Geopark Dari Toba untuk Dunia

Geopark: Dari Toba untuk Dunia
Oleh: Karmel Simatupang
Dalam narasi penciptaan, pada hari pertama diciptakan adalah bumi dan air. Di dalamnya
terdapat bebatuan dan tanah atau geodiversity. Kemudian diciptakan hewan dan tumbuhan atau
biodiversity. Setelah semua lengkap, lalu diciptakan-Nya manusia. Manusia berinteraksi rukun
dengan semua ciptaan. Manusia pun berketurunan hingga bermiliar sampai hari ini. Demikianlah
muncul ragam kebudayaan atau culture diversity. Di tengah perjalanan, manusia jadi rakus,
merusak ciptaan itu.
Cerita diatas hendak dirangkai kembali dalam konsep Taman Bumi (Geopark). Khususnya pada
kawasan yang terbentuk kembali melalui proses geologi. Salah satunya Kawasan Kaldera Danau
Toba. Menemukenali ketiga komponen ruang lingkup Geopark diatas, yaitu; geo, bio dan culture
diversity. Komponen ini punya nilai sejarah dan keunikan tersendiri. Ia diciptakan lagi karena
letusan Gunung api Toba spektakuler itu, periode terakhir 74.000 tahun lampau.
Belum ada letusan gunung api sedahsyat Gunung api Toba, paling tidak 2 juta tahun terakhir.
Menariknya, kaldera (baca: kawah) Gunung Toba ini sudah ditempati manusia ribuan tahun
dengan aneka ragam kebudayaan. Pada dasarnya, Orang-orang Tua dulu tidak ada yang
mengetahui bahwa Danau Toba akibat peletusan gunung api. Hanya saja hidup mereka sangat
menghormati alam. Mereka hidup harmoni. Namun, kurun waktu 30 tahun terakhir, kondisi
segera berbalik. Eksploitasi lingkungan atas nama ekonomi berhasil merusak ekosistem Danau
Toba.
Kemahapopuleran Danau Toba pun, nyaris diujung tanduk. Terpuruk. Seiring rusaknya fisik dan

psikis Kawasan Danau Toba (KDT). Tak hanya ekosistem, tetapi budaya juga ikut terdegradasi.
Semakin hilangnya situs dan ritus kebudayaan lokal. Padahal, budaya adalah penunjuk identitas.
Karena itulah, rumusan revitalisasi budaya yang termaktub dalam blueprint pengusulan Geopark
Kaldera Toba ke UNESCO sangat esensial.
Begitupun dengan konservasi lingkungan. Mengembalikan hubungan baik manusia dengan alam.
Dari ekstraktif menjadi konservatif. Selaras dengan prinsip-prinsip lingkungan. Masyarakat lokal
menjadi subjek. Pelaku utama konservasi. Pariwisata dikelola secara setara: dari, oleh dan untuk
warga lokal. Pemerintah wajib beri insentif bagi warga yang mengusakan kelestarian lingkungan.
Dengan demikian, tujuan Geopark merayakan kembali hubungan manusia dengan keutuhan
ciptaan dapat tercipta. Ziarah peradaban (pilgrimage) yang sangat didambakan sebagian kecil
pecinta mandala Batak dapat terwujud. Kembalinya peradaban. Kembali roh ke jiwa (Mulak
tondi tu badan).

Dari Mitos ke Logos
Batu-batu yang menempel di dingding ring Kaldera Danau Toba, itu membisu. Tapi dia bisa
berkisah. Menceritakan peristiwa apa dan darimana dia berasal. Itulah hebatnya batu-batu Toba.
Bukan sekedar batu biasa. Dia akan mengontak masa lalunya, tatkala ahlinya menterjemahkan.
Batu Gantung, Parapat, misalnya.
Konon, Batu Gantung, Parapat, Kabupaten Simalungun ini, adalah jelmaan seorang perempuan
Batak boru Sinaga yang galau memilih pasangan hidup. Antara pilihan orang tua dengan lelaki

lain yang dicintainya. Lantas dia pergi ke pinggiran Danau Toba hendak mengakhiri hidup. Tapi
dia malah terperosok ke dalam lubang batu gelap. Perempuan itu berteriak-teriak, “Parapaaat…
batu.” Lalu, secara perlahan batu itu bergetar dan merapat. Bagian bawahnya berpatahan ke air
Danau Toba, hingga jadi batu yang menggantung.
Mitos diatas dapat di jelaskan secara ilmu. Terbentuknya Batu Gantung terjadi akibat proses
pelarutan batu gamping/kars oleh air dalam ratusan tahun hingga membentuk batu yang
menggantung seperti tetesan. Oleh ahli Geologi, Gagarin Sembiring dari Ikatan Ahli Geologi
Indonesia (IAGI) wilayah Sumut, menyebutnya, proses stalaktit.
Sedangkan pembentukan gua-gua, pércis dibawah Batu Gantung Parapat ini, dinamai proses
stalaknit. Prosesnya hampir sama, yaitu pelarutan oleh air pada batu kapur/gamping. Batu
Gantung Parapat ini adalah bagian dari Kaldera Porsea, berumur sekitar 250 juta tahun lalu.
Batu gamping di sekitar Danau Toba, berasal dari dasar lautan Indo-Australia. Oleh dinamika
evolusi bumi, melalui pergeseran lempeng Indo-Australia dengan Benua Eurasia dan aktivitas
tekto-vulkanik, batuan ini terdampar. Batuan yang sama juga terdapat di Tombak Sulu-Sulu, Desa
Marbun Dolok, Bakara, Kecamatan Baktiraja, Humbahas. Hanya saja batu gamping Bakara ini
adalah bagian dari Kaldera Sibandang.
Disinilah letak keunikan batu-batu Toba. Dia memiliki nilai warisan dunia (geoheritage) yang
bisa diajak bicara. Keterlaluan sebenarnya, jikalau manusia sekarang masih saja seenaknya
merusak ciptaan mahakarya alam atas lingkungan Danau Toba sekitarnya. Panorama Danau Toba
sungguh menakjubkan. Seni Budaya Batak yang cukup anggun. Berbagai tumbuhan endemik.

Hal ini semua begitu potensial mengungkit ekonomi rakyat, jika saja di manajemen secara
profesional dan kreatif.
Sumbangan untuk Dunia
Ketika Prof. Craig A. Chesner mengetahui bahwa Danau Toba sedang diusulkan menjadi Taman
Bumi Global, ia langsung beri rekomendasi. “Saya pikir tidak ada alasan Danau Toba tidak
masuk Geopark Global, karena semua lengkap. Panorama alam, danau diatas danau, pulau diatas
pulau, keanekaragaman kondisi geologi serta Budaya Batak yang sangat khas,” ucap Chesner,
ketika ditemui sedang meneliti lagi di Tuktuk, Samosir, 16/4’13.

Chesner menambahkan, jika Kawasan Danau Toba bergabung dalam jaringan Geopark Global,
Danau Toba akan lebih dikenal dunia. Ini jalan terbaik untuk Danau Toba. Akan semakin banyak
yang melakukan penelitian. Juga akan mendukung kelestarian alam dan kebudayaan. “Saya juga
akan rekomendasikan teman-teman dan mahasiswa saya untuk lebih banyak penelitian disini,”
terang Chesner, Profesor Geologi dari Eastern Illinois University.
Sekedar mengingatkan, Chesner, dkk (1991) adalah pencetus pertama yang menyimpulkan
letusan Gunung Toba, supervolcano, terjadi 3 periode, yaitu; 840.000, 500.100 dan 74.000 tahun
silam. Masing-masing letusan tersebut berpusat pada Kaldera Porsea, Haranggaol dan
Sibandang. Baru setelah 20 tahun lebih kemudian, kejadian meletusnya Gunung Toba yang
pernah mengubah dunia ini, ramai dibicarakan. Seperti diusulkan menjadi anggota GGN
UNESCO.

Perkembangannya, kini KDT sudah resmi diusulkan menjadi anggota GGN (Global Geopark
Network) UNESCO (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization), oleh
Pemerintah Sumut bersama Ke-7 Pemkab KDT (Samosir, Humbahas, Taput, Tobasa,
Simalungun, Karo dan Dairi). Sesuai Surat Keputusan Gubsu, Nomor 188.44/404/KPTS/2013,
tertanggal 26 Juni 2013, tentang Tim Percepatan Pengajuan Geopark Kaldera Toba menjadi
Anggota GGN UNESCO.
Oleh karenanya, semua data tentang potensi geo, bio dan culture diversity KDT terus
diinventarisasi. Data itu kemudian di kompilasi sesuai dokumen usulan (dossier) yang
dibutuhkan, sesuai prasyarat Unesco. Akhir Bulan Juli lalu, sebagian besar data itu sudah
diserahkan Tim Percepatan kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf).
Sesuai jadwal, 1 Oktober 2013, Parekraf akan mengirim dossier Geopark Kaldera Toba ke
Unesco untuk selanjutnya ditetapkan.
Akhirnya, inilah sumbangan Danau Toba untuk dunia. Kerinduan yang sudah karatan, Danau
Toba menjadi situs sejarah dunia akan mewujud. Seperti Martin Luther King yang pernah
memesona dunia karena pidatonya, “I have a Dream.” Berani bermimpi, bahwa suatu saat
keadilan, kebenaran akan benar-benar terwujud. Keadilan atas nama lingkungan Danau Toba.
Yang gilirannya, ekonomi masyarakat sekitarnya terdongkrak.***
Sekretaris Umum Jendela Toba (Toba Window), Sumut.