Sintesa dan Karakterisasi Nanokomposit dari Selulosa Bambu Ampel (Bambusa vulgaris)

SINTESA DAN KARAKTERISASI NANOKOMPOSIT DARI
SELULOSA BAMBU AMPEL (Bambusa vulgaris)

FAKHRUZY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sintesa dan Karakterisasi
Nanokomposit dari Selulosa Bambu Ampel (Bambusa vulgaris) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Juli 2014
Fakhruzy
NIM E251110061

RINGKASAN
FAKHRUZY. Sintesa dan Karakterisasi Nanokomposit dari Selulosa Bambu
Ampel (Bambusa vulgaris). Dibimbing oleh NARESWORO NUGROHO. FAUZI
FEBRIANTO dan SITI NIKMATIN.
Bambu Ampel (Bambusa vulgaris) merupakan salah satu serat alami yang
berasal dari jenis rumput-rumputan yang dapat dimanfaatkan sebagai susbtitusi
dalam penggunaan serat sintetis. Seiring perkembangan nanoteknologi
memberikan dampak positif terhadap pemanfaatan serat bambu Ampel. Proses
yang digunakan untuk menghasilkan nanofiber adalah proses kimia dengan alkalibleaching dan proses mekanis disc refiner-ultrasonikasi. Nanofiber yang
dihasilkan digunakan sebagai penguat film nanokomposit dengan polimer
polivinil alkohol (PVA) sedangkan metode yang digunakan adalah film casting.
X-ray diffraction (XRD) pada bambu Ampel menunjukkan intensitas
selulosa (I) bagian pangkal bebas kulit lebih tinggi dibanding bagian kulit pangkal,
ujung bebas kulit, dan kulit ujung yaitu berturut-turut 390 count, 200 count, 280
count, dan 120 count. Analisis ini digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan

bagian pangkal untuk menghasilkan nanofiber selulosa.
Proses kimia menyebabkan hidrolisis terhadap komponen amorf yaitu
kandungan kimia bambu Ampel sebelum perlakuan yaitu selulosa 44.03%,
hemiselulosa 30.50%, dan lignin 22.30%, perlakuan kimia alkali pada pulp belum
terputihkan menghasilkan selulosa 65.21%, hemiselulosa 21.70%, dan lignin
9.80%, dan perlakuan kimia bleaching pada pulp terputihkan menghasilkan
selulosa 85.62%, hemiselulosa 13.19%, dan lignin 0.19%. Hasil XRD
menunjukkan derajat kristalinitas meningkat setelah perlakuan kimia yaitu bambu
Ampel 45.4%, pulp belum terputihkan 49.83%, dan pulp terputihkan 64.34%.
Proses pembentukan nanofiber dengan proses mekanis disc refinerultrasonikasi menunjukkan siklus disc refiner dan perlakuan kimia berpengaruh
terhadap ukuran nanofiber yang dihasilkan. Analisis scanning electron
microscopy (SEM) menunjukkan nanofiber paling kecil terdapat pada pulp
terputihkan siklus disc refiner 30 yaitu 161 nm.
Sintesa dan karakterisasi terhadap film nanokomposit yang dihasilkan,
menunjukkan film nanokomposit pulp terputihkan disc refiner 30 kali memiliki
kualitas lebih baik dari film nanokomposit pulp belum terputihkan dan film PVA,
hal ini dibuktikan dari pengujian FTIR, densitas, sifat termal, optik, elektrik, dan
mekanis. Pengujian FTIR terjadi streching OH pada bilangan gelombang 30163603 cm-1 dan hidrolisis komponen amorf pada bilangan gelombang 1211-1288
cm-1, nilai densitas yaitu 0.104 g/cm3, nilai sifat termal differential scanning
calorimetry (DSC) menghasilkan suhu leleh yaitu 224.78 °C dan suhu kristalisasi

yaitu 199.42 °C, sifat optik UV-VIS spektrofometri menunjukkan nilai
transmitansi yaitu 85.6%, sifat elektrik LCR meter menghasilkan nilai
konduktivitas listrik yaitu 1.01 x 10-7-9.91 x 10-10 mS, dan sifat mekanis uji
elongation at break yaitu 296.48 ± 19%, young’s modulus yaitu 962.88 ± 73 Mpa,
dan tensile strength yaitu 14.71 ± 1.
Kata kunci : Alkali, bambu ampel, bleaching, disc refiner, polivinil alkohol,
ultrasonikasi.

SUMMARY
FAKHRUZY. Synthesis and characterization of Nanocomposite from Ampel
Bamboo (Bambusa vulgaris) Cellulose. Supervised by NARESWORO
NUGROHO. FAUZI FEBRIANTO. and SITI NIKMATIN.
Ampel bamboo (Bambusa vulgaris) is a natural fiber derived from the types
of grasses that can be used as substitute in the use of synthetic fibers. Along with
the development of nanotechnology have a positive impact on the utilization of
bamboo fiber Ampel. The process was used to produce nanofiber is a process with
alkali-bleaching chemical and disc refiner-ultrasonication mechanical processes.
The resulting nanofiber nanocomposite films are used as reinforcement in
polymer polyvinyl alcohol (PVA), while the method used is a film casting.
X-ray diffraction (XRD) on bamboo cellulose Ampel shows the intensity (I)

the base free bark is higher than the base of the bark, bark free end, and bark top
that successive 390 count, 200 count, 280 count and 120 count. This analysis was
used as a reference in the use of the base to produce cellulose nanofiber.
Chemical processes causing hydrolysis of the amorphous components are
chemical constituents of bamboo Ampel before treatment is cellulose 44.03%,
hemicellulose 30.50%, and lignin 22.30%, alkaline chemical treatment of the pulp
has not bleaching produce cellulose 65.21%, hemicellulose 21.70%, and lignin
9.80%, and chemical treatment of the pulp bleaching yield cellulose 85.62%,
hemicellulose 13.19% and lignin 0.19%. XRD results show the degree of
crystallinity increased after the chemical treatment of bamboo Ampel is 45.4%,
pulp has not bleaching 49.83%, and pulp bleaching 64.34%.
Nanofiber formation process with the mechanical disc refiner cycleultrasonication shows chemical treatment effect on the size of the resulting
nanofiber. Analytics scanning electron microscopy (SEM) showed the smallest
nanofiber contained on disc refiner pulp bleaching cycle 30 is 161 nm.
Synthesis and characterization of nanocomposite films were produced,
showing bleached nanocomposite films disc pulp refiner has 30 times better
quality of pulp unbleached nanocomposite films and PVA films, this is evidenced
from the FTIR testing, density, thermal, optical, electrical, and mechanical. OH
stretching FTIR testing occurs at wave number 3016-3603 cm-1 and the hydrolysis
of amorphous components in wave numbers 1211-1288 cm-1, the value of the

density is 0.104 g/cm3, the value of the thermal properties of differential scanning
calorimetry (DSC) results in melting temperature is 224.78 °C and the
crystallization temperature is 199.42 °C, the optical properties of UV-VIS
spectrophotometric shows the transmittance value is 85.6%, the electrical
properties of the LCR meter that generates electrical conductivity values 10.1 x
10-7-9.91 x 10-10 mS, and test the mechanical properties of elongation at break is
296.48 ± 19%, young’s modulus is 962.88 ± 73 Mpa, and tensile strength is 14.71
± 1 Mpa.
Key words: Alkali, ampel bamboo, bleaching, disc refiner, polyvinyl alcohol,
ultrasonication.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


SINTESA DAN KARAKTERISASI NANOKOMPOSIT DARI
SELULOSA BAMBU AMPEL (Bambusa vulgaris)

FAKHRUZY

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Akhiruddin Maddu. M.Si

3


Judul Tesis : Sintesa dan Karakterisasi Nanokomposit dari Selulosa Bambu
Ampel (Bambusa vulgaris)
Nama
: Fakhruzy
NIM
: E251110061

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Naresworo Nugroho. M.Si
Ketua

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto. MS
Anggota

Dr. Siti Nikmatin. S.Si. M.Si
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto. MS

Dr. Ir. Dahrul Syah. MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

5

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dan

penulisan tesis yang berjudul Sintesa dan Karakterisasi Nanokomposit dari
Selulosa Bambu Ampel (Bambusa vulgaris).
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
kepada Dr. Ir. Naresworo Nugroho. M.Si selaku ketua komisi pembimbing.
Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto. MS dan Dr. Siti Nikmatin. S.Si. M.Si selaku anggota
komisi pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan penulis mulai dari
penulisan proposal, penelitian dan analisis hingga selesainya tesis ini. Kedua
orang tua terkasih Ayahanda Afrizal dan Ibunda Yelma serta kakak dan adikku
yang telah memberikan doa tak pernah putus dan kasih sayang yang tak terhingga.
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atas bantuan Beasiswa Tesis. Dekan
Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil
Hutan atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan di SPs IPB. Kepada seluruh staf pengajar dan administrasi SPs IPB
penulis menyampaikan terima kasih atas kelancaran administrasi selama penulis
menjadi mahasiswa. Laboran dan staf Departemen Hasil Hutan serta sahabatsahabat ku Amar Afif, Reynaldus Cabuy, Esy Fajriani, Merry Sabed, Abigael
Kabe, Ningsie Indahsuary Uar, serta rekan-rekan Pascasarjana Mayor Ilmu dan
Teknologi Hasil Hutan. Staf Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium
Biomaterial LIPI atas izin dan bantuan selama penelitian. Terima kasih juga
kepada para sahabat di Pondok Iona.
Tesis ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai

pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Oleh karena itu, penulis
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis menyadari bahwa masih
terdapat kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini. Dengan demikian,
diharapkan komentar dan saran dari pembaca.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2014
Fakhruzy
E251110061

7

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR TABEL


ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Kerangka Pikiran

1
1
3
3
3
3

2 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Prosedur

4
4
4
5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kandungan Kimia
Sintesa Nanoselulosa Bagian Pankal Bebas Kulit Bambu Ampel
Sintesa dan Karakterisasi Film Nanokomposit

7
7
12
17

4 SIMPULAN DAN SARAN

31

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR GAMBAR
1 XRD bambu Ampel bagian kulit pangkal (A), pangkal bebas kulit (B),
kulit ujung (C), dan ujung bebas kulit (D)
2 Struktur Kimia Selulosa
3 Analisa kandungan kimia
1 Pengamatan secara visual terhadap warna serat bambu Ampel (A), pulp
belum terputihkan (B), dan pulp terputihkan (C)
2 XRD pada bambu Ampel (A), pulp belum terputihkan (B), dan pulp
terputihkan (C)
3 Profil XRD tanpa alkali (A) dan komposit alkali 4% (B)
4 Morfologi serat bambu Ampel (A), pulp belum terputihkan (B), dan
pulp terputihkan (C)
5 Siklus disc refiner 4, 7, 10, 13, dan 16 kali
6 Morfologi pulp belum terputihkan disc refiner 10 kali (A), 20 kali (B),
dan 30 kali (C)
7 Ukuran serat pulp belum terputihkan disc refiner 10 kali (A), 20 kali
(B), dan 30 kali
8 Morfologi pulp terputihkan disc refiner 10 kali (A), 20 kali (B), dan 30
kali
9 Ukuran serat pulp terputihkan disc refiner 10 kali (A), 20 kali (B), dan
30 kali
10 FTIR film nanokomposit pada pulp belum terputihkan disc refiner 10
kali (A), 20 kali (B), 30 kali (C), pulp terputihkan disc refiner 10 kali
(D), 20 kali (E), 30 kali dan PVA (F)
11 Analisa FTIR pada selulosa pohon oplar
12 XRD film nanokomposit PVA (A), pulp belum terputihkan disc refiner
10 (B), 20 (C), 30 (C), dan pulp terputihkan disc refiner 10 (E), 20 (F),
30 (G)
13 Pengamatan secara visual transparansi film nanokomposit pulp belum
terputihkan disc refiner 10 kali (A), 20 kali (B), 30 kali (C), dan pulp
terputihkan disc refiner 10 kali (D), 20 kali (E), 30 kali (F), dan PVA
(G)
14 Nilai transmitansi film nanokomposit pulp belum terputihkan
15 Nilai transmitansi film nanokomposit pulp terputihkan
16 Standar nilai konduktivitas material
17 Nilai konduktivitas film nanokomposit pulp belum terputihkan
18 Nilai konduktivitas film nanokomposit pulp terputihkan
19 DSC film nanokomposit pulp belum terputihkan
20 DSC film nanokomposit pulp belum terputihkan
21 Pengujian elongation at break film nanokomposit
22 Rongga udara pada film pulp belum terputihkan disc refiner 10 kali
(A), 20 kali (B), dan 30 kali (C)
23 Mulur film nanokomposit pulp belum terputihkan disc refiner 10 kali
(A), 20 kali (B), 30 kali (C), dan pulp terputihkan disc refiner 10 kali
(D), 20 kali (E) , 30 kali (F), dan PVA (G)
24 Pengujian young’s modulus film nanokomposit
25 Pengujian tensile strength film nanokomposit

8
8
9
10
11
11
12
14
15
15
16
17

18
19

20

21
22
22
23
24
24
25
25
27
27

27
29
29

9

DAFTAR TABEL
1
2

XRD film nanokomposit
Densitas film nanokomposit

20
26

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Pola XRD selulosa dan JCPDS
Proses uji mekanis
Data sifat mekanis

35
35
35

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Isu-isu lingkungan yang berkembang seperti pemanasan global dan
menipisnya ketersediaan sumber daya alam, hal ini meningkatkan kesadaran
untuk menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan. Umumnya produk
komposit polimer konvensional menggunakan serat sintetis seperti serat kaca,
karbon, dan aramid dengan polimer polipropilen dan polietilen (Liu et al. 2011).
Sifat-sifat dari bahan baku yang tidak terbaharukan mendasari perlunya substitusi
ke arah bahan baku yang ramah lingkungan. Aplikasi produk komposit polimer
sangat luas seperti otomotif, kosmetik, perangkat listrik, elektronik, dan kemasan
makanan.
Serat lignoselulosa merupakan serat alami yang berasal dari tumbuhtumbuhan yang bersifat ramah lingkungan dan dari segi kekuatan tidak kalah
saing dengan serat sintetis (Torres dan Cubillas. 2005). Salah satu sumber serat
lignoselulosa yang berpotensi untuk dimanfaatkan adalah bambu. Potensi
pemanfaatan bambu adalah memiliki siklus pertumbuhan yang lebih cepat
dibanding kayu. Penelitian ini sendiri menggunakan jenis bambu Ampel
(Bambusa vulgaris). Pemanfaatan bambu Ampel biasanya untuk konstruksi ringan,
seni, meja, kursi, kerajinan tangan, dan lantai rumah (Sudarnadi. 1996).
Sifat mekanis bambu Ampel yaitu bagian bilah memiliki rata-rata modulus
of elasticity (MOE) sekitar 112.050 kgf/cm², sedangkan untuk bambu utuh sekitar
75.036 kgf/cm². Bambu Ampel memiliki jarak antar buku yang lebih pendek, hal
ini yang mempengaruhi kekuatan bambu Ampel, sedangkan nilai modulus of
rupture (MOR) sekitar 483 kgf/cm² (Astuti. 2012). Sifat fisis bambu Ampel
memiliki nilai kerapatan yang lebih tinggi dibanding bambu Hitam dan Tali, hal
ini dipengaruhi oleh serat-serat bambu Ampel yang lebih banyak dan kompak
dibandingkan jenis bambu Tali dan bambu Hitam. Nilai kerapatan juga
dipengaruhi oleh panjang serabut dan ketebalan dinding serabut (Lestari. 2004).
Secara umum serat lignoselulosa tersusun atas selulosa, hemiselulosa, dan
lignin. Selulosa tersusun atas unit β-D-glukopiranosa dengan ikatan glikosida
(1 4). Selulosa terdiri atas empat polimer yang berbeda yaitu selulosa I, II, III,
dan IV. Kristalinitas selulosa yang terbentuk dipengaruhi oleh metode hidrolisis
yang digunakan. Molekul selulosa berbentuk linier yang mempunyai ikatan
hidrogen intra dan intermolekul (Sjostrom. 1995). Molekul selulosa terdiri atas
mikrofibril dengan diameter 20-50 nm yang tersusun atas fibril-fibril dengan
diameter sekitar 5 nm yang saling terikat satu sama lain oleh ikatan hidrogen.
Selulosa mempunyai derajat polimerisasi sekitar 10.000 (Eichhorn et al. 2010).
Nanoteknologi merupakan ilmu yang mengindikasikan penggunaan bahan
baku dalam skala nanometer. Perubahan yang terjadi dari serat ukuran mikrometer
menjadi ukuran nanometer menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap sifat
fisis dan mekanis. Skala nanometer memiliki luas permukaan per satuan volume
yang berbanding terbalik dengan diameter, sehingga semakin kecil diameter akan
menghasilkan luas permukaan per satuan volume yang lebih besar. Hal ini
diharapkan dapat mengatasi kelemahan penggunaan serat selulosa sebagai
penguat dalam komposit polimer. Kelemahan dari penggunaan serat selulosa yaitu

2

bersifat higroskopis, cenderung membentuk gumpalan selama proses penggolahan,
dan ikatan antar permukaan yang lemah (Fortunati et al. 2014). Menurut
Rescignano et al (2014) serat selulosa dengan ukuran nanometer dapat
meningkatkan interaksi antara serat dengan polimer polivinil alkohol (PVA)
melalui ikatan hidrogen.
Proses produksi serat selulosa dalam skala nanometer masih merupakan
suatu tantangan, hal ini berkaitan dengan konsumsi energi dan biaya. Beberapa
proses yang umum digunakan antara lain proses mekanik, kombinasi antara kimia
dengan mekanik, dan enzim dengan mekanik. Setiap proses menghasilkan serat
dengan morfologi dan ukuran diameter yang berbeda-beda. Proses yang umum
digunakan adalah proses kimia dengan mekanik (Zhang et al. 2011) dianggap
lebih ekonomis dan juga mengurangi dampak selama kerusakan terhadap selulosa.
Menurut Liu et al (2011) kombinasi perlakuan kimia dan mekanik secara efektif
dapat mengurangi ukuran diameter serat menjadi nanofiber. Pengertian tentang
skala nanometer memiliki pengertian yang berbeda-beda, seperti nanofibrillated
cellulose (Missoum et al. 2013), nanofibriliar cellulose (Eronen et al. 2011),
nanocellulose fibrils (Abraham et al. 2011), microfibrillated cellulose (Zhang et
al. 2010), dan nanofiber (Jia et al. 2006). Penelitian ini sendiri menggunakan
istilah nanofiber untuk serat bambu Ampel yang dihasilkan. Menurut Eichhron et
al (2010) nanofiber merupakan unit fibril yang dihasilkan dari makromolekul
selulosa yang terdiri atas daerah kristal selulosa dan sebagian kecil daerah amorf
yang memiliki skala nanometer.
Penggunaan polimer yang terbaharukan telah berkembang dalam beberapa
tahun terakhir. Polimer terbaharukan memiliki kekuatan mekanis yang lebih
rendah dibandingkan dengan polimer konvensional yang berasal dari minyak
bumi. Polimer yang digunakan untuk membuat film nanokomposit adalah
polivinil alcohol (PVA). Polimer PVA dihasilkan melalui hidrolisis parsial
polivinil asetat yang bersifat terbaharukan, titik leleh yang rendah, ramah
lingkungan, larut dalam air, dan tidak bersifat racun (Jia et al. 2007).
Penelitian ini menggunakan dua jenis serat yang berbeda yaitu pulp belum
terputihkan dan pulp terputihkan. Pulp belum terputihkan dihasilkan melalui
proses alkali NaOH, sedangkan pulp terputihkan dihasilkan melalui proses
bleaching H2O2 dan asam asetat. Proses alkali diharapkan mengurangi kandungan
komponen amorf bambu Ampel serta memisahkan selulosa dari ikatan lignin dan
hemiselulosa, sedangkan bleaching untuk menyempurnakan proses alkali dengan
menghilangkan komponen amorf yang belum terlarut. Proses mekanis yang
digunakan untuk menghasilkan nanofiber adalah dengan disc refiner-ultrasonikasi.
Disc refiner berfungsi untuk fibrilasi bundel serat selulosa setelah proses kimia
sedangkan pembentukan serat selulosa dengan skala nanometer menggunakan
ultrasonikasi. Gelombang ultrasonik menimbulkan efek kavitasi akustik sehingga
mendegradasi serat skala mikrometer menjadi skala nanometer (Frone et al. 2011).
Aplikasi akhir penelitian ini adalah film nanokomposit dengan menggunakan
nanofiber selulosa bambu Ampel sebagai penguat dan polimer PVA sebagai
matriks.

3

Rumusan Masalah
Bambu Ampel (Bambusa vulgaris) terdiri atas daerah kristal selulosa dan
daerah amorf seperti hemiselulosa dan lignin. Pemanfaatan bambu Ampel dibagi
menjadi bagian pangkal bebas kulit, kulit ujung, ujung bebas kulit, dan kulit ujung,
hal ini untuk mengetahui kandungan selulosa yang lebih tinggi. Apakah bagian
pangkal memiliki kandungan selulosa yang lebih tinggi? Proses untuk
menghasilkan nanoselulosa dengan karakteristik yang optimal diperlukan
perlakuan kimia dan mekanis guna untuk mendapatkan ukuran dalam skala
nanometer. Apakah proses kimia dan mekanis dapat menghasilkan nanoselulosa
bambu Ampel dengan ukuran kurang dari 100 nm? Metode sintesa dan analisis
pengujian biokomposit yang tepat sangat diperlukan guna mendapatkan material
plastik yang sesuai dengan aplikasinya, untuk itu apakah metode film casting
dengan penguat pulp terputihkan dan polimer polivinil alkohol dapat
menghasilkan film nanokomposit yang memiliki karakteristik yang lebih baik?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kandungan kimia bambu Ampel
(Bambusa vulgaris) bagian pangkal bebas kulit serta sintesa dan karakterisasi
nanoselulosa berdasarkan struktur mikro, kristalografi, densitas dan sifat optik,
termal, mekanis film nanokomposit.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
1. Kandungan kimia bambu Ampel (Bambusa vulgaris) bagian pangkal bebas
kulit memiliki kandungan selulosa yang lebih tinggi dibandingkan bagian
kulit pangkal, ujung bebas kulit, dan kulit ujung.
2. Proses pembuatan nanoselulosa dengan proses kimia alkali
dan bleaching yang dilanjutkan dengan proses mekanis disc refinerultrasonikasi dapat menghasilkan serat dalam skala nanometer.
3. Film nanokomposit pulp terputihkan memiliki karakteristik struktur mikro,
kristalografi, densitas dan sifat optik, termal, mekanis yang sesuai untuk
aplikasi material plastik.

Kerangka Pikiran
Serat lignoselulosa merupakan serat alami yang berasal dari tumbuhtumbuhan seperti kayu dan non kayu. Komponen kimia utama penyusun dinding
sel serat alami terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang saling berikatan
satu sama lain sehingga berpengaruh terhadap kekuatan serat alami. Salah satu
serat alami yang berpotensi untuk dimanfaatkan adalah jenis dari non kayu seperti
bambu. Potensi dari bambu itu sendiri yaitu memiliki siklus pertumbuhan yang
lebih cepat dibanding serat lignoselulosa lainnya, dalam penelitian ini jenis bambu
yang dimanfaatkan adalah bambu Ampel (Bambusa vulgaris). Bagian bambu

4

Ampel yang digunakan yaitu bagian pangkal bebas kulit, kulit pangkal, ujung
bebas kulit, dan kulit ujung.
Serat lignoselulosa memiliki kelemahan dibanding serat sintetis yang biasa
digunakan, seperti bersifat higroskopis, cenderung menggumpal selama proses
penggolahan, serat alami memiliki sifat yang berlawanan dengan polimer yang
umum digunakan, yaitu bersifat hidrofilik sedangkan polimer bersifat hidrofobik,
hal inilah yang mengakibatkan rendahnya homogenitas ikatan antara polimer dan
serat. Oleh karena itu, perlu terlebih dahulu dilakukan proses hidrolisis terhadap
komponen amorf secara kimia yaitu alkali dan bleaching. Proses ini diharapkan
memisahkan ikatan selulosa serta melarutkan komponen amorf.
Nanoteknologi merupakan ilmu yang mengindikasikan penggunaan bahan
baku dalam skala nanometer. Kelebihan nanoteknologi yaitu memiliki luas
permukaan per satuan volume yang lebih besar dibanding serat skala mikrometer,
semakin kecil ukuran serat, akan menghasilkan luas permukaan per satuan volume
yang lebih besar. Penerapan nanoteknologi ini diharapkan dapat mengatasi
kelemahan penggunaan serat alami, sehingga dapat diaplikasikan sebagai
substitusi dari serat sintetis yang bersifat tidak ramah lingkungan dan tidak
terbaharukan. Proses mekanis yang digunakan untuk menghasilkan nanofiber
adalah dengan disc refiner-ultrasonikasi. Proses siklus disc refiner digunakan
untuk fibrilasi serat selulosa setelah proses kimia, sedangkan pembentukan
nanofiber dilakukan dengan ultrasonikasi. Gelombang ultrasonik diharapkan dapat
menghasilkan serat dalam skala nanometer.

2 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknologi Hasil Hutan
FAHUTAN IPB, Laboratorium Biomaterial LIPI, dan Laboratorium Mikrobiologi
LIPI. Penelitian berlangsung pada bulan April-Mei 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu bambu Ampel (Bambusa
vulgaris) sebanyak 50 batang dari Desa Ciherang Kabupaten Bogor Jawa Barat,
natrium hidroksida (NaOH), hidrogen peroksida (H2O2), asam asetat, dan polivinil
alkohol (PVA).
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu disc refiner, ultrasonikasi,
scanning electron microscope (SEM), fourier transform infrared spectroscopy
(FTIR), x-ray diffraction (XRD), differential scanning calorimetry (DSC), uvi-vis
spectrophotometer, LCR meter Hitester 3532-50, dan universal testing machine
(UTM).

5

Prosedur
Persiapan Bahan Baku
Bambu Ampel yang digunakan yaitu umur ≥ 3 tahun. Bagian yang
dimanfaatkan adalah bagian pangkal dan bagian ujung yaitu bagian pangkal bebas
kulit, bagian kulit pangkal, bagian ujung bebas kulit, dan bagian ujung kulit.
Terlebih dahulu dilakukan sintesa dengan x-ray diffraction untuk mengetahui
kandungan selulosa yang lebih tinggi. Kandungan selulosa yang lebih tinggi
dilanjutkan untuk proses menghasilkan nanofiber.
Bambu Ampel dibentuk menjadi chip ukuran 2-3 cm, lalu dioven dengan
suhu 105 ± 3 ºC untuk mengetahui kandungan kadar air. Perhitungan kadar air
menggunakan rumus sebagai berikut :
Kadar air =

x 100%

dimana :
A = berat awal
B = berat akhir

Proses Kimia
Proses alkali terlebih dahulu disiapkan chip bambu Ampel sebanyak 250 g
dengan konsentrasi NaOH 2.5% (1 : 10). Proses pemasakan dilakukan dengan alat
digester selama 2 jam pada suhu 170 ºC. Chip dikeluarkan dan dikondisikan
selama 24 jam, lalu dicuci sampai pH netral (Subyakto et al. 2009).
Proses bleaching terlebih dahulu disiapkan pulp alkali sebanyak 10 g, lalu
ditambahkan 40 ml H2O2 dan dipanaskan selama 3 jam pada suhu 100 °C,
disaring sampai filtrat bening dan diulang proses sebanyak 3 kali. Terakhir
ditambahkan 100 ml asam asetat, lalu disaring sampai bebas asam (metode forest
product laboratory).

Analisa Kandungan Kimia
Ekstraksi etanol-benzen (TAPPI T 246 om 88)
Serbuk bambu Ampel disiapkan sebanyak 5 g, diekstraksi dengan 300 ml
campuran etanol-toluena (1 : 2) selama 8 jam. Sampel dicuci dengan etanol
hingga larutan menjadi bening dan dikering udarakan. Sampel diekstraksi dengan
air panas selama 3 jam. Serbuk bambu Ampel yang sudah bebas ekstraktif,
kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 103 ± 2 °C hingga beratnya
konstan.
Kadar lignin klason (TAPPI T 222 om 88)
Serbuk bambu Ampel yang bebas ekstraktif disiapkan sebanyak 0.5 g,
ditempatkan dalam gelas piala 100 ml, ditambahkan 5 ml asam sulfat 72% secara
perlahan sambil diaduk pada suhu 20 ± 1 °C. Sampel direaksikan selama 3 jam
sambil diaduk setiap 15 menit, kemudian diencerkan hingga mencapai konsentrasi

6

asam sulfat 3%. Hidrolisis selama 30 menit dengan menggunakan alat autoclave.
Lignin diendapkan, disaring, dan dicuci dengan air destilata panas hingga bebas
asam. Residu lignin, kemudian dioven pada suhu 103 ± 2 °C selama 24 jam,
didinginkan dan ditimbang.
Kadar lignin =

x 100%

dimana :
A = berat kering serbuk awal (g)
B = berat lignin (g)
Holoselulosa (Browning. 1967)
Sampel bebas ekstraktif 2 g bobot kering ditempatkan dalam erlenmeyer
250 ml. Tambahkan 80 ml air destilata, 1 g sodium klorit dan 0.5 ml asam asetat
glasial. Panaskan dengan water bath pada suhu 70 °C. Jaga agar permukaan air
dalam water bath lebih tinggi dari permukaan larutan dalam erlenmeyer.
Tambahkan 1 g sodium klorit dan 0.5 ml asam asetat setiap interval pemanasan
selama 1 jam dan penambahan dilakukan sebanyak 4 kali. Saring sampel dengan
menggunakan gelas filter, cuci dengan menggunakan air panas. Tambahkan 25 ml
asam asetat 10%, lalu dicuci dengan air panas hingga bebas asam.
α-selulosa (TAPPI T 203)
Serbuk bambu Ampel yang bebas ekstraktif disiapkan sebanyak 0.5 g,
ditempatkan dalam gelas piala 100 ml, lalu ditambahkan 5 ml asam sulfat 72%
secara perlahan sambil diaduk dengan suhu 20 ± 1 °C. Sampel direaksikan selama
3 jam sambil diaduk setiap 15 menit, kemudian diencerkan hingga mencapai
konsentrasi asam sulfat 3%. Hidrolisis selama 30 menit dengan menggunakan alat
autoclave. Lignin diendapkan, disaring, dan dicuci dengan air destilata panas
hingga bebas asam. Residu lignin, kemudian dioven pada suhu 103 ± 2 °C selama
24 jam, lalu didinginkan dan ditimbang.
Kadar lignin =

x 100%

dimana :
A = berat kering serbuk awal (g)
B = berat lignin (g)

Proses Mekanis
Proses disc refiner dilakukan dengan proses basah, dengan siklus 10, 20,
dan 30 kali, lalu dikeringkan secara alami (Syamani dan Kusumaningrum. 2013).
Persiapan proses ultrasonikasi yaitu serat hasil disc refiner ditimbang sebanyak
5 g, lalu dimasukkan ke dalam beaker glass yang berisi air destilata 500 ml (1 : 5)
dan dibiarkan selama 24 jam. Sampel diultrasonikasi dengan gelombang frekuensi
(f) = 20 kHz selama 2 jam. Menghindari panas yang berlebihan selama proses
ultrasonikasi, beaker glas direndam dengan air es. Nanofiber yang terbentuk
dikeringkan dengan oven evaporation pada suhu -20 ºC + 20 ºC selama 6 jam.

7

Proses Pembuatan Film Nanokomposit
Proses pembuatan film nanokomposit dengan menggunakan metode film
casting. Polivinil alkohol (PVA) 10% dilarutkan dalam 99 ml air destilata dengan
menggunakan hot plate stirrer pada suhu 80 °C, kecepatan perputaran 25 rpm
selama 30 menit. Larutan PVA dicampur dengan 1% nanofiber dengan
menggunakan alat overhead stirrer kecepatan perputaran 800 rpm selama 5 menit
(Frone et al. 2011). Proses cetakan dilakukan secara hand sheet menggunakan
wadah nampan plastik ukuran 15 x 20 cm, lalu dikondisikan selama 24 jam dan
dikeringkan dengan oven pada suhu 30 °C.

Sintesa dan Karakterisasi Film Nanokomposit
1. Struktur mikro dengan scanning electron microscopy (SEM) dan fourier
transform infrared spectroscopy (FTIR)
2. Sifat kristalisasi dengan x-ray diffraction (XRD)
3. Sifat optik dengan uv-vis spectrophotometer
4. Sifat elektrik dengan LCR meter Hitester
5. Sifat termal dengan differential scanning calorimetry (DSC)
Sampel disiapkan 2 mg, lalu dipanaskan secara bertahap pada suhu
20 °C/menit sampai suhu maksimum 220 °C. Selama 5 menit dibawah
kondisi atmosfer nitrogen untuk menghilangkan sisa pemanasan, lalu
didinginkan dan dipanaskan lagi (Othman et al. 2011)
6. Densitas yang mengacu pada standar archimedes
7. Sifat mekanis dengan universal testing machine (UTM)
Standar ASTM D 882 (2002) (Standard Test Method for Tensile Properties
of Thin Plastics Sheeting).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Kandungan Kimia
Serat alami terdiri atas komponen utama kimia seperti selulosa,
hemiselulosa, lignin, dan komponen amorf lainnya. Ciri-cri batang bambu Ampel
terdiri atas ruas-ruas yang saling terhubung, hal ini mengindikasikan setiap bagian
pada bambu Ampel memiliki kandungan kimia yang berbeda-beda. Penelitian ini
membagi bagian bambu Ampel atas bagian pangkal-ujung yaitu bagian pangkal
bebas kulit, bagian kulit pangkal, bagian ujung bebas kulit, dan bagian kulit ujung.
Analisis XRD dilakukan untuk mengetahui bagian bambu Ampel yang memiliki
kandungan selulosa lebih tinggi, sehingga analisis ini digunakan sebagai data
penunjang untuk proses selanjutnya dalam menghasilkan nanofiber selulosa. Hasil
selengkapnya tersaji pada Gambar 1.
Hasil analisis yang dilakukan dengan XRD diketahui intensitas selulosa (I)
bagian pangkal bebas kulit yaitu 390 count, bagian kulit pangkal yaitu 200 count,

8

bagian ujung bebas kulit yaitu 280 count, dan kulit ujung yaitu 120 count.
Pengujian XRD menunjukkan intensitas selulosa (I) bagian pangkal bebas kulit
lebih tinggi, hal ini mengindikasikan derajat kristalinitas selulosa yang terkandung
juga tinggi. Menurut Elenga et al (2013) intensitas selulosa yang tinggi
menunjukkan derajat kristalinitas selulosa yang tinggi juga. Analisis ini digunakan
sebagai acuan dalam pemanfaatan bagian pangkal untuk menghasilkan nanofiber
selulosa.

Gambar 1 XRD bambu Ampel bagian kulit pangkal (A),
pangkal bebas kulit (B), kulit ujung (C) dan,
ujung bebas kulit (D)
Pemanfaatan komponen kristalinitas selulosa menjadi dasar dalam
penelitian ini, oleh karena itu perlu dilakukan hidrolisis untuk memisahkan
selulosa dan melarutkan atau menghilangkan komponen amorf seperti
hemiselulosa, lignin, abu, silika dan pentosan (Dransfield dan Widjaja. 1995).
Komponen ini saling berikatan satu sama lain secara komposit, sehingga
berpengaruh terhadap kekuatan serat alami. Kelebihan serat alami yaitu ramah
lingkungan serta terbaharukan, sehingga berpotensi digunakan sebagai substitusi
dari penggunaan serat sintetis.

Sjostrom (1995)
Gambar 2 Struktur kimia selulosa
Proses hidrolisis dalam penelitian ini dilakukan secara kimia dengan proses
alkali NaOH dan bleaching H2O2-asam asetat, hasil selengkapnya tersaji pada
Gambar 3. Bambu Ampel sebelum perlakuan kimia memiliki kandungan kimia
yaitu selulosa 44.03%, hemiselulosa 30.50%, dan lignin 22.30%. Perlakuan alkali

9

menyebabkan terjadinya hidrolisis terhadap komponen amorf yaitu hemiselulosa
21.70% dan lignin 9.80%, sedangkan untuk selulosa meningkat menjadi 65.21%.
Menurut Sghaier (2012) perlakuan alkali cukup efektif dalam melarutkan
komponen amorf seperti lignin dan hemiselulosa, serta memisahkan ikatan
selulosa. Rendahnya konsentrasi NaOH yang digunakan menyebabkan proses
hidrolisis terhadap komponen amorf tidak maksimal. Menurut Zuluaga et al
(2009) perlakuan alkali dengan konsentrasi 5-18% terhadap banana rachis
mampu menghidrolisis kandungan hemiselulosa berupa xyloglucan yang
merupakan bagian dari hemiselulosa yang terikat sangat kuat dengan selulosa
pada bagian permukaan dan bagian dalam mikrofibril.
Proses bleaching berfungsi untuk meningkatkan kristalinitas selulosa
dengan menghidrolisis komponen amorf yang tersisa setelah dilakukan proses
alkali. Hal ini dibuktikan, setelah bleaching kristalinitas selulosa meningkat
menjadi 85.62%, sedangkan hemiselulosa dan lignin terus berkurang menjadi
13.19% dan 0.19%. Menurut Khristova et al (2003) perlakuan alkali
menyebabkan fibrilasi pada dinding sel primer, sehingga proses alkali
menfasilitasi penetrasi zat kimia pada saat proses bleaching, hal inilah yang
menyebabkan semakin berkurangnya komponen amorf dan meningkatnya
kristalinitas selulosa bambu Ampel setelah proses bleaching.

Kandungan kimia (%)

100
80
60

selulosa

40

hemiselulosa

20

lignin

0
Chip bambu Pulp belum
Pulp
terputihkan terputihkan

Gambar 3 Analisa kandungan kimia
Pengamatan secara visual terhadap hasil proses kimia tersaji pada Gambar 4,
terlihat setelah perlakuan kimia serat bambu Ampel mengalami perubahan warna.
Bambu Ampel sebelum perlakuan kimia bewarna putih kekuningan, setelah
perlakuan alkali menghasilkan pulp belum terputihkan bewarna coklat, sedangkan
perlakuan bleaching menghasilkan pulp terputihkan bewarna putih. Perubahan
warna ini menunjukkan terjadinya proses hidrolisis secara kimia terhadap
kandungan kimia serat bambu Ampel. Menurut Johar et al (2012) perubahan
warna setelah proses alkali dipengaruhi oleh hidrolisis terhadap bagian komponen
non selulosa seperti lignin, hemiselulosa, pektin, dan lilin yang terjadi
selama proses pemasakan dengan digester. Warna putih pulp terputihkan,
mengindikasikan serat selulosa yang dihasilkan hampir murni. Perubahan warna
ini juga berkorelasi dengan tekstur serat yang dihasilkan, pulp belum terputihkan
memiliki serat agak kasar, sedangkan pulp terputihkan lebih halus. Menurut

10

Khausik (2010) serat yang masih kasar mengindikasikan masih tingginya
kandungan komponen amorf seperti hemiselulosa dan lignin.

Gambar 4 Pengamatan secara visual terhadap warna serat bambu Ampel (A),
pulp belum terputihkan (B), dan pulp terputihkan (C)
Proses hidrolisis dengan perlakuan kimia alkali dan bleaching
mempengaruhi derajat kristalinitas selulosa yang dihasilkan. Kristal selulosa pada
dasarnya terdiri atas selulosa I, II, III, dan IV. Selulosa I merupakan struktur
selulosa alami yang terdapat pada serat alami, selulosa II dihasilkan melalui
merserisasi atau alkali, selulosa III dan IV dihasilkan melalui perlakuan kimia
amonia cair. Karakterisasi XRD dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan
terhadap pembentukan kristalinitas selulosa, analisa ini juga menjadi acuan
terhadap kekuatan mekanik film nanokomposit yang dihasilkan. Hasil XRD serat
bambu Ampel selengkapnya tersaji pada Gambar 5. Serat bambu Ampel terdiri
atas daerah kristal selulosa dan daerah amorf komponen non selulosa (JCPDS
Lampiran 1), setelah perlakuan kimia terjadi perubahan pada komponen penyusun
bambu Ampel yang ditandai oleh pergeseran pola difraksi dan meningkatnya
intensitas selulosa. Chip bambu Ampel dan pulp belum terputihkan menunjukkan
pola difraksi yang sama yaitu terletak pada 2Ɵ = 15.48° dan 21.9°, pergeseran
pola difraksi terjadi setelah proses bleaching pada pulp terputihkan yaitu 2Ɵ =
15.52° dan 22.56°. Intensitas selulosa juga mengalami peningkatan setelah
perlakuan kimia, chip bambu Ampel (I) = 280 count, pulp belum terputihkan (I) =
390 count, dan pulp terputihkan (I) = 630 count.
Rendahnya konsentrasi NaOH yang digunakan menyebabkan tidak
terjadinya perubahan struktur selulosa I menjadi struktur selulosa II. Menurut
Elenga et al (2013) proses kimia seperti alkali dengan kosentrasi 15%
menyebabkan terjadinya pergeseran pola difraksi yang ditunjukkan oleh
pembentukkan struktur selulosa II. Proses alkali dan bleaching mengakibatkan
pembengkakan pada mikrofibril, gangguan daerah kristal, dan pembentukan
kristal kisi baru. Pembentukan struktur selulosa II ditandai dengan perubahan
grafik yang terjadi yaitu terbentuknya puncak-puncak baru seperti pada Gambar 6.
Perubahan terhadap pola difraksi tidak secara signifikan mengalami perubahan
struktur selulosa, hal ini mengindikasikan proses hidrolisis hanya terjadi pada
bagian permukaan dan daerah amorf, tanpa mempengaruhi struktur kristal
selulosa.

11

12

Peningkatan derajat kristalinitas juga dilaporkan oleh Chen et al (2011)
setelah perlakuan kimia derajat kristalinitas akan meningkat, hal ini dipengaruhi
oleh penataan ulang molekul selulosa yang disebabkan terjadinya hidrolisis
terhadap komponen amorf. Menurut Elenga et al (2013) serat dengan perlakuan
kimia memiliki ukuran kristal dan indeks kristalinitas yang lebih tinggi dibanding
serat tanpa perlakuan, penghapusan komponen amorf seperti hemiselulosa dan
lignin berkontribusi terhadap peningkatan indeks kristalinitas.

3.2 Sintesa Nanoselulosa Bagian Pangkal Bebas Kulit Bambu Ampel
Serat selulosa bersifat non polar dengan penyerapan kelembaban yang tinggi
atau disebut juga bersifat higroskopis, hal inilah menyebabkan lemahnya ikatan
antara polimer dan serat, sehingga berpengaruh terhadap sifat mekanik film
nanokomposit yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlakuan kimia alkali-bleaching
diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut. Struktur dinding sel serat
alami pada umumnya terdiri atas lapisan primer dan tiga lapisan sekunder (S1, S2,
dan S3). Terlihat pada Gambar 7a yang menunjukkan struktur asli bambu Ampel
yang masih terikat secara sempurna.

A

B

C

Gambar 7 Morfologi serat bambu Ampel (A), pulp belum terputihkan (B),
dan pulp terputihkan (C)
Perlakuan alkali pada pulp belum terputihkan menyebabkan perubahan
tekstur dan struktur serat bambu Ampel yaitu mulai terjadi fibrilasi dan hal ini
berkaitan dengan hidrolisis terhadap lignin, hemiselulosa, dan komponen amorf

13

lainnya yang mulai terpisah dari ikatan hidrogen, ditandai dengan bagian keriput
pada dinding sel (Gambar 7b). Menurut Khausik et al (2010) perlakuan alkali
pertama menyebabkan pembengkakan pada serat akibat larutan basa kuat
sehingga terjadi perubahan struktur, dimensi, dan morfologi. Perubahan yang
lebih jelas terlihat setelah proses bleaching, terlihat fibrilasi dan pengikisan
dinding sel serat yang lebih jelas dibanding pulp alkali (Gambar 7c). Hidrolisis
terhadap komponen amorf memberikan dampak positif dalam peningkatan luas
permukaan serat dan juga adhesi antara serat dan matriks (Esmeraldo et al. 2010).
Terlihat setelah proses bleaching fibrilasi mengalami peningkatan dibandingkan
proses alkali.
Proses mekanis yang dilakukan untuk menghasilkan nanofiber yaitu disc
refiner-ultrasonikasi. Penelitian pendahuluan mencoba menggunakan siklus disc
refiner 4, 7, 10, 13, dan 16 kali. Proses ini dilakukan setelah hidrolisis komponen
amorf secara kimia dengan proses alkali. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh siklus disc refiner terhadap ultrasonikasi. Nanofiber yang dihasilkan
setelah proses mekanis yaitu siklus disc refiner 4 kali = 5.1 µm, 7 kali = 1.7 µm,
10 = 1.07 µm, 13 = 775.8 nm, dan 16 = 480 nm. Hal ini mengindikasikan proses
disc refiner berpengaruh terhadap proses ultrasonikasi dalam pembentukan
nanofiber. Menurut Spence et al (2010) disc refiner merupakan perlakuan
mekanis yang dapat digunakan setelah proses kimia, untuk mengurangi konsumsi
energi selama pembentukan nanofiber dengan homogenisasi. Hasil selengkapnya
tersaji pada Gambar 8.
Selain melakukan proses fibrilasi terhadap dinding eksternal serat juga
mengurangi diamater serat yang dihasilkan seperti pada pulp slurry dengan disc
refiner 10 kali mengurangi diameter serat dari 15.08 µm menjadi 12.1 µm
(Syamani dan Kusumaningrum. 2013). Selain itu, disc refiner juga menyebabkan
perubahan terhadap morfologi dan meningkatnya luas permukaan yang
disebabkan meningkatnya gugus reaktif setelah proses (Nagakaito et al. 2011).
Proses pembentukan nanofiber dilanjutkan dengan ultrasonikasi, pada
dasarnya ultrasonikasi bekerja dengan cara menyalurkan gelombang ultrasonik
sehinga menimbulkan efek kavitasi akustik seperti pembentukan, pertumbuhan,
dan meledaknya gelembung di dalam cairan (Chen et al. 2011). Menurut
Fortunati et al (2013) ultrasonikasi juga dipengaruhi oleh perlakuan kimia yang
digunakan selama hidrolisis. Penurunan diameter diakibatkan oleh berkurangnya
komponen amorf seperti hemiselulosa dan lignin dan ultrasonikasi juga
melemahkan ikatan van der walls mikrofibril (Zhao et al. 2007). Menurut Tang et
al (2013) ultrasonikasi secara efektif dapat menghancurkan wilayah amorf
selulosa.
Proses mekanis dengan siklus disc refiner ditingkatkan menjadi 10, 20,
dan 30 kali, dengan meningkatnya siklus disc refiner, dengan ini diharapkan
fibrilasi dari bundel serat setelah proses kimia menjadi individual mikrofibril lebih
sempurna, sehingga lebih mempermudah penetrasi gelombang ultrasonik dalam
memecah mikrofibril menjadi nanofiber dengan ukuran lebih kecil. Hasil
selengkapnya tersaji pada Gambar 9.

14

.
4

7

10

13

16

Gambar 8 Siklus disc refiner 4, 7, 10, 13, dan 16 kali
Morfologi serat pulp belum terputihkan terlihat mengalami perubahan
terkait dengan siklus disc refiner yang mempengaruhi fibrilasi pada dinding sel
yang juga berpengaruh terhadap ukuran serat bambu Ampel setelah proses
ultrasonikasi. Meningkatnya siklus disc refiner berpengaruh terhadap fibrilasi dan
peningkatan luas permukaan serat, terlihat siklus disc refiner 30 memiliki luas
permukaan lebih tinggi dibanding siklus disc refiner 10 dan 20 kali. Diameter
serat yang dihasilkan juga semakin kecil sesuai dengan siklus disc refiner yaitu
berturut-turut 10 = 683 nm, 20 = 424 nm, dan 30 = 284 nm (Gambar 10). Proses
mekanis yang dilakukan juga dipengaruhi oleh perlakuan kimia yang dilakukan,
proses pertama dengan alkali akan memudahkan fibrilasi dan juga efisiensi energi
selama proses mekanis.

15

A

B

C

Gambar 9 Morfologi pulp belum terputihkan disc refiner 10 kali (A), 20
kali (B), dan 30 kali (C)

B

A

C

Gambar 10 Ukuran serat pulp belum terputihkan disc refiner 10 kali (A),
20 kali (B), dan 30 kali (C)

16

Perlakuan alkali menurut Esmeraldo et al (2010) juga memberikan
kontribusi terhadap pengurangan diameter serat selulosa seperti dalam
penelitiannya konsentrasi NaOH 5% dan 10% diameter serat berkurang dari 136
µm untuk serat alami kelapa menjadi 109-106 µm setelah perlakuan alkali.

B

A

C

Gambar 11 Morfologi pulp terputihkan disc refiner 10 kali (A), 20
kali (B), dan 30 kali (C)
Proses bleaching dilakukan untuk menyempurnakan hidrolisis terhadap
komponen amorf yang tersisa setelah proses alkali. Morfologi terhadap fibrilasi
dinding sel serat lebih tinggi dibanding pulp belum terputihkan yang tersaji pada
gambar 11. Terlihat proses mekanis siklus disc refiner berpengaruh terhadap
penetrasi gelombang ultrasonik dalam menghasilkan nanofiber selulosa. Proses
ultrasonikasi juga dipengaruhi oleh perlakuan kimia yang digunakan, serat pulp
terputihkan memiliki diameter lebih kecil dibanding pulp belum terputihkan.
Lebih rendahnya komponen amorf pulp terputihkan mengindikasikan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap fibrilasi dinding sel.
Menurut Spence et al (2010) fibrilasi serat dengan proses mekanik yang
memiliki kandungan lignin yang masih tinggi akan sulit, sehingga menghasilkan
diameter serat yang lebih besar. Hal ini sejalan dengan Tang et al (2013)
perlakuan kimia dan mekanik yang dilakukan berpengaruh terhadap efektivitas
gelombang ultrasonik dalam menghasilkan nanofiber. Meningkatnya siklus disc
refiner yang pada Gambar 12 terlihat siklus disc refiner berpengaruh terhadap
ukuran serat yang dihasilkan yaitu disc refiner 10 = 458 nm, 20 = 315 nm, dan 30
= 161 nm.

17

B

A

C

Gambar 12 Ukuran serat pulp terputihkan disc refiner 10 kali (A), 20
kali (B), dan 30 kali (C)
.
3.3 Sintesa dan Karakterisasi Film Nanokomposit
Analisa FTIR dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan kimia
terhadap selulosa, hemiselulosa, dan lignin, ketiga komponen itu terdiri atas
alkana, ester, aromatik, keton, dan alkohol. Perlakuan alkali menyebabkan
terjadinya hidrolisis terhadap komponen amorf selulosa sedangkan bleaching
menyempurnakan hidrolisis setelah perlakuan alkali. Hidrolisis kimia terhadap
komponen amorf pada dasarnya meningkatkan kristalinitas selulosa. Analisa
FTIR terhadap film-film nanokomposit tersaji pada Gambar 13, terlihat perlakuan
alkali menyebabkan terjadinya stretching OH film pulp belum terputihkan pada
bilangan gelombang 3001-3634 cm-1 sedangkan perlakuan bleaching film pulp
terputihkan terjadi pada bilangan gelombang 3016-3603 cm-1. Terdapat perbedaan
penyempitan panjang gelombang streching OH, film pulp terputihkan memiliki
panjang gelombang yang lebih rendah dibanding film pulp belum terputihkan.
Menurut Xunwen et al (2014) perlakuan asam akan menyebabkan streching OH
menuju panjang gelombang yang lebih rendah, hal ini mengindikasikan hidrolisis
kimia melemahkan ikatan hidrogen selulosa sehingga menfasilitasi gugus
hidroksil membentuk ikatan hidrogen yang baru dengan PVA.
Streching OH berhubungan dengan peningkatan kandungan selulosa setelah
perlakuan kimia, hal ini sesuai dengan analis XRD yang menunjukkan
kristalinitas selulosa meningkat setelah perlakuan kimia alkali dan bleaching
(Gambar 5). Setiap unit selulosa memiliki tiga unit kelompok OH, semakin tinggi
kandungan selulosa akan meningkatkan penyerapan air (Abraham et al. 2011).

18

Transmitansi (%)

Transmitansi (%)

Hal ini tidak terlepas dari sifat dasar serat alami yaitu bersifat higroskopis dan
juga disebabkan berkurangnya ikatan hidrogen yang disebabkan terhapusnya
gugus hidroksil. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Xunwen et al
(2014) PVA terdapat pada bilangan gelombang 856, 917, 1094, 1147, 1363, 1444,
2908 cm-1, setelah penambahan nanofiber menyebabkan pada bilangan gelombang
2908 cm-1 ikatan PVA menjadi lemah, hal ini menyebabkan terbentuknya ikatan
hidrogen antara PVA dan nanofiber.

bilangan gelombang (cm-1)

Transmitansi (%)

Transmitansi (%)

bilangan gelombang (cm-1)

bilangan gelombang (cm-1)

Transmitansi (%)

Transmitansi (%)

bilangan gelombang (cm-1)

bilangan gelombang (cm-1)

Transmitansi (%)

bilangan gelombang (cm-1)

bilangan gelombang (cm-1)

Gambar 13 FTIR film nanokomposit pada pulp belum terputihkan
disc refiner 10 kali (A), 20 kali (B), 30 kali (C), pulp
terputihkan disc refiner 10 kali (D), 20 kali (E), 30
kali dan PVA (F)
Perlakuan kimia menyebabkan hidrolisis pada komponen amorf yaitu pulp
belum terputihkan terjadi pada bilangan gelombang 1203-1288 cm-1 dan pulp
terputihkan terjadi pada bilangan gelombang 1211-1288 cm-1. Analisa ini

19

21

nanokomposit dengan siklus disc refiner 30 kali memiliki permukaan yang lebih
halus dengan tingkat kecerahan yang lebih baik, hal ini juga berkaitan dengan
ukuran nanofiber yang digunakan, semakin tinggi siklus disc refiner
menghasilkan nanofiber dengan ukuran yang lebih kecil setelah diultrasonikasi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Spence et al (2010) kekasaran permukaan film
dipengaruhi oleh kandungan lignin yang masih tinggi dan juga berhubungan
dengan diameter mikrofibril selulosa yang digunakan, sehingga hal ini
berpengaruh terhadap kecerahan film yang dihasilkan. Pengujian optik dengan
UV-VIS spektrofotometri perlu dilakukan untuk membuktikan pernyataan ini.

Gambar 16 Pengamatan secara visual transparansi film nanokomposit
pulp belum terputihkan disc refiner 10 kali (A), 20 kali
(B), 30 kali (C), dan pulp terputihkan disc refiner 10 kali
(D), 20 kali (E), 30 kali (F), dan PVA (G)
Prinsip spektrofotometri adalah menggunakan sumber sinar yaitu cahaya
tampak (visible) yang termasuk ke dalam spektrum elektromagnetik yang dapat
ditangkap oleh mata manusia dengan panjang gelombang 380-780 nm. Sinar yang

22

dapat ditangkap mata manusia yaitu ungu (380-450 nm), biru (450-495 nm), hijau
(495-570 nm), kuning (570-590 nm), jingga (590-620), merah (620-750 nm).
Transmitansi (T) merupakan perbandingan antara intensitas cahaya yang
ditransmisikan dibandingkan dengan intensitas referensi. Film PVA merupakan
film transparan yang memiliki nilai transmitansi sekitar 93% (Fortunati et al.
2013). Penggunaan nanofiber bambu Ampel sebagai penguat dalam film
nanokomposit mempengaruhi sifat transparan PVA, hal ini dibuktikan dengan
pengujian UV-VIS spektrofotometri dengan panjang gelombang yang sama, nilai
transmitansi film nanokomposit lebih rendah dibanding film PVA, menurut
J