Perbaikan Proses Pemurnian Gliserol Hasil Samping Industri Biodiesel Menggunakan Distilasi Vakum

PERBAIKAN PROSES PEMURNIAN GLISEROL HASIL
SAMPING INDUSTRI BIODIESEL MENGGUNAKAN
DISTILASI VAKUM

MULIA WITA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbaikan Proses
Pemurnian Gliserol Hasil Samping Industri Biodiesel Menggunakan Distilasi
Vakum adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Mulia Wita
NIM F34100096

ABSTRAK
MULIA WITA. Perbaikan Proses Pemurnian Gliserol Hasil Samping Industri
Biodiesel Menggunakan Distilasi Vakum. Dibimbing oleh ERLIZA HAMBALI
dan PUDJI PERMADI.
Gliserol dari hasil samping industri biodiesel minyak sawit setiap tahun
jumlahnya kian meningkat. Gliserol tersebut umumnya hanya memiliki kadar
gliserol 40-50% karena masih banyak mengandung pengotor berupa sisa metanol,
sisa katalis, asam lemak, air, maupun bahan pengotor lainnya sehingga perlu
ditingkatkan kemurniannya agar dapat digunakan di berbagai industri dan
meningkatkan nilai jualnya. Salah satu cara yang digunakan untuk
memurnikannya adalah dengan penambahan asam fosfat yang dapat
meningkatkan kadar gliserol dari 47% menjadi 83%. Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan kondisi proses pemurnian gliserol (±80%) menggunakan
metode distilasi vakum untuk menghasilkan gliserol dengan kadar lebih tinggi

(±90%). Kondisi terbaik proses pemurnian gliserol melalui metode distilasi
vakum adalah pada suhu 90-95°C dan tekanan 15 InHg (0,51 Bar) dengan
kecepatan pengadukan 300 rpm selama 2 jam. Kondisi tersebut menghasilkan
gliserol dengan kadar gliserol 94,19%, kadar air 0,01%, kadar abu 2,96%, kadar
MONG 2,84%, densitas 1,261 gr/cm3, specific gravity 1,264, viskositas 214 cP,
viskositas kinematis (40°C) 106 cSt, warna kuning kecoklatan, pH 6,2, bilangan
asam 3,88 mg KOH/g sampel, titik didih 110°C, titik nyala >140°C, titik tuang 30°C, dan titik awan -21°C. Hasil ini menunjukkan bahwa suhu yang digunakan
pada proses distilasi vakum telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
karakteristik gliserol murni yang dihasilkan.
Kata kunci: gliserol, biodiesel, minyak sawit

ABSTRACT
MULIA WITA. Improvement of Purification Process of Glycerol from Byproduct of Palm Oil Biodiesel Industry Using Vacuum Distillation. Supervised by
ERLIZA HAMBALI and PUDJI PERMADI.
Glycerol produced from by-product of palm oil biodiesel industry is
increasing every year. In general, only 40-50% glycerol level was obtained from
purification processes because it still contains many impurities such as methanol
residue, catalyst residue, fatty acids, water, and other impurities that need to be
improved the purity to be used in a variety of industries and increase its
commercial value. One of the methods used to purify is the addition of phosphoric

acid that can increase levels of glycerol from 47% to 83%. This study aims to
obtain glycerol purification process conditions (±80%) using vacuum distillation
method to produce glycerol with higher levels (±90%). The best condition for
glycerol purification using vacuum distillation method is at temperature of 9095°C and pressure of 15 InHg (0,51 Bar) with stirring speed of 300 rpm for 2
hours. These conditions produce glycerol with 94,19% glycerol content, 0,01%
moisture content, 2,96% ash content, 2,84% MONG levels, density of 1,261

g/cm3, specific gravity of 1,264, viscosity of 214 cP, kinematic viscosity (40°C) of
106 cSt, brownish yellow, pH of 6,2, acid number of 3,88 mg KOH/g sample,
boiling point of 110°C, flash point of greater than 140°C, pour point of -30°C, and
cloud point of -21°C. It was obtained that the temperature used at the process of
vacuum distillation significantly affected the characteristics of the pure glycerol
resulted.
Keywords: glycerol, biodiesel, palm oil

PERBAIKAN PROSES PEMURNIAN GLISEROL HASIL
SAMPING INDUSTRI BIODIESEL MENGGUNAKAN
DISTILASI VAKUM

MULIA WITA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Perbaikan Proses Pemurnian Gliserol Hasil Samping Industri
Biodiesel Menggunakan Distilasi Vakum
Nama
: Mulia Wita
NIM
: F34100096


Disetujui oleh

Prof. Dr. Erliza Hambali
Pembimbing I

Prof. Dr. Pudji Permadi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini ialah
gliserol, dengan judul Perbaikan Proses Pemurnian Gliserol Hasil Samping

Industri Biodiesel Menggunakan Distilasi Vakum.
Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Erliza Hambali dan Prof. Dr. Pudji Permadi selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penelitian
dan penyusunan skripsi.
2. Dr. Endang Warsiki S.Tp M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan
arahan dan saran dalam perbaikan skripsi.
3. Mas Ari Imam dan Mbak Mira Rivai selaku staf ahli SBRC – LPPM IPB yang
turut membantu penulis sejak awal hingga akhir penelitian.
4. Mas Otto, Mas Saiful, Mbak Ainun, Gita, Devita, dan seluruh staf teknisi
SBRC – LPPM IPB lain yang telah banyak membantu kelancaran jalannya
penelitian.
5. Seluruh keluarga dan kerabat yang selalu memberikan dukungan, kasih
sayang, do’a, dan semangat kepada penulis.
6. Sahabat-sahabat tercinta Yudha, Rina, Bang Ardhi, Ai Fani, para Ladies
Dignity, dan POB Member. Hai gengs, terima kasih atas quality time,
motivasi, dan bantuan kalian hingga akhir penelitian.
7. Seluruh teman-teman IPB angkatan 47 yang bersama-sama melakukan
penelitian di SBRC – LPPM IPB yang telah membantu dan menyemangati
penulis hingga akhir penelitian.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015
Mulia Wita

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2

Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
3
Waktu dan Tempat Penelitian
3
Alat dan Bahan
3
Metodologi
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Persiapan Sampel
6
Perbaikan Proses Pemurnian Gliserol ±80% menjadi Gliserol ±90%
10
Analisis Gliserol Hasil Proses Pemurnian
12
SIMPULAN DAN SARAN
31

Simpulan
31
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
32
RIWAYAT HIDUP
56
LAMPIRAN
34

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7


Halaman
Hasil analisis sifat fisiko-kimia gliserol kasar hasil samping industri
7
biodiesel yang digunakan dalam penelitian
Hasil analisis sifat fisiko-kimia gliserol ±80% yang dihasilkan dari
9
proses pemurnian pendahuluan
Nilai titik didih gliserol, air, dan metanol dengan berbagai variasi
11
tekanan
Neraca massa gliserol murni hasil perbaikan proses pemurnian
12
menggunakan distilasi vakum
Spesifikasi beberapa senyawa yang terdapat dalam gliserol
13
13
Hasil analisis sifat fisiko-kimia gliserol
14
Standar mutu kadar gliserol


DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Diagram alir persiapan dan analisis sampel
Diagram alir pemurnian gliserol ±80%
Sampel gliserol kasar 45-50% yang digunakan dalam penelitian
Pembentukan tiga lapisan: asam lemak, gliserol, dan garam
Sampel gliserol ±80% hasil proses pemurnian pendahuluan

Halaman
4
5
6
8
8

6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap kadar gliserol murni hasil
perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap warna gliserol murni hasil
perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap nilai pH gliserol murni
hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap bilangan asam gliserol
murni hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap kadar air murni gliserol
murni hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap kadar abu gliserol murni
hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap kadar MONG gliserol
murni hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap densitas gliserol murni
hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap specific gravity gliserol
murni hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap viskositas gliserol murni
hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap viskositas kinematis
gliserol murni hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap titik nyala gliserol murni
hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap titik tuang gliserol murni
hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap titik didih gliserol murni
hasil perbaikan proses pemurnian
Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap titik awan gliserol murni
hasil perbaikan proses pemurnian

15
16
17
18
19
20
22
23
24
25
26
27
29
30
31

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Rangkaian alat pemurnian gliserol menggunakan distilasi vakum
yang dilakukan dalam penelitian
Sampel gliserol murni hasil perbaikan proses pemurnian
menggunakan distilasi vakum
Metode Analisis Gliserol
Data Hasil Analisis Sifat Fisiko-Kimia Gliserol
Data Hasil Analisis Sidik Ragam, dan Uji Lanjut Duncan

Halaman
34
34
38
42
48

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan industri biodiesel minyak sawit, produksi
gliserol sebagai hasil samping juga akan meningkat setiap tahun. Suryani et al.
(2007) menyebutkan bahwa sekitar 10% gliserol kasar dihasilkan dari setiap
proses transesterifikasi pembuatan biodiesel. Berdasarkan Kementerian ESDM
(2014), kapasitas produksi industri biodiesel di Indonesia saat ini mencapai 4,6
juta KL/tahun, maka akan dihasilkan gliserol kasar sebanyak 460.000 KL/tahun.
Bila kelimpahan gliserol kasar ini tidak ditangani, akan semakin menurunkan nilai
jual gliserol kasar yang sudah rendah di pasar dunia serta menimbulkan masalah
lingkungan terkait kelebihan gliserol kasar yang dibuang sebagai limbah.
Gliserol kasar hasil samping industri biodiesel umumnya memiliki tingkat
kemurnian rendah dengan kadar gliserol 40-50% karena masih banyak
mengandung pengotor berupa sisa metanol, sisa katalis, dan air. Agar dapat
digunakan di berbagai industri dan meningkatkan nilai jualnya, maka gliserol
tersebut perlu dimurnikan terlebih dahulu. Gliserol dengan tingkat kemurnian
yang lebih tinggi (80-99%) dibutuhkan sebagai bahan baku industri kosmetik,
industri farmasi, industri kertas, industri cat dan varnis, industri tekstil, industri
pangan, pengolahan tembakau, oleokimia, serta bahan pelumas. Harga gliserol
murni (Technical Grade, 99%) dipasaran saat ini berkisar 30.000 per kilogram
sehingga gliserol masih menjadi salah satu produk dengan nilai ekonomis yang
cukup tinggi.
Proses pemurnian gliserol hasil samping industri biodiesel telah banyak
dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan berbagai metode. Gerpen (2004),
melakukan penelitian dengan melakukan pemurnian gliserol menggunakan asam
klorida (HCl) pada gliserol kasar hingga pH sekitar 4,5. Penambahan asam
menyebabkan sabun menjadi asam lemak dan garam. Asam-asam lemak akan
terpisah pada lapisan bagian atas yang dapat diambil kembali. Sedangkan sisa
metanol dapat diambil melalui proses evaporasi. Proses ini berhasil meningkatkan
kemurnian gliserol dari 50% menjadi 80-90%.
Kemudian Kocsisová dan Cvengroš (2006), melakukan penelitian
pemurnian gliserol dengan netralisasi katalis basa serta menguraikan sabun
menjadi asam lemak dan garam menggunakan berbagai asam kuat seperti HCl
36%, H2SO4 40%, dan H3PO4 85% pada suhu reaksi 60°C serta pH 4,5. Penelitian
ini berhasil mendapatkan gliserol dengan kemurnian sebesar 78-82% dimana
kadar gliserol tertinggi didapat dari penggunaan H3PO4 85%.
Adapun Rahmi (2006), melakukan proses pemurnian gliserol dari hasil
samping produksi biodiesel minyak inti kelapa sawit melalui metode distilasi
sederhana. Metode pemurnian ini berhasil meningkatkan kadar gliserol menjadi
89,24%. Sedangkan Farobie (2009), melakukan pemurnian gliserol dari hasil
samping industri biodiesel minyak jarak pagar dengan cara penambahan asam
fosfat teknis (H3PO4 85%) sebanyak 5% (v/v). Tujuan utama proses ini adalah
untuk menetralkan sisa katalis basa (KOH) dengan asam fosfat. Proses ini berhasil
meningkatkan kemurnian gliserol dari 50% menjadi 82,15%.

2

Kemudian Fanani (2010), melakukan penelitian mengenai kajian pemurnian
gliserol hasil samping biodiesel minyak jarak pagar menggunakan asam nitrat,
asam sulfat, dan asam fosfat. Kadar gliserol tertinggi dicapai pada perlakuan 126
mmol H3PO4 14,74 M terhadap 200 g gliserol. Perlakuan ini berhasil
mendapatkan kadar gliserol tertinggi yaitu 78,77%. Sedangkan Aziz et al. (2009),
melakukan pemurnian gliserol dari hasil samping pembuatan biodiesel
menggunakan bahan baku minyak goreng bekas dengan cara penambahan asam
fosfat yang diikuti penambahan karbón aktif untuk menarik sisa kotoran dan
membeningkan warna. Lalu tahap akhir digunakan rotary evaporator pada
kondisi vakum suhu 60°C untuk menarik air yang digunakan saat mengencerkan
gliserol kasar sebelum penambahan karbon aktif. Proses ini berhasil
meningkatkan kadar gliserol dari 32,23% menjadi 76,43%.
Penelitian lain mengenai pemurnian gliserol dilakukan oleh Hájek dan
František (2010) dengan menggunakan dua metode pemurnian berbeda. Metode
pemurnian pertama dengan proses netralisasi basa (sabun) sedangkan metode
pemurnian kedua dengan saponifikasi untuk menghilangkan sisa ester. Bahan
baku yang digunakan berupa gliserol dari hasil proses transesterifikasi industri
biodiesel (30-60 wt%). Proses pemurnian gliserol dengan netralisasi basa berhasil
meningkatkan kadar gliserol menjadi 84%, sedangkan pemurnian gliserol dengan
saponifikasi untuk menghilangkan sisa ester dapat meningkatkan kadar gliserol
menjadi sekitar 86%.
Oleh karena kemurnian gliserol yang dihasilkan dari penelitian-penelitian
sebelumnya masih rendah maka perlu dilakukan penelitian untuk memperbaiki
proses pemurnian yang telah ada. Salah satu caranya adalah menggunakan metode
distilasi vakum dengan harapan kemurnian gliserol mencapai 90%. Pemilihan
distilasi vakum sebagai metode pemurnian lanjutan didasarkan atas jenis
komponen pengotor yang masih terdapat dalam gliserol 80% berupa metanol dan
air yang dapat dihilangkan dengan cara diuapkan namun tidak memerlukan suhu
terlalu tinggi seperti pada distilasi sederhana sehingga dapat meminimalkan energi
yang digunakan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi proses pemurnian dari
gliserol dengan kadar ±80% menggunakan metode distilasi vakum untuk
menghasilkan gliserol dengan kadar kemurnian sekitar 90%.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi: (1) Pemurnian gliserol hasil samping
industri biodiesel minyak kelapa sawit menjadi gliserol 80%, (2) Analisis sifat
fisiko-kimia gliserol hasil samping industri biodiesel dan gliserol 80%, (3)
Perbaikan proses pemurnian gliserol 80% menggunakan distilasi vakum untuk
menghasilkan gliserol murni 90%, (4) Analisis sifat fisiko-kimia gliserol hasil
pemurnian yang dihasilkan.

3

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 4 bulan, yaitu dari bulan Juli hingga
Oktober 2014. Perlakuan sintesis, pemurnian, serta analisis sifat fisiko-kimia
gliserol dilakukan di Laboratorium Surfactant and Bioenergy Research Center
(SBRC – LPPM IPB), Kampus IPB Baranangsiang. Pengolahan data dilakukan di
SBRC – LPPM IPB maupun di Kampus IPB Dramaga Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah termometer, pressure gauge,
magnetic stirrer, pompa vakum, kondensor, hot plate, densitymeter Anton Parr
DMA 450, viskometer Brookfield DV-III Ultra, pH meter Schott Handylab pH 11,
tanur, pressure filtration, serta peralatan laboratorium lainnya seperti labu leher
tiga, labu erlenmeyer, labu ukur, labu takar, gelas piala, buret, corong, pipet mohr,
pengaduk, cawan, desikator, neraca portable, dan neraca analitik.
Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi
sebagai berikut:
- Bahan untuk peningkatan kemurnian gliserol meliputi: gliserol hasil
samping industri biodiesel minyak kelapa sawit, asam fosfat teknis 85%, dan
es batu.
- Bahan untuk analisis sifat fisiko-kimia gliserol meliputi: NaIO4, aquades,
H2SO4 0,2 N, etilen glikol netral 1:1, indikator BTB 0,1%, larutan standar
NaOH 0,5 N, NaOH 0,05 N, etanol netral 96%, larutan standar KOH 0,1 N,
dan indikator PP 1%.

Metodologi
Persiapan Sampel
Sampel yang digunakan untuk perbaikan proses pemurnian ini adalah
gliserol hasil samping industri biodiesel olein sawit yang diproduksi oleh
Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC – LPPM IPB). Pemurnian
awal gliserol ini mengacu pada penelitian Farobie (2009) dengan sedikit
modifikasi. Mulanya, gliserol kasar dengan kadar 45-50% dipanaskan hingga
suhu 60°C kemudian ditambahkan dengan larutan asam fosfat 85% (H3PO4)
sebanyak 5% (v/v) sedikit demi sedikit dalam keadaan terus teraduk. Campuran
tersebut diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan pengadukan 300
rpm yang dipanaskan hingga suhu 85-90°C selama 30 menit. Sehingga akan
terbentuk tiga lapisan: lapisan teratas adalah residu asam lemak bebas, lapisan
tengah adalah gliserol, dan lapisan paling bawah adalah garam potasium fosfat
(K3PO4). Lalu disettling selama 1 jam kemudian asam lemak dipisahkan.
Berikutnya disettling selama ½ hari untuk mengendapkan garam menjadi kristal.

4

Tahap terakhir yaitu pemisahan gliserol dengan alat filtrasi yang menghasilkan
gliserol dengan kadar ±80%.
Gliserol kasar maupun gliserol ±80% tersebut kemudian dianalisis sifat
fisiko-kimianya untuk mengetahui kondisi awal bahan sebelum ditingkatkan
kemurniannya menggunakan distilasi vakum. Analisis sifat fisiko-kimia sampel
gliserol meliputi kadar gliserol (SNI-06-1564-1995), kadar air (SNI-06-15641995), kadar abu (SNI-06-1564-1995), kadar MONG (SNI-06-1564-1995),
densitas, specific gravity, viskositas, viskositas kinematis, warna, pH, bilangan
asam, titik didih, titik nyala, titik tuang, dan titik awan. Metode analisis yang
dilakukan disajikan pada Lampiran 1. Diagram alir persiapan dan analisis sampel
gliserol disajikan pada Gambar 1.
Analisis sifat
fisiko-kimia

Gliserol kasar
45-50%

Dipanaskan hingga 60°C

Asam fosfat
85%; 5% v/v, 300 rpm
selama 30 menit

Settling selama 1 jam
3 lapisan:
Asam lemak
dipisahkan

Asam lemak
Gliserol

Garam

Settling selama ½ hari

Gliserol

Kristal garam
fosfat

Filtrasi
Gliserol
±80%

Analisis sifat
fisiko-kimia

Gambar 1 Diagram alir persiapan dan analisis sampel
Pemurnian Gliserol ±80%
Pemurnian gliserol ±80% menggunakan metode distilasi vakum adalah
penelitian utama yang dilakukan sebagai cara untuk memperbaiki proses
pemurnian sebelumnya yang diharapkan mampu menghasilkan gliserol dengan
kadar lebih tinggi yakni sekitar 90%. Kondisi proses pemurnian gliserol
menggunakan distilasi vakum pada penelitian ini dilakukan dengan tiga perlakuan

5

suhu berbeda yaitu 90-95°C, 120-125°C, dan 145-150°C. Sedangkan perlakuan
lain seperti volume, tekanan, lama proses, dan kecepatan pengadukan adalah sama
yaitu sebanyak 140 ml (±170 g) gliserol 80% didistilasi vakum pada tekanan 15
InHg (0,51 Bar), selama 2 jam, dengan kecepatan pengadukan 300 rpm, dan tiga
tingkatan suhu (90-95°C; 120-125°C; 145-150°C). Diagram alir pemurnian
gliserol ±80% disajikan pada Gambar 2.
Gliserol
±80%

Distilasi vakum
suhu 90-95°C

Distilasi vakum
suhu 120-125°C

Distilasi vakum
suhu 145-150°C

Pada tekanan 15 InHg (0,51 Bar), selama 2 jam, dengan kecepatan
pengadukan 300 rpm

Gliserol murni
±90%

Gliserol murni
±90%

Gliserol murni
±90%

Analisis sifat
fisiko-kimia
Gambar 2 Diagram alir pemurnian gliserol 80%
Masing-masing gliserol murni ±90% yang telah dihasilkan kemudian
dianalisis sifat fisiko-kimianya meliputi kadar gliserol (SNI-06-1564-1995), kadar
air (SNI-06-1564-1995), kadar abu (SNI-06-1564-1995), kadar MONG (SNI-061564-1995), densitas, specific gravity, viskositas, viskositas kinematis, warna, pH,
bilangan asam, titik didih, titik nyala, titik tuang, dan titik awan. Metode analisis
yang dilakukan disajikan pada Lampiran 1.
Analisis data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh suhu distilasi
vakum terhadap kualitas gliserol murni ±90% yang dihasilkan adalah rancangan
faktorial dengan pola acak lengkap (RAL). Model yang digunakan tersusun atas
satu faktor perlakuan, yaitu faktor A adalah suhu distilasi vakum yang terdiri dari
tiga taraf yaitu 90-95°C, 120-125°C, dan 145-150°C dengan ulangan sebanyak
dua kali. Model matematis dari rancangan percobaan adalah sebagai berikut:
Yij= μ + Ai + εk(ij)

6

Keterangan:
Yij : Pengaruh suhu distilasi vakum (faktor A), taraf ke-i (i=1,2,3), pada ulangan
ke-j (j=1,2)
μ
: Rata-rata yang sebenarnya
Ai : Pengaruh suhu distilasi vakum taraf ke-i
εk(ij) : Pengaruh kesalahan percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Sampel
Gliserol yang digunakan dalam penelitian dihasilkan dari proses
transesterifikasi minyak kelapa sawit khususnya fraksi olein sawit menjadi
biodiesel. Gliserol kasar tersebut masih banyak mengandung pengotor dan belum
banyak diolah sehingga nilai tambahnya masih rendah. Impurities yang
terkandung dalam gliserol dapat berupa sisa metanol, sisa katalis, dan bahanbahan pengotor yang berasal dari minyak bahan baku biodiesel. Sampel gliserol
kasar dengan kadar 45-50% yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada
Gambar 3.

Gambar 3 Sampel gliserol kasar 45-50% yang digunakan dalam penelitian
Knohte (2005), melaporkan bahwa gliserol kasar hasil samping produksi
biodiesel memiliki kadar kemurnian sekitar 50% berupa cairan kental berwarna
coklat kehitaman dengan pH yang sangat basa (pH>10). Kemudian Kocsisová dan
Cvengroš (2006), melaporkan bahwa komposisi gliserol hasil samping produksi
biodiesel antara lain yaitu: gliserol (50-60%), alkali dalam bentuk sabun dan
katalis hidroksida (15-18%), metanol (8-12%), air (2-3%), dan komponen lain.
Adapun hasil analisis sifat fisiko-kimia sampel gliserol kasar hasil samping
industri biodiesel yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 1.

7

Tabel 1 Hasil analisis sifat fisiko-kimia gliserol kasar hasil samping industri
biodiesel yang digunakan dalam penelitian
Parameter
Unit
Gliserol kasar
Kadar gliserol
%
46,74
Kadar air
%
0,629
Kadar abu
%
14,18
Kadar MONG
%
38,45
3
Densitas
g/cm
1,076
Specific gravity
1,080
Viskositas
cP
3957,29
Viskositas kinematis 40°C
cSt
159,7
Warna visual
Coklat gelap
Warna Lovibond (η ¼” cell)
R = 70,0 dan Y = 11,3
Nilai pH
9,40
Bilangan asam
mg KOH/g sampel
6,72
Titik didih
°C
108
Titik nyala
°C
>90
Titik awan
°C
18
Titik tuang
°C
3
Oleh sebab kemurnian gliserol kasar yang didapat masih sangat rendah,
maka perlu dilakukan proses pemurnian untuk meningkatkan kadar kemurnian
gliserol serta menghilangkan impurities yang tidak diinginkan didalamnya. Salah
satu caranya adalah dengan penambahan asam fosfat yang dapat meningkatkan
kadar gliserol menjadi ±80%.
Persiapan sampel gliserol ±80% tersebut dilakukan dengan menambahkan
larutan asam fosfat 85% sebanyak 5% (v/v) untuk memisahkan gliserol dengan
pengotor berupa asam lemak dan garam. Asam fosfat akan bereaksi dengan sisa
katalis potassium hidroksida (KOH) membentuk kristal garam potassium fosfat
yang mengendap di lapisan paling bawah. Sedangkan pada lapisan atas, terbentuk
asam lemak bebas dari reaksi hidrolisis antara sisa trigliserida minyak dengan air.
Reaksi-reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Reaksi I:
KOH + H3PO4
K3PO4 + H2O
Katalis
As.Fosfat
Garam
Air
Reaksi II:
H2C ─ COOR1
H2C ─ OH
HC ─ COOR2
H2C ─ COOR3
Trigliserida

+ 3 H2O

Air

3 R ─ COOH + HC ─ OH

As. Lemak

H2C ─ OH
Gliserol

8

Pembentukan dari tiga lapisan hasil reaksi tersebut ditunjukkan pada
Gambar 4 dengan persentase distribusi yaitu 50% residu asam lemak (lapisan atas),
27% gliserol (lapisan tengah), dan 23% endapan garam (lapisan bawah).

Asam Lemak (50%)

Gliserol (27%)
Garam (23%)
Gambar 4 Pembentukan tiga lapisan: asam lemak, gliserol, dan garam
Persentase distribusi ini jika dibandingkan dengan penelitian Farobie (2009)
yang memurnikan gliserol dari hasil samping produksi biodiesel jarak pagar
memiliki hasil yang agak berbeda. Penelitian tersebut menghasilkan 39,98% asam
lemak, 40,34% gliserol, dan 20,68% garam potassium fosfat. Perbedaan ini terjadi
karena gliserol yang digunakan pada penelitian tersebut merupakan gliserol hasil
samping produksi biodiesel minyak jarak pagar bukan dari minyak sawit.
Setelah terbentuk tiga lapisan, asam lemak dipisahkan (sebelum memadat
pada suhu ruang) dan gliserol difiltrasi dengan pressure filtration untuk
memisahkannya dengan sisa-sisa garam. Sedangkan gliserol ±80% hasil filtrasi
(Gambar 5) disiapkan untuk perbaikan proses pemurnian yaitu dengan distilasi
vakum.

Gambar 5 Sampel gliserol ±80% hasil proses pemurnian pendahuluan
Menurut Kocsisová dan Cvengroš (2006), komposisi gliserol dengan kadar
±80% antara lain yaitu: kadar gliserol 78-82%, kadar air 10-12%, kadar garam 68%, kadar metanol 1-2%, dan sisanya berupa resin, zat warna, dan senyawa lain.

9

Adapun hasil analisis sifat fisiko-kimia sampel gliserol ±80% yang dihasilkan dari
proses pemurnian pendahuluan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil analisis sifat fisiko-kimia gliserol ±80% yang dihasilkan dari proses
pemurnian pendahuluan
Parameter
Unit
Gliserol ±80%
Kadar gliserol
%
83,32
Kadar air
%
6,767
Kadar abu
%
2,08
Kadar MONG
%
7,83
3
Densitas
g/cm
1,231
Specific gravity
1,235
Viskositas
cP
120,63
Viskositas kinematis 40°C
cSt
64,52
Warna visual
Coklat kekuningan
Warna Lovibond (η ¼” cell)
R = 20,0
Y = 3,2
Nilai pH
6,31
Bilangan asam
mg KOH/ g sampel
5,67
Titik didih
°C
168
Titik nyala
°C
>90
Titik awan
°C
-30
Titik tuang
°C
-42
Dari hasil analisis sifat fisiko-kimia sampel gliserol (Lampiran 4) diketahui
bahwa terjadi peningkatan kadar gliserol dari 46,74% menjadi 83,32% setelah
pemurnian dengan asam fosfat. Hal ini disebabkan bahan pengotor berupa asam
lemak dan garam yang ada dalam gliserol telah berhasil dipisahkan. Begitu pun
nilai pH gliserol yang mengalami penurunan dari 9,40 menjadi 6,31 karena bahan
pengotor berupa katalis (KOH) yang menyebabkan gliserol memiliki sifat basa
sudah dinetralkan dengan asam fosfat.
Dari hasil pengamatan warna secara visual terhadap gliserol kasar (Gambar
3) dan gliserol ±80% (Gambar 5) terlihat bahwa gliserol hasil pemurnian memiliki
warna yang lebih jernih dan tidak pekat dibandingkan dengan gliserol kasar yang
memiliki warna lebih gelap. Dari hasil pengukuran warna Lovibond (Lampiran 4)
diketahui bahwa gliserol kasar memiliki nilai warna merah dan kuning yang tinggi
sedangkan pada gliserol ±80% nilai warna merah dan kuning telah sangat
berkurang. Hal ini disebabkan bahan pengotor berupa asam lemak yang membuat
warna gliserol keruh dan pekat telah berhasil dipisahkan.
Dari hasil analisis kadar abu (Lampiran 4) menunjukkan bahwa terjadi
penurunan kadar abu gliserol dari 14,18% menjadi 2,08% setelah pemurnian.
Kadar abu tersebut menunjukkan jumlah bahan anorganik yang terdapat dalam
gliserol, seperti garam dari hasil netralisasi katalis potassium hidroksida (KOH)
yang digunakan pada proses transesterifikasi pembuatan biodiesel. Selain gliserol
dan bahan anorganik, terdapat pula material organic non-glycerol (MONG) atau
bahan organik bukan gliserol. Kandungan MONG ini adalah asam lemak, metanol,
dan sisa metil ester (biodiesel) dari proses produksi biodiesel. Dari hasil analisis
kadar MONG (Lampiran 4) diketahui bahwa terjadi penurunan kadar MONG

10

gliserol dari 38,45% menjadi 7,83% yang artinya bahan-bahan pengotor dalam
gliserol kasar sudah banyak berkurang.
Dari hasil pengukuran kadar air (Lampiran 4) diketahui bahwa terjadi
peningkatan nilai kadar air dari 0,629% menjadi 6,767% setelah pemurnian. Hal
ini disebabkan karena pada saat pemurnian dengan asam terjadi pembentukan air
dari reaksi asam fosfat dengan katalis menjadi garam fosfat dengan air. Selain itu,
pada suhu ruang gliserol kasar berbentuk padat yang artinya kadar air dalam
gliserol kasar tersebut hampir tidak ada. Kemudian, dari hasil pengukuran nilai
bilangan asam (Lampiran 4) diketahui bahwa terjadi penurunan nilai bilangan
asam seiring dengan peningkatan kemurnian. Nilai bilangan asam gliserol yang
didapat yaitu 6,72 mg KOH/g sampel sebelum dimurnikan kemudian turun
menjadi 5,67 mg KOH/g sampel setelah dimurnikan. Bilangan asam menunjukkan
sisa asam lemak bebas yang masih terdapat dalam gliserol yang berpengaruh
terhadap kualitas gliserol.
Dari hasil pengukuran nilai densitas (Lampiran 4) diketahui bahwa terjadi
peningkatan densitas dari 1,076 g/cm3 menjadi 1,231 g/cm3. Nilai densitas
tersebut menunjukkan berat jenis dari masing-masing sampel gliserol. Sedangkan
nilai viskositas gliserol mengalami penurunan dari viskositas gliserol kasar yang
sangat tinggi yaitu 3957 cP menjadi 120 cP setelah pemurnian akibat
berkurangnya bahan pengotor yang terdapat dalam gliserol. Begitu pun nilai
viskositas kinematis (40°) gliserol yang mengalami penurunan dari 160 cSt
menjadi 65 cSt setelah pemurnian. Viskositas kinematis menunjukkan ketahanan
gliserol untuk tetap mengalir terhadap perubahan temperature dan gaya gravitasi.
Dari hasil pengukuran titik nyala (Lampiran 4) diketahui bahwa gliserol
kasar dan gliserol ±80% memiliki titik nyala >90°C. Titik nyala menunjukkan
suhu dimana bahan tersebut dapat terbakar dengan sendirinya. Kemudian, dari
hasil pengukuran titik tuang (Lampiran 4) diketahui bahwa terjadi penurunan nilai
titik tuang gliserol dari 3°C menjadi -42°C setelah pemurnian. Titik tuang
menunjukkan suhu dimana gliserol masih dapat mengalir walaupun dalam bentuk
setengah padat (semi solid). Hasil ini menunjukkan bahwa gliserol hasil
pemurnian kualitasnya tinggi karena masih dapat mengalir hingga suhu -42°C.
Dari hasil pengukuran titik didih (Lampiran 4) diketahui bahwa terjadi
peningkatan titik didih gliserol dari 108°C menjadi 168°C setelah pemurnian.
Titik didih tersebut menunjukkan suhu dimana gliserol dapat menguap yang juga
menunjukkan kemurnian dari gliserol. Adapun dari hasil analisis pengukuran titik
awan gliserol (Lampiran 4) diketahui bahwa terjadi penurunan titik awan dari
18°C menjadi -30°C setelah pemurnian. Gliserol mulai tampak berawan (cloudy)
karena munculnya kristal-kristal, gel, atau lilin pada suhu 18°C sebagai titik awan
gliserol kasar dan suhu -30°C sebagai titik awan gliserol ±80%. Hasil ini
menunjukkan bahwa gliserol ±80% kualitasnya tinggi karena belum mengeruh
dan masih berbentuk cairan hingga suhu -30°C.

Perbaikan Proses Pemurnian Gliserol ±80% menjadi Gliserol ±90%
Perbaikan proses pemurnian gliserol yang dilakukan pada penelitian ini
adalah menggunakan metode distilasi vakum. Distilasi vakum biasa digunakan
pada senyawa yang tidak stabil, dengan pengertian dapat terdekomposisi sebelum

11

atau saat mendekati titik didihnya serta terhadap larutan yang memiliki titik didih
di atas 150°C. Metode distilasi vakum tidak dapat digunakan pada pelarut dengan
titik didih yang rendah jika kondensornya menggunakan air dingin, karena
komponen yang menguap tidak dapat dikondensasi oleh air. Sistem distilasi ini
menggunakan aspirator atau pompa vakum yang bertujuan untuk mengurangi
tekanan (Bacher 2007).
Pemurnian dengan distilasi didasarkan pada perbedaan titik didih sehingga
akan memisahkan gliserol murni dengan pengotor berupa metanol dan air yang
titik didihnya lebih rendah. Sedangkan penggunaan vakum ditujukan untuk
menurunkan titik didih gliserol yang sangat tinggi yaitu 290°C pada tekanan 1 atm
(760 mmHg) dan menghisap zat-zat pengotor yang menguap karena adanya
perbedaan tekanan. Nilai titik didih gliserol, air, dan metanol dengan berbagai
variasi tekanan ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai titik didih gliserol, air, dan metanol dengan berbagai variasi tekanan
Nama
senyawa
Gliserol
Air
Metanol

Rumus molekul
C3H8O3
H2O
CH3OH

60/
2,4/ 0,1
208,0
41,5
12,1

Tekanan (mmHg/ InHg/ Bar)
100/
200/
400/
3,9/ 0,1
7,9/ 0,3 15,7/ 0,5
Suhu (°C)
220,1
240,0
263,0
51,6
66,5
83,0
21,2
34,8
49,9

760/
29,9/ 1,0
290,0
100,0
64,7

Sumber: Speight (2005)
Dari Tabel 3 diketahui bahwa tekanan dan titik didih suatu senyawa nilainya
berbanding lurus, semakin tinggi tekanan maka semakin tinggi pula titik didih
senyawa tersebut. Gliserol dan bahan-bahan volatil akan mendidih dan menguap
pada suhu yang lebih rendah di bawah tekanan normal atmosfer (760 mmHg = 1
atm = 1 Bar) atau pada kondisi proses hampa udara (kondisi vakum). Penggunaan
tekanan vakum 15 InHg (0,51 Bar = 0,5 atm) atau sekitar 400 mmHg akan
menguapkan metanol dan air sebelum mencapai titik didihnya pada tekanan
normal atmosfer. Metanol akan menguap pada suhu 49,9°C sedangkan air akan
menguap pada suhu 83°C.
Oleh sebab itu, kondisi distilasi vakum pada penelitian ini dilakukan
menggunakan tekanan vakum 15 InHg dengan tiga perlakuan suhu berbeda yaitu
90-95°C, 120-125°C, dan 145-150°C, selama 2 jam dan kecepatan pengadukan
300 rpm. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi proses pemurnian
gliserol ±80% menjadi gliserol ±90% menggunakan distilasi vakum.
Neraca massa gliserol murni hasil perbaikan proses pemurnian
menggunakan distilasi vakum ditunjukkan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 diketahui
bahwa input sebanyak 140 ml (±170 g) gliserol ±80% yang digunakan untuk
sekali pemurnian menggunakan distilasi vakum akan diperoleh rata-rata rendemen
yang berbeda.

12

Tabel 4 Neraca massa gliserol murni hasil perbaikan proses pemurnian
menggunakan distilasi vakum
Input
Proses
Output 1
Output 2
Suhu
distilasi
Gliserol ±80%
Gliserol ±90%
Air + Metanol
vakum
%
g
°C
%
g
%
g
100
166,7
90-95
94,15
156,95
5,85
9,75
100
168,5
120-125
90
151,65
10
16,85
100
172,4
145-150
86
148,26
14
24,14
Gliserol hasil perbaikan proses pemurnian yang dihasilkan kemudian
dianalisis untuk diketahui sifat fisiko-kimianya. Rangkaian alat pemurnian
gliserol menggunakan distilasi vakum yang digunakan dalam penelitian
ditunjukkan pada Lampiran 1. Sedangkan gambar sampel gliserol murni hasil
perbaikan proses pemurnian menggunakan distilasi vakum disajikan pada
Lampiran 2.

Analisis Gliserol Hasil Proses Pemurnian
Secara kimiawi, gliserol (1,2,3-propanatriol) merupakan senyawa alkohol
polihidrat dengan gugus hidroksil berjumlah tiga buah yang bersifat hidrofilik.
Berdasarkan OECD (2002), gliserol termasuk pelarut yang baik karena dapat larut
sempurna dalam air maupun alkohol, dapat terlarut dalam pelarut seperti eter dan
etil asetat, namun tidak larut dalam hidrokarbon. Berdasarkan SNI 06-1564-1995,
definisi gliserol adalah suatu bahan kimia yang sebagian besar terdiri dari zat
kimia dengan rumus kimia C3H8O3 yang bentuknya berupa cairan kental jernih
sampai kekuning-kuningan, tidak berbau, terasa manis diikuti rasa hangat,
higroskopik, dan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong industri.
Pagliaro dan Rossi (2008) menyebutkan bahwa definisi gliserol murni
adalah cairan yang tidak berwarna, jernih, tidak berbau, serta terasa manis.
Adapun Wales (2010) melaporkan bahwa senyawa gliserol memiliki berat
molekul sebesar 92,095 g/mol, densitas 1,261 g/cm3, viskositas 1,5 Pa.s (1499 cP),
titik leleh 18°C (64,4°F), titik didih 290°C, dan titik nyala 160°C. Spesifikasi
karakteristik beberapa senyawa yang terdapat dalam gliserol disajikan pada Tabel
5.

13

Tabel 5 Spesifikasi beberapa senyawa yang terdapat dalam gliserol
Nama
senyawa
Gliserol
Air
Metanol
Asam
fosfat 85%

Rumus
molekul
C3H8O3
H2O
CH3OH
H3PO4
85%

Berat
molekul
92,09
18,02
32,04
98,00

Densitas
g/cm3
1,261
1,000
0,7913
1,685

Potassium
hidroksida
Garam
fosfat
Asam
palmitat

Titik didih
°C
290
100,00
64,7
213

Titik nyala
°C
199
11
-

2,044

Titik leleh
°C
18
0,00
-97,7
42,35;
anhydrat
150
406

KOH

56,11

1323

-

K3PO4

212,27

2,564

1340

-

-

C16H32O2

256,43

0,852

62

351

-

Sumber: Speight (2005)
Gliserol yang masih banyak mengandung bahan-bahan pengotor kemudian
dimurnikan menggunakan distilasi vakum. Hasil analisis sifat fisiko-kimia gliserol
sebelum dan sesudah dilakukan pemurnian disajikan pada Tabel 6.

Parameter
Kadar gliserol
Kadar air
Kadar abu
Kadar MONG
Densitas 20°C
Specific
gravity 25°C
Viskositas
Viskositas
kinematis
40°C
Warna visual
Warna
Lovibond (5
¼” cell)
Nilai pH
Bilangan
asam
Titik didih
Titik nyala
Titik awan
Titik tuang

Tabel 6 Hasil analisis sifat fisiko-kimia gliserol
Unit
G1
G2
G3
G4

G5

%
%
%
%
g/cm3

46,74
0,629
14,18
38,45
1,076

83,32
6,767
2,08
7,83
1,231

94,19
0,010
2,96
2,84
1,261

92,27
0,010
3,67
4,05
1,265

90,51
0,010
3,95
5,53
1,268

-

1,080

1,235

1,264

1,268

1,270

cP

3957,29

120,63

214,38

241,72

249,43

cSt

159,7

64,52

106,1

234,8

273,2

-

Coklat gelap

Coklat
kekuningan

Coklat
kekuningan

Coklat

Coklat
gelap

-

R = 70,0
Y = 11,3

R = 20,0
Y = 3,2

R = 43,0
Y = 5,6

9,40

6,31

6,20

R=
54,0
Y = 6,9
6,29

6,72

5,67

3,88

4,94

5,41

108
>90
18
3

168
>90
-30
-42

110
145
-21
-30

115
178
-21
-30

118
188
-21
-30

mg
KOH/g
sampel
°C
°C
°C
°C

R = 72,5
Y = 18,3
6,39

14

Keterangan:
G1: Sampel gliserol ±50%
G2: Sampel gliserol ±80%
G3: Sampel gliserol hasil pemurnian gliserol ±80% menggunakan distilasi
vakum suhu 90-95°C
G4: Sampel gliserol hasil pemurnian gliserol ±80% menggunakan distilasi
vakum suhu 120-125°C
G5: Sampel gliserol hasil pemurnian gliserol ±80% menggunakan distilasi
vakum suhu 145-150°C
Penentuan Kadar Gliserol
Penentuan kadar gliserol dilakukan untuk menunjukkan tingkat kemurnian
dari gliserol yang dinyatakan dalam persen. Metode yang digunakan untuk
menentukan kadar gliserol sesuai standar SNI 06-1564-1995 adalah dengan
metode alkalimetri. Prinsipnya adalah mereaksikan gliserol dengan natrium
periodat (NaIO4) yang akan menghasilkan formaldehid dan asam format yang
kemudian dititrasi dengan larutan standar natrium hidroksida (NaOH).
Berdasarkan hasil analisis kadar gliserol (Lampiran 4) diketahui bahwa
terjadi peningkatan kadar gliserol dari gliserol 83,32% menjadi gliserol murni
kadar 90-95% setelah dilakukan perbaikan proses pemurnian menggunakan
distilasi vakum dengan tiga perlakuan suhu berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa
metode distilasi vakum sudah efektif dalam memurnikan gliserol dengan
memisahkan air dan metanol sehingga menghasilkan kadar gliserol lebih tinggi.
Dari hasil analisis diketahui bahwa gliserol hasil perbaikan proses
pemurnian sudah memenuhi standar mutu yang berlaku. Persyaratan kadar
gliserol berdasarkan beberapa standar ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Standar mutu kadar gliserol
Standar
SNI 06-1564-1995
BS 2621:1979 (Soap lye)
BS 2622:1979 (Saponification)
European Pharmacopeia (EP)
MSDS USP Grade
MSDS Technical Grade (Industrial)

EN ISO 9001:2009
EO (Ecogreen Oleochemicals)
Oleon (Glycerine 4833)

Gliserol komersial (Fisher)
Gliserin PH Farmasi (Brataco Chem)
IS: 1796-1986 (Soap lye)
IS: 1796-1986 (Saponification)
IS: 1796-1986 (Analytical reagent, AR)
IS: 1796-1986 (Chemically pure, CP)
IS: 1796-1986 (Industrial white, IW)
IS: 1796-1986 (Technical, TECH)
IS: 1796-1986 (Dynamite, DYN)

Persyaratan kadar gliserol (%)
Min.80
80
88
80
99,5
99,5
Min.82
88,80
≥ 99,7
99,98
98-100
Min.80,0
Min.88,0
Min.99,0
Min.98,0
Min.98,0
Min.98,0
Min.98,7

15

Nilai kadar gliserol dari gliserol hasil perbaikan proses pemurnian
menggunakan distilasi vakum pada suhu 90-95°C, 120-125°C, dan 145-150°C
secara berturut-turut yaitu 94,19%, 92,27%, dan 90,51%. Kadar gliserol tertinggi
didapat pada distilasi vakum yang menggunakan suhu 90-95°C dengan tekanan 15
InHg (0,51 Bar), lama proses 2 jam, dan kecepatan putaran 300 rpm. Hasil
penentuan kadar gliserol tersebut ditunjukkan pada Gambar 6.
95,00

94,19

Kadar gliserol %

94,00

92,27

93,00
92,00

90,51

91,00
90,00
89,00
88,00
87,00
90-95

120-125

145-150

Suhu distilasi vakum (°C)

Gambar 6 Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap kadar gliserol murni hasil
perbaikan proses pemurnian
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam kadar gliserol pada tingkat
kepercayaan 95% dan α = 0,05 menunjukkan bahwa perlakuan suhu (90-95°C;
120-125°C; dan 145-150°C) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kadar gliserol murni yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan yang dilakukan
menunjukkan hasil bahwa ketiga taraf suhu saling berbeda nyata dengan yang lain
(Lampiran 5). Perbedaan pengaruh tersebut menunjukkan bahwa kondisi suhu
distilasi vakum yang paling optimal untuk mendapatkan gliserol dengan
kemurnian paling tinggi adalah pada suhu 90-95°C.
Umumnya semakin tinggi suhu distilasi vakum maka semakin banyak bahan
pengotor yang menguap sehingga kadar gliserol yang dihasilkan akan semakin
tinggi. Namun, dari hasil penelitian diketahui bahwa meskipun lebih banyak
metanol dan air yang menguap pada suhu distilasi vakum lebih tinggi, kadar
gliserol yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini disebabkan sampel gliserol
±80% yang digunakan pada proses pemurnian memiliki titik didih 168°C, maka
diduga pada suhu distilasi vakum 120-125°C menggunakan tekanan vakum 15
InHg (0,5 atm) selama 2 jam ada gliserol yang ikut menguap.
Selain itu, Garti et al. (1981) menyatakan bahwa penggunaan suhu distilasi
vakum yang semakin tinggi dapat membuat kadar gliserol berkurang karena
terjadinya polimerisasi pada suhu tinggi (>160°C; 1 atm) dan dekomposisi gliserol.
Secara umum terjadinya reaksi polimerisasi gliserol adalah pada suhu 220-240°C;
tekanan normal atmosfer (1 atm). Adapun Sailah dan Fahma (2007), melaporkan
bahwa suhu terjadinya polimerisasi gliserol adalah pada suhu 200-225°C.
Polimerisasi gliserol terjadi karena adanya kondisi vakum pada suhu tinggi
ataupun karena adanya oksidasi pada suhu kamar. Polimerisasi gliserol tersebut

16

akan membentuk poligliserol yaitu unit-unit gliserol yang dihubungkan oleh
ikatan eter. Oleh sebab penelitian pemurnian gliserol yang dilakukan
menggunakan distilasi vakum pada tekanan 15 InHg selama 2 jam, maka diduga
pada suhu distilasi vakum 120-125°C sudah ada gliserol yang terpolimerisasi.

Warna Lovibond 5,25" Cell

Pengamatan Warna Gliserol
Warna gliserol disebabkan oleh bahan baku biodiesel yaitu minyak kelapa
sawit yang mengandung zat warna alami berupa α,β-karoten dan antosianin. Zat
warna tersebut menyebabkan minyak berwarna kuning dan kuning kecoklatan
(Ketaren 2008). Dari hasil pengamatan warna secara visual, terlihat bahwa sampel
gliserol ±80% yang digunakan untuk pemurnian (Gambar 5) warnanya lebih
jernih dibandingkan dengan sampel-sampel gliserol murni ±90% hasil perbaikan
proses pemurnian (Lampiran 2) yang berwarna lebih coklat. Meskipun demikian,
gliserol hasil pemurnian ini telah sesuai dengan standar EN ISO 9001:2009 bahwa
warna gliserol dengan kadar gliserol minimal 82% adalah coklat.
Nilai Lovibond (Yellow, Y dan Red, R) terhadap warna gliserol hasil
perbaikan proses pemurnian menggunakan distilasi vakum pada suhu 90-95°C
yaitu Y = 5,60 dan R = 43,00, sedangkan pada distilasi vakum suhu 120-125°C
yaitu Y = 6,85 dan R = 54,00, dan pada distilasi vakum suhu 145-150°C yaitu Y =
18,30 dan R = 72,50. Hasil pengukuran warna gliserol tersebut ditunjukkan pada
Gambar 7.
80,00

R = 72.50

70,00

R = 54.00

60,00
50,00

R = 43.00

40,00
30,00

Y = 18.30

20,00
10,00

Y = 5.60

Y = 6.85

0,00
90-95

120-125

145-150°C

Suhu distilasi vakum (°C)

Gambar 7 Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap warna gliserol murni hasil
perbaikan proses pemurnian
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam warna gliserol pada tingkat
kepercayaan 9η% dan α = 0,0η menunjukkan bahwa perlakuan suhu (90-95°C;
120-125°C; dan 145-150°C) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
warna gliserol murni yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap
warna merah gliserol menunjukkan hasil bahwa ketiga taraf suhu saling berbeda
nyata dengan yang lain. Sedangkan uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap
warna kuning gliserol menunjukkan hasil bahwa taraf suhu 90-95°C dan 120125°C tidak saling berbeda nyata, namun taraf suhu 145-150°C berbeda nyata
dengan yang lain (Lampiran 5). Perbedaan pengaruh tersebut menunjukkan bahwa

17

kondisi suhu distilasi vakum yang baik untuk mendapatkan gliserol dengan warna
lebih jernih adalah pada suhu 90-95°C dan 120-125°C.
Nilai Lovibond meningkat seiring dengan peningkatan suhu ditilasi vakum
(Gambar 7). Nilai Lovibond merah (R) dan kuning (Y) yang tinggi artinya gliserol
tersebut berwarna coklat sampai coklat gelap. Begitu pula hasil analisis warna
gliserol secara visual (Lampiran 4), menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
distilasi vakum maka warna gliserol semakin coklat. Hal ini disebabkan terjadinya
degradasi zat warna alami dan suhu pemanasan yang tinggi sehingga gliserol
mengalami kegosongan.
Pengujian Nilai pH
Pengujian nilai pH gliserol dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
keasaman gliserol tersebut. Dari hasil pengukuran nilai pH gliserol hasil perbaikan
proses pemurnian (Lampiran 4), diketahui bahwa semakin tinggi suhu distilasi
vakum maka nilai pH juga semakin tinggi. Hasil pengukuran nilai pH terhadap
gliserol hasil perbaikan proses pemurnian menggunakan distilasi vakum pada
suhu 90-95°C adalah 6,20, pada suhu 120-125°C adalah 6,29, dan pada suhu 145150°C adalah 6,39. Hasil pengukuran nilai pH gliserol tersebut ditunjukkan pada
Gambar 8.
6.39

6,45
6,40

6,29

Nilai pH

6,35
6,30

6,19

6,25
6,20
6,15
6,10
6,05
90-95

120-125

145-150

Suhu distilasi vakum (°C)

Gambar 8 Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap nilai pH gliserol murni hasil
perbaikan proses pemurnian
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam nilai pH gliserol pada tingkat
kepercayaan 95% dan α = 0,05 menunjukkan bahwa perlakuan suhu (90-95°C;
120-125°C; dan 145-150°C) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai
pH gliserol yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan yang dilakukan menunjukkan hasil
bahwa ketiga taraf suhu saling berbeda nyata dengan yang lain (Lampiran 5).
Perbedaan pengaruh tersebut menunjukkan bahwa kondisi suhu distilasi vakum
yang paling optimal untuk mendapatkan gliserol dengan pH mendekati netral
adalah pada suhu 145-150°C. Sebab suhu distilasi vakum yang lebih tinggi akan
menguapkan lebih banyak sisa asam fosfat dalam gliserol yang memiliki titik
didih 158°C pada tekanan normal atmosfer (1 atm).

18

Nilai pH gliserol yang dihasilkan termasuk baik berkisar antara 6,20 ±
0,0071 sampai 6,39 ± 0,0071 karena tidak terlalu asam dan tidak basa (mendekati
pH netral). Sehingga dapat lebih mudah diaplikasikan ke berbagai penggunaan
dan sesuai kebutuhan industri. Nilai pH tersebut juga sudah memenuhi standar
mutu gliserin untuk farmasi (kadar gliserol 99,99%) yakni 5,5-7,5.

Bilangan asam (mg KOH/g sampel)

Penentuan Bilangan Asam
Bilangan asam menunjukkan sisa asam lemak bebas yang masih terdapat
dalam gliserol yang berpengaruh terhadap kualitas gliserol. Menurut Djatmiko
dan Widjaja (1973), analisis bilangan asam dilakukan untuk mengetahui sisa asam
yang terkandung dalam campuran reaksi dan dipergunakan untuk mengetahui
tingkat kerusakan bahan yang disebabkan adanya proses hidrolisa. Dari hasil
pengukuran nilai bilangan asam (Lampiran 4), diketahui bahwa terjadi
peningkatan nilai bilangan asam gliserol seiring dengan peningkatan suhu distilasi
vakum yang digunakan.
Nilai bilangan asam dari gliserol hasil perbaikan proses pemurnian
menggunakan distilasi vakum pada suhu 90-95°C, 120-125°C, dan 145-150°C
secara berturut-turut yaitu 3,88 mg KOH/g sampel, 4,94 mg KOH/ g sampel, dan
5,41 mg KOH/g sampel. Hasil pengukuran bilangan asam gliserol tersebut
ditunjukkan pada Gambar 9.
6,00

5,41
4,94

5,00
4,00

3,88

3,00
2,00
1,00
0,00
90-95

120-125

145-150

Suhu distilasi vakum (°C)

Gambar 9 Pengaruh suhu distilasi vakum terhadap bilangan asam gliserol murni
hasil perbaikan proses pemurnian
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam bilangan asam gliserol pada tingkat
kepercayaan 95% dan α = 0,05 menunjukkan bahwa perlakuan suhu (90-95°C;
120-125°C; dan 145-150°C) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai
bilangan asam gliserol yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan yang dilakukan
menunjukkan hasil bahwa ketiga taraf suhu saling berbeda nyata dengan yang lain
(Lampiran 5). Perbedaan pengaruh tersebut menunjukkan bahwa kondisi suhu
distilasi vakum yang paling optimal untuk mendapatkan gliserol dengan sisa asam
lemak paling rendah adalah pada suhu 90-95°C.

19

Nilai bilangan asam terendah yaitu 3,88 mg KOH/g sampel didapat dari
kondisi distilasi vakum dengan suhu 90-95°C. Sedangkan nilai bilangan asam
tertinggi yaitu 5,41 mg KOH/g sampel didapat dari kondisi distilasi vakum
dengan suhu 145-150°C. Hal ini disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi gliserol
pada suhu semakin tinggi sehingga bilangan asam semakin naik. Reaksi oksidasi
tersebut terjadi saat penanganan dan penyimpanan gliserol setelah dilakukan
proses distilasi vakum. Gliserol murni yang bersuhu tinggi akan mengalami
kontak dengan udara sekitar setelah tekanan atmosfer kembali normal saat
distilasi vakum dihentikan.
Penentuan Kadar Air
Air merupakan bahan pengotor yang tidak diinginkan dalam gliserol karena
dapat menurunkan kualitas dan kemurnian gliserol. Adanya kandungan air
tersebut berasal dari reaksi hidrolisis maupun oksidasi gliserol saat proses
produksi maupun saat penyimpanan. Menurut Mohtar et al. (2001), kadar air
gliserol hasil pemurnian yang baik adalah sekitar 0,11-0,80%. Dari hasil
pengukuran kadar air (Lampiran 4), diketahui bahwa terjadi penurunan nilai kadar
air dari gliserol seir