Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur
TELAAH KONSERVASI PADA PENERAPAN TRI HITA KARANA
DALAM PENGEMBANGAN WISATA
GEOPARK KALDERA BATUR
I NENGAH DEDI SETIADI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Telaah Konservasi
pada Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera
Batur adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing akademik
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
I Nengah Dedi Setiadi
NIM E34100010
ABSTRAK
I NENGAH DEDI SETIADI. Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana
dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur. Dibimbing oleh E. K. S.
HARINI MUNTASIB dan ARZYANA SUNKAR
Geopark Kaldera Batur (GKB) merupakan kawasan yang ditetapkan oleh
UNESCO dengan tujuan konservasi, edukasi dan geowisata. Oleh karena GKB
berada di Bali yang masyarakatnya dominan beragama Hindu serta memiliki
filosofi hidup Tri Hita Karana (THK), perlu dilakukan telaah nilai-nilai konservasi
pada THK sebagai dasar pengembangan wisata GKB. Penelitian dilakukan
dengan wawancara mendalam, observasi lapang, analisis isi dan studi literatur
terkait penerapan THK di empat desa adat. Nilai konservasi yang terkandung
dalam filosofi THK lebih kepada hubungan manusia dengan lingkungannya
(palemahan). Masyarakat disekitar GKB menerapkannya dari aspek tata ruang,
tata waktu, dan pandangan terhadap sumberdaya. Konsep ruang menjadi dasar
dalam menentukan zonasi kawasan GKB yaitu zona inti pada utama mandala,
zona penyangga pada madya mandala dan zona transisi pada nista mandala.
Pengembangan wisata diarahkan lebih intensif pemanfaatannya pada bagian yang
memiliki nilai kesakralan yang kurang (profan) yaitu pada bagian nista mandala,
sedangkan untuk kawasan yang memiliki nilai kesakralan tinggi (utama mandala)
diarahkan pengembangan wisata terbatas.
Kata kunci: Geopark Kaldera Batur, konservasi, Tri Hita Karana, wisata.
ABSTRACT
I NENGAH DEDI SETIADI. Conservation Values in the Implementation of Tri
Hita Karana for The Development of Batur Caldera Geopark Tourism. Supervised
by E K.S. HARINI MUNTASIB and ARZYANA SUNKAR
Batur Caldera Geopark (BCG) is an area appointed by UNESCO for
conservation, education, and geotourism. Since BCG is located in Bali where the
majority of the people are Hindus following the life philosophy of Tri Hita Karana
(THK), therefore it is necessary to study the conservation values of THK as the
basis of tourism development in BCG. Data were collected through in depth
interview, direct observations, content analysis and literature study related to the
application of THK in four villages. The conservation values underlying the
philosophy of THK were comprised of the relationship of human with nature
(palemahan), indicated by its implementation from the perspectives of space, time
and views of the natural resources. The concept of space is the basis in
determining the zoning of BCG where the core zone in the area called is utama
mandala, the buffer zone is the madya mandala and the transition zone is the nista
mandala. The more intensified tourism development area were directed for area
with low sacredness values or the nista mandala.
Key words: Batur Caldera Geopark, conservation, tourism, Tri Hita Karana.
TELAAH KONSERVASI PADA PENERAPAN TRI HITA KARANA
DALAM PENGEMBANGAN WISATA
GEOPARK KALDERA BATUR
I NENGAH DEDI SETIADI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana dalam
Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur
Nama
: I Nengah Dedi Setiadi
NIM
: E34100010
Disetujui oleh
Prof Dr E.K.S. Harini Muntasib, MS
Pembimbing I
Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Atas asungkertha waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga
penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “Telaah Konservasi pada
Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera
Batur”.
Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada seluruh pihak
yang telah banyak membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Prof Dr E.K.S Harini Muntasib, MS dan Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc selaku dosen
pembimbing yang selalu sabar dan memberikan saran, arahan dan bimbingan
selama penelitian serta penyusunan. Keluarga tercinta yang selalu setiap saat
memberikan doa, dukungan dan kasih sayang. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Badan Dharma Dana Nasional yang telah membantu biaya
selama pelaksanaan kuliah di IPB. Kepada Ni Kadek Willi Rusiana Putri, sahabatsahabat VDV, KMHD dan Nepenthes raflesia 47 yang tidak bisa disebutkan satu
persatu yang selalu memberikan semangat serta berbagi suka dan duka selama
menuntut ilmu di IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
I Nengah Dedi Setiadi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR ISTILAH
viii
PENDAHULUAN
1
Latar belakang
1
Tujuan
1
Manfaat
2
METODE
2
Waktu dan Lokasi Penelitian
2
Alat Penelitian
2
Jenis dan Metode Pengambilan Data
2
Teknik Penentuan Informan
3
Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Filosofi Tri Hita Karana
4
4
Penerapan Tri Hita Karana dalam Kehidupan Masyarakat
di kawasan Geopark Kaldera Batur
4
Nilai Konservasi yang Terdapat dalam Penerapan Tri Hita Karana
terhadap Geopark Kaldera Batur
13
Arah Pengembangan Wisata di GKB berbasiskan THK
18
SIMPULAN DAN SARAN
19
Simpulan
19
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
19
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Informan di setiap desa di sekitar GKB
Awig-awig Desa Adat Kedisan terkait dengan pelestarian alam
Bentuk dan aktivitas masyarakat terkait dengan konservasi
di keempat lokasi penelitian
Konsep peringkelan yang masyarakat terapkan dalam kehidupan
3
6
13
16
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Bukit Sampeanwani dalam kawasan GKB
Bentuk konservasi terhadap tumbuhan dan sumber mata air
Aktivitas perlindungan terhadap pohon
Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur oleh masyarakat sekitar
Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur sebagai tambak ikan
(mina sari)
Pemanfaatan satwa dimasing-masing desa adat
Konsepsi keruangan di GKB berdasarkan THK
Zonasi cagar biosfer
Pengelolaan berkelanjutan berdasarkan konsep THK dalam
kehidupan masyarakat di sekitar GKB
8
9
10
11
12
12
15
16
18
DAFTAR ISTILAH
Istilah
Awig-Awig
Bali Aga
Bali Majapahit
Desa Adat
Dewasa Ayu
Duwe Tenget
Duwengan Sareng
Hulu Ampad
Ida Bhatari
Mapacingak
Ida Bhatari
Mapaingkupan
Ida Bhatari
Mapasanjan
Ida Bhatari
Mapatirtaan
Ida Bhatari Mapatoyan
Ingkel
Kaje
Kelod
Lingga
Arti
Peraturan tertulis bagi sebuah desa adat di Bali yang
bersumber dari ajaran agama Hindu dan tradisi, yang
berisikan ketentuan-ketentuan tentang harmonisasi
hubungan manusia dengan Pencipta, manusia dengan
manusia dan manusia dengan lingkungannya.
Kelompok masyarakat Bali yang telah ada sejak
sebelum pengaruh kerajaan Hindu Jawa sampai ke Bali.
Kelompok masyarakat bali yang telah terpengaruh
kerajaan Hindu Jawa.
Sering juga disebut desa pekraman adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di Bali, yang mengurusi
masalah-masalah agama, adat dan budaya.
Hari baik untuk melakukan kegiatan, mulai dari
menenam, memanen, menangkap, menangkarkan, dll.
Menyakralkan sumberdaya (hayati dan non hayati)
sebagai penjelmaan Tuhan maupun sebagai sesuatu
yang memiliki kekuatan gaib.
Merupakan prinsip milik bersama.
Sistem penentuan status kedudukan seseorang.
Masyarakat panca abian (Yeh Mampeh, Melilit, Batu
Kembang, Sapura, Batur) wajib menghaturkan hasil
pertaniannya sebagai ucapan syukur atas anugrah yang
telah dilimpahkan-Nya.
masyarakat harus mengingat sejarah asal usul dan
tempat berstananya Dewa-Dewa yang ada di sekitar
Gunung Batur serta hubungannya dengan Dewa-Dewa
yang berstana diluar Gunung Batur seperti Pura Besakih
dan Pura Kehen.
masyarakat sekitar GKB wajib menjaga lingkungan
dengan memuliakan alam, keindahan Gunung Batur dan
sekitarnya.
masyarakat wajib menjaga 11 sumber mata air (tirtha)
yang ada disekitar Gunung Batur.
masyarakat harus ingat upacara (wali-walian) di pura
yang berada disetiap penjuru mata angin (pura
pangider) Gunung Batur yang mencangkup 11 Pura.
Pantangan untuk melakukan aktivitas pada waktu-waktu
tertentu.
Pola religius yang mengarah ke gunung (tempat yang
ditinggikan).
Pola religius yang mengarah pada danau (tempat yang
lebih rendah).
Simbol laki-laki (gunung).
Istilah
Madya Mandala
Mendak Toya
Mina Sari
Nista Mandala
Pakelem
Palemahan
Parahyangan
Pawongan
Purana
Rwa Bhineda
Subak Abian
Subak Uma
Tri Mandala
Tri Hita Karana
Tumpek
Utama Mandala
Wana Kerti
Yadnya
Yoni
Arti
Bagian dari Tri Mandala yang memiliki nilai kesakralan
sedang.
Merupakan upacara untuk memohon kehadiran sumber
mata air.
Kelompok yang memanfaatkan danau sebagi tambak
ikan.
Bagian dari Tri Mandala yang bersifat profan
Upacara yang dipersembahkan kepada Dewi Danu
selaku dewi kesuburan.
Bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia
dengan alam.
Bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia
dengan Tuhan.
Bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia
dengan manusia.
Bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat tentang
mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu.
Merupakan dualisme yang bertolak belakang seperti
baik dengan buruk.
Merupakan sistem pertanian pada lahan kering (ladang).
Merupakan sistem pertanian pada lahan basah (sawah).
Merupakan tiga pembagian waktu berdasarkan tingkat
kesuciannya.
merupakan tiga hubungan yang harmonis antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan
manusia dengan alam.
Mendekatkan diri pada Maha Pencipta dengan
menyukuri segala ciptaan-Nya.
Bagian dari Tri Mandala merupakan ruang yang
disucikan dan memiliki nilai kesakralan.
Upacara pelestarian hutan.
Korban suci yang dipersembahkan secara tulus ikhlas.
Simbol perempuan (danau).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Geopark Kaldera Batur (GKB) merupakan geopark pertama yang ditetapkan
di Indonesia sebagai anggota Global Geopark Network UNESCO (GGNUNESCO). Geopark merupakan suatu konsep manajemen pengembangan
kawasan secara berkelanjutan yang mengintegrasikan tiga keragaman yaitu
keragaman geologi (geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan
keragaman budaya (cultural diversity) yang bertujuan untuk pembangunan serta
pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis pada asas konservasi terhadap ketiga
keragaman tersebut (Azman et al. 2010). Geopark Kaldera Batur (GKB) memiliki
keragaman geologi mencangkup 28 geosite, 20 geoevidence, dan 15 geofeture.
Keragaman biologinya meliputi flora dan fauna yang dikelola dalam Taman
Wisata Alam Penelokan dan Taman Wisata Alam Bukit Payang Gunung Batur
serta kawasan hutan disekitarnya, sedangkan keragaman budaya yaitu proses
pemakaman yang tidak dikubur oleh masyarakat di Desa Adat Trunyan
(Kemenparekraf 2011).
Masyarakat sekitar GKB sebagian besar menganut Agama Hindu dan
menerapkan ajarannya dalam filosofi hidup Tri Hita Karana (THK). Tri Hita
Karana (THK) merupakan tiga hubungan harmonis yang menyebabkan
kebahagiaan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan
manusia dengan alam. Penerapan THK di Bali disampaikan dalam aturan adat
(awig-awig)¸ perencanaan tata ruang wilayah Provinsi Bali (Perda No. 16 Tahun
2009) maupun dalam ajang penganugrahan THK awards dikalangan perhotelan
yang bertujuan untuk memasyarakatkan THK. Mengingat kehidupan yang
berkembang secara dinamis, memasyarakatkan THK dapat memberikan
kebahagiaan dan kesejahteraan secara lahir dan bathin. Hal ini terbukti ketika
terjadi bom Bali I dan bom Bali II, Bali mampu bangkit dalam waktu yang
singkat. Berdasarkan data tahunan BTDC (2010) diperlukan waktu selama
delapan bulan untuk pemulihan pariwisata akibat tragedi bom Bali.
Pengembangan wisata akan menimbulkan masalah apabila kaidah
masyarakat tidak dijadikan dasar dalam pengembangannya, untuk itu kaidahkaidah yang ada dalam masyarakat perlu diterapkan didalam pengembangan
geopark. Sehingga telaah nilai-nilai konservasi dalam THK perlu dikaji sebagai
dasar pengembangan wisata GKB.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan telaah nilai konservasi pada
penerapan Tri Hita Karana dalam pengembangan wisata Geopark Kaldera Batur,
yang meliputi:
a.
Kajian terhadap aspek-aspek konservasi yang terkandung di dalam Tri Hita
Karana
b.
Kajian terhadap arah pengembangan wisata Geopark Kaldera Batur
berdasarkan nilai konservasi yang terkandung di dalam Tri Hita Karana
2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa data maupun
informasi kepada pengelola di dalam pengembangan wisata GKB yang
berbasiskan Tri Hita Karana. Budaya masyarakat di GKB terkait pemanfaatan
ruang dan waktu bisa digunakan sebagai dasar dalam penentuan zonasi kawasan
GKB sehingga masyarakat dengan penuh kesadaran ikut melakukan upaya
konservasi GKB berdasarkan nilai-nilai keyakinan masyarakat.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2014 di kawasan
Geopark Kaldera Batur (GKB) yaitu Desa Adat Batur, Desa Adat Songan, Desa
Adat Trunyan dan Desa Adat Kedisan. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan
jumlah situs geologi yang ditemukan dan budaya masyarakat Bali dalam
menerapkan THK yang terdiri dari masyarakat Bali Aga (Bali mula) dan
masyarakat Bali Majapahit. Situs yang ditemukan di Desa Adat Batur adalah
sebanyak 15 situs, di Desa Adat Songan sebanyak 4 situs, serta di Desa Adat
Kedisan dan Trunyan terdapat 1 situs (Kemenparekraf 2011). Sementara itu, dari
segi masyarakat, keempat lokasi penelitian menganut budaya Bali Mula (Bali
Aga) tetapi Desa Adat Batur menganut kedua budaya tersebut yaitu Bali Mula dan
Bali Majapahit. Menurut Goris (1926) dalam Hudnyana (2002) desa Bali Mula
(Bali Aga) merupakan desa-desa tua yang telah ada sebelum pengaruh kerajaan
Hindu Jawa masuk ke Bali yang biasanya ada di daerah pegunungan seperti
Gunung Batur dan sekitarnya.
Alat dan Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perekam suara, kamera,
dan laptop, sedangkan instrumen penelitian yaitu panduan wawancara.
Jenis dan Metode Pengambilan Data
Data yang dikumpulkan meliputi data utama dan data penunjang. Data
utama merupakan data pokok yang berkaitan dengan nilai konservasi dalam THK
yang diperoleh dari masyarakat di keempat lokasi penelitian melalui wawancara
mendalam serta studi literatur yang terkait. Sedangkan data penunjang merupakan
data pendukung data utama yang diperoleh melalui studi literatur, maupun aturanaturan yang terkait. Pengambilan data dilakukan dengan cara:
3
Wawancara
Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur yaitu informan diberikan
kesempatan untuk menjawab pertanyaan secara terbuka terkait dengan penerapan
THK dalam kehidupan masyarakat sekitar GKB.
Observasi Lapang
Observasi dilakukan secara non partisipan yaitu dengan melihat penerapan
nilai THK dalam kehidupan masyarakat, seperti pola pemanfaatan ruang dan
waktu oleh masyarakat disekitar GKB.
Analisis Isi (Content Analysis)
Analisis isi (content analysis) dilakukan terhadap aturan adat (awig-awig)
maupun ajaran kepercayaan masyarakat yang terkait dengan konservasi pada
kitab Purana Hulundanu Batur dan awig-awig desa adat.
Studi Literatur
Studi literatur dilakukan untuk menunjang data primer dengan mempelajari
dan menelaah laporan, penelitian, dan sumber lainnya yang terkait dengan
penelitian.
Teknik Penentuan Informan
Masyarakat Bali percaya terhadap pemimpinnya sehingga penentuan
informan dapat ditentukan secara langsung dari kalangan pendeta maupun
pemimpin adat (Tabel 1). Penentuan informan terkait dengan informasi terhadap
nilai THK dimasing-masing desa adat serta penerapannya.
Tabel 1 Informan di setiap desa di sekitar GKB
Informan
Pendeta
Kelihan Adat
Bendesa Adat
Kepala Desa
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Bangli
Metode Pengambilan Data
Wawancara mendalam
Wawancara mendalam
Wawancara mendalam
Wawancara mendalam
Wawancara mendalam
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif terkait penerapan THK
dalam kehidupan masyarakat sekitar GKB. Nilai konservasi pada THK kemudian
dijadikan dasar dalam menentukan arah pengembangan wisata GKB. Analisis
deskriptif kualitatif disajikan dalam bentuk tabulasi maupun gambar mengenai
nilai konservasi yang terkandung dalam THK dan dibandingkan dengan literatur
yang mendukung.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Filosofi Tri Hita Karana
Tri Hita Karana (THK) merupakan penerapan isi dari ajaran Kitab Suci
Weda yang telah ada sejak tahun 1969 (Peters dan Wisnu 2013). Filosofi ini
menggambarkan tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan
(parahyangan), manusia dengan manusia (pawongan) dan manusia dengan alam
(palemahan). Parahyangan merupakan kewajiban setiap manusia untuk
mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta (aspek budaya), pawongan
merupakan sebuah pengakuan yang tulus dari manusia itu sendiri, bahwa manusia
tidak dapat hidup menyendiri (aspek sosial), sedangkan palemahan adalah bentuk
kesadaran manusia bahwa manusia hidup dan berkembang di alam, dan
merupakan bagian dari alam itu sendiri (aspek ekologi) (Utama dan Nanniek
2011; Harmini 2009). Ketiga aspek dalam THK merupakan prinsip utama dalam
keberhasilan kegiatan wisata yang memiliki unsur-unsur ekologi, sosial budaya
dan ekonomi.
Terkait dengan kelestarian sumberdaya alam, Kitab Bhagavad Gita IV.31
menyebutkan “ nayam loka ‘sty ayajnasya” yang berarti bahwa sumberdaya alam
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dilestarikan atas dasar
ketulus ikhlasan (yadnya). Yadnya merupakan dasar dalam pelaksanaan kegiatan
bagi masyarakat Hindu Bali yang diimplementasikan kedalam filosofi (tattwa),
etika (susila) dan ritual (upacara). Terdapat sarana kegiatan upacara yang
digunakan dalam yadnya yaitu buah, bunga, daun dan air seperti yang tersurat
dalam Bhagawad Gita IX.26 “patram puspam phalam toyam yo me bhaktya
prayacchati tat aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah” (siapapun yang
dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum
bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan
dari orang yang berhati suci). Keempat sarana tersebut harus ada disetiap upacara
keagamaan. Jika dicermati, hal ini mengandung makna pemanfaatan yang
berkelanjutan terhadap sumberdaya alam hayati dan non hayati.
Penerapan Tri Hita Karana dalam Kehidupan Masyarakat di Kawasan
Geopark Kaldera Batur
Kawasan GKB mencakup daerah yang berada di sekitar Gunung Batur yang
terdiri atas: 15 desa dinas, hutan lindung, Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan,
serta TWA Bukit Payang dan Gunung Batur (TWA BPGB). Hasil penelitian
menunjukkan terdapat perbedaan dasar acuan penerapan THK, dimana Desa Adat
Batur dan Songan menggunakan acuan dari ajaran Purana Hulundanu Batur,
Desa Adat Kedisan menggunakan aturan adat Desa Pekraman Kedisan (awigawig) yang disusun dari ajaran Purana Batur, dan Desa Adat Trunyan
menggunakan ajaran leluhur yang secara turun temurun tetap diwariskan melalui
sistem Hulu ampad.
Penerapan THK di Desa Adat Batur dan Desa Adat Songan yang mengacu
pada ajaran Purana Hulundanu Batur menyebutkan terdapat sebanyak lima lingga
5
yang mengitari Gunung (Manca krama ngiderin Gunung Batur) yang sangat erat
kaitannya dengan pelestarian alam:
1.
Pelestarian terhadap sejarah kawasan: masyarakat harus mengingat sejarah
asal usul dan tempat berstananya Dewa-Dewa yang ada di sekitar Gunung
Batur serta hubungannya dengan Dewa-Dewa yang berstana diluar Gunung
Batur seperti Pura Besakih dan Pura Kehen. Nilai yang disampaikan yaitu
tetap menjaga GKB karena kawasan GKB merupakan kawasan suci (Ida
bhatari mapaingkupan).
2.
Pelestarian lingkungan: masyarakat sekitar GKB wajib menjaga lingkungan
dengan memuliakan alam, keindahan Gunung Batur dan sekitarnya (Ida
bhatari mapasanjan).
3.
Pelestarian budaya: masyarakat harus ingat upacara (wali-walian) di pura
yang berada disetiap penjuru mata angin (pura pangider) Gunung Batur
yang mencangkup 11 Pura yaitu: Pura Sampian Wani, Pura Padang Sila,
Pura Pelisan, Pura Jati, Pura Pasar Agung, Pura Toya Mas Bungkah, Pura
Taman Sari, Pura Pura Toya Mas Mampeh, Pura Batu Rupi (Batu Sepit),
Pura Jaba Kuta dan Pura Guna Lali/Kodo (Ida bhatari mapatoyan).
4.
Perlindungan sumber mata air: masyarakat wajib menjaga 11 sumber mata
air (tirtha) yang ada disekitar Gunung Batur yang meliputi Tirtha Telaga
Waja, Tirtha Danu Kuning, Tirtha Danu Gadang, Tirtha Bantang Anyud,
Tirtha Pelisa, Tirtha Mengening, Tirtha Pura Jati, Tirtha Rejeng Anyar,
Tirtha Toya Mas Bungkah, Tirtha Toya Mas Mampeh, Tirtha Sampian
Wani-Alas Pingitan (Ida bhatari mapatirtaan).
5.
Perlindungan sumberdaya alam yaitu mempersembahkan hasil pertanian
dalam bentuk upacara oleh masyarakat panca abian (Yeh Mampeh, Melilit,
Batu Kembang, Sapura, Batur) (Ida bhatari mapacingak).
Berbeda dengan Desa Adat Batur dan Desa Adat Songan, Desa Adat
Kedisan berada di lereng TWA Penelokan yang masyarakatnya memiliki
kesadaran akan pentingnya hutan. Masyarakat Desa Adat Kedisan sangat
menyucikan hutan, disamping itu hutan mampu mencegah tanah longsor serta
meluapnya Danau Batur. Masyarakat yang dulunya membakar hutan untuk lahan
perkebunan sekarang turut membantu dalam mengatasi kebakaran hutan di TWA
Penelokan pada musim kemarau melalui organisasi Masyarakat Peduli Api
(MPA). Bahkan, sudah diatur dalam aturan adat (awig-awig) Desa Adat Kedisan
yang mengatur pembakaran hutan, penggeseran pal batas, penebangan pohon,
penambangan batu dan pasir, pelepasan hewan ternak kedalam kawasan hutan dan
pembuangan limbah (Tabel 2). Bagi masyarakat yang melanggar aturan tersebut
dikenakan sanksi baik secara formal dari pemerintah serta sanksi sosial dari desa
adat.
9
Tabel 2. Awig-awig Desa Adat Kedisan terkait dengan pelestarian alam
Pasal
(pawos)
7
28
33
Isi awig-awig
Ayat 1 menyebutkan tentang pembakaran hutan “yening wenten salah sinunggil
jatma sane nunjelin wana patut digelis kesadokang ring sang mawang rat, yening
wenten silih sinunggil krama desa nunjelin wana patut keni pamidanda manut
pararem Desa Adat Pakraman Kedisan”.
Ayat 3 terkait menebang pohon
“yening wenten salah sinunggil jatma sane ngebah taru sing tengahin wana patut
kesadokang ring sang mawang rat, yening wenten silih sinunggil krama desa sane
ngebah taru sekama-kama ring perlindungan jurang (tukad) dalam 100 meter
saking sisih tukad krama punika keni pamidanda manut parerem”.
Ayat 4 terkait dengan penambangan batu dan pasir “yening wenten salah sinunggil
jatma sane ngerereh batu wiadin bias keanggen dagangan jatma punika patut
kesadokang ring sang mawang rat, yening wenten silih sinunggil krama desa sane
ngerereh batu wiadin bias ring tukad utawi jurang keanggen daganagan patut keni
pamidanda manut pararem Desa Adat Pakraman Kedisan”.
Ayat 5 terkait dengan pelepasan hewan ternak kedalam hutan “yening wenten
salah sinunggil jatma sane ngelebang wewalungan luirnyane: banteng, bawi, utawi
kambing krama punika digelis kesadokang ring sang mawang rat, yening wenten
silih sinunggil krama desa sane ngelebang wewalungan luirnyane: banteng, bawi,
utawi kambing maka sami punika dados keambil olih krama desa nglantur krama
punika jaga kasukserahang ring sang ngawenangang”.
Ayat 1. B terkait dengan aturan pembangunan “Ngutsahayang ngangge gagulak
asta bumi miwah asta kosala-kosali sanistane manut ring patistis niskala”.
Ayat 1 “sehanan warga desa tan kepatut nyemuh, ngutang luhu, mebacin ring
margi, ring danu, ring genah sane tan kepatutan duaning prasida ngicalang
pasukrtaan desa pekraman”.
Ayat 3 “Telajakan karang, merajan, patut kepiara nyabran rahina tur ketandurin
sarwa sari”.
Ayat 4“Sehanan warga desa pekraman kepatutan madruwe genah mebacin (WC)”
Sumber: Awig-awig Desa Adat Kedisan
Artinya
Jika ada salah seorang warga yang membakar hutan akan dilaporkan
kepihak yang berwajib dan dikenakan sanksi sesuai kesepakatan Desa
Adat Kedisan.
Jika ada salah seorang warga yang menebang kayu dari dalam hutan
akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib, apabila ada warga yang
menebang kayu pada daerah yang dilindungi yaitu minimal 100 meter
dari sungai akan dikenakan sanksi berdasakan kesepakatan desa.
Jika ada warga yang menambang pasir dan batu untuk diperdagangkan
dilaporkan pada pihak yang berwajib dan jika ada warga yang
menambang batu tepi sungai dan jurang akan dikenakan sanksi sesuai
kesepakatan desa.
Jika ada warga yang melepaskan ternaknya seperti: sapi, babi dan
kambing akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib, jika ada salah
seorang warga yang melespaskan semua binatang yang disebutkan
tersebut bisa diambil oleh warga lain untuk dipelihara.
Diusahakan dalam membangun minimal menggunakan aturan dari
konsep asta bumi dan asta kosala-kosali sesuai dengan dunia gaib
(niskala).
Setiap warga tidak dibenarkan untuk menjemur, membuang sampah,
membuang limbah di jalan, di danau, karena akan menyebabkan
kerusakan pada alam.
Halaman pekarangan, tempat suci wajib dipelihara dengan menanami
bunga.
Setiap warga diharuskan memiliki tempat pembuangan limbah atau WC.
7
Berdasarkan keempat lokasi penelitian, Desa Trunyan memiliki tradisi unik
yaitu pemakaman mayat yang tidak dikubur yang diletakan dibawah pohon
kemenyan. Penerapan nilai THK dari ajaran leluhur diteruskan dengan sistem
hulu ampad. Desa Adat Trunyan termasuk kedalam warisan budaya (cultural
heritage) karena masyarakat Trunyan adalah masyarakat Bali asli (Bali Aga).
Menurut ahli antropologi Margaret Mead (1930) dalam (Kurnia dan Oman 2012)
kata “aga” berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti “gunung” sehingga
kehidupan masyarakat Bali Aga memiliki peranan penting terhadap pelestarian
Gunung Batur.
Hubungan Manusia dengan Pencipta
Masyarakat sekitar GKB menganggap sumberdaya disekitarnya adalah
sebagai sesuatu yang disakralkan dan disucikan. Sumberdaya adalah duwe tenget
yaitu penjelmaan Tuhan ataupun yang memiliki kekuatan magis dan berasal dari
dunia yang berbeda (niskala). Pandangan duwe tenget dilakukan terhadap gunung
dan bukit (tanah, batuan dan api), sumber air, serta satwa dan tumbuhan.
Tanah, Batuan dan Api
Kawasan GKB selain memiliki keanekargaman hayati juga memiliki
keanekargaman non hayati, salah satunya geologi. Kawasan GKB secara geologi
tidak dapat dipisahkan dari sejarah geologi Pulau Bali, yang memiliki umur antara
20 juta sampai 60 juta tahun yang lalu (miosen), serta beberapa lava yang unik
seperti lava tube, bukit dalam kaldera, dll (Sutawidjaja et al. 2012).
Hasil penelitian mendapatkan bahwa, bagi masyarakat gunung dan bukit
dipercaya sebagai tempat beristananya para dewa dan dewi. Pemimpin adat
(Kelihan adat) Batur I Wayan Sukadia menjelaskan isi Raja purana Batur yang
menyatakan bahwa Gunung Batur sebagai lambang laki-laki (lingga) dan Danau
Batur sebagai lambang perempuan (yoni). Masyarakat percaya bahwa Gunung dan
Danau Batur adalah lambang kesuburan. Dua hal yang bertolak belakang antara
laki-laki (lingga) dan perempuan (yoni) dikenal dengan rwa bhineda, dalam
konsep ini sekaligus menjadikan patokan arah dimana gunung (tempat yang
ditinggikan) dianggap sebagai arah utara (kaje) dan danau (daerah lebih rendah)
dianggap sebagai selatan (kelod) (Petters and Wisnu 2013). Boehmer and Travor
(1995) menyatakan utara (kaje) merupakan arah gunung, sakral, suci, dan tempat
peristirahatan leluhur, sedangkan selatan (kelod) mewakili laut dan
ketidaktentraman. Pandangan terhadap konsep rwa bhineda menjadikan Gunung
dan Danau Batur sebagai patokan (pancer) dalam kawasan GKB yang memiliki
peranan penting dalam kehidupan masyarakat disekitar GKB dan Bali pada
umumnya.
Bukit Sampeanwani merupakan salah satu bukit yang disucikan dan
dikeramatkan oleh masyarakat sekitar GKB (Gambar 1). Menurut Kemenparekraf
(2011), Bukit Sampeanwani merupakan salah satu kerucut silinder yang terbentuk
bersamaan dengan kerucut Gunung Batur. Bukit ini selalu terhindar dari terjangan
lelehan lava dari erupsi Gunung Batur. Kejadian-kejadian alam seperti itu
meningkatkan nilai kesakralan terhadap gunung, sehingga secara tidak langsung
menghindari kawasan GKB dari kegiatan penambangan pasir dan batu.
8
Bukit
sampeanwani
Gambar 1 Bukit Sampeanwani dalam kawasan GKB (Disbudpar Bangli 2011)
Sumber Mata Air
Danau Batur merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitar
kawasan GKB pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya sebagai
sumber pengairan subak. UNESCO (2010) menyatakan subak merupakan salah
satu warisan budaya dunia yang patut dilestarikan. Danau Batur terletak di dataran
tinggi sehingga mampu mengairi daerah-daerah yang ada didataran rendah di
sekitarnya. Walaupun belum ada penelitian mengenai asal-usul air yang
digunakan dalam irigasi subak di Bali, tetapi masyarakat yakin sumber air berasal
dari Danau Batur. Sebagai bentuk ungkapan terima kasih masyarakat Bali, di
daerah-daerah yang memiliki subak dilaksanakan upacara di Pura Ulun Subak
masing-masing sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada Dewi Kesuburan
(Dewi Danuh) pada bulan Purnama Kedasa (kesepuluh).
Terdapat sebanyak 11 sumber mata air yang masyarakat sucikan (tirtha)
disekitar Danau Batur melalui berbagai macam upacara seperti memohon air
(mendak toya), menjaga hutan disekitar Danau Batur dengan mendirikan Pura
Alas Pingitan (mengkramatkan hutan) melalui upacara wana kerti, serta upacara
pakelem yang ditujukan kepada Dewi Danuh sebagai Dewi Kesuburan berupa
menenggelamkan sesajen (banten) di Danau Batur. Sesajen yang disembahkan
dalam pekelem seperti kerbau, sapi, babi, kambing, bebek, dan ayam serta hasil
bumi lainnya. Jero Gede Batur Alitan (pendeta Desa Adat Batur) menyampaikan
“Selain untuk memohon keselamatan manusia dan alam semesta, upacara ini juga
untuk mengingatkan manusia agar senantiasa menghormati dan menjaga
kelestarian alam sekitar”.
Kegiatan yang masyarakat terapkan di GKB hampir sama dengan
konservasi dunia barat yang menggunakan pengetahuan ekologi tradisional untuk
menciptakan praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan
sistem dan kepercayaan mereka. Salah satunya Suku Indian Tukano, Suku Indian
Tukano yang menggantungkan hidup dari hutan dan ikan sungai. Masyarakat
Suku Tukano memiliki panduan keagamaan dan budaya yang kuat yang melarang
masyarakatnya menebang pohon sepanjang hulu sungai Rio Negro, karena hulu
tersebut penting dalam melindungi populasi ikan. Masyarakat Tukano percaya
kalau hutan adalah milik ikan, dan mereka tidak boleh menebangya (Chernella
1987; Reichel 1996) dalam (Indrawan et al. 2007).
Satwa dan Tumbuhan
Masyarakat lokal diseluruh dunia memiliki kearifan lokal yang berbeda
dalam melindungi sumberdayanya. Bentuk perlindungan terhadap sumberdaya
9
yang dilakukan oleh masyarakat lokal seperti melindungi hutan (communal forest)
dan melindungi lokasi keramat (sacred groves) dari penebangan komerial
(Indrawan et al. 2007). Salah satu bentuk perlindungan yang dilaksanakan oleh
masyarakat sekitar GKB dengan menyakralkan (duwe tenget) tumbuhan dan
satwa pada tempat dan lokasi tertentu seperti kuburan dan pura (Gambar 2).
Tumbuhan yang dianggap duwe tenget seperti pohon pulai (Alstonia scholaris),
beringin (Ficus benjamina), kemenyan serta kamboja, dipercaya memiliki
kekuatan gaib (tenget) sehingga masyarakat memberikan tanda dengan kain hitam
putih (poleng) maupun putih kuning (Gambar 2b), sedangkan satwa yang
dianggap sebagai duwe (tenget) yaitu segala jenis satwa yang yang berada
disekitar kawasan yang disucikan, seperti ular, burung, dll. Pohon diberikan kain
dan didoakan oleh para pendeta sebagai bentuk perlindungan terhadap pohon
(Indrawan 2007).
(a)
(b)
Gambar 2 Bentuk konservasi terhadap tumbuhan dan sumber mata air (a) Pura
Beji Hulun Danu Batur, (b) pohon Beringin di Desa Kedisan
Masyarakat sekitar GKB tidak berani membunuh satwa yang dianggap duwe
tenget secara sembarangan karena dipercaya dapat mengakibatkan hal-hal yang
tidak diinginkan. Boehmer dan Travor (1992) menyatakan bahwa masyarakat adat
di Bali menyakralkan (tenget) satwa karena dianggap anugrah Tuhan (gift from
god), seperti di Goa Lawah (kelelawar), Goa Gajah, dan Sangeh (monkey forest).
Selain itu terdapat upacara yang diselenggarakan untuk kelestarian tumbuhan
yaitu tumpek wariga dan untuk satwa yaitu tumpek kandang. Contoh lain
disampaikan oleh Berreman (1985) di Chipko India, wanita berperan sangat
penting dalam perlindungan alam. Kayu yang digunakan sebagai bahan bakar
berakibat pada eksploitasi secara besar-besaran, sehingga para wanita dan anakanak melakukan aksi perlawanan “to embrace” atau “to hug” yaitu dengan
memeluk pohon (Gambar 3b). Di Indonesia sistem kepercayaan serupa
dilaksanakan oleh Suku Baduy, Dayak Kenyah, Masyarakat Ngata Lore Lindu,
sedangkan di Papua terdapat tidak kurang dari 250 kelompok etnik yang
membangun hidup harmonis dengan alam (Soedjito 2006). Claus et al. (2010)
menyatakan bahwa masyarakat lokal seringkali menerapkan pengetahuan ekologi
tradisional untuk menciptakan praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang
berhubungan dengan sistem nilai masyarakat setempat. Walaupun antar daerah
memiliki budaya yang berbeda dalam memandang alam, tetapi semua itu
memiliki arah dan tujuan yang sama terhadap pelestarian dan konservasi
sumberdaya alam itu sendiri (Byers et al. 2001).
10
(a)
(b)
Gambar 3 Aktivitas perlindungan terhadap pohon. a) para pendeta di Thailand
berdoa terhadap pohon. b) aksi konservasi kaum wanita di Chipko
(sumber: Indrawan et al. 2007)
Hubungan Manusia dengan Manusia
Hubungan manusia dengan manusia (pawongan) merupakan elemen yang
mengatur bagaimana manusia bisa berfikir secara arif dan bijaksana didalam
memanfaatkan sumberdaya. Pawongan terjalin dalam suatu sistem yang dikenal
dengan desa adat, menurut Peraturan Daerah Provinsi No 3 Tahun 2001 bahwa
desa adat yang merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai
oleh ajaran agama hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Bali sangat besar
peranannya dalam bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu diayomi,
dilestarikan dan diberdayakan. Sebagai masyarakat desa adat terdapat aturan yang
mengikat untuk saling menghormati dengan yang lain serta memandang antar
sesama adalah sama (tat wam asi).
Pengelolaan potensi sumberdaya oleh masyarakat adat dilaksanakan dengan
rapat adat (paruman) atas dasar paras poros dan para aparo, serta prinsip
kebersamaan (duwenang sareng-sareng). Kawasan GKB merupakan kawasan
milik bersama. Keeksistensian dalam upaya menjaga identitas adat dilaksanakan
dengan kebersamaan oleh seluruh masyarakat desa sesuai dengan kedudukan
(linggih), etika peran (sesana), kewajiban (swadharma) dan hak (swadikarta)
dengan penuh kesadaran.
Masyarakat disekitar GKB memiliki peran dan tanggung jawab dalam
perencanaan dan pembangunan GKB seperti misalnya masyarakat lokal Padang
Mat Sirat yang terdiri dari tiga desa yaitu Kg Batu Ara, Kuala teriang, dan Kuala
Melaka secara gotong royong dalam pembangunan Geopark Lengkawi (Azman et
al. 2010).
Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Kawasan Geopark Kaldera Batur merupakan kawasan yang subur, karena
mengandung unsur hara yang berasal dari letusan Gunung Batur. Masyarakat desa
Batur, Songan, Kedisan dan Trunyan memanfaatkan kawasan sebagai lahan
perkebunan yaitu subak abian (ladang). Sistem pengairan yang dilakukan dalam
subak abian berbeda dengan subak uma (sawah), di lokasi penelitian sistem
pengairan dilakukan secara manual dengan menggunakan mesin pompa air. Air
dipompa dari Danau Batur untuk mengairi lahan perkebunan. Jenis sayuran yang
ditanam yaitu sayur kol, sayur hijau, bawang merah, cabai, dan tomat. Masyarakat
yang tidak memiliki lahan untuk bertani memanfaatkan kawasan TWA BPGB
sebagai lahan pertanian (Gambar 4a). Lahan TWA BPGB didominasi oleh
11
bebatuan sehingga tanaman sulit untuk tumbuh. Masyarakat disana menggali
bebatuan tersebut hingga menemukan substrat tanah berpasir untuk dijadikan
lahan pertanian. Karena kawasan ini merupakan kawasan yang dilindungi sebagai
warisan dunia sekaligus ada kawasan konservasi tentu kegiatan merubah bentang
alam dan memanfaatkan sumberdaya tersebut tidak sesuai dengan dasar
ditetapkannya sebagai geopark.
Bentuk pemanfaatan kawasan lainnya yaitu pemanfaatan bebatuan dan pasir
oleh masyarakat Desa Songan sebagai hasil tambang (galian C) (gambar 4b).
Hasil tambang berupa pasir dan batu dimanfaatkan untuk bahan bangunan yang
dikirim ke seluruh daerah di Bali. Masyarakat memanfaatkan bahan material
tersebut untuk membangun rumah, tempat ibadah, dll. Jenis bebatuan yang
dimanfaatkan dalam hal ini yaitu andesitic basaltic yang merupakan salah satu
lava yang masuk dalam status perlindungan geologi (geokonservasi)
(Kemenparekraf 2011). Sebagai kawasan geopark tentu hal ini menjadi
permasalahan dalam pengelolaan. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Bangli menyatakan bahwa batas kawasan (zonasi) masih belum jelas
serta belum mempunyai rencana pengelolaan terhadap kawasan, menyebabkan
pembuatan kebijakan terhadap galian C masih menjadi permasalahan didalam
keberlanjutan geopark. Menurut Brahmantyo (2012) hal tersebut merupakan
permasalahan dikotomi pemanfaatan sumberdaya alam antara pembangunan
dengan konservasi, manfaat ekonomi dari geokonservasi harus muncul dan
geowisata sebagai alternatifnya.
(a)
(b)
Gambar 4 Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur oleh masyarakat sekitar
(a) pemanfaatan sebagai perkebunan (subak abian). (b) galian C.
Masyarakat yang tergabung dalam Bintang Danu memanfaatkan Danau
Batur sebagai tambak ikan yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat dalam
suatu wadah organisasi yaitu mina sari (gambar 5). Sama halnya dengan subak,
dalam organisasi mina sari terdapat aturan terkait dengan lingkungan supaya tidak
mengakibatkan terjadinya kerusakan ataupun pencemaran terhadap Danau Batur.
Pemanfaatan tersebut sebagai bentuk peningkatan nilai ekonomi masyarakat
didalam memenuhi kehidupan sehari-harinya.
12
Gambar 5 Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur oleh masyarakat sekitar
sebagai tambak ikan (mina sari)
Pemanfaatan sumberdaya disamping untuk galian C, tambak ikan dan
perkebunan juga digunakan satwa dan tumbuhan sebagai sarana upacara. Terdapat
sebanyak 20 satwa yang digunakan dalam upacara adat oleh masyarakat sekitar
GKB baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Setiap desa adat
menggunakan satwa yang berbeda (Gambar 6) tergantung dari besar kecilnya
upacara yang dilaksanakan. Terdapat sebanyak sebelas satwa (55%) yang tidak
dilindungi digunakan dalam upacara adat oleh masyarakat sekitar GKB yang
meliputi: ayam (Gallus gallus domesticus), bebek (Anas superciola), babi (Sus
barbatus), sapi (Bos javanicus domesticus), kerbau (Bubalus bubalis), anjing
(Canis lupus), kambing (Capra aegagrus), lele (Chlarias scopoli), sikep (Pernis
ptilorhynchus), yuyu dan ikan kecil (nyalian). Satwa yang dilindungi sebanyak
sembilan spesies (45%) yaitu penyu (Chelonia mydas), rusa (Rusa timorensis),
kijang (Muntiacus muntjak), musang (Paradoxurus hermaphroditus), trenggiling
(Manis javanica), lutung (Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis), burung gagak (Corvus enca) dan cendrawasih kuning kecil
(Paradisaea minor).
jumlah satwa untuk
kegiatan upacara
12
10
8
tidak dilindungi
6
4
dilindungi
IUCN
2
0
Batur
batur
Songan
songan Kedisan
kedisan
Trunyan
trunyan
Desa Adat
Gambar 6. Pemanfaatan satwa di setiap desa adat
Gambar 6 menunjukkan bahwa setiap desa adat memanfaatkan satwa yang
dilindungi yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys
imbricata) untuk kegiatan upacara adat. Penyu sebagai sarana upacara wajib
dipersembahkan karena dianggap sebagai yadnya yang utama sebagai simbol
13
keseimbangan alam, dan hanya digunakan pada saat upacara besar misalnya
panca wali krama yaitu setiap sepuluh tahun sekali dan upacara besar ngenteg
linggih yang tidak tentu setiap tahunnya (Sudiana dalam Bali Post 2003), hal ini
didasari atas mitologi penjelmaan Dewa Wisnu yang turun kedunia (Awatara
Wisnu) dalam wujud penyu (Bedawang Nala), sebagai dasar keseimbangan
ekosistem.
Jumlah penyu yang digunakan sebagai sarana upacara di Desa Adat Batur
dan Desa Adat Songan rata-rata satu ekor pertahun sedangkan di Desa Adat
Kedisan dan Desa Adat Trunyan akan bergantung dari besarnya upacara yang
diselenggarakan. Berdasarkan data TCEC (2006) permintaan penyu setiap
tahunnya untuk kegiatan keagamaan di Bali kurang lebih sebanyak 200-300 ekor,
dibandingkan dengan kemampuannya berkembangbiak setiap satu musim
sebanyak 2-3 kali (Limpus 1995) dalam (Ridla 2007) dengan rata-rata sebanyak
100 butir telur yang akan menetas setelah kurang lebih 55 hari (Nuitja 1992). Jika
dilihat pemanfaatan penyu untuk upacara tidak melebihi kemampuan
reproduksinya, sehingga masih memungkinkan untuk hidup secara lestari.
Pemanfaatan tumbuhan sebagai sarana upacara yang sering dipakai yaitu
daun, bunga dan buah seperti dalam ajaran Bhagawad Gita IX.26 serta kacangkacangan, umbi-umbian, dan pohon. Merujuk pada penelitian Mustaid et al.
(2004) terdapat sebanyak 462 jenis tanaman yang digunakan didalam upacara
Agama Hindu di Bali dimana 65 jenis (14,1%) sudah termasuk katagori langka
atau dilindungi. Masyarakat melakukan penanaman dan pemeliharaan tanaman
upacara yang sebagian besar diantaranya sudah mulai langka seperti pangi
(Pangium edule Reinw) dan nagasari (Mesua perica L). Pemahaman antara
hubungan ritual dan budaya dengan konservasi perlu dimiliki oleh semua orang.
Hal ini menjadi dasar keterlibatan masyarakat secara tulus ikhlas (yadnya) dan
sukarela dalam semua kegiatan konservasi (Wisnu 2011).
Nilai Konservasi yang Terdapat dalam Penerapan Tri Hita Karana
Terhadap Geopark Kaldera Batur
Berdasarkan analisis isi dari ajaran raja purana, awig-awig desa adat
Kedisan, wawancara dengan tokoh adat dan peneran nilai leluhur di desa adat
Trunyan serta observasi lapangan, nilai konservasi dari penerapan THK disajikan
dalam Tabel 3.
Tabel 3 Bentuk dan aktivitas masyarakat terkait dengan konservasi di keempat
lokasi penelitian
Prinsip konservasi
Konservasi
sumber air (ida
bhatari
mapatirtan)
Aktivitas
masyarakat
Penyucian danau
Penyucian hutan
Nilai THK
Sebagai tempat
beristananya Dewi
Danuh
Penyembahan
terhadap Dewa
Sangkara
Upacara/
konsep
Danu kertih,
pakelem
Wana kertih,
pura alas
pingit
14
Tabel 3 Bentuk dan aktivitas masyarakat terkait dengan konservasi di keempat
lokasi penelitian (lanjutan)
Prinsip konservasi
Konservasi
sumber air (ida
bhatari
mapatirtan)
Konservasi tanah
dan batuan (ida
bhatari
mapasanjan,
mapatoyan)
Konservasi satwa
dan tumbuhan
(ida bhatari
mapanyingak, ida
bhatari
mapatirtaan)
Aktivitas
masyarakat
Penyucian sumber
mata air
Pengaturan tata
letak bangunan dan
ruang terbuka hijau
Perlindungan
terhadap gunung
Spesies yang
digunakan dalam
upacara keagamaan
Mengkeramatkan
setiap satwa dan
tumbuhan pada
tempat suci
Memberikan kain
pada pohon
Nilai THK
Sebagai tempat
pembersihan dan
penetralan alam
Pembangunan
berdasarkan Tri
Mandala
Gunung sebagai
tempat berstananya
para dewa
Sebagai bentuk
yadnya atas rahmat
yang diberikan
Satwa dan tumbuhan
adalah duwe tenget
sebagai perwujudan
Tuhan
Pohon memiliki
kekuatan magis
Upacara/
konsep
Pakelem,
mendak toya
Mecaru, Tri
mandala
Pakelem
Mecaru
Tumpek
kandang,
tumpek
wariga
Tumpek
wariga
Nilai konservasi yang terkandung dari penerapan nilai THK oleh
masyarakat disekitar GKB berdasarkan lima elemen penyusun alam (panca maha
butha) yang meliputi: tanah (pertiwi), air (apah), angin (bayu), panas (teja) dan
ruang kosong (akasa) yang di dianalogikan dengan tubuh manusia yaitu segala
sesuatu yang padat seperti tulang melambangkan pertiwi, segala sesuatu yang cair
seperti keringat, darah, dan lain sebagainya melambangkan apah, segala sesuatu
yang panas seperti suhu tubuh melambangkan teja, udara dalam tubuh dari bayu
dan rongga-rongga tubuh melambangkan akasa (Bhuana Kosa III.12), sehingga
perlindungan terhadap alam sama dengan perlindungan terhadap diri sendiri (tat
twam asi). Ketika manusia menganggap dirinya adalah bagian dari alam akan
terjadi hubungan yang menyeluruh dan dialektis (Hadi 2000).
Penerapan nilai konservasi di kehidupan masyarakat sekitar GKB mencakup
aspek ruang, waktu dan pandangan terhadap sumberdaya. Aktivitas masyarakat
terhadap gunung dan pola pemanfaatan kawasan GKB termasuk kedalam aspek
ruang, kegiatan upacara dan pemanfaatan sumberdaya pada waktu tertentu
termasuk kedalam aspek waktu, serta menjadikan sumberdaya memiliki kekuatan
secara magis merupakan pandangan terhadap sumberdaya tersebut.
Aspek Tata Ruang
Aspek tata ruang tradisional di Bali khususnya di sekitar GKB antara lain
konsepsi rwa bhineda, tri mandala, sanga mandala, asta kosala kosali, tri angga,
15
dan catus patha (Wesnawa 2010, Jiwa 2003). Konsepsi penataan ruang tidak
hanya menjaga keseimbangan alam tetapi juga terdapat menyediakan ruang untuk
berinteraksi dengan yang lain. Setiawan (2006) menyatakan bahwa penataan
ruang bertujuan menjamin kepentingan publik sekaligus individu, efisiensi
sumber daya, konservasi lingkungan dan budaya, mengurangi konflik
pemanfaatan ruang, mengurangi ketimpangan spasial, dan menjamin
keberlanjutan pembangunan wilayah. Melihat hal tersebut, aspek budaya menjadi
penting sebagai dasar didalam pembangunan kawasan GKB.
Tri mandala merupakan salah satu ajaran dalam THK yang terkait dengan
aspek ruang yang bisa diterapkan dalam penentuan zonasi kawasan GKB. Prinsip
Tri mandala yang terdiri dari utama mandala, madya mandala dan nista mandala
sesuai dengan zona di kawasan konservasi maupun di cagar biosfer, dimana lokasi
yang sangat penting dilindungi oleh zonasi diluarnya. Hal ini penting sebagai
upaya perlindungan terhadap sumberdaya dengan pertimbangan-pertimbangan
dari berbagai aspek seperti ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
(Permenhut No P.56/ menhut-II/2006).
Penerapan bagian-bagian Tri Mandala terhadap kawasan GKB secara
universal sebagai utamaning mandala yaitu Gunung dan Danau Batur serta
sumber mata air yang masyarakat sucikan di dalam THK sebagai konsep
parahyangan. Madya mandala yaitu daerah pemukiman dimana terjadinya
interaksi manusia dengan sesama (pawongan), sedangkan nista mandala yaitu
areal pemanfaatan oleh masyarakat seperti areal kebun atau subak abian (Gambar
7). Pembagian ruang lingkup konsep ruang (Tri Mandala) yang lebih kecil yaitu
pada tingkat desa adat dan perumahan. Utama mandala yaitu kahyangan tiga (tiga
pura tempat berstananya dewa Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa) untuk
ruang lingkup desa dan pura keluarga (sanggah) untuk ruang lingkup rumah.
Madya mandala yaitu pemukiman warga untuk lingkup desa dan bangunan
tempat tinggal untuk lingkup perumahan. Nista mandala yaitu areal kebun
maupun ladang sebagai aspek palemahan. Pertimbangan dalam penentuan ruang
yaitu utama mandala sebagai ruang yang disucikan dan memiliki nilai kesakralan,
madya mandala yaitu ruang memiliki pemanfaatan sedang dan nista mandala
sebagai ruang yang bernilai profan (Wesnawa 2010).
Utama mandala
Madya mandala
Nista mandala
Gambar 7 Konsepsi keruangan di GKB berdasarkan THK
16
Prinsip ruang dalam THK memiliki kesesuaian dengan prinsip Man And
Biosphere (MAB) dalam menentukan zonasi kawasan yaitu zona inti sebagai
utama mandala, zona penyangga sebagai madya mandala dan zona transisi
sebagai nista mandala (Gambar 8). Tetapi dalam hal fungsinya terjadi perbedaan,
dimana desa adat (pemukiman) berada pada zona penyangga pada konsep Tri
Mandala, sedangkan pada cagar biosfer pemukiman berada pada zona transisi.
Hal ini mengisyaratkan jika manusia sebagai pemeran utama terhadap
keberlanjutan GKB. Konsep keruangan berdasarkan THK apabila diterapkan
maka masyarakat disekitar GKB sudah tidak asing lagi dengan konsep zonasi
kawasan geopark dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga konsep ruang pada THK
bisa digunakan secara universal dalam zonasi geopark.
Gambar 8 Zonasi cagar biosfer (sumber:http://www.mabindonesia.org/cagar.php)
Aspek Waktu
Aspek tata waktu yang masyarakat disekitar GKB terapkan dikenal dengan
padewasan, sebagai acuan didalam memulai setiap kegiatan. Dewasa ayu
merupakan hari baik untuk melaksanakan suatu kegiatan, selain itu dalam
padewasan terdapat larangan-larangan yang digunakan dalam melaksanakan
kegiatan tertentu yang terkandung didalam sistem ingkel, dimana satu ingkel
dilaksanakan selama satu minggu (Tabel 4).
Tabel 4 Konsep peringkelan yang masyarakat terapkan dalam kehidupan
Ingkel
Wong
Sato
Mina
Manuk
Taru
Buku
Larangan
Tidak menyakiti sesama manusia
Tidak menyakiti ternak berkaki empat
Tidak menyakiti ikan
Tidak menyakiti unggas dan burung
Tidak menyakiti pohon dan menebang pohon
Tidak menebang tanaman yang beruas seperti tebu, bambu
Masyarakat merencanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya berdasarkan
sistem peringkelan, seperti masyarakat yang tergabung dalam mina sari pantang
untuk memanen hasil tambaknya pada ingkel mina, begitu juga dengan kegiatan
17
lain seperti dilarang menebangan pohon pada ingkel taru, dilarang menebang
tanaman berbuku seperti bambu pada ingkel buku. Pengecualian pada inkel sato
dan manuk, karena masyarakat merasa membutuhkannya setiap hari sehingga
tetap dilaksanakan. Konsepsi waktu sesungguhnya membatasi pemanfaatan
sumberdaya yang berlebihan. Penentuan waktu juga menjadi dasar dalam
penentuan daur pemanfaatan sumberdaya yang tetap lestari dalam hutan tanaman.
Aspek Penghargaan Terhadap Sumberdaya
Keterkaitan konservasi dengan sistem kepercayaan masyarakat Bali
dil
DALAM PENGEMBANGAN WISATA
GEOPARK KALDERA BATUR
I NENGAH DEDI SETIADI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Telaah Konservasi
pada Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera
Batur adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing akademik
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
I Nengah Dedi Setiadi
NIM E34100010
ABSTRAK
I NENGAH DEDI SETIADI. Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana
dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur. Dibimbing oleh E. K. S.
HARINI MUNTASIB dan ARZYANA SUNKAR
Geopark Kaldera Batur (GKB) merupakan kawasan yang ditetapkan oleh
UNESCO dengan tujuan konservasi, edukasi dan geowisata. Oleh karena GKB
berada di Bali yang masyarakatnya dominan beragama Hindu serta memiliki
filosofi hidup Tri Hita Karana (THK), perlu dilakukan telaah nilai-nilai konservasi
pada THK sebagai dasar pengembangan wisata GKB. Penelitian dilakukan
dengan wawancara mendalam, observasi lapang, analisis isi dan studi literatur
terkait penerapan THK di empat desa adat. Nilai konservasi yang terkandung
dalam filosofi THK lebih kepada hubungan manusia dengan lingkungannya
(palemahan). Masyarakat disekitar GKB menerapkannya dari aspek tata ruang,
tata waktu, dan pandangan terhadap sumberdaya. Konsep ruang menjadi dasar
dalam menentukan zonasi kawasan GKB yaitu zona inti pada utama mandala,
zona penyangga pada madya mandala dan zona transisi pada nista mandala.
Pengembangan wisata diarahkan lebih intensif pemanfaatannya pada bagian yang
memiliki nilai kesakralan yang kurang (profan) yaitu pada bagian nista mandala,
sedangkan untuk kawasan yang memiliki nilai kesakralan tinggi (utama mandala)
diarahkan pengembangan wisata terbatas.
Kata kunci: Geopark Kaldera Batur, konservasi, Tri Hita Karana, wisata.
ABSTRACT
I NENGAH DEDI SETIADI. Conservation Values in the Implementation of Tri
Hita Karana for The Development of Batur Caldera Geopark Tourism. Supervised
by E K.S. HARINI MUNTASIB and ARZYANA SUNKAR
Batur Caldera Geopark (BCG) is an area appointed by UNESCO for
conservation, education, and geotourism. Since BCG is located in Bali where the
majority of the people are Hindus following the life philosophy of Tri Hita Karana
(THK), therefore it is necessary to study the conservation values of THK as the
basis of tourism development in BCG. Data were collected through in depth
interview, direct observations, content analysis and literature study related to the
application of THK in four villages. The conservation values underlying the
philosophy of THK were comprised of the relationship of human with nature
(palemahan), indicated by its implementation from the perspectives of space, time
and views of the natural resources. The concept of space is the basis in
determining the zoning of BCG where the core zone in the area called is utama
mandala, the buffer zone is the madya mandala and the transition zone is the nista
mandala. The more intensified tourism development area were directed for area
with low sacredness values or the nista mandala.
Key words: Batur Caldera Geopark, conservation, tourism, Tri Hita Karana.
TELAAH KONSERVASI PADA PENERAPAN TRI HITA KARANA
DALAM PENGEMBANGAN WISATA
GEOPARK KALDERA BATUR
I NENGAH DEDI SETIADI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Telaah Konservasi pada Penerapan Tri Hita Karana dalam
Pengembangan Wisata Geopark Kaldera Batur
Nama
: I Nengah Dedi Setiadi
NIM
: E34100010
Disetujui oleh
Prof Dr E.K.S. Harini Muntasib, MS
Pembimbing I
Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Atas asungkertha waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga
penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “Telaah Konservasi pada
Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Wisata Geopark Kaldera
Batur”.
Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada seluruh pihak
yang telah banyak membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Prof Dr E.K.S Harini Muntasib, MS dan Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc selaku dosen
pembimbing yang selalu sabar dan memberikan saran, arahan dan bimbingan
selama penelitian serta penyusunan. Keluarga tercinta yang selalu setiap saat
memberikan doa, dukungan dan kasih sayang. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Badan Dharma Dana Nasional yang telah membantu biaya
selama pelaksanaan kuliah di IPB. Kepada Ni Kadek Willi Rusiana Putri, sahabatsahabat VDV, KMHD dan Nepenthes raflesia 47 yang tidak bisa disebutkan satu
persatu yang selalu memberikan semangat serta berbagi suka dan duka selama
menuntut ilmu di IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
I Nengah Dedi Setiadi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR ISTILAH
viii
PENDAHULUAN
1
Latar belakang
1
Tujuan
1
Manfaat
2
METODE
2
Waktu dan Lokasi Penelitian
2
Alat Penelitian
2
Jenis dan Metode Pengambilan Data
2
Teknik Penentuan Informan
3
Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Filosofi Tri Hita Karana
4
4
Penerapan Tri Hita Karana dalam Kehidupan Masyarakat
di kawasan Geopark Kaldera Batur
4
Nilai Konservasi yang Terdapat dalam Penerapan Tri Hita Karana
terhadap Geopark Kaldera Batur
13
Arah Pengembangan Wisata di GKB berbasiskan THK
18
SIMPULAN DAN SARAN
19
Simpulan
19
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
19
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Informan di setiap desa di sekitar GKB
Awig-awig Desa Adat Kedisan terkait dengan pelestarian alam
Bentuk dan aktivitas masyarakat terkait dengan konservasi
di keempat lokasi penelitian
Konsep peringkelan yang masyarakat terapkan dalam kehidupan
3
6
13
16
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Bukit Sampeanwani dalam kawasan GKB
Bentuk konservasi terhadap tumbuhan dan sumber mata air
Aktivitas perlindungan terhadap pohon
Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur oleh masyarakat sekitar
Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur sebagai tambak ikan
(mina sari)
Pemanfaatan satwa dimasing-masing desa adat
Konsepsi keruangan di GKB berdasarkan THK
Zonasi cagar biosfer
Pengelolaan berkelanjutan berdasarkan konsep THK dalam
kehidupan masyarakat di sekitar GKB
8
9
10
11
12
12
15
16
18
DAFTAR ISTILAH
Istilah
Awig-Awig
Bali Aga
Bali Majapahit
Desa Adat
Dewasa Ayu
Duwe Tenget
Duwengan Sareng
Hulu Ampad
Ida Bhatari
Mapacingak
Ida Bhatari
Mapaingkupan
Ida Bhatari
Mapasanjan
Ida Bhatari
Mapatirtaan
Ida Bhatari Mapatoyan
Ingkel
Kaje
Kelod
Lingga
Arti
Peraturan tertulis bagi sebuah desa adat di Bali yang
bersumber dari ajaran agama Hindu dan tradisi, yang
berisikan ketentuan-ketentuan tentang harmonisasi
hubungan manusia dengan Pencipta, manusia dengan
manusia dan manusia dengan lingkungannya.
Kelompok masyarakat Bali yang telah ada sejak
sebelum pengaruh kerajaan Hindu Jawa sampai ke Bali.
Kelompok masyarakat bali yang telah terpengaruh
kerajaan Hindu Jawa.
Sering juga disebut desa pekraman adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di Bali, yang mengurusi
masalah-masalah agama, adat dan budaya.
Hari baik untuk melakukan kegiatan, mulai dari
menenam, memanen, menangkap, menangkarkan, dll.
Menyakralkan sumberdaya (hayati dan non hayati)
sebagai penjelmaan Tuhan maupun sebagai sesuatu
yang memiliki kekuatan gaib.
Merupakan prinsip milik bersama.
Sistem penentuan status kedudukan seseorang.
Masyarakat panca abian (Yeh Mampeh, Melilit, Batu
Kembang, Sapura, Batur) wajib menghaturkan hasil
pertaniannya sebagai ucapan syukur atas anugrah yang
telah dilimpahkan-Nya.
masyarakat harus mengingat sejarah asal usul dan
tempat berstananya Dewa-Dewa yang ada di sekitar
Gunung Batur serta hubungannya dengan Dewa-Dewa
yang berstana diluar Gunung Batur seperti Pura Besakih
dan Pura Kehen.
masyarakat sekitar GKB wajib menjaga lingkungan
dengan memuliakan alam, keindahan Gunung Batur dan
sekitarnya.
masyarakat wajib menjaga 11 sumber mata air (tirtha)
yang ada disekitar Gunung Batur.
masyarakat harus ingat upacara (wali-walian) di pura
yang berada disetiap penjuru mata angin (pura
pangider) Gunung Batur yang mencangkup 11 Pura.
Pantangan untuk melakukan aktivitas pada waktu-waktu
tertentu.
Pola religius yang mengarah ke gunung (tempat yang
ditinggikan).
Pola religius yang mengarah pada danau (tempat yang
lebih rendah).
Simbol laki-laki (gunung).
Istilah
Madya Mandala
Mendak Toya
Mina Sari
Nista Mandala
Pakelem
Palemahan
Parahyangan
Pawongan
Purana
Rwa Bhineda
Subak Abian
Subak Uma
Tri Mandala
Tri Hita Karana
Tumpek
Utama Mandala
Wana Kerti
Yadnya
Yoni
Arti
Bagian dari Tri Mandala yang memiliki nilai kesakralan
sedang.
Merupakan upacara untuk memohon kehadiran sumber
mata air.
Kelompok yang memanfaatkan danau sebagi tambak
ikan.
Bagian dari Tri Mandala yang bersifat profan
Upacara yang dipersembahkan kepada Dewi Danu
selaku dewi kesuburan.
Bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia
dengan alam.
Bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia
dengan Tuhan.
Bagian dari Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia
dengan manusia.
Bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat tentang
mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu.
Merupakan dualisme yang bertolak belakang seperti
baik dengan buruk.
Merupakan sistem pertanian pada lahan kering (ladang).
Merupakan sistem pertanian pada lahan basah (sawah).
Merupakan tiga pembagian waktu berdasarkan tingkat
kesuciannya.
merupakan tiga hubungan yang harmonis antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan
manusia dengan alam.
Mendekatkan diri pada Maha Pencipta dengan
menyukuri segala ciptaan-Nya.
Bagian dari Tri Mandala merupakan ruang yang
disucikan dan memiliki nilai kesakralan.
Upacara pelestarian hutan.
Korban suci yang dipersembahkan secara tulus ikhlas.
Simbol perempuan (danau).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Geopark Kaldera Batur (GKB) merupakan geopark pertama yang ditetapkan
di Indonesia sebagai anggota Global Geopark Network UNESCO (GGNUNESCO). Geopark merupakan suatu konsep manajemen pengembangan
kawasan secara berkelanjutan yang mengintegrasikan tiga keragaman yaitu
keragaman geologi (geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan
keragaman budaya (cultural diversity) yang bertujuan untuk pembangunan serta
pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis pada asas konservasi terhadap ketiga
keragaman tersebut (Azman et al. 2010). Geopark Kaldera Batur (GKB) memiliki
keragaman geologi mencangkup 28 geosite, 20 geoevidence, dan 15 geofeture.
Keragaman biologinya meliputi flora dan fauna yang dikelola dalam Taman
Wisata Alam Penelokan dan Taman Wisata Alam Bukit Payang Gunung Batur
serta kawasan hutan disekitarnya, sedangkan keragaman budaya yaitu proses
pemakaman yang tidak dikubur oleh masyarakat di Desa Adat Trunyan
(Kemenparekraf 2011).
Masyarakat sekitar GKB sebagian besar menganut Agama Hindu dan
menerapkan ajarannya dalam filosofi hidup Tri Hita Karana (THK). Tri Hita
Karana (THK) merupakan tiga hubungan harmonis yang menyebabkan
kebahagiaan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan
manusia dengan alam. Penerapan THK di Bali disampaikan dalam aturan adat
(awig-awig)¸ perencanaan tata ruang wilayah Provinsi Bali (Perda No. 16 Tahun
2009) maupun dalam ajang penganugrahan THK awards dikalangan perhotelan
yang bertujuan untuk memasyarakatkan THK. Mengingat kehidupan yang
berkembang secara dinamis, memasyarakatkan THK dapat memberikan
kebahagiaan dan kesejahteraan secara lahir dan bathin. Hal ini terbukti ketika
terjadi bom Bali I dan bom Bali II, Bali mampu bangkit dalam waktu yang
singkat. Berdasarkan data tahunan BTDC (2010) diperlukan waktu selama
delapan bulan untuk pemulihan pariwisata akibat tragedi bom Bali.
Pengembangan wisata akan menimbulkan masalah apabila kaidah
masyarakat tidak dijadikan dasar dalam pengembangannya, untuk itu kaidahkaidah yang ada dalam masyarakat perlu diterapkan didalam pengembangan
geopark. Sehingga telaah nilai-nilai konservasi dalam THK perlu dikaji sebagai
dasar pengembangan wisata GKB.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan telaah nilai konservasi pada
penerapan Tri Hita Karana dalam pengembangan wisata Geopark Kaldera Batur,
yang meliputi:
a.
Kajian terhadap aspek-aspek konservasi yang terkandung di dalam Tri Hita
Karana
b.
Kajian terhadap arah pengembangan wisata Geopark Kaldera Batur
berdasarkan nilai konservasi yang terkandung di dalam Tri Hita Karana
2
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa data maupun
informasi kepada pengelola di dalam pengembangan wisata GKB yang
berbasiskan Tri Hita Karana. Budaya masyarakat di GKB terkait pemanfaatan
ruang dan waktu bisa digunakan sebagai dasar dalam penentuan zonasi kawasan
GKB sehingga masyarakat dengan penuh kesadaran ikut melakukan upaya
konservasi GKB berdasarkan nilai-nilai keyakinan masyarakat.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2014 di kawasan
Geopark Kaldera Batur (GKB) yaitu Desa Adat Batur, Desa Adat Songan, Desa
Adat Trunyan dan Desa Adat Kedisan. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan
jumlah situs geologi yang ditemukan dan budaya masyarakat Bali dalam
menerapkan THK yang terdiri dari masyarakat Bali Aga (Bali mula) dan
masyarakat Bali Majapahit. Situs yang ditemukan di Desa Adat Batur adalah
sebanyak 15 situs, di Desa Adat Songan sebanyak 4 situs, serta di Desa Adat
Kedisan dan Trunyan terdapat 1 situs (Kemenparekraf 2011). Sementara itu, dari
segi masyarakat, keempat lokasi penelitian menganut budaya Bali Mula (Bali
Aga) tetapi Desa Adat Batur menganut kedua budaya tersebut yaitu Bali Mula dan
Bali Majapahit. Menurut Goris (1926) dalam Hudnyana (2002) desa Bali Mula
(Bali Aga) merupakan desa-desa tua yang telah ada sebelum pengaruh kerajaan
Hindu Jawa masuk ke Bali yang biasanya ada di daerah pegunungan seperti
Gunung Batur dan sekitarnya.
Alat dan Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perekam suara, kamera,
dan laptop, sedangkan instrumen penelitian yaitu panduan wawancara.
Jenis dan Metode Pengambilan Data
Data yang dikumpulkan meliputi data utama dan data penunjang. Data
utama merupakan data pokok yang berkaitan dengan nilai konservasi dalam THK
yang diperoleh dari masyarakat di keempat lokasi penelitian melalui wawancara
mendalam serta studi literatur yang terkait. Sedangkan data penunjang merupakan
data pendukung data utama yang diperoleh melalui studi literatur, maupun aturanaturan yang terkait. Pengambilan data dilakukan dengan cara:
3
Wawancara
Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur yaitu informan diberikan
kesempatan untuk menjawab pertanyaan secara terbuka terkait dengan penerapan
THK dalam kehidupan masyarakat sekitar GKB.
Observasi Lapang
Observasi dilakukan secara non partisipan yaitu dengan melihat penerapan
nilai THK dalam kehidupan masyarakat, seperti pola pemanfaatan ruang dan
waktu oleh masyarakat disekitar GKB.
Analisis Isi (Content Analysis)
Analisis isi (content analysis) dilakukan terhadap aturan adat (awig-awig)
maupun ajaran kepercayaan masyarakat yang terkait dengan konservasi pada
kitab Purana Hulundanu Batur dan awig-awig desa adat.
Studi Literatur
Studi literatur dilakukan untuk menunjang data primer dengan mempelajari
dan menelaah laporan, penelitian, dan sumber lainnya yang terkait dengan
penelitian.
Teknik Penentuan Informan
Masyarakat Bali percaya terhadap pemimpinnya sehingga penentuan
informan dapat ditentukan secara langsung dari kalangan pendeta maupun
pemimpin adat (Tabel 1). Penentuan informan terkait dengan informasi terhadap
nilai THK dimasing-masing desa adat serta penerapannya.
Tabel 1 Informan di setiap desa di sekitar GKB
Informan
Pendeta
Kelihan Adat
Bendesa Adat
Kepala Desa
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Bangli
Metode Pengambilan Data
Wawancara mendalam
Wawancara mendalam
Wawancara mendalam
Wawancara mendalam
Wawancara mendalam
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif terkait penerapan THK
dalam kehidupan masyarakat sekitar GKB. Nilai konservasi pada THK kemudian
dijadikan dasar dalam menentukan arah pengembangan wisata GKB. Analisis
deskriptif kualitatif disajikan dalam bentuk tabulasi maupun gambar mengenai
nilai konservasi yang terkandung dalam THK dan dibandingkan dengan literatur
yang mendukung.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Filosofi Tri Hita Karana
Tri Hita Karana (THK) merupakan penerapan isi dari ajaran Kitab Suci
Weda yang telah ada sejak tahun 1969 (Peters dan Wisnu 2013). Filosofi ini
menggambarkan tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan
(parahyangan), manusia dengan manusia (pawongan) dan manusia dengan alam
(palemahan). Parahyangan merupakan kewajiban setiap manusia untuk
mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta (aspek budaya), pawongan
merupakan sebuah pengakuan yang tulus dari manusia itu sendiri, bahwa manusia
tidak dapat hidup menyendiri (aspek sosial), sedangkan palemahan adalah bentuk
kesadaran manusia bahwa manusia hidup dan berkembang di alam, dan
merupakan bagian dari alam itu sendiri (aspek ekologi) (Utama dan Nanniek
2011; Harmini 2009). Ketiga aspek dalam THK merupakan prinsip utama dalam
keberhasilan kegiatan wisata yang memiliki unsur-unsur ekologi, sosial budaya
dan ekonomi.
Terkait dengan kelestarian sumberdaya alam, Kitab Bhagavad Gita IV.31
menyebutkan “ nayam loka ‘sty ayajnasya” yang berarti bahwa sumberdaya alam
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dilestarikan atas dasar
ketulus ikhlasan (yadnya). Yadnya merupakan dasar dalam pelaksanaan kegiatan
bagi masyarakat Hindu Bali yang diimplementasikan kedalam filosofi (tattwa),
etika (susila) dan ritual (upacara). Terdapat sarana kegiatan upacara yang
digunakan dalam yadnya yaitu buah, bunga, daun dan air seperti yang tersurat
dalam Bhagawad Gita IX.26 “patram puspam phalam toyam yo me bhaktya
prayacchati tat aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah” (siapapun yang
dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum
bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan
dari orang yang berhati suci). Keempat sarana tersebut harus ada disetiap upacara
keagamaan. Jika dicermati, hal ini mengandung makna pemanfaatan yang
berkelanjutan terhadap sumberdaya alam hayati dan non hayati.
Penerapan Tri Hita Karana dalam Kehidupan Masyarakat di Kawasan
Geopark Kaldera Batur
Kawasan GKB mencakup daerah yang berada di sekitar Gunung Batur yang
terdiri atas: 15 desa dinas, hutan lindung, Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan,
serta TWA Bukit Payang dan Gunung Batur (TWA BPGB). Hasil penelitian
menunjukkan terdapat perbedaan dasar acuan penerapan THK, dimana Desa Adat
Batur dan Songan menggunakan acuan dari ajaran Purana Hulundanu Batur,
Desa Adat Kedisan menggunakan aturan adat Desa Pekraman Kedisan (awigawig) yang disusun dari ajaran Purana Batur, dan Desa Adat Trunyan
menggunakan ajaran leluhur yang secara turun temurun tetap diwariskan melalui
sistem Hulu ampad.
Penerapan THK di Desa Adat Batur dan Desa Adat Songan yang mengacu
pada ajaran Purana Hulundanu Batur menyebutkan terdapat sebanyak lima lingga
5
yang mengitari Gunung (Manca krama ngiderin Gunung Batur) yang sangat erat
kaitannya dengan pelestarian alam:
1.
Pelestarian terhadap sejarah kawasan: masyarakat harus mengingat sejarah
asal usul dan tempat berstananya Dewa-Dewa yang ada di sekitar Gunung
Batur serta hubungannya dengan Dewa-Dewa yang berstana diluar Gunung
Batur seperti Pura Besakih dan Pura Kehen. Nilai yang disampaikan yaitu
tetap menjaga GKB karena kawasan GKB merupakan kawasan suci (Ida
bhatari mapaingkupan).
2.
Pelestarian lingkungan: masyarakat sekitar GKB wajib menjaga lingkungan
dengan memuliakan alam, keindahan Gunung Batur dan sekitarnya (Ida
bhatari mapasanjan).
3.
Pelestarian budaya: masyarakat harus ingat upacara (wali-walian) di pura
yang berada disetiap penjuru mata angin (pura pangider) Gunung Batur
yang mencangkup 11 Pura yaitu: Pura Sampian Wani, Pura Padang Sila,
Pura Pelisan, Pura Jati, Pura Pasar Agung, Pura Toya Mas Bungkah, Pura
Taman Sari, Pura Pura Toya Mas Mampeh, Pura Batu Rupi (Batu Sepit),
Pura Jaba Kuta dan Pura Guna Lali/Kodo (Ida bhatari mapatoyan).
4.
Perlindungan sumber mata air: masyarakat wajib menjaga 11 sumber mata
air (tirtha) yang ada disekitar Gunung Batur yang meliputi Tirtha Telaga
Waja, Tirtha Danu Kuning, Tirtha Danu Gadang, Tirtha Bantang Anyud,
Tirtha Pelisa, Tirtha Mengening, Tirtha Pura Jati, Tirtha Rejeng Anyar,
Tirtha Toya Mas Bungkah, Tirtha Toya Mas Mampeh, Tirtha Sampian
Wani-Alas Pingitan (Ida bhatari mapatirtaan).
5.
Perlindungan sumberdaya alam yaitu mempersembahkan hasil pertanian
dalam bentuk upacara oleh masyarakat panca abian (Yeh Mampeh, Melilit,
Batu Kembang, Sapura, Batur) (Ida bhatari mapacingak).
Berbeda dengan Desa Adat Batur dan Desa Adat Songan, Desa Adat
Kedisan berada di lereng TWA Penelokan yang masyarakatnya memiliki
kesadaran akan pentingnya hutan. Masyarakat Desa Adat Kedisan sangat
menyucikan hutan, disamping itu hutan mampu mencegah tanah longsor serta
meluapnya Danau Batur. Masyarakat yang dulunya membakar hutan untuk lahan
perkebunan sekarang turut membantu dalam mengatasi kebakaran hutan di TWA
Penelokan pada musim kemarau melalui organisasi Masyarakat Peduli Api
(MPA). Bahkan, sudah diatur dalam aturan adat (awig-awig) Desa Adat Kedisan
yang mengatur pembakaran hutan, penggeseran pal batas, penebangan pohon,
penambangan batu dan pasir, pelepasan hewan ternak kedalam kawasan hutan dan
pembuangan limbah (Tabel 2). Bagi masyarakat yang melanggar aturan tersebut
dikenakan sanksi baik secara formal dari pemerintah serta sanksi sosial dari desa
adat.
9
Tabel 2. Awig-awig Desa Adat Kedisan terkait dengan pelestarian alam
Pasal
(pawos)
7
28
33
Isi awig-awig
Ayat 1 menyebutkan tentang pembakaran hutan “yening wenten salah sinunggil
jatma sane nunjelin wana patut digelis kesadokang ring sang mawang rat, yening
wenten silih sinunggil krama desa nunjelin wana patut keni pamidanda manut
pararem Desa Adat Pakraman Kedisan”.
Ayat 3 terkait menebang pohon
“yening wenten salah sinunggil jatma sane ngebah taru sing tengahin wana patut
kesadokang ring sang mawang rat, yening wenten silih sinunggil krama desa sane
ngebah taru sekama-kama ring perlindungan jurang (tukad) dalam 100 meter
saking sisih tukad krama punika keni pamidanda manut parerem”.
Ayat 4 terkait dengan penambangan batu dan pasir “yening wenten salah sinunggil
jatma sane ngerereh batu wiadin bias keanggen dagangan jatma punika patut
kesadokang ring sang mawang rat, yening wenten silih sinunggil krama desa sane
ngerereh batu wiadin bias ring tukad utawi jurang keanggen daganagan patut keni
pamidanda manut pararem Desa Adat Pakraman Kedisan”.
Ayat 5 terkait dengan pelepasan hewan ternak kedalam hutan “yening wenten
salah sinunggil jatma sane ngelebang wewalungan luirnyane: banteng, bawi, utawi
kambing krama punika digelis kesadokang ring sang mawang rat, yening wenten
silih sinunggil krama desa sane ngelebang wewalungan luirnyane: banteng, bawi,
utawi kambing maka sami punika dados keambil olih krama desa nglantur krama
punika jaga kasukserahang ring sang ngawenangang”.
Ayat 1. B terkait dengan aturan pembangunan “Ngutsahayang ngangge gagulak
asta bumi miwah asta kosala-kosali sanistane manut ring patistis niskala”.
Ayat 1 “sehanan warga desa tan kepatut nyemuh, ngutang luhu, mebacin ring
margi, ring danu, ring genah sane tan kepatutan duaning prasida ngicalang
pasukrtaan desa pekraman”.
Ayat 3 “Telajakan karang, merajan, patut kepiara nyabran rahina tur ketandurin
sarwa sari”.
Ayat 4“Sehanan warga desa pekraman kepatutan madruwe genah mebacin (WC)”
Sumber: Awig-awig Desa Adat Kedisan
Artinya
Jika ada salah seorang warga yang membakar hutan akan dilaporkan
kepihak yang berwajib dan dikenakan sanksi sesuai kesepakatan Desa
Adat Kedisan.
Jika ada salah seorang warga yang menebang kayu dari dalam hutan
akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib, apabila ada warga yang
menebang kayu pada daerah yang dilindungi yaitu minimal 100 meter
dari sungai akan dikenakan sanksi berdasakan kesepakatan desa.
Jika ada warga yang menambang pasir dan batu untuk diperdagangkan
dilaporkan pada pihak yang berwajib dan jika ada warga yang
menambang batu tepi sungai dan jurang akan dikenakan sanksi sesuai
kesepakatan desa.
Jika ada warga yang melepaskan ternaknya seperti: sapi, babi dan
kambing akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib, jika ada salah
seorang warga yang melespaskan semua binatang yang disebutkan
tersebut bisa diambil oleh warga lain untuk dipelihara.
Diusahakan dalam membangun minimal menggunakan aturan dari
konsep asta bumi dan asta kosala-kosali sesuai dengan dunia gaib
(niskala).
Setiap warga tidak dibenarkan untuk menjemur, membuang sampah,
membuang limbah di jalan, di danau, karena akan menyebabkan
kerusakan pada alam.
Halaman pekarangan, tempat suci wajib dipelihara dengan menanami
bunga.
Setiap warga diharuskan memiliki tempat pembuangan limbah atau WC.
7
Berdasarkan keempat lokasi penelitian, Desa Trunyan memiliki tradisi unik
yaitu pemakaman mayat yang tidak dikubur yang diletakan dibawah pohon
kemenyan. Penerapan nilai THK dari ajaran leluhur diteruskan dengan sistem
hulu ampad. Desa Adat Trunyan termasuk kedalam warisan budaya (cultural
heritage) karena masyarakat Trunyan adalah masyarakat Bali asli (Bali Aga).
Menurut ahli antropologi Margaret Mead (1930) dalam (Kurnia dan Oman 2012)
kata “aga” berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti “gunung” sehingga
kehidupan masyarakat Bali Aga memiliki peranan penting terhadap pelestarian
Gunung Batur.
Hubungan Manusia dengan Pencipta
Masyarakat sekitar GKB menganggap sumberdaya disekitarnya adalah
sebagai sesuatu yang disakralkan dan disucikan. Sumberdaya adalah duwe tenget
yaitu penjelmaan Tuhan ataupun yang memiliki kekuatan magis dan berasal dari
dunia yang berbeda (niskala). Pandangan duwe tenget dilakukan terhadap gunung
dan bukit (tanah, batuan dan api), sumber air, serta satwa dan tumbuhan.
Tanah, Batuan dan Api
Kawasan GKB selain memiliki keanekargaman hayati juga memiliki
keanekargaman non hayati, salah satunya geologi. Kawasan GKB secara geologi
tidak dapat dipisahkan dari sejarah geologi Pulau Bali, yang memiliki umur antara
20 juta sampai 60 juta tahun yang lalu (miosen), serta beberapa lava yang unik
seperti lava tube, bukit dalam kaldera, dll (Sutawidjaja et al. 2012).
Hasil penelitian mendapatkan bahwa, bagi masyarakat gunung dan bukit
dipercaya sebagai tempat beristananya para dewa dan dewi. Pemimpin adat
(Kelihan adat) Batur I Wayan Sukadia menjelaskan isi Raja purana Batur yang
menyatakan bahwa Gunung Batur sebagai lambang laki-laki (lingga) dan Danau
Batur sebagai lambang perempuan (yoni). Masyarakat percaya bahwa Gunung dan
Danau Batur adalah lambang kesuburan. Dua hal yang bertolak belakang antara
laki-laki (lingga) dan perempuan (yoni) dikenal dengan rwa bhineda, dalam
konsep ini sekaligus menjadikan patokan arah dimana gunung (tempat yang
ditinggikan) dianggap sebagai arah utara (kaje) dan danau (daerah lebih rendah)
dianggap sebagai selatan (kelod) (Petters and Wisnu 2013). Boehmer and Travor
(1995) menyatakan utara (kaje) merupakan arah gunung, sakral, suci, dan tempat
peristirahatan leluhur, sedangkan selatan (kelod) mewakili laut dan
ketidaktentraman. Pandangan terhadap konsep rwa bhineda menjadikan Gunung
dan Danau Batur sebagai patokan (pancer) dalam kawasan GKB yang memiliki
peranan penting dalam kehidupan masyarakat disekitar GKB dan Bali pada
umumnya.
Bukit Sampeanwani merupakan salah satu bukit yang disucikan dan
dikeramatkan oleh masyarakat sekitar GKB (Gambar 1). Menurut Kemenparekraf
(2011), Bukit Sampeanwani merupakan salah satu kerucut silinder yang terbentuk
bersamaan dengan kerucut Gunung Batur. Bukit ini selalu terhindar dari terjangan
lelehan lava dari erupsi Gunung Batur. Kejadian-kejadian alam seperti itu
meningkatkan nilai kesakralan terhadap gunung, sehingga secara tidak langsung
menghindari kawasan GKB dari kegiatan penambangan pasir dan batu.
8
Bukit
sampeanwani
Gambar 1 Bukit Sampeanwani dalam kawasan GKB (Disbudpar Bangli 2011)
Sumber Mata Air
Danau Batur merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitar
kawasan GKB pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya sebagai
sumber pengairan subak. UNESCO (2010) menyatakan subak merupakan salah
satu warisan budaya dunia yang patut dilestarikan. Danau Batur terletak di dataran
tinggi sehingga mampu mengairi daerah-daerah yang ada didataran rendah di
sekitarnya. Walaupun belum ada penelitian mengenai asal-usul air yang
digunakan dalam irigasi subak di Bali, tetapi masyarakat yakin sumber air berasal
dari Danau Batur. Sebagai bentuk ungkapan terima kasih masyarakat Bali, di
daerah-daerah yang memiliki subak dilaksanakan upacara di Pura Ulun Subak
masing-masing sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada Dewi Kesuburan
(Dewi Danuh) pada bulan Purnama Kedasa (kesepuluh).
Terdapat sebanyak 11 sumber mata air yang masyarakat sucikan (tirtha)
disekitar Danau Batur melalui berbagai macam upacara seperti memohon air
(mendak toya), menjaga hutan disekitar Danau Batur dengan mendirikan Pura
Alas Pingitan (mengkramatkan hutan) melalui upacara wana kerti, serta upacara
pakelem yang ditujukan kepada Dewi Danuh sebagai Dewi Kesuburan berupa
menenggelamkan sesajen (banten) di Danau Batur. Sesajen yang disembahkan
dalam pekelem seperti kerbau, sapi, babi, kambing, bebek, dan ayam serta hasil
bumi lainnya. Jero Gede Batur Alitan (pendeta Desa Adat Batur) menyampaikan
“Selain untuk memohon keselamatan manusia dan alam semesta, upacara ini juga
untuk mengingatkan manusia agar senantiasa menghormati dan menjaga
kelestarian alam sekitar”.
Kegiatan yang masyarakat terapkan di GKB hampir sama dengan
konservasi dunia barat yang menggunakan pengetahuan ekologi tradisional untuk
menciptakan praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan
sistem dan kepercayaan mereka. Salah satunya Suku Indian Tukano, Suku Indian
Tukano yang menggantungkan hidup dari hutan dan ikan sungai. Masyarakat
Suku Tukano memiliki panduan keagamaan dan budaya yang kuat yang melarang
masyarakatnya menebang pohon sepanjang hulu sungai Rio Negro, karena hulu
tersebut penting dalam melindungi populasi ikan. Masyarakat Tukano percaya
kalau hutan adalah milik ikan, dan mereka tidak boleh menebangya (Chernella
1987; Reichel 1996) dalam (Indrawan et al. 2007).
Satwa dan Tumbuhan
Masyarakat lokal diseluruh dunia memiliki kearifan lokal yang berbeda
dalam melindungi sumberdayanya. Bentuk perlindungan terhadap sumberdaya
9
yang dilakukan oleh masyarakat lokal seperti melindungi hutan (communal forest)
dan melindungi lokasi keramat (sacred groves) dari penebangan komerial
(Indrawan et al. 2007). Salah satu bentuk perlindungan yang dilaksanakan oleh
masyarakat sekitar GKB dengan menyakralkan (duwe tenget) tumbuhan dan
satwa pada tempat dan lokasi tertentu seperti kuburan dan pura (Gambar 2).
Tumbuhan yang dianggap duwe tenget seperti pohon pulai (Alstonia scholaris),
beringin (Ficus benjamina), kemenyan serta kamboja, dipercaya memiliki
kekuatan gaib (tenget) sehingga masyarakat memberikan tanda dengan kain hitam
putih (poleng) maupun putih kuning (Gambar 2b), sedangkan satwa yang
dianggap sebagai duwe (tenget) yaitu segala jenis satwa yang yang berada
disekitar kawasan yang disucikan, seperti ular, burung, dll. Pohon diberikan kain
dan didoakan oleh para pendeta sebagai bentuk perlindungan terhadap pohon
(Indrawan 2007).
(a)
(b)
Gambar 2 Bentuk konservasi terhadap tumbuhan dan sumber mata air (a) Pura
Beji Hulun Danu Batur, (b) pohon Beringin di Desa Kedisan
Masyarakat sekitar GKB tidak berani membunuh satwa yang dianggap duwe
tenget secara sembarangan karena dipercaya dapat mengakibatkan hal-hal yang
tidak diinginkan. Boehmer dan Travor (1992) menyatakan bahwa masyarakat adat
di Bali menyakralkan (tenget) satwa karena dianggap anugrah Tuhan (gift from
god), seperti di Goa Lawah (kelelawar), Goa Gajah, dan Sangeh (monkey forest).
Selain itu terdapat upacara yang diselenggarakan untuk kelestarian tumbuhan
yaitu tumpek wariga dan untuk satwa yaitu tumpek kandang. Contoh lain
disampaikan oleh Berreman (1985) di Chipko India, wanita berperan sangat
penting dalam perlindungan alam. Kayu yang digunakan sebagai bahan bakar
berakibat pada eksploitasi secara besar-besaran, sehingga para wanita dan anakanak melakukan aksi perlawanan “to embrace” atau “to hug” yaitu dengan
memeluk pohon (Gambar 3b). Di Indonesia sistem kepercayaan serupa
dilaksanakan oleh Suku Baduy, Dayak Kenyah, Masyarakat Ngata Lore Lindu,
sedangkan di Papua terdapat tidak kurang dari 250 kelompok etnik yang
membangun hidup harmonis dengan alam (Soedjito 2006). Claus et al. (2010)
menyatakan bahwa masyarakat lokal seringkali menerapkan pengetahuan ekologi
tradisional untuk menciptakan praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang
berhubungan dengan sistem nilai masyarakat setempat. Walaupun antar daerah
memiliki budaya yang berbeda dalam memandang alam, tetapi semua itu
memiliki arah dan tujuan yang sama terhadap pelestarian dan konservasi
sumberdaya alam itu sendiri (Byers et al. 2001).
10
(a)
(b)
Gambar 3 Aktivitas perlindungan terhadap pohon. a) para pendeta di Thailand
berdoa terhadap pohon. b) aksi konservasi kaum wanita di Chipko
(sumber: Indrawan et al. 2007)
Hubungan Manusia dengan Manusia
Hubungan manusia dengan manusia (pawongan) merupakan elemen yang
mengatur bagaimana manusia bisa berfikir secara arif dan bijaksana didalam
memanfaatkan sumberdaya. Pawongan terjalin dalam suatu sistem yang dikenal
dengan desa adat, menurut Peraturan Daerah Provinsi No 3 Tahun 2001 bahwa
desa adat yang merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai
oleh ajaran agama hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Bali sangat besar
peranannya dalam bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu diayomi,
dilestarikan dan diberdayakan. Sebagai masyarakat desa adat terdapat aturan yang
mengikat untuk saling menghormati dengan yang lain serta memandang antar
sesama adalah sama (tat wam asi).
Pengelolaan potensi sumberdaya oleh masyarakat adat dilaksanakan dengan
rapat adat (paruman) atas dasar paras poros dan para aparo, serta prinsip
kebersamaan (duwenang sareng-sareng). Kawasan GKB merupakan kawasan
milik bersama. Keeksistensian dalam upaya menjaga identitas adat dilaksanakan
dengan kebersamaan oleh seluruh masyarakat desa sesuai dengan kedudukan
(linggih), etika peran (sesana), kewajiban (swadharma) dan hak (swadikarta)
dengan penuh kesadaran.
Masyarakat disekitar GKB memiliki peran dan tanggung jawab dalam
perencanaan dan pembangunan GKB seperti misalnya masyarakat lokal Padang
Mat Sirat yang terdiri dari tiga desa yaitu Kg Batu Ara, Kuala teriang, dan Kuala
Melaka secara gotong royong dalam pembangunan Geopark Lengkawi (Azman et
al. 2010).
Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Kawasan Geopark Kaldera Batur merupakan kawasan yang subur, karena
mengandung unsur hara yang berasal dari letusan Gunung Batur. Masyarakat desa
Batur, Songan, Kedisan dan Trunyan memanfaatkan kawasan sebagai lahan
perkebunan yaitu subak abian (ladang). Sistem pengairan yang dilakukan dalam
subak abian berbeda dengan subak uma (sawah), di lokasi penelitian sistem
pengairan dilakukan secara manual dengan menggunakan mesin pompa air. Air
dipompa dari Danau Batur untuk mengairi lahan perkebunan. Jenis sayuran yang
ditanam yaitu sayur kol, sayur hijau, bawang merah, cabai, dan tomat. Masyarakat
yang tidak memiliki lahan untuk bertani memanfaatkan kawasan TWA BPGB
sebagai lahan pertanian (Gambar 4a). Lahan TWA BPGB didominasi oleh
11
bebatuan sehingga tanaman sulit untuk tumbuh. Masyarakat disana menggali
bebatuan tersebut hingga menemukan substrat tanah berpasir untuk dijadikan
lahan pertanian. Karena kawasan ini merupakan kawasan yang dilindungi sebagai
warisan dunia sekaligus ada kawasan konservasi tentu kegiatan merubah bentang
alam dan memanfaatkan sumberdaya tersebut tidak sesuai dengan dasar
ditetapkannya sebagai geopark.
Bentuk pemanfaatan kawasan lainnya yaitu pemanfaatan bebatuan dan pasir
oleh masyarakat Desa Songan sebagai hasil tambang (galian C) (gambar 4b).
Hasil tambang berupa pasir dan batu dimanfaatkan untuk bahan bangunan yang
dikirim ke seluruh daerah di Bali. Masyarakat memanfaatkan bahan material
tersebut untuk membangun rumah, tempat ibadah, dll. Jenis bebatuan yang
dimanfaatkan dalam hal ini yaitu andesitic basaltic yang merupakan salah satu
lava yang masuk dalam status perlindungan geologi (geokonservasi)
(Kemenparekraf 2011). Sebagai kawasan geopark tentu hal ini menjadi
permasalahan dalam pengelolaan. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Bangli menyatakan bahwa batas kawasan (zonasi) masih belum jelas
serta belum mempunyai rencana pengelolaan terhadap kawasan, menyebabkan
pembuatan kebijakan terhadap galian C masih menjadi permasalahan didalam
keberlanjutan geopark. Menurut Brahmantyo (2012) hal tersebut merupakan
permasalahan dikotomi pemanfaatan sumberdaya alam antara pembangunan
dengan konservasi, manfaat ekonomi dari geokonservasi harus muncul dan
geowisata sebagai alternatifnya.
(a)
(b)
Gambar 4 Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur oleh masyarakat sekitar
(a) pemanfaatan sebagai perkebunan (subak abian). (b) galian C.
Masyarakat yang tergabung dalam Bintang Danu memanfaatkan Danau
Batur sebagai tambak ikan yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat dalam
suatu wadah organisasi yaitu mina sari (gambar 5). Sama halnya dengan subak,
dalam organisasi mina sari terdapat aturan terkait dengan lingkungan supaya tidak
mengakibatkan terjadinya kerusakan ataupun pencemaran terhadap Danau Batur.
Pemanfaatan tersebut sebagai bentuk peningkatan nilai ekonomi masyarakat
didalam memenuhi kehidupan sehari-harinya.
12
Gambar 5 Pemanfaatan kawasan Geopark Kaldera Batur oleh masyarakat sekitar
sebagai tambak ikan (mina sari)
Pemanfaatan sumberdaya disamping untuk galian C, tambak ikan dan
perkebunan juga digunakan satwa dan tumbuhan sebagai sarana upacara. Terdapat
sebanyak 20 satwa yang digunakan dalam upacara adat oleh masyarakat sekitar
GKB baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Setiap desa adat
menggunakan satwa yang berbeda (Gambar 6) tergantung dari besar kecilnya
upacara yang dilaksanakan. Terdapat sebanyak sebelas satwa (55%) yang tidak
dilindungi digunakan dalam upacara adat oleh masyarakat sekitar GKB yang
meliputi: ayam (Gallus gallus domesticus), bebek (Anas superciola), babi (Sus
barbatus), sapi (Bos javanicus domesticus), kerbau (Bubalus bubalis), anjing
(Canis lupus), kambing (Capra aegagrus), lele (Chlarias scopoli), sikep (Pernis
ptilorhynchus), yuyu dan ikan kecil (nyalian). Satwa yang dilindungi sebanyak
sembilan spesies (45%) yaitu penyu (Chelonia mydas), rusa (Rusa timorensis),
kijang (Muntiacus muntjak), musang (Paradoxurus hermaphroditus), trenggiling
(Manis javanica), lutung (Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis), burung gagak (Corvus enca) dan cendrawasih kuning kecil
(Paradisaea minor).
jumlah satwa untuk
kegiatan upacara
12
10
8
tidak dilindungi
6
4
dilindungi
IUCN
2
0
Batur
batur
Songan
songan Kedisan
kedisan
Trunyan
trunyan
Desa Adat
Gambar 6. Pemanfaatan satwa di setiap desa adat
Gambar 6 menunjukkan bahwa setiap desa adat memanfaatkan satwa yang
dilindungi yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys
imbricata) untuk kegiatan upacara adat. Penyu sebagai sarana upacara wajib
dipersembahkan karena dianggap sebagai yadnya yang utama sebagai simbol
13
keseimbangan alam, dan hanya digunakan pada saat upacara besar misalnya
panca wali krama yaitu setiap sepuluh tahun sekali dan upacara besar ngenteg
linggih yang tidak tentu setiap tahunnya (Sudiana dalam Bali Post 2003), hal ini
didasari atas mitologi penjelmaan Dewa Wisnu yang turun kedunia (Awatara
Wisnu) dalam wujud penyu (Bedawang Nala), sebagai dasar keseimbangan
ekosistem.
Jumlah penyu yang digunakan sebagai sarana upacara di Desa Adat Batur
dan Desa Adat Songan rata-rata satu ekor pertahun sedangkan di Desa Adat
Kedisan dan Desa Adat Trunyan akan bergantung dari besarnya upacara yang
diselenggarakan. Berdasarkan data TCEC (2006) permintaan penyu setiap
tahunnya untuk kegiatan keagamaan di Bali kurang lebih sebanyak 200-300 ekor,
dibandingkan dengan kemampuannya berkembangbiak setiap satu musim
sebanyak 2-3 kali (Limpus 1995) dalam (Ridla 2007) dengan rata-rata sebanyak
100 butir telur yang akan menetas setelah kurang lebih 55 hari (Nuitja 1992). Jika
dilihat pemanfaatan penyu untuk upacara tidak melebihi kemampuan
reproduksinya, sehingga masih memungkinkan untuk hidup secara lestari.
Pemanfaatan tumbuhan sebagai sarana upacara yang sering dipakai yaitu
daun, bunga dan buah seperti dalam ajaran Bhagawad Gita IX.26 serta kacangkacangan, umbi-umbian, dan pohon. Merujuk pada penelitian Mustaid et al.
(2004) terdapat sebanyak 462 jenis tanaman yang digunakan didalam upacara
Agama Hindu di Bali dimana 65 jenis (14,1%) sudah termasuk katagori langka
atau dilindungi. Masyarakat melakukan penanaman dan pemeliharaan tanaman
upacara yang sebagian besar diantaranya sudah mulai langka seperti pangi
(Pangium edule Reinw) dan nagasari (Mesua perica L). Pemahaman antara
hubungan ritual dan budaya dengan konservasi perlu dimiliki oleh semua orang.
Hal ini menjadi dasar keterlibatan masyarakat secara tulus ikhlas (yadnya) dan
sukarela dalam semua kegiatan konservasi (Wisnu 2011).
Nilai Konservasi yang Terdapat dalam Penerapan Tri Hita Karana
Terhadap Geopark Kaldera Batur
Berdasarkan analisis isi dari ajaran raja purana, awig-awig desa adat
Kedisan, wawancara dengan tokoh adat dan peneran nilai leluhur di desa adat
Trunyan serta observasi lapangan, nilai konservasi dari penerapan THK disajikan
dalam Tabel 3.
Tabel 3 Bentuk dan aktivitas masyarakat terkait dengan konservasi di keempat
lokasi penelitian
Prinsip konservasi
Konservasi
sumber air (ida
bhatari
mapatirtan)
Aktivitas
masyarakat
Penyucian danau
Penyucian hutan
Nilai THK
Sebagai tempat
beristananya Dewi
Danuh
Penyembahan
terhadap Dewa
Sangkara
Upacara/
konsep
Danu kertih,
pakelem
Wana kertih,
pura alas
pingit
14
Tabel 3 Bentuk dan aktivitas masyarakat terkait dengan konservasi di keempat
lokasi penelitian (lanjutan)
Prinsip konservasi
Konservasi
sumber air (ida
bhatari
mapatirtan)
Konservasi tanah
dan batuan (ida
bhatari
mapasanjan,
mapatoyan)
Konservasi satwa
dan tumbuhan
(ida bhatari
mapanyingak, ida
bhatari
mapatirtaan)
Aktivitas
masyarakat
Penyucian sumber
mata air
Pengaturan tata
letak bangunan dan
ruang terbuka hijau
Perlindungan
terhadap gunung
Spesies yang
digunakan dalam
upacara keagamaan
Mengkeramatkan
setiap satwa dan
tumbuhan pada
tempat suci
Memberikan kain
pada pohon
Nilai THK
Sebagai tempat
pembersihan dan
penetralan alam
Pembangunan
berdasarkan Tri
Mandala
Gunung sebagai
tempat berstananya
para dewa
Sebagai bentuk
yadnya atas rahmat
yang diberikan
Satwa dan tumbuhan
adalah duwe tenget
sebagai perwujudan
Tuhan
Pohon memiliki
kekuatan magis
Upacara/
konsep
Pakelem,
mendak toya
Mecaru, Tri
mandala
Pakelem
Mecaru
Tumpek
kandang,
tumpek
wariga
Tumpek
wariga
Nilai konservasi yang terkandung dari penerapan nilai THK oleh
masyarakat disekitar GKB berdasarkan lima elemen penyusun alam (panca maha
butha) yang meliputi: tanah (pertiwi), air (apah), angin (bayu), panas (teja) dan
ruang kosong (akasa) yang di dianalogikan dengan tubuh manusia yaitu segala
sesuatu yang padat seperti tulang melambangkan pertiwi, segala sesuatu yang cair
seperti keringat, darah, dan lain sebagainya melambangkan apah, segala sesuatu
yang panas seperti suhu tubuh melambangkan teja, udara dalam tubuh dari bayu
dan rongga-rongga tubuh melambangkan akasa (Bhuana Kosa III.12), sehingga
perlindungan terhadap alam sama dengan perlindungan terhadap diri sendiri (tat
twam asi). Ketika manusia menganggap dirinya adalah bagian dari alam akan
terjadi hubungan yang menyeluruh dan dialektis (Hadi 2000).
Penerapan nilai konservasi di kehidupan masyarakat sekitar GKB mencakup
aspek ruang, waktu dan pandangan terhadap sumberdaya. Aktivitas masyarakat
terhadap gunung dan pola pemanfaatan kawasan GKB termasuk kedalam aspek
ruang, kegiatan upacara dan pemanfaatan sumberdaya pada waktu tertentu
termasuk kedalam aspek waktu, serta menjadikan sumberdaya memiliki kekuatan
secara magis merupakan pandangan terhadap sumberdaya tersebut.
Aspek Tata Ruang
Aspek tata ruang tradisional di Bali khususnya di sekitar GKB antara lain
konsepsi rwa bhineda, tri mandala, sanga mandala, asta kosala kosali, tri angga,
15
dan catus patha (Wesnawa 2010, Jiwa 2003). Konsepsi penataan ruang tidak
hanya menjaga keseimbangan alam tetapi juga terdapat menyediakan ruang untuk
berinteraksi dengan yang lain. Setiawan (2006) menyatakan bahwa penataan
ruang bertujuan menjamin kepentingan publik sekaligus individu, efisiensi
sumber daya, konservasi lingkungan dan budaya, mengurangi konflik
pemanfaatan ruang, mengurangi ketimpangan spasial, dan menjamin
keberlanjutan pembangunan wilayah. Melihat hal tersebut, aspek budaya menjadi
penting sebagai dasar didalam pembangunan kawasan GKB.
Tri mandala merupakan salah satu ajaran dalam THK yang terkait dengan
aspek ruang yang bisa diterapkan dalam penentuan zonasi kawasan GKB. Prinsip
Tri mandala yang terdiri dari utama mandala, madya mandala dan nista mandala
sesuai dengan zona di kawasan konservasi maupun di cagar biosfer, dimana lokasi
yang sangat penting dilindungi oleh zonasi diluarnya. Hal ini penting sebagai
upaya perlindungan terhadap sumberdaya dengan pertimbangan-pertimbangan
dari berbagai aspek seperti ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
(Permenhut No P.56/ menhut-II/2006).
Penerapan bagian-bagian Tri Mandala terhadap kawasan GKB secara
universal sebagai utamaning mandala yaitu Gunung dan Danau Batur serta
sumber mata air yang masyarakat sucikan di dalam THK sebagai konsep
parahyangan. Madya mandala yaitu daerah pemukiman dimana terjadinya
interaksi manusia dengan sesama (pawongan), sedangkan nista mandala yaitu
areal pemanfaatan oleh masyarakat seperti areal kebun atau subak abian (Gambar
7). Pembagian ruang lingkup konsep ruang (Tri Mandala) yang lebih kecil yaitu
pada tingkat desa adat dan perumahan. Utama mandala yaitu kahyangan tiga (tiga
pura tempat berstananya dewa Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa) untuk
ruang lingkup desa dan pura keluarga (sanggah) untuk ruang lingkup rumah.
Madya mandala yaitu pemukiman warga untuk lingkup desa dan bangunan
tempat tinggal untuk lingkup perumahan. Nista mandala yaitu areal kebun
maupun ladang sebagai aspek palemahan. Pertimbangan dalam penentuan ruang
yaitu utama mandala sebagai ruang yang disucikan dan memiliki nilai kesakralan,
madya mandala yaitu ruang memiliki pemanfaatan sedang dan nista mandala
sebagai ruang yang bernilai profan (Wesnawa 2010).
Utama mandala
Madya mandala
Nista mandala
Gambar 7 Konsepsi keruangan di GKB berdasarkan THK
16
Prinsip ruang dalam THK memiliki kesesuaian dengan prinsip Man And
Biosphere (MAB) dalam menentukan zonasi kawasan yaitu zona inti sebagai
utama mandala, zona penyangga sebagai madya mandala dan zona transisi
sebagai nista mandala (Gambar 8). Tetapi dalam hal fungsinya terjadi perbedaan,
dimana desa adat (pemukiman) berada pada zona penyangga pada konsep Tri
Mandala, sedangkan pada cagar biosfer pemukiman berada pada zona transisi.
Hal ini mengisyaratkan jika manusia sebagai pemeran utama terhadap
keberlanjutan GKB. Konsep keruangan berdasarkan THK apabila diterapkan
maka masyarakat disekitar GKB sudah tidak asing lagi dengan konsep zonasi
kawasan geopark dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga konsep ruang pada THK
bisa digunakan secara universal dalam zonasi geopark.
Gambar 8 Zonasi cagar biosfer (sumber:http://www.mabindonesia.org/cagar.php)
Aspek Waktu
Aspek tata waktu yang masyarakat disekitar GKB terapkan dikenal dengan
padewasan, sebagai acuan didalam memulai setiap kegiatan. Dewasa ayu
merupakan hari baik untuk melaksanakan suatu kegiatan, selain itu dalam
padewasan terdapat larangan-larangan yang digunakan dalam melaksanakan
kegiatan tertentu yang terkandung didalam sistem ingkel, dimana satu ingkel
dilaksanakan selama satu minggu (Tabel 4).
Tabel 4 Konsep peringkelan yang masyarakat terapkan dalam kehidupan
Ingkel
Wong
Sato
Mina
Manuk
Taru
Buku
Larangan
Tidak menyakiti sesama manusia
Tidak menyakiti ternak berkaki empat
Tidak menyakiti ikan
Tidak menyakiti unggas dan burung
Tidak menyakiti pohon dan menebang pohon
Tidak menebang tanaman yang beruas seperti tebu, bambu
Masyarakat merencanakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya berdasarkan
sistem peringkelan, seperti masyarakat yang tergabung dalam mina sari pantang
untuk memanen hasil tambaknya pada ingkel mina, begitu juga dengan kegiatan
17
lain seperti dilarang menebangan pohon pada ingkel taru, dilarang menebang
tanaman berbuku seperti bambu pada ingkel buku. Pengecualian pada inkel sato
dan manuk, karena masyarakat merasa membutuhkannya setiap hari sehingga
tetap dilaksanakan. Konsepsi waktu sesungguhnya membatasi pemanfaatan
sumberdaya yang berlebihan. Penentuan waktu juga menjadi dasar dalam
penentuan daur pemanfaatan sumberdaya yang tetap lestari dalam hutan tanaman.
Aspek Penghargaan Terhadap Sumberdaya
Keterkaitan konservasi dengan sistem kepercayaan masyarakat Bali
dil