Molecular Characterization of Resistance Banana Cultivars to Panama Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense

(1)

KARAKTERISASI MOLEKULER KETAHANAN

BEBERAPA KULTIVAR PISANG (

Musa

spp.) TERHADAP

PENYAKIT LAYU PANAMA

(

Fusarium oxysporum

f.sp.

cubense

)

AGUS SUTANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) Terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014 Agus Sutanto NIM A263090101


(4)

(5)

RINGKASAN

AGUS SUTANTO. Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense). Dibimbing oleh SUDARSONO sebagai ketua, DEWI SUKMA dan CATUR HERMANTO sebagai anggota komisi pembimbing.

Pengembangan komoditas pisang di Indonesia menghadapi kendala perkembangan hama dan penyakit tanaman pisang yang secara signifikan menurunkan produksi pisang secara nasional. Penyakit layu Panama yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) merupakan salah satu penyakit yang sudah tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, dan sangat sulit dikendalikan. Serangkaian kegiatan penelitian dilakukan bertujuan untuk mengisolasi, mengkarakterisasi gen ketahanan (resistance gene analogue, RGA) dan pertahanan (defense gene analogue, DGA) serta mengembangkan marka molekuler ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC. Percobaan dimulai dengan uji ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC untuk memilih kultivar tahan. Hasil pengujian mendapatkan dua kultivar tahan, yaitu Calcuta-4 (introduksi) dan Klutuk Wulung (asli Indonesia) yang akan digunakan untuk percobaan berikutnya yaitu isolasi dan karaterisasi RGA. Dua kultivar hasil percobaan pertama, dan ditambah satu kultivar Rejang (asli Indonesia) berdasarkan hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan ketahanan terhadap FOC digunakan sebagai materi genetik untuk isolasi dan karakterisasi RGA. Dari tiga kultivar diperoleh sebanyak 17 sekuen RGA yang mengandung domain terkonservasi NBS-LRR dan terbagi dalam empat kelompok, yaitu kelompok I beranggotakan 14 sekuen (MNBS1-MNBS14), dan tiga kelompok lainnya beranggotakan satu sekuen yaitu MNBS15, MNBS16 dan MNBS17.

Percobaan selanjutnya adalah isolasi dan karakterisasi DGA yaitu gen chitinase dan β-1,3-glucanase. Gen chitinase diisolasi dari dari lima kultivar pisang asli Indonesia, yaitu Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau dan Barangan. Dari lima produk amplifikasi PCR (satu produk mewakili satu kultivar), diperoleh delapan sekuen putatif gen chitinase (MaChi) yang berukuran 596 pb yang menyandi 148 residu asam amino. Fragmen MaChi mengandung dua intron (158 pb) dan tiga ekson (438 pb). Hasil analisis sekuen menunjukkan fragmen MaChi mempunyai identity 90 % dengan gen chitinase kelas II asal pisang. Gen β-1,3-glucanase diisolasi dari empat kultivar pisang, yaitu Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau dan Barangan. Dari empat produk amplifikasi PCR diperoleh empat sekuen putatif gen β-1,3-glucanase (MaGlu) yang berukuran 788 pb yang menyandi 261 residu asam amino. Hasil analisis sekuen menunjukkan fragmen MaGlu mempunyai identity sebesar 99 % dengan gen β-1,3-glucanase yang berasal dari pisang.

Berdasarkan fragmen gen yang diperoleh dilakukan identifikasi dan analisis keragaman situs SNP. Situs SNP diidentifikasi dari 14 fragmen RGA (MNBS1-MNBS14), 8 fragmen gen chitinase (MaChi), dan 4 fragmen gen β-1,3-glucanase (MaGlu). Berhasil diidentifikasi sebanyak 16 putatif SNP dari 4 fragmen RGA yang berasal dari kultivar Rejang (MNBS2-MNBS5) dan mempunyai 4 haplotipe, sedangkan dari 8 fragmen RGA yang berasal dari


(6)

kultivar Calcuta-4 (MNBS6-MNBS14) diidentifikasi sebanyak 9 putatif SNP dan mempunyai 7 haplotipe. Sebanyak 22 putatif SNP diidentifikasi dari 8 fragmen gen chitinase dan mempunyai 8 haplotipe, sedangkan dari 4 fragmen gen β-1,3-glucanase berhasil diidentifikasi 8 putatif SNP dan mempunyai 4 haplotipe.

Berdasarkan situs SNP yang teridentifikasi, dilakukan pengembangan marka SNAP berbasis RGA dan DGA untuk marka ketahanan terhadap penyakit layu FOC. Dari hasil evaluasi menggunakan pendekatan teknik PCR dan analisis filogenetik dipilih beberapa lokus yang dapat digunakan sebagai marka ketahanan terhadap layu FOC dan bisa mengelompokkan kultivar referensi berdasarkan karakter ketahanan terhadap layu FOC. Lokus-lokus tersebut adalah SNP4_MNBS yang bertautan dengan RGA (gen MNBS), lokus SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi, SNP11_MChi yang bertautan dengan gen chitinase (MaChi), dan lokus SNP1_MGlu yang bertautan dengan gen β-1,3-glucanase. Namun demikian, penggunaan lokus SNP1_MGlu bisa juga dihilangkan, karena tanpa menggunakan primer SNP1_MGlu pengelompokkan kultivar berdasarkan ketahanan terhadap layu FOC menjadi lebih baik. Selain itu, dari penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan susunan basa nukleotida antara kultivar pisang yang rentan dan tahan terhadap penyakit layu FOC, dan perbedaan nukleotida tersebut dapat menyebabkan perubahan residu asam amino.

Kata kunci: DGA, haplotipe, marka SNAP, RGA, SNP. .


(7)

SUMMARY

AGUS SUTANTO. Molecular Characterization of Resistance Banana Cultivars to Panama Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Supervisied by SUDARSONO as chairman, DEWI SUKMA and CATUR HERMANTO as member of advisory committee.

Sustainability of banana and plantain in Indonesia encounters the development of banana pests and diseases that dramatically decreased national banana production. Panama wilt disease caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) is one of major banana diseases that infected almost all of banana plantation in Indonesia. A series of experiments were carried out to isolate, characterize resistance gene analogues (RGAs) and defense gene analogues (DGAs), and to develop molecular markers for disease resistance against fusarium wilt. The experiment was started by the assessment of resistance banana cultivars against FOC tropical race-4 (TR4), and selected two cultivars showed resistant to FOC i.e. Calcuta-4 and Klutuk Wulung. From those selected cultivars and one resistant cultivar, Rejang, 17 RGAs were isolated and characterized and showed high sequence identity to NBS-LRR. The RGA sequences were designated as MNBS1-MNBS17. Based on phylogenetic analysis, the RGAs were classified into four groups. First group contained 14 RGA sequences (MNBS1-MNBS14), and the other three groups contained one sequence MNBS15, MNBS16, and MNBS17, respectively.

The isolation and characterization of DGA (chitinase and β-1,3-glucanase genes) were carried out using local banana cultivars. Eight putative chitinase sequences (586 bp in length) were isolated from Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau and Barangan. The sequences were showed high identity (90 %) to banana class II chitinase gene and coded by MaChi. Four putative β-1,3-glucanase sequences (788 bp in length) were isolated and characterized from Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau and Barangan. The sequences shared 99 % identity to banana β-1,3-glucanase, and designated as MaGlu.

Based on SNP identification, it was revealed that RGA sequences from Rejang (MNBS2-MNBS5) and Calcuta-4 (MNBS6-MNBS14) contained 16 and 9 putative SNPs, respectively. Based on SNP analysis, RGA sequences of Rejang and Calcuta-4 generated 4 and 8 haplotypes, respectively. Twenty two SNPs were identified from 8 chitinase fragments and generated 8 haplotypes, while 8 putative SNPs were identified from 4 β-1,3-glucanase fragments and generated 4 haplotypes.

SNAP markers were developed based on non synonymous SNPs identified from RGA (MNBS) and DGA (chitinase and β-1,3-glucanase) sequences. Using PCR technique and allel specific primers approaches, 7 loci based on RGA and DGA sequences were selected as SNAP markers for FOC resistance banana cultivars, there were SNP4_MNBS, SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi, SNP11_MChi, and SNP1_MGlu. However, the use of SNP1_MGlu locus can be omitted, because without SNP1_MGlu primers, the grouping of banana cultivar base on FOC resistance will be better.


(8)

(9)

©

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

KARAKTERISASI MOLEKULER KETAHANAN

BEBERAPA KULTIVAR PISANG (

Musa

spp.) TERHADAP

PENYAKIT LAYU PANAMA

(

Fusarium oxysporum

f.sp.

cubense

)

AGUS SUTANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: - Dr. Sitho Wahyuning Ardie, SP. MSi. - Dr. Dini Dinarti, SP. MSi.

Penguji pada Ujian Terbuka: - Dr. Ir. Nurul Kumaida, MSi.


(13)

Judul Disertasi : Kar (Mus oxys

Nama : Agus

NIM : A263090101

Dr. Dewi Sukm Anggot

Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknol

Dr. Ir. Yudiwanti Wa Tanggal Ujian: 4 Febr

arakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa usa spp.) Terhadap Penyakit Layu Pana ysporum f.sp. cubense).

gus Sutanto 263090101

Disetujui: Ketua Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. Ketua

ukma, SP. MSi.

nggota Dr. Ir. Catur HermAnggota

Diketahui oleh: udi

oteknologi Tanaman

ahyu E.K, MS. ebruari 2014

Dekan Sekolah Pas

Dr. Ir. Dahrul Syah, M Tanggal Lulus

a Kultivar Pisang nama (Fusarium

rmanto, MP. nggota

ascasarjana


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan disertasi ini dengan judul: ‘Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense)’.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, dan kepada Dr. Dewi Sukma, SP. MSi. dan Dr. Ir. Catur Hermanto, MSc. sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran-saran dan masukan sejak persiapan, pelaksanaan penelitian sampai penyusunan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr., Dr. Ir. Widodo, MSc., Dr. Sintho Wahyuning Ardie SP. MSi., Dr. Dini Dinarti SP. MSi., Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu EK. MS., Prof. (Riset) Dr. Ir. I. Djatnika, MS. dan Dr. Ir. Nurul Kumaida, MSi., yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian pra kualifikasi program Doktor, Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka, serta memberikan masukan dan saran perbaikan untuk kesempurnaan disertasi ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian Republik Indonesia, yang telah memberi kesempatan dan dukungan biaya kepada penulis untuk melangsungkan studi S3 di IPB.

Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman di Laboratorium Pemuliaan dan Biologi Molekuler Tanaman, yang telah membantu baik secara fisik maupun psikologis selama berlangsungnya kegiatan penelitian, serta kepada Bapak Panca Jarot Santoso, SP. MSc. yang telah memberikan sebagian bahan kimianya untuk kelengkapan penelitian disertasi ini.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada istri tercinta Susilowati, serta anak-anak tersayang Ikhsan Fitrianto dan Afifah Nurul’ain yang dengan penuh kesabaran mendampingi penulis selama menempuh pendidikan S3 di IPB.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan, sehingga besar harapan penulis saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan disertasi. Akhir kata penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pemuliaan dan biologi molekuler tanaman, khususnya tanaman pisang di Indonesia.

Bogor, Februari 2014 Agus Sutanto


(16)

(17)

xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

1 PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tanaman Pisang (Musa spp.) ... 2

Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Pisang dan Usaha Pengendaliannya ... 5

Perbaikan Kultivar Tanaman Pisang ... 7

Interaksi Tanaman dan Penyakit ... 8

Gen Ketahanan (R gene) ... 9

Gen Respon Pertahanan ... 11

Marka Molekuler Pada Tanaman Pisang ... 16

Perumusan Masalah ... 21

Tujuan Penelitian ... 22

Manfaat Penelitian ... 22

Ruang Lingkup Penelitian ... 22

2 UJI DINI KETAHANAN BEBERAPA KULTIVAR PISANG TERHADAP PENYAKIT LAYU FOC VCG 01213/16 (TR4) Abstrak ... 25

Abstract ... 26

Pendahuluan ... 27

Bahan dan Metode ... 28

Hasil dan Pembahasan ... 30

Simpulan ... 33

Daftar Pustaka ... 33

3 ISOLASI DAN KARAKTERISASI RESISTANCE GENE ANALOGUE (RGA) ASAL 3 KULTIVAR PISANG YANG TAHAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM Abstrak ... 37

Abstract ... 38

Pendahuluan ... 39

Bahan dan Metode ... 40

Hasil dan Pembahasan ... 43

Simpulan ... 56

Daftar Pustaka ... 57

4 ISOLASI DAN KARAKTERISASI GEN CHITINASE ASAL 5 KULTIVAR PISANG Abstrak ... 61

Abstract ... 62


(18)

xii

Daftar Pustaka ... 71

5 ISOLASI DAN KARAKTERISASI GEN β-1,3-GLUCANASE ASAL 4 KULTIVAR PISANG Abstrak ... 73

Abstract ... 74

Pendahuluan ... 75

Bahan dan Metode ... 76

Hasil dan Pembahasan ... 77

Simpulan ... 83

Daftar Pustaka ... 84

6 IDENTIFIKASI DAN ANALISIS SUBSTITUSI SATU BASA (SNP) DAN KERAGAMAN NUKLEOTIDA RGA DAN DGA ASAL DNA GENOM PISANG Abstrak ... 87

Abstract ... 88

Pendahuluan ... 89

Bahan dan Metode ... 89

Hasil dan Pembahasan ... 91

Simpulan ... 101

Daftar Pustaka ... 101

7 PENGEMBANGAN MARKA SNAP BERBASIS RESISTANCE GENE ANALOGUE (RGA) DAN DEFENSE GENE ANALOGUE (DGA) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa spp.) Abstrak ... 105

Abstract ... 106

Pendahuluan ... 107

Bahan dan Metode ... 107

Hasil dan Pembahasan ... 110

Simpulan ... 128

Daftar Pustaka ... 129

8 PEMBAHASAN UMUM 131 9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 137

Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 139

LAMPIRAN ... 167


(19)

xiii

1. Translasi nilai DSI ... 30 2. Status ketahanan/kerentanan 5 kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC 31 3. Degenerate primer yang digunakan untuk mengamplifikasi NBS-LRR

asal DNA genom tanaman pisang ... 40 4. Pengelompokan fragmen RGA dari produk PCR berdasarkan asal

DNA genom diisolasi ... 44 5. Sequence identity antara runutan nukleotida dari fragmen MNBS asal

tanaman pisang kultivar Rejang, Calcuta-4 dan Klutuk Wulung dengan Musa NBS-LRR yang telah dideposit pada pangkalan data

GenBank ... 48 6. Sequence identity antara runutan prediksi asam amino MNBS asal

tanaman pisang kultivar Rejang, Calcuta-4 dan Klutuk Wulung dengan protein Musa NBS-LRR yang telah dideposit pada pangkalan

data GenBank ... 48 7. Matrik genetic identity (%) hasil dari analisis pensejajaran sekuen

prediksi asam amino Musa RGA dan protein R menggunakan

ClustalW2... 53 8 Hasil analisis BLASTN antara sekuen fragman MNBS dengan data

genom pisang global (http://banana-genome.cirad.fr/blast) ... 54 9. Sekuen primer PCR yang digunakan untuk mengamplifikasi gen

chitinase asal fragmen DNA genom pisang dan ukuran produk yang

diharapkan ... 64 10. Sequence identity residu prediksi asam amino dari fragmen chitinase

yang diisolasi dari pisang Rejang (MaChi_Rjg) dan 12 chitinase yang berasal dari tanaman lain yang terdeposit dalam pangkalan data

GenBank NCBI ... 67 11. Sekuen primer PCR yang digunakan untuk mengamplifikasi gen

β-1,3-glucanase asal fragmen DNA genom pisang dan ukuran produk

yang diharapkan ... 77 12. Sequence identity residu prediksi asam amino dari fragmen

β-1,3-glucanase yang diisolasi dari pisang Rejang (MaGlu_Rjg) dan 16 glycosida hidrolase famili 17 yang berasal dari tanaman dan

organisme lain yang terdeposit dalam pangkalan data GenBank NCBI 80 13. Pengelompokan RGA berdasarkan asal kultivar pisang ... 90 14. Karakter dari 16 SNP yang diidentifikasi pada sekuen RGA (MNBS)

dari kultivar Rejang ... 92 15. Karakter dari 9 SNP yang diidentifikasi pada sekuen RGA (MNBS)


(20)

xiv

18. Karakter dari 22 SNP yang diidentifikasi pada sekuen chitinase ... 98 19. Karakter dari 9 SNP yang diidentifikasi pada sekuen β-1,3-glucanase 98 20. Parameter keragaman genetik gen chitinase dan β-1,3-glucanase asal

DNA genom pisang ... 99 21. Sekuen dan frekuensi haplotipe dari gen chitinase dan

β-1,3-glucanase asal DNA genom pisang ... 99 22. Primer alternatif sebagai luaran yang didapat dari proses mendisain

primer dengan menggunakan WebSNAPER untuk situs SNP1 dari

fragmen gen MNBS ... 113 23. Primer SNAP terpilih dari 7 situs SNP asal fragmen gen MNBS yang

dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP ... 115 24. Primer SNAP terpilih dari 3 situs SNP asal fragmen gen β-1,3-glucanase

yang dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP …………... 115 25. Primer SNAP terpilih dari 11 situs SNP asal fragmen gen chitinase

yang dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP ... 116 26. Data genotipe hasil konversi dari elektroferogram produk PCR

menggunakan primer SNAP berbasis RGA pada 10 kultivar pisang ....

121 27. Data genotipe hasil konversi dari elektroferogram produk PCR

menggunakan primer SNAP berbasis gen β-1,3-glucanase pada 10

kultivar pisang ... 122 28. Data genotipe hasil konversi dari elektroferogram produk PCR

menggunakan primer SNAP berbasis gen chitinase pada 10 kultivar


(21)

xv

1 Asal dan penyebaran kultivar pisang subgroup triploid ... 4

2 Produksi buah nasional pada tahun 2011 ... 5

3 Kelas utama gen ketahanan (R gene) berdasarkan susunan dan fungsi domainnya, beserta contoh gen ... 10

4 Model yang menggambarkan peranan chitinase dan β-1,3-glucanase melawan serangan cendawan patogen (Mauch & Staehelin 1989) ... 16

5 Diagram alur kegiatan penelitian ‘Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) Terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense) ... 23

6 Pengaturan teknik penempatan wadah ganda ... 28

7 Skor Leaf Symptom Index (LSI) ... 29

8 Skor Rhizome Discoloration Index (RDI) ... 29

9 Gejala luar (daun) dan dalam (bonggol) akibat infeksi Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 pada Klutuk Wulung, Ambon Hijau, Calcuta-4, Kepok dan Ketan, 5 minggu setelah inokulasi ... 32

10 Elektroferogram hasil amplifikasi menggunakan dua pasang kombinasi primer pada pada cetakan DNA genom tiga kultivar pisang ... 43

11 Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS1 (mewakili kelompok I) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Klutuk Wulung ... 45

12 Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS15 (kelompok II) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Calcuta-4 ... 45

13 Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS16 (kelompok III) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Calcuta-4 ... 46

14 Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS17 (kelompok IV) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Klutuk Wulung ... 46

15 Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino MNBS berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan) ... 47

16 Analisis pensejajaran sekuen prediksi asam amino MNBS dengan beberapa protein Musa NBS-LRR dan protein R yang terdeposit pada GenBank ... 50

17 Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino dari MNBS pisang dan beberapa protein Musa NBS-LRR dan protein R tanaman lain berdasarkan analisis pensejajaran menggunakan ClustalW2 dan dibuat berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan) ... 51 18 Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino dari


(22)

xvi

19 Elektroferogram produk amplifikasi PCR yang berasal dari DNA

genom 5 kultivar pisang, menggunakan pasangan primer Chi2-2 ... 65 20 Contoh sekuen DNA dan prediksi asam amino dari hasil amplifikasi

PCR asal DNA genom pisang Rejang, menggunakan primer spesifik

chitinase. Intron ditandai dengan huruf kecil pada sekuen DNA ... 66 21 Hasil analisis pensejajaran sekuen residu asam amino yang diprediksi

dari sekuen fragmen produk yang diamplifikasi dari DNA genom kultivar pisang Indonesia (MaChi_Rjg, MaChi_Klt#1 dan #2, MaChi_Kpk#1 dan #2, MaChi_AH#1 dan #2, dan MaChi_Br) dan

yang berasal dari chitinase yang tersedia pada GenBank NCBI ... 69 22 Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen residu prediksi asam

amino chitinase yang berasal dari tanaman pisang dan 11 tanaman lain berdasarkan analisis pensejajaran menggunakan ClustalW2 dan dibuat berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu

percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan) ... 70 23 Elektroferogram produk amplifikasi PCR yang berasal dari DNA

genom lima kultivar pisang, menggunakan pasangan primer MaGlu1 78 24 (A) Elektroferogram produk PCR pertama dari kultivar Rejang dan

Barangan menggunakan primer MaGlu 1. (B) Produk PCR pertama dari kultivar Barangan yang telah dipurifikasi. (C) Produk PCR kedua dari kultivar Barangan menggunakan produk PCR yang telah

dipurifikasi sebagai cetakan DNA ... 78 25 Contoh sekuen DNA dan prediksi asam amino dari hasil amplifikasi

PCR asal DNA genom pisang Rejang, menggunakan primer spesifik

β-1,3-glucanase ... 79 26 Pensejajaran prediksi asam amino MaGlu_Rjg, MGlui_Klt, dan

MaGlu_AH dengan β-1,3-glucanase, lichenase atau β-1,3:1,4-glucanase tanaman lain, dan exo-β-1,3-glucanase dari khamir dan

bakteri yang telah terdeposit dalam GenBank NCBI ... 82 27 Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen residu prediksi asam amino

β-1,3-glucanase yang berasal dari tanaman pisang dan 12 β-1,3-glucanase asal tanaman lain, lichenase asal H. vulgare, dan exo-β-1,3-glucanase (eGase) asal khamir dan bakteri, berdasarkan analisis pensejajaran menggunakan ClustalW2 dan dibuat berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan) ...

83 28 Variasi SNP pada RGA yang berasal dari DNA genom pisang Rejang

dan Calcuta-4 ... 91 29 Jejaring haplotipe berdasarkan metode Median Joining (Bandelt et al.


(23)

xvii

31 Variasi SNP pada fragmen gen chitinase dan β-1,3-glucanase yang

berasal dari DNA genom beberapa kultivar pisang ... 97 32 Jejaring haplotipe berdasarkan metode Median Joining (Bandelt et al.

1999) dari fragmen gen chitinase dan β-1,3-glucanase ... 100 33 Tampilan perangkat lunak WebSNAPER yang digunakan untuk

mendisain primer SNAP ... 109 34 Representasi situs SNP pada fragmen MNBS asal pisang (Musa spp.).

Situs SNP 195 dan 225 tidak menyebabkan terjadinya substitusi asam amino sedangkan situs SNP 215 merubah residu asam amino arginin

menjadi lisin ... 111 35 Representasi situs SNP pada fragmen MNBS. Situs SNP dengan latar

belakang kuning adalah situs SNP yang menyebabkan terjadinya substitusi asam amino sedangkan situs SNP di dalam kotak merah adalah situs SNP

terpilih untuk pembuatan primer SNAP ... 111 36 Keberadaan situs SNP pada fragmen MaGlu asal pisang (Musa spp.).

Situs SNP 30, 480, 618 dan 753 tidak menyebabkan terjadinya substitusi residu asam amino sedangkan situs SNP 91, 538, 677 dan

778 yang dapat merubah residu asam amino ... 112 37 Representasi situs SNP pada fragmen gen MaChi dari 5 kultivar pisang.

MaChi-Rjg asal Rejang, MaChi_Klt#1 & #2 asal Klutuk Wulung, MaChi_Kpk#1 & #2 asal Kepok, MaChi_AH#1 & #2 asal Ambon Hijau,

dan MaChi_Br asal Barangan ... 112 38 Pensejajaran runutan nukleotida dari alternatif primer untuk situs

SNP#1 dengan fragmen MNBS ... 114 39 Produk PCR hasil amplifikasi dari genom tanaman pisang cv. Klutuk

Wulung (A) dan Barangan (B) menggunakan 10 pasang primer SNAP

berdasarkan situs SNP pada gen MNBS ... 118 40 Produk PCR hasil amplifikasi dari genom tanaman pisang cv. Klutuk

Wulung (A) dan Barangan (B) menggunakan 6 pasang primer SNAP

berdasarkan situs SNP pada gen MaGlu ... 118 41 Produk PCR hasil amplifikasi dari genom tanaman pisang cv. Klutuk

Wulung (A) dan Barangan (B) menggunakan 22 pasang primer SNAP

berdasarkan situs SNP pada gen MaChi ... 119 42 Representasi analisis 5 primer SNAP berbasis RGA pada 10 kultivar

pisang ... 120 43 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar

berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP

berbasis RGA (MNBS) ... 121 44 Representasi analisis 5 primer SNAP berbasis gen β-1,3-glucanase pada


(24)

xviii

46 Representasi analisis 5 primer SNAP berbasis gen chitinase pada 10

kultivar pisang ... 124 47 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar

berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP

berbasis gen chitinase (MaChi) ... 125 48 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar

berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNP2_MChi,

SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi dan SNP11_MCi ... 126 49 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar

berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNP4_MNBS, SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi,

SNP11_MChi yang melibatkan primer SNP1_MGlu dan yang tidak ... 126 50 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar

referensi dan 10 kultivar/aksesi lain berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNP4_MNBS, SNP2_MChi, SNP6_MChi,

SNP8_MChi, SNP10_MChi dan SNP11_MChi ... 128 51 Peranan teknologi biologi molekuler dalam kegiatan perbaikan

kultivar tanaman pisang ... 135

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dendogram hasil analisis filogenetik setiap lokus SNP_MNBS pada

10 kultivar pisang ... 167 2 Dendogram hasil analisis filogenetik setiap lokus SNP_MChi pada 10

kultivar pisang ... 168 3 Prosedur isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle


(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu sentra primer keragaman pisang, baik pisang segar, olahan, dan pisang liar. Lebih dari 200 jenis pisang terdapat di Indonesia. Tingginya keragaman ini, memberikan peluang pada masyarakat untuk dapat memanfaatkan dan memilih jenis pisang komersial yang dibutuhkan oleh konsumen.

Selain untuk konsumsi segar, beberapa kultivar pisang di Indonesia juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri olahan pisang misalnya industri keripik, sale dan tepung pisang. Perkembangan kebun rakyat dan industri olahan di daerah sentra produksi, dapat memberikan peluang baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.

Pengembangan komoditas pisang di Indonesia mengalami kendala perkembangan hama dan penyakit yang semakin komplek. Beberapa penyakit penting seperti banana bunchy top virus (BBTV), layu bakteri dan layu Fusarium telah menyebar di daerah sentra produksi pisang (Nurhadi & Setyobudi 2000; Buddenhagen 2009; Hermanto et al. 2011; Molina et al. 2010). Beberapa kultivar komersial seperti Barangan, Ambon Hijau dan Ambon Kuning sangat rentan terhadap BBTV dan layu Fusarium, sedangkan Kepok rentan terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum.

Berbagai usaha pengendalian penyakit pisang baik secara kultur teknis, kimia (Nel et al. 2006) dan biologis (Cao et al. 2004) telah dilakukan namun belum memberikan hasil yang maksimal (Huang et al. 2012). Oleh karena itu, pengendalian penyakit menggunakan kultivar tahan adalah alternatif yang dapat ditempuh. Untuk mendapatkan kultivar tahan penyakit dapat ditempuh dengan melakukan seleksi terhadap sumber daya genetik lokal, mendatangkan kultivar dari luar (introduksi) atau melakukan pemuliaan tanaman secara konvensional (persilangan) ataupun non-konvensional (induksi mutasi dan rekayasa genetika).

Pemuliaan tanaman pisang secara konvensional menghadapi kendala sterilitas dan inkompatibilitas bunga pisang, serta waktu yang diperlukan relatif lama. Pemuliaan secara non-konvensional dengan induksi mutasi telah banyak dilakukan, namun sebagian besar mutasi yang diperoleh tidak bisa dikendalikan. Perbaikan kultivar dengan teknik rekayasa genetika merupakan teknologi yang menjanjikan, namun demikian memerlukan pemahaman tentang gen-gen yang bertanggungjawab pada ketahanan terhadap penyakit serta interaksi antara tanaman dengan patogen.

Dengan ditemukannya struktur DNA pada tahun 1953 oleh Watson & Crick (1953), serta teknologi rekombinasi DNA pada tahun 1973 oleh Cohen et al. (1973), bioteknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama yang berhubungan dengan biologi molekuler dan selanjutnya menjadi dasar dari bioteknologi modern. Selain itu dengan dikembangkannya teknologi polymerase chain reaction (PCR) oleh Kary Mullis pada tahun 1983 (Gibbs 1991) dan


(26)

penemuan enzim polimerase yang tahan pada suhu tinggi asal bakteri Thermus aquaticus (Taq) (Saiki et al. 1988), perkembangan teknologi berbasis biologi molekuler semakin pesat termasuk identifikasi gen-gen yang berhubungan dengan karakter spesifik seperti identifikasi gen-gen yang berhubungan dengan mekanisme ketahanan dan pertahanan terhadap penyakit tanaman, serta perkembangan teknologi marka molekuler.

Salah satu teknologi marka molekuler yang terbaru adalah marka berdasarkan substitusi satu situs nukleotida tertentu atau disebut single nucleotide polymorphism (SNP). Perubahan satu situs nukleotida bisa secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan perubahan ekspresi suatu gen (Sunyaev et al. 2001). Marka SNP secara intensif telah digunakan dalam bidang kedokteran terutama untuk mendeteksi sel-sel kanker pada manusia (Schaid et al. 2004; Engle et al. 2006), sedangkan di bidang pertanian, marka SNP juga sudah dimanfaatkan untuk identifikasi kultivar dan seleksi lokus-lokus yang berasosiasi dengan karakter tertentu dalam pemuliaan tanaman (Yang et al. 2004; Sun et al. 2011). Marka SNP juga sudah mulai digunakan pada tanaman pisang, yaitu di bidang taksonomi dan pengembangan teknologi MAS pada pemuliaan pisang (Umali & Nakamura 2003; Adesoye et al. 2012). Namun demikian masih belum ada informasi mengenai pemanfaatan marka berbasis SNP untuk ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit.

Tanaman Pisang (Musa spp.) Taksonomi

Pisang dan kerabatnya termasuk dalam genus Musa, ordo Zingiberales, dan family Musaceae. Genus Musa terdiri atas 30-40 spesies yang berasal dari Asia Tenggara (Stover & Simmond 1987). Berdasarkan jumlah kromosom, orientasi dan susunan pembungaan, Musa dikelompokkan ke dalam 5 seksi (Karamura 1998). Terdapat 2 seksi yang beranggotakan spesies dengan jumlah kromosom dasar 10 (2n=20) adalah Callimusa dan Australimusa, dan 2 seksi lainnya yang mempunyai kromosom dasar 11 (2n=22) adalah Eumusa dan Rhodochlamys. Seksi yang terakhir adalah Incerta sedis yang terdiri atas Musa ingens Simmond, Musa boman dan Musa lasiocarpa (Daniells et al. 2001) yang mempunyai jumlah kromosom dasar yang berbeda dan masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk pengelompokkannya.

Spesies yang termasuk dalam anggota seksi Callimusa dan Rhodochlamys hanya sebagai tanaman hias dan tidak menghasilkan buah yang dapat dimanfaatkan untuk konsumsi. Spesies yang merupakan anggota dari Callimusa adalah Musa salaccensis, Musa coccinea, Musa gracilis dan Musa violascens, sedangkan yang termasuk dalam seksi Rhodochlamys adalah Musa laterita, Musa ornata, Musa sanguinea dan Musa velutina (Karamura 1998).

Seksi Australimusa beranggotakan Musa textilis Nees (Abaca) yang seratnya mempunyai nilai ekonomis tinggi, Musa lolodensis di Halmahera dan Papua (Nasution 1993), Musa maclayi, Musa peekelii, Musa jakeyi dan beberapa jenis Fe’i banana (pembawa genom T) yang penyebarannya mulai dari Maluku, Papua seperti Tongka Langit (Musa troglodytarum L.), Papua Nugini sampai wilayah Pasifik (Englberger 2003; Sharrock 2002).


(27)

Seksi Eumusa adalah merupakan seksi yang mempunyai anggota terbesar, yaitu sebanyak 13-15 spesies (Karamura 1998). Sebagian besar pisang yang dapat dimakan adalah termasuk dalam seksi Eumusa yang merupakan hibrida alami diploid atau triploid dari Musa acuminata (pembawa genom A) sendiri atau dengan Musa balbisiana (pembawa genom B) (Simmond 1962), sehingga menghasilkan kultivar-kultivar diploid (AA) dan triploid (AAA, AAB dan ABB). Sejarah dan Sebaran

Evolusi tanaman pisang dari liar menjadi kultivar melibatkan proses supresi produksi biji dan perkembangan partenokarpi (Simmond 1962). Keragaman Musa acuminata sangat tinggi dan telah dikelompokkan ke dalam beberapa sub-spesies (Perrier et al. 2009). Nasution (1991) telah mengidentifikasi sebanyak 15 varietas Musa acuminata di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis pigmen antosianin setidaknya ada 3 sub-spesies dari Musa acuminata yang terlibat dalam pembentukan kultivar diploid (AA) maupun triploid (AAA), yaitu ssp. malaccensis, ssp. zebrina, dan ssp. banksii (Horry & Jay 1988). Namun demikian hasil analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP) dari kloroplas dan mitokondria menyarankan spp. errans juga terlibat dalam pembentukan kultivar pisang modern (Carrel et al. 2002).

Sumber: Perrier et al. (2011)

Gambar 1 Asal dan penyebaran kultivar pisang subgroup triploid. Garis putus biru menunjukkan migrasi M. balbisiana dari Asia Utara dan bertemu dengan spp. banksii membentuk plantain dan triploid ABB. Garis putus merah meunjukkan migrasi spp. banksii dan bertemu dengan spp. zebrina (daerah pertemuan selatan) yang membentuk diploid dan triploid. Garis putus hijau menunjukkan migrasi diploid kultivar AA ke Afrika dan ke Asia Utara yang membentuk triploid AAA di wilayah pertemuan utara dan AAB maupun ABB di Asia Utara. Garis ungu menunjukkan migrasi plantain ke Afrika dan Pasifik. Garis hijau menunjukkan migrasi triploid AAA dari Asia Tenggara ke Afrika.

banksii zebrina

microcarpa malaccensis

M. balbisiana

Wilayah pertemuan

Utara

Wilayah pertemuan

Timur

Wilayah pertemuan

Selatan

errans burmanica

AAA Highland AAB Plantains

AAB Popoulu

AAA AA AAA cvs

AAB ABB East ABB West

AAB Pome AAB Others


(28)

Selanjutnya Perrier et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat 3 wilayah pertemuan antar sub-spesies, yaitu wilayah pertemuan selatan antara New Guinea sampai Jawa merupakan pertemuan antara spp. banksii dan spp. zebrina/microcarpa, wilayah pertemuan utara antara Filipina dan Kalimantan sampai Thailand merupakan pertemuan antara spp. malaccensis/microcarpa dengan spp. errans, dan wilayah pertemuan timur antara New Guinea sampai Filipina merupakan pertemuan antara spp. banksii dengan M. balbisiana yang berasal dari Asia Utara, Filipina dan membentuk kultivar ABB dan AAB (termasuk plantain dan pacific plantain). Dari hasil hibridisasi secara alami tersebut diperoleh progeni-progeni yang dengan campur tangan manusia diseleksi dan disebarkan ke berbagai wilayah di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya sampai ke Afrika (Blench 2009). Ilustrasi asal dan sebaran kultivar pisang triploid ditampilkan pada Gambar 1.

Keragaman Pisang

Sebagaimana dinyatakan oleh Perrier (2011), bahwa sebagian besar wilyah pertemuan antara spesies/subspesies liar Musa berada di wilayah Indonesia, menjadikan kawasan Indonesia sumber keragaman (centre of diversity) dari kultivar pisang. Dengan ditemukannya kembali 15 subspesies liar Musa acuminata dan 2 spesies liar yaitu Musa salaccensis dan Musa lolodensis (Nasution 1991; 1993), membuktikan bahwa Indonesia juga merupakan sumber asal (centre of origin) pisang dan kerabatnya (Musa spp.). Setidaknya lebih dari 200 kultivar pisang ada di Indonesia (Edison et al. 2001)

Keragaman kultivar pisang di Indonesia ditunjukkan dengan ditemukannya semua jenis pisang berdasarkan genomnya, seperti yang bergenom BB: Klutuk Awu dan Klutuk Wulung, bergenom AA: Emas, Berlin/Lampung, Rejang, Lilin/Lidi, Jari Buaya/Rotan, Ketan/Ketip/Uli dan lain-lain, sedangkan yang bergenom AAA seperti Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan, Ampyang, bergenom AAB seperti Raja Bulu, Raja Serai, Tanduk, Candi, dan yang bergenom ABB seperti Kepok, Sobo, Awak (Edison et al. 2001). Selain itu hampir semua subgroup pisang yang telah teridentifikasi terdapat di Indonesia, dan bahkan masih banyak lagi kultivar yang belum masuk ke dalam kategori subgroup yang sudah ada karena memiliki karakter yang berbeda dari subgroup tersebut (Valmayor et al. 2000). Selain kultivar tersebut di atas, sedikitnya ditemukan juga 3 variasi genetik pisang Tongka Langit (Musa troglodytarum L.) di Maluku dan Irian Jaya (Sutanto et al. 2009). Pisang Tongka Langit adalah jenis pisang yang mempunyai kandungan karoten yang tinggi, ditandai dengan daging buahnya warna berwarna oranye.

Produksi dan Kendala

Pisang dan plantain merupakan salah satu komoditas penting baik di Indonesia maupun di dunia. Produksi pisang dunia menempati urutan kedua setelah jeruk dengan produksi total 106.54 juta ton pada tahun 2011 (http://www.statista.com/statistics/ 264001/worldwide-production-of-fruit-by-variety/). Produksi pisang Indonesia menempati urutan keenam setelah India, Cina, Filipina, Brazil dan Equador, dengan produksi sebesar 6 132 695 ton (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel= 1&daftar=1&id_subyek=55&notab=2), dan menyumbang sebesar 5.8% produksi pisang dunia. Di Indonesia, produksi pisang menempati urutan pertama dan berkonstribusi sebesar 32% produksi buah nasional (Gambar 2).


(29)

Gamba Luasnya daya dapat tumbuh di be pisang menghadapi penggerek batang da penggulung daun (Chr bunchy top virus (BB streak virus (BSV) (D Fusarium oxysporum solanacearum (dulu Xanthomonas campes Dari beberapa Fusarium (FOC) da sangat serius di Indon wilayah Indonesia menghancurkan pert Kalimantan Selatan, Kendari dan Maluku. Cavendish di Mojoke Aceh, pisang Ambon Timur, Jawa Tengah lama endemik di Jawa Jawa Timur, Sumater

Penyakit Layu Fusa Dari semua pe adalah penyakit yang yang sangat mudah keberadaannya dalam Salak 6% Pepaya 5% Durian 5% Rambutan 4% Nangka

Lain-lain termasuk: Alpu beli

bar 2 Produksi buah nasional pada tahun 2011 ya adaptasi tanaman pisang menyebabkan t berbagai kondisi lingkungan. Namun demiki pi banyak kendala hama dan penyakit ta

dan bonggol (stem dan corm borer) (Sm Christie et al. 1989), nematode (Marin et al. BBTV), cucumber mozaik virus (CMV) (Jone (Dahal et al. 2000), bercak daun sigatoka (Stove

um fsp. cubense (Ploetz 2000), layu ba dulu Pseudomonas solanacearum) (Haywar

pestris/vasicola pv. Musacearum (Tushemereirw apa penyakit pisang tersebut di atas, virus dan bakteri Ralstonia solanacearum menjadi ndonesia. Ketiga penyakit tersebut telah ditem

dengan intensitas yang beragam. Layu pertanaman pisang Kepok di Sumatera Ba n, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sul

luku. Layu fusarium menghancurkan pert okerto dan Lampung, pisang Barangan di Sum bon Hijau di Sumatera Barat, pisang Ambon K

h dan Jawa Barat (Hermanto 2008). Virus BB wa Barat dan Lampung, dan sudah menyebar ke era Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

sarium pada Tanaman Pisang dan Usaha Pen penyakit yang menyerang tanaman pisang, ang paling sulit ditanggulangi, karena selain h melalui saluran irigasi, tanah, peralatan da am tanah dapat bertahan puluhan tahun tanpa

Pisang 32% Mangga 11% Jeruk 9% Jeruk Siam 9% Nenas 8% ngka/Cempedak 3% Lain-lain 8%

Alpukat, jambu biji, duku/langsat, markisa, sawo, manggis, jambu air, belimbing, blewah, sirsak, semangka dan melon

hun 2011

n tanaman pisang ikian pertanaman tanaman seperti: mith 1995), ulat al. 1998), banana ones 1991), bract Stover 1980), layu bakteri Ralstonia ard 1991) dan irwe et al. 2003). virus BBTV, layu

adi masalah yang mukan di seluruh yu bakteri telah Barat, Lampung, ulawesi Selatan, rtanaman pisang umatera Utara dan bon Kuning di Jawa BTV sudah sejak r ke Jawa Tengah,

engendaliannya ng, layu fusarium

in penyebarannya dan bahan tanam, a megurangi daya


(30)

infeksinya (Agrios 2005).

Penyakit layu ini pertama kali ditemukan di Queensland bagian tenggara pada tahun 1874 menyerang kultivar Sugar (Silk). Namun demikian penelitian yang lebih intensif tentang penyakit layu ini diadakan di Costa Rica dan Panama pada awal tahun 1890, karena menyerang perkebunan komersial Grosh Michel untuk tujuan ekspor (Ploetz 1994). Oleh karena itu penyakit layu fusarium pada tanaman pisang lebih dikenal dengan Panama disease.

Perkembangan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) penyebab penyakit layu tanaman pisang akibat dari interaksi antara patogen, genotipe tanaman dan pengaruh dari kondisi lingkungan (Moore et al. 1993). Sampai saat ini FOC telah berkembang menjadi 4 ras. Tiap ras menyerang kultivar atau kerabat pisang yang berbeda. Cendawan FOC ras 1 menyerang Ambon Kuning dan Raja Serai, ras 2 menyerang Bluggoe dan beberapa kultivar pisang olah (Moore et al. 1995), ras 3 menyerang Helicona. Ras 4 dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu ras 4 subtropika dan tropika. Ras 4 subtropika menyerang Cavendish dan kultivar yang rentan ras 1 dan ras 2 di Afrika Selatan, Australia, Taiwan dan Canary Island (Gerlach et al. 2000; Su et al. 1986), sedangkan ras 4 tropika menyerang hampir seluruh kultivar komersial di Asia Tenggara dan Australia (Pegg et al. 1994; Ploetz 1994).

Berdasarkan sifat kompatibilitas antar isolat, cendawan FOC dikelompokkan menjadi VCG (vegetative compatibility group) (Leslie 1993). Saat ini telah diidentifikasi sebanyak 21 VCG yang menyerang tanaman pisang (Ploetz 1990) dan 15 di antaranya berasal dari Asia Tenggara, 10 VCG telah ditemukan di Indonesia (Pegg et al. 1996).

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh peneliti Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, diperoleh informasi cendawan FOC VCG 01213/16 (ras 4 tropika) ditemukan pada pertanaman pisang di hampir seluruh propinsi di Indonesia (Hermanto et al. 2011). Bukti-bukti tersebut menunjukkan betapa pentingnya FOC pada pertanaman pisang dan memerlukan langkah-langkah pengendalian yang lebih efektif dan efisien.

Berbagai usaha pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman pisang telah banyak dilakukan, baik melalui pendekatan kimiawi, agronomis maupun pemuliaan tanaman. Usaha pengendalian secara kimia melalui metode injeksi, perlakuan tanah yang melibatkan fumigasi dan aplikasi amelioran dapat mengurangi serangan, tetapi sulit diaplikasikan dalam skala komersial (Pegg et al. 1993). Selanjutnya Pegg et al. (1996) menyatakan bahwa pestisida, fumigan, penggenangan, rotasi tanaman dan pemanfaatan bahan organik sedikit memberikan pengendalian jangka panjang pada daerah produksi pisang.

Penelitian tentang pengendalian secara biologi (biocontrol) menggunakan agensia hayati seperti cendawan Trichoderma dan bakteri Pseudomonas fluorescence (Fishal et al. 2010), atau bakteri endofit yang berasal dari pertanaman pisang (Jie et al. 2009) juga sudah dilakukan dan memberikan hasil yang positif pada lingkungan rumah kaca, namun demikian penerapan secara luas dan skala komersial masih perlu dikaji.

Salah satu strategi pengendalian penyakit tanaman pisang yang sangat efektif adalah dengan menggunakan kultivar pisang yang tahan terhadap penyakit (Rowe & Rosales 1996), karena tidak memerlukan bahan kimia sebagai bahan pestisida sehingga aman bagi lingkungan sekitarnya. Penggunaan kultivar tahan


(31)

terhadap penyakit bisa berasal dari sumber daya genetik yang telah ada ataupun berasal dari program pemuliaan tanaman atau perbaikan kultivar.

Perbaikan Kultivar Tanaman Pisang

Pengembangan kultivar tahan penyakit dapat dilakukan dengan cara menseleksi sumber daya genetik yang ada (Orjeda et al. 2000) dan menciptakan kultivar baru baik secara induksi variasi somaklonal (Tang 2005), persilangan konvensional (Rowe & Rosales 1996) maupun transformasi genetika (Becker et al. 2000; Maziah et al.2007; Sreeramanan et al. 2010).

Pemuliaan Konvensional

Pemuliaan tanaman pisang secara konvensional dimulai pada tahun 1984 oleh Fundación Hondureña de Investigación Agrícola (FHIA), Honduras, melalui program perbaikan pisang diploid dari spesies liar yang berasal dari Papua Nugini, Indonesia, Malaysia dan Filipina dan telah menghasilkan sejumlah tanaman diploid superior, salah satunya adalah SH-2095 yang digunakan sebagai tetua persilangan beberapa kultivar FHIA. Salah satu tanaman hibrida yang dihasilkan adalah FHIA-18 (AAAB) yang tahan terhadap bercak daun sigatoka, layu Fusarium dan nematoda Radopholus similis tetapi mempunyai hasil yang masih rendah yaitu 28.5 kg. Sehingga dilakukan seleksi terhadap hibrida lain dan menghasilkan FHIA-01 (AAAB), FHIA-03 (AABB) dan FHIA-23 (AAAA) yang juga tahan terhadap layu Fusarium dan toleran terhadap hama penggerek batang/bonggol (Rowe & Rosales 1996).

Program perbaikan kultivar secara konvensional untuk menghasilkan tanaman yang tahan penyakit juga dilakukan oleh International Institute of Tropical Agriculture (IITA) Nigeria sejak 1991 (Vuylsteke et al. 1993) yang bertujuan untuk menghasilkan tanaman pisang tahan terhadap penyakit bercak daun sigatoka dan hama serta penyakit lainnya, terutama pada jenis plantain dan East African Highland Banana (EAHB) (Lorenzen et al. 2010). Strategi yang ditempuh sama seperti yang dilakukan oleh FHIA yaitu menghasilkan tanaman diploid superior terlebih dahulu yang digunakan sebagai tetua untuk persilangan selanjutnya. Hasil persilangan antar diploid lokal dan introduksi diperoleh 2 hibrida yang tahan terhadap bercak daun sigatoka dan nematoda, yaitu TMB2x5105-1 dan TMB2x9128-3 (Tenkouano et al. 2003).

Induksi dan Seleksi Variasi Somaklonal

Kelemahan perbaikan kultivar pisang secara konvensional adalah sulitnya mendapatkan tanaman hibrida karena masalah poliploidi dan fertilitas dari kultivar komersial sebagai salah satu tetua persilangan serta tahapan seleksi yang membutuhkan waktu yang relatif lama (Roux et al. 2004). Oleh karena itu beberapa lembaga penelitian seperti Taiwan Banana Research Institute (TBRI) Taiwan (Hwang & Ko 2004), United Plantation (UP) dan Universiti Malaya (UM) Malaysia (Chai et al. 2004), menerapkan teknik induksi mutasi untuk program perbaikan kultivar pisang. Beberapa kultivar hasil mutasi tersebut antara lain Formosana dari Taiwan, yang merupakan variasi somaklonal Giant Cavendish, Novaria dan Mutiara dari Malaysia yang merupakan variasi


(32)

somaklonal dari Grande Naine dan Rasthali. Kultivar-kultivar tersebut menunjukkan sifat ketahanan terhadap layu FOC.

Transformasi Genetika

Transformasi genetika adalah teknologi alternatif yang mulai banyak dikaji dan dilakukan baik untuk tanaman pisang secara khusus maupun tanaman lain pada umumnya, karena dengan transformasi genetika, gen spesifik yang dikehendaki dapat disisipkan ke dalam tanaman (Escalant et al. 2004). Dengan makin berkembangnya teknologi regenerasi tanaman pisang melalui teknik kultur jaringan seperti embriogenesis somatik (Meenakshi et al. 2011), perbanyakan mikro (Lee 1993) dan kultur protoplas (Assani et al. 2001), dukungan untuk perbaikan kultivar pisang dengan teknik bioteknologi akan semakin besar karena keberhasilan transformasi genetika juga dipengaruhi oleh daya regenerasi tanaman hasil transformasi.

Transformasi genetika pada tanaman pisang telah banyak dilakukan baik menggunakan teknologi particle bombardment (Sagi et al. 1995; Becker et al. 2000) maupun menggunakan teknik Agrobacterium-mediated transformation (May et al. 1995; Ganapathi et al. 2001; Sreeramanan et al. 2010; Paul et al. 2011). Penelitian-penelitian tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi keberhasilan transformasi saja tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan ketahanan tanaman pisang terhadap patogen seperti BBTV dengan menyisipkan gen Replicase-associated protein (Rep) (Borth et al. 2011), sedangkan untuk ketahanan terhadap Fusarium Sreeramanan et al. (2010) menyisipkan gen chitinase dan Paul et al. (2011) menyisipkan gen anti-apoptosis, yaitu gen Bcl-2 3′ UTR.

Interaksi Tanaman dan Penyakit

Interaksi antara tanaman dan patogen terdiri atas interaksi kompatibel, apabila tanaman rentan menjadi sakit pada saat terjadi serangan patogen yang virulen, dan interaksi non-kompatibel, apabila gejala penyakit tidak berkembang pada tanaman tahan pada saat adanya serangan patogen yang tidak virulen. Prinsip dari mekanisme yang berhubungan dengan pertahanan tanaman terhadap patogen tersebut disebut konsep gene-for-gene (Fhlor 1946). Mekanisme ketahanan tersebut melibatkan interaksi molekuler secara langsung ataupun tidak langsung antara produk gen avirulence (avr) sebagai elisitor dengan produk gen ketahanan (R) (Dangl & Jones 2001).

Interaksi spesifik dari pengenalan produk gen avr/R menghasilkan pemicuan satu atau lebih sinyal transduksi yang akan mengaktifkan respon pertahanan tanaman untuk mencegah pertumbuhan dan perkembangan patogen dalam tanaman. Aktivasi pertahanan tanaman menyebabkan respon pada areal yang terinfeksi dengan menghasilkan reactive oxygen species (ROS), nitric oxide (NO) (Bowell 1999), akumulasi senyawa fenol, yang sering disebut juga hypersensitive response (HR) dan terjadinya penguatan dinding sel (Gurr & Rushton 2005). Reaksi pertahanan juga termasuk dihasilkannya pathogenesis-related proteins (protein PR) (van Loon & Strien 1999), phytoalexin dan akumulasi etilen (ET) dan asam jasmonat (JA) dan juga terjadi penguatan dinding sel


(33)

(Hammond-Kosack & Parker 2003). Selain itu dihasilkannya asam salisilat (SA) yang akan menyebabkan terjadinya systemic acquired resistance (SAR), sebuah bentuk pertahanan yang terjadi secara menyeluruh pada bagian tanaman (Punja 2001).

Gen Ketahanan (R gene) Klasifikasi Gen Ketahanan (R gene)

Berdasarkan runutan asam amino dan/atau adanya motif/domain terkonservasi, gen ketahanan (R gene) dikelompokkan menjadi 8 kelas. Kelas terbesar pertama adalah cytoplasmic coiled coil-NBS-LRR (CC-NBS-LRR). Kelas CC-NBS-LRR terdapat pada tanaman dikotil dan monokotil (Meyers et al. 2005). Contoh dari kelompok ini adalah RPS2 dan RPM1 yang berasal dari Arabidopsis untuk gen ketahanan terhadap P. syringe (Mindrinos et al. 1994; Grant et al. 1995) dan I2 asal tomat untuk gen ketahanan terhadap Fusarium oxysporum (Ori et al. 1997). Kelas kedua adalah cytoplasmic toll-interleukin-1-receptor-NBS-LRR (TIR-NBS-LRR). TIR-NBS-LRR hanya ditemukan pada tanaman dikotil (Miller et al. 2008). Gen N asal tembakau (Whitham et al. 1994) dan L6 asal linseed (Lawrence et al. 1995) adalah contoh dari TIR-NBS-LRR. Kelas ketiga adalah extracytoplasmic LRR (eLRR) yang melekat pada transmembran domain (TrD). Gen Cf asal tomat untuk ketahanan terhadap Cladosporium fulvum termasuk dalam kelompok ini (Thomas et al. 1998).

Kelas keempat adalah gen ketahanan yang mengandung eLRR, TrD dan cytoplasmic serine-threonine kinase (KIN) atau disebut eLRR-TrD-KIN. Contoh dari kelas ini adalah Xa21 asal padi untuk ketahanan terhadap Xanthomonas (Song et al. 1995). Gen RPW8 asal Arabidopsis yang mengandung domain TrD dan CC (Wang et al. 2009) adalah kelompok R gene yang kelima. Gen Ve asal tomat untuk ketahanan terhadap Verticillium arboratrum adalah contoh dari kelas keenam, yang mengandung eLRR, TrD, Pro-Glu-Ser-Thr (PEST) dan motif protein pendek sebagai receptor mediated endocytosis (RME) (Kawchuk et al. 2001). Kelas ke7 merupakan anggota terbaru dari TIR-NBS-LRR, tetapi pada ujung C mempunyai nuclear localization signal (NLS) dan domain WRKY. Gen RRS1 asal Arabidopsis untuk ketahanan terhadap bakteri Ralstonia solanacearum adalah contoh dari kelompok ini (Deslandes et al. 2002). Kelas R gene yang kedelapan adalah yang tidak mengandung NBS dan juga LRR. Sebagai contoh gen Hm1 yang mengkode enzim HC toxin reductase, melindungi tanaman jagung dari cendawan Cochliobolus carbonum (Johal & Briggs 1992). Contoh lain adalah gen Pto yang hanya mengandung Ser-Thr kinase tanpa LRR (Kim et al. 2002) dan Rpg1 yang mengkode receptor kinase-like protein dengan 2 protein kinase (Brueggeman et al. 2002). Ilustrasi kelas gen ketahanan ditampilkan pada Gambar 3.

Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, sebanyak 91 gen ketahanan telah diisolasi dan dikarakterisasi (Gururani et al. 2012). Lebih dari 70 % di antaranya adalah kelas NBS-LRR. Berdasarkan domain terkonservasi dari R gene, degenerate primer dapat didisain untuk mengamplifikasi resistance gene analogue (RGA) atau sejumlah kandidat gen dari berbagai spesies tanaman seperti kedelai (Kanazin et.al. 1996), slada (Shen et al. 1998), apel (Baek & Choi 2013), linseed (Yaish et al. 2004) dan meggunakan pendekatan PCR. Pendekatan yang sama juga telah digunakan untuk mengamplifikasi RGA dari tanaman pisang.


(34)

Gambar 3 Kelas utama ge domainnya, bes Nucleotide-bindi coil; TrD: Trans (proline-glycine domain; NLS: N Hm1: Helmintho al. 2012)

Resistance Gene Analogue

Sejumlah RGA tela dikarakterisasi dan dideposi berhasil mendapatkan 12 Xinyiyejiao (BB) dan kul Williams (AAA). Pereza resistance gene candidate malaccensis yang tahan te tanaman pisang yang diinf analisis ekspresi, salah satu FOC, 3 RGA terekspres terekspresi.

Resistance Gene Anal diisolasi dari tanaman pisang 7 fragmen RGA yang mem tomat. Azhar & Heslop-Ha NBS-LRR dari 42 sampel a velutina, M. textilis, M. acum hasil analisis filogenetik, da

Sun et al. (2009) tel

gen ketahanan (R gene) berdasarkan susunan d eserta contoh gen. LRR: Leucine rich repea ding site; TIR: Toll/Interleukin-1-receptors; C nsmembrane domain; PEST: Protein degradatio ne-serine-threonine); ECS: Endocytosis cell

Nuclear localization signal; WRKY: Amino aci thosporium carbonum toxin reductase enzyme (G

ogue (RGA) pada Musa

elah diisolasi dari berbagai kultivar/spesies M osit di pangkalan data NCBI (GenBank). Pei et al

2 RGA NBS-LRR dari spesies liar Gongj kultivar Zhongshandajiao (ABB), Fenjiao (A

za-Echeverria et al. (2008) berhasil mengi ate (RGC/RGA) asal segregan M. acumi terhadap FOC ras 4 dan menganalisis ekspr iinfeksi oleh cendawan FOC ras 4. Berdasa

atu RGA yaitu RGC2 terekspresi pada saat a esi secara konstitutif dan satu RGA sisa nalogue dari kelas serine-threonin kinase juga sang oleh Pereza-Echeverria et al. (2007) dan

mpunyai identity 58-68 % dengan gen Pto asa Harrison (2008) berhasil mengisolasi 102 fragm

l asal kultivar dan spesies liar Musa, yaitu M. or acuminata, M. balbisiana, dan M. sizocarpa. Be

ari 102 fragmen tersebut diperoleh 3 kelompok R telah berhasil mengisolasi 20 fragmen RGA as

n dan fungsi peats; NBS: C-C: Coiled tion domain signaling acid domain; (Gururani et

Musa spp., et al. (2007) ongjiao (AA), (AAB) dan ngisolasi 5 minata ssp. kspresi pada sarkan hasil t ada infeksi sanya tidak juga berhasil dan diperoleh asal tanaman agmen RGA . ornata, M. Berdasarkan pok RGA. asal kultivar


(35)

Goldfinger (AAAB) yang terbagi dalam 5 kelompok RGA. Sebanyak 4 fragmen RGA asal M. acuminata ssp. malaccensis juga berhasil diisolasi oleh Lu et al. (2011).

Gen Respon Pertahanan Klasifikasi Protein PR

Tanaman tingkat tinggi merespon berbagai cekaman fisik, kimia dan biologi dengan berbagai cara. Cekaman tersebut termasuk pelukaan, paparan logam berat seperti merkuri, salinitas, kekeringan, suhu rendah dan serangan patogen cendawan, bakteri dan virus. Tanaman mempertahankan diri dari cekaman tersebut secara fisik dengan menguatkan dinding sel melalui lignifikasi (Bhuiyan et al. 2009), suberisasi (Pla et al. 1998) dan pengendapan callose (Luna et al. 2011); dengan mensintesa senyawa dengan berat molekul rendah seperti phytoalexins yang bersifat racun terhadap organisme pengganggu; dengan menghasilkan beragam protein pathogenesis-related (PR) seperti chitinase, β-1,3-glucanase, dan thaumatin-like proteins (Bowles 1990).

Sejak ditemukannya protein PR pada tanaman tembakau yang secara hipersensitif bereaksi terhadap infeksi tobacco mosaic virus (TMV) (van Loon & Kammen 1970), penelitian tentang protein PR yang awalnya diberi nama “b” proteins lebih difokuskan pada kemungkinan keterlibatannya untuk pertahanan terhadap patogen. Antoniw et al. (1980) menciptakan istilah ‘pathogenesis-related proteins’ (PRs) yang didefinisikan sebagai protein yang dihasilkan oleh tanaman inang, tetapi diinduksi hanya oleh situasi patogenik atau yang berkaitan.

Sampai saat ini protein PR yang telah ditemukan dikelompokkan ke dalam 17 famili berdasarkan struktur primer dan sifat immunologinya (van Loon et al. 2006). Anggota dari PR-1 mengandung protein yang masih belum diketahui cara kerjanya baik secara selular maupun molekular, namun demikian PR-1 telah terbukti menghambat perkembangan cendawan Phytophthora infestans dan Uromyces fabae baik secara in vitro maupun in vivo (Niderman et al. 1995; Rauscher et al. 1999). Famili PR-2 beranggotakan β-1,3-glucanase yang mendegradasi β-1,3-glucan, biopolimer yang ditemukan pada dinding sel cendawan. Famili PR-3, 4, 8 dan 11 beranggotakan chitinase dengan berbagai kelas (I-VII), sedangkan PR-5, 6, 7, 9 dan 10 beranggotakan masing-masing thaumatin-like proteins, protease-inhibitors, endoproteinases, peroxidases, dan ribonuclease-like proteins (van Loon & Strien 1999). Protein yang berfungsi pada permeabilitas membran dimiliki oleh PR-12, PR-13 dan PR-14 yang beranggotakan masing-masing defensin, thionin dan lipid-transfer proteins (LTPs).

Oxalat oxidase (OXO) atau germin yang ditemukan pada sereal seperti gandum, padi, jagung, barley, oat termasuk dalam famili PR-15 (Lane et al. 1993; Lane 2000), sedangkan germin-like proteins (GLPs) yang ditemukan pada Arabidopsis thaliana dan Medicago truncata termasuk dalam famili PR-16 (Carter et al. 1999; Doll et al. 2003). Okushima et al. (2000) berhasil mendapatkan satu protein yang tersusun atas 242 asam amino dan berukuran 27 kDa asal kultur sel tembakau. Klon cDNA (NtPRp27) dari gen penyandi protein tersebut mempunyai kemiripan dengan gen WCI-5 asal gandum yang terinduksi oleh BTH yang berperanan dalam mekanisme SAR. Hasil transkripsi gen


(36)

NtPRp27 terakumulasi pada saat adanya infeksi dari virus mozaic tembakau (TMV), pelukaan dan perlakuan kekeringan. Karena tidak ada kemiripan dengan famili gen PR sebelumnya, maka NtPRp27 dikelompokkan ke dalam PR-17.

Satu fitur penting dari kebanyakan protein PR adalah kemampuannya sebagai antifungal effects karena sifatnya sebagai enzim hidrolitik yang berperanan dalam pelemahan dan dekomposisi dinding sel cendawan yang mengandung glucan, chitin dan protein. Enzim tersebut adalah β-1,3-glucanase, chitinase dan proteinase (Selitrennikoff 2001). Sehubungan dengan pengembangan ketahanan tanaman terhadap patogen melalui teknologi transformasi genetika, salah satu strategi yang menjanjikan adalah berdasarkan eksploitasi gen yang menyandi enzim hidrolitik, yaitu β-1,3-glucanase dan chitinase yang berasosiasi dengan respon SAR pada tanaman (Edreva 2005). β-1, 3-Glucanase

Enzim β-1,3-glucanases (glucan endo-1,3-β-glucosidases, EC 3.2.1.39) dapat ditemukan pada tanaman, yeast, actinomycetes, cendawan, bakteri, serangga dan ikan (Pan et al. 1989). Enzim ini mengkatalis β-1,3-glucan, yang merupakan polimer dari β-1,3-linked glucose (Simmons 1994). β-1,3-Glucan merupakan komponen utama penyusun dinding sel beberapa cendawan patogen (Wessel & Sietsma 1981; Adam 2004) dan tanaman pada saat perkembangan tertentu (Kaus 1987), yang disebut callose.

Walaupun sebagian besar studi β-1,3-glucanase mengenai peranannya dalam pertahanan terhadap patogen, tetapi terdapat bukti yang kuat bahwa enzim tersebut juga terlibat dalam berbagai proses fisiologi dan perkembangan tanaman yang sedang tidak terinfeksi patogen, seperti pembelahan sel (Fulcher et al. 1976), microsporogenesis (Bucciaglia & Smith 1994), perkecambahan dan pertumbuhan tabung polen (Roggen & Stanley 1969), fertilisasi (Lotan et al. 1989; Ori et al. 1990), embriogenesis (Dong & Dustan 1997; Helleboid et al. 1998), pemasakan buah (Hinton & Pressey 1980), perkecambahan benih (Vogel-Lange et al. 1994), dormansi tunas (Krabel et al. 1993), respon terhadap pelukaan, dingin, ozon dan sinar UV B (Thalmair et al. 1996; Hincha et al. 1997).

Sejumlah gen β-1,3-glucanase telah teridentifikasi dari berbagai spesies tanaman. Protein yang disandi dari gen tersebut menunjukkan keragaman dalam hal ukuran, isoelectric point (pI), struktur primer, letaknya di dalam sel dan pola regulasinya. Berdasarkan beberapa hal tersebut, β-1,3-glucanase yang ditemukan pada tembakau (Leubner-Metzger et al. 1995), tomat (Domingo et al. 1994), kentang (Oh & Yang 1995) dan tanaman lain, dibagi dalam 4 kelas (Leubner-Metzger & Meins 1999). Sebagian besar β-1,3-glucanase yang telah diteliti termasuk dalam kelas I dan II (Shi et al. 2006). β-1,3-Glucanase yang termasuk dalam kelas I mempunyai berat molekul 33 kDa dan bersifat basic yang ditemukan dalam vakuola sel tanaman. Enzim yang termasuk dalam kelas I ini mempunyai perpanjangan sekuen terkonservasi pada C-terminal yang diduga sebagai sekuen pensinyalan untuk lokalisasi ke dalam vakuola (Shinshi et al. 1988), sedangkan β-1,3-glucanase kelas II, III dan IV bersifat acidic, tidak mempunyai perpanjangan sekuen pada C-terminal dan disekresi ke ruang antar sel dan berat molekul berkisar 34-36 kDa (Beffa et al. 1993; Bucciaglia & Smith 1994). Perbedaan dari ketiga kelas enzim tersebut berdasarkan perbedaan sekuen asam aminonya.


(37)

β-1,3-Glucanase kelas II asal tembakau yang telah teridentifikasi mempunyai 6 isoform berdasarkan sekuen asam aminonya dengan identity sebesar 82% antar masing-masing isoform, dan sebesar 48.8% bila dibandingkan kelas I (Ward et al. 1991; Leubner-Metzger & Meins 1999). Seperti halnya pada kelas I, sebagian besar β-1,3-glucanase kelas II juga mempunyai signal peptide (Von Heijne 1983). Hasil analisis yang dilakukan oleh Linthorst et al. (1990) menunjukkan bahwa ekspresi acidic β-1,3-glucanase (kelas II) sangat dipicu oleh infeksi TMV atau perlakuan asam salisilat.

Protein β-1,3-glucanase kelas III mempunyai berat molekul 35 kDa, mempunyai identity sebesar 43% terhadap kelas I dan kelas II. Gen SGN1 yang termasuk dalam β-1,3-glucanase kelas III berhasil diisolasi dari tanaman kedelai. Hasil karakterisasi dari gen tersebut menunjukkan bahwa ekspresinya dipicu oleh berbagai sinyal yang berhubungan dengan pertahanan, seperti H2O2, asam jasmonat, ethepon, asam salisilat, pelukaan, perlakuan elisitor yang berasal dari Phytophthora spp., dan juga inokulasi dengan Pseudomonas syringae (Cheong et al. 2000).

β-1,3-Glucanase kelas IV adalah enzim yang tidak mempunyai sifat antipatogen seperti pada β-1,3-glucanase kelas I, II dan III. Ekspresi dari protein β-1,3-glucanase kelas IV terdapat pada anther dan berhubungan dengan perkembangan polen (Bucciaglia & Smith 1994). Enzim Tag1adalah enzim yang termasuk dalam anggota dari β-1,3-glucanase kelas IV yang ditemukan pada tembakau. Protein Tag1 berukuran 35 KDa dan mempunyai identity 37-38% terhadap β-1,3-glucanase kelas I, II dan III asal tembakau (Leubner-Metzger & Meins 1999).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan ekspresi enzim β-1,3-glucanase meningkat setelah adanya infeksi patogen, seperti pada barley yang terinfeksi powdery mildew (Ignatius et al. 1994), strawberry yang terinfeksi Colletotrichum fragariae (Shi et al. 2006), cabai yang terinfeksi Xanthomonas campestris pv. vesicatoria dan Phytophthora capsici (Jung & Hwang 2000), kedelai yang terinfeksi Pseudomonas syringae (Cheong et al. 2000), gandum yang terinfeksi Fusarium graminearum (Li et al. 2001), dan peach yang terinfeksi Monilinia fructicola (Zemanek et al. 2002).

Chitinase

Chitinase (EC. 3.2.1.14) adalah enzim katalis yang memotong ikatan antara C1 dan C4 dari 2 monomer N-acetyl-D-glucosamine dari chitin. Chitinase dihasilkan oleh bakteri, cendawan, hewan dan tanaman. Secara umum chitinase yang dihasilkan oleh tanaman adalah endochitinase yang dapat menghidrolisis chitin. Chitin merupakan komponen penyusun dinding sel cendawan, eksokeleton dari anthropoda dan nematoda (Ebrahim et al. 2011).

Chitinase asal tanaman pada umumnya berupa protein dengan berat molekul 25-40 kDa, mempunyai kisaran pH optimum yang cukup lebar, yaitu pH 4-9, dan bersifat stabil pada suhu sampai 60 °C (Collinge et al. 1993). Seperti halnya pada protein PR lainnya, chitinase juga bersifat basic dan acidic. Basic chitinase umumnya ditemukan di vakuola dan acidic chitinase merupakan extraseluler.

Berdasarkan aktivitas chitinolytic atau pola hidrolisis chitin, chitinase dibagi menjadi 2, yaitu endochitinase dan exochitinase (Nielsen & Sørensen


(1)

167

Lampiran 1 Dendogram hasil analisis filogenetik setiap lokus SNP_MNBS pada sepuluh kultivar pisang

Coefficient

0.50 0.63 0.75 0.88 1.00

Rejang Calcuta-4 Ketan Amb_Hj Barangan Klutuk Kepok Jawaka Amb_Kng Awak

Coefficient

0.50 0.63 0.75 0.88 1.00

Rejang Calcuta-4 Klutuk Kepok Jawaka Ketan Amb_Hj Barangan Amb_Kng Awak

Coefficient

0.50 0.63 0.75 0.88 1.00

Rejang Calcuta-4 Jawaka Awak Klutuk Kepok Ketan Amb_Hj Barangan Amb_Kng

Coefficient

0.17 0.38 0.58 0.79 1.00

Rejang Kepok Jawaka Ketan Amb_Hj Awak Klutuk Barangan Amb_Kng Calcuta-4

1 4 5 6 7 10 3 8 9 2

3 4 6 7 8 9 1 2 5 10

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

3 4 5 9 10 1 2 6 7 8

SNP2_MNBS SNP4_MNBS

SNP5_MNBS SNP6_MNBS

(R) (R) (R) (R) (R) (R) (R-S) (S) (S) (S) (R)

(R) (R) (R-S) (S)

(R) (R) (S) (S) (R)

(R) (R) (R) (R) (R) (R-S) (S) (S) (S) (R)

(R) (R) (R) (S) (S) (R) (R) (R) (S) (R)


(2)

168

Lampiran 2 Dendogram hasil analisis filogenetik per lokus SNP_MChi pada sepuluh kultivar pisang

Coefficient

0.50 0.63 0.75 0.88 1.00

Rejang Calcuta-4 Klutuk_Wlg Kepok Jawaka Amb_Hj Barangan Amb_Kng Awak Ketan 1 2 3 4 5 7 8 9 10 6 Coefficient

0.50 0.63 0.75 0.88 1.00

Rejang Calcuta-4 Kepok Jawaka Amb_Hj Amb_Kng Awak Klutuk_Wlg Ketan Barangan 1 2 4 5 7 9 10 2 6 8 Coefficient

0.50 0.63 0.75 0.88 1.00

Rejang Calcuta-4 Kepok Jawaka Ketan Amb_Hj Barangan Amb_Kng Awak Klutuk_Wlg 1 2 4 5 6 7 8 9 10 3 Coefficient

0.50 0.63 0.75 0.88 1.00

Rejang Calcuta-4 Klutuk_Wlg Kepok Jawaka Ketan Amb_Hj Amb_Kng Awak Barangan 1 2 3 4 5 6 7 9 10 8 Coefficient

0.50 0.63 0.75 0.88 1.00

Rejang Calcuta-4 Ketan Amb_Hj Barangan Amb_Kng Klutuk_Wlg Kepok Jawaka Awak 1 2 6 7 8 9 3 4 5 10 SNP1_MChi SNP2_MChi SNP6_MChi SNP8_MChi SNP10_MChi 0.75 0.50 1.00 Coefficient Coefficient

0.50 0.63 0.75 0.88 1.00

Rejang Kepok Ketan Amb_Hj Barangan Awak Calcuta-4 Klutuk_Wlg Jawaka Amb_Kng 1 4 6 7 8 10 2 3 5 9 SNP9_MChi 0.75 0.50 1.00 Coefficient

0.50 0.63 0.75 0.88 1.00

Rejang Klutuk_Wlg Kepok Jawaka Ketan Amb_Hj Barangan Amb_Kng Awak Calcuta-4 1 3 4 5 6 7 8 9 10 2 SNP11_MChi 0.75 0.50 1.00 0.75 0.50 1.00 Coefficient 0.75 0.50 1.00 Coefficient 0.75 0.50 1.00 Coefficient 0.75 0.50 1.00 Coefficient Kultivar Pisang:

1. Rejang 6. Ketan 2. Calcuta-4 7. Ambon Hijau 3. Klutuk Wulung 8. Barangan 4. Kepok 9. Ambon Kuning 5. Jawaka 10. Awak

(R) (R) (R) (R) (R) (S) (S) (S) (R) (R-S) (R) (R) (R) (R) (S) (S) (R) (R) (R-S) (S) (R) (R) (R) (R) (R-S) (S) (S) (S) (R) (R) (R) (R) (R) (R) (R) (R-S) (S) (S) (R) (S) (R) (R) (R-S) (S) (S) (R) (R) (R) (R) (S) (R) (R) (R-S) (S) (S) (S) (R) (R) (R) (R) (R) (R) (R) (R) (R-S) (S) (S) (S) (R) (R)

R = Tahan, R-S = Tahan - Rentan S = Rentan


(3)

169

Lampiran 3 Prosedur isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle 1987) yang dimodifikasi oleh Das et al. (2009)

a. Sebanyak lebih kurang 300 mg daun segar diberi nitrogen cair dan digerus menggunakan mortal dan pistil yang telah didinginkan terlebih dahulu.

b. Tepung hasil gerusan segera dimasukkan ke dalam tabung sentrifus 2.0 ml dan diberi larutan buffer ekstraksi [mengandung 3 % CTAB (w/v), Na dalam Cl (2 M), Tris HCl pH 8.0 (100 mM ) and EDTA pH 8.0 (20 mM), PVP (1.5 %), dan mercaptoethanol 2.5 % (v/v)]. Sebelum digunakan buffer dihangatkan terlebih dahulu dalam water-bath (60 ºC) sebanyak 750-1000 μl

dan dikocok hingga rata.

c. Sampel dalam tabung diinkubasi dalam water-bath bersuhu 60 ºC selama satu jam dan setiap 10 menit tabung dibolak-balik. Setelah selesai didinginkan pada suhu normal.

d. Chloroform:isoamyl alcohol (24:1) ditambahkan ke dalam tabung sampel

dengan volume yang sama dan dicampur dengan baik dengan cara membolak-balikkan tabung sebanyak 20-25 kali, dan kemudian disentrifus pada kecepatan 1.2 x 104 rpm selama 20 menit pada suhu kamar. Pencampuran sampel dalam chloroform:isomyl alcohol dalam waktu yang agak lama (hampir 30 menit) akan membantu mengurangi pigmen (warna kecoklatan) pada DNA.

e. Dengan hati-hati, supernatan diambil dan dipindahkan ke dalam tabung yang baru dan ditambahkan chloroform:isoamyl alcohol (24:1) kedua. Tabung disentrifuse dengan kecepatan 1.2 x 104 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil dan dipindahkan ke dalam tabung yang baru.

f. Ditambahkan 2 X volume ethanol (absolut atau 95 %) dingin dan 10-1 kali sodium acetate 3 M (konsentrasi akhir 0.3 M) ke dalam supernatan dan dibolak-balik (10 menit) dan diinkubasi pada suhu -20 ºC selama minimum 1 jam untuk proses presipitasi.

g. Sampel disentrifus dengan kecepatan 104 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan ethanol 70 % 2 sampai 3 kali. Supernatan dibuang dan pelet DNA dikering-anginkan dan dilarutkan dengan 300 μl

buffer TE dan 6 μl RNAase (10 μg μl-1). Sampel diinkubasi pada suhu 37 ºC

selama 2 jam.

h. Sebanyak 600 μl ethanol absolut dingin dan 10 μl sodium acetate 3 M, dan

diinkubasi pada suhu -20 ºC selama 1 jam.

i. Larutan sampel disentrifus dengan kecepatan 104 rpm selama 15 menit dan pelet DNA dikeringkan pada suhu 37 ºC dan dilarutkan dengan 100 μl buffer

TE atau ddH2O.


(4)

RINGKASAN

AGUS SUTANTO. Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar

Pisang (Musa spp.) terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp.

cubense). Dibimbing oleh SUDARSONO sebagai ketua, DEWI SUKMA dan

CATUR HERMANTO sebagai anggota komisi pembimbing.

Pengembangan komoditas pisang di Indonesia menghadapi kendala perkembangan hama dan penyakit tanaman pisang yang secara signifikan menurunkan produksi pisang secara nasional. Penyakit layu Panama yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC)merupakan salah satu penyakit yang sudah tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, dan sangat sulit dikendalikan. Serangkaian kegiatan penelitian dilakukan bertujuan untuk mengisolasi, mengkarakterisasi gen ketahanan (resistance gene analogue, RGA) dan pertahanan (defense gene analogue, DGA) serta mengembangkan marka molekuler ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC. Percobaan dimulai dengan uji ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC untuk memilih kultivar tahan. Hasil pengujian mendapatkan dua kultivar tahan, yaitu Calcuta-4 (introduksi) dan Klutuk Wulung (asli Indonesia) yang akan digunakan untuk percobaan berikutnya yaitu isolasi dan karaterisasi RGA. Dua kultivar hasil percobaan pertama, dan ditambah satu kultivar Rejang (asli Indonesia) berdasarkan hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan ketahanan terhadap FOC digunakan sebagai materi genetik untuk isolasi dan karakterisasi RGA. Dari tiga kultivar diperoleh sebanyak 17 sekuen RGA yang mengandung domain terkonservasi NBS-LRR dan terbagi dalam empat kelompok, yaitu kelompok I beranggotakan 14 sekuen (MNBS1-MNBS14), dan tiga kelompok lainnya beranggotakan satu sekuen yaitu MNBS15, MNBS16

dan MNBS17.

Percobaan selanjutnya adalah isolasi dan karakterisasi DGA yaitu gen

chitinase dan β-1,3-glucanase. Gen chitinase diisolasi dari dari lima kultivar

pisang asli Indonesia, yaitu Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau dan Barangan. Dari lima produk amplifikasi PCR (satu produk mewakili satu kultivar), diperoleh delapan sekuen putatif gen chitinase (MaChi)yang berukuran 596 pb yang menyandi 148 residu asam amino. Fragmen MaChi mengandung dua intron (158 pb) dan tiga ekson (438 pb). Hasil analisis sekuen menunjukkan fragmen MaChi mempunyai identity 90 % dengan gen chitinase kelas II asal pisang. Gen β-1,3-glucanase diisolasi dari empat kultivar pisang, yaitu Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau dan Barangan. Dari empat produk amplifikasi PCR diperoleh empat sekuen putatif gen β-1,3-glucanase (MaGlu) yang berukuran 788 pb yang menyandi 261 residu asam amino. Hasil analisis sekuen menunjukkan fragmen MaGlu mempunyai identity sebesar 99 % dengan gen β-1,3-glucanase yang berasal dari pisang.

Berdasarkan fragmen gen yang diperoleh dilakukan identifikasi dan analisis keragaman situs SNP. Situs SNP diidentifikasi dari 14 fragmen RGA

(MNBS1-MNBS14), 8 fragmen gen chitinase (MaChi), dan 4 fragmen gen β

-1,3-glucanase (MaGlu). Berhasil diidentifikasi sebanyak 16 putatif SNP dari 4

fragmen RGA yang berasal dari kultivar Rejang (MNBS2-MNBS5) dan mempunyai 4 haplotipe, sedangkan dari 8 fragmen RGA yang berasal dari


(5)

kultivar Calcuta-4 (MNBS6-MNBS14) diidentifikasi sebanyak 9 putatif SNP dan mempunyai 7 haplotipe. Sebanyak 22 putatif SNP diidentifikasi dari 8 fragmen

gen chitinase dan mempunyai 8 haplotipe, sedangkan dari 4 fragmen gen β

-1,3-glucanase berhasil diidentifikasi 8 putatif SNP dan mempunyai 4 haplotipe.

Berdasarkan situs SNP yang teridentifikasi, dilakukan pengembangan marka SNAP berbasis RGA dan DGA untuk marka ketahanan terhadap penyakit layu FOC. Dari hasil evaluasi menggunakan pendekatan teknik PCR dan analisis filogenetik dipilih beberapa lokus yang dapat digunakan sebagai marka ketahanan terhadap layu FOC dan bisa mengelompokkan kultivar referensi berdasarkan karakter ketahanan terhadap layu FOC. Lokus-lokus tersebut adalah SNP4_MNBS

yang bertautan dengan RGA (gen MNBS), lokus SNP2_MChi, SNP6_MChi,

SNP8_MChi, SNP10_MChi, SNP11_MChi yang bertautan dengan gen chitinase

(MaChi), dan lokus SNP1_MGlu yang bertautan dengan gen β-1,3-glucanase.

Namun demikian, penggunaan lokus SNP1_MGlu bisa juga dihilangkan, karena tanpa menggunakan primer SNP1_MGlu pengelompokkan kultivar berdasarkan ketahanan terhadap layu FOC menjadi lebih baik. Selain itu, dari penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan susunan basa nukleotida antara kultivar pisang yang rentan dan tahan terhadap penyakit layu FOC, dan perbedaan nukleotida tersebut dapat menyebabkan perubahan residu asam amino.

Kata kunci: DGA, haplotipe, marka SNAP, RGA, SNP. .


(6)

SUMMARY

AGUS SUTANTO. Molecular Characterization of Resistance Banana Cultivars

to Panama Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Supervisied by SUDARSONO as chairman, DEWI SUKMA and CATUR HERMANTO as member of advisory committee.

Sustainability of banana and plantain in Indonesia encounters the development of banana pests and diseases that dramatically decreased national banana production. Panama wilt disease caused by Fusarium oxysporum f.sp.

cubense (FOC) is one of major banana diseases that infected almost all of banana

plantation in Indonesia. A series of experiments were carried out to isolate, characterize resistance gene analogues (RGAs) and defense gene analogues (DGAs), and to develop molecular markers for disease resistance against fusarium wilt.The experiment was started by the assessment of resistance banana cultivars against FOC tropical race-4 (TR4), and selected two cultivars showed resistant to

FOC i.e. Calcuta-4 and Klutuk Wulung. From those selected cultivars and one

resistant cultivar, Rejang, 17 RGAs were isolated and characterized and showed high sequence identity to NBS-LRR. The RGA sequences were designated as

MNBS1-MNBS17. Based on phylogenetic analysis, the RGAs were classified into

four groups. First group contained 14 RGA sequences (MNBS1-MNBS14), and the other three groups contained one sequence MNBS15, MNBS16, and MNBS17, respectively.

The isolation and characterization of DGA (chitinase and β-1,3-glucanase

genes) were carried out using local banana cultivars. Eight putative chitinase

sequences (586 bp in length) were isolated from Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau and Barangan. The sequences were showed high identity (90 %) to banana class II chitinase gene and coded by MaChi. Four putative β

-1,3-glucanase sequences (788 bp in length) were isolated and characterized from

Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau and Barangan. The sequences shared 99 % identity to banana β-1,3-glucanase, and designated as MaGlu.

Based on SNP identification, it was revealed that RGA sequences from Rejang (MNBS2-MNBS5) and Calcuta-4 (MNBS6-MNBS14) contained 16 and 9 putative SNPs, respectively. Based on SNP analysis, RGA sequences of Rejang and Calcuta-4 generated 4 and 8 haplotypes, respectively. Twenty two SNPs were identified from 8 chitinase fragments and generated 8 haplotypes, while 8 putative SNPs were identified from 4 β-1,3-glucanase fragments and generated 4 haplotypes.

SNAP markers were developed based on non synonymousSNPs identified from RGA (MNBS) and DGA (chitinase and β-1,3-glucanase) sequences. Using PCR technique and allel specific primers approaches, 7 loci based on RGA and DGA sequences were selected as SNAP markers for FOC resistance banana cultivars, there were SNP4_MNBS, SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi,

SNP10_MChi, SNP11_MChi, and SNP1_MGlu. However, the use of SNP1_MGlu

locus can be omitted, because without SNP1_MGlu primers, the grouping of banana cultivar base on FOC resistance will be better.


Dokumen yang terkait

Pengelompokan Isolat Fusarium oxysporum f.sp.cubense Dari Beberapa Jenis Pisang (Musa spp.) Serta Uji Antagonisme Fusarium oxyspomm Non Patogenik Dan Trichoderma koningii Di Laboratorium

0 30 85

Potensi Cendawan Endofit Dalam Mengendalikan Fusarium Oxysporum F.SP. Cubense Dan Nematoda Radopholus Similis COBB. Pada Tanaman Pisang Barangan (Musa Paradisiaca) Di Rumah Kaca

0 42 58

Uji Sinergisme F.oxysporum f.sp cubense Dan Nematoda Parasit Tumbuhan Meioidogyne spp. Terhadap Tingkat Keparahan Penyakit Layu Panama Pada Pisang Barangan (Musa sp.) di Rumah Kassa

0 39 72

APPLICATION OF Trichoderma viride AND ORGANIC MATTER FOR BIOLOGICAL CONTROL OF FUSARIUM WILT DISEASE (Fusarium oxysporum f.sp. cubense) ON BANANA PLANT

3 38 50

Molecular Characterization of Resistance Banana Cultivars to Panama Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f sp cubense

0 36 194

In Vitro Selection of Abaca for Resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense

0 8 6

The study and early evaluation of resistance of banana accessions for wilt disease caused by fusarium oxyporum f.sp. Cubense VCG 01213/16 (TR4)

0 12 5

Molecular identification of Trichoderma spp. of Indonesia and their antagonistic activities against Fusarium oxysporum f.sp. cubense

0 10 45

Physiological and Genetic Characterization of Trichoderma spp. from Several Banana Production Center in West Sumatera that Potential to Inhibit The Growth of Fusarium oxysporum f.sp. cubense Caused Fusarium Wilt Desease on Banana.

0 0 16

In Vitro Induced Resistance of Fusarium Wilt Disease (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) by Salicylic Acid in Shallot CV ‘Bima Brebes’ | Khotimah | Ilmu Pertanian (Agricultural Science) 12840 61521 1 PB

0 3 8