Hak kepemilikan dan persepsi pembudidaya rumput laut terhadap zona budidaya bahari Desa Kemujan TNKJ

HAK KEPEMILIKAN DAN PERSEPSI PEMBUDIDAYA
RUMPUT LAUT TERHADAP ZONA BUDIDAYA BAHARI
DESA KEMUJAN TNKJ

NUR HANNAH MUTHOHHAROH

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hak Kepemilikan dan
Persepsi Pembudidaya Rumput Laut terhadap Zona Budidaya Bahari Desa
Kemujan TNKJ adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Nur Hannah Muthohharoh
NIM I34100022

ABSTRAK
NUR HANNAH MUTHOHHAROH. Hak Kepemilikan dan Persepsi Pembudidaya
Rumput Laut terhadap Zona Budidaya Bahari Desa Kemujan TNKJ. Dibimbing
oleh ARIF SATRIA.
Penelitian ini bertujuan menganalisis sistem hak kepemilikan lahan budi daya
rumput laut, persepsi mengenai Zona Budidaya Bahari, dan hubungan antara
persepsi dengan tingkat kepatuhan aturan Zona Budidaya Bahari. Metode penelitian
ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan
secara de jure pembudidaya rumput laut memiliki hak akses dan hak pemanfaatan,
namun secara de facto memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan
hak eksklusi. Perbedaan ini menunjukkan bahwa hak kepemilikan masih belum
terdefinisi secara jelas, sehingga dapat memicu konflik hak kepemilikan. Secara
umum, pembudidaya rumput laut memiliki persepsi yang rendah mengenai Zona
Budidaya Bahari. Perbandingan pembudidaya rumput laut yang patuh dan tidak

patuh terhadap aturan perlindungan aturan biota adalah seimbang. Kepatuhan
terhadap aturan perlindungan biota dicirikan oleh moralitas. Selain itu, terdapat
motif lain yang melatarbelakangi kepatuhan. Hal ini berkaitan dengan hasil uji
hubungan yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara persepsi dan tingkat
kepatuhan mengenai Zona Budidaya Bahari.
Kata kunci: budi daya rumput laut, hak kepemilikan, persepsi, TNKJ

ABSTRACT
NUR HANNAH MUTHOHHAROH. Property Rights and Seaweed Cultivators
Perception of Budidaya Bahari Zone in Kemujan Village TNKJ. Supervised by
ARIF SATRIA.
This study aims to analyze the property right system of seaweed culture,
perception about Budidaya Bahari Zone, and the relationship between perception
and compliance level of Budidaya Bahari Zone rules. This study uses qualitative
and quantitative methods. The results shows as de jure, seaweed cultivators have
access right and withdrawl right, but as de facto, they have access right, withdrawl
right, management right, and exclusion right. This difference shows that the
property right is not clearly defined, so it can lead to conflict of property right. In
general, seaweed cultivators have a low perception of the biota protection rules. The
comparison between seaweed cultivators that comply and not comply the biota

protection rules is equal. The compliance is characterized by morality. In addition
there is another motive behind the compliance. This is related to correlation tests
that shows no relationship between the perception and the level of compliance of
Budidaya Bahari Zone.
Keywords: seaweed culture, property rights, perception, TNKJ

HAK KEPEMILIKAN DAN PERSEPSI PEMBUDIDAYA
RUMPUT LAUT TERHADAP ZONA BUDIDAYA BAHARI
DESA KEMUJAN TNKJ

NUR HANNAH MUTHOHHAROH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Hak Kepemilikan dan Persepsi Pembudidaya Rumput Laut
terhadap Zona Budidaya Bahari Desa Kemujan TNKJ
Nama
: Nur Hannah Muthohharoh
NIM
: I34100022

Disetujui oleh

Dr Arif Satria, SP MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga laporan skripsi yang berjudul
“Hak Kepemilikan dan Persepsi Pembudidaya Rumput Laut terhadap Zona
Budidaya Bahari Desa Kemujan TNKJ” dapat diselesaikan dengan baik. Laporan
skripsi ini ditujukan untuk mendapat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik
karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta, khususnya Ayahanda
Muhammad Jawahir dan Ibunda Shofiyatin atas doa, dukungan, dan kasih sayang
yang telah diberikan. Dr Arif Satria, SP MSi selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan kritik dan saran, serta terselip berbagai motivasi dan inspirasi selama
proses penulisan laporan skripsi ini. Pembudidaya rumput laut Desa Kemujan pada
khususnya dan masyarakat Desa Kemujan pada umumnya yang telah membagi
cerita, pengalaman hidup, dan hal-hal baru. Balai Taman Nasional Karimunjawa

yang telah memberikan kesempatan dan bantuan bagi penulis untuk melaksanakan
penelitian di TNKJ. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah
memberikan bantuan biaya pendidikan dan penelitian. Sahabat, rekan-rekan
sebimbingan, keluarga besar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi
Manusia (BEM FEMA) Kabinet Sinekologi dan Kabinet Trilogi, keluarga besar
Organisasi Mahasiswa Daerah IMAGORA, keluarga besar mahasiswa Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) angkatan 47 atas
kebersamaannya selama ini, serta semua pihak yang telah memberikan dorongan,
doa, semangat, bantuan, dan kerja sama kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan skripsi ini masih belum
sempurna. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis
harapkan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2014
Nur Hannah Muthohharoh

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii


DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3


Tujuan Penelitian

4

Kegunaan Penelitian

4

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka

5
5

Kerangka Pemikiran

15

Hipotesis Penelitian


18

Definisi Konseptual

18

Definisi Operasional

19

PENDEKATAN LAPANGAN

223

Metode Penelitian

23

Lokasi dan Waktu Penelitian


23

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

23

Teknik Pengumpulan Data

24

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

24

GAMBARAN UMUM DESA KEMUJAN

26

Kondisi Geografi dan Demografi


27

Kondisi Sosial dan Ekonomi

28

ZONA BUDIDAYA BAHARI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

31

Taman Nasional Karimunjawa

31

Zona Budidaya Bahari

32

Aturan Zona Budidaya Bahari

33

Ikhtisar

34

BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI DESA KEMUJAN

35

Sejarah Perkembangan Budi Daya Rumput Laut di Desa Kemujan

35

Pola Penanaman Rumput Laut

37

Karakteristik Usaha Budi Daya Rumput Laut di Desa Kemujan

39

Permasalahan

39

Ikhtisar

40

SISTEM HAK KEPEMILIKAN LAHAN BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI
PERAIRAN PULAU KEMUJAN
42
Karakteristik Pemanfaatan Lahan Budi Daya Rumput Laut

44

Aturan Hak Kepemilikan

46

Hak Kepemilikan Berdasarkan Bundle of Rights

49

Potensi Konflik Hak Kepemilikan Sumber Daya

51

Ikhtisar

54

PERSEPSI PEMBUDIDAYA RUMPUT LAUT MENGENAI ZONA
BUDIDAYA BAHARI

55

Persepsi Mengenai Aturan Perlindungan Biota

56

Persepsi Mengenai Sanksi Pelanggaran

57

Tingkat Kepatuhan Aturan Zona Budidaya Bahari

62

Ciri Kepatuhan Aturan Zona Budidaya Bahari

68

Legitimasi Aturan Zona Budidaya Bahari

70

Potensi Konflik Pengelolaan Sumber Daya

73

Ikhtisar

74

HUBUNGAN PERSEPSI DENGAN TINGKAT KEPATUHAN ATURAN
ZONA BUDIDAYA BAHARI

75

Hubungan Persepsi Aturan Perlindungan Karang dengan Tingkat Kepatuhan
Aturan Perlindungan Karang
77
Hubungan Persepsi Aturan Perlindungan Penyu dengan Tingkat Kepatuhan
Aturan Perlindungan Penyu
78
Hubungan Persepsi Sanksi Pelanggaran Perlindungan Karang dengan Tingkat
Kepatuhan Aturan Perlindungan Karang
79
Hubungan Persepsi Sanksi Pelanggaran Perlindungan Penyu dengan Tingkat
Kepatuhan Aturan Perlindungan Penyu
80
Hubungan Persepsi Mengenai Zona Budidaya Bahari dengan Tingkat
Kepatuhan Aturan Zona Budidaya Bahari

81

Ikhtisar

82

SIMPULAN DAN SARAN

83

Simpulan

83

Saran

84

DAFTAR PUSTAKA

85

LAMPIRAN

91

RIWAYAT HIDUP

97

DAFTAR TABEL
1 Matriks karakteristik usaha budi daya rumput laut
7
2 Matriks jenis ideal rezim kepemilikan yang relevan dengan sumber daya
bersama
8
3 Matriks status kepemilikan sumber daya alam
10
4 Matriks kasus-kasus hak dan status kepemilikan sumber daya dalam kegiatan
budi daya perairan
11
5 Kasus-kasus potensi konflik dan konflik wilayah perairan dalam aktivitas
budi daya
15
6 Matriks stakeholder dan kepentingannya pada pengelolaan wilayah perairan
Pulau Kemujan
28
7 Jumlah dan persentase penduduk Desa Kemujan menurut mata
pencaharian
29
8 Perbandingan zona yang difungsikan sebagai kegiatan budi daya tahun 2005
dan 2012
32
9 Matriks dasar hukum pemanfaatan zonasi Taman Nasional Karimunjawa 34
10 Karakteristik usaha budi daya rumput laut di Desa Kemujan
39
11 Kalender Musim penanaman rumput laut Desa Kemujan
41
12 Matriks rujukan aturan formal pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa 46
13 Matriks perbandingan rujukan aturan pemanfaatan wilayah perairan
47
14 Matriks aturan hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut secara de
facto
49
15 Matriks tipe hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut secara de jure dan
de facto
50
16 Jumlah dan persentase responden menurut pengetahuan definisi dan lokasi
Zona Budidaya bahari
55
17 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
karang
56
18 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
penyu
57
19 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan biota
58
20 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan karang
59
21 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan penyu
60
22 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran aturan
perlindungan biota
60
23 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi mengenai Zona Budidaya
Bahari
61
24 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan dalam sosialisasi
TNKJ
61
25 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan aturan
perlindungan karang
62
26 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan aturan
perlindungan penyu
63

27 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan aturan
perlindungan biota
66
28 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan dalam mengawasi
aturan Zona Budidaya Bahari
66
29 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan dalam
mensosialisasikan aturan Zona Budidaya Bahari
67
30 Jumlah dan persentase responden menurut ciri kepatuhan aturan perlindungan
karang
68
31 Jumlah dan persentase responden menurut motif ketidakpatuhan aturan
perlindungan karang
69
32 Jumlah dan persentase responden menurut ciri kepatuhan aturan perlindungan
penyu
70
33 Jumlah dan persentase responden menurut motif ketidakpatuhan aturan
perlindungan penyu
70
34 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
karang dan tingkat kepatuhan aturan pelindungan karang
78
35 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi aturan perlindungan
penyu dan tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu
78
36 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan karang dan tingkat kepatuhan aturan perlindungan karang 79
37 Jumlah dan persentase responden menurut persepsi sanksi pelanggaran
perlindungan penyu dan tingkat kepatuhan aturan perlindungan penyu
80
38 Jumlah dan persentase persepsi Zona Budidaya Bahari dan tingkat kepatuhan
aturan perlindungan biota
81

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Klasifikasi umum sumber daya
Kerangka pemikiran
Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Batulawang
Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Telaga
Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Mrican
Sebaran lokasi budi daya rumput laut di perairan Pulau Kemujan
Pemasangan jaring dengan pelampung
Pemasangan jaring di bawah rumput laut

9
17
44
45
45
53
65
65

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Peta Zona Budidaya Bahari di perairan Pulau Kemujan Taman Nasional
Karimunjawa
91
Kerangka sampling
92
Hasil uji korelasi
94
Dokumentasi
96

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumput laut memiliki nilai komersial tinggi yang dapat dikembangkan di
wilayah perairan. Pusdatin KKP (2011) mencatat bahwa volume produksi
perikanan budi daya rumput laut mengalami kenaikan sebesar 9.96% yaitu sejumlah
3 915 017 ton menjadi 4 305 027 ton pada kurun waktu tahun 2010-2011. Kenaikan
volume produksi lebih tinggi jika dilihat dari tahun 2007-2011 yaitu sebesar
26.08%. Akan tetapi, volume produksi dalam negeri ini hanya mampu
menyumbang penyediaan rumput laut dunia sebesar 0.28% dari angka ekspor yang
dilakukan. Produksi rumput laut yang diekspor juga mengalami penurunan dari
tahun 2007-2008 sebesar 37.17%. Hal ini menyebabkan pemerintah menginisiasi
peningkatan produktivitas rumput laut melalui industrialisasi, didasarkan bahwa
bahwa potensi rumput laut di Indonesia belum dikembangkan secara optimal
(Pemerintah ... 2013).
Upaya pengembangan rumput laut tentunya membutuhkan penambahan
luasan wilayah budi daya, tidak terkecuali wilayah yang ditetapkan sebagai
kawasan konservasi. Salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan
konservasi dan berpotensi tinggi untuk budi daya rumput laut adalah kepulauan
Karimunjawa. Budi daya rumput laut di Karimunjawa mulai dikenalkan kepada
masyarakat pada tahun 2000 sebagai salah satu alternatif mata pencaharian untuk
menghindari kerusakan alam yang lebih tinggi akibat aktivitas penangkapan ikan
dan pemanfaatan kelautan lainnya (Setyaningsih 2011). Kepulauan Karimunjawa
ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 78/Kpt-II/1999 yang menggantikan statusnya sebagai kawasan
Cagar Alam. Sejalan dengan penetapan ini, maka pengelolaan kawasan Taman
Nasional Karimunjawa (selanjutnya disingkat menjadi TNKJ) harus didasarkan
pada penyusunan zonasi sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah
No. 28/2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam.
Sistem zonasi yang disusun di TNKJ telah mengalami dua kali perubahan dari
tahun 1989 dubah pada tahun 2005 dan kembali mengalami perubahan pada tahun
2012. Perubahan zonasi pada tahun 2005 didasarkan bahwa zonasi yang ditetapkan
belum mengakomodir berbagai kepentingan terutama dari aspek ekologi, sosial,
ekonomi, serta budaya termasuk kearifan lokal sehingga banyak terjadi tumpang
tindih kebijakan berbagai pihak, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten.
Selanjutnya perubahan zonasi di tahun 2012 didasarkan bahwa zonasi yang telah
direvisi tahun 2005 belum mengakomodir pulau-pulau kecil yang ada di dalam
kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Selain itu, zonasi tersebut masih dianggap
kurang tepat baik luasan maupun letaknya (BTNKJ 2012). Terdapat sembilan zona
yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam No: SK. 28/IV-ET/2012 Tentang Zonasi Taman Nasional
Karimunjawa, salah satunya adalah Zona Budidaya Bahari seluas 1 370.729 ha dari
total luasan wilayah penetapan taman nasional seluas 111 625 ha.
Budi daya rumput laut menjadi salah satu potensi sumber daya kelautan yang
banyak dilakukan oleh masyarakat Karimunjawa dan tercatat mampu memberikan

1

2
manfaat langsung yang diterima masyarakat mencapai 13 miliar rupiah per tahun
(Nababan et al. 2010 dikutip BTNKJ 2012). BTNKJ (2012) juga mencatat bahwa
terdapat 13 lokasi budi daya rumput laut yang ada di kawasan Taman Nasional
Karimunjawa. Luas masing-masing lokasi budi daya tersebut bervariasi dari 0.771
ha di Blok Legon Lele hingga 476.337 ha yang berada di sebelah barat Pulau
Kemujan. Secara keseluruhan hingga tahun 2009 terdapat 1 258.969 ha wilayah
perairan Taman Nasional Karimunjawa yang digunakan sebagai lokasi budi daya
rumput laut. Sebelum adanya perubahan zonasi tahun 2012, luasan tersebut telah
melebihi luas zona budi daya yang ada dan telah memanfaatkan kawasan zona lain
seperti zona pemanfaatan perikanan tradisional, padahal Kementerian Kelautan dan
Perikanan berkerjasama dengan pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten
Jepara mencanangkan gerakan peningkatan produksi perikanan melalui program
minapolitan (Setyaningsih 2011). Apabila hal ini terus dikembangkan, maka
memerlukan penambahan luasan wilayah perairan untuk budi daya rumput laut.
Budi daya rumput laut dapat dikembangkan di wilayah perairan dengan
spesifikasi tertentu. Wilayah perairan sendiri secara de facto dikenal sebagai
sumber daya akses terbuka dimana setiap orang mampu mengakses sumber daya
yang ada. Sifat sumber daya ini memicu kompetisi setiap pihak untuk
memanfaatkan potensi yang ada sehingga memungkinkan adanya penurunan
kemampuan sumber daya alam dalam memberikan manfaat bagi penggunanya.
Fenomena ini dijelaskan oleh Hardin yang dikutip Adhuri (2006) sebagai the
tragedy of the common. Konsep ini menjelaskan bahwa karena ketiadaan konsep
kepemilikan terhadap sumber daya laut, maka setiap orang akan berlomba dengan
mengeksploitasi sumber daya secara maksimal. Akibatnya akan terjadi eksploitasi
yang berlebihan, sehingga dapat menyebabkan kerusakan sumber daya alam.
Konservasi merupakan salah satu alternatif pengelolaan untuk menghindari
terjadinya penurunan kualitas sumber daya alam, namun penetapannya masih
bersifat sentralistik. Pengelolaan TNKJ sebagai salah satu bentuk konservasi
termasuk dalam tipe sumber daya alam yang dikuasai negara atau disebut sebagai
state property (Berkes 1989). Penguasaan negara tercantum dalam UU No.5/1990
Tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistem sebagai landasan hukum
pengelolaan TNKJ. Hartono et al. (2012) menjelaskan bahwa penetapan kawasan
konservasi secara sentralistik mampu mengubah sistem hak kepemilikan sumber
daya pesisir. Namun, penyusunan zonasi tetap memberikan akses pemanfaatan bagi
masyarakat. Pemanfaatan secara tradisional juga diatur dalam PP No. 28/2011 Pasal
49 ayat 3b mengenai perlunya pembuatan izin pemanfaatan wilayah konservasi.
Izin yang oleh pemerintah diberikan menunjukkan bahwa secara formal,
pemerintah membuka akses pemanfaatan dan memberikan hak pemanfaatan
berdasarkan kriteria tertentu. Pemberian akses bagi masyarakat untuk melakukan
budi daya rumput laut di TNKJ adalah melalui penetapan Zona Budidaya Bahari.
Pembudidaya rumput laut merupakan bagian dari anggota masyarakat yang
memiliki sistem aturan dalam berbagai hal, termasuk pengelolaan sumber daya
alam. Masyarakat merupakan pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya
alam bagi pemenuhan kebutuhan hidup dan berkembang pula aturan lokal (de facto)
yang juga mengatur hak kepemilikan sumber daya alam (Larson 2013). Apabila
tidak terdapat kejelasan hak, maka mampu memicu konflik sumber daya alam
hingga kerusakan lingkungan yang semakin parah, padahal wilayah konservasi
yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan respon atas peningkatan kerusakan

3
wilayah perairan yang terjadi. Hidayati (2009) menjelaskan bahwa upaya
pengembangan usaha budi daya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang,
Kabupetan Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan belum diimbangi dengan adanya
pengaturan dan penataan ruang perairan. Hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang
tindih dengan kegiatan lain, pertentangan antarsesama anggota masyarakat, serta
munculnya berbagai penyakit akibat padatnya aktivitas budi daya rumput laut.
Selain itu, pembudidaya rumput laut sebagai pengguna langsung berperan
dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan taman nasional melalui persepsi,
pemberian legitimasi, dan implementasi aturan. Menurut Jentoft (2000), aturan
pengelolaan sumber daya perikanan oleh pemerintah banyak dipengaruhi oleh
perspektif ilmu biologi dan konteks global, sehingga tinjauan dari sisi sosial sangat
penting dilakukan khususnya pada pengembangan budi daya rumput laut. Hal
penting lainnya adalah adanya dukungan dari masyarakat dalam implementasi
aturan-aturan yang telah disusun oleh pemerintah. Apabila terdapat perbedaan
pandangan antara masyaraktat dengan pihak pengelola juga mampu menimbulkan
konflik. Kaitannya dengan pengembangan budi daya rumput laut di TNKJ, penting
untuk dianalisis hak kepemilikan dan persepsi masyarakat terhadap Zona Budidaya
Bahari sebagai wilayah yang difungsikan sebagai budi daya rumput laut.

Perumusan Masalah
Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang potensial dikembangkan
di wilayah Kepulauan Karimunjawa. TNKJ dikelola oleh pemerintah sesuai dengan
UU No.5/1990 Tentang Konservasi. Masyarakat diberi akses pemanfaatan sumber
daya berdasarkan sistem zonasi. Namun pada kenyataannya metode budi daya
rumput laut memanfaatkan lahan perairan yang secara umum membuat batasanbatasan wilayah perairan melalui tali yang difungsikan sebagai pengait bibit rumput
laut yang diduga sekaligus sebagai batas wilayah. Lokasi budi daya rumput laut di
wilayah Karimunjawa telah ditentukan berdasarkan sistem Zonasi TNKJ yang
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam No: SK. 28/IV-ET/2012 Tentang Zonasi Taman Nasional
Karimunjawa yaitu dilaksanakan pada Zona Budidaya Bahari.
Sistem zonasi merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam
yang mengupayakan keseimbangan pembangunan dan konservasi. Masyarat turut
memiliki peran dalam mengupayakan keberhasilan konservasi melalui persepsi,
kepatuhan, dan pemberian legitimasi aturan. Berdasarkan uraian tersebut, maka
secara spesifik rumusan masalah penelitian ini meliputi:
1. bagaimana sistem hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut di TNKJ?
2. bagaimana persepsi pembudidaya rumput laut mengenai zona Budidaya
Bahari? Apakah disertai dengan:
a. kepatuhan terhadap aturan Zona Budidaya Bahari? Apa ciri kepatuhan
yang menyertainya?
b. pemberian legitimasi aturan Zona Budidaya Bahari?
3. bagaimana hubungan antara persepsi dengan tingkat kepatuhan aturan
pengelolaan Zona Budidaya Bahari?

4
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis:
1. sistem hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut;
2. persepsi pembudidaya rumput laut, serta:
a. kepatuhan dan ciri kepatuhan terhadap aturan Zona Budidaya Bahari
b. pemberian legitimasi aturan Zona Budidaya Bahari
3. hubungan antara persepsi dengan tingkat kepatuhan aturan Zona Budidaya
Bahari;

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai sistem hak
kepemilikan sumber daya perairan dalam aktivitas budi daya rumput laut di wilayah
TNKJ. Secara lebih khusus, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi beberapa pihak, diantaranya adalah:
1. Bagi kalangan akademisi
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan mengenai sistem
hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut di wilayah konservasi, persepsi
penetapan zonasi wilayah konservasi, kepatuhan aturan di wilayah konservasi,
dan bentuk legitimasi aturan pengelolaan kawasan konservasi.
2. Bagi pemerintah
Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan
(decision maker) dalam pencapaian tujuan konservasi dan pembangunan
berkelanjutan khususnya sektor perikanan dan kelautan. Kebijakan yang
dilakukan berkaitan pengelolaan wilayah konservasi yang dilakukan
berdasarkan perspektif ilmu sosial.
3. Bagi masyarakat
Penelitian ini mampu menambah wawasan masyarakat mengenai hal-hal
yang menjadi penentu hak kepemilikan sumber daya lahan budi daya rumput
laut serta peran masyarakat dalam pencapaian tujuan konservasi.

5

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Wilayah Konservasi Kelautan
1) Pelaksanaan Konservasi Kelautan di Indonesia
Berdasarkan UU No. 1/2014 Tentang Perubahan UU No. 27/2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Konservasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil didefinisikan sebagai “... upaya perlindungan, pelestarian,
dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya...”. Namun, Undang-undang No. 5/1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati masih menjadi referensi utama dalam pelaksanaan
konservasi baik pada sektor kehutanan dan perairan (Satria et al., 2006a). Hal ini
dikarenakan wewenang pengelolaan kawasan konservasi dalam bentuk taman
nasional kawasan kehutanan dan perairan masih berada pada Kementrian
Kehutanan.
Berdasarkan UU No. 5/1990, pelaksanaan konservasi dibedakan dalam
bentuk kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). KSA
terdiri atas cagar alam dan suaka marga satwa, sedangkan KPA terdiri atas taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Bentuk-bentuk konservasi
secara umum disertai dengan aturan pengelolaan berupa sistem zonasi. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 28/2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, zonasi pengelolaan kawasan taman nasional meliputi
zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan/atau zona lain sesuai dengan
keperluan masing-masing wilayah dan kriteria tertentu. Menurut Suparno (2009),
penyusunan zonasi dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: (1)
mempertimbangkan kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat dan Daerah, kepentingan masyarakat dan hak-hak ulayat, serta
kepentingan yang bersifat khusus; (2) pendekatan bio-ekoregion dimana ekosistem
pesisir dibentuk oleh sub-ekosistem yang saling terkait satu sama lain; (3)
pengumpulan data dan informasi yang dapat digali dari persepsi masyarakat yang
hidup di sekitar ekosistem tersebut, terutama konteks historis.
Satria (2009a) memandang bahwa dalam perspektif ilmu sosial, konservasi
bukan suatu metode atau konsep yang berlaku secara universal, melainkan hasil
konstruksi sosial komunitas akademik di Barat yang berusaha diterapkan di negara
dunia ketiga. Padahal, sebenarnya setiap masyarakat telah memiliki konstruksi
sendiri atas konservasi. Penetapan kebijakan konservasi Indonesia sendiri masih
bersifat sentralistik. Wilayah konservasi yang ditetapkan secara sentralistik mampu
mengubah sistem hak kepemilikan sumber daya (Hartono et al. 2012).
Desentralisasi pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan mengalami
perjalanan evolusi yang dijelaskan oleh Satria dan Matsuda (2004) meliputi
dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Devolusi menjadi bentuk desentralisasi yang
efektif seperti yang terjadi pada kasus awig-awig di Lombok Barat. Masyarakat
lokal membuat aturan bersama secara tertulis dalam mengelola sumber daya
perikanan. Pelaksanaannya terbukti efektif dalam mengatasi permasalahan

6
kerusakan sumber daya perikanan dan kelautan. Hal ini dikarenakan kesepakatan
dibuat dari bawah dan melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
2) Konservasi dan Pembangunan Berkelanjutan
Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 32/1999 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan adalah “... upaya
sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi
ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan. ...” Pembangunan berkelanjutan menjadi paradigma
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah didasarkan atas adanya berbagai
dampak lingkungan akibat aktivitas ekonomi.
Dorongan untuk meningkatkan produktivitas rumput laut terus dilakukan
oleh pemerintah salah satunya melalui program pengembangan minapolitan
(Minapolitan ... 2013). Pengembangan usaha budi daya rumput laut di wilayah
konservasi mengharuskan berbagai pertimbangan yang mengarah pada
keberlanjutan taman nasional. Adapun salah satu faktor yang memengaruhi
pengelolaan taman nasional adalah kelembagaan pengelolaan taman nasional
(Clifton 1993 dikutip Purwanti et al. 2008). Pengelolaan TNKJ sendiri saat ini
dilaksanakan berdasarkan prinsip kolaboratif (co-management), sehingga
kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan yang akuntabel. Hal yang
mencirikan kelembagaan yang akuntabel meliputi batas yurisdiksi, hak kepemilikan,
dan aturan representasi dari masing-masing stakeholder (Purwanti et al. 2008).
Karakteristik Usaha Budi Daya Rumpul Laut
Rumput laut tumbuh di daerah perairan yang dangkal dengan kondisi dasar
perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran keduanya dan melekatkan dirinya
pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Hidayati 2009). Rumput
laut dihasilkan melalui aktivitas budi daya di wilayah perairan. Karakteristik usaha
budi daya rumput laut berhubungan dengan berbagai aspek. Apabila ditinjau dari
metode yang digunakan, usaha budi daya rumput laut secara umum menggunakan
metode sebagai berikut:
1) Metode dasar dilakukan dengan mengikat bibit tanaman pada karang atau
balok semen kemudian disebar pada dasar perairan (Kamlasi 2008).
2) Metode lepas dasar yang dilakukan di atas dasar perairan yang berpasir atau
pasir berlumpur dan terlindung dari hempasan gelombang besar (Sudradjat
2008 dikutip Setyaningsih 2011). Metode ini menggunakan kerangka yang
dibuat dari batok kayu atau bambu di dasar perairan untuk mengikat tali
(Anggadiredja 2006 dikutip Samad 2011; Kamlasi 2008).
3) Metode rakit apung yang dilakukan dengan cara mengikat rumput laut pada tali
dan diikatkan pada rakit apung yang terbuat dari bambu (Sudradjat 2008
dikutip Setyaningsih 2011).
4) Metode rawai dan dikenal dengan istilah longline yang menggunakan tali
panjang yang dibentangkan (Sudradjat 2008 dikutip Setyaningsih 2011;
Anggadiredja 2006 dikutip Samad 2011 ).
5) Metode jalur yang merupakan kombinasi antara metode rakit apung dengan
rawai (Sudradjat 2008 dikutip Setyaningsih 2011).

7
Tabel 1
Aspek
Teknis

Sosial

Matriks karakteristik usaha budi daya rumput laut
Kategori

Lokasi

Aktivitas budi daya di darat dan laut (Mansyur 2010)

Kedalaman

Kedalaman yang sangat sesuai adalah 1-10 m (Sirajuddin
2008)
 Tenaga kerja dari anggota keluarga dan pelibatan
perempuan, adanya prinsip saling ketergantungan
antara petani rumput laut dengan pedagang
pengumpul (Hidayati, 2009)
 Sistem patron-klien (Kurniawan 2003 dikutip
Hidayati 2009)
Nelayan/petani rumput, pedagang pengumpul, pedagang
besar, dan eksportir (Hidayati 2009)
 Musiman dan tahunan (Mansyur 2008)
 Pemodal besar dan pemodal kecil (Hidayati 2009)

Relasi antarpihak

Rantai pemasaran
Ekonomi

Klasifikasi

Skala usaha

Metode yang digunakan disesuaikan dengan kondisi perairan yang berbeda
(Kamlasi 2008). Secara umum, budi daya rumput laut menggunakan lahan perairan
hingga dasar laut. Terdapat tali yang digunakan dalam metode budi daya rumput
laut berfungsi sebagai pengikat rumput laut. Karakteristik usaha budi daya rumput
laut juga dapat ditinjau dari aspek lainnya sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.
Rezim Kepemilikan Sumber Daya Alam
Menurut Sumardjono et al. (2009), “... rezim merupakan kelembagaan sosial
(social institution) yang mengatur aksi-aksi yang terlibat di dalam aktivitas atau
sekelompok aktivitas tertentu ...”. Secara yuridis, penguasaan atas sumber daya
alam di Indonesia mengacu pada penguasaan oleh negara sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa bumi dan air serta seluruh
kekayaan alam yang dikandung didalamnya dikuasai oleh negara. Menurut
Mawuntu (2012), hak penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki
kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber
daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Penguasaan oleh negara khususnya dalam sumber daya kelautan dan
perikanan terlihat pada masa Orde Baru, dimana sistem pemerintahan yang sedang
berlangsung adalah sistem sentralistik. Menurut Satria dan Matsuda (2004), sistem
sentralistik mampu mengakibatkan penurunan potensi sumber daya perikanan dan
kelautan, dikarenakan secara de facto, wilayah perairan bersifat terbuka sehingga
mendorong terjadinnya persaingan bebas. Lebih lanjut, Satria dan Matsuda (2004)
menjelaskan bahwa desentralisasi mulai diberlakukan berdasarkan UU No. 22/1999
Tentang Pemerintah Daerah. Perubahan sistem pemerintahan berpengaruh terhadap
rezim penguasaan atas sumber daya alam. Berkes (1989) membedakan rezim
kepemilikan sumber daya alam menjadi empat macam yang dijelaskan pada Tabel
2.

8
Tabel 2

Matriks jenis ideal rezim kepemilikan yang relevan dengan sumber
daya bersama

Jenis rezim
Open acces
(res nullius)
(Grotius [tahun tidak
diketahui] dikutip Berkes
1989)
State property
(res publica)
Communal property
(res communes)

Definisi
Bebas untuk semua; hak penggunaan sumber daya tidak eksklusif
dan tidak dapat dipindahtangankan (Grima et al. [tahun tidak
diketahui] dikutip Berkes 1989); hak ini dimiliki bersama tetapi
memiliki akses terbuka untuk semua orang (dan karena itu properti
tidak pada satu orang) (Gibbs dan Bromley [tahun tidak diketahui]
dikutip Berkes 1989).
Kepemilikan dan kontrol pengelolaan dipegang oleh negara bangsa
atau yang berada di pihak atas; sumberdaya publik yang digunakandan hak akses belum ditentukan (Berkes 1989)
Penggunaan hak untuk sumber daya dikendalikan oleh kelompok
yang dapat diidentifikasi dan tidak dimiliki secara pribadi atau
dikelola oleh pemerintah; terdapat aturan tentang siapa yang dapat
menggunakan sumber daya, siapa yang dibatasi dari penggunaan
sumber daya, dan bagaimana sumber daya harus digunakan (Jacobs
dan Munro (1987); Bromley (1985) dikutip Berkes (1989); sistem
pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat; milik bersama
(Bishop (1975); Bromley (1985); Ostrom (1986); bromley (1989)
dikutip Berkes (1989).

Sumber: Berkes (1989)

Melengkapi konsep rezim private property pada Tabel 2, Bromley [tahun
tidak diketahui] dikutip Satria (2009a) menjelaskan bahwa terdapat empat rezim
kepemilikan sumber daya alam, salah satunya adalah rezim swasta (baik individual
maupun korporat). Rezim kepemilikan ini biasanya merupakan hak kepemilikan
yang bersifat temporal (dalam jangka waktu tertentu) karena izin pemanfaatan yang
diberikan oleh pemerintah. Selain itu, dijelaskan pula bahwa rezim sumber daya
alam yang lainnya meliputi sumber daya akses terbuka, rezim negara, dan rezim
komunal.
Aturan Hak Kepemilikan Sumber Daya Alam
Salah satu hal yang mempengaruhi hak kepemilikan adalah adanya aturan hak
kepemilikan (Hanna dan Munasinghe 1995). Aturan pengelolaan sumber daya alam
menunjukkan bahwa pada kenyataannya hakikat hak tenurial dapat dipandang
secara de jure dan de facto. Hak menurut undang-undang atau de jure berkenaan
dengan seperangkat aturan yang dibuat dan dilindungi oleh negara (misalnya, bukti
kepemilikan yang terdaftar, kontrak konsesi, peraturan perundang-undangan
tentang kehutanan). Hak de facto merupakan pola interaksi yang ditetapkan di luar
lingkup hukum formal. Hak dalam kenyataannya jauh lebih rumit dari yang
ditetapkan pada hukum secara de jure. Seperangkat hak mungkin mencakup
gabungan hak yang didefinisikan oleh hukum perundang-undangan (de jure) dan
hak dengan definisi setempat (Larson 2013).
Apabila objek sumber daya yang diperebutkan berada di wilayah konservasi,
maka penetapan hak kepemilikan juga erat kaitannya dengan aturan mengenai
wilayah konservasi. Penetapan aturan hak kepemilikan sangat erat kaitannya
dengan peran pemerintah. Prinsip pemerintahan yang sesuai adalah pemerintahan
yang dapat memastikan peraturan yang konsisten di berbagai tingkat kewenangan
dan mengoordinasikan antara yurisdiksi (Hanna dan Munasinghe 1995).

9
Sistem Hak Kepemilikan Sumber Daya Alam
Sistem hak kepemilikan sumber daya seringkali diartikan sebagai mekanisme
sosial yang memberikan wewenang, serta mengikat individu dalam suatu
masyarakat atas kepemilikan wewenangnya. Sistem hak kepemilikan sumber daya
dan pola pengelolaan sumber daya juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan
dari struktur hak dan kewajiban. Kesatuan struktur hak dan kewajiban ini dikenal
lebih jauh dengan konsep hak kepemilikan atau property right (Bromley 1991
dikutip Priyatna 2013). Hanna dan Munasinghe (1995) menyebutkan “humans
interact with their environment through systems of property right that are
embedded in social, political, cultural, and economic context”. Hal ini
menunjukkan bahwa hak kepemilikan merupakan hasil dari interaksi manusia
dengan lingkungan yang berkaitan dalam suatu sistem politik, budaya, dan sosial
ekonomi. Selanjutnya Hanna dan Munasinghe (1995) juga menjelaskan bahwa
pemahaman mengenai rezim hak kepemilikan merupakan hal yang penting dalam
mengimplementasikan perlindungan lingkungan.
Ostrom (1994) menjelaskan bahwa karakteristik sumber daya alam erat
dengan dua atribut penting yaitu exclusion dan subtractability. Atribut exclusion
merupakan kemampuan suatu pihak dalam membatasi pihak lain yang ingin
memanfaatkan sumber daya alam, sedangkan subtractability merupakan
tersedianya kesempatan bagi pihak lain yang ingin memanfaatkan sumber daya
alam. Kombinasi tinggi-rendahnya derajat kedua atribut tersebut memunculkan
klasifikasi sumber daya (Gambar 1).

Subtractability
Rendah

Tinggi

Sulit

Public Goods

Common Pool Resource

Mudah

Toll Goods

Private Goods

Exclusion

Sumber: Ostrom (1994)

Gambar 1 Klasifikasi umum sumber daya
Berdasarkan klasifikasi tipe sumber daya menurut Ostrom (1994),
disimpulkan bahwa tipe sumber daya alam dibedakan menjadi empat, meliputi:
1) Private Goods (Barang Pribadi), ditandai dengan kemudahan mengeksklusi
yang bersifat relatif.
2) Public Goods (Barang Publik), merupakan kebalikan dari Private Goods
berdasarkan atribut exclusion dan subtractability. Barang publik memiliki
derajat kesulitan pada atribut exclusion, sehingga sulit membatasi pihak lain.
3) Toll Goods (disebut juga sebagai Club Goods—barang kelompok) sebagai
barang yang dapat dibagi dengan barang pribadi dan relatif mudah berdasarkan
atribut exclusion.
4) Common-Pool Resources (Sumber Daya Bersama) sebagai barang yang dapat
dibagi dengan barang pribadi (menyediakan kesempatan secara terbuka) dan
memiliki atribut exclusion yang rendah.

10
Menurut Dharmawan (2003), tipe sumber daya erat kaitannya dengan hak
pemilikan atau status penguasaan sumber daya (property rights). Bromley (1991)
dikutip Priyatna (2013) menyebutkan bahwa unsur-unsur atau komponenkomponen property right dalam pengelolaan sumber daya meliputi: (1) klaim
kepemilikan; (2) batas wilayah pengelolaan dan pemanfaatan; (3) pemegang
wewenang dan pendistribusian hak pengelolaan dan pemanfaatan; dan (4) aturan
pengelolaan dan pemanfaatan (rules of the game). Kunci utama dari hak
kepemilikan sumber daya didasarkan pada bundle of rights (sekumpulan hak dan
kewajiban). Ostrom dan Schlager (1990) dikutip Satria (2009a) mengklasifikasikan
hak kepemilikan berdasarkan konsep bundle of rights meliputi:
1) Hak akses (Access right): hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang
memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif.
2) Hak pemanfaatan (Withdrawl right): hak untuk memanfaatkan sumber daya
atau hak untuk berproduksi.
3) Hak pengelolaan (Management right): hak untuk menentukan aturan
operasional pemanfaatan sumber daya.
4) Hak eksklusi (Exclussion right): hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain.
5) Hak pengalihan (Alienation right): hak untuk menjual atau menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.
Kombinasi hak kepemilikan tersebut menunjukkan status kepemilikan
sumber daya alam (Ostrom dan Schlager 1996 dikutip Satria 2009a). Adapun status
yang melekat berdasarkan tipe hak kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Tipe hak

Matriks status kepemilikan sumber daya alam
Owner

Proprietor

Claimant

Akses
X
X
X
Pemanfaatan
X
X
X
Pengelolaan
X
X
X
Eksklusi
X
X
Pengalihan
X
Sumber: Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009a)

Authorized
user
X
X

Authorized
entrant
X

Beberapa hasil penelitian mengeni pemanfaatan lahan budi daya perairan
beserta hak dan status sumber daya alam disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4
menunjukkan, tipe hak kepemilikan atas sumber daya alam oleh masyarakat
setempat adalah hak pemanfaatan (withdrawl right) dan status yang dimiliki adalah
sebagai pengguna (user). Terdapat perbedaan yang nyata pada pengelolaan oleh
pihak swasta, bahwa hak kepemilikan atas sumber daya alam adalah hak pengalihan
(alienation right) dan status yang dimiliki adalah sebagai owner.

11
Tabel 4

No.
1.

2.

3.

4.

Matriks kasus-kasus hak dan status kepemilikan sumber daya dalam
kegiatan budi daya perairan
Kasus

Tipe hak/Status
kepemilikan

Deskripsi

Budi daya rumput laut
di Gugus Kepulauan
Kaledupa, Kabupaten
Wakatobi (Mansyur,
2010)
Budi daya ikan dalam
keramba jaring apung
(KJA) di Waduk
Jatiluhur (Priyatna,
2013)

Hak pemanfaatan
(withdrawl
right)/authorized
user

Pembudidaya menempati lokasi perairan
berdasarkan hak agunan (hanya memiliki
hak pemanfaatan).

Hak pemanfaatan
(withdrawl right)/
authorized user

Budi daya mutiara
oleh perusahaan di
Desa Gondang dan
Jenggala, Lombok
Barat (Satria et al.
2005)
Lahan budi daya
rumput laut sebagai
mahar perkawinan di
Kabupaten BantaengSulawesi Selatan (Nur
dan Saleng [tahun
tidak diketahui])

Hak pengalihan
(alienation
right)/owner

Pembudidaya memiliki hak untuk
memanfaatkan melalui SIUP (Surat Izin
Usaha Perikanan) dan disertai dengan
rekomendasi Teknik berupa SPPAP (Surat
Perjanjian Pemanfaatan Area Perairan)
dengan masa berlaku satu tahun.
Hak pemilikan diberikan secara formal
kepada perusahaan oleh Pemerintah
Provinsi disertai kewajiban untuk
membayar pajak.

Hak pengalihan
(alienation
right)/owner

Pembudidaya rumput laut dapat diakui
penguasaannya dengan syarat menetapkan
batas lahan dan mempunyai SIUP, namun
bukan sebagai bentuk pemilikan. Fakta
yang terjadi menunjukkan bahwa lahan
budi daya rumput laut dapat digunakan
sebagai mahar dan diberikan pada pihak
lain.

Persepsi Penetapan Zonasi Taman Nasional
Menurut Saptorini (1989) dikutip Mardijono (2008), persepsi adalah suatu
proses mental yang rumit dan melibatkan berbagai kegiatan untuk menggolongkan
stimulus yang masuk sehingga menghasilkan tanggapan untuk memahami stimulus
tersebut. Persepsi masyarakat mampu menunjukkan keberhasilan pengelolaan
taman nasional (Wahyuni dan Mamonto 2012). Taman nasional dikelola
berdasarkan sistem zonasi sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah No. 28/2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam. Taman nasional merupakan salah satu bentuk pelaksanaan
konservasi, sehingga persepsi terhadap zonasi taman nasional juga sejalan dengan
persepsi terhadap wilayah konservasi. Terdapat beberapa hal yang berhubungan
dengan persepsi terhadap konservasi. Mardijono (2008) menjelaskan bahwa
persepsi terhadap konservasi berhubungan dengan pengetahuan lokasi zonasi,
aturan yang berlaku, dan sanksi pelanggaran.
Kepatuhan
Kepatuhan dapat didefinisikan sebagai tunduk atau patuh pada ajaran atau
aturan (Muliari dan Setiawan 2011). Kepatuhan dalam menjalankan aturan
merupakan salah satu atribut keberlanjutan penatakelolaan kawasan konservasi
(Bawole et al. 2011). Namun pada kenyataannya, aturan yang telah disusun pada
pengelolaan wilayah konservasi tidak selamanya berjalan dengan baik. Bawole et

12
al. (2011) juga menjelaskan bahwa kurangnya sumber daya (dana dan transportasi)
untuk mengelola dan menegakkan peraturan-peraturan pemerintah menjadi
masalah. Agar pengelolaan wilayah konservasi mampu berjalan dengan baik maka
harus melibatkan berbagai pihak yang terkait. Pelibatan masyarakat lokal dalam
penyusunan aturan mampu mendorong tingkat kepatuhan terhadap aturan.
Masyarakat didorong untuk melakukan pemantauan dan pengontrolan terhadap
aktivtas pemanfaatan sumber daya kelautan.
Aturan yang dibuat merupakan salah satu bentuk sarana pengendalian.
Etzioni (1982) dikutip Kolopaking (2003) membedakan tiga kategori sarana
pengendalian atau disebut juga sebagai basis otoritas organisasi, yaitu:
1) sistem pengendalian yang menerapkan sarana fisik yang memaksa (seperti
penggunaan senjata, penjara), disebut coersive-authority/wewenang mutlak;
2) sistem pengendalian yang menerapkan ganjaran material (seperti ganjaran
uang atau barang lain), disebut utilitarian authority/wewenang utiliter yang
mengutamakan pertimbangan untung dan rugi; dan
3) sistem pengendalian yang menerapkan simbol-simbol atau ganjaran nilai
(seperti prestise, tanda jasa atau tanda penghargaan), disebut normative
authority yang menggunakan kekuatan sosial.
Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam suatu organisasi menerapkan
lebih dari satu sistem pengendalian (Kolopaking 2003). Menurut Etzioni (1982)
dikutip Kolopaking (2003), sarana pengendalian yang mampu menumbuhkan
tanggung-jawab berturut-turut adalah sarana pengendalian simbolik, utilitarian dan
koersif. Tanggapan atas adanya sarana pengendalian tersebut menimbulkan ciri
kepatuhan atau bentuk partisipasi, yaitu:
1) partisipasi dengan ciri kepatuhan alienatif (alienative atau keterlibatan
terpaksa);
2) partisipasi dengan ciri kepatuhan kalkulatif (calculative atau pertimbangan
dengan balas jasa setimpal dengan tawaran kegiatan yang disediakan oleh
organisasi); dan
3) partisipasi dengan ciri kepatuhan moral (keterlibatan dengan dasar mengemban
dan menghargai atau rela membantu organisasi).
Ciri kepatuhan yang ideal dari sarana pengendalian tersebut umumnya
menggambarkan bahwa sistem pengendalian koersif diikuti oleh ciri kepatuhan
alienatif, sistem pengendalian utilitarian diikuti oleh ciri kepatuhan kalkulatif, dan
sistem pengendalian normatif diikuti oleh ciri kepatuhan moral. Efek dari sarana
pengendalian terhadap ciri kepatuhan anggota organisasi sangat bergantung dari
latar belakang sosial budaya masyarakat (Kolopaking 2003).
Legitimasi
Penetapan Zona Budidaya Bahari disertai dengan aturan pengelolaannya.
Aturan merupakan produk hukum yang menurut Beetham dikutip Jentoft (2000)
tidak hanya dipahami sebagai pembenaran terhadap aturan itu sendiri (legalitas),
melainkan perlu mempertimbangkan pembenaran yang didasarkan pada prinsip
moral dan nilai-nilai (legitimasi). Kaitannya dengan hal ini, Jentoft (2000)
menjelaskan bahwa sistem pengelolaan yang dimaksud harus didasarkan pada
standar rasionalitas dan keadilan. Apabila tidak memenuhi, maka masyarakat akan
sulit menerima sistem pengelolaan. Sistem pengelolaan yang memiliki legitimasi

13
dapat dilihat dari kesan yang diciptakan oleh seseorang (dilihat dari perspektif
masyarakat).
Jentoft (2000) membedakan legitimasi menjadi dua macam, yaitu legitimasi
internal dan eksternal. Masyarakat yang terlibat langsung dalam pembuatan
keputusan (internal) mampu meningkatkan legitimasi, sedangkan yang tidak
terlibat dalam pengambilan keputusan (eksternal) mungkin akan memandang
sebagai suatu kesalahan. Adanya perbedaan pandangan dari masyarakat dan
pemerintah menunjukkan terjadinya krisis legitimasi. Masyarakat menganggap
pentingnya pengelolaan didasarkan pada rasionalitas dan kepentingan dalam
konteks lokal, sedangkan pemerintah menganggap pengelolaan didasarkan pada
rasionalitas dan efisiensi dari perspektif global. Menurut Jentoft (1989) dikutip
Satria et al. (2006b), krisis legitimasi dapat dianalisis berdasarkan empat indikator
meliputi:
1) Content of regulation (Isi aturan)
2) Distribution effect (Distribusi dampak)
3) Making the regulation (Pembuatan aturan)
4) Implementation of regulation (Pelaksanaan aturan)
Pengelolaan TNKJ saat ini dilaksanakan berdasarkan prinsip kolaboratif (comanagement) (Purwanti et al. 2008). Jentoft et al. (1998) mendefinisikan prinsip
kolaboratif (co-management) sebagai “the collaborative and participatory process
of regulatory decision-making among representatives of user-groups, government
agencies and research institutions”. Jentoft et al. (1998) juga menjelaskan apabila
merujuk pada pilar institusi secara normatif, maka co-management diharapkan
mampu meningkatkan legitimasi dan kepatuhan karena masyarakat cenderung
mendukung skema pengelolaan sumber daya alam. Keterlibatan masyarakat
mampu meningkatkan kepatuhan karena mereka lebih tahu, berkomitmen, dan
mendukung aturan. Hal ini diungkapkan oleh Hall (1972) dikutip Jentoft et al.
(1998), “compliance is also enhanced because users are likely to become more
knowledgeable of, committed to, and supportive of regulations if they have had a
say in the process”.
Pengelolaan secara co-management salah satunya dapat dilihat dari
penyusunan zonasi TNKJ yang menghasilkan aturan pengelolaan. Zonasi yang
ditetapkan saat ini merupakan hasil revisi dari penetapan sebelumnya dikarenakan
berbagai masalah yang dihadapi. Adapun perubahan zonasi disusun melalui
beberapa tahapan meliputi persiapan, pengumpulan dan analisa data, penyusunan
draft rancangan revisi zonasi, konsultasi publik, dan pengiriman dokumen (BTNKJ
2012). Masyarakat dilibatkan dalam proses konsultasi publik yang dibagi menjadi
tingkat kecamatan dan tingkat desa. Jentoft (2000) berpendapat bahwa legitimasi
aturan mendukung kepatuhan, bahwa nelayan akan mematuhi aturan dan peraturan
jika mereka menganggap sah atas sistem pengelolaan.
Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul
(Limbong 2012). Satria (2002) berpendapat bahwa secara sosiologis, kajian konflik
merupakan bagian dari kajian proses sosial. Proses sosial yang dimaksud terdiri atas
dua bentuk, yaitu proses sosial yang bersifat asosiatif (mendekatkan) dan ada pula
proses sosial yang bersifat disosiatif (menjauhkan), dimana konflik merupakan