Hindu, suatu ketika kanjeng Sunan mengikat sapi di pekarangan masjid, setelah mereka datang Kanjeng Sunan bertabligh, sehingga diantara mereka banyak yang memeluk Islam. Dan sampai sekarang pun di wilayah Kudus, khususnya Kudus Kulon dilarang menyembelih sapi sebagai penghormatan terhadap agama Hindu sampai dengan saat ini.

Menurut sejarah, masjid Kudus dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 956 H. Hal ini terlihat dari batu tulis yang terletak di Pengimaman masjid, yang bertuliskan dan berbentuk bahasa Arab, yang sukar dibaca karena telah banyak huruf-huruf yang rusak. Batu itu berperisai, dan ukuran perisai tersebut adalah dengan panjang 46 cm, lebar 30 cm. Konon kabarnya batu tersebut berasal dari Baitulmakdis (Al Quds) di Yerussalem - Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah muncul nama Kudus yang artinya suci, sehingga


(44)

masjid tersebut dinamakan masjid Kudus dan kotanya dinamakan dengan kota Kudus.

Masjid Menara Kudus ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918 - an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang berbentuk "padasan" tersebut merupakan peninggalan jaman purba dan dijadikan sebagai tempat wudhu. Masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, apakah kolam tersebut peninggalan jaman Hindu atau sengaja dibuat oleh Sunan Kudus untuk mengadopsi budaya Hindu. Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang kembar", konon kabarnya gapura tersebut berasal dari bekas kerajaan Majapahit dahulu, gapura tersebut dulu dipakai sebagai pintu spion.

Cerita mengenai menara Kudus pun ada berbagai versi, ada pendapat yang mengatakan," bahwa menara Kudus adalah bekas candi orang Hindu,". Buktinya bentuknya hampir mirip dengan Candi Kidal yang terdapat di Jawa Timur yang didirikan kira-kira tahun 1250 atau mirip dengan Candi Singosari. Pendapat lain mengatakan kalau dibawah menara Kudus, dulunya terdapat sebuah sumber mata air kehidupan. Mahluk hidup yang telah mati kalau dimasukkan dalam mata air tersebut menjadi hidup kembali. Karena


(45)

dikhawatirkan akan dikultuskan, ditutuplah mata air tersebut dengan bangunan menara. Menara Kudus itu tingginya kira-kira 17 meter, di sekelilingnya dihias dengan piringan-piringan bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah banyaknya. 20 buah diantaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sedang 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Dalam menara ada tangganya yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Tentang bangunannya dan hiasannya jelas menunjukkan hubungannya dengan kesenian Hindu Jawa. Karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian : (1) Kaki (2) Badan dan (3) Puncak bangunan. Dihiasi pula dengan seni hias, atau artefax (hiasan yang menyerupai bukit kecil).

Tampak dari depan sekilas memang masjid Menara Kudus ini kelihatan kecil, namun setelah masuk ke dalam luas sekali. Selain masjid, ternyata di belakang masjid adalah komplek makam Kanjeng Sunan Kudus dan para keluarganya. Pintu masuk makam terletak disebelah kanan masjid, kemudian setelah melalui jalan kecil kita akan melalui pintu kedua memasuki komplek yang didalamnya ada pondokan-pondokan. Ditengah-tengah pondokan tersebut ada sebuah bangunan paling besar, konon kabarnya bangunan tersebut adalah tempat pertemuan para Walisongo sekaligus tempat Sunan Kudus memberikan wejangan kepada para muridnya. Disebelah utara sebuah komplek ini ada sebuah pintu kecil menuju ke komplek pemakaman Kanjeng Sunan. Komplek-komplek makam tersebut terbagi-bagi dalam beberapa blok, dan tiap blok merupakan bagian tersendiri dari hubungannya terhadap


(46)

Kanjeng Sunan. Ada blok para putera dan puteri Kanjeng Sunan, ada blok para Panglima perang dan blok paling besar adalah makam Kanjeng Sunan sendiri. Uniknya adalah semua pintu penghubung antar blok berbentuk gapura candi-candi. Tembok-tembok yang mengitarinya pun dari bata merah yang disusun berjenjang, ada yang menjorok ke dalam dan ke luar seperti layaknya bangunan candi. Panorama yang nampak adalah komplek pemakaman Islam namun bercorak Hindu.

Kesan unik dan historis inilah yang sangat menarik para wisatawan religi maupun wisatawan biasa. Setiap hari tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan, wisatawan yang berasal dari sekitar kota Kudus biasanya berkunjung pada hari biasa, hari Sabtu dan Minggu biasanya lebih banyak pengunjung dari luar kota. Tanggal 10 Syura' merupakan puncak keramaian di komplek masjid ini, dalam rangka khaul wafatnya Kanjeng Sunan Kudus. Walaupun mengandung keunikan yang khas, namun tata ruang sekitar masjid tidak dikelola dengan baik. Karena terletak dipusat kota Kudus, hanya 5 menit dari alun-alun kota Kudus, masjid ini dikepung oleh perumahan penduduk yang cukup padat. Sehingga, mengurangi keindahan komplek bangunan Masjid Menara Kudus ini yang sekarang masuk sebagai salah satu cagar budaya. Selain itu, banyaknya pengemis yang berada disekitar masjid, juga dapat mengganggu para pengunjung yang datang. Agar terus terjaga kelestariannya, penataan ruang sekitar masjid harus diperbaiki kembali untuk mempertahankan kesan indah dan unik Masjid Menara Kudus ini.


(47)

Kudus saat ini merupakan daerah industri dan perdagangan, dimana sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB. Jiwa dan semangat wirausaha masyarakat diakui ulet, semboyan jigang (ngaji dagang) yang dimiliki masyarakat mengungkapkan karakter dimana disamping menjalankan usaha ekonomi juga mengutamakan mencari ilmu. Dilihat dari peluang investasi bidang pariwisata, di Kabupaten Kudus terdapat beberapa potensi yang bisa dikembangkan baik itu wisata alam, wisata budaya maupun wisata religi. Bidang agrobisnis juga ikut memberikan citra pertanian Kudus. Jeruk Pamelo dan Duku Sumber merupakan buah lokal yang tidak mau kalah bersaing dengan daerah lain. Dalam hal seni dan budaya, Kudus mempunyai ciri khas yang membedakan Kudus dengan daerah lain. Diantaranya adalah seni arsitektur rumah adat Kudus, kekhasan produk bordir dan gebyog Kudus. Keanekaragaman potensi yang dimiliki Kudus diharapkan mampu menarik masyarakat luar untuk bersedia hadir di Kudus.

B. Kependudukan

Data kependudukan merupakan data pokok yang dibutuhkan baik kalangan pemerintah maupun swasta sebagai bahan untuk perencanaan dan evaluasi hasil-hasil pembangunan. Hampir setiap aspek perencanaan pembangunan baik di bidang sosial, ekonomi maupun politik memerlukan data penduduk karena penduduk merupakan subjek sekaligus objek dari pembangunan. Jumlah penduduk Kabupaten Kudus pada tahun 2011 tercatat


(48)

sebesar 769.904 jiwa, terdiri dari 382.021 jiwa laki-laki (49,62 persen) dan 387.883 jiwa perempuan (50,38 persen).

Apabila dilihat penyebarannya, maka kecamatan yang paling tinggi persentase jumlah penduduknya adalah Kecamatan Jekulo yakni sebesar 12,84 persen dari jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Kudus, kemudian berturut-turut Kecamatan Jati 12,77 persen dan Kecamatan Gebog 12,27 persen. Sedangkan kecamatan yang terkecil jumlah penduduknya adalah Kecamatan Bae sebesar 8,12 persen. Bila dilihat dari perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuannya, maka diperoleh rasio jenis kelamin pada tahun 2011 sebesar 98,49 yang berarti bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98 penduduk laki-laki. Dengan perkataan lain bahwa penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan dengan penduduk laki-laki, ini bisa dilihat hampir di semua kecamatan (kecuali kecamatan Gebog dan Dawe) bahwa angka rasio jenis kelamin di bawah 100 persen, yaitu berkisar antara 93,52 dan 99,92 persen.

Kepadatan penduduk dalam kurun waktu lima tahun (2007 – 2011) cenderung mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan jumlah penduduk. Pada tahun 2011 tercatat sebesar 1.811 jiwa setiap satu kilo meter persegi. Di sisi lain persebaran penduduk masih belum merata, Kecamatan Kota merupakan kecamatan yang terpadat yaitu 8.718 jiwa per km2. Undaan paling rendah kepadatan penduduknya yaitu 967 jiwa per km2.

Jumlah rumah tangga tahun 2011 ada sebanyak 186.818 rumah tangga, dan diperoleh rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebesar 4,12. Angka ini


(49)

sama bila dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya. Jumlah kelahiran selama tahun 2011 sebanyak 10.930 bayi, terdiri dari 5.735 bayi laki-laki dan 5.195 bayi perempuan. Pada tahun 2011 ini diperoleh angka kelahiran kasar (CBR) sebesar 14,25 yang artinya dari 1000 orang penduduk terdapat kelahiran sebanyak 14 orang/bayi. Sedangkan jumlah kematian selama tahun 2011 sebanyak 5.448 jiwa terdiri dari 2.797 laki-laki dan 2.651 perempuan. Dengan angka kematian kasar (CDR) nya sebesar 7,10.

C. Pendidikan

Penduduk yang bersekolah secara umum mengalami fluktuasi selama periode tahun ajaran 2006/2007 – 2010/2011, hal ini dapat dilihat dari banyaknya murid di beberapa jenjang pendidikan yang mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tingkat pendidikan dasar yaitu SD (Negeri & Swasta) di tahun ajaran 2010/2011 jumlah murid yang bersekolah mengalami penurunan sebesar 2,65 persen dibandingkan dengan tahun ajaran sebelumnya.

Sedangkan untuk pendidikan SLTP (Negeri & Swasta) mengalami kenaikan jumlah murid sebesar 2,43 persen begitupun untuk SLTA (Negeri & Swasta) naik sebesar 1,76 persen. Peningkatan jumlah penduduk yang bersekolah, tentunya harus diimbangi dengan penyediaan sarana fisik dan tenaga guru yang memadai. Pada tahun ajaran 2010/2011, tersedia jumlah SD sebanyak 471 unit dan MI sebanyak 138 unit, SLTP dan MTs masing-masing sebanyak 51 dan 59 unit, SLTA dan MA masing-masing ada sebanyak 43 dan 27 unit.


(50)

Jumlah Universitas/Perguruan Tinggi pada tahun akademik 2010/2011 tercatat ada 8 buah, yaitu Universitas Muria Kudus (UMK), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus, Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Cendekia Utama Kudus, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhamadiyah, Akbid Mardi Rahayu, Akbid Pemda, Akper Krida Husada dan Akademi kebidanan Muslimat NU Kudus. Banyaknya mahasiswa periode 5 tahun terakhir cenderung meningkat. Pada tahun akademik 2010/2011, secara keseluruhan jumlah mahasiswa tercatat 13.805 orang, dan di dukung oleh 391 dosen, dan pada tahun yang sama telah berhasil meluluskan sebanyak 2.541 mahasiswa.

D. Pertanian dan Industri

Padi sebagai tanaman bahan makanan pokok, memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Tak heran jika di kabupaten Kudus padi juga merupakan tanaman yang banyak ditanam sebagian masyarakat Kudus. Pada tahun 2011, produksi padi (sawah & gogo) sebesar 124.758 ton, mengalami penurunan sebesar 28,16 persen dibanding tahun sebelumnya. Luas tanam padi sawah dan kering mengalami penurunan sebesar 21,33 persen, dan untuk luas panennya juga mengalami penurunan sebesar 20,02 persen bila dibandingkan dengan tahun 2010. Untuk padi sawah luas panen terluas adalah kecamatan Undaan yaitu 9.658 hektar, merupakan kecamatan penyandang pangan dengan produksi sebesar 56.520 ton atau 45,56 persen dari total produksi padi sawah di Kabupaten Kudus.


(51)

Secara umum produksi palawija pada tahun 2011 ini mengalami kenaikan dan penurunan dibanding tahun sebelumnya. Beberapa jenis tanaman palawija yang mengalami penurunan yang paling drastis adalah produksi ketela rambat. produksinya turun sebesar 84,27 persen. Sedangkan tanaman palawija yang mengalami kenaikan paling drastis adalah produksi jagung. Produksinya naik sebesar 91,61. Dimana luas panen untuk jagung juga mengalami kenaikan cukup besar sebesar 94,27 persen dan untuk ketela rambat luas panennya mengalami penurunan sebesar 53,13 persen.

Di tahun 2011 ini cabe merupakan jenis sayur-sayuran dengan luas tanaman terluas, diikuti oleh kacang panjang. Produksi terung dan bawang merah mengalami kenaikan yang cukup besar dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan produksi tanaman sayuran lainnya seperti cabe, kacang panjang mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Sektor Industri merupakan tiang penyangga utama dari perekonomian Kabupaten Kudus dengan kontribusi sebesar 62,75 persen terhadap PDRB Kabupaten Kudus. Sektor ini dibedakan dalam kelompok industri besar, industri sedang, industri kecil dan industri rumahtangga. Menurut BPS, Industri Besar adalah perusahaan dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih, Industri Sedang adalah perusahaan dengan tenaga kerja antara 20 s/d 99 orang, Industri Kecil adalah perusahaan dengan tenaga kerja antara 5 s/d 19 orang dan Industri Rumahtangga punya tenaga kerja kurang dari 5 orang. Data yang diperoleh dari Dinas Perindagkop pada tahun 2011 menyatakan ada 11.217 buah perusahaan industri/unit usaha di kabupaten Kudus. Angka


(52)

tersebut mencakup seluruh perusahaan (unit usaha) industri baik yang besar/sedang ataupun industri kecil/rumah tangga.

Bila dibandingkan tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah unit usaha industri sebesar 2,78 persen. Untuk nilai produksi mengalami peningkatan bila dibandingkan dari tahun sebelumnya. Tercatat nilai produksi pada tahun 2011 adalah sebesar 103,69 trilyun atau meningkat sebesar 11,76 persen. Hal Ini menandakan bahwa kabupaten Kudus merupakan daerah yang cukup strategis dilihat dari segi industrinya.

Berdasarkan data BPS tercatat perusahaan industri besar dan sedang di kabupaten Kudus tahun 2010 tercatat sebanyak 169 perusahaan dengan menyerap 96.468 orang tenaga kerja. Kalau dibandingkan dengan tahun sebelumnya jumlah perusahaan mengalami penurunan sebesar 5,59 persen. Begitupun untuk jumlah tenaga kerjanya juga mengalami penurunan sebesar 0,09 persen.

Sedangkan dilihat dari jenis industrinya, perusahaan industri tembakau masih mendominasi dengan 34,91 persen dari jumlah usaha industri besar dan sedang, diikuti industri pakaian jadi sebesar 22,49 persen, Industri makanan dan minuman 7,10 persen. Sedangkan penyerapan tenaga kerja terbesar masih dari industri tembakau/rokok yaitu sebesar 82,57 persen diikuti industri kertas/barang dari kertas 4,25 persen dan industri mesin/TV/radio 3,58 persen. Menurut data PPRK, produksi rokok (SKT, SKM & Klobot) di kabupaten Kudus tahun ini mengalami peningkatan sebesar 3,47 persen di bandingkan tahun sebelumnya. Menurut data kantor PMPPT, besarnya nilai


(53)

investasi Mandiri di kabupaten Kudus sebesar 6,60 trilyun, PMA sebesar 22,8 milyar namun PMDN untuk tahun 2011 tidak ada.

E. Perdagangan

Potensi ekonomi suatu daerah khususnya sektor perdagangan dapat diketahui dari banyaknya pasar yang ada. Pasar merupakan media pertemuan antara penjual dan pembeli, sehingga makin ramai transaksi terjadi berarti makin tinggi pula potensi sektor perdagangan. Data dari Dinas Perdagangan dan Pengelolaan Pasar Kabupaten Kudus, pada tahun 2011, terdapat 7 buah pasar daerah, 15 buah pasar desa dan 1 buah pasar hewan. Dimana jumlahnya adalah 23 pasar. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang cukup besar jika di bandingkan dengan jumlah kecamatan yang ada, atau rata-rata per kecamatan ada sekitar 2 sampai 3 buah pasar. Banyaknya penyaluran Gas LPG 3Kg selama tahun 2011 yang lalu yaitu 4,76 juta tabung.

Pita cukai rokok yang dihasilkan oleh Kabupaten Kudus selama tahun 2011 yang lalu tercatat sebesar 14,99 trilyun rupiah. Jika dibandingkan dengan tahun 2010 ada kenaikan sebesar 8,70 persen. Nilai tersebut dihasilkan dari SKM (Sigaret Kretek Mesin) sebanyak 12,04 trilyun atau 80,31 persen, SKT (Sigaret Kretek Tangan) sebesar 2,95 trilyun atau 19,69 persen dan rokok klobot 125,30 juta rupiah atau 0,001 persen.

Sedangkan untuk potensi ekspor berbagai jenis komoditi non migas secara umum nilainya mengalami kenaikan. Tahun 2010 total nilai ekspor tercatat sebesar 60,70 juta US $ sedangkan di tahun 2011 naik menjadi 86,98


(54)

juta US $ dengan volume 18.673 ton/pcs. Tiga komoditas ekspor dengan kontribusi yang besar berturut-turut adalah rokok kretek (56,63 %), kertas dan produk kertas (18,11 %), dan elektronik (10,61 %). Nilai ekspor yang paling kecil adalah komoditas jenang yakni sebesar 25.362 US $ (0,03 %).

Jumlah hotel yang ada pada tahun 2011 ini bertambah sehingga jumlahnya menjadi 24 buah yang terkonsentrasi di lima Kecamatan yaitu : Kaliwungu, Kota, Jati, Bae dan Dawe terdiri dari 6 hotel berbintang dan 18 hotel non bintang. Kamar yang tersedia sebanyak 772 buah kamar dimana 70 diantaranya berkelas Suite sedangkan jumlah tempat tidur sebanyak 1008 buah dan banyaknya karyawan adalah 364 orang.

Untuk TPK (Tingkat Penghunian Kamar) seluruh hotel baik bintang maupun non bintang pada tahun 2011 tercatat rata-rata sebesar 31,63 persen per bulannya, dimana TPK tertinggi terjadi di bulan Oktober yakni 35,10 persen dan terendah sebesar 22,30 persen tercatat pada bulan Agustus. Untuk RLM (Rata-Rata Lama Menginap tamu hotel) tercatat untuk seluruh hotel rata-rata sebesar 1,17 malam per bulannya, yang artinya rata-rata seorang tamu yang datang akan menginap selama 1,17 malam.

Obyek wisata di kabupaten Kudus tercatat sebanyak 10 tempat wisata, dari sisi jumlah pengunjung Colo adalah obyek wisata yang paling diminati sebesar 79,38 persen dari total pengunjung, disusul oleh Krida Wisata (6,24 persen) dan Museum Kretek (5.83 persen). Bila dilihat dari sisi nilai pendapatannya, obyek wisata Colo memiliki pendapatan terbesar (76,36


(55)

persen) diikuti oleh Museum Kretek (8,90 persen) dan Krida Wisata (6,62 persen).

F. Kudus Kota Kretek

Rokok Kretek adalah warisan budaya, tak ubahnya warisan budaya lain seperti batik. Ramuan tembakau dan cengkeh ini pertama kali ditemukan oleh warga Kudus, haji Djamhari pada tahun 1980. Industri rokok kretek di Kudus tak lepas dari sosok Haji Djamhari yang meninggal pada tahun 1980. Dari ketidaksengajaan yang dilakukan, kemudian berkembanglah industri rokok kretek seperti sekarang

Dari pengalaman tersebut, Djamhari mencoba cara lain lagi yakni dengan cara mencampurkan rempah-rempah itu pada rokok yang diisapnya. Cengkeh yang ia rajang halus docampurkannya dengan tembakau yang ia linting menjadi batang rokok. Berkat rokok campuran cengkeh rajangan itu, H Djamhari kemudian terbebas dari sesak napasnya. Sukses percobaannya pun cepat menyebar kemana-mana. Banyaknya permintaan akan rokok dengan campuran cengkeh memaksa Djamhari membuat dalam jumlah besar. Sejak masa itulah kemudian industri rokok terlahir. Dan rokok cengkeh yang saat diisap menimbulkan bunyi kretek-kretek karena cengkeh yang terbakar, khalayak kemudian menyebut rokok tersebut sebagai rokok kretek.

Industrialisasi rokok kretek di Kudus ditandai dengan munculnya raja-raja kretek pada tahun 1900-an. Salah satu tokohnya yang melegenda adalah Nitisemito yang terkenal dengan produk rokok kretek cap "Bal


(56)

Tiga".Perkembangan rokok kretek di Kudus tidak terlepas dari peran M. Nitisemito. M. Nitisemito adalah pemuda yang cerdas, ulet dan takarruf, mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Sifat-sifat inilah terutama yang kelak membawa dirinya ke puncak ketenaran, sebagai seorang Raja Kretek. Sebelum memproduksi rokok, Niti Semito adalah carik Kampung Djanggalan, kemudian berniaga di Mojokerto dan akhirnya kembali ke Kudus berdagang batik dan membuka warung di rumahnya (Jl Sunan Kudus 120), yang menyediakan selain kebutuhan hidup sehari-hari juga bahan baku rokok kretek yaitu tembakau, klobot (daun jagung) dan jinggo/ benang. Menjelang tahun 1905, karena rokok kretek buatannya dikenal sangat enak, maka Niti Semito membuat rokok kretek berdasarkan pesanan sahabat-sahabatnya.

Awal tahun 1914 industri rokok kretek dari industri besar melonjak menjadi industri raksasa yang melibatkan ribuan tenaga kerja. Kesuksesan yang diraih M.NITI SEMITO ini kemudian banyak ditiru orang, sehingga antara tahun 1915 -1918 bermunculan ratusan pabrik rokok kretek yang baru tidak hanya di Kudus tetapi juga di Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri, Malang, dll. Mulai saat itu industri rokok di Kudus mulai berkembang pesat, pada tahun 1989 ada sekitar 32 unit usaha rokok. Dari sekian banyak perusahaan rokok, yang terbesar adalah PT Djarum (didirikan pada tahun 1951), PT Nojorono (didirikan tahun 1932), PR Sukun (tahun 1949), Jambu Bol (didirikan tahun 1937). Sayang perusahaan yang dikelola dengan manajemen modern melampaui sistem manajemen di Nusantara saat itu masih amat sederhana, kini tinggal nama. Jejak sepak terjang Nitisemito dengan rokok cap Bal Tiganya tidak sulit dilacak. Sebutlah salah satunya yakni Omah Kembar yang hingga kini masih cukup kokoh bertengger.


(57)

Disebut omah kembar karena arsitektur dua rumah tersebut sama persis. Omah kembar yang juga disebut istana kembar terdapat di Jalan Sunan Kudus atau berada di timur dan Barat Kali Gelis yang seakan menjadi pemisah antara wilayah Kudus Kulon dan Kudus Wetan.

Rokok kretek sebagai sebuah budaya hingga kini tak hanya tinggal nama atau cuma jejak sejarah. Ia masih saja menjadi bagian dari kehidupan ratusan ribu warga Kudus dengan segala dinamikanya. Realitas keseharian tersebut seakan menjadi bagian dari panorama Kota Kretek. Budaya yang terbukti dan mampu secara terus menerus menjadi saksi dan menjadi wahana interaksi yang saling menopang antara warga yang satu dengan lainnya.


(58)

47 BAB III

SEJARAH PABRIK ROKOK SUKUN

A. Sejarah Pabrik Rokok Sukun

Sejarah pabrik rokok sukun di di Kecamatan Gebog kabupaten Kudus Jawa Tengah telah dimulai dengan adanya sejarah rokok kretek di Indonesia. Menurut catatan Thomas Stamford Raffles, disebutkan bahwa pada sekitar 1600, rokok telah menjadi kebutuhan hidup kaum pribumi Indonesia, khususnya Jawa. Meskipun tembakau bukan tanaman asli di Jawa.

Jika dikaji asal-usul bahasanya, terminologi ”rokok” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda ”roken” yang artinya ”to smoke” (mengeluarkan asap). Tapi, terminologi tembakau” ternyata lebih dekat dengan bahasa Portugis ”tobaco” ketimbang dengan bahasa Belanda ”tabak”. Karena itulah sejarawan lebih sepakat menyebut Portugis sebagai pihak yang memperkenalkan tembakau ke Indonesia, sedangkan Belanda adalah yang memulai secara missal menanam tembakau di Jawa dan Sumatera (Hanusz. 2011).

Rokok kretek merupakan warisan budaya leluhur bangsa Indonesia. Rokok kretek adalah rokok yang menggunakan tembakau asli yang dikeringkan, dipadukan dengan saus cengkeh dan saat dihisap terdengar bunyi kretek-kretek. Rokok kretek berbeda dengan rokok yang menggunakan tembakau buatan maupun rokok berbahan menthol (rokoknya orang Barat). Jenis cerutu merupakan simbol rokok kretek yang luar biasa, semuanya alami


(59)

tanpa ada campuran apapun, dan pembuatannya tidak bisa menggunakan mesin. Masih memanfaatkan tangan pengrajin. Ulasan tentang sejarah rokok kretek di Indonesia bermula dari kota Kudus, Jawa Tengah.

Berdasarkan jenisnya, rokok dibagi dua jenis. Pertama, rokok kretek

non-filter, kretek jenis ini masih terbagi dari yang tingwé (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting déwé yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan) tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan saus cengkeh. Sedangkan yang kedua adalah kretek dengan filter berisi semacam gabus yang berfungsi menyaring nikotin dari pembakaran tembakau dan cengkeh (Hanusz. 2011).

Kretek merupakan produk yang dihasilkan dari tembakau yang dicampur dengan cengkeh dan sausage. Ketika dinyalakan dengan api, maka

akan menimbulkan bunyi “kretek-kretek”. Inilah awal mula masyarakat Jawa

memberikan nama rokok kretek yang dikenal sampai saat ini. Rokok kretek memberikan keuntungan tersendiri bagi warga Kudus. Hingga, keberadaan rokok kretek memiliki sejarah dan budaya yang cukup panjang untuk dijelaskan dari waktu ke waktu (Hanusz.2011:3). Namun secara kategorikail, rokok yang dijual atau dibuat di Indonesia dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut:

1. Rokok yang pertama adalah rokok tingwe (kependekan dari bahasa Jawa,

ngelinting déwé yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan) tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan saus cengkeh. Rokok ini merupakan arketipe awal dari


(60)

rokok di dunia. Tradisi melinting rokok sendiri (roll-your-own) banyak ditemukan di negara-negara Barat sampai sekarang.

2. Rokok klembak menyan. Rokok yang muncul kali pertama di Cilacap pada 1920 ini diakui memiliki kandungan paling aneh, yakni klembak dan menyan, yang memiliki asosiasi spiritualnya dengan dunia perdukunan.

3. Sigaret putih mesin (SPM). Dulu, rokok putih dipandang sebagai satu-satunya rokok di dunia, sampai akhirnya rokok kretek ditemukan. Rokok buatan mesin (machine-made) ini isinya menggunakan tembakau jenis

Virginia, Burley, dan Oriental.

4. Rokok klobot kretek ( KLB ). Rokok ini dibuat dengan tangan dan merupakan versi orisinal dari rokok kretek produksi Indonesia. Rokok ini hanya populer di daerah pedesaan Jawa Timut dan Tengah.

5. Sigaret Kretek Tangan (SKT). Kategori ini merupakan rokok kretek pertama di Indonesia yang dilinting dengan tangan dan dikemas secara komersial. Diperkenalkan kali pertama oleh HM Sampoerna di Surabaya dan Mari Kangen di Solo, SKT hingga kini dipasarkan dalam versi aslinya yang tidak menggunakan filter.

6. Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF). Rokok jenis ini bukanlah buatan mesin, perekatan filter dilakukan semi-otomatis yakni menggunakan mesin pelinting tangan (handrolling machines). SKTF kali pertama diperkenalkan di Kudus pada akhir 1960-an.


(61)

7. Sigaret Kretek Mesin (SKM). SKM bukan hanya berhasil memproduksi kretek filter secara otomatis namun juga sukses menemukan solusi bagi problem utama dari rokok cengkih yakni warna kecoklatan pada kertas pembungkus (efek eugenol stains), yakni melalui sistem double-wrapping yang hanya yang dimungkinkan berkat kehadiran mesin. SKM hadir kali pertama di pasar pada 1974. Pembagian kategori ini sesuai dengan yang biasa digunakan oleh pemerintah (Hanusz, 2011).

Rokok Kretek adalah warisan budaya, tak ubahnya warisan budaya lain seperti batik. Ramuan tembakau dan cengkeh ini pertama kali ditemukan oleh warga Kudus, haji Djamhari pada tahun 1980. Sebuah budaya asli Indonesia... Industri rokok kretek di Kudus tak lepas dari sosok Haji Djamhari yang meninggal pada tahun 1980. Dari ketidaksengajaan yang dilakukan, kemudian berkembanglah industri rokok kretek seperti sekarang. Dari pengalaman tersebut, Djamhari mencoba cara lain lagi yakni dengan cara mencampurkan rempah-rempah itu pada rokok yang diisapnya. Cengkeh yang ia rajang halus docampurkannya dengan tembakau yang ia linting menjadi batang rokok. Sukses percobaannya pun cepat menyebar kemana-mana. Banyaknya permintaan akan rokok dengan campuran cengkeh memaksa Djamhari membuat dalam jumlah besar. Sejak masa itulah kemudian industri rokok terlahir. Dan rokok cengkeh yang saat diisap menimbulkan bunyi kretek-kretek karena cengkeh yang terbakar, khalayak kemudian menyebut rokok tersebut sebagai rokok kretek (Hanusz. 2011).


(62)

Industrialisasi rokok kretek di Kudus ditandai dengan munculnya raja-raja kretek pada tahun 1900-an. Salah satu tokohnya yang melegenda adalah Nitisemito yang terkenal dengan produk rokok kretek cap "Bal Tiga".Perkembangan rokok kretek di Kudus tidak terlepas dari peran M. Nitisemito. M. Nitisemito adalah pemuda yang cerdas, ulet dan takarruf, mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Sifat-sifat inilah terutama yang kelak membawa dirinya ke puncak ketenaran, sebagai seorang Raja Kretek. Sebelum memproduksi rokok, Niti Semito adalah carik Kampung Djanggalan, kemudian berniaga di Mojokerto dan akhirnya kembali ke Kudus berdagang batik dan membuka warung di rumahnya (Jl Sunan Kudus 120), yang menyediakan selain kebutuhan hidup sehari-hari juga bahan baku rokok kretek yaitu tembakau, klobot (daun jagung) dan jinggo/ benang. Menjelang tahun 1905, karena rokok kretek buatannya dikenal sangat enak, maka Niti Semito membuat rokok kretek berdasarkan pesanan sahabat-sahabatnya.

Tahun 1908 perusahaan Nitisemito baru mendapat ijin dari Pemerintah Hindia Belanda dengan merk Bola Tiga ( Bal tiga ). Tahun 1909 Nitisemito mulai membuat rokok kretek dan di tahun inilah sebenarnya rokok kretek tumbuh menjadi industri, meskipun masih berupa industri kecil yang dikerjakan Nitisemito dan keluarganya. Untuk pertama kalinya rokok kretek dijual tanpa bungkus dengan harga 2,5 sen seikat untuk 25 batang ukuran kecil dan 3 sen seikat untuk 25 batang ukuran besar. Kemudian dilekati dengan merk Soempil ( driehoek, segitiga ) kemudian diganti dengan merk Jeruk / Djeruk sampai akhirnya diganti merk MNiti Semito dengan gambar 3


(63)

lingkaran yang dikenal dengan nama Bal tiga, Bal Teloe, Bola Tiga, Tiga Bola, Boender Tiga, Boender Telu. Rokok kretek berkembang dari industri

kecil menjadi besar ketika M. Niti Semito mendirikan “Kretek Sigaretan Fabrik M. Niti Semito Koedoes” di kampung Djanggalan Kudus, kemudian

membuat lebih banyak rokok kretek dan mengirimkannya ke Semarang. Awal tahun 1914 industri rokok kretek dari industri besar melonjak menjadi industri raksasa yang melibatkan ribuan tenaga kerja. Kesuksesan yang diraih M.Niti Semito ini kemudian banyak ditiru orang, sehingga antara tahun 1915 -1918 bermunculan ratusan pabrik rokok kretek yang baru tidak hanya di Kudus tetapi juga di Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri, Malang, dll. Mulai saat itu industri rokok di Kudus mulai berkembang pesat, pada tahun 1989 ada sekitar 32 unit usaha rokok. Dari sekian banyak perusahaan rokok yang terkenal dengan rokok kreteknya waktu itu itu adalah PR Sukun

PR Sukun adalah suatu perusahaan perseorangan yang didirikan Bapak MC Wartono Pada tahun 1949 serta mendapatkan izin cukai no. SIP 6500/F; no. pengawasan bandrol K2417; dan ijin HO no. 067/WF/HO. Pada waktu itu semua kegiatan perusahaan terpusat di Kudus, meliputi bidang produksi, keuangan, personalia, dan pemasaran. Daerah pemasarannya masih sangat terbatas, khusus untuk memenuhi permintaan di Jawa Tengah. Pada waktu berdiri perusahaan hanya mempunyai tempat kerja yang sangat kecil dan produksinya masih sedikit sekali hanya sebesar ratusan ribu batang perharinya, rokok yang diproduksi antara lain: Klobot Sukun, sukun kretek dan lain sebagainya (www.sukunmcwartono.com ).


(1)

GAMBAR 2


(2)

78

GAMBAR 3


(3)

GAMBAR 4


(4)

80

GAMBAR 5


(5)

GAMBAR 6


(6)

82

GAMBAR 7


Dokumen yang terkait

KONSTRUKSI SOSIAL BUDAYA TENTANG SUNAT PEREMPUAN (Studi Kasus di Desa Karangmalang, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus)

3 20 143

PENINGKATAN HASIL BELAJAR SERVIS BOLA VOLI DENGAN PENDEKATAN PERMAINAN SERVIS PADA SISWA KELAS V SDN 2 GONDOSARI KECAMATAN GEBOG KUDUS TAHUN 2012

0 11 97

Nikah Siri dan Implikasinya Dalam Kehidupan Sosial di Desa Ngaringan Klumpit Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus

2 31 148

AKUNTABILITAS PELAPORAN DANA DESA (Studi Kasus di Desa Gondosari, Kecamatan Punung, Akuntabilitas Pelaporan Dana Desa (Studi Kasus di Desa Gondosari, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan Tahun 2016).

0 3 16

AKUNTABILITAS PELAPORAN DANA DESA (Studi Kasus di Desa Gondosari, Kecamatan Punung, Akuntabilitas Pelaporan Dana Desa (Studi Kasus di Desa Gondosari, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan Tahun 2016).

0 3 20

Pemberdayaan Perempuan Melalui Kerajinan Bordir di UD.Bintang Mahkota Desa Padurenan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus.

0 0 1

Sistem Akuntansi Penerimaan Kas pada PR. Sukun Kretek Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus.

0 1 97

TUMBUHAN TEMBAKAU DAN CENGKIH SEBAGAI IDE DASAR PENCIPTAAN MOTIF BATIK TULIS UNTUK SERAGAM KARYAWAN DI PERUSAHAAN ROKOK BARITO DESA GONDOSARI, GEBOG, KUDUS, JAWA TENGAH.

2 18 146

Penggunaan Pompa Hidram Otomatis Di Kelompok Budidaya Ikan Lele Di Desa Gondosari Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus

0 0 6

ANALISIS KOMPARASI PENETAPAN HARGA POKOK PENJUALAN DENGAN METODE PENDEKATAN FULL COSTING DAN VARIABLE COSTING PADA USAHA KONVEKSI “CANDRA CONVECTION” DI DESA GONDOSARI, KECAMATAN GEBOG, KABUPATEN KUDUS

0 0 14