Pengambilan Keputusan Inovasi Biogas Pada Rumahtangga Peternak Sapi Di Desa Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang

PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI BIOGAS PADA RUMAHTANGGA
PETERNAK SAPI DI DESA HAURNGOMBONG KECAMATAN
PAMULIHAN KABUPATEN SUMEDANG

RAHMA NURINA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengambilan
Keputusan Inovasi Biogas pada Rumahtangga Peternak Sapi di Desa
Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015
Rahma Nurina
NIM I34110150

ii

ABSTRAK
RAHMA NURINA. Pengambilan Keputusan Inovasi Biogas pada Rumahtangga
Peternak Sapi di Desa Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten
Sumedang. Dibimbing oleh SITI SUGIAH MUGNIESYAH.
Selama ini inovasi yang diintroduksikan kepada rumahtangga peternak
berupa proses produksi ternak, karenanya penting untuk mempelajari pengambilan
keputusan inovasi biogas (PK Inovasi Biogas) di kalangan rumahtangga peternak
sapi perah. Adapun tujuan penelitian untuk mempelajari pengambilan keputusan
inovasi biogas (PK Inovasi Biogas) pada rumahtangga peternak di Desa
Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang. Mengacu pada teori
Pengambilan Keputusan Inovasi Opsional (Rogers dan Shoemaker 1971),

penelitian ini menggunakan metode survei, observasi, dan wawancara mendalam.
Contoh penelitian sebanyak 50 rumahtangga peternak sapi pengadopsi biogas,
adapun responden adalah individu anggota rumahtangga. Uji korelasi Rank
Spearman digunakan untuk membuktikan hipotesis dalam penelitian ini, yang
dilengkapi dengan analisis deskriptif mengacu pada teori, hasil observasi, dan
wawancara mendalam. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa
hanya variabel tingkat partisipasi yang berhubungan signifikan dengan lima
tahapan PK Inovasi Opsional pada taraf α=0.00 sampai dengan 0.30. Lebih lanjut,
hasil penelitian menunjukkan seluruh proses tahapan pengambilan keputusan
inovasi berhubungan sangat nyata pada taraf α=0.00. Secara umum, PK inovasi
biogas di Desa Haurngombong tergolong pada tipe proses pengambilan keputusan
inovasi otoritas. Namun, masih ditemukan beberapa permasalahan yang dihadapi
peternak adopter, antara lain rusaknya instalasi biogas dan kurangnya
pendampingan yang dilakukan oleh penyuluh pertanian.
Kata kunci : pengambilan keputusan inovasi, biogas, rumahtangga peternak

ABSTRACT
RAHMA NURINA. The Decision Making of Biogas Innovation in Farmer
Households in The Haurngombong Village, Sumedang District. Supervised by
SITI SUGIAH MUGNIESYAH.

During these innovations introduced to the farmer households in the form of
livestock production process, it is important to study the innovation decision
making biogas (PK Innovation Biogas) among households dairy farmers. The
research aimed to study the decision making of biogas innovation (PK Innovation
Biogas) in households of farmers in the Haurngombong Village, District of
Pamulihan, Sumedang. Referring to the theory of Innovation Decision Making
Optional (Rogers and Shoemaker 1971), this study used a survey method,
observation, and in-depth interviews. Respondent in this research as many as 50
households adopters biogas cattle ranchers, while the respondent is an individual
member of the household. Spearman Rank correlation test was used to prove the
hypothesis in this study, with descriptive analysis refers to the theory, observation,

and in-depth interviews. Spearman Rank correlation test results showed that the
only variables significantly associated levels of participation with five stages
Optional PK Innovation at the level of α = 0.00 to to 0.30. Furthermore, the results
showed throughout the stages of the decision-making process related innovation is
evident at the level of α = 0.00. In general, PK innovation biogas in the
Haurngombong Village belonging to the type of innovation decision making
authority. However, still found some problems faced by farmers adopter, among
other damage to the installation of biogas and the lack of assistance made by the

agricultural extension.
Key words : decision making innovation, biogas, farmers household

iv

PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI BIOGAS PADA
RUMAHTANGGA PETERNAK SAPI DI DESA HAURNGOMBONG
KECAMATAN PAMULIHAN KABUPATEN SUMEDANG

RAHMA NURINA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Judul Skripsi : Pengambilan Keputusan Inovasi Biogas pada Rumahtangga
Peternak Sapi di Desa Haurngombong Kecamatan Pamulihan
Kabupaten Sumedang
Nama
: Rahma Nurina
NIM
: I34110150

Disetujui oleh

Ir Siti Sugiah Mugniesyah, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

vi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berjudul
Pengambilan Keputusan Inovasi Biogas pada Rumahtangga Peternak Sapi di Desa
Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang ini dilaksanakan
mulai 23 Maret 2015 sampai dengan 23 Mei 2015. Skripsi ini ditujukan untuk
memenuhi syarat kelulusan sebagai Sarjana Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
(SKPM), Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Dalam tulisan ini penulis mendeskripsikan proses pengambilan keputusan
inovasi biogas di kalangan rumahtangga peternak di Desa Haurngombong
Kabupaten Sumedang yang memanfaatkan kotoran ternak sapi perah dan sapi
pedaging. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan karena bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Ir Siti Sugiah Mugniesyah, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah berbagi ilmu dan pengalaman studi pengambilan keputusan adopsi
inovasi pada rumahtangga petani; serta atas curahan waktu, pikiran, dan
dukungan, baik moral maupun materil sejak penyusunan studi pustaka,
penulisan proposal hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Ir Hadiyanto, MSi selaku dosen penguji utama dan Bapak Ir Sutisna
Riyanto, MS selaku dosen penguji wakil Departemen SKPM dan dosen uji
petik yang bersedia menjadi dosen penguji dan memberikan saran-saran bagi
perbaikan skripsi ini.
3. Bapak Ir Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen pembimbing akademik
yang senantiasa meluangkan waktu dengan sabar menasihati, memotivasi, dan
memberikan saran atas permasalahan-permasalahan selama penulis
menyelesaikan studi di Departemen SKPM Institut Pertanian Bogor.
4. Institut Pertanian Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang telah
memasilitasi penulis berturut-turut untuk memperoleh beasiswa kuliah yang
bersumber dari Beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) dan Beasiswa
Penelitian Jabar TA 2015.
5. Dr Ir Sarwititi S. Agung, MS yang telah bersedia meluangkan waktu
memberikan saran dan dukungan selama penyelesaian skripsi ini.
6. Kakanda Asri Sulistiawati, SKpm, MSi yang telah bersedia meluangkan
waktu memberikan bimbingan untuk pengolahan data SPSS dan PIVOT, serta

bimbingan perbaikan aspek teknis skripsi sebelum uji petik. Juga kepada
sahabat penulis : Tri Putri Br. Ginting, Tutut Rindiawati, dan Ranita
Suwandani yang ikhlas membantu cara-cara mengedit dalam pengolahan data.
7. Ibu Susilawaty dan Bapak Yanto Gunadi, BA, berturut-turut selaku Kepala
UPTB Litbang yang mewakili Kepala Bappeda Kabupaten Sumedang dan
Camat Pamulihan yang telah bersedia memberikan izin penelitian dan dalam
hal pengumpulan data sekunder untuk penelitian yang dilakukan di Desa
Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang.
8. Para senior : Gilang Kartiwa Nugraha, SKpm; Zulmiziar Marwandana, SKpm;
Yuni Setyaningsih, SKpm; serta Fifa Rohma Rahayu, SKpm; yang ikhlas

membantu dan berbagi pengalaman dalam penulisan proposal penelitian dan
skripsi ini.
9. Kepala Desa Haurngombong, Bapak Cecep Saepudin, Sag yang telah
memberikan izin penelitian; Bapak Dedi Rohendi, SP; Bapak Dede Wahyu;
Bapak Dadang Lukmana; Bapak Nana Setiana; serta Saudara Unang Suryana
yang telah bersedia membantu penulis dalam hal pengumpulan data sekunder.
10. Para ketua kelompok tani peternak, khususnya Bapak Mamad yang telah
bersedia memasilitasi penulis dalam memperoleh informasi mengenai koperasi
peternak dan kelompok ternak di Desa Haurngombong.

11. Warga masyarakat di Desa Haurngombong pada umumnya, khususnya kepada
para responden yang telah bersedia dengan ikhlas diwawancarai, berbagi
informasi, ilmu dan pengalaman dalam melakukan inovasi biogas sehingga
penulisan skripsi ini dapat dilakukan.
12. Bapak Uman, Ibu Rohaeti, Teh Tin, Dhea, Uwa Lilis, Uwa Engkos, Ibu Ani
(kuwu), yang telah bersedia menerima dan mengizinkan penulis untuk tinggal
bersama, mengikuti berbagai kegiatan sosial di kampung Cipareuag, serta
dengan keikhlasan telah memberikan dukungan moral dan fasilitas selama
penulis melaksanakan penelitian.
13. Keluarga tercinta, Bapak Suharmaji, Ibunda Rahartri, serta adikku Rahma
Nurbaiti dan Rahma Nurmufiidah yang selalu berdo’a, memberi semangat dan
motivasi, membantu mengakses berbagai kebutuhan literatur skripsi, serta
senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis selama menyelesaikan
studi S1 di Institut Pertanian Bogor.
14. Rekan penulis, Atikah Dewi Utami dan Wastini untuk kerjasama dan
kebersamaan selama proses penulisan studi pustaka, penulisan proposal, serta
skripsi ini. Teman-teman dekat penulis, Rizky R, Panji Septian, Afdola Riski
N, Ulfah Mubarokah, Annisa Dhienar A, Nurul Khoiriyah, Maulita C,
Fatimah Awwaliyah, Vany Ratna P, Riezta Octareza, Azhari S, Agrin F, Ratna
K, Kartika Ayu, Dwi Jayanti, Farah Syahidah, Indah Erina, Annisa Noviani,

Nadia Itona, terima kasih untuk semua dukungan, semangat, dan pengalaman
selama proses perkuliahan dan penulisan skripsi.
15. Keluarga Moonzher 23 SMAN 2 Tangsel, Keluarga IRMAS 23 Moonzher,
Keluarga OMDA Banten IPB, Keluarga AET (AgroEduTourism) IPB,
Keluarga I-FAST Club IPB, Keluarga CIA (Club Ilmiah Asrama) 48 IPB,
Keluarga DPM FEMA IPB 2014, serta keluarga MPM KM IPB 2014 untuk
semangat untuk menyelesaikan skripsi dan studi S1 di IPB.
16. Teman-teman SKPM 48 untuk semangat dan kebersamaan, kekompakan
menjalani sedih senangnya kehidupan perkuliahan di IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015
Rahma Nurina

viii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi


DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

4

Kegunaan Penelitian

4

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka

5
5

Konsep Pengambilan Keputusan Inovasi

5

Inovasi Teknologi Biogas

6

Hasil-hasil Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Biogas

10

Kerangka Pemikiran

13

Hipotesis

15

Definisi Operasional

15

PENDEKATAN LAPANGAN

22

Metode Penelitian

22

Lokasi dan Waktu Penelitian

22

Penentuan Sampel dan Responden

23

Pengolahan dan Analisis Data

23

KEADAAN UMUM DESA HAURNGOMBONG

25

Kondisi Geografis dan Luas Wilayah Desa

25

Keadaan Umum Penduduk

26

Kondisi Pekerjaan Penduduk

28

Kondisi Peternakan

29

Kelembagaan

31

Prasarana dan Sarana

32

Sejarah Singkat Introduksi Biogas di Desa Haurngombong

33

PROFIL RUMAHTANGGA PETERNAK ADOPTER INOVASI BIOGAS DI
DESA HAURNGOMBONG
38
Karakteristik Anggota Rumahtangga Peternak Adopter Inovasi Biogas

38

Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga dan Jenis Kelamin

38

Anggota Rumahtangga menurut Kelompok Umur

38

Anggota Rumahtangga menurut Jenis Pekerjaan

39

Status Perkawinan Anggota Rumahtangga

40

Tingkat Pendidikan Formal Anggota Rumahtangga

41

Karakteristik Rumahtangga Peternak Adopter Inovasi Biogas

42

Kepemilikkan Benda Berharga

42

Luas Lahan Usahatani

44

Pengalaman Beternak Adopter Inovasi Biogas

45

Keterangan Umum Rumahtangga Adopter Inovasi Biogas

46

PENGAMBILAN KEPUTUSAN ADOPSI INOVASI BIOGAS

49

Tahap Pengenalan Peternak terhadap Inovasi Biogas

49

Tahap Persuasi Peternak terhadap Inovasi Biogas

54

Tahap Keputusan Peternak terhadap Inovasi Biogas

56

Tahap Implementasi Peternak terhadap Inovasi Biogas

58

Tahap Konfirmasi Peternak terhadap Inovasi Biogas

60

Sejarah Proses Pengambilan Keputusan Inovasi Biogas di Desa Haurngombong
62
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PROSES
PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI BIOGAS

65

Hubungan Antara Kondisi Sebelumnya, Saluran Komunikasi, dan Karakteristik
Unit Pengambilan Keputusan dengan Tahap Pengenalan Peternak Adopter
terhadap Inovasi Biogas
65
Hubungan Antara Tingkat Pengenalan, Saluran Komunikasi, dan Persepsi
terhadap Inovasi Biogas dengan Tahap Persuasi Peternak Adopter terhadap
Inovasi Biogas

74

Hubungan Antara Tingkat Persuasi dan Saluran Komunikasi dengan Tahap
Keputusan Peternak Adopter terhadap Inovasi Biogas

77

Hubungan Antara Tingkat Keputusan dan Saluran Komunikasi dengan Tahap
Implementasi Peternak Adopter terhadap Inovasi Biogas
79

x

Hubungan Antara Tingkat Implementasi, Saluran Komunikasi, dan Kepuasan
Adopter IB dengan Tahap Konfirmasi Peternak Adopter terhadap Inovasi
Biogas
81
Permasalahan yang dihadapi Peternak Adopter Inovasi Biogas di Desa
Haurngombong Tahun 2015
SIMPULAN DAN SARAN

83
87

Simpulan

87

Saran

89

DAFTAR PUSTAKA

90

LAMPIRAN

92

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

11
12
13
14
15
16

17
18
19
20
21
22
23

Prosedur pembuatan biogas limbah ternak
Luas dan persentase wilayah Desa Haurngombong menurut
penggunaannya, tahun 2014
Jumlah penduduk Desa Haurngombong menurut golongan umur dan
jenis kelamin, tahun 2011
Jumlah dan persentase penduduk Desa Haurngombong menurut
tingkat pendidikan dan jenis kelamin, tahun 2011
Jumlah dan persentase penduduk Desa Haurngombong menurut jenis
pekerjaan dan jenis kelamin, tahun 2011
Jumlah dan rata-rata kepemilikan ternak pada rumahtangga menurut
jenis ternak di Desa Haurngombong, tahun 2011
Jumlah dan persentase penduduk Desa Haurngombong menurut
agama dan jenis kelamin, tahun 2011
Distribusi jumlah adopter IB di Desa Haurngombong
Jumlah peternak adopter biogas di Dusun 2 Desa Haungombong
Jumlah dan persentase anggota rumahtangga adopter IB menurut
kelompok umur dan jenis kelamin di Desa Haurngombong, tahun
2015
Jumlah dan persentase ART adopter IB menurut pekerjaan dan jenis
kelamin, tahun 2015
Jumlah dan persentase ART adopter IB menurut kelompok umur dan
status perkawinan, tahun 2015
Jumlah dan rata-rata ART adopter IB menurut tingkat pendidikan
formal dan jenis kelamin, tahun 2015
Jumlah dan rata-rata kepemilikan ternak pada rumahtangga adopter
IB di Desa Haurngombong, tahun 2015
Jumlah dan persentase kepemilikan benda berharga pada
rumahtangga adopter IB Desa Haurngombong, tahun 2015
Jumlah dan persentase rumahtangga adopter IB di Desa
Haurngombong menurut luas kepemilikan lahan usahatani, tahun
2015
Jumlah dan persentase adopter IB di Desa Haurngombong menurut
pengalaman beternak, tahun 2015
Jumlah dan persentase keterangan umum rumahtangga adopter IB di
Desa Haurngombong, tahun 2015
Jumlah dan persentase adopter IB Desa Haurngombong menurut
waktu pengenalan inovasi dan tipe biogas, tahun 2015
Jumlah dan persentase sumber informasi tentang inovasi biogas
Desa Haurngombong, tahun 2015
Jumlah dan persentase peternak yang mengenal inovasi biogas Desa
Haurngombong, tahun 2015
Distribusi adopter IB pada kategori tingkat pengenalan komponen
inovasi biogas
Jumlah dan persentase peternak yang setuju terhadap inovasi biogas
Desa Haurngombong, tahun 2015

8
26
27
28
29
30
31
34
34

39
40
41
42
43
44

45
45
47
50
51
52
53
54

xii

24 Distribusi adopter IB pada kategori tingkat persuasi komponen
inovasi biogas
25 Jumlah dan persentase adopter IB yang memutuskan untuk
menerima inovasi biogas menurut unsur panduan inovasi biogas
secara baku di Desa Haurngombong, tahun 2015
26 Distribusi adopter IB pada kategori tingkat keputusan komponen
inovasi biogas
27 Jumlah dan persentase adopter IB yang mengimplementasikan
inovasi biogas di Desa Haurngombong, tahun 2015
28 Distribusi adopter IB pada kategori tingkat implementasi komponen
inovasi biogas
29 Jumlah dan persentase adopter IB yang konfirmasi terhadap inovasi
biogas di Desa Haurngombong, tahun 2015
30 Distribusi adopter IB pada kategori tingkat konfirmasi komponen
inovasi biogas
31 Distribusi adopter IB pada kondisi sebelumnya dengan tingkat
pengenalan (dalam persen)
32 Hasil korelasi Rank Spearman antara kondisi sebelumnya dengan
tingkat pengenalan
33 Distribusi adopter IB menurut kondisi ketidakpuasan pada variabel
tingkat kebutuhan atas inovasi biogas
34 Distribusi adopter IB pada saluran komunikasi dengan tingkat
pengenalan (dalam persen)
35 Hasil korelasi Rank Spearman antara saluran komunikasi dengan
tingkat pengenalan
36 Distribusi adopter IB pada karakteristik unit pengambilan keputusan
dengan tingkat pengenalan (dalam persen)
37 Hasil korelasi Rank Spearman antara karakteristik unit pengambilan
keputusan dengan tingkat pengenalan
38 Jumlah dan persentase alasan adopter IB mengadopsi biogas
39 Distribusi adopter IB pada tingkat pengenalan, saluran komunikasi,
dan persepsi terhadap inovasi biogas dengan tingkat persuasi (dalam
persen)
40 Hasil korelasi Rank Spearman antara tingkat pengenalan, saluran
komunikasi, dan persepsi peternak terhadap inovasi biogas dengan
tingkat persuasi
41 Distribusi adopter IB pada tingkat persuasi dan saluran komunikasi
dengan tingkat keputusan (dalam persen)
42 Hasil korelasi Rank Spearman antara tahap persuasi dan saluran
komunikasi dengan tingkat keputusan
43 Distribusi adopter IB pada
tingkat keputusan dan saluran
komunikasi dengan tingkat implementasi (dalam persen)
44 Hasil korelasi Rank Spearman antara tahap keputusan dan saluran
komunikasi dengan tingkat implementasi
45 Distribusi adopter IB pada
tingkat implementasi, saluran
komunikasi, dan kepuasan adopter IB dengan tingkat konfirmasi
(dalam persen)

55

56
56
59
59
61
61
65
66
68
68
69
69
71
72

74

75
77
78
79
80

81

46 Hasil korelasi Rank Spearman antara tahap implementasi, saluran
komunikasi, dan kepuasan peternak dengan tingkat konfirmasi
47 Nilai hasil pengujian hubungan antar variabel terpengaruh pada
proses pengambilan keputusan inovasi biogas di Desa
Haurngombong

82

83

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Hubungan antar variabel dalam proses pengambilan keputusan
inovasi biogas
Reaktor balon (plastik) dan reaktor fiberglass. Gambar direproduksi
dari Dokumentasi
Reaktor kubah tetap (fixed-dome) biogas beton
Instalasi biogas beton dari kredit biogas
Ganset bantuan. Gambar direproduksi dari Dokumentasi Desa
Haurngombong
Marka biogas percontohan program BIRU
Penggalian lubang digester biogas. gambar direproduksi dari
Dokumentasi Desa
Plakat penghargaan DME kepada Desa Haurngombong tahun 2008
dan 2011. Gambar

15
33
33
35
35
36
37
37

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Peta Wilayah Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat
Peta Desa Haurngombong, tahun 2015
Paradigma proses pengambilan keputusan inovasi
Agenda kegiatan penelitian
Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel-variabel
independen dan dependen
6 Parameter statistik dan kategori kriteria (skor) dari semua variabel
PK inovasi biogas
7 Daftar penerima instalasi biogas beton di Desa Haurngombong
8 Daftar penerima instalasi biogas fiber di Desa Haurngombong
9 Dokumentasi alat dan bahan biogas plastik
10 Dokumentasi alat dan bahan biogas fiber
11 Dokumentasi alat dan bahan biogas beton
12 Dokumentasi kegiatan beternak

92
92
93
94
95
97
99
102
103
103
104
106

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014
dinyatakan bahwa pembangunan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (SDA
dan LH) masih terus diupayakan pada dua kelompok, yakni pemanfaatan SDA
yang mendukung ekonomi, serta peningkatan kualitas dan kelestarian LH. Salah
satu prioritas
pada kelompok pertama diwujudkan melalui Peningkatan
Ketahanan dan Kemandirian Energi (PKKE). Pada kurun waktu tahun 20042008, upaya ini telah menunjukkan kontribusinya dalam penerimaan APBN
sekitar 25-32 persen terhadap penerimaan negara (RPJMN Tahun 2010-2014).
Salah satu upaya PKKE dilakukan melalui pemanfaatan energi baru terbarukan
(EBT) untuk pembangkit listrik dan kebutuhan hidup lainnya. Ketersediaan bahan
baku yang melimpah untuk pemanfaatan EBT hingga kini menjadi salah satu
fokus utama dalam pemanfaatan EBT di tahun-tahun mendatang. Hal ini pun
tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006
perihal Kebijakan Energi Nasional yang menyatakan bahwa tujuan dan sasaran
kebijakan energi nasional ditekankan pada EBT, khususnya biomassa, nuklir,
tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%.
Untuk mencapai sasaran tersebut, berbagai program EBT terus
dikembangkan dan dioptimalkan. Energi baru terbarukan tidak hanya sebagai
energi alternatif, namun juga sebagai penyangga pasokan energi nasional.
Program-program EBT yang diupayakan pemerintah, meliputi : listrik pedesaan,
interkoneksi pembangkit EBT, pengembangan biogas, Desa Mandiri Energi
(DME), Integrated Microhydro Development Program (IMIDAP), Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PLTS) perkotaan, pengembangan biofuel, dan proyek
percepatan pembangkit listrik 10 GW tahap II berbasis EBT (panas bumi dan
hidro).
Masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Provinsi Jawa Barat telah
mengenal istilah Desa Mandiri Energi (DME) sejak tahun 2003, seperti di Desa
Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang. Desa Mandiri
Energi merupakan desa yang dapat menyediakan energi dari desa itu sendiri.
Selain itu, DME ini diharapkan dapat membuka lapangan kerja dan mengurangi
kemiskinan serta memberikan kegiatan-kegiatan produktif bagi kehidupan
masyarakat setempat. Suatu wilayah dikatakan DME ketika mampu
mengembangkan energi dengan non Bahan Bakar Minyak (BBM), seperti
menggunakan mikrohidro, tenaga surya, dan biogas. Pemanfaatan kotoran ternak
merupakan salah satu hasil pemanfaatan EBT biogas oleh komunitas masyarakat
di pedesaan yang dikategorikan sebagai DME.
Sejak diintroduksikannya teknologi biogas pada komunitas masyarakat di
pedesaan Indonesia pada tahun 1970-an pada umumnya, dan khususnya kepada
komunitas peternak di Desa Haurngombong pada tahun 2003, teknologi biogas
dan penerapannya telah cukup lama dikenal dan diimplementasikan dalam
kehidupan masyarakat setempat dalam pengadaan sumberdaya energi alternatif
lainnya yang dimanfaatkan baik untuk penerangan dan memasak maupun

2

memenuhi berbagai kebutuhan terkait pertanian. Teknologi biogas terutama yang
berbahan baku kotoran ternak menawarkan sejumlah keunggulan, yakni sifatnya
ramah lingkungan dan dapat diperbaharui, dapat dijadikan sebagai salah satu
energi alternatif pengganti bahan bakar fosil, ampas (sludge) dapat diproses
kembali menjadi pupuk organik dan dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi
padi secara berkesinambungan karena tidak menimbulkan residu atau gulma di
lahan sawah. Di samping itu juga, dapat dimanfaatkan untuk keperluan bahan
bakar memasak, pembangkit listrik, mengurangi biaya pemakaian listrik sebesar
50%, serta menghemat energi dan menjadikan desa bersih dari kotoran ternak.
Berbagai keunggulan yang dimiliki biogas menjadikan teknologi biogas ini
kemudian diinisiasikan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang sejak tahun
2006 mengemban amanah untuk memanfaatkan energi biomassa atau biogas
untuk pembangkit listrik. Penggunaan energi dari biogas di Desa Haurngombong,
pada awalnya diintensifkan melalui kerjasama antara Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran (Unpad) dengan PLN, berupa dukungan teknologi biogas
dan pembinaan untuk warga mulai tahun 2007. Selain itu, terdapat pula bantuan
pemberian 10 generator untuk menghasilkan listrik menggunakan bahan bakar
biogas yang diberikan oleh PLN. Selain proyek kerjasama dan bantuan inovasi
biogas dari pihak UNPAD dan PLN, desa ini pun mengintensifkan kerjasama
bantuan inovasi biogas dan ternak dengan pihak Kementrian Energi Sumberdaya
dan Mineral (ESDM), serta pihak CSR suatu yayasan swasta pada tahun yang
sama dan setelah tahun 2007.
Dengan adanya introduksi biogas bagi komunitas peternak sapi di Desa
Haurngombong, menjadi menarik dan penting mempelajari kelangsungan proses
pengambilan keputusan inovasi biogas di kalangan rumahtangga peternak
tersebut, khususnya dengan merujuk model Pengambilan Keputusan Inovasi (PK
Inovasi) dari Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1983). Telah ada
sebelumnya penelitian tentang PK Inovasi biogas di kalangan rumahtangga
peternak di Indonesia, namun masih terbatas, diantaranya dilakukan oleh Yusriadi
(2011) dan Novikarumsari (2014). Yusriadi (2011) meneliti “Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Adopsi Peternak Sapi Perah tentang Teknologi Biogas di
Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan”. Sementara Novikarumsari (2014)
meneliti “Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat”. Kedua peneliti secara eksplisit
menyatakan merujuk pada teori Pengambilan Keputusan dan Diffusi Inovasi dari
Rogers dan Shoemaker (1971), namun kerangka pemikiran dan metodologi yang
kedua penelitian tersebut tuliskan tidak sepenuhnya konsisten dengan teori
tersebut di atas. Dalam kerangka pemikiran Yusriadi (2011) mengabaikan Model
PK Inovasi dari Rogers, karena mereduksi sejumlah faktor dalam model tersebut.
Yusriadi menjadikan adopsi sebagai satu-satunya variabel terpengaruh (variabel
dependen) dari PK Inovasi, padahal adopsi hanyalah salah satu alternatif dari
tahap keputusan, terdapat dua tahap lainnya dalam model PK Inovasi yang
mendahului tahap keputusan, yakni tahap persuasi dan tahap pengenalan yang
menurut kedua ahli tersebut di atas merupakan variabel dependen dalam Model
PK Inovasi tapi menjadikan variabel independen bagi tahap keputusan.
Ketidakkonsistenan penulis lainnya adalah menjadikan persepsi peternak pada
teknologi biogas sebagai variabel independen yang berpengaruh langsung
terhadap adopsi teknologi biogas, padahal variabel tersebut menjadi variabel

3

independen bagi tahap persuasi dalam model PK Inovasi. Selain itu, karakteristik
peternak dinyatakan berpengaruh langsung terhadap persepsi peternak pada
teknologi biogas, hal ini juga tidak sesuai dengan model PK Inovasinya karena
dalam model tersebut, karakteristik unit adopsi merupakan faktor yang
berpengaruh langsung pada tahap pengenalan, dan bahwa persepsi unit adopsi
merupakan variabel yang mempengaruhi terhadap tahap persuasi.
Demikian halnya penelitian Novikarumsari (2014), meski peneliti mengacu
pada teori Rogers and Shoemaker (1971), namun konsep yang dipakai sebenarnya
tidak merujuk kedua ahli tersebut. Istilah tingkat difusi-adopsi yang digunakan
Novikarumsari tidak pernah digunakan oleh kedua ahli, kecuali laju difusi inovasi.
Di lain pihak, penulis mereduksi sejumlah variabel yang menentukan laju adopsi
inovasi dengan mengabaikan variabel yang sangat penting dalam konteks difusi
inovasi, yakni tipe pengambilan keputusan inovasi.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, menjadi penting untuk melakukan
penelitian PK Inovasi Biogas pada Rumahtangga Peternak di Desa
Haurngombong Kabupaten Sumedang dengan merujuk model PK Inovasi dari
kedua ahli tersebut di atas secara konsisten, dengan harapan dapat memberikan
gambaran proses PK Inovasi biogas yang berlangsung di kalangan rumahtangga
peternak yang mencakup lima tahapan, yakni pengenalan, persuasi, keputusan,
implementasi, dan konfirmasi. Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi
informasi awal bagi penelitian lebih lanjut mengenai difusi inovasi biogas.
Perumusan Masalah
Rumahtangga peternak tergolong heterogen dalam profil rumahtangga.
Sehubungan dengan itu, bagaimanakah profil rumahtangga peternak yang
mengadopsi inovasi biogas di Desa Haurngombong Kabupaten Sumedang?
Merujuk Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1983) sebagaimana
dikutip oleh Mugniesyah (2006), model PK Inovasi mencakup lima tahapan:
pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi. Sehubungan
dengan itu, bagaimanakah berlangsungnya PK Inovasi biogas di kalangan
rumahtangga peternak sapi di Desa Haurngombong Kabupaten Sumedang?
Dalam PK Inovasi tersebut, terdapat sejumlah variabel pada faktor-faktor
yang menentukan setiap tahap tersebut. Tahap pengenalan ditentukan oleh: empat
variabel pada faktor kondisi sebelumnya (praktek sebelumnya, masalah-masalah
kebutuhan yang dirasakan, keinovatifan, dan norma-norma sistem sosial), tiga
variabel pada faktor karakteristik unit PK Inovasi (sosial-ekonomi, kepribadian,
dan perilaku komunikasi) dan faktor saluran-saluran komunikasi. Terdapat tiga
faktor yang menentukan tahap persuasi, yakni pengenalan, saluran komunikasi
dan persepsi terhadap inovasi yang mencakup lima variabel: keuntungan relatif,
kesesuaian, kompleksitas, kemudahan dicoba, dan kemudahan diamati hasilnya.
Saluran komunikasi merupakan faktor yang juga mempengaruhi tiga tahap
selanjutnya: keputusan, implementasi, dan konfirmasi. Dalam model PK Inovasi,
tahap yang lebih awal menentukan tahap sesudahnya. Sehubungan dengan itu,
variabel-variabel apa sajakah yang menentukan setiap tahapan PK Inovasi biogas
pada rumahtangga peternak sapi di Desa Haurngombong Kabupaten Sumedang?
Introduksi inovasi biogas di Desa Haurngombong telah berlangsung sejak
tahun 2003 namun inovasi tersebut lebih gencar diadopsi oleh peternak setempat

4

mulai tahun 2007 hingga saat ini terutama setelah harga minyak tanah melonjak
tinggi pada tahun 2007. Dewasa ini kondisinya dimungkinkan ada dinamika
dalam adopsi inovasi biogas, sejalan dengan adanya peningkatan harga bahan
bakar untuk kepentingan rumahtangga. Sehubungan dengan hal itu, adakah
permasalahan-permasalahan yang dihadapi peternak berpengaruh terhadap
perilaku PK inovasi biogas adopter IB?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, tujuan umum penelitian ini
adalah untuk mengkaji proses pengambilan keputusan inovasi teknologi biogas di
Desa Haurngombong Kabupaten Sumedang dan tujuan khusus adalah untuk:
1. Mendeskripsikan profil rumahtangga peternak sapi adopter inovasi biogas.
2. Menjelaskan proses PK Inovasi biogas pada rumahtangga peternak sapi di
Desa Haurngombong yang mencakup tahap pengenalan, tahap persuasi, tahap
keputusan, tahap implementasi, dan tahap konfirmasi.
3. Menguji hubungan antara sejumlah variabel independen dengan variabel
dependen pada setiap tahapan pengambilan keputusan inovasi biogas di
kalangan rumahtangga peternak adopter inovasi biogas di Desa
Haurngombong Kabupaten Sumedang.
4. Mengidentifikasi permasalahan yang dirasakan oleh peternak adopter inovasi
biogas serta pengaruhnya terhadap perilaku PK inovasi biogas khususnya pada
tahap konfirmasi.
Kegunaan Penelitian
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, kegunaan
penelitian ini antara lain:
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan
pengalaman dalam menerapkan berbagai konsep dan teori berkenaan dengan
proses pengambilan keputusan inovasi, yakni dalam konteks inovasi teknologi
biogas pada rumahtangga peternak adopter di Desa Haurngombong Kabupaten
Sumedang.
2. Bagi Pemda Sumedang, khususnya Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang,
diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bagian dari aktivitas
monitoring dalam pelaksanaan berbagai kegiatan penyuluhan dan penerapan
suatu inovasi, khususnya di lokasi penelitian terpilih.
3. Bagi pihak lain, khususnya para peneliti di bidang riset pengambilan
keputusan inovasi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan informasi
awal bagi studi pengambilan keputusan inovasi teknologi biogas di Kabupaten
Sumedang dan wilayah lainnya di Indonesia, serta dapat menjadi informasi
awal bagi penelitian laju difusi-adopsi inovasi selanjutnya dalam hal inovasi
teknologi biogas, serta melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya terkait
proses pengambilan keputusan dan inovasi biogas.

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Konsep Pengambilan Keputusan Inovasi
Konsep dan teori tentang pengambilan keputusan inovasi yang diuraikan
merujuk pada pendapat Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1983)
sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (2006). Rogers dan Shoemaker (1971)
mendefinisikan inovasi sebagai suatu gagasan, praktek, atau objek yang
dipandang sebagai suatu hal yang baru, yang dapat senantiasa berbeda bagi
seorang individu karena persepsi kebaruan dari suatu inovasi bagi individu
menentukan reaksinya terhadap inovasi. Inovasi mencakup 2 komponen, yakni
komponen gagasan (idea) dan komponen objek (object) atau komponen material
maupun aspek fisik produk dari suatu gagasan. Namun, inovasi ini dapat pula
berbentuk tidak fisik, seperti keterampilan manajerial atau ideologi tertentu.
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) keputusan-keputusan individu untuk
menolak ataupun menerima suatu inovasi tidak terjadi secara instan melainkan
melalui suatu proses yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu dan mencakup
serangkaian aksi atau tindakan dalam memutuskan penerimaan dan penolakan
inovasi. Menurut kedua ahli tersebut dan berdasarkan pada pengembangan teori
dan konsep Rogers (1983), terdapat lima tahapan dalam proses keputusan inovasi
dan pendefinisian dari setiap tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan (knowledge) merupakan tahap ketika individu (unit pengambil
keputusan lainnya) mulai mengenal tentang adanya inovasi dan memperoleh
beberapa pengertian tentang bagaimana fungsi atau kegunaan dari inovasi
tersebut.
2. Persuasi (persuasion) merupakan tahap ketika individu (unit pengambil
keputusan lainnya) membentuk sikap suka atau tidak suka terhadap suatu
inovasi.
3. Keputusan (decision) merupakan tahap ketika individu (unit pengambil
keputusan lainnya) melakukan aktivitas-aktivitas yang akan membawanya
kepada membuat suatu pilihan untuk memutuskan menerima atau menolak
inovasi.
4. Penerapan (implementation) merupakan tahap ketika individu (unit pengambil
keputusan lainnya) melaksanakan dalam kehidupan nyata inovasi yang telah
dia ambil keputusannya.
5. Konfirmasi (confirmation) merupakan tahapan ketika indvidu (unit pengambil
keputusan lainnya) mencari penguatan atau pengukuhan atas keputusan
inovasi yang telah dibuatnya, akan tetapi dia dapat mengubah keputusannya
yang terdahulu, jika dia diperkenalkan pada informasi yang bertentangan
dengan inovasi yang telah diadopsi atau dia tolak sebelumnya.
Lima tahapan tersebut di atas dipengaruhi oleh sejumlah variabel yang terdapat
pada empat faktor yang berpengaruh langsung terhadap proses keputusan inovasi
individu (selanjutnya ditulis PK Inovasi), yaitu faktor-faktor: kondisi sebelumnya,
karakteristik unit pengambil keputusan, saluran komunikasi, dan persepsi terhadap

6

karakteristik inovasi. Model lima tahapan PK Inovasi ini dapat dilihat pada
Gambar 1 (Lampiran 3).
Pada PK Inovasi, introduksi inovasi kepada individu diharapkan akan
diadopsi selanjutnya oleh individu tersebut sehingga karakteristik individu sangat
menentukan cepat atau lambatnya waktu adopsi yang dibutuhkan. Hal inilah yang
menunjukkan adanya perbedaan keinovativan (innovativeness) pada tingkat
individu (Mugniesyah 2006). Istilah keinovativan atau derajat kecepatan anut ini
didefinisikan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) sebagai derajat dimana seorang
individu atau unit pengambilan keputusan lainnya secara relatif lebih dini atau
lebih dahulu mengadopsi suatu inovasi dibandingkan dengan rata-rata anggota
sistem sosial lainnya dimana ia menjadi anggotanya. Selanjutnya, kedua ahli
tersebut mengemukakan adanya konsep innovation-decision period (Masa
Keputusan Inovasi) yang terkait dengan proses keputusan inovasi. Konsep ini
diartikan sebagai lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengalami suatu proses
PK inovasi atau selang waktu yang dibutuhkan mulai dari kondisi sadar dan
mengenal inovasi (Kesadaran-Pengetahuan) hingga memutuskan untuk
mengadopsi suatu inovasi. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa terdapat
keterhubungan antara laju kesadaran-pengenalan, laju adopsi, dan periode
keputusan-inovasi dari suatu inovasi.
Istilah lain dalam PK Inovasi dikenal adanya laju adopsi (rate of adoption)
yang diartikan sebagai kecepatan relatif dimana suatu inovasi diadopsi oleh
anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini diukur sebagai jumlah
penerima yang mengadopsi inovasi dalam periode waktu tertentu. Sejumlah faktor
yang mempengaruhi laju adopsi inovasi, antara lain karakteristik inovasi, tipe
keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri sitem sosial, dan adanya upaya
promosi oleh agen perubah. Rogers dan Shoemaker (1971) mendefinisikan tipe
proses keputusan inovasi, sebagai berikut:
1. Proses PK Inovasi opsional, melibatkan individu sebagai unit pengambilan
keputusan dan unit adopsi inovasi.
2. Proses PK Inovasi kolektif, melibatkan suatu sistem sosial atau kelompok
sebagai unit pengambilan keputusan dan unit adopsi inovasi.
3. Proses PK Inovasi otoritas, melibatkan seseorang yang memiliki posisi
kekuasaan atasan (superordinat) sebagai unit pengambilan keputusan dan
anggota sistem sosial bawahannya (subordinat) sebagai unit adopsi.
4. Proses PK Inovasi kontingensi, dimana pilihan-pilihan untuk mengadopsi atau
menolak inovasi hanya dapat dibuat setelah proses pengambilan keputusan
inovasi yang terdahulu atau sebelumnya dilakukan.
Inovasi Teknologi Biogas
Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan
organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa udara (anaerobik) (Wahyuni
2011). Gas ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta pada tahun 1778.
Perkembangannya pun terus dilakukan oleh berbagai masyarakat di berbagai
benua, seperti di benua Afrika, benua Eropa, dan benua Asia (Cina, India, dan
Indonesia) sehingga pada tahun 1896 dibangunlah digester anaerobik untuk
pertama kalinya di Inggris. Teknologi biogas ini, mulai berkembang di Indonesia
pada tahun 1970 namun keberadaannya di Indonesia kurang berkembang pada

7

saat itu karena tingginya penggunaan bahan bakar minyak. Pada tahun 2006,
teknologi biogas di Indonesia berkembang kembali setelah terjadinya kenaikan
harga BBM. Selain itu, juga didukung oleh adanya kebijakan subsidi pemerintah
untuk inovasi biogas dan adanya kelangkaan energi yang terus terjadi di Indonesia.
Adanya teknologi biogas bertujuan tidak hanya menjadikan biogas sebagai energi
alternatif dari bahan bakar fosil, namun juga dapat dijadikan sebagai penyangga
pasokan energi nasional.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari adanya teknologi biogas, antara
lain sebagai sumber energi alternatif untuk keperluan rumahtangga, seperti
memasak, merebus air, dan sebagainya. Selain itu, manfaat lainnya adalah untuk
menghemat biaya listrik hingga ± 50% sehingga penghematan biaya dapat
dialihkan untuk keperluan biaya pendidikan, kesehatan dan daya beli (ekonomi
rumahtangga), penerangan jalan umum dan pada tempat tinggal pribadi. Lebih
lanjut, biogas dapat dijadikan sebagai pupuk pertanian; bahan bakar generator
pembangkit listrik; membantu menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK);
memberdayakan dan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat pedesaan;
mampu meningkatkan produksi padi secara berkesinambungan; serta sebagai
pengganti bahan bakar lain.
Proses untuk menghasilkan gas-gas biogas ini disebut sebagai anaerobic
digester atau pencernaan secara anaerob dan alat yang digunakan untuk
menghasilkan dan memproduksi biogas disebut reaktor biogas (digester) yang
dirancang agar kedap udara (anaerob). Prinsip bangunan digester ini adalah
menciptakan ruangan kedap udara (anaerob) yang menyatu dengan saluran atau
pemasukan (input) serta saluran atau bak pengeluaran (output). Bak pemasukan
memiliki fungsi untuk melakukan homogenisasi dari bahan baku limbah cair dan
padat, serta bak penampungan memiliki fungsi untuk menampung bahan sisa
(sludge) hasil dari perombakan bahan organik dari digester yang telah diuraikan
bahan organiknya sehingga memiliki peningkatan unsur hara yang terkandung
didalamnya. Sludge merupakan lumpur yang keluar dari digester yang telah
mengalami fermentasi. Terdapat dua jenis sludge, yakni padatan dan cairan, kedua
jenis sludge ini dapat dimanfaatkan langsung sebagai pupuk organik baik yang
bersifat padat maupun cair. Gas biogas dapat dihasilkan dari suatu digester karena
perlakuan penampungan, penumpukkan, dan pengumpulan limbah dari bahan
organik di suatu ruang kedap udara, seperti kotoran ternak yang kemudian
menghasilkan penguapan gas dari proses fermentasi yang dilakukan pada kurun
waktu tertentu (Wahyuni 2013).
Berbagai tipe reaktor biogas (digester) telah dikembangkan di berbagai
saluran atau masukan daerah di Indonesia. Wahyuni (2013) memaparkan berbagai
tipe digester yang dikembangkan tersebut, antara lain tipe plastik atau reaktor
balon, tipe silinder (floating drum) atau reaktor jenis terapung (floating), tipe
fiberglass atau reaktor fiberglas, serta tipe kubah (fixed dome) atau reaktor kubah
tetap (fixed-dome). adapun pengertian dari ketiga reaktor tersebut sebagai berikut:
1. Tipe plastik atau reaktor balon, merupakan jenis reaktor yang banyak
digunakan pada skala rumahtangga. Reaktor ini terbuat dari bahan plastik
sehingga lebih efisien dalam penanganan dan perubahan tempat biogas.
Reaktor ini memiliki satu bagian yang berfungsi sebagai digester dan tempat
penyimpanan gas yang bercampur dalam satu ruangan tanpa sekat.

8

Keuntungan reaktor ini adalah harganya lebih murah, namun kekurangan yang
didapat dari pemakaian reaktor ini adalah kebocoran yang mudah terjadi.
2. Tipe fiberglass atau reaktor fiberglass , merupakan tipe reaktor yang banyak
digunakan dalam skala rumahtangga dan skala industri maupun komunal.
Reaktor ini terbuat dari fiberglass, lebih efisiensi dalam penanganan dan
perubahan tempat biogas, memiliki satu bagian yang berfungsi sebagai
digester dan penyimpanan gas yang masing-masing bercampur dalam satu
ruang tanpa sekat. Keunggulan reaktor ini selain bersifat efisien, ringan, kuat,
dan kedap, juga mudah diperbaiki ketika mengalami kebocoran, serta mudah
dipindahkan kapanpun saat sudah tidak digunakan kembali.
3. Tipe kubah (fixed dome) atau reaktor kubah tetap (fixed-dome), merupakan
tipe reaktor yang dapat dimanfaatkan dalam skala rumahtangga maupun
industri (komunal). Reaktor ini memiliki kedalaman tertentu; terbuat dari batu,
batubata, atau beton; serta strukturnya kuat sebagai penahan gas agar tidak
bocor. Keuntungan reaktor ini adalah biaya konstruksi relatif murah dan
perawatan lebih mudah, sedangkan kelemahan reaktor ini adalah mudah retak
ketika terjadi gempa bumi dan sulit diperbaiki ketika terjadi kebocoran
sehingga beberapa reaktor tipe ini dibangun di dalam tanah. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari retak yang menyebabkan kebocoran
bangunan reaktor akibat kontak langsung dengan matahari bila dibangun
diatas permukaan tanah dan tidak adanya dinding pelindung (tanah) yang
mampu mempertahankan bentuk awal reaktor sebelum terjadi kebocoran bila
terjadi gempa bumi atau pun kondisi tanah yang tidak stabil.
Penerapan inovasi biogas ini meliputi serangkaian kegiatan atau aktivitas
sejak persiapan bangunan biogas hingga pengolahan limbah digester biogas.
Adapun serangkaian kegiatan atau aktivitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Prosedur pembuatan biogas limbah ternak
Kegiatan
Menentukan lokasi

Menyiapkan bahan
dan alat

1

Keterangan
Lokasi tidak jauh dari sumber bahan
organik, seperti kotoran sapi atau dekat
dengan kandang; saluran pembuangan
kotoran ternak dihubungkan dengan
saluran pemasukan (inlet) digester;
dibangun bak penampung; dibangun bak
penampungan keluaran (sludge) dari
digester; dan luas ideal lahan untuk
pembangunan instalasi digester biogas
sekitar 18m2.
Membeli digester jenis tertentu dan
kapasitas tertentu (5m3; 6,4m3; 7m3; 11m3;
17m3; 100m3).
Pipa paralon PVC ukuran ½
inci
sebanyak 5 batang.
Kne L ukuran ½ inci sebanyak 6 buah.

Ilustrasi1

Gambar berasal dari Dokumentasi Penelitian bulan Maret-Mei 2015 dan sebagian
direproduksi dari Dokumentasi Desa Haurngombong (tahun 2008) dengan seizin aparat
Desa Haurngombong.

9

Kegiatan

Menentukan
ukuran dan
kapasitas digester
biogas

Membuat lubang
digester

Membuat saluran
pemasukan (inlet)

Membuat saluran
(outlet)
Membuat bak
penampungan

Melakukan
pemasangan atau
instalasi
Melakukan
pemasangan pipa
saluran gas

Membuat biogas
dari kotoran ternak

Keterangan
Kne L drat sebanyak 2 buah.
Kran gas sebanyak 3 buah.
Klem paralon/selang sebanyak 12 buah.
Klem selang sebanyak 2 buah.
Lem paralon 1 tube.
Selang gas khusus untuk mengalirkan gas
ke kompor sekitar 2m.
Alat kontrol fiberglass.
Kompor biogas portable siap pakai.
Semen beberapa sak, sesuai kebutuhan.
Pasir sesuai kebutuhan.
Batu kali dan batubata
Ukuran digester :
Kapasitas digester 5m3, diameter lubang
2,10m dan kedalaman 2m.
Kapasitas 6,4m3, diameter lubang 2,40m
dan kedalaman 2m.
Kapasitas 7m3, diameter lubang 2,40m
dan kedalaman 2m.
Kapasitas 17m3, diameter lubang 3,00m
dan kedalaman 2,50m
Ditanam dalam tanah atau cukup diatas
permukaan tanah.
Jika tanah remah atau gembur, dilakukan
pengerasan atau pengecoran pada tanah.
Lebar 20-30cm; dihubungkan dengan
lubang pemasukan yang sudah ada pada
digester; dibuat dari batubata yang
diplester (campuran semen, batu bata, dan
pasir); kedalaman sumur disesuaikan
dengan kemiringan.
Menghubungkan
lubang
pengeluaran
dengan bak penampungan.
Dibuat
persegi
panjang
ukuran
1mx1mx1m; bahan dari batubata yang
diplester; dapat dibuat lebih dari satu
kotak; jarak dari lubang biodigester sekitar
20cm; dan posisi searah dengan lubang
pemasukan.
Digester perlahan dimasukkan ke dalam
lubang atau sumur.
Pasang kran gas kontrol pada salah satu
pipa paralon bagian atas kubah digester.
Satu pipa paralon lainnya disambungkan
dan diarahkan ke dapur (tempat memasak)
atau generator untuk menghasilkan listrik.
Menyiapkan kotoran ternak sapi yang
masih baru.
Mencampur atau mengaduk kotoran ternak
dengan air (1 kotoran:2 air) secara merata.

Ilustrasi

10

Kegiatan

Mengoperasikan
biogas

Mengolah limbah
digester biogas
Membeli kompor
biogas

Keterangan
Memasukkan kotoran ke dalam digester
melalui lubang pemasukkan sebanyak 60%
dari jumlah kapasitas volume digester.
Mendiamkan semua bahan 13-20 hari,
posisi kran gas kontrol dan kran gas
pengeluaran tertutup.
Membuka kran gas kontrol pada hari ke14 untuk membuang hasil campuran gas
dan udara dalam digester.
Memasukkan kotoran sapi setiap hari yang
telah dicampur dengan air ke dalam
digester biogas (2 kg kotoran sapi dan 4
liter air) dan selalu tidak melupakan untuk
membuka serta menutup kran gas kontrol
yang
tersambung
pada
alat-alat
rumahtangga secara perlahan sehingga gas
akan mengalir dan berhenti mengalir.
Mengolahnya menjadi pupuk cair organik
atau pupuk padat organik
Membeli kompor biogas yang sudah jadi
dan siap digunakan maupun memodifikasi
kompor untuk gas LPG menjadi kompor
biogas yang siap digunakan.

Ilustrasi

Sumber : Wahyuni (2011) dan Wahyuni (2013)

Hasil-hasil Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Biogas
Dalam penelitian Mwirigi et al. (2009) menguji beberapa faktor independen
yang digunakan untuk melihat pengambilan keputusan petani dan
keberlanjutannya dalam pengadopsian teknologi biogas di Kecamatan Nakuru,
Kenya, yakni tingkat pendidikan kepala keluarga, pemasukan (pendapatan)
keluarga, ukuran (luasan) sawah, kepemilikkan sawah, sistem pertanian, jumlah
ternak, dan harga sapi rata-rata di daerah tersebut. Selain itu, terdapat beberapa
faktor lain yang dikatakan dapat memengaruhi keputusan inovasi biogas yakni
pemanfaatan energi (memasak, penerangan), status dari teknologi (melakukan
promosi, adanya adopsi dari teknologi biogas, adanya desain perencanaan),
manfaat biogas, mahalnya rencana pembuatan biogas, rasio bantuan finansial,
biaya pembangunan, serta produksi gas.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara faktorfaktor sosio-ekonomi dengan adopsi teknologi biogas. Namun, faktor-faktor
sosio-ekonomi tersebut tidak secara signifikan berpengaruh terhadap
keberlanjutan pembangunan teknologi biogas. Pengambilan keputusan untuk
adopsi biogas dan keberlanjutan dipengaruhi oleh kepemilikan ternak.
Hasil penelitian Wahyuni et al. (2009) menunjukkan bahwa pengembangan
biogas sebagai alternatif energi pada skala individu dan kelompok lebih efektif
serta dapat menghasilkan produksi gas yang lebih baik pada instalasi pengolahan
limbah (reaktor biogas) terbuat dari semen dan fiber glass. Selain itu, kapasitas
biodigester 5m3 dan 17m3 lebih layak dilaksanakan dan dikembangkan pada skala
individu dan kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan

11

instalasi biogas ini akan diterapkan oleh peternak bila harga reaktor tergolong
murah, kuat dan mudah didapat, ringan dan mudah dipindahkan, perawatan dan
operasional biodigester lebih efektif dan mudah dilakukan, pemasangan instalasi
biodigester lebih mudah, terdapat kontinuitas sebagai sumber energi alternatif,
dapat mengurangi pencemaran lingkungan, mudah dilaksanakan dengan teknologi
sederhana, mempunyai nilai tambah lain (seperti sebagai pupuk organik), dan
adanya dukungan pemerintah untuk pengembangan inovasi biogas ini.
Hasil penelitian Walekhwa et al. (2009) di Uganda menunjukkan bahwa
adopsi biogas meningkat di kalangan rumahtangga berumur muda. Lebih lanjut,
inovasi ini dipengaruhi oleh meningkatnya pemasukan (pendapatan) rumahtangga,
meningkatnya jumlah kepemilikan ternak, meningkatnya jumlah anggota
rumahtangga (ART), laki-laki sebagai kepala rumahtangga, pendidikan formal
pada tahun itu, harga minyak tan