Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur

PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN
TERPADU (PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKSI
USAHATANI PADI DI KABUPATEN CIANJUR

AGATHA KINANTHI TIOMINAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penerapan Teknologi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dalam Peningkatan Produksi
Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015

Agatha Kinanthi Tiominar
NIM H351130656

RINGKASAN
AGATHA KINANTHI TIOMINAR. Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur.
Dibimbing oleh ANDRIYONO KILAT ADHI dan DWI RACHMINA.
Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Data
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras di Indonesia mencapai 102.87
kg/kapita/tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 255 juta jiwa dan laju
pertumbuhan penduduk mencapai 1.49 persen/tahun, kebutuhan beras nasional
mencapai 41.4 juta ton/tahun yang terdiri dari 33.5 juta ton beras untuk konsumsi
dan 7.9 juta ton untuk cadangan beras nasional. Di sisi lain, produksi padi di
Indonesia belum stabil menopang kebutuhan beras nasional yang terus meningkat.
Hal ini terindikasi dari volume dan nilai impor beras yang masih tinggi, yakni
sebanyak 1 927 563 ton dan 1 006 973 090 US $ pada tahun 2012. Salah satu usaha
pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras impor adalah dengan

meningkatkan produksi beras domestik melalui penyaluran teknologi kepada pada
petani padi. Teknologi yang disalurkan adalah teknologi Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, produksi,
pendapatan, dan kesejahteraan petani padi. Teknologi PTT padi terdiri dari 13
komponen teknologi yang diciptakan untuk meningkatkan produksi padi sawah
melalui efisiensi penggunaan input produksi dengan memperhatikan penggunaan
sumberdaya alam secara bijak. Penyaluran teknologi PTT melalui Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu sebagai bagian dari Program Peningkatan Produksi
Bears Nasional (P2BN) telah belangsung dari tahun 2008, namun berbagai hasil
evaluasi dan penelitian terhadap keberlangsungan program menunjukkan bahwa
tingkat penerapan teknologi PTT masih bervariasi di kalangan petani serta belum
memberikan peningkatan hasil produksi padi yang optimal. Oleh karena itu, perlu
dikaji secara lebih lanjut mengapa terjadi tingkat penerapan teknologi PTT yang
bervariasi serta dampaknya terhadap produksi usahatani padi.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengukur tingkat penerapan teknologi PTT
padi, 2) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan
teknologi PTT pada usahatani padi, dan 3) menganalisis pengaruh tingkat
penerapan teknologi PTT terhadap peningkatan produksi usahatani padi. Penelitian
ini dilakukan di Kabupaten Cianjur dengan sampel sebanyak 62 petani padi di
Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang yang telah mengikuti program bantuan

SLPTT. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2014, di mana data yang
diperoleh merupakan data cross section yang dianalisis menggunakan metode
scoring, model regresi linear berganda, serta fungsi produksi Cobb-Douglas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen teknologi yang memiliki
persentase tingkat penerapan yang paling tinggi oleh seluruh petani sampel adalah
benih Varietas Unggul Baru (VUB) sebesar 97.58 persen, sedangkan komponen
teknologi dengan persentase tingkat penerapan yang paling rendah adalah jarak
tanam jajar legowo 2 sebesar 43.55 persen. Penerapan paket teknologi PTT secara
keseluruhan dalam usahatani padi di Kabupaten Cianjur belum optimal. Hal ini
dapat terindikasi dari sebaran tingkat penerapan teknologi PTT oleh para petani
yang sebagian besar termasuk dalam kelompok sedang dengan tingkat penerapan

teknologi berkisar antara 36.1 – 54, dengan persentase sebanyak 85.48 persen dari
seluruh petani sampel. Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi belum
optimalnya tingkat penerapan teknologi PTT oleh petani. Berdasarkan hasil
pendugaan parameter model faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan
teknologi PTT, faktor yang berpengaruh nyata pada taraf α 5 persen adalah
intensitas keiikutsertaan petani dalam pertemuan SLPTT dengan nilai dugaan 5.887
dan jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti petani dengan nilai
dugaan 4.802. Adapun pada taraf α 15 persen, faktor yang berpengaruh nyata adalah

dummy status pekerjaan petani dengan nilai dugaan sebesar 3.427.
Tingkat penerapan teknologi PTT yang belum optimal berdampak pada
produksi padi. Hal ini dapat terindikasi dari model dugaan faktor-faktor produksi
usahatani padi di Kabupaten Cianjur yang menunjukkan bahwa tingkat penerapan
teknologi PTT tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi pada taraf α 10
persen. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata
terhadap produksi padi adalah pupuk NPK Phonska dengan nilai dugaan 0.012 dan
pupuk urea dengan nilai dugaan 0.017 pada taraf α 10 persen, dan lahan dengan
nilai dugaan 0.748 pada taraf α 1 persen.
Untuk meningkatkan penerapan teknologi PTT padi ke depannya, pemerintah
melalui penyuluh lapang, bekerja sama dengan pengurus kelompok tani perlu
meningkatkan motivasi petani dalam mengikuti pertemuan SLPTT. Dengan tingkat
penerapan teknologi PTT yang optimal, maka diharapkan dapat berpengaruh
signifikan dan positif terhadap peningkatan produksi padi yang hasilnya dapat
bermanfaat bagi petani.
Kata kunci: produksi, teknologi PTT, tingkat penerapan

SUMMARY
AGATHA KINANTHI TIOMINAR. The Implementation of Integrated Crop
Management (ICM) Technology in Increasing Rice Farming Production at Cianjur

Regency. Supervised by ANDRIYONO KILAT ADHI dan DWI RACHMINA.
Rice is the staple food of Indonesia. The data showed that rice consumption
level in Indonesia is 102.87 kg/capita/year. With an average amount of population
255 million and population growth at 1.49 percent/year, national rice needs
approximately 41.4 million tones/year that consist of 33.5 million tones rice for
consumption and 7.9 million tones for national rice stock. On the other hand,
Indonesia’s domestic yield was not stable to fulfill the increasing of rice needs. This
is indicated fom the high volume and value of imported rice, which were 1 927 563
tones and 1 006 λ73 0λ0 US $ on 2012. One of the government’s efforts in
decreasing dependency of imported rice is by distributing technology to the rice
farmers in order to increase national rice production. The distributed technology
was Integrated Crop Management (ICM) technology that is aimed to increase the
productivity, yield, income, and the welfare of rice farmers. The ICM technology
is consisted of 13 technology components, designed to increase the rice yield by
using the production inputs efficiently and considering environmental aspects. The
distribution of ICM technology through ICM Farmer Field School (ICM-FFS) as a
part of National Rice Yield Increasing Program has been conducted since 2008,
however, several researches showed various level of ICM technology
implementation by farmers that have impact to the unoptimal rice yield. Therefore,
further research is needed to discover why the ICM technology is implemented

variously among the rice farmers and its impact to rice yield of farming.
This research is aimed to: 1) measure the level of rice ICM technology
implementation, 2) identify the factors affecting the level of rice ICM technology
implementation, and 3) analyze the impact of rice ICM technology implementation
level in increasing rice yield farming. The research was conducted at Cianjur
Regency with 62 rice farmers also ICM FFS participantspreaded in
Warungkondang and Gekbrong Subdistrict as the research sample. The cross
section data was collected on June 2014, analyzed using scoring method, multiple
linear regression model, and Cobb-Douglas production function.
The result showed that the ICM technology component with highest
percentage level of implementation is the New Superior Varieties (NSV) seeds on
97.58 percent, meanwhile the technology component with the lowest percentage
level of implementation is jajar legowo 2 crop population management with 43.55
percent. The implementation of ICM technology as a whole package in rice farming
at Cianjur Regency was not optimal. This was indicated from the ICM technology
implementation that were mostly in moderate level (85.48 pecent), score between
36.1 – 54.0. There are several factors that affect the unoptimal ICM technology
implementation level. Based on the analysis result of factors affecting ICM
technology implementation level, the factors that siginifcantly affect at level α 5
percent are the intensity of farmer’s participation in ICM-FFS training and the

quantity of other farming training participated by the farmers with predicted value
5.887 and 4.802. On the other hand, the dummy variable of the farmer’s occupation
status significantly affects on level α 15 percent, with predicted value 3.427.

The unoptimal level of ICM technology implementation affects the rice
farming yield. This is indicated from the rice production function analysis where
the ICM technology implementation level did not significantly affect the rice yield
at the level α 10 percent. The analysis result showed the production inputs that
significantly affect the rice yield are Urea-based fertilizer and NPK Phonska
fertilizer at level α 10 percent with predicted value 0.017 and 0.012, where as land
significantly affects atlevel α1 percent with predicted value 0.748.
To increase the level of ICM technology implementation in the future, the
government through the farming trainers together with the farmer group committee
should increase the motivation of the farmers in participating ICM-FFS training.
An optimal level of ICM technology implementation will affect significantly and
positively on increasing rice yield which will be beneficial for the farmers.
Kata kunci: ICM technology, implementation level, production

© Hak Cipta IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENERAPAN TEKNOLOGI TEKNOLOGI PENGELOLAAN
TANAMAN TERPADU (PTT) DALAM PENINGKATAN
PRODUKSI USAHATANI PADI DI KABUPATEN CIANJUR

AGATHA KINANTHI TIOMINAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM

3
Judul Tesis

Nama
NIM

: Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
dalam Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten
Cianjur
: Agatha Kinanthi Tiominar

: H351130656

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Andriyono Kilat Adhi
Ketua

Dr Ir Dwi Rachmina, M.Si
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Prof Dr Ir Rita Nurmalina,MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 17 November 2014

Tanggal Lulus:

4

5

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini adalah usahatani,
dengan judul Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dalam
Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Andriyono Kilat Adhi dan
Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, M.Si selaku komisi pembimbing; serta Ibu Prof. Dr. Ir.
Rita Nurmalina, MS dan Ibu Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku penguji di luar
komisi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Balai
Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong
dan Warungkondang, khususnya Bapak Yayat Duriat dan Bapak Asep selaku
kepala Balai, para ketua kelompok tani serta petani padi sampel di Kecamatan
Gekbrong dan Warungkondang, keluarga Umi dan Ayah di Desa Sukaratu, serta
seluruh pihak terkait yang telah membantu dalam pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala
doa dan kasih sayangnya; pihak pemberi Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan
Kerjasama Luar Negeri (BU-BPKLN) Dikti yang telah membiayai studi dan
penelitian penulis selama menyelesaikan pendidikan master; serta seluruh temanteman Fast Track Magister Sains Agribisnis Angkatan 1 atas segala doa, semangat,
dukungan, dan perjuangan yang bersama-sama kita lakukan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

Agatha Kinanthi Tiominar

6
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Adopsi Teknologi dalam Usahatani
Faktor-faktor yang Memengaruhi Penerapan Teknologi dalam Usahatani
Dampak Penerapan Teknologi
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Sampel
Metode Pengolahan dan Analisis Data
5 GAMBARAN UMUM PENELITIAN
Deskripsi Lokasi Penelitian
Karakteristik Petani Sampel
Kondisi Usahatani Petani
Keragaan Usahatani Padi
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Faktor –faktor yang Memengaruhi Tingkat Penerapan Teknologi PTT
Pengaruh Penerapan Teknologi PTT terhadap Produksi Padi
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xv
xv
xvi
1
1
5
7
7
7
8
8
9
12
13
13
19
20
21
21
21
22
29
30
31
37
40
48
48
63
70
75
75
76
77
81
87

7
DAFTAR TABEL
1 Daftar komponen teknologi PTT padi beserta indikator dan nilai bobot
23
2 Luas lahan dan produksi sektor pertanian di Kabupaten Cianjur 2013
31
3 Karakteristik petani padi peserta program SLPTT di Kabupaten Cianjur 2014 33
4 Kondisi sosial-ekonomi usahatani padi di Kabupaten Cianjur 2014
38
5 Rincian materi Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
50
6 Rata-rata tingkat penerapan masing-masing komponen teknologi PTT di
Kabupaten Cianjur tahun 2014
53
7 Rincian biaya pupuk sesuai anjuran teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur
tahun 2014
58
8 Rincian biaya pupuk yang tidak sesuai anjuran teknologi PTT padi di
Kabupaten Cianjur tahun 2014
58
9 Sebaran tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur
tahun 2014
62
10 Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT di
Kabupaten Cianjur tahun 2014
63
11 Statistik deskriptif faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi
PTT di Kabupaten Cianjur, 2014
65
12 Penggunaan faktor produksi dalam usahatani padi per 1 hektar di Kabupaten
Cianjur tahun 2014
72
13 Penggunaan faktor produksi dalam usahatani padi per luas lahan di
Kabupaten Cianjur tahun 2014
72
14 Parameter dugaan faktor produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur
tahun 2014
73
DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan produksi dan luas panen padi di Indonesia 2007-2013
2 Volume dan nilai impor beras oleh Indonesia, 2007-2012
3 Pergeseran kurva total physical product (TPP) ke atas akibat perubahan
teknologi
4 Perubahan teknologi dan fungsi produksi
5 Kerangka operasional penelitian “Penerapan Teknologi PTT dalam
Peningkatan Produksi Usahatani Padi di Kabupaten Cianjur”
6 Aktivitas menyebarkan jerami ke sawah
7 Membajak sawah dengan traktor
8 Pembuatan garis tanam dengan caplak
9 Kegiatan mencabut bibit
10 Aktivitas penanaman secara tegel
11 Jarak tanam jajar legowo 3
12 Bahan organik untuk membuat MOL
13 MOL yang sudah jadi

9
2
17
18
20
41
41
42
43
44
44
47
47

8
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Pendugaan model fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur
Uji normalitas model fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur
Uji heteroskedastisitas fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur
Pendugaan parameter faktor yang memengaruhi tingkat penerapan PTT
Uji normalitas model faktor yang memengaruhi tingkat penerapan PTT
Uji heteroskedastisitas faktor yang memengaruhi tingkat penerapan PTT

81
82
83
84
85
86

9

1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Data
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras di Indonesia mencapai 102.87
kg/kapita/tahun (Pusdatin Kementan 2013). Angka ini sangat besar jika
dibandingkan dengan negara pengonsumsi beras lainnya di wilayah ASEAN, yakni
Malaysia dengan tingkat konsumsi beras sebesar 80 kg/kapita/tahun dan Thailand
sebesar 70 kg/kapita/tahun1. Dengan jumlah penduduk sekitar 255 juta jiwa (KPU
2012) dan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1.49 persen/tahun (BPS 2014),
kebutuhan beras nasional mencapai 41.4 juta ton/tahun yang terdiri dari 33.5 juta
ton beras untuk konsumsi dan 7.9 juta ton untuk cadangan beras nasional2.
Di sisi lain, produksi padi di Indonesia belum stabil menopang kebutuhan
beras nasional yang terus meningkat. Perkembangan luas panen dan produksi gabah
kering giling padi tahun 2007 sampai 2013 dapat dilihat pada Gambar 1.
80000000

14000000

70000000

Produksi (ton)

13000000

50000000
40000000

12500000

30000000

12000000

20000000

Luas panen (hektar)

13500000

60000000

11500000

10000000
0

11000000
2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Tahun

Gambar 1 Perkembangan produksi (
Indonesia 2007-2013a
a

) dan luas panen padi (

) di

Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa produksi padi di Indonesia cenderung
mengalami penurunan pada tahun 2010-2011 sebesar 712 490 ton (1.07 persen),
yang disebabkan oleh penurunan luas areal padi sebesar 49 807 hektar (0.37
1

Sulihanti, S. 2013. Konsumsi Beras di Indonesia Masih Tertinggi di Dunia. [Internet]. [diunduh 1
April 2013]. Tersedia pada: http://www.merdeka.com/uang/konsumsi-beras-di-indonesiamasihtertinggi-di-dunia.html.
2
Kajian Sekjen Dewan Ketahanan Nasional. 20 April 2012. Mengantisipasi Ketergantungan
Terhadap Pangan Impor dan Solusinya.[Internet]. [Diunduh 25 April 2014]. Tersedia pada:
http://www.setkab.go.id/artikel-4157-mengantisipasi-ketergantungan-terhadap-pangan-impordan-solusinya.html

2

persen). Penurunan luas area panen padi diduga dipengaruhi oleh terjadinya
konversi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman dan industri. Fenomena alih
fungsi lahan pertanian merupakan salah satu permasalahan krusial dalam pertanian
tanaman pangan, di mana alih fungsi lahan yang terjadi mencapai 110 000 ha/tahun
dan 79.3 persen dari jumlah tersebut terjadi di Pulau Jawa yang merupakan
lumbung padi nasional2. Di sisi lain, permintaan terhadap komoditas pertanian tidak
menurun tetapi justru meningkat seiiring dengan pertumbuhan penduduk.
Produksi beras yang fluktuatif dan tidak stabil mengakibatkan Indonesia
harus mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional. Pada
Gambar 2 dapat dilihat bahwa volume dan nilai beras yang diimpor Indonesia pada
periode tahun 2007 sampai 2012 sangat berfluktuasi. Pada awalnya volume beras
yang diimpor cenderung menurun, dapat dilihat dari terjadinya penurunan volume
impor sebesar 1 137 183 ton atau sebanyak 81.43 persen dari tahun 2007 ke 2008
seiiring dengan adanya peningkatan produksi beras domestik pada tahun 2008
(Gambar 1), selanjutnya pada tahun 2009 volume impor pun menurun meski dalam
persentase yang rendah.
3000000

1600000

Volume (ton)

1200000
2000000

1000000

1500000

800000
600000

1000000

400000
500000

Nilai impor (000 US$)

1400000

2500000

200000
0

0
2007 2008 2009 2010 2011 2012

Tahun

Gambar 2 Volume ( ) dan nilai impor beras (
2007-2012a
a

) oleh Indonesia,

Sumber: Pusdatin Kementerian Pertanian (2013)

Namun kondisi ini tidak berlangsung lama sebab pada tahun-tahun
selanjutnya, yakni 2010 dan 2011 baik volume maupun nilai impor beras
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, terutama pada tahun 2011 dimana
volume impor beras mengalami peningkatan sebanyak 2 056 470 ton atau sekitar
299 persen dan nilai impor beras mengalaim peningkatan sebesar 1 148 364 000
US$ (Gambar 2). Tingginya tingkat impor beras pada tahun 2011 diduga
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya penurunan produksi beras domestik
(Gambar 1), yang berakibat pada tingginya harga beras domestik dibandingkan

3

harga beras di tingkat dunia3, serta adanya pembebasan bea impor beras4. Pada
tahun 2012, seiiring dengan peningkatan produksi beras domestik, volume impor
berkurang, namun jumlah dan nilainya masih cukup tinggi.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras impor, pemerintah perlu
menjaga kestabilan produksi dan produktivitas padi domestik. Salah satu alternatif
yang dapat dilakukan untuk menjaga stabilitas produksi beras di Indonesia adalah
meningkatkan produksi dan penawaran beras secara keseluruhan melalui penerapan
teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Kementan 2013).
Menurut Coelli (2005), terdapat tiga cara untuk meningkatkan produksi pertanian
yaitu dengan peningkatan efisiensi, perubahan teknologi, eksploitasi skala
ekonomis, atau kombinasi dari ketiganya. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan
teknologi dalam usahatani dapat menjadi salah satu alternatif dalam usaha
meningkatkan produksi beras. Teknologi merupakan desain tindakan instrumental
yang dapat menurunkan ketidakpastian hubungan sebab-akibat dalam usaha
mencapai hasil yang diinginkan (Rogers 1995), artinya teknologi dapat mengurangi
risiko/ketidakpastian yang dihadapi oleh petani dalam mencapai hasil produksi
usahatani yang diinginkan. Teknologi memiliki peranan yang penting dalam
pertanian, khususnya berkaitan dengan produksi. Menurut Doll dan Orazem (1984),
perubahan teknologi dalam usahatani dapat meningkatkan produksi, biaya,
penerimaan, dan keuntungan usahatani. Hal ini terjadi dalam kondisi dimana
perubahan teknologi berupa penambahan input yang baru, di mana input yang baru
memiliki fungsi produksi dan biaya produksi/unit tersendiri, sehingga dapat
meningkatkan biaya produksi dalam hal ini adalah biaya variabel. Namun
diharapkan peningkatan hasil produksi yang diperoleh lebih besar daripada
peningkatan biaya yang digunakan untuk penambahan input, sehingga dapat terjadi
peningkatan penerimaan (TR = P.Q), sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan
peningkatan keuntungan usahatani. Teknologi akan menghasilkan peningkatan
produksi dan pendapatan secara optimal jika penerapan teknologi tersebut
dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan. Hal ini berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Yin (1999), Krismawati dan Anggraeni (2011), Awotide
(2012), dan Ibrahim (2012) yang menunjukkan bahwa penerapan teknologi yang
dilakukan secara menyeluruh dan sesuai anjuran dapat berpengaruh positif terhadap
pendapatan usahatani maupun kesejahteraan petani.
Berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk menyalurkan teknologi
dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas beras nasional, diantaranya
dengan mencanangkan program Peningkatan Produktivitas Beras Nasional (P2BN)
sejak tahun 2007 dan direncanakan akan terus dilanjutkan sampai tahun 2014.
Program ini bertujuan untuk mencapai target surplus 10 juta ton beras pada akhir
tahun 2014. Teknologi yang disalurkan dalam program P2BN adalah teknologi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang disalurkan oleh Badan Pengembangan
Teknologi Pertanian (BPTP) Kementerian Pertanian kepada para petani padi
melalui penyelenggaraan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL3

Susanto, H. 4 Januari 2012.Politik Perberasan Nasional, Swasembada Vs Impor.[Internet].
[Diunduh pada 23 April 2014].Tersedia pada: http://www.investor.co.id/home/politikperberasan-nasional-swasembada-vs-impor/27334.
4
[INDEF] Institute for Development of Economics and Finance. 1 Maret 2011. Press release
INDEF: Krisis Pangan dan Kegagalan Negara. [Internet]. [Diunduh pada: 23 April 2014].
Tersedia pada: http://indef.or.id/images/xplod/news/press_release_indef%20pangan.pdf.

4

PTT)5. Tujuan penerapan teknologi PTT untuk meningkatkan produktivitas,
produksi, pendapatan, dan kesejahteraan petani padi.SLPTT merupakan program
memperkenalkan teknologi tepat guna untuk para petani palawija dan serealia,
termasuk di dalamnya padi melalui pelatihan dan bantuan langsung berupa subsidi
pupuk dan bibit6.
Program SLPTT diselenggarakan untuk mencapai tujuan dalam lingkup yang
luas dan sempit. Tujuan dari pelaksanaan program SLPTT dalam lingkup yang luas
adalah untuk mencapai swasembada beras nasional dan cadangan beras nasional
sesuai jumlah target yang telah ditetapkan dalam P2BN. Adapun tujuan dalam
lingkup yang lebih sempit adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan
dan perubahan sikap petani guna mempercepat penerapan komponen teknologi
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi dalam usahataninya agar penyebarluasan
teknologi ke petani sekitarnya berjalan lebih cepat.
Teknologi PTT padi terdiri dari enam komponen teknologi dasar dan tujuh
komponen teknologi pilihan yang diciptakan untuk meningkatkan produksi padi
sawah melalui efisiensi penggunaan input produksi dengan memperhatikan
penggunaan sumberdaya alam secara bijak (Kementan 2011). Penggunaan input
produksi padi berupa benih, pupuk, dan obat-obatan selama ini masih berlebih dan
tidak efisien. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Tanaman
Pangan (2006) terhadap usahatani padi di seluruh Indonesia, rata-rata jumlah benih
yang digunakan dalam usahatani padi adalah sebesar 40 kg/hektar, sedangkan
anjuran jumlah benih yang optimal adalah sebanyak 25 kg/hektar. Begitupula
dengan tingkat penggunaan pupuk anorganik, khususnya pupuk urea yang masih
sangat tinggi di Indonesia, padahal penggunaan pupuk kimiawi yang berlebihan
dapat menurunkan produktivitas lahan (Kementan 2010). Dalam program SLPTT,
petani diberikan arahan mengenai jumlah input yang seharusnya digunakan dalam
produksi padi, serta input substitusi yang diharapkan dapat meningkatkan hasil
usahatani sekaligus menurunkan biaya usahatani. Substitusi input yang dianjurkan
dalam SLPTT diantaranya adalah pengurangan penggunaan pupuk anorganik dan
mensubstitusikannya dengan pupuk organik maupun jerami kering sisa hasil panen
musim sebelumnya.
Program SLPTT padi telah cukup lama dilaksanakan dengan perubahan
teknologi PTT yang terus berkembang sesuai perubahan kebutuhan petani dan
perubahan ekosistem lingkungan. Dari berbagai evaluasi terhadap program SLPTT
padi yang telah dilakukan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penerapan
teknologi PTT berhasil memberikan dampak positif terhadap produksi dan
pendapatan usahatani padi, namun adapula penelitian yang menunjukkan bahwa
penerapan teknologi PTT tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap
usahtani padi, bahkan di beberapa lokasi penelitian penerapan teknologi PTT justru
memberikan hasil produksi yang lebih rendah daripada yang tidak menerapkan
teknologi PTT. Peningkatan produksi usahatani padi akibat penerapan teknologi
PTT diantaranya terjadi di Kecamatan Cijati, Kabupaten Cianjur menunjukkan
setelah berlangsungnya program SLPTT padi sawah pada tahun 2010, terjadi
peningkatan produksi padi sebesar 8.21 persen dibandingkan tahun 2009. Penelitian
5

Purwanto, Siwi. 2007. Implementasi Kebijakan untuk Pencapaian P2BN. Apresiasi Hasil Penelitian
Padi 2007. Hlm. 9
6
Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Umum Pelaksanaan SLPTT Padi dan Seralia 2012.

5

yang dilakukan Tiominar (2013) terhadap pelaksanaan SLPTT padi tahun 2012 di
Desa Sukaratu juga menunjukkan terdapat peningkatan produktivitas padi antara
petani padi yang mengikuti program SLPTT dengan yang tidak mengikuti program,
yakni 6.00 ton/ha untuk produktivitas padi peserta program SLPTT dan 5.17 ton/ha
untuk non peserta program SLPTT. Namun hasil penelitian yang berbeda
ditunjukkan oleh Irawati (2006) yang mengevaluasi pelaksanaan program SLPTT
padi di Kabupaten Karawang dimana produktivitas usahatani padi yang tidak
menerapkan teknologi PTT adalah sebesar 4.97 ton/ha sementara produktivitas
usahatani padi yang menerapkan teknologi lebih rendah yakni sebesar 4.25 ton/ha.
Penelitian mengenai penerapan teknologi PTT padi yang dilakukan oleh Yuliarmi
(2006) di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta menunjukkan adanya
peningkatan produksi padi akibat penerapan teknologi PTT namun perbedaan
produksi dan pendapatan tidak signifikan antara usahatani yang menerapkan
teknologi PTT dengan yang tidak. Dampak penerapan teknologi PTT terhadap
produksi dan pendapatan usahatani padi yang tidak konsisten dan signifikan seperti
yang telah dijelaskan pada umumnya disebabkan oleh tidak diterapkannya
teknologi PTT secara menyeluruh (Yuliarmi 2006, Irawati 2006, Nasution 2003).
Menurut Ibrahim et.al (2012), keberhasilan teknologi dalam meningkatkan
produksi dan pendapatan usahatani bergantung pada diseminasi teknologi tersebut
di antara para petani pengguna yang dapat diukur melalui tingkat penerapan
teknologi oleh petani. Oleh karena itu, pengukuran tingkat penerapan teknologi
PTT oleh para petani padi diperlukan sebagai salah satu indikator untuk mengukur
keberhasilan penyaluran dan penerapan teknologi PTT kepada para petani padi di
Indonesia. Selain dengan mengukur tingkat penerapan teknologi PTT yang
dilakukan oleh petani, indikator lainnya untuk mengukur keberhasilan teknologi
PTT adalah pengaruh penerapan teknologi PTT terhadap produksi dan pendapatan
usahatani. Tingkat penerapan teknologi diduga berpengaruh positif terhadap
produksi dan pendapatan usahatani padi, artinya semakin tinggi tingkat penerapan
teknologi PTT, maka semakin tinggi produksi dan pendapatan usahatani yang
dihasilkan.
Perumusan Masalah
Berdasarkan data BPS tahun 2012, Provinsi Jawa Barat merupakan lumbung
padi nasional dengan produksi gabah kering giling (GKG) sebesar 11 403 668 ton.
Pada tahun-tahun sebelumnya provinsi Jawa Barat merupakan produsen padi
tertinggi di Indonesia, namun posisi ini berubah pada tahun 2012, dimana terjadi
penurunan produksi beras di Jawa Barat sehingga produsen beras terbesar di
Indonesia diduduki oleh Provinsi Jawa Timur. Sementara itu, kebutuhan beras terus
meningkat akibat tingginya laju pertumbuhan penduduk di provinsi Jawa Barat
yang rata-rata mencapai 1.82 persen/tahun pada periode tahun 2007-2012 (RJPMD
Provinsi Jawa Barat 2013). Untuk memenuhi kebutuhan beras provinsi dan
nasional, pemerintah provinsi Jawa Barat menyalurkan teknologi PTT padi yang
diharapkan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas padi dengan
menyelenggarakan program bantuan SLPTT padi.
Di Provinsi Jawa Barat, terdapat 26 kabupaten dan kota yang menjadi sasaran
pelaksanaan SLPTT padi, di mana salah satu Kabupaten yang menjadi sasaran
pelaksanaan program adalah Kabupaten Cianjur. Program SLPTT padi telah

6

berlangsung di Cianjur sejak tahun 2008. Dari berbagai penelitian mengenai
penerapan teknologi PTT padi yang telah dilakukan, fakta yang terjadi di lapang
adalah adanya penerapan teknologi yang bervariasi oleh petani, di mana sebagian
besar petani cenderung tidak menerapkan teknologi anjuran secara utuh baik dari
segi jumlah komponen teknologi maupun komposisi anjuran dari masing-masing
komponen teknologi. Evaluasi yang dilakukan terhadap penerapan teknologi PTT
di berbagai wilayah menunjukkan tingkat penerapan teknologi yang rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Tiominar (2013) terhadap pelaksanaan program
SLPTT di Desa Sukaratu, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur menunjukkan
bahwa sebanyak 4 dari 6 komponen teknologi dasar telah diterapkan oleh sebagian
besar petani sampel SLPTT (> 50 persen) sedangkan untuk komponen teknologi
pilihan hanya 1 dari teknologi pilihan yang telah diterapkan oleh mayoritas petani
sampel. Komponen teknologi PTT yang sebagian besar diterapkan oleh para petani
adalah penggunaan benih padi inbrida Varietas Unggul Baru (VUB), penggunaan
benih berlabel dan bersertifikat, penggunaan pupuk organik dan jerami kering
sebagai pupuk dasar, pemupukan sebanyak tiga kali dalam satu musim tanam, serta
penggunaan bibit muda berusia 7-21 hari. Hal yang serupa ditunjukkan oleh hasil
evaluasi program SLPTT yang dilakukan oleh BPP (Badan Penyuluh Pelaksana)
Pertanian Kecamatan Cijati Kabupaten Cianjur pada tahun 2010 di mana komponen
teknologi PTT yang sebagian besar diterapkan hanya komponen teknologi
penggunaan benih unggul. Sementara itu, komponen teknologi PTT padi lainnya
seperti melakukan pengelolaan air yang tepat, pengendalian hama terpadu,
melakukan pengolahan tanah sesuai anjuran, serta perlakuan pasca panen yang baik
masih jarang dan sulit diterapkan oleh para petani. Tingkat penerapan teknologi
PTT yang bervariasi ini berdampak pada tingkat produksi dan pendapatan usahatani
yang tidak sesuai dengan harapan dan target yang ingin dicapai.
Berdasarkan laporan penelitian PSE Litbang Deptan tahun 2012, terdapat
berbagai hambatan yang mengakibatkan terjadinya variasi tingkat penerapan
teknologi PTT oleh para petani di sejumlah agroeksosistem di Indonesia. Hambatan
yang umumnya ditemui dalam pelaksanaan teknologi PTT adalah rendahnya akses
petani terhadap modal, infrastruktur seperti pengairan yang belum memadai,
eksistensi lembaga penunjang seperti kelompok tani yang belum menunjang, serta
kemampuan manajemen petani7. Kemampuan manajemen petani merupakan salah
satu faktor yang berhubungan erat dengan tingkat penerapan teknologi PTT.
Kemampuan manajemen terkait dengan kualitas sumberdaya manusia (SDM).
SDM dengan kualitas yang rendah akan sulit menerima dan menerapkan perubahan
pola dan metode yang dianjurkan dalam paket teknologi (BPP Kecamatan Cijati
2010).
Fenomena penerapan teknologi PTT padi dalam usahatani yang tidak sesuai
anjuran dan hasil produksi padi yang tidak optimal memerlukan kajian lebih lanjut
yang berfokus pada penerapan teknologi PTT dalam produksi padi agar teknologi
PTT padi dapat berdampak optimal bagi usahatani padi. Produksi padi yang optimal
sebagai dampak penerapan teknologi PTT diharapkan dapat menjadi salah satu

7

Kementerian Pertanian. 2012. Analisis Kebijakan dan Program SLPTT Menunjang Peningkatan
Produksi Nasional. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Balitbang Pertanian,
Kementerian Pertanian 2012.

7

penyangga untuk menjaga kestabilan persediaan beras nasional.Berdasarkan
rumusan masalah di atas, pertanyaan dari penelitian ini adalah:
1. Mengapa terjadi variasi tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten
Cianjur?
2. Bagaimana pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap produksi
usahatani padi di Kabupaten Cianjur?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Mengukur tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi
PTT pada usahatani padi di Kabupaten Cianjur
3. Menganalisis pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap peningkatan
produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program SLPTT
padi di Kabupaten Cianjur dengan mengukur tingkat penerapan teknologi PTT
setelah mengikuti program tersebut dan bagaimana pengaruhnya terhadap
peningkatan produksi padi. Diharapkan melalui penelitian ini dapat diketahui
variasi tingkat penerapan teknologi yang terjadi sebagai salah satu indikator
keberhasilan program, memberikan rujukan kepada pemerintah BPP selaku
pelaksana program mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi petani
dalam mengadopsi teknologi, sehingga faktor-faktor kunci tersebut dapat
ditingkatkan kinerjanya untuk meningkatkan adopsi teknologi oleh petani di
kemudian hari. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi motivasi bagi para
petani padi untuk menerapkan teknologi PTT secara keseluruhan agar mendapatkan
hasil produksi yang optimal.
Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan, maka objek penelitian
ini adalah usahatani padi yang menerapkan teknologi PTT pada tahun 2012 - 2014.
Analisis yang digunakan adalah pengukuran tingkat penerapan teknologi PTT,
faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT, dan pengaruh
tingkat penerapan teknologi PTT dengan produksi usahatani. Analisis penerapan
teknologi dan produksi usahatani dibatasi pada satu musim tanam padi, yakni
musim tanam Januari - Mei 2014. Komponen-komponen yang digunakan untuk
mengukur tingkat penerapan teknologi PTT padi merupakan 13 komponen
teknologi PTT padi spesifik lokasi yang telah diformulasikan oleh Balai
Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan
Warungkondang dan Gekbrong bersama dengan para petani padi setempat, terdiri
dari: (1) jarak tanam legowo 4, (2) benih berlabel dan bermutu, (3) benih VUB, (4)
pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, (5) pengolahan
lahan tergantung pola tanam dan musim tanam, (6) penggunaan pupuk organik, (7)
bibit muda berumur 17-21 hari, (8) tanam bibit 1-3 batang/rumpun, (9)

8

pengendalian organism pengganggu tanaman (OPT) terpadu, (10) pengairan secara
efektif dan efisien, (11) penyiangan minimal sebanyak 2 kali/musim tanam sesuai
waktu yang telah ditentukan, (12) panen tepat waktu, dan (13) perontokan gabah
sesegera mungkin.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Adopsi Teknologi dalam Usahatani
Adopsi teknologi mengacu pada keputusan petani untuk menerapkan
peningkatan teknologi secara berkelanjutan (Roger dan Shoemaker 1971). Dalam
berusahatani, petani tidak lepas dari adopsi teknologi yang bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani. Jenis teknologi yang
diterapkan pada usahatani dapat berbeda, tergantung pada kondisi agroekosistem
usahatani maupun komoditi yang diusahakan. Bentuk teknologi yang disalurkan
kepada petani umumnya berupa paket kesatuan yang terdiri dari beberapa
komponen teknologi. Masing-masing komponen teknologi tingkat penerapannya
dapat berbeda antara satu komponen dengan komponen teknologi lainnya.
Chi (2008) meneliti mengenai penerapan teknologi pengelolaan hama terpadu
pada usahatani padi di delta Sungai Mekong, Vietnam. Paket teknologi pengelolaan
hama terpadu (IPM) yang diberikan terdiri dari teknologi cara penanaman benih
berbaris, penurunan penggunaan jumlah pupuk, benih, dan pestisida, penggunaan
benih bersertifikat dan varietas unggul, panen menggunakan mesin, serta
penggunaan rice dryer. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ogada et.al (2010),
teknologi yang diperkenalkan kepada petani jagung di Kenya adalah teknologi
konservasi lahan, berupa pembuatan petakan lahan dan lahan bertingkat serta
penggunaan pupuk secara proporsional. Adapun dalam Yesuf dan Kohlin (2008)
yang meneliti mengenai usahatani di wilayah dataran tinggi Etiopia mengemukakan
bahwa adopsi teknologi yang dilakukan oleh petani di wilayah tersebut terdiri dari
penggunaan pupuk secara proporsional dan konservasi lahan.
Menurut Balitbang Kementerian Pertanian (2008), salah satu teknologi yang
memberikan kontribusi paling besar terhadap produktivitas pertanian nasional di
Indonesia adalah pengembangan benih varietas unggul. Benih varietas unggul
merupakan salah satu komponen teknologi dalam teknologi Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT). PTT merupakan paket teknologi yang dikembangkan oleh
Kementerian Pertanian yang terdiri dari enam komponen teknologi dasar dan tujuh
komponen teknologi pilihan. Pada studi kasus adopsi teknologi PTT pada usahatani
di Desa Sukaratu, dari enam komponen teknologi dasar, sebanyak 4 komponen
teknologi telah diadopsi oleh mayoritas petani sampel (lebih dari 50 persen dari
sampel), sedangkan untuk komponen teknologi pilihan, hanya 1 komponen
teknologi yang diadopsi oleh sebagian besar petani. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat adopsi teknologi oleh petani padi di Desa Sukaratu masih rendah (Tiominar,
2013). Tingkat penerapan teknologi PTT yang rendah juga ditunjukkan dalam
penelitian Zakaria (2010) yang meneliti mengenai penerapan teknologi PTT pada
usahatani kedelai. Tingkat penerapan teknologi yang rendah berdampak pada tidak
signifikannya perbedaan pendapatan usahatani kedelai antara yang melakukan
adopsi teknologi dengan yang tidak.

9

Tingkat adopsi teknologi yang tinggi akan berpengaruh secara signifikan
terhadap pendapatan petani. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Ibrahim et.al
(2012), di mana para petani padi di wilayah Borno, Nigeria memiliki tingkat adopsi
teknologi tinggi terhadap teknologi produksi padi, dengan rincian sebanyak 9
teknologi dari total 13 komponen teknologi peningkatan produksi padi telah
diadopsi oleh para petani dengan tingkat adopsi tinggi, sementara 2 komponen
teknologi lainnya memiliki tingkat penerapan sedang, dan sisanya rendah.
Komponen teknologi yang memiliki tingkat penerapan tinggi yaitu: pemilihan
benih, kedalaman tanam benih, jarak tanam, penggunaan pestisida, varietas benih,
pengolahan lahan, penggunaan herbisida, penggunaan pupuk, dan penggunaan alat
panen kombinasi. Dari ke-13 komponen teknologi tersebut, komponen-komponen
teknologi yang memiliki hubungan signifikan terhadap peningkatan produksi padi
yaitu: pemilihan benih, kedalaman tanam benih, sistem irigasi, manajemen air, dan,
ketersediaan sumur.
Dalam melakukan adopsi teknologi, terdapat beberapa hal yang menjadi
perhatian dan pertimbangan bagi petani, di antaranya adanya keuntungan penerapan
teknologi secara konkrit (misalnya peningkatan pendapatan), teknologi yang
diadopsi harus terjangkau secara finansial, pelaksanaannya sederhana dan tidak
rumit, serta pengarahan teknologi yang diberikan harus mudah diamati (Musyafak
dan Ibrahim, 2005). Oleh karena itu, sebelum dilakukannya pelatihan teknologi
kepada petani, hendaknya lembaga yang bersangkutan telah menerapkan hal-hal
tersebut.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Penerapan Teknologi dalam Usahatani
Faktor-faktor yang memengaruhi adopsi teknologi petani dalam berusahatani
dapat dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan
karakteristik petani itu sendiri, seperti persepsi petani, usia petani, pengalaman
berusahatani, dan tingkat pendidikan petani (Yuliarmi 2006). Faktor eksternal
merupakan faktor-faktor lain di luar karakteristik petani yang dapat memengaruhi
keputusan petani untuk mengadopsi suatu teknologi, seperti: kondisi fisik
lingkungan usahatani, cara penyampaian atau pengenalan teknologi, hubungan
petani dengan penyuluh pemberi teknologi, kondisi pasar, dan lainnya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Chi (2008) terhadap para petani padi di
wilayah Delta Sungai Mekong, faktor internal yang memengaruhi adopsi teknologi
petani adalah tingkat pendidikan, persepsi, tingkat kemiskinan, usia, etnis, jenis
kelamin petani, luas lahan, dan jumlah tenaga kerja dalam keluarga. Dari
keseluruhan karakteristik petani tersebut, faktor yang menduduki peringkat paling
tinggi atau dapat dinyatakan paling berpengaruh terhadap adopsi teknologi adalah
tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, dan persepsi petani terhadap teknologi (Chi
2008, Rangkuti 2007, Tiamiyu et.al 2009). Pernyataan ini didukung pula oleh
penelitian yang dilakukan oleh Suri (2009) yang dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa tingkat adopsi teknologi petani dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani
itu sendiri dan keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan teknologi. Di
samping faktor internal, faktor eksternal turut memengaruhi. Faktor eksternal yang
berpengaruh pada adopsi teknologi petani adalah bentuk pelatihan teknologi,
tingkat pengetahuan tenaga kerja luar keluarga, kondisi infrastruktur dan ekosistem
wilayah, lokasi pelatihan teknologi, penyebaran informasi, kelompok tani, harga

10

input yang digunakan dalam adopsi teknologi, iklan dan akses terhadap produk
input pertanian, keakraban bertetangga, dan keberadaan clinic station yang dapat
menjadi sarana konsultasi petani terkait teknologi yang diterapkan (Chi 2008, Diiro
2012). Dari faktor-faktor eksternal tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah
bentuk pelatihan teknologi, tingkat pengetahuan tenaga kerja luar keluarga, kondisi
infrastruktur dan ekosistem wilayah (Chi 2008). Adapun pada penelitian yang
dilakukan oleh Awotide et.al (2012), akses terhadap input pertanian, dalam kasus
ini benih, dan akses terhadap informasi seperti melalui telepon selular, maupun
media komunikasi massa lainnya merupakan faktor yang berpengaruh secara
signifikan terhadap adopsi teknologi oleh petani.
Bentuk dan jumlah pelatihan teknologi merupakan salah satu faktor yang
berperan penting dalam penerapan teknologi. Faktor ini menyebabkan petani dapat
lebih mudah menerima pengetahuan mengenai teknologi baru, serta memperluas
akses petani terhadap informasi teknologi pertanian. Bentuk pelatihan yang mudah
dimengerti, diterima, dan diterapkan akan mendorong petani untuk mengadopsi
teknologi. Selain itu, pengawasan dan bimbingan secara berkelanjutan juga sangat
diperlukan oleh petani dalam proses adopsi teknologi. Chi (2008), Tiamiyu et.al
(2009), dan Awotide et.al (2012) menyatakan bahwa ketersediaan pelatihan
teknologi berpengaruh secara nyata dan positif terhadap adopsi teknologi oleh
petani. Hal ini berarti dengan adanya pelatihan, akan meningkatkan keputusan
petani untuk mengadopsi teknologi.
Hal senada yang menyatakan bahwa kondisi ekosistem wilayah berpengaruh
pada tingkat adopsi teknologi dikemukakan oleh Ogada et.al (2010) yang
menganalisis mengenai tingkat adopsi teknologi oleh petani jagung di wilayah
lahan kering tadah hujan di Kenya. Ogada mengaitkan hubungan antara kondisi
ekosistem dengan kemungkinan tingkat risiko produksi usahatani jagung terhadap
tingkat adopsi teknologi (Ogada (2010), Yesuf dan Kohlin (2008), Pribadi (2002).
Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa kondisi ekosistem di lokasi penelitian
yang sangat gersang dan pengairannya mengandalkan air hujan mengakibatkan
terjadinya varians produksi yang tinggi yang kemudian akhirnya berdampak pada
rendahnya tingkat adopsi teknologi oleh petani karena ketakutan akan menghadapi
risiko produksi yang lebih tinggi akibat penerapan teknologi.
Penelitian yang dilakukan oleh Diiro (2012) terhadap para petani jagung di
Uganda menemukan fenomena lain, yakni selain faktor internal berupa
karakteristik petani, tingkat pendapatan off-farm keluarga petani turut. berpengaruh
terhadap tingkat adopsi teknologi. Penelitian ini menemukan bahwa semakin tinggi
tingkat pendapatan off-farm suatu rumah tangga petani, maka semakin tinggi
keinginannya untuk mengadopsi teknologi, dalam konteks ini adalah penggunaan
benih unggul jagung.
Yesuf dan Kohlin (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
ketidaksempurnaan pasar (market imperfections) merupakan salah satu faktor yang
turut memengaruhi tingkat adopsi teknologi oleh petani. Faktor-faktor yang
termasuk dalam ketidaksempurnaan pasar di antaranya akses terhadap kredit yang
terbatas, luas lahan, tingkat risiko, dan tingkat preferensi waktu dari uang.
Akses terhadap kredit memiliki peranan penting dalam adopsi teknologi. Hal
ini disebabkan oleh adanya peningkatan biaya usahatani pada awal proses adopsi
teknologi, sehingga dengan akses terhadap kredit yang lebih mudah, akan menjadi
dorongan bagi petani untuk melakukan adopsi teknologi karena memiliki

11

kemudahan untuk memperoleh modal tambahan dalam rangka penerapan teknologi.
Pernyataan ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Yesuf dan Kohlin
(2008), Tiamiyu et.al (2009), dan Uaiene (2011) yang menyatakan bahwa akses
petani terhadap kredit berpengaruh positif terhadap adopsi teknologi oleh petani,
yang berarti semakin mudah akses petani terhadap kredit, maka akan semakin tinggi
tingkat adopsi teknologi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yesuf dan Kohlin ini
terdapat kecenderungan yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yuliarmi (2006), di mana luas lahan petani justru tidak berpengaruh terhadap
tingkat adopsi teknologi oleh petani.
Adopsi teknologi pada pertanian turut dipengaruhi oleh perubahan biaya
usahatani. Penerapan teknologi pada awalnya akan meningkatkan biaya produksi,
karena adanya penyesuaian jumlah input yang dilakukan oleh petani sebelum dan
sesudah menerapkan teknologi. Namun dalam jangka waktu panjang, adopsi
teknologi diharapkan dapat mengurangi biaya usahatani sehingga dapat
meningkatkan pendapatan usahatani. Kondisi peningkatan biaya usahatani di awal
adopsi ini dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Yuliarmi (2006) di mana
biaya pupuk dalam adopsi teknologi pupuk berimbang dalam usahatani padi
berpengaruh nyata dan negatif terhadap adopsi teknologi petani. Semakin tinggi
biaya pupuk yang harus dikeluarkan akibat penerapan teknologi, maka semakin
rendah keinginan petani untuk mengadopsi teknologi tersebut. Faktor lain yang
memengaruhi adopsi teknologi dan berhubungan dengan biaya pupuk adalah luas
lahan yang dimiliki oleh petani. Hasil penelitian menyatakan bahwa semakin besar
luas lahan, semakin tinggi tingkat adopsi teknologi. Dari ini dapat disimpulkan
bahwa luas lahan besar yang umumnya dimiliki oleh petani dengan kesejahteraan
baik cenderung memiliki tingkat adopsi teknologi yang lebih tinggi. Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chi (2008), Ogada et.al (2010),
Awotide et.al (2012) yang menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh
negatif terhadap tingkat adopsi teknologi petani, yang memiliki arti bahwa semakin
tinggi tingkat kemiskinan petani, semakin rendah tingkat adopsi teknologi yang
dilakukan.
Penelitian yang dilakuka