Mikropropagasi Bambusa Balcooa Roxb Dan Bambusa Beecheyana Munro Melalui Prolifersai Tunas Aksilar Dan Embriogenesis Somatik

MIKROPROPAGASI TANAMAN Bambusa balcooa Roxb DAN
Bambusa beecheyana Munro MELALUI PROLIFERASI TUNAS
AKSILAR DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK

LILIS SURYA NINGRUM

BIOLOGI
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Mikropropagasi
Tanaman Bambusa balcooa Roxb dan Bambusa beecheyana Munro melalui
Proliferasi Tunas Aksilar dan Embriogenesis Somatik adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 2015
Lilis Surya Ningrum
NIM G34100003

ABSTRAK
LILIS SURYA NINGRUM G34100003. Mikropropagasi Bambusa balcooa Roxb
dan Bambusa beecheyana Munro melalui Prolifersai Tunas Aksilar dan
Embriogenesis Somatik. Dibimbing oleh RITA MEGIA dan IKA ROOSTIKA
TAMBUNAN.
Bambusa balcooa dan Bambusa beecheyana memiliki potensi besar untuk
produksi biofuel. Perbanyakan bambu menggunakan biji sulit diterapkan.
Alternatif lain perbanyakan bambu yaitu melalui teknik kultur in vitro. Penelitian
ini bertujuan mendapatkan media yang efektif untuk proliferasi tunas aksilar,
induksi perakaran dan embriogenesis somatik akar B. balcooa dan B. beecheyana.
Media multiplikasi tunas adalah media ½ MS dengan perlakuan BA 0.1, 0.3 dan
0.5 mg L-1 dengan penambahan antioksidan PVP 100 mg L-1 atau asam askorbat
100 mg L-1 atau kombinasi keduanya. Media perlakuan untuk induksi akar adalah

media MS dengan penambahan IBA atau NAA (5 dan 10 mg l-1) serta kombinasi
keduanya. Media perlakuan untuk embriogenesis somatik yaitu media MS dengan
penambahan 2,4-D (0.1, 0.3, dan 0.5 mg L-1) dan sukrosa (3, 4, 5, dan 6%).
Perlakuan BA 0.5 mg L-1 yang dikombinasikan dengan PVP 100 mg L-1 dan asam
askorbat 100 mg L-1 efektif untuk multiplikasi B. balcooa dan B. beechayana.
Induksi perakaran menggunakan klaster tunas pada media yang mengandung
NAA 10 mg L-1 efektif dalam menginduksi perakaran B.balcooa, sedangkan
kombinasi perlakuan IBA 5 mg L-1 dan NAA 5 mg L-1 efektif dalam induksi
perakaran pada B.beecheyana. Perlakuan media MS dengan penambahan 2,4-D
(1, 3 dan 5 mg L-1) tidak berhasil menginduksi pembentukkan kalus B.
beecheyana dan B. balcooa.
Kata kunci: Bambusa balcooa, B. beecheyana, multiplikasi tunas, induksi
perakaran, embriogenesis somatik.

ABSTRACT
LILIS SURYA NINGRUM. Micropropagation of Bambusa balcooa Roxb and
Bambusa beecheyena Munro through Axillary Shoot Proliferation and Somatic
Embryogenesis. Supervised by RITA MEGIA and IKA ROOSTIKA
TAMBUNAN.
Bambusa balcooa and Bambusa beecheyana have the great potential for

biofuel production. Propagation of bamboo through seeds is difficult to be applied.
The in vitro culture technique is an alternative way for propagation of bamboo.
The aims of this study were to obtain the best medium for proliferating axillary
shoots, inducing roots, and inducing somatic embryogenesis regeneration of B.
balcooa and B. beecheyana. Medium used for shoots multiplication was ½ MS
with addition of 0.1, 0.3, and 0.5 mg L-1 of BA and 100 mg L-1 PVP or ascorbic
acid or combination of both antioxidants. Medium used for root induction was MS
supplemented with IBA or NAA (5 and 10 mg L-1) and combination of both.
Medium used for somatic embryogenesis was medium MS with addition of 2,4-D
(1, 3, and 5 mg L-1) and sucrose (3, 4, 5 and 6%). The treatment of BA 0.5 mg L-1
combined with 100 mg L-1 PVP and ascorbic acid effective for shoots
multiplication of B. balcooa and B. beecheyana. The treatment of NAA 10 mg L-1
was more effective to induce root induction of B. balcooa, while B. beecheyana
for root induction of the combined treatment of IBA 5 mg L-1 and NAA 5 mg L-1
was effective. Medium MS with addition of 2,4-D (up to 5 mg L-1) failed induce
callus formation of B. balcooa and B. beecheyana.
keyword: B. balcooa, B. beecheyana, shoots multiplication, root induction,
somatic embryogenesis.

MIKROPROPAGASI TANAMAN Bambusa balcooa Roxb DAN

Bambusa beecheyana Munro MELALUI PROLIFERASI TUNAS
AKSILAR DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK

LILIS SURYA NINGRUM

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian

dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 hingga Desember 2014 dengan judul
Mikropropagasi Tanaman Bambusa balcooa Roxb dan Bambusa beecheyana
Munro melalui Proliferasi Tunas Aksilar dan Embriogenesis Somatik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Rita Megia dan Ibu Dr Ika
Roostika Tambunan selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan
arahan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Dr Ignatius
Muhadiono selaku penguji atas saran yang diberikan. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada teknisi Laboratorium Kultur Jaringan
Kelompok Peneliti Biologi sel dan Jaringan Balai Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) yang membantu
selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa ucapan
terima kasih saya sampaikan kepada Mbak Rara Puspita Dewi Lima Wati, Bapak
Yosi Zendra Joni, Mbak Dea Sylva Lisnandar, Ilham Bintang, Dede Nurul Iman
dan teman-teman Biologi 47 atas dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 2015
Lilis Surya Ningrum


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

METODE

2

Bahan

2

Alat

2

Prosedur Penelitian

2


Proliferasi Tunas aksilar

2

Induksi Perakaran

2

Embriogenesis Somatik

3

a. Sterilisasi Akar

3

b. Praperlakuan Eksplan

3


c. Induksi Kalus Embriogenik

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Proliferasi Tunas aksilar

4

Induksi Perakaan

8

Embriogenesis Somatik

14


a. Praperlakuan Eksplan

14

b. Induksi Kalus Embriogenik

15

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

17


DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

20

DAFTAR TABEL
1 Pengaruh perlakuan BA dan jenis antioksidan terhadap multiplikasi
tunas B. balcooa
2 Pengaruh perlakuan BA dan jenis antioksidan terhadap multiplikasi
tunas B. beecheyana
3 Pengaruh IBA dan NAA terhadap induksi perakaran B. balcooa dengan
tunas tunggal sebagai eksplan
4 Pengaruh IBA dan NAA terhadap induksi perakaran B. balcooa dengan
klaster tunas sebagai eksplan
5 Pengaruh IBA dan NAA terhadap induksi perakaran B. beecheyana
dengan tunas tunggal sebagai eksplan
6 Pengaruh IBA dan NAA terhadap induksi perakaran B. beecheyana
dengan klaster tunas sebagai eksplan
7 Pengaruh perlakuan konsentrasi sukrosa terhadap respon warna eksplan
akar dari B. beecheyana
8 Pengaruh perlakuan konsentrasi sukrosa terhadap respon warna eksplan
akar dari B. balcooa
9 Pengaruh perlakuan konsentrasi 2.4-D terhadap respon warna eksplan
akar dari B. beecheyana

4
6
10
10
11
11
14
15
16

DAFTAR GAMBAR
1 Penampilan eksplan B. balcooa pada berbagai media perlakuan pada
umur 3 MST
2 Penampilan eksplan B. beecheyana pada berbagai media perlakuan
pada umur 3 MST
3 Persentase kematian B. balcooa dan B. beecheyana pada berbagai
media perlakuan
4 Waktu inisiasi akar dan jumlah akar yang terbentuk dari eksplan tunas
tunggal serta klaster tunas dari B. balcooa dan B.beecheyana yang
diinduksi oleh IBA dan NAA.
5 Bentuk akar dari planlet B. balcooa dan B. beecheyana yang diinduksi
dengan IBA 10 mg L-1, kombinasi IBA dan NAA masing-masing 5 mg
L-1
6 Persentase kalus yang terbentuk pada planlet B. balcooa dan B.
beecheyana yang diperoleh dari perlakuan IBA dan NAA menggunakan
eksplan tunas tunggal klaster tunas
7 Respon warna eksplan B. beecheyana yang diberi perlakuan sukrosa

5
6
7

9

12

13
14

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bambu tergolong dalam famili Gramineae, genus Bambusa. Di Indonesia,
bambu secara ekonomi dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, bahan kerajinan
tangan, alat memancing, industri kertas, sayuran, bahan alat musik tradisional
(Widjaja 1980). Fungsi ekologi dari bambu dapat mengurangi permasalahan
lingkungan karena dapat mengatasi erosi tanah dan membantu penyerapan
karbondioksida (Zhou et al. 2005). Bambu juga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber biofuel karena memiliki komponen seperti selulosa, hemiselulosa dan
lignin (Widjaja 1980). Pemanfaatan bambu sebagai bahan baku biofuel belum
diterapkan di Indonesia. Spesies bambu yang berpotensi besar untuk produksi
biofuel adalah Bambusa balcooa dan Bambusa beecheyana. Kedua spesies
tersebut memiliki struktur ketebalan batang dan kulit yang maksimum.
Perbanyakan bambu tersebut pada umumnya dengan menggunakan biji (Widjaja
1980), namun perbanyakan dari biji sulit diterapkan karena bambu bersifat
monokarpik dan bijinya sulit berkecambah. Alternatif perbanyakan bambu adalah
menggunakan teknik kultur in vitro (Yeh dan Chang 1986). Penelitian mengenai
proliferasi tunas aksilar (Ramanayake et al. 2001), induksi akar dan
embriogenesis somatik (Yeh dan Chang 1986) dari kedua spesies bambu tersebut
masih terbatas.
Isolasi eksplan merupakan bagian penting dari teknik kultur in vitro.
Isolasi menyebabkan pelukaan eksplan yang mengakibatkan produksi senyawa
fenolik. Senyawa fenolik mampu menyebabkan pencoklatan pada eksplan dan
mengakibatkan kematian. Menurut Huang et al. (2002), pencoklatan yang
menyebabkan kematian awal dari tunas bambu yang ditanam secara in vitro
berkorelasi langsung dengan aktivitas polifenol oksidase (PPO). Pencoklatan
dapat dihambat melalui penggunaan senyawa antioksidan melalui penurunan
akumulasi peroksidase (Newton et al. 2004). Antioksidan yang sering digunakan
yaitu polyvinylpyrrolidone (PVP) dan asam askorbat. Melalui penambahan
antioksidan, eksplan diharapkan dapat tumbuh dengan lebih baik.
Beberapa penelitian mengenai mikropropagasi bambu telah dilaporkan.
Sharma dan Sarma (2011) melaporkan bahwa tingkat keberhasilan tertinggi (8590%) dari kultur in vitro B. balcooa adalah menggunakan 6-Benzylaminopurine
(BAP) 1.5 mg L-1 untuk inisiasi tunas dan Naphthalene acetic acid (NAA) 4.0
mg L-1 untuk induksi perakaran dengan persentase perakaran 90% (10.6
akar/eksplan), sedangkan pemberian Indole-3-butryric acid (IBA) 1.24 mg L-1
pada media perakaran hanya menghasilkan tunas berakar sebesar 29.2%,
sedangkan Das dan Pal (2005) melaporkan bahwa penambahan IBA 0.2 mg L-1
paling efektif dalam menginduksi akar B. balcooa. Selain zat pengatur tumbuh
(ZPT), jumlah tunas dari eksplan juga mempengaruhi jumlah akar. Negi dan
Saxena (2011) melaporkan bahwa penggunaan 5-8 tunas per klaster merupakan
eksplan terbaik untuk induksi perakaran B. balcooa. Menurut Chang dan Lan
(1995), pencoklatan kalus dari akar B. beecheyana terjadi pada media dengan
komposisi 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D) 3 mg L-1, kinetin 2 mg L-1dan
sukrosa 6%.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan media yang efektif untuk
proliferasi tunas aksilar, induksi perakaran dan embriogenesis somatik akar B.
balcooa dan B. beecheyana.

METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tunas in vitro dari B.
balcooa dan B. beecheyana koleksi Laboratorium Kultur Jaringan serta akar dari
B. balcooa dan B. beecheyana koleksi rumah kaca Kelompok Peneliti Biologi sel
dan Jaringan, Balai Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian (BB Biogen). B. balcooa dikenal dengan nama daerah bambu
Beema yang berasal dari India utara, sedangkan B. beecheyana dikenal dengan
nama daerah Phai Kim Sung yang terdistribusi diwilayah Indo-Cina.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan media adalah hara makro; hara
mikro; vitamin Murashige dan Skoog 1962 (Lampiran 1); Zat Pengatur Tumbuh
(ZPT): BA, IBA, NAA, 2,4-D; antioksidan (PVP, asam askorbat) dan Glutamin.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Laminar Air Flow (LAF),
otoklaf, botol kultur, cawan petri, alat diseksi (pisau, scalpel, pinset), timbangan,
dan aluminium foil.

Prosedur Penelitian
Proliferasi Tunas Aksilar
Eksplan yang digunakan untuk percobaan ini adalah klaster tunas (3 tunas).
Sumber eksplan yang digunakan dalam penelitian ini dalam kondisi yang seragam
dengan umur kultur yang sama. Eksplan ditanam di media ½ MS (Lampiran 1)
dengan penambahan glutamin 100 mg L-1 dan perlakuan BA (0.1 mg L-1, 0.3 mg
L-1 dan 0.5 mg L-1) dan antioksidan (PVP 100 mg L-1, asam askorbat 100 mg L-1
atau gabungan dari keduanya). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak lima
kali. Pengamatan dilakukan terhadap tumbuhnya tunas umur 3 minggu setelah
tanam (MST). Peubah yang diamati adalah jumlah eksplan yang berespon, jumlah
tunas yang terbentuk, jumlah daun yang membuka, jumlah tunas browning dan
persentase kematian eksplan, dari biakan umur 3 MST. Eksplan yang mengalami
kematian disebabkan oleh senescene dicirikan dengan tunas yang menguning
kemudian daun menjadi layu dan tunas mati, sedangkan eksplan yang mengalami
browning dicirikan dengan eksplan yang berwarna coklat, tidak vigor dan ditandai
dengan warna coklat hingga hitam di sekitar media tumbuh.

1
3
Induksi Perakaran
Eksplan yang digunakan untuk percobaan induksi perakaran adalah tunas
tunggal dan klaster tunas (3 tunas). Sumber eksplan yang digunakan dalam
penelitian ini dalam kondisi yang seragam dengan umur kultur yang sama. Ekplan
kemudian ditanam pada media MS dengan penambahan auksin IBA atau NAA (5
dan 10 mg L-1) serta kombinasi IBA dan NAA masing-masing 5 mg L-1. Setiap
perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Pengamatan dilakukan selama 4 minggu.
Peubah yang diamati yaitu waktu induksi perakaran, jumlah eksplan yang berakar,
jumlah eksplan yang mati, jumlah eksplan yang berkalus, jumlah tunas hijau dan
jumlah tunas layu. Pengamatan jumlah tunas hijau dan jumlah tunas layu hanya
dilakukan pada eksplan klaster tunas.
1. Persentase kematian, perakaran, dan eksplan berkalus dihitung dengan
rumus :
%x=

Ʃx
x
Ʃy

%

Keterangan:
Ʃx : Jumlah eksplan yang mengalami kematian, berakar atau berkalus
Ʃy : Jumlah total eksplan yang ditanam (ulangan)
2. Persentase tunas layu dan tunas hijau dihitung dengan rumus :
% tunas layu atau hijau =

Ʃ tunas layu atau hijau
x
Ʃ tunas dalam seluruh ulangan

Embriogenesis Somatik

%

a. Sterilisasi Eksplan
Eksplan yang digunakan berupa ujung akar dari B. balcooa dan B. beecheyana
yang dipotong dengan ukuran 1 cm. Eksplan disterilisasi terlebih dahulu dengan
cara direndam pada etanol 70% selama lima menit, NaOCl 15.75% dan NaOCl
10.5% berturut-turut selama tujuh dan sembilan menit dan NaOCL 5.25% selama
10 menit. Selanjutnya, eksplan dicuci dengan akuades steril selama lima menit.
Pencucian dilakukan sebanyak tiga kali.
b. Praperlakuan Eksplan
Eksplan hasil sterilisasi ditanam pada media MS dengan modifikasi konsentrasi
sukrosa (3–6%) dengan penambahan Casein hydrolisate 1.000 mg L-1 (Wei dan
Tien 1995) dan PVP 100 mg L-1. Masing- masing perlakuan dilakukan sebanyak
tiga kali dengan dua eksplan dalam setiap botolnya. Peubah yang digunakan
adalah jumlah eksplan yang menggembung, jumlah eksplan yang mengalami
pencoklatan (bagian ujung dan pangkal), dan jumlah eksplan yang mengalami
pemanjangan pada umur 4 MST.

4
c. Induksi Kalus Embriogenik
Eksplan yang telah mengalami penggembungan dipindahkan ke media MS
dengan komposisi sama seperti media induksi kalus, namun dengan penambahan
2,4-D (1, 3 dan 5 mg L-1) dan dikombinasikan dengan kinetin 2 mg L-1. Setiap
perlakuan hanya menggunkan satu ulangan dengan satu eksplan dalam setiap
botolnya. Kultur disimpan di ruang kultur dengan kondisi tanpa cahaya dengan
suhu 20±10C (Wei dan Tien 1995). Pengamatan terbentuknya kalus dilakukan
selama 12 minggu. Peubah yang digunakan adalah jumlah eksplan yang
membentuk kalus, struktur kalus yang terbentuk, diameter kalus dan daerah yang
lebih cepat membentuk kalus.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Proliferasi Tunas Aksilar
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh perlakuan BA dan antioksidan
terhadap multiplikasi tunas B. balcooa. Perlakuan Media ½ MS dengan
penambahan glutamin 100 mg L-1 dengan perlakuan BA 0.5 mg L-1 dan
antioksidan (PVP 100 mg L-1 dan asam askorbat 100 mg L-1) menghasilkan
jumlah tunas yang tertinggi, yaitu 8 tunas/eksplan. Jumlah daun membuka yang
tinggi juga dihasilkan dari perlakuan tersebut (5 daun/eksplan). Pada media
tersebut, tingkat pencoklatan (tunas browning) cukup rendah (2 tunas/eksplan).
Penampilan eksplan B. balcooa pada semua media perlakuan setelah berumur 3
MST dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 1 Pengaruh perlakuan BA dan jenis antioksidan terhadap multiplikasi tunas
B. balcooa, 3 MST
Jumlah tunas
Jumlah daun
Jumlah tunas
Perlakuan
baru
membuka
browning
(mg L-1)
(tunas/eksplan)
(daun/eksplan)
(tunas/eksplan)
B0.1P100
2±1.71
4±1.41
3±1.71
B0.1A100
3±0.96
6±0.96
3±0.50
B0.1P100A100
2±1.29
4±2.16
2±1.41
B0.3P100
2±1.71
3±1.41
3±0.50
B0.3A100
1±0.82
2±0.58
2±0.50
B0.3P100A100
1±1.00
3±0.82
2±1.71
B0.5P100
5±3.86
3±2.38
1±1.00
B0.5A100
4±2.45
3±1.26
3±2.16
B0.5P100A100
8±2.65
5±1.29
2±0.58
Keterangan: B= BA (mg L-1), P= PVP (mg L-1), A= Asam askorbat (mg L-1). Media yang
digunakan adalah ½ MS yang mengandung Glutamin 100 mg L-1. Setiap perlakuan diulang lima
kali (n=45)

1
5

a

b

c

d

e

f

h

i

g
-1

-1

Keterangan: B= BA (mg L ), P= PVP (mg L ), A= Asam askorbat (mg L-1).
Media yang digunakan adalah ½ MS yang mengandung Glutamin 100 mg L-1

Gambar 1 Penampilan eksplan B. balcooa pada media perlakuan a) B0.1P100, b)
B0.1A100, c) B0.3P100A100, d) B0.1P100, e) B0.1A100, f) B0.3P100A100, g)
B0.1P100, h) B0.1A100, i) B0.3P100A100 pada umur 3 MST
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media ½ MS dengan penambahan
glutamin 100 mg L-1 dan BA 0.5 mg L-1 dan antioksidan (PVP 100 mg L-1 dan
asam askorbat 100 mg L-1) efektif dalam menginduksi tunas baru B. balcooa
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tingginya jumlah tunas yang dihasilkan
disebabkan oleh tingginya konsentrasi BA. Dengan demikian, BA 0.5 mg L-1
merupakan taraf terbaik untuk proliferasi tunas B. balcooa. Menurut Sharma dan
Sarma (2011), BA 1.5 mg L-1 dan klaster tunas (2–3 tunas) sebagai eksplan
merupakan perlakuan paling efektif dalam proliferasi tunas B. balcooa dengan
rata-rata jumlah tunas 20 tunas/eksplan pada umur 3–4 MST. Negi dan Sexena
(2011) juga melaporkan bahwa perlakuan BA 1.48 mg L-1 paling efektif dalam
multiplikasi tunas B. balcooa (2.26 tunas/eksplan) dengan menggunakan 1–3
tunas sebagai eksplan dalam waktu 3 minggu.
BA merupakan salah satu jenis sitokinin yang sering digunakan dalam
multiplikasi tunas. BA yang diberikan pada konsentrasi optimal mampu
menginduksi tunas lebih cepat dan lebih banyak. Besarnya konsentrasi BA yang
diterapkan pada spesies tanaman berbeda-beda. Setiap tanaman memiliki ZPT
endogen yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kebutuhan akan ZPT secara eksogen
berbeda-beda pula.
Tabel 2 menunjukkan adanya pengaruh perlakuan ZPT dan jenis
antioksidan terhadap multiplikasi tunas B. beecheyana. Media ½ MS dengan
penambahan glutamin 100 mg L-1 dengan perlakuan BA 0.5 mg L-1 dan
antioksidan (PVP 100 mg L-1 dan asam askorbat 100 mg L-1) menghasilkan
jumlah tunas yang tertinggi yaitu, 4 tunas/eksplan. Jumlah daun membuka yang
tinggi juga dihasilkan dari media perlakuan tersebut, yaitu 5 daun/eksplan.

6
Berbeda dengan yang terjadi pada B. balcooa, tingkat pencoklatan yang terjadi
pada B. beecheyana tergolong masih tinggi (3 tunas/eksplan). Penampilan eksplan
B. beecheyana pada semua media perlakuan setelah berumur 3 MST dapat dilihat
pada Gambar 2.
Tabel 2 Pengaruh perlakuan ZPT dan jenis antioksidan terhadap multiplikasi tunas
B. beecheyana, 3 MST
Jumlah daun
Jumlah tunas
Perlakuan
Jumlah tunas baru
membuka
browning
(mg L-1)
(tunas/eksplan)
(daun/eksplan)
(tunas/eksplan)
B0.1P100
1±1.3
2±1.2
2±0.4
B0.1A100

1±0.4

1±1.3

2±0.8

B0.1P100A100

2±1.5

1±1.3

1±0.7

B0.3P100

3±3.6

3±0.7

4±1.9

B0.3A100

2±0.8

3±0.5

3±1.1

B0.3P100A100

1±1.5

3±1.1

1±0.5

B0.5P100

2±0.9

4±2.5

2±1.1

B0.5A100

3±2.4

5±2.7

3±0.7

B0.5P100A100

4±2.2

5±1.5

3±1.6

-1

-1

Keterangan: B= BA (mg L ), P= PVP (mg L ), A= Asam askorbat (mg L-1). Media yang
digunakan adalah ½ MS yang mengandung Glutamin 100 mg L-1. Setiap perlakuan diulang lima
kali (n=45)

a

b

c

d

e

f

h

i

g
-1

-1

Keterangan: B= BA (mg L ), P= PVP (mg L ), A= Asam askorbat (mg L-1).
Media yang digunakan adalah ½ MS yang mengandung Glutamin 100 mg L-1

Gambar 2 Penampilan eksplan B. beecheyana pada media perlakuan a) B0.1P100, b)
B0.1A100, c) B0.3P100A100, d) B0.1P100, e) B0.1A100, f) B0.3P100A100, g)
B0.1P100, h) B0.1A100, i) B0.3P100A100 pada umur 3 MST

1
7
Penggunaan BA 0.5 mg L-1 yang dikombinasikan dengan antioksidan PVP
100 mg L-1 dan asam askorbat 100 mg L-1 terbukti efektif dalam mengiduksi tunas
B. beecheyana karena mampu menghasilkan tunas tertinggi. Menurut Anand and
Brar (2013), kombinasi BA 0.99 mg L-1 dan kinetin 0.2 mg L-1 efektif dalam
multiplikasi tunas Bambusa bamboos dengan jumlah tunas yaitu 6–8
tunas/eksplan pada 3 MST. Jumlah tunas baru yang dihasilkan pada penelitian ini
lebih rendah dibandingkan dengan jumlah tunas yang dilaporkan oleh Anand dan
Brar (2013).
Pelukaan menyebabkan eksplan memproduksi senyawa fenolik. Senyawa
fenolik menimbulkan browning pada eksplan. Browning dapat menyebabkan
kematian pada eksplan. Menurut Huang et al. (2002) browning yang sering
menyebabkan kematian awal dari tunas bambu yang ditanam secara in vitro
berkorelasi langsung dengan aktivitas enzim PPO. Pencoklatan dapat dihambat
melalui penggunaan senyawa antioksidan melalui penurunan akumulasi
peroksidase (Newton et al. 2004). Jenis antioksidan yang digunakan pada
penelitian ini memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas yang browning.
Jumlah tunas yang browning pada penelitian ini masih tinggi terutama dari
perlakuan satu jenis antioksidan. Penggunaan antioksidan PVP dan asam askorbat
mampu mengurangi tingkat browning pada tunas B. balcooa dan B. beecheyana
yang ditanam pada media dengan perlakuan BA taraf rendah (0.1 mg L-1).
Berdasarkan Gambar 3, biakan tunas B. balcooa dan B. beecheyana yang
ditanam pada perlakuan BA taraf tinggi (0.5 mg L-1) memiliki tingkat kematian
yang rendah meskipun tunas mengalami pencoklatan, sedangkan pada media
perlakuan BA taraf rendah (0.1 dan 0.3 mg L-1), eksplan memiliki tingkat
kematian yang tinggi hingga 100%.
B. balcooa

140

B. beecheyana

120
100

Kematian (%)

80
60
40
20
0
-20
-40

B0.1P100

B0.1A100

B0.1P100A100

B0.3P100

B0.3A100

B0.3P100A100

B0.5P100

B0.5A100

B0.5P100A100

Perlakuan

Keterangan: B= BA (mg L-1), P= PVP (mg L-1), A= Asam askorbat (mg L-1). Media yang
digunakan adalah ½ MS yang mengandung Glutamin 100 mg L-1. n=45

Gambar 3 Persentase kematian B. balcooa dan B. beecheyana pada berbagai
media perlakuan

8
Diduga bahwa tingginya tingkat kematian terkait dengan kelayuan
(senescence). Tingginya tingkat kelayuan disebabkan oleh tingginya kandungan
auksin endogen dari kedua jenis bambu. Penambahan BA 5 mg L-1 mampu
mengubah rasio sitokinin atau auksin endogen, sehingga kandungan auksin lebih
rendah daripada sitokinin dan menyebabkan tingkat kelayuan dan kematian dapat
ditekan. Jika dibandingkan antara kedua spesies tersebut, kematian eksplan dari B.
beecheyana lebih tinggi dibandingkan dengan B. balcooa. Hal ini menunjukkan
adanya genotype dependent.
Induksi Perakaran
Eksplan berupa tunas tunggal dan klaster tunas dari B. balcooa dan B.
beecheyana memberikan respon yang berbeda terhadap kecepatan pembentukan
akar (Gambar 4) dan jumlah akar. Waktu inisiasi akar lebih cepat terjadi pada
klaster tunas (2 MST) dibandingkan dengan tunas tunggal (3 MST). Hal ini
menunjukkan bahwa tipe eksplan atau ukuran eksplan berpengaruh terhadap
keberhasilan induksi perakaran. Klaster tunas diduga mengandung cadangan
karbohidrat dan kandungan hormon yang lebih banyak sehingga mampu
merangsang pembentukan akar dengan lebih cepat. Selain itu, proses adaptasi
dalam lingkungan atau kondisi in vitro akan lebih mudah dilakukan pada klaster
tunas daripada tunas tunggal. Jumlah tunas diduga juga memiliki peranan penting
dalam induksi perakaran terkait dengan kandungan auksin. Auksin diproduksi di
daerah pucuk, sehingga jika semakin banyak tunas yang digunakan maka semakin
tinggi auksin yang dihasilkan. Auksin yang tinggi mampu menginduksi perakaran
dalam waktu yang lebih cepat. Menurut Sharma dan Sarma (2011), bahwa umur
kultur B. balcooa yang baik untuk induksi perakaran yaitu 3 minggu dengan
menggunakan 2–3 tunas sebagai eksplan. Waktu pembentukkan akar pada
penelitian ini sama dengan penelitian yang telah dilaporkan oleh Sharma dan
Sarma (2011), yaitu 15–20 hari setelah tanam. Berdasarkan penelitian ini maka
disarankan menggunakan klaster tunas untuk induksi perakaran dari B. balcooa
dan B. beecheyana.
Jumlah akar pada eksplan baik klaster tunas maupun tunas tunggal
meningkat dengan cepat dalam setiap minggunya. Peningkatan jumlah akar dari
klaster tunas lebih tinggi dibandingkan dengan tunas tunggal. Besarnya
peningkatan jumlah akar pada kedua jenis bambu berbeda. Perbedaan ini
disebabkan oleh perbedaan respon fisiologis dari jenis bambu yang digunakan.
Hal ini menunjukkan adanya genotype dependent. Namun demikian, peningkatan
jumlah akar juga diikuti dengan peningkatan jumlah tunas yang browning. Diduga
bahwa semakin lama periode inkubasi, semakin banyak akumulasi auksin di
dalam jaringan sehingga dapat memacu biosintesis etilen. Tingginya kandungan
etilen dapat ditandai dengan menguningnya tunas. Menurut Saxena dan Dhawan
(1999), tunas Dendrocalamus strictus dapat membentuk akar yang sehat dalam
waktu 4 minggu, waktu penyimpanan kultur yang lebih lama dapat menyebabkan
browning dan daun yang mengering.

1
9
20

18

18

16

16

14

14

12

12
jumlah akar

Jumlah akar

20

10
8

10
8

6

6

4

4

2

2
0

0
1

2

3

1

4

2

MST

(a)

4

(b)

20

20

18

18

16

16

14

14

12

12
Jumlah akar

Jumlah akar

3
MST

10
8

10
8

6

6

4

4

2

2
0

0
1

2

3

4

1

2

MST

(c)
Keterangan:

: IBA 5

3

4

MST

(d)
: IBA 10

: IBA 5 NAA 5

: NAA 5

: NAA 10

Gambar 4 Waktu inisiasi akar dan jumlah akar yang terbentuk dari eksplan tunas
tunggal (a dan b) serta klaster tunas (c dan d) dari B. balcooa (kiri)
dan B.beecheyana (kanan) yang diinduksi oleh IBA dan NAA. (n=25)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa IBA 10 mg L-1 efektif dalam
menginduksi perakaran tunas tunggal B. balcooa dengan persentase perakaran
sebesar 40% dengan jumlah 7 akar/eksplan. Kombinasi perlakuan IBA dan NAA
masing-masing 5 mg L-1 tidak menghasilkan akar sama sekali namun
menghasilkan kalus. Persentase kematian yang tinggi diperoleh dari perlakuan
IBA 5 dan 10 mg L-1, yaitu 60% (Tabel 3).

10
Tabel 3 Pengaruh IBA dan NAA terhadap induksi perakaran B. balcooa dengan
tunas tunggal sebagai eksplan, 4 MST
ZPT (mg l-1)
Jumlah akar
Perakaran (%)
Kematian (%)
IBA 5
2 ± 3.34
40
60
IBA 10
7 ± 6.83
40
60
IBA5 + NAA5
0
0
20
NAA 5
2 ± 1.66
40
20
NAA 10
2 ± 3.30
20
40
Keterangan: Setiap perlakuan diulang lima kali (n=25)

Berdasarkan Tabel 4, induksi perakaran pada B. balcooa dengan
menggunakan klaster tunas menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan IBA dan
NAA menghasilkan jumlah akar yang tinggi (13 akar/ekplan), dengan persentase
perakaran hanya 60%. Pada perlakuan tersebut, tingkat kematian dan kelayuan
rendah, masing-masing 0 dan 13%.
Tabel 4 Pengaruh IBA dan NAA terhadap induksi perakaran B. balcooa dengan
klaster tunas sebagai eksplan, 4 MST
ZPT (mg L-1)

Jumlah akar

IBA5
IBA10
IBA5 + NAA5
NAA5
NAA10

7 ± 4,92
11 ± 9,44
13±19,94
5 ± 5,45
8 ± 3,09

Perakaran Kematian
(%)
(%)
80
80
60
60
60

60
40
0
20
40

Tunas hijau
(%)

Tunas
Layu (%)

33
33
87
60
47

67
67
13
40
53

Keterangan: Setiap perlakuan diulang lima kali (n=25)

Penggunaan 2–3 jenis auksin dengan konsentrasi yang seimbang
dilaporkan efektif dalam menginduksi akar in vitro tanaman Aristotochia
manshuriensis (Hedman 2005). Anand dan Brar (2013) melaporkan bahwa respon
perakaran terbaik B. bamboos diperoleh dari perlakuan IBA 9.8 mg L-1 dengan
persentase 60%. Das dan Pal (2005) melaporkan bahwa IBA efektif untuk
menginduksi akar B. balcooa. Devi dan Sharma (2009) melaporkan perakaran
bambu Arundinaria callosa efektif dilakukan dengan menggunakan klaster tunas
(3–4 tunas) sebagai eksplan dengan perlakuan IBA 5 mg L-1 dan BAP 0.01 mg L-1
dengan persentase perakaran sebesar 75% dan jumlah akar 3.8 akar/eksplan.
Hasil penelitian menunjukkan tingginya persentase tunas layu diiringi
dengan tingginya persentase kematian. Persentase tunas layu pada eksplan yang
diberi perlakuan IBA lebih tinggi daripada NAA. Sebaiknya, IBA 5 mg L-1
dikombinasikan dengan NAA 5 mg L-1 untuk induksi perakaran B. balcooa. Hasil
pengamatan menunjukkan adanya penurunan daya regenerasi, ditandai dengan
eksplan yang menguning kemudian berubah menjadi berwarna hitam pada minggu
keempat. Tingginya persentase kelayuan dan kematian tunas diduga disebabkan
oleh auksin. Pemberian auksin dalam konsentrasi tinggi dapat meningkatkan
produksi etilen yang menyebabkan senescence.

1
11
Induksi perakaran pada B. beecheyana dengan menggunakan tunas tunggal
menunjukkan bahwa perlakuan IBA 10 mg L-1 dapat menginduksi perakaran
dengan persentase perakaran sebesar 40% dan jumlah akar 8 akar/ekplan (Tabel 5).
Pada perlakuan tersebut, tingkat kematian eksplan cukup rendah (20%).
Tabel 5 Pengaruh IBA dan NAA terhadap induksi perakaran B. beecheyana
dengan tunas tunggal sebagai eksplan, 4 MST
ZPT (mg L-1)
IBA5
IBA10
IBA5 + NAA5
NAA5
NAA10

Jumlah akar

Perakaran (%)

Kematian (%)

40
40
0
20
0

40
20
0
0
40

5 ± 8.39
8 ± 9.27
0±0
1±4
0±0

Keterangan: Setiap perlakuan diulang lima kali (n=25)

Perakaran dari klaster tunas B. beecheyana hampir terjadi pada semua
perlakuan yang diujikan. Tingginya jumlah akar dan persentase perakaran tersebut
diduga disebabkan oleh peranan NAA. Berdasarkan Tabel 6, NAA 10 mg L-1
efektif dalam induksi perakaran klaster tunas B. beecheyana karena menghasilkan
tingkat perakaran yang tinggi (80%) dengan tingkat kelayuan dan kematian yang
rendah, masing-masing yaitu 33 tunas dan 20%. Sharma dan Sarma (2011)
melaporkan bahwa induksi perakaran B. balcooa efektif dilakukan melalui
penggunaan NAA 4 mg L-1 dan menghasilkan 10.6 akar/eksplan. Brar et al.
(2014) melaporkan bahwa perlakuan NAA 2.9 mg L-1 efektif menginduksi
perakaran B. balcooa dari eksplan klaster tunas (4–5 tunas) dengan jumlah akar
11.5 akar/eksplan dan persentase perakaran 76.6%. Jumlah akar yang dihasilkan
pada penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian Sharma dan Sarma (2011)
maupun Brar et al. (2014).
Tabel 6 Pengaruh IBA dan NAA terhadap induksi perakaran B. beecheyana
dengan klaster tunas sebagai eksplan, 4 MST
ZPT (mg L-1)

Jumlah akar

IBA 5
IBA 10
IBA5 + NAA5
NAA 5
NAA 10

1 ± 2.31
6 ± 9.09
10 ± 6.68
5 ± 3.49
12 ± 5.17

Perakaran
(%)

Kematian
(%)

Tunas hijau
(%)

Tunas
Layu (%)

20
20
80
80
80

40
60
40
20
20

33
27
40
60
67

67
73
60
40
33

Keterangan: Setiap perlakuan diulang lima kali (n=25)

Persentase kematian yang diperoleh dari B. beecheyana pada penelitian ini
masih tergolong tinggi. Tingginya persentase kelayuan diiringi oleh tingginya
persentase kematian. Selain itu, tipe eksplan mempengaruhi tingkat keberhasilan
perakaran. Menurut Negi dan Saxena (2011) bahwa penggunaan 5–8 tunas per
klaster pada B. balcooa merupakan eksplan terbaik untuk induksi perakaran.

12
Dengan menggunakan klaster tunas, jumlah akar yang dihasilkan lebih banyak
dan waktu pembentukkan akar yang lebih cepat.
Tingginya aktivitas PPO dapat menyebabkan eksplan browning. Menurut
Huang et al. (2002) browning yang sering menyebabkan kematian pada tunas
bambu yang ditanam secara in vitro berkorelasi langsung dengan aktivitas PPO.
Umumnya aktivitas PPO pada setiap spesies bambu berbeda-beda. Bambu D.
latiflorus memiliki aktivitas PPO sebesar 0.142 unit g-1 tunas sedangkan Bambusa
oldhamii memiliki aktivitas PPO sebesar 0.028 unit g-1 tunas. Dendrocalamus
latiflorus memiliki waktu browning lebih cepat yaitu 6–7 MST sedangkan B.
oldhamii memiliki waktu browning 9 MST. B. balcooa dan B. beechayana pada
penelitian ini mengalami browning pada 4 MST. Hal ini menunjukkan bahwa
aktivitas PPO pada B. balcooa dan B. beecheyana mungkin lebih tinggi
dibandingkan dengan D. latiflorus maupun B. oldhami.
Penggunaan IBA atau NAA berpengaruh terhadap morfologi akar B.
balcooa dan B. beecheyana. Perbedaan morfologi akar kedua spesies bambu
disebabkan oleh perbedaan jenis auksin. Akar kedua spesies bambu yang
diperoleh dari perlakuan IBA memiliki bentuk yang kecil, tipis, dan panjang
(Gambar 5a dan c), sedangkan akar dari planlet setelah perlakuan NAA adalah
pendek, tebal dan cenderung berkalus (Gambar 5b dan d). Akar yang tebal
dikarenakan persistensi NAA dalam jaringan kedua jenis bambu tersebut lebih
tinggi dibandingkan dengan IBA sehingga akumulasinya pada pangkal tunas
dapat menyebabkan pembentukan kalus. Rostiana dan Seswita (2007) melaporkan
bahwa tunas piretrum yang diinduksi perakarannya menggunakan NAA lebih dari
0.6 mg L-1 memiliki karakteristik akar yang tebal.

Gambar 5 Bentuk akar dari planlet B. balcooa (atas) dan B. beecheyana (bawah)
yang diinduksi dengan IBA 10 mg L-1 (a dan c), kombinasi IBA dan
NAA masing-masing 5 mg L-1 (b dan d)

1
13
Akar B. balcooa yang terbentuk dari eksplan tunas tunggal maupun klaster
tunas yang berasal dari perlakuan NAA membentuk kalus berkisar 80-100%
(Gambar 5a dan b), sedangkan pada B. beecheyana akar berkalus yang terbentuk
berkisar 40–100% (Gambar 5c dan d). Bentuk kalus yang dihasilkan dari kedua
spesies bambu tersebut adalah sama, yaitu dengan tekstur kalus yang lengket dan
berair. Tipe kalus demikian tersusun atas sel-sel yang memiliki sifat yang terikat
sangat kuat satu dengan yang lainnya sehingga kalus tersebut sulit untuk
berdiferensiasi menjadi organ.
160

160
140
Eksplan berkalus (%)

Eksplan berkalus (%)

140
120
100
80
60

40

120
100
80

60
40
20

20

0

0
IBA 5

IBA 10

IBA5NAA5

NAA 10

IBA 5

NAA 10

IBA 10

ZPT

IBA 5NAA5

NAA 5

NAA 10

ZPT

(a)

(b)
160

160
140
120

120

Eksplan berkalus (%)

Eksplan berkalus (%)

140

100
80
60
40
20
0
-20

100
80
60
40
20

IBA 5

IBA 10

IBA5NAA5

NAA 5

NAA 10
0
IBA 5

-40
ZPT

IBA 10

IBA5NAA5

NAA 5

NAA 10

ZPT

(c)
(d)
Gambar 6 Persentase kalus yang terbentuk dari planlet B. balcooa (atas) dan B.
beecheyana (bawah) yang diperoleh dari perlakuan IBA dan NAA
menggunakan eksplan tunas tunggal (a dan c) klaster tunas (b dan d)
(n=25)
Bentuk akar berpengaruh terhadap daya hidup planlet saat diaklimatisasi.
Akar ideal yang diharapkan dalam penelitian ini adalah akar yang panjang dan
banyak karena akar tersebut dapat menopang pertumbuhan. Selain itu, akar yang
baik untuk menopang pertumbuhan planlet saat aklimatisasi adalah akar yang
tidak berkalus. Pada umumnya, pengkalusan dapat memicu kelayuan dan
menyebabkan kematian. Penggunaan IBA pada media perakaran B. balcooa
mampu meningkatkan daya hidup planlet pada saat aklimatisasi (Sharma dan
Sarma 2011).

14
Embriogenesis Somatik
a. Praperlakuan Eksplan
Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan respon in vitro
yang ditandai dengan perbedaan warna eksplan pada setiap perlakuan. Tidak
terdapat respon penggembungan dan pemanjangan akar sama sekali. Perbedaan
respon dikarenakan pangkal merupakan bagian yang mendapat perlakuan
pelukaan sehingga mudah mengalami pencoklatan. Sebaliknya, ujung akar yang
mengandung meristem masih aktif membelah.

a

b

c

d

Gambar 7 Respon warna eksplan B. beecheyana a) putih–putih b) putih–kuning
c) putih–coklat d) coklat–coklat terhadap perlakuan media
Tabel 7 menunjukkan pengaruh perlakuan konsentrasi sukrosa terhadap
respon warna eksplan akar dari B. balcooa. Hasil menunjukkan bahwa akar
mengalami perubahan warna menjadi coklat–coklat secara keseluruhan, baik pada
konsentrasi sukrosa 3–6%.
Tabel 7 Pengaruh perlakuan konsentrasi sukrosa terhadap respon warna eksplan
akar dari B. balcooa, 3 MST
Jumlah Akar Berwarna (Pangkal–Ujung)
Sukrosa
(%)
Putih–Putih
Putih–Coklat
Coklat–Coklat
Putih–Kuning
3
0
0
6
0
4
0
0
6
0
5
0
0
6
0
6
0
0
6
0
Keterangan: Media yang digunakan adalah MS dengan penambahan Casein hydrolisate 1.000 mg
L-1 dan PVP 100 mg L-1. Setiap perlakuan diulang tiga kali (n=12)

1
15
Eksplan akar B. beecheyana dengan warna putih-putih tertinggi diperoleh
dari media MS dengan penambahan Casein hydrolisate 1.000 mg L-1 dan PVP 100
mg L-1 dan sukrosa 3%, yaitu 4 akar. Selain itu, eksplan yang mengalami
pencoklatan tertinggi diperoleh dari perlakuan sukrosa 6% (Tabel 8).
Tabel 8 Pengaruh perlakuan konsentrasi sukrosa terhadap respon warna eksplan
akar dari B. beecheyana, 3 MST
Jumlah akar Berwarna (Pangkal–Ujung)
Sukrosa
(%)
Putih–Putih
Putih–Coklat Coklat–Coklat
Putih–Kuning
3
4
0
2
0
4
3
3
0
0
5
2
1
3
0
6
1
0
4
1
Keterangan: Media yang digunakan adalah MS dengan penambahan Casein hydrolisate 1.000 mg
L-1 dan PVP 100 mg L-1. Setiap perlakuan diulang tiga kali (n=12)

Hasil pengamatan menunjukkan semakin tinggi konsentrasi sukrosa
menyebabkan semakin meningkatnya jumlah eksplan B. beecheyana yang
mengalami pencoklatan. Sukrosa dengan konsentrasi yang tinggi dapat
menghambat pertumbuhan eksplan karena menyebabkan meningkatnya tekanan
osmosis media, sehingga terjadi plasmolisis (Roostika et al. 2007). Pada
penelitian ini, eksplan tidak memberikan respon terhadap penggembungan dan
pemanjangan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan lignin pada akar
yang sangat tinggi. Kadar lignin yang tinggi berperan dalam pembentukan dinding
sekunder yang menandakan jaringan bersifat tua dan tidak bersifat meristematik
lagi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa eksplan B. balcooa mengalami
pencoklatan yang lebih parah daripada B. beecheyana, mungkin disebabkan oleh
tingginya kandungan lignin.
b. Induksi Kalus Embriogenik
Eksplan B. beecheyana yang berwarna putih–putih hasil dari tahapan
kegiatan sebelumnya dipindahkan ke dalam media yang mengandung 2,4-D.
Sebaliknya, induksi kalus embriogenik tidak dilakukan pada B. balcooa karena
seluruh eksplan mengalami pencoklatan. Hasil yang diharapkan dari induksi kalus
embriogenik adalah terbentuknya kalus embriogenik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi 2,4-D tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap pembentukan kalus setelah 4–12 MST. Eksplan akar tidak mengalami
penggembungan. Namun demikian, perlakuan media memberikan pengaruh
terhadap warna eksplan. Respon warna yang dihasilkan menunjukkan adanya
penurunan daya hidup. Warna eksplan menjadi berwarna kuning hingga coklat.
Berdasarkan Tabel 9, semakin tinggi taraf sukrosa maka semakin tinggi
pula eksplan yang mengalami dehidrasi. Perlakuan sukrosa 5 dan 6%
menghasilkan eksplan berwarna kuning paling banyak. Tingkat dehidrasi eksplan
paling besar dijumpai pada perlakuan tersebut. Sebaliknya, tingkat dehidrasi
eksplan terendah diperoleh pada media perlakuan konsentrasi sukrosa 3%.
Perlakuan 2,4-D yang diberikan terhadap media tidak memberikan pengaruh
terhadap perubahan warna, penggembungan dan pemanjangan eksplan.

16
Tabel 9 Pengaruh perlakuan konsentrasi 2,4-D terhadap respon warna eksplan
akar dari B. beecheyana, 12 MST
Warna Akar
Sukrosa
2,4-D
-1
(%)
(mg L )
Pangkal
Ujung
3
1
Putih
Putih
3
Putih
Putih
5
Kuning
Kuning
4
1
Putih
Putih
3
Kuning
Kuning
5
Putih
Coklat
5
1
Kuning
Kuning
3
Kuning
Kuning
5
Kuning
Kuning
6
1
Kuning
Kuning
3
Kuning
Kuning
5
Kuning
Kuning
Keterangan: Media yang digunakan adalah MS dengan penambahan Casein hydrolisate 1.000 mg
L-1 dan PVP 100 mg L-1. Setiap perlakuan diulang satu kali (n=12)

Tingginya konsentrasi sukrosa (5% dan 6%) pada media memberikan
pengaruh terhadap perubahan warna eksplan, sedangkan perlakuan 2,4-D tidak
memberikan pengaruh sama sekali. Perubahan warna disebabkan oleh tinggimya
taraf sukrosa yang menyebabkan eksplan mengering. Berdasarkan penelitian
Roostika et al. (2007) pada tanaman purwoceng, perlakuan prakultur
menggunakan sukrosa pada taraf 0.5 M menyebabkan tingginya tingkat kematian.
Penggunaan sukrosa dengan taraf tinggi dapat menyebabkan sel mengalami
plasmolisis.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan 2,4-D sangat efektif
dalam menginduksi kalus embriogenik bambu. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa 2,4-D 1–5 mg L-1 tidak mampu menginduksi kalus dari akar B. balcooa
dan B. beecheyana. Chang dan Lan (1995) melaporkan bahwa pencoklatan kalus
dari akar B. beecheyana terjadi pada media dengan perlakuan sukrosa 6%, 2,4-D 3
mg L-1 dan kinetin 2 mg L-1. Induksi kalus embriogenik dari bambu efektif pada
media 0.01 mg L-1 TDZ, 3.61 mg L-1 2,4-D dan sukrosa 3% (Lin et al. 2004).
Penelitian lain juga melaporkan bahwa kombinasi 2,4-D 1 mg L-1 dan kinetin 2
mg L-1 pada Bambusa ventricosa dapat menghasilkan kalus embriogenik yaitu
dengan warna kalus putih, bersifat transparan dan remah (Cheah dan Lee 2011).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penggunaan BA 0.5 mg L-1 dan antioksidan (PVP 100 mg L-1 dan asam
askorbat 100 mg L-1) efektif dalam induksi tunas B. balcooa dan B. beecheyana
dengan jumlah tunas yang lebih banyak dan jumlah tunas browning yang rendah.
Tingginya jumlah tunas baru diikuti oleh tingginya jumlah daun membuka.

1
17
Eksplan berupa klaster tunas lebih efektif dalam menginduksi perakaran dari
B. balcooa dan B. beecheyana daripada penggunaan tunas tunggal. Untuk induksi
perakaran B. balcooa, perlakuan yang terbaik adalah kombinasi IBA dan NAA
masing-masing 5 mg L-1 dengan persentase perakaran 60% dan jumlah akar 13
akar/tunas. Induksi perakaran terbaik untuk B. beecheyana adalah NAA 10 mg L-1
dengan persentase perakaran 80% dan jumlah akar 12 akar/tunas. Akar yang
terbentuk dari perlakuan IBA adalah kecil, panjang dan tipis sedangkan yang
diperoleh dari perlakuan NAA adalah tebal, pendek dan tebal serta cenderung
membentuk kalus.
Pada penelitian embriogenesis somatik, perlakuan konsentrasi sukrosa
pada media MS memberikan pengaruh terhadap perubahan warna eksplan dari
akar tanaman B. beecheyana dan B. balcooa, namun tidak berhasil menginduksi
kalus. Perlakuan sukrosa 3% menghasilkan jumlah eksplan putih-putih yang lebih
tinggi. Perlakuan 2,4-D 1–5 mg L-1 tidak mampu menginduksi kalus embriogenik
B. beecheyana.
Saran
Penelitian multiplikasi tunas dan induksi perakaran bambu perlu dilakukan
lebih lanjut untuk mengurangi browning yang terjadi pada biakan. Selain itu,
untuk menginduksi kalus embriogenenik, diperlukan peningkatan konsentrasi
auksin atau perlakuan kombinasi dua jenis auksin dan tipe eksplan (tunas).

DAFTAR PUSTAKA
Anand M, Brar J. 2013. In vitro propagation of an edible bamboo Bambusa
bambos and assessment of clonal fidelity through moleculer markers. J
Medical and Bioengine 2(4):257–261.
Brar J, A Shafi, P Sood, M anand, A Sood. 2014. In vitro propagation,
biochemical studies and assessment of clonal fidelity through molecular
markers in Bambusa balcooa. J of Trop Forest Science 26(1):115–124.
Chang WC, Lan TH.1995. Somatic embryogenesis and plant regeneration from
roots of bamboo (Bambusa beecheyana Munro ver. beecheyana). J. Plant
Phyiol 145:535–538.
Cheah KT, Lee CC. 2011. Somatic Embryogenesis From Mature Bambusa
ventricosa. Universiti of Hawai:College of Tropical Agricultur and Human
Resources
Das M, Pal A. 2005. In vitro of a Bambusa balcooa Roxb: factors affecting
changes of morphogenetic competence in the axillary buds. Plant Cell
Tissue Organ Culture. 81:1091–12.
Devi WS, Sharma GJ. 2009. In vitro propagation of Arundinaria callosa Munro
an edible bamboo from nodal explants of mature plant. The Open Plant
Science Journal 3:35–39.
Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor (ID): Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Institut Pertanian Bogor. 244 hlm.

18
Hedman Y. 2005. Studies of root formation of micropropagated shoots in vitro
and cuttings from light treated mother plants ex vitro of Manchurian
Dutchman’s pipe (Aristotochia manshuriensis) [thesis]. Swedia (SE):
Swedish University of Agricultural Science.
Huang LC, Lee YL, Huang BL, Kuo CI, Shaw JF. 2002. High polyphenol oxidase
activity and low titratable acidty in browning bamboo tissue culture. In
Vitro Celluler and Development Biology 38(4):358–365.
Lin CS, Chung-Chin L, Wei-Chin C. 2004. Effect of thidiazuron on vegetative
tissue-derived somatic embryogenesis and flowering of bamboo Bambusa
edulis. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 76:75–82
Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay
with tobacco tissue cultures. Physiol Plant. 15:473–497
Negi D, Saxena S. 2011. Micropropagation of Bambusa balcooa Roxb. Through
axillary shoot proliferation. In Vitro Cell.Dev.Biol-Plant 47:604–610.
Newton RJ, W Tang, LC Haris, V Outhavong. 2004. Exogenously added
polyamines recover browning tissues into normal callus cultures and
improve plant regenertion in pine. Physiol Plant 122(3):386–395.
Ramanayake SMSD, WAVR Wanniarrchchi, TMA Tennakoon. 2001. Axillary
shoot proliferastion and in vitro flowering in an adult giant bamboo
(Dendrocalamus giganteus). Vitro Cell 37:667–671
Roostika I, I Darwati, R Megia. 2007. Kriopreservasi tanaman Purwoceng
(Pimpinella pruatjan molk.) dengan teknik vitrifikasi. Berita biologi 8(6):
413–421.
Rostiana O, Seswita D. 2007. Pengaruh Indole Butyric Acid dan Naphtaleine Acid
terhadap induksi perakaran tunas piretrum klon prau secara in vitro. Bul.
Litro 17(1):39–48.
Saxena S, V Dhawan. 1999. Regeneration and large-scale propagation of bamboo
(Dendrocalamus strictus Nees) through somatic embryogenesis. Plant Cell
Reports 18:438–443.
Sharma P, Sarma KP. 2011. In vitro propagation of Bambusa balcooa for a better
environment. International conference on Advances In Biotechnology and
Pharmaceutical Science (ICABPS) Bangkok. 248–252p.
Wei CC, Tien HL. 1995. Somatic embryogenesis and plant regeneration from
roots of bamboo (Bambusa beecheyana Munro ver. beecheyana). J. Plant
Phyiol 145:535–538.
Widjaja EA. 1980. Indonesia (Country report on bamboo research and
development). In: Gilles L, Amy C, editor. Bamboo Research in Asia.1980
May 28-30.Singapore. Singapore (SG): IDRC and IUFRO.63-68 hlm.
Widjaja EA. 2001. Identikit Jenis-Jenis Bambu di Pulau Jawa. Bogor (ID):
Puslitbang Biologi.
Yeh ML, C Chang. 1986. Somatic embryogenesis and subsequent plant
regeneration from influorescene callus of Bambusa beecheyana Munro var.
beecheyana. Plant Cell Rep 5:409–411.
Zhou B, FU M, Xie J, Yang X, Li Z. 2005. Ecological functions of bamboo forest:
research and application. J For Res 16:143–147.

1
19
Lampiran 1 Komposisi media dasar kultur jaringan (Gunawan 1992)
Komponen
Makro

Fe
Mikro

Vitamin

Sucrose
Phytagel

Bahan Kimia
NH4NO3
KNO3
CaCl2.2H2O
MgSO4.7H2O
KH2PO4
FeSO4.7H2O
Na2EDTA
MnSO4.4H2O
ZnSO4.7H2O
H3BO3
KI
Na2MoO4.2H2O
CuSO4.5H2O
CoCl2.6H2O
Myo-inositol
Niacin
Pyridoxine-HCl
Thiamine-HCl
Glycine

MS
(mg L-1)
1650
1900
440
370
170
27,8
37,3
22,3
8,6
6,2
0,83
0,25
0,025
0,025
100
0,5
0,5
0,1
2
30000
2500

Catatan: Media ½ MS= Konsentrasi unsur hara makro setengah dari unsur hara media MS

20

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Muara Enim pada tanggal 17 Juli 1992 dari ayah
Rajimin dan Ibu Siti Mariyam. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Prabumulih dan pada
tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program studi Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis mendapatkan beasiswa Bidik Misi dari
DIKTI pada tahun 2010-2014.
Selama masa studi, penulis aktif dalam kepanitiaan dan menjadi anggota
Ikatan Mahasiwa Bumi Sriwijaya (IKAMUSI). Penulis melakukan studi lapangan
di Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGGP) pada tanggal 3–5 juli 2013 yang
berjudul Keragaman Cendawan pada Serasah Palem. Setelah itu, pada bulan Juni–
Juli 2013 penulis melaksanakan praktek lapang di Laboratorium Kultur Jaringan
ASTRA HONDA MOTOR dengan judul Proliferasi Tanaman Lamtoro (Leucaena
leucocephala) pada Berbagai Jenis Media.