Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat

TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH
PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG,
KABUPATEN BANDUNG BARAT

NURUL DWI NOVIKARUMSARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Tingkat Difusi-Adopsi
Inovasi Biogas di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Nurul Dwi Novikarumsari
NRP I351120031

RINGKASAN
NURUL DWI NOVIKARUMSARI. 2014. Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas
oleh Peternak Sapi Perah di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Dibimbing oleh SITI AMANAH sebagai Ketua Komisi, dan BASITA GINTING
SUGIHEN sebagai Anggota Komisi.
Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun baru
berkembang setelah adanya Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola oleh Koperasi
Susu Bandung Utara (KPSBU) dan bekerjasama dengan LSM internasional
Human Institute for Development Cooperation (Hivos) dan Foundation of
Netherlands Volunteers (SNV) pada tahun 2010. Saat ini terdapat 4 197 Rumah
Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP) yang berpotensi mengadopsi biogas.
Terdapat beragam penyebab hambatan dalam proses difusi adopsi biogas, baik
dari aspek inovasi biogas tersebut, mau pun dari sisi peternak. Pemanfaatan

limbah sapi perah sebagai bahan dasar biogas dapat memberikan manfaat baik
secara ekonomi mau pun lingkungan. Dengan demikian diperlukan percepatan
difusi biogas dengan semakin banyaknya adopter biogas dari peternak. Penelitian
ini berupaya menjawab pertanyaan tentang tingkat difusi adopsi biogas. Adapun
tujuan penelitian ini meliputi hal berikut: (1) menganalisis persepsi peternak
mengenai sifat inovasi biogas, (2) menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi
biogas di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, dan (3) menganalisis
hubungan antara karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi biogas,
tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat difusi-adopsi
inovasi biogas.
Penelitian dilakukan di Desa Cibodas dan Suntenjaya, Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung Barat. Sampel penelitian adalah seluruh Rumah Tangga
Peternak Sapi Perah (RTPSP) penerap inovasi biogas sebanyak 266 RTPSP.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret hingga April 2014. Data primer
dikumpulkan melalui kuesioner yang terdiri dari 55 pertanyaan meliputi variabel
karakteristik RTPSP meliputi pendidikan formal, lama beternak, jumlah ternak,
tingkat pendapatan, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik), dan luas lahan untuk
biogas. Selanjutnya, variabel penelitian juga mencakup persepsi terhadap sifat
inovasi meliputi tingkat keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat
kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas serta variabel tingkat

akses informasi dan fasilitasi penyuluh meliputi akses terhadap informasi inovasi
biogas, dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas. Pengolahan data
dilakukan secara deskriptif, dan untuk melihat faktor-faktor yang berkorelasi
dengan tingkat difusi dan adopsi biogas, digunakan analisis korelasi rank
Spearman.
Litterer (Asngari 1984) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan
pemahaman atau pandangan manusia tentang obyek di sekitarnya. Sifat inovasi
biogas yang dinilai peternak meliputi tingkat keuntungan relatif, tingkat
kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas.
Penilaian peternak tentang sifat inovasi biogas menjadikan peternak mau
mengadopsi biogas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biogas layak diterapkan menurut
persepsi RTPSP namun jumlah adopter masih di bawah 50 persen. Motivasi,

keuntungan relatif, kompleksitas, kompatibilitas dan observabilitas berkorelasi
nyata dan positif dengan kecepatan adopsi biogas, sedangkan lama beternak,
keuntungan relatif dan triabilitas berkorelasi positif nyata dengan difusi biogas.
Akses informasi inovasi biogas dan frekuensi pertemuan tidak berkorelasi nyata
dengan difusi-adopsi biogas. Dari kedua desa penelitian, sebesar 87.2 persen
kecepatan adopsi peternak termasuk kategori sedang, dan sebesar 51.8 persen

penyebaran biogas oleh peternak termasuk kategori tinggi.
Kata kunci: difusi, adopsi, biogas, persepsi, ciri inovasi

SUMMARY
NURUL DWI NOVIKARUMSARI. 2014. Rate of Biogas Diffusion-Adoption
Biogas Innovation by Dairy Farmers in Lembang Sub District, Bandung Barat
District. Supervised by SITI AMANAH and BASITA GINTING SUGIHEN.
Biogas had been initiating since 2006 in Lembang Subdistrict, but had been
growth in 2010 through Biogas Rumah (BIRU). BIRU is managed by Koperasi
Susu Bandung Utara (KPSBU) which is cooperated with internasional NGO as
Human Institute for Development Cooperation (Hivos) and Foundation of
Netherlands Volunteers (SNV). Nowdays, there are 4 197 dairy farmer household
as prospected biogas adopters in Lembang Subdistrict. The barriers of diffusion
adoption biogas due to the aspect of the biogas innovation, and the dairy farmers.
Dairy waste utilization as the main material of biogas can provide economic
benefits and environment, so that need a research about diffusion-adoption biogas.
This research try to answer questions about the diffusion-adoption of biogas. The
objective of research was analysted dairy farmer perception attributes of biogas
innovation, analyze the household characteristics of dairy farmer (RTPSP),
perception attributes of biogas inovation, the rate of access information and the

frequency of meetings with extension workers with the rate of diffusion-adoption
biogas innovation and analyze the rate of diffusion-adoption biogas innovation in
Lembang Subdistrict, Bandung Barat District.
This research was conducted in Cibodas and Suntenjaya village. All of the
population member (266 households) were the research respondents. The data was
collected from March to April 2014, by through interviewing respondents using
questionnaires that consist of 55 questions covering the household characteristics
of dairy farmer, include formal education, dairy exprience, number of cattle,
income, motivation (intrinsic and extrinsic), and land area for biogas.
Furthermore, the study also includes perception of innovation include relative
advantage, complexity, compatibility, observability and trialability and the rate of
access information and the frequency of meetings with the extension workers.
Secondary data were obtained from various relevant agencies. The data were
processed using rank Spearman.
Litterer (Asngari 1984), perception is the understanding or view people
have of things in the world around them. Attribute of innovation are relative
advantage, complexity, compatibility observability and trialability. Dairy farmers
decide to use biogas by understanding the attribute of biogas.
The research results showed biogas feasible to use but rate of adopter
under 50 percent. Motivation, relative advantage, complexity, compatibility,

observability have positive correlation with adoption while relative advantage,
length of dairy farmers experiences, and trialability have positive correlation with
diffusion. The access of biogas information and frequency metting with extention
workers haven’t correlation with rate of diffusion-adoption. From both of village,
87.2 percent adoption of dairy farmer is medium and 51.8 percent biogas diffusion
is high.
Keywords: diffusion, adoption, biogas, perception, attribute of innovation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH
PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG,

KABUPATEN BANDUNG BARAT

NURUL DWI NOVIKARUMSARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi: Prof Dr H Pang S Asngari, MEd

Judul Tesis : Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat
Nama

: Nurul Dwi Novikarumsari
NRP
: I351120031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua

Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana


Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
11 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas karunia dan berkah-Nya,
tesis ini dapat diselesaikan. Tesis menganalisis persepsi peternak mengenai sifat
inovasi biogas, menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat, dan menganalisis hubungan antara
karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi biogas, tingkat akses informasi
dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.
Penyelesaian tesis tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr Ir Siti Amanah, MSc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Basita
Ginting Sugihen, MA sebagai Anggota Komisi Pembimbing, Dr Ir Dwi

Sadono, MSi serta Prof Dr H Pang S Asngari, MEd sebagai penguji luar
komisi.
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan
Beasiswa Unggulan (BU) tahun 2012 dalam menempuh program Magister.
3. Kedua orang tua penulis, Arif Sukarmo, SPd dan Ibu Jumiati, SPd (Alm)
terima kasih atas segala kasih sayang, semangat, doa, dan nasehatnya.
4. Kepala Desa Suntenjaya (Bpk Asep), Kepala Dusun Sukaluyu (Bpk Dase),
Ketua Kelompok Ternak Mekar Saluyu (Bpk Aep Juanda) dan responden
peternak sapi perah di dua desa yang telah memberikan informasi selama
penelitian.
5. Rekan-rekan pada Program Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan
(PPN) Angkatan 2012 atas kerja sama dan diskusi-diskusi selama ini.
6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan biogas di Indonesia.

Bogor, Agustus 2014

Nurul Dwi Novikarumsari


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Biogas
Peternakan Sapi Perah
Energi
Persepsi
Difusi dan Adopsi Inovasi
METODE PENELITIAN
Rancangan dan Pendekatan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel
Jenis dan Pengumpulan Data
Uji Validitas dan Reliabilitas
Analisis Data
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografi dan Kependudukan di Dua Desa Penelitian
Perkembangan Biogas di Kecamatan Lembang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Karakteristik Rumahtangga Peternak Sapi Perah
Persepsi tentang Sifat Inovasi
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Difusi-Adopsi
Biogas
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

x
x
1

1
3
4
4
4
4
5
7
7
8
18
18
18
18
18
23
24
25
25
26
29
29
34
46
52
53
53
59
66

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Potensi produksi gas dari berbagai jenis kotoran
Nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan umur fisiologis
ternak
Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa
Populasi rumah tangga peternak sapi perah (RTPSP)
Hasil uji instrumen penelitian
Jumlah penduduk dua desa menurut mata pencaharian
Populasi ternak di Desa Suntenjaya
Populasi ternak di Desa Cibodas
Penyebaran biogas tahun 2006-2012 di Jawa Barat
Hasil pengembangan biogas di Kabupaten Bandung Barat
Distribusi sampel berdasarkan karakteristik RTPSP
Motivasi peternak dalam menerapkan biogas
Rincian tipe ukuran reaktor
Persepsi tentang sifat inovasi biogas
Sumber informasi tentang inovasi biogas
Akses sumber informasi tentang inovasi biogas
Frekuensi pertemuan peternak dengan penyuluh biogas
Difusi RTPSP penerap inovasi biogas di Desa Suntenjaya
Distribusi sebaran inovasi biogas di Desa Suntenjaya
Sebaran RTPSP penerap inovasi biogas di Desa Cibodas
Perkembangan inovasi biogas di Dua Desa Penelitian
Difusi biogas pada tiap dusun di Desa Cibodas
Distribusi kategori kecepatan
Distribusi kategori penyebaran
Hubungan variabel karakteristik RTPSP dengan tingkat difusi
inovasi biogas
Hubungan variabel persepsi tentang sifat inovasi biogas dengan
tingkat difusi inovasi biogas
Hubungan variabel perilaku komunikasi dengan tingkat difusi
inovasi biogas

5
7
9
18
22
24
26
27
28
29
30
33
33
34
39
39
40
41
42
43
43
45
45
46
46
49
50

DAFTAR GAMBAR

1
2

Alur berpikir penelitian
Kurva penerimaan inovasi biogas di Desa Suntenjaya dan Desa
Cibodas

17
44

DAFTAR LAMPIRAN

1
2

Materi penyuluhan biogas dari feces sapi perah
Dokumentasi Penelitian

59
64

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Biogas berkembang sejak tahun 1700-an. Pada tahun 1776 hingga tahun
1910 dilakukan penelitian lanjutan tentang biogas. Dari berbagai penelitian biogas
dengan menggunakan kotoran hewan, penemuan oleh Sohngen pada tahun 1910
diakui menjadi dasar penelitian biogas hingga saat ini (Abbasi et al. 2011).
Negara-negara yang memiliki populasi ternak yang tinggi, seperti Amerika
Serikat, India, Taiwan, Korea, Cina telah memanfaatkan kotoran hewan sebagai
bahan baku pembuatan bahan bakar. Di Asia Tenggara, India dan China
merupakan negara pelopor dan pengguna energi biogas. China merupakan negara
dengan program biogas terbesar di dunia. Pada akhir tahun 2005 dibangun 2 492
biogas skala menengah dan skala besar dari peternakan unggas, sedangkan 137
000 digester biogas dibangun untuk pemurnian air limbah rumah tangga.
Indonesia mulai mengadopsi teknologi pembuatan biogas pada awal tahun
1970-an. Biogas di Indonesia mulai berkembang karena adanya dukungan dana
dari Food and Agriculture Organization (FAO). Pada tahun 1981dibangun contoh
instalasi biogas di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Unit biogas yang
dibangun berupa digester fixed dome dengan kapasitas 9 m3. Pada tahun 1982
pemerintah membantu penambahan unit biogas sebanyak 20 unit dengan Program
Bantuan Presiden (BANPRES). Setelah pembangunan intalasi biogas di daerah
Pujon berhasil maka dilanjutkan pengembangan unit biogas di Kediri yang
dilakukan pada tahun 1983. Pembangunan unit biogas di Kediri mengadopsi unit
biogas yang dikembangkan di Pujon dengan program yang sama yaitu Program
BANPRES (Prihandana dan Hendroko 2008). Sekitar tahun 2000 dikembangkan
reaktor biogas skala kecil (rumah tangga) dengan konstruksi sederhana, terbuat
dari plastik siap pasang (knockdown) dan dengan harga yang relatif murah.
Teknologi biogas berkembang kembali sejak tahun 2006 ketika kenaikan harga
bahan bakar minyak. Awalnya, biogas dibangun dalam bentuk demplot oleh
pemerintah dengan reaktor berbentuk kubah terapung yang terbuat dari drum yang
disambung, kemudian sekarang reaktor biogas telah berkembang, di antaranya
terbuat beton, plastik, dan serat kaca (fiber glass) (Wahyuni 2011).
Program pengembangan teknologi biogas kepemilikan kolektif dan
dipelihara secara bersama dimulai pada tahun 2006, seperti yang dicanangkan
oleh Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan
Departemen Pertanian Republik Indonesia melalui Program Pengembangan
Biogas Ternak bersama Masyarakat (BATAMAS). Pada tahun 2008, Direktorat
Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral, Pemerintah Indonesia, meminta Kedutaan Besar Belanda untuk
mempelajari potensi biogas di Indonesia. Kedutaan kemudian menugaskan
Foundation of Netherlands Volunteers (SNV) sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat/LSM Belanda untuk melakukan studi kelayakan. Hasil penelitian
menunjukkan potensi biogas di Indonesia bisa mencapai satu juta unit dan tingkat
pengembalian keuangan menguntungkan untuk peternak. Berdasarkan hal
tersebut, LSM dari Belanda lain yaitu Hivos didukung oleh SNV sejak tahun 2009
memulai program biogas skala rumah tangga pada delapan provinsi di Indonesia,

2

yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Banten, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat (Kementrian ESDM 2014).
Penelitian mengenai pengembangan energi alternatif biogas yang dihasilkan
dari feces ternak babi dilakukan di Bogor, Jawa Barat pada tahun 1984 oleh
D.T.H Sihombing, Simamora dan Sri Wahyuni, peneliti Institut Pertanian Bogor
(Sihombing et al. 1984). Pada tahun 1997 dilakukan pula penelitian pembuatan
biogas dari feces sapi akan tetapi baru diperkenalkan kepada masyarakat pada
tahun 2002 di Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor.
Penelitian dilakukan oleh Suhut Simamora dan Sri Wahyuni, peneliti dari
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut, biogas yang
dikembangkan digunakan sebagai sumber energi untuk memasak, penerangan,
pemanas atau menggerakkan generator (listrik) (Simmamora et al. 2003).
Salah satu kabupaten di Jawa Barat yang juga mengembangkan energi
biogas yang berasal dari feces sapi perah adalah Kecamatan Lembang, Kabupaten
Bandung Barat yang merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah. Dimulai
sejak tahun 2010, biogas di Kecamatan Lembang berkembang dengan adanya
Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola Koperasi Susu Bandung Utara
(KPSBU) bekerjasama dengan Hivos dengan bantuan teknis dari SNV. Melalui
The Indonesia Domestic Biogas Programme (IDBP) maka dibentuklah BIRU
(Biogas Rumah) yang merupakan sebuah program kerjasama antara Humanistic
Institute for Development Cooperation (Hivos) dan SNV yang didanai oleh
pemerintah Kerajaan Belanda dan didukung oleh Kementrian Energi dan
Sumberdaya Mineral Indonesia. Program BIRU mengembangkan pembangunan
reaktor biogas skala rumah tangga yang menghasilkan bahan bakar dari feces sapi
perah. Inovasi biogas kemudian mulai diintroduksikan pada dua desa di
Kecamatan Lembang. Kedua desa tersebut adalah Desa Cibodas dan Desa
Suntenjaya, hingga saat ini sekitar 39.4 persen dari jumlah rumah tangga di dua
desa yang terdapat biogas telah menerapkan. Dari sejumlah peternak yang telah
menerapkan biogas tersebut, lebih lanjut diharapkan biogas dapat juga diterapkan
oleh peternak lain yang belum menerapkan.
Penyuluhan erat kaitannya dengan difusi-adopsi iovasi adalah salah satu
maksud penyuluhan menunjuk pada proses pembelajaran bagi pelaku utama serta
pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan
dirinya dalam mengakses teknologi, serta meningkatkan kesadaran dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Prakteknya, banyak tantangan yang dihadapi
masyarakat pedesaan di Kecamatan Lembang dalam upaya difusi-adopsi biogas.
Bantuan subsidi dana yang tersedia untuk pembiayaan konstruksi dan instalasi
inovasi biogas, hal ini dapat membantu untuk memfasilitasi difusi teknologi, akan
tetapi hal penting yang perlu dilihat pula adakah cara peternak ini mau
menerapkan dan menyebarkan inovasi biogas ini kepada peternak lainnya, karena
terdapat berbagai hal yang melatarbelakangi setiap tindakan yang dilakukan oleh
peternak.
Dalam penelitian Stoddard (2010), bahwa potensi difusi biogas di daerah
Lembang terjadi jika peternak didorong oleh kebutuhan akan energi alternatif

3

sebagai perbandingan dengan energi lain yang digunakan untuk memasak
(minyak tanah, Liquid Petroleum Gas/ LPG dan bahan bakar kayu). Sehubungan
dengan difusi inovasi biogas di Indonesia, khususnya di Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung Barat tersebut, maka penting dilakukan penelitian mengenai
tingkat difusi-adopsi biogas oleh rumatangga peternak sapi perah.

Masalah Penelitian
Berbagai inovasi dalam bidang pertanian semakin berkembang, hal ini
ditunjukkan dengan berbagai inovasi yang diperkenalkan kepada petani. Inovasi
dalam bidang pertanian di antaranya adalah inovasi SRI (System of Rice
Intensification), teknologi traktor tangan, pengendalian hama penyakit,
pemupukan berimbang, yang dapat dilihat secara langsung hasilnya pada saat
panen. Biogas juga merupakan inovasi dari segi pertanian dan energi terbarukan.
Berbeda dengan inovasi lain, biogas berkaitan dengan pengelolaan limbah sapi
perah, karena biogas tidak dapat memberikan hasil secara langsung dari segi
produksi seperti halnya inovasi SRI pada padi yang secara langsung dapat dilihat
dari hasil produktivitas padi yang dipanen. Hal ini menjadi khas, karena walaupun
tidak secara langsung memberikan keuntungan dari produktivitas ternak, tetapi
melalui inovasi biogas, peternak sapi perah juga memperoleh keuntungan dari
feces sapi perah yang biasanya dibuang.
Inovasi biogas di Kecamatan Lembang pada awalnya sebagai upaya
pemanfaatan feces sapi sebagai energi alternatif dan mengurangi pencemaran
lingkungan. Sehubungan dengan itu, muncul masalah yang berhubungan dengan
penerapan biogas di kalangan peternak sapi perah. Menurut teori Rogers (2003),
difusi-adopsi berhubungan dengan cepat lambatnya seorang individu mengadopsi
inovasi lebih dini dibanding anggota sistem sosial lainnya. Sebaran kategori
adopter dibagi ke dalam lima kategori innovator, pelopor (early adopter),
penganut dini (early majority), penganut akhir (late majority), dan kaum kolot
(laggard), masing-masing memiliki karakteristik dan perilaku komunikasi
tertentu. Sebelum diadopsi dan terdifusi, peternak melakukan penilaian tentang
sifat inovasi meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas, kompatibilitas, triabilitas
dan observabilitas (Rogers 2003). Mengingat kemanfaatan biogas baik bagi
pemenuhan energi rumah tangga peternak maupun untuk menjaga lingkungan,
maka diperlukan penelitian tentang difusi-adopsi biogas sebagai inovasi yang
berprospek. Sampai saat ini baru sekitar 39.4 persen rumah tangga peternak sapi
perah (RTPSP) di dua desa lokasi penelitian yang memanfaatkan biogas.
Diharapkan selanjutnya setidaknya terdapat potensi penambahan jumlah RTPSP
yang mengusahakan biogas.
Lebih lanjut kedalaman penelitian juga diukur melalui variabel-variabel
yang diidentifikasi, maka variabel-variabel apa sajakah yang berhubungan dengan
tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan Lembang?

4

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan tujuan penelitian:
1. Menganalisis persepsi peternak sapi perah tentang sifat inovasi biogas.
2. Menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat.
3. Menganalisis hubungan antara karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat
inovasi biogas, tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat
difusi-adopsi inovasi biogas.
Manfaat Penelitian
Penelitian berguna sebagai:
1. Manfaat teoritis yaitu dapat memperkaya ilmu pengetahuan tentang difusiadopsi inovasi teknologi.
2. Manfaat praktis, yaitu bahan masukan kepada pihak yang terkait yang selama
ini membantu peternak dalam pemanfaatan limbah ternak yang dapat
memberikan nilai tambah bagi peternak sapi perah dan mengurangi
pencemaran sungai oleh feces ternak sehingga kedepannya dapat menyusun
strategi penyuluhan untuk difusi inovasi teknologi yang sesuai kondisi daerah.

TINJAUAN PUSTAKA
Biogas
Menurut Haryati (2006), biogas merupakan renewable energy yang dapat
dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal
dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam. Proses pembentukan biogas melalui
pencemaan anaerobik merupakan proses bertahap, dengan empat tahap utama
yaitu hidrolisis, acidifikasi, produksi acetic acid dan produksi methan. Tahap
pertama adalah hidrolisis, pada tahap ini bahan-bahan organik seperti karbohidrat,
lipid dan protein didegradasi oleh mikroorganisme hidrolitik menjadi senyawa
terlarut seperti asam karboksilat, asam keton, asam hidroksi keton, alkohol, gula
sederhana, asam-asam amino, H2, dan CO2. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap
acidifikasi senyawa terlarut tersebut diubah menjadi asam-asam lemak rantai
pendek yang umumnya asam asetat dan asam format oleh mikroorganisme
asidogenik. Tahap produksi acetic acid dan produksi methan adalah dimana pada
tahap ini asam-asam lemak rantai pendek diubah menjadi H2, CO2, dan asetat.
Asetat akan mengalami dekarboksilasi dan reduksi CO2, kemudian bersamasama dengan H2 dan CO2 menghasilkan produk akhir, yaitu metana(CH4) dan
karbondioksida (CO2) (Wellinger et al. 2013).
Di beberapa negara, biogas membawa keuntungan untuk kesehatan, sosial,
lingkungan dan finansial. Menurut Departemen Pertanian (2009), manfaat energi
biogas adalah sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan
dipergunakan untuk memasak. Dalam skala besar, biogas dapat digunakan sebagai
pembangkit tenaga listrik, disamping itu produksi biogas juga menghasilkan sisa

5

olahan kotoran ternak yang langsung dapat digunakan sebagai pupuk organik pada
tanaman atau budidaya pertanian.
Beberapa hal yang menarik dari teknologi biogas adalah kemampuannya
untuk membentuk biogas dari limbah organik yang jumlahnya berlimpah dan
tersedia secara bebas. Biogas sebagai sumber energi alternatif memberikan
manfaat ganda bagi peternak yaitu manfaat ekonomis dan manfaat lingkungan.
Manfaat ekonomis yaitu dapat menghemat pengeluaran dengan membeli bahan
bakar untuk keperluan sehari-hari, sedangkan manfaat bagi lingkungan yatitu
dapat menjaga kelestarian lingkungan dengan penggunaan yang tepat dari limbah
ternak. Pada beberapa literatur sering menyebutkan nilai energi yang berbeda dari
komposisi bahan yang sama, hal ini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan
setempat dan karakteristik substrat yang tidak selalu sama. Potensi produksi gas
dari berbagai jenis kotoran menurut Plochl dan Heiermann (Tom Bond 2011),
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Potensi Produksi Gas dari Berbagai Jenis Kotoran
No.
Asal
Produksi
% DM
Biogas yang
Biogas yang
kotoran
kotoran per
dihasilkan (m3/kg
dihasilkan
3/
hari (kg)
DM)
(m hewan/hari)
1 Babi
2
17
3.6-4.8
1.43
2 Sapi
8
16
0.2-0.3
0.32
3 Ayam
0.08
25
0.35-0.8
0.01
4 Manusia
0.5
20
0.35-0.5
0.04
Keterangan: DM = dry material
Jika dibandingkan dengan biogas dari kotoran sapi, ayam dan manusia,
kotoran babi tiap harinya mampu menghasilkan biogas paling banyak yaitu
sebesar 1.43 m3/hewan/hari. Walaupun sapi menghasilkan 8 kg per harinya, tetapi
memiliki selisih 0.11 m3/hewan/hari lebih rendah dibandingkan biogas yang
dihasilkan babi yang menghasilkan 2 kg kotoran per harinya.
Berdasarkan penelitian Nurhasanah et al. (2006), wilayah Propinsi Jawa
Barat sangat potensial untuk pengembangan digester yang menghasilkan energi
biogas. Ada beberapa jenis digester biogas diantaranya adalah digester tipe kubah
tetap (fixed-dome), digester tipe terapung (floating drum), digester tipe PTP-ITB,
dan digester balon (Indartono 2006). Keempat jenis digester memiliki kelebihan
masing-masing, dan dari keempat jenis digester biogas yang sering digunakan
adalah tipe kubah tetap (fixed-dome) dan tipe drum terapung (floating drum)
karena perawatannya lebih mudah dan biaya konstruksi lebih murah.
Peternakan Sapi Perah
Peternakan sapi perah di Indonesia dimulai sejak abad ke-17. Sapi perah
juga didatangkan dari Australia dan Eropa dan sapi-sapi tersebut diternakkan di
daerah pegunungan karena kebutuhan susu yang semakin meningkat pada abad
ke-20. Pada tahun 1800-an mulailah peternakan sapi perah rakyat yang
memelihara sapi perah dewasa antara dua hingga tiga ekor per peternak. Peternak
umumnya para petani di daerah dataran tinggi seperti di daerah Boyolali (Jawa

6

Tengah), serta Pujon dan Nongkojajar (Jawa Timur), Pangalengan dan Lembang
(Jawa Barat) (Sudono 2002).
Hingga saat ini, perkembangan sapi perah terus meningkat. Hal ini terbukti
dengan adanya jalur-jalur produsen dan konsumen susu meliputi (1) jalur susu di
Jawa Barat yang meliputi jalur Kuningan-Cirebon dan jalur PengalenganLembang-Bandung-Cianjur-Sukabumi-Bogor-Jakarta,(2) jalur susu di Jawa Tengah meliputi jalur Boyolali-Solo-Yogyakarta dan jalur Temanggung MagelangUngaran-Semarang, dan (3) jalur susu di Jawa Timur yaitu Pasuruan (Grati)Malang-Surabaya.
Fries Holland (FH) atau Holstein merupakan jenis sapi perah yang
umumnya diternakkan di Indonesia, sapi FH memiliki berat standar betina seberat
625 kg dan jantan seberat 900kg, sapi jantan dapat mencapai berat badan lebih
dari 1 ton. Sapi Holstein ini dapat menghasilkan rata-rata susu 6000 liter per
laktasi. Pada tahun 1891-1892 sapi Holstein masuk ke Indonesia, selain betina
didatangkan juga sapi jantan Holstein ke daerah Pasuruan Jawa Timur. Pejantan
tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas sapi-sapi setempat ke arah perah
(grading up).Sejak tahun 1900 di daerah Lembang, Jawa Barat telah terdapat
peternakan sapi perah yang memelihara Holstein. Di Lembang ini kemudian
menyebar ke beberapa wilayah di daerah Jawa Barat (Makin 2011).
Jumlah sapi perah di Indonesia tahun 2012 sebanyak 597 021 ekor. Tahun
2013 terdapat sapi perah sebanyak 611 094 ekor dengan pertumbuhan 2.41%.
Jenis ternak yang diusahakan di wilayah Kabupaten Bandung Barat adalah ternak
besar dan kecil, produksi daging, susu, dan telur. Pada tahun 2009 jumlah ternak
sapi perah mencapai 29 878 ekor dengan rataan produksi susu mencapai 13.384
kg per hari. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat 2013).
Usaha ternak sapi perah di Kecamatan Lembang sebagian besar merupakan
usaha peternakan rakyat berskala kecil serta merupakan usaha yang terintegrasi
dengan usaha tani. Kepemilikan ternak yang masih rendah ini berkaitan dengan
jenis tenaga kerja yang digunakan yakni didominasi oleh penggunaan tenaga kerja
dari dalam keluarga dan skala usahaternak yang masih dalam skala kecil. Pada
usaha sapi perah, jumlah ternak yang dipelihara diukur dalam Satuan Ternak (ST).
Menurut Direktorat Jenderal Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil
Peternakan (Muatib 2008), satuan ternak memiliki arti ganda yaitu ternak itu
sendiri dan ukuran yang digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak
dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Usaha sapi potong jumlah ternak yang
pelihara diukur dalam satuan ternak (ST). Satuan Ternak (ST) adalah ukuran yang
digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak dengan jumlah makanan
ternak yang dimakan. Salmi (2008), ST memiliki arti ganda, yaitu ternak itu
sendiri atau jumlah makanan ternak yang dimakannya. ST digunakan pada
ruminansia untuk mengetahui daya tampung suatu padang rumput terhadap
jumlah ternak yang dapat dipelihara. Satu ekor sapi dewasa lebih dari 2 tahun
akan mengkonsumsi rumput/ dedaunan/ hijauan sebanyak sekitar 35 kg sehari.
Sapi muda (umur 1 hingga 2 tahun) mengkonsumsi rumput/ dedaunan/ hijauan
15-17½ kg dan seekor pedet (umur kurang dari 1 tahun) akan mengkonsumsi
rumput/ dedaunan/ hijauan 7½ - 9 kg dan disebut satu ekor sapi dewasa sama
dengan 1 Satuan Ternak (ST), satu ekor sapi muda sama dengan ½ ST dan 1 ekor
anak sapi sama dengan ¼ ST.

7

Satuan Ternak (ST) atau Animal Unit (AU) merupakan satuan untuk ternak
yang didasarkan atas konsumsi pakan. Setiap satu AU diasumsikan atas dasar
konsumsi seekor sapi perah dewasa non laktasi dengan berat 325 kg atau seekor
kuda dewasa. Secara rinci nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan
umur fisiologis ternak disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan umur fisiologis ternak
No. Jenis Ternak
ST per ekor
1 ST setara dengan
Jumlah Ternak
1.
Kuda
1.00
1
2.
Sapi
1.00
1
3.
Sapi Pejantan
1.00
1
4.
Sapi muda, umur lebih 1 tahun
0.50
2
5.
Pedhet (anak sapi)
0.25
4
6.
Anak kuda (colt)
0.50
2
7.
Babi induk/pejantan
0.40
2,5
8.
Babi seberat 90 kg
0.20
5
9.
Domba Induk/pejantan
0.14
7
10. Anak domba
0.07
14
11. Ayam (setiap 100 ekor)
1.00
100
12. Anak ayam (setiap 200 ekor)
1.00
200
Sumber: Ensminger 1989
Berdasarkan nilai konversi ST pada berbagai ternak, diketahui 1 ST sapi
setara dengan 2 ekor babi. 1 ST sapi juga setara dengan 7 ekor domba atau setara
juga dengan 100 ekor ayam. 1 ST sapi sama dengan 2 ekor sapi muda, sama
dengan 5 ekor babi muda, sama dengan 14 ekor domba muda dan juga sama
dengan 200 ekor anak ayam.
Energi
Sumberdaya energi mempunyai peran yang sangat penting bagi
pembangunan ekonomi nasional. Energi diperlukan untuk pertumbuhan kegiatan
industri, jasa, perhubungan dan rumah tangga (Widodo et al. 2005). Energi baru
dan terbarukan adalah energi yang pada umumnya sumber daya nonfosil yang
dapat diperbaharui atau yang bila dikelola dengan baik, maka sumber dayanya
tidak akan habis. Sumber energi yang termasuk dalam energi baru dan terbarukan
antara lain energi panas bumi, energi air, energi surya, energi angin, energi
biomassa/biogas, energi samudra, fuel cell (sel bahan bakar), dan energi nuklir
(Febriono dan Priyanto 2012).
Menurut Hambali et al. (2007), ada beberapa jenis energi yang bisa
dijadikan pengganti bahan bakar fosil seperti tenaga baterai (fuel cells), panas
bumi (geo-thermal), tenaga laut (ocean power), tenaga matahari (solar power),
tenaga angin (wind power), nuklir dan bioenergi, dan di antara jenis energi
alternatif tersebut, bioenergi cocok untuk mengatasi masalah energi karena
beberapa kelebihannya. Bioenergi selain bisa diperbaharui bersifat ramah
lingkungan, dapat terurai, mampu mengeliminasi efek rumak kaca dan

8

kontinyuitas bahan baku cukup terjamin. Bahan baku bioenergi dapat diperoleh
dengan cara sederhana yaitu melalui budidaya tanaman penghasil biofuel dan
memanfaatkan limbah yang ada di sekitar kehidupan manusia (Setiawan 2008).
Energi biogas adalah salah satu dari banyak macam sumber energi
terbarukan, karena energi biogas dapat diperoleh dari air buangan rumah tangga,
kotoran cair dari peternakan ayam, sapi, babi, sampah organik dari pasar, industri
makanan dan limbah buangan lainnya. Produksi biogas memungkinkan pertanian
berkelanjutan dengan sistem proses terbarukan dan ramah lingkungan. Pada
umumnya, biogas terdiri atas gas metana (CH4) sekitar 55-80%, dimana gas
metana diproduksi dari kotoran hewan yang mengandung energi 4 800-6 700
Kcal/m3, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8 900 Kcal/m3. Sistem
produksi biogas mempunyai beberapa keuntungan seperti: (a) mengurangi
pengaruh gas rumah kaca, (b) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (c)
sebagai pupuk, dan (d) produksi daya dan panas (Soehadji 1992).
Persepsi
Beragam pengertian tentang persepsi dikemukakan oleh para ahli dalam
Asngari (1984), Litterer mengungkapkan bahwa persepsi adalah “the
understanding or view people have of things in the world around them.” Menurut
Allport bahwa, “perception has something to do with awareness of content upon
the impression these object make upon our senses. It is the way things look to us,
or the way they sound, feel, taste or smell. But perception also involves, to some
degree, and understanding awareness, a meaning or a recognition of these
objects,” dan Hillgard (Narso et al. 2012), menyebutkan bahwa “perception is the
process of becoming aware of objects”. Robbins (2008), mengemukakan bahwa
individu yang melihat sebuah obyek dan berusaha untuk menginterpretasikan
obyek tersebut, interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh berbagai karakteristik
pribadi dari pembuat persepsi tersebut, seperti sikap, kepribadian, motif, minat,
pengalaman-pengalaman masa lalu dan harapan-harapan seseorang.
Beberapa variabel yang memengaruhi laju adopsi, yaitu persepsi tentang
sifat inovasi tersebut akan memengaruhi pengambilan keputusan menerapkan
inovasi. Lima karakteristik inovasi meliputi keuntungan relatif (relative
advantage), kompatibilitas (compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan
diuji cobakan (trialability), dan kemampuan diamati (observability). Keunggulan
relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik dari yang pernah
ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi ekonomi,
prestise sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan
relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.
Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan
nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi (Rogers
2003).

9

Difusi dan Adopsi Inovasi
Difusi merupakan suatu proses inovasi dikomunikasikan melalui suatu
saluran dalam jangka waktu tertentu dalam suatu sistem sosial; jadi dalam difusi
terdapat empat unsur penting yaitu inovasi, saluran komunikasi, waktu dan
anggota sistem sosial (Rogers 2003). Dalam proses difusi inovasi, waktu
merupakan elemen penting yang tidak dapat diabaikan, dimana keterlibatan waktu
dalam proses difusi inovasi dalam hal:
(1) Proses pengambilan keputusan inovasi oleh individu atau dapat disebut
tahapan adopsi yaitu sejak mulai pertama kali individu mengetahui adanya
suatu invasi sampai menolak atau mengadopsi inovasi tersebut. Jadi, adopsi
merupakan bagian dari pross difusi. dimana adopsi mengacu pada aksi
inovasi oleh individu sedangkan difusi berhubungan dengan penyebaran
inovasi dalam sebuah komunitas.
(2) Tingkat kecepatan individu dalam mengadopsi atau tingkat keinovativan
individu merupakan kecepatan penerimaan suatu inovasi baru. Adopsi
terhadap teknologi baru tidak terjadi serempak, karena seseorang bisa
menerima lebih cepat atau lebih lambat dari orang lain. Kecepatan diukur
dengan jumlah penerimaan yang pengadopsian suatu ide baru dalam suatu
priode tertentu (Leeuwis 2009).
Berdasarkan waktu dalam mengadopsi inovasi maka Rogers dan Shoemaker
(1971) membagi tingkat keinovativan individu maka sebaran kategori adopter
ke dalam lima kategori: innovator, pelopor (early adopter), penganut dini
(early majority), penganut akhir (late majority), dan kaum kolot (laggard).
Inovator sebesar 2.5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi.
Inovator ini memiliki keberanian mengambil resiko, cerdas, kemampuan
ekonomi tinggi. Early Adopter sebanyak 13.5% yang menjadi para perintis
dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang
yang dihormati, akses di dalam tinggi. Early Majority, sebanyak 34% yang
menjadi para pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal
tinggi. Late Majority sebanyak 34% yang menjadi pengikut akhir dalam
penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan
ekonomi atau tekanan sosial, terlalu hati-hati. Laggard sebanyak 16%
terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi,
wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas. Orang
terlambat adalah yang terakhir di dalam suatu sistem sosial untuk mengadopsi
suatu inovasi.
(3) Jumlah anggota sistem sosial yang mengadopsi dalam kurun waktu tertentu.
Derajat adopsi biasanya diukur dari panjangnya waktu yang diperlukan untuk
mengadopsi suatu inovasi berdasarkan jumlah anggota sistem sosial yang
mengadopsi inovasi tersebut.
Terdapat empat tipe proses pengambilan keputusan inovasi, yaitu opsional,
kolektif, otoritas, dan kontingensi; keempatnya dibedakan berdasarkan unit
pengambil keputusan dan unit adopsi dalam pengambilan keputusan inovasi
tersebut. Pada pengambilan keputusan inovasi opsional, individu merupakan unit
pengambil keputusan dan unit adopsi inovasi, sedangkan pada pengambilan
keputusan kolektif, baik unit pengambil keputusan maupun unit adopsi inovasinya
adalah kelompok atau suatu sistem sosial. Berbeda dengan tipe sebelumnya, pada

10

tipe otoritas, pengambilan keputusan inovasi dilakukan oleh seseorang yang
mempunyai posisi kekuasaan atasan (superordinat) sedangkan unit adopsinya
adalah anggota sistem sosial bawahannya (subordinat). Adapun pada tipe
kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau lebih
keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe lain
yang mendahuluinya.
Saluran komunikasi juga merupakan elemen penting, dimana saluran
komunikasi ini meliputi saluran komunikasi interpersonal dan saluran komunikasi
media massa. Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa
ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa
No
Karakteristik
Saluran
Media massa
.
Interpersonal
1. Arus komunikasi
Cenderung dua arah Cenderung searah
2. Konteks komunikasi
Tatap muka
Melalui media
3. Tingkat umpan balik
Tinggi
Rendah
4. Kemampuan mengatasi
Tinggi
Rendah
tingkat selektivitas *)
5. Kecepatan jangkauan
Relatif lambat
Relatif cepat
terhadap khalayak banyak
6. Efek yang mungkin terjadi Perubahan dan
Perubahan
pembentukan sikap
pengetahuan
Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971)
Keterangan: *) Terutama selektivitas (untuk) terdedah atau selective exposure
Media massa memiliki kecepatan jangkauan yang relatif cepat kepada
khalayak walaupun umpan baliknya rendah misalnya televisi yang memberikan
efek perubahan pengetahuan ketika khalayak menonton acara berita.
Difusi juga erat kaitannya dengan sistem sosial yang diartikan suatu
seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam upaya
mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah. Anggotaanggota sistem sosial bisa terdiri dari individu, kelompok informal, organisasi,
dan/atau subsistem-subsistem. Sistem sosial memiliki seperangkat batasan di
dalam mana inovasi menyebar oleh karena itu perlu pemahaman mengenai
struktur sosial dalam sistem yang mempengaruhi pola-pola difusi inovasi.
Struktur sosial mempengaruhi difusi inovasi melalui beberapa cara, di
antaranya peranan tokoh pemuka pendapat dan agen perubahan. Pemimpin opini
(opinion leader) adalah seseorang yang melalui pendapatnya dapat memengaruhi
orang lain untuk melakukan tindakan tertentu. Ciri-ciri pemimpin opini adalah (1)
pemimpin opini yang terlibat dalam komunikasi eksternal melalui media massa,
frekuensi keluar yang tinggi, (2) memiliki jaringan interpersonal yang lebih luas
dalam menyabarkan pesan inovasi, (3) memiliki status ekonomi yang lebih tinggi,
dan (4) inovatif, diakui sebagai seorang ahli yang kompeten dan terpercaya.
Dalam konteks peranan opinion leader dimungkinkan adanya individu yang
mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili. Homofili adalah
derajat dimana dua orang atau lebih individu yang berinteraksi memiliki
kesamaan atribut atau karakteristik tertentu, seperti kepercayaan, pendidikan,

11

status sosial, dan lainnya. Adapun heterofili adalah derajat dimana pasangan
individu-individu yang berinteraksi memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut
Rogers dan Shoemaker (1971), komunikasi interpersonal yang homofili dapat
menghambat proses difusi, karena memungkinkan penyebaran inovasi hanya
secara horizontal, baik hanya di kalangan lapisan atas atau hanya di kalangan
lapisan bawah. Para pemimpin opini dalam proses difusi adopsi inovasi
memegang peranan penting baik dalam mempercepat proses difusi adopsi,
maupun dalam proses menghambatnya. Oleh sebab itu, keberadaan para
pemimpin opini memegang peranan peting dalam kegiatan penyuluhan
(Hanan 2005).
Adopsi adalah proses sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru
sampai orang tersebut menolak atau menerima hal baru tersebut. Elemen yang
penting yang perlu diperhatikan dalam proses adopsi inovasi (a) adanya sikap
mental untuk melakukan adopsi inovasi, dan (b) adanya konfirmasi dari keputusan
yang telah diambil, menurut Rogers (2003) adopsi meliputi:
(1) Tahap pengetahuan: dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi
mengenai inovasi baru. Informasi mengenai inovasi tersebut harus
disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui
media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal di antara
masyarakat
(2) Tahap persuasi: tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran
calon adopter. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan diperoleh
jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan
diskusi dengan orang lain, ada kecenderungan untuk mengadopsi atau
menolak inovasi tersebut.
(3) Tahap pengambilan keputusan: dalam tahap ini, seseorang membuat
keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah
inovasi. Setelah melakukan pengambilan keputusan, tidak menutup
kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.
(4) Tahap implementasi: seseorang mulai menggunakan inovasi sambil
mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut.
(5) Tahap konfirmasi: setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan
mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut
diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan
yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian
mengubah keputusan yang tadinya menolak menjadi menerima inovasi
setelah melakukan evaluasi.
Menurut Hasanuddin (2005) bahwa adopsi inovasi merupakan kemampuan
petani dalam menggunakan suatu teknologi untuk kegiatan usaha taninya.
Menurut Subagyo et al. (2005) proses adopsi merupakan proses pelaksanaan suatu
teknologi yang dapat berjalan secara sistematis sehingga memberikan keuntungan
secara ekonomis dan memberikan dorongan untuk msyarakat setempat.
Inovasi memiliki tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau
praktek, dan produk (barang dan jasa) dan ntuk dapat disebut inovasi maka ketiga
komponen tersebut harus mempunyai sifat baru. Sifat tersebut tidak selalu berasal
dari penelitian yang mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu juga dapat disebut
inovasi, apabila diintroduksikan kepada seseorang atau unit masyarakat yang
belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi sifat baru pada suatu inovasi dilihat dari

12

sudut pandang calon pengadopsi atau pengetrap, bukan kapan inovasi tersebut
dihasilkan. Kebaruan dari suatu inovasi tidak didasarkan pada kurun waktu
ditemukannya inovasi, akan tetapi bahwa adanya anggapan sebagai sesatu yang
baru dalam diri adopter (Nasution 1995). Inovasi juga dapat berupa sesuatu yang
benar-benar baru atau sudah lama tetapi masih dianggap baru oleh peternak.
Keputusan menerima inovasi ini merupakan proses mental, yang terjadi sejak
peternak sasaran tersebut mengetahui suatu inovasi sampai menerima atau
menolaknya dan kemudian mengukuhkannya (Ibrahim et al. 2003).
Mengadopsi biogas berlangsung mulai dari peternak tahu adanya teknologi
biogas sampai peternak mau mencoba serta menggunakan teknologi ini terusmenerus. Adopsi inovasi biogas dapat dilihat dari keinginan peternak
menggunakan biogas dalam kegiatan rumah tangganya, seperti memasak.
Penerapan meliputi kegiatan pemakaian dan pemeliharaan. Cara-cara pemakaian
meliputi: pengisian reaktor, mencuci saluan masuk, penggunaan katup,
pemeriksaan kebocoran gas, menguras air, membersihkan overflow, menggunakan
keran gas, membuat kompos, menggunakan alat pengukur tekanan, menggunakan
kompor (Pedoman Pengguna BIRU 2010).
Beberapa penelitian mengenai difusi-adopsi inovasi di bidang pertanian
yang telah dilakukan, di antaranya:
(a) Humaedah (2007), bahwa kontaktani berperan sebagai pengambil keputusan,
sebagai pemimpin, sebagai agen perubahan dan sebagai dinamisator kelas
belajar.
(b) Roswida (2003) meneliti mengenai tahapan proses keputusan adopsi inovasi
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, karakteristik
internal meliputi tingkat pendidikan formal, pengalaman usahatani, luas lahan
usahatani, kekosmopolitan, keinovativan usahatani, sikap kepemimpinan,
sikap kewirausahaan, keanggotaan dalam kelompoktani, sedangkan
karakteristik eksternal meliputi ketersediaan sumber informasi, intensitas
penyuluhan, ketersediaan sarana, peluang pasar dan intensitas promosi
pestisida.
(c) Menurut Purnaningsih (2006), faktor yang mampu menjelaskan keputusan
petani dalam mengadopsi pola kemitraan agribisnis di empat kabupaten di
Jawa Barat adalah karakteristik individu, kondisi sosial dan fisik,
pengetahuan petani tentang pola kemitraan, persepsi petani tentang ciri
inovasi pola kemitraan dan kinerja petani dalam mengelola usahataninya.
(d) Syafril (2002) dari hasil studinya menemukan bahwa adopsi inovasi
Teknologi Sistem Usaha Pertanian (SUP) Jagung bekorelasi nyata dengan:
(a) karakteristik pribadi, khususnya kekosmopolitan, (b) karakteristik rumah
tangga, khususnya ketersediaan modal, dan (c) kesesuaian stimulan dan
frekuensi pembinaan teknologi SUP jagung, serta (d) jaringan komunikasi.
Selanjutnya bahwa derajat integrasi individu, keterbukaan klik dan
keterbukaan sistem dalam jaringan komunikasi sangat mempengaruhi
penerimaan dan pertukaran informasi di dalam jaringan komunikasi yang
pada akhirnya mempengaruhi tingkat adopsi. Selain itu, opinion leader dalam
sistem sosial juga cukup efektif dalam memengaruhi adopsi inovasi teknologi
sistem usaha pertanian jagung.

13

(e) Mulyadi et al. (2007), bahwa dalam saluran komunikasi berhubungan nyata
dengan keputusan mengadopsi inovasi, saluran komunikasi ini menggunakan
saluran komunikasi vertikal (top-down) dari pemerintah, kepala suku, pendeta
serta menggunakan media massa. Emmann (2013), faktor yang
mempengaruhi penerimaan inovasi biogas antara petani adalah
keinovativan/karakteristik dari petani itu sendiri. Faktor-faktor internal yang
mempengaruhi cepat lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, luas
lahan, tingkat pendapatan, partisipasi dalam kelompok, aktivitas mencari
informasi, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap perubahan, motivasi
berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan dogmatisme (sistem kepercayaan yang
tertutup).
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Difusi-Adopsi
Inovasi Biogas
Penelitian tentang difusi-adopsi di bidang pertanian khususnya tentang
biogas masih terbatas, penelitian tentang biogas di luar negeri seperti penelitian
oleh Sanders (2010) tentang identifikasi dukungan digester dalam bidang
peternakan yang memasukkan variabel keingina