Etnobotani Dayak Iban-Désa Di Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat: Keanekaragaman Jenis Dan Anatomi Serat Tumbuhan Anyaman

ETNOBOTANI DAYAK IBAN-DÉSA DI KABUPATEN SINTANG
PROVINSI KALIMANTAN BARAT: KEANEKARAGAMAN
JENIS DAN ANATOMI SERAT TUMBUHAN ANYAMAN

ASIH PERWITA DEWI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Etnobotani Dayak IbanDésa di Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat: Keanekaragaman Jenis
dan Anatomi Serat Tumbuhan Anyaman adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016
Asih Perwita Dewi
NIM G353120191

RINGKASAN
ASIH PERWITA DEWI. Etnobotani Dayak Iban-Désa di Kabupaten Sintang
Provinsi Kalimantan Barat: Keanekaragaman Jenis dan Anatomi Serat Tumbuhan
Anyaman. Dibimbing oleh NUNIK SRI ARIYANTI dan EKO BAROTO
WALUJO.
Tumbuhan anyaman adalah tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku
kerajinan anyaman seperti keranjang, tikar, topi, dan peralatan rumah tangga
lainnya. Salah satu kelompok etnis di Indonesia yang hingga kini masih
memanfaatkan tumbuhan anyaman adalah Dayak Iban-Désa di Kalimantan Barat.
Seiring dengan lajunya arus modernisasi, pemanfaatan tumbuhan anyaman dan
produksi anyaman dikalangan masyarakat Dayak Iban-Désa semakin berkurang.
Pengetahuan menganyam semakin menurun dari generasi ke generasi karena
berkurangnya minat generasi muda dalam mempelajari anyaman. Kerusakan
hutan dan penebangan liar juga mengancam keberadaan hutan sebagai habitat
tumbuhan anyaman. Oleh karena itu, dokumentasi pengetahuan menganyam
masyarakat Dayak Iban-Désa penting untuk segera dilakukan. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan yang digunakan
dalam produksi anyaman oleh masyarakat Dayak Iban-Désa, mengetahui nilai
kepentingan budaya tumbuhan anyaman melalui nilai Index Cultural Significance
(ICS), mengetahui ketersediaan bahan baku tumbuhan anyaman di habitat melalui
Indeks Nilai Penting (INP), menentukan strategi konservasi berdasarkan nilai ICS
dan INP, dan mengobservasi anatomi dimensi serat untuk mengetahui kualitas
serat masing-masing jenis tumbuhan anyaman.
Penelitian dilakukan di Desa Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai,
Kabupaten Sintang yang merupakan salah satu perkampungan Dayak Iban-Désa.
Koleksi data keanekaragaman jenis dan produk anyaman dilakukan dengan
komunikasi pribadi kepada informan dan responden, pengamatan langsung kepada
pengrajin anyaman, dan focus group discussion (FGD). Jumlah responden terpilih
adalah 16 orang pengrajin anyaman, terdiri atas sembilan perempuan dan tujuh
laki-laki. Koleksi data ekologi dilakukan dengan observasi habitat tumbuhan
anyaman melalui metode purposive sampling. Pengamatan anatomi dimensi serat
(panjang sel, ketebalan dinding sel, persentase jaringan serat dalam berkas
pembuluh) dilakukan melalui pembuatan preparat anatomi dengan metode
maserasi, metode parafin dan metode sayatan dengan mikrotom beku.
Masyarakat Dayak Iban-Désa memanfaatkan rotan, bambu, pandan, palem,
dan jahe liar sebagai bahan baku kerajinan anyaman. Tumbuhan tersebut

tergolong dalam empat famili (Arecaceae, Poaceae, Pandanaceae, dan
Zingiberaceae) dan terdiri dari 19 jenis. Rotan (Arecaceae) merupakan kelompok
tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku anyaman, yaitu
sejumlah 11 jenis, satu varietas dan satu subvarietas. Bagian tumbuhan yang
dimanfaatkan adalah batang (khusus rotan dan bambu), helaian daun (khusus
pandan dan palem), dan pelepah daun (khusus senggang).
Masyarakat Dayak Iban-Désa membuat 26 macam produk yang digunakan
sebagai peralatan berladang, perabot rumah tangga, peralatan beternak, perangkap
ikan, peralatan ritual adat dan mainan anak. Beragam peralatan berladang

merupakan produk yang paling banyak diproduksi, hal ini terkait dengan aktivitas
utama masyarakat Dayak Iban-Désa adalah berladang.
Penamaan lokal tumbuhan anyaman dalam bahasa Dayak Iban-Désa
menunjukkan bahwa rotan dan bambu memiliki sistem penamaan menyerupai
penamaan binomial dalam tata nama botani. Kata pertama menunjukkan nama
kelompok, sedangkan kata kedua menunjukkan karakter spesifik tumbuhan. Akan
tetapi sistem penamaan masyarakat Dayak Iban-Désa tidak sesuai dengan
penamaan botani, mereka menggunakan nama “wi” untuk semua jenis rotan dan
“buluh” untuk semua jenis bambu walaupun kedua kelompok tumbuhan masingmasing terdiri atas banyak genus.
Hampir seluruh jenis rotan memiliki nilai ICS tinggi dibandingkan jenis

tumbuhan lainnya. Tumbuhan yang memiliki nilai ICS tinggi memiliki kategori
dimanfaatkan sebagai bahan anyaman utama tak tergantikan atau memiliki fungsi
ganda sebagai bahan anyaman utama maupun pengganti, dipanen sepanjang
tahun, dinilai memiliki serat yang kuat oleh masyarakat. Tumbuhan dengan nilai
ICS rendah secara umum memiliki kategori fungsi ganda sebagai tumbuhan
anyaman utama dan pengganti atau hanya sebagai tumbuhan anyaman pengganti
saja, dipanen sekali dalam satu tahun atau lebih, dan dinilai masyarakat memiliki
serat yang kurang kuat.
Pemanenan tumbuhan anyaman dilakukan di tiga lokasi yaitu di hutan
sekunder Tawang Mersibung dan Bukit Rentap, dan vegetasi terbuka di bekas
ladang dekat rumah adat betang panjang. Rotan, palem, dan Pandanus sp. 1
dipanen di hutan adat Tawang Mersibung; rotan P. wrayi memiliki nilai INP
tertinggi. Bambu dipanen di kaki Bukit Rentap; G. hasskarliana memiliki nilai
INP tertinggi. Pandanus sp. 2, Pandanus sp. 3, dan jahe liar dipanen di bekas
ladang; Pandanus sp. 2 memiliki nilai INP terendah di lokasi tersebut.
Berdasarkan informasi nilai ICS dan INP, ditentukan empat tipe strategi
konservasi untuk diterapkan pada setiap jenis tumbuhan anyaman, yaitu: (1)
mempertahankan habitat jenis tumbuhan jika memiliki nilai ICS dan INP tinggi,
diterapkan pada jenis P. wrayi, Pandanus sp. 1, Calamus blumei, C. javensis, C.
speciosissimus, Ceratolobus concolor, dan H. reticulata; (2) membudidayakan

jenis jika nilai ICS rendah tetapi nilai INP tinggi, diterapkan pada jenis K.
echinometra, K. flagellaris, Calamus sp., Dendrocalamus asper, dan S.
brachycladum buluh hijau; (3) mengkaji dan mengembangkan potensi tumbuhan
jika memiliki nilai ICS yang rendah tetapi nilai INP tinggi, diterapkan pada jenis
Calamus rugosus, C. zonatus, G. hasskarliana, Daemonorops oligophylla, dan
Pandanus sp. 3; (4) membudidayakan dan mengkaji serta mengembangkan
potensi tumbuhan jika nilai INP dan ICS rendah, diterapkan pada jenis Calamus
axillaris, Licuala sp., Pandanus sp. 2, S. lima, S. brachycladum buluh kuning.
Berdasarkan kajian anatomi dimensi serat, beberapa jenis tumbuhan
anyaman yang jarang digunakan ternyata berpotensi memiliki kualitas serat yang
baik, yaitu rotan Calamus rugosus, C. axillaris, bambu S. brachycladum buluh
kuning dan S. lima, pandan Pandanus sp. 2 dan Pandanus sp. 3, dan palem
Licuala sp. Oleh karena itu penggunaan jenis-jenis tumbuhan tersebut dapat
ditingkatkan untuk menghasilkan anyaman yang berkualitas baik.
Kata kunci: Dayak Iban-Désa, dimensi serat, keanekaragaman tumbuhan
anyaman, produk anyaman, status ekologi

SUMMARY
ASIH PERWITA DEWI. Ethnobotany of Dayak Iban-Désa in Sintang District
West Kalimantan Province: Species Diversity and Fiber Anatomy of Plaited

Plants. Supervised by NUNIK SRI ARIYANTI and EKO BAROTO WALUJO.
Plaited plant is a plant used as raw material for plaited crafts such as
baskets, mats, hats, and other household furnishings. The Dayak Iban-Désa Subtribe in West Kalimantan is among the indigenous people who has culture of
plaiting the crafts. However, the activities of plaiting crafts by the Dayak IbanDésa has been declining over the gradual change of their lifestyle to modern ways.
Transfer of knowledge and culture of weaving crafts to the younger generation is
feared to decline due to the younger generation is less interested in learning
weaving. In addition, the availability of raw material of the crafts are being
threatened due to high rate of deforestation. Therefore, documenting the
knowledge of weaving of the Dayak Iban-Désa are urgently necessary. The
objectives of this study were conducted to determine the diversity of plaited plants
used to make plaited crafts by the Dayak Iban-Désa, to estimate the index cultural
significance (ICS) of those plants assessed by the Dayak Iban-Désa, to observe the
availability of the plaited plants in their habitat, to determine the appropriate
conservation strategies of the plants based on their ICS and availability, and to
observe the anatomical dimension of fibers in order to describe the quality of
plaited plants.
This study was conducted in the community of Dayak Iban-Désa at Ensaid
Panjang Village, Sintang District, West Borneo Province. The data of diversity of
plaited plants and crafts were collected from an interview with the informants and
respondents, direct observation in the activities of craftsman, and focus group

discussion (FGD). The respondents are sixteen of expert craftsmen consist of nine
female and seven male. Purposive sampling method was conducted by the
establishing 10x10 m of plot in the harvesting location of the plaited plants. The
important value index (IVI) is calculated to describe the availability of plaited
plants based on the total of individu in the plots and the number of plots in which
species are found. The fiber dimensions (the length of cell, the thickness of cell
wall, and the percentage of fiber cell area in the vascular bundle) of the plaited
plants were observed by preparing anatomical slides used maceration method,
paraffin method and freeze section technique.
The Dayak Iban-Désa uses rattans, bamboos, pandans, palms, wild ginger
for the raw material of their plaited crafts. Those planst are classified into four
families (Arecaceae, Poaceae, Pandanaceae, and Zingiberaceae) and consist of
19 species. The group of rattans (Arecaceae) has the most diverse taxa, consist of
11 species, one variety and one subvariety. The raw materials of plaited crafts
were obtained from the stem (the rattans and bamboos), the leaf blade (the
pandans and palm), and the leaf sheath (the wild gingger).
The Dayak Iban-Désa produces 26 kinds of plaited crafts for farming tools,
household furnishings, animal husbandries, fish traps, ceremonial equipments and
children's toys. The farming tools are the most various tools made by this tribes
since farming is the main activity of them.


The Dayak Iban-Désa use vernacular name for rattans and bamboos
somewhat similar to the system of botanical nomenclature (binomial names). The
first word indicates the name of the group, while the second word indicates the
specific character of the plants. However the system of the Dayak Iban-Désa’s
vernacular name did not inline with the botanical nomenclature since they call
“wi” for all the rattans and “buluh” for all the bamboos although both rattans and
bamboos consist of different genera.
Most of the high ICS valued plants by the Dayak Iban-Désa is the species of
rattans. The plaited plants have high ICS value are used for main material, or both
main and substitute material, harvested through the year, and have strong fiber.
On the other hand, the plants have low ICS value are used as the substitute
material or both main and substitutes materials, but they are harvested in one or
two years, and have less strong fibers.
The plaited plants of Dayak Iban-Désa are harvested from the secondary
forest in Tawang Mersibung and Rentap Hills, and the opened vegetation of
abandoned land near the betang panjang house. The rattans, palms, and Pandanus
sp. 1 are harvested from the Tawang Mersibung; the rattan P. wrayi has the
highest IVI value among the other plaited plants harvested from the forest. The
bamboos are harvested from the Rentap Hills; G. hasskarliana has the highest IVI

value than the other plaited plants harvested from the hills. The pandans
(Pandanus sp. 2 and Pandanus sp. 3) and wild gingger are harvested from the
abandoned land near the betang pajang house. Pandanus sp. 2 has the lowest IVI
value.
Four conservation strategies are suggested based on the ICS and IVI values:
(1) maintaining the habitat for P. wrayi, Calamus blumei, C. javensis, C.
speciosissimus, Ceratolobus concolor, Pandanus sp. 1, and Hornstedtia reticulata
since they have high value of both ICS and IVI; (2) searching and developing
others potential of the plants for Calamus rugosus, C. zonatus, Daemonorops
oligophylla, Gigantochloa hasskarliana, and Pandanus sp. 3 since they have low
value of ICS but high value of IVI; (3) cultivating the plants species of Korthalsia
echinometra, K. flagellaris, Calamus sp., Dendrocalamus asper and
Schizostachyum brachycladum with green culms since they have high value of
ICS but low value of IVI; (4) and cultivating and developing others potential of
the plants for Calamus axillaris, Licuala sp., Pandanus sp. 2, Schizostachyum
lima, S. brachycladum with yellow culms since they have low value of both ICS
and IVI.
The rattan Calamus rugosus and C. axillaris; the bamboo S. brachycladum
with yellow culms and S. lima, the pandan Pandanus sp. 2 and Pandanus sp. 3,
and the palm Licuala sp. have good quality of fibers based on the anatomical

observation. Therefore those plants are recomended to be used more frequently to
produce a good quality of plaited crafts.
Keywords: Dayak Iban-Désa, fiber dimension, diversity of plaited plants, the
plaited crafts, ecological status

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ETNOBOTANI DAYAK IBAN-DÉSA DI KABUPATEN SINTANG
PROVINSI KALIMANTAN BARAT: KEANEKARAGAMAN
JENIS DAN ANATOMI SERAT TUMBUHAN ANYAMAN

ASIH PERWITA DEWI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Herwasono Soedjito, MSc APU
Divisi Botani
Pusat Penelitian Biologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Cibinong Science Center, Cibinong

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April hingga Mei 2014 ini
ialah etnobotani, dengan judul Etnobotani Dayak Iban-Désa di Kabupaten Sintang
Provinsi Kalimantan Barat: Keanekaragaman Jenis dan Anatomi Serat Tumbuhan
Anyaman.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Nunik Sri Ariyanti MSi dan Prof
(Ris) Dr Eko Baroto Walujo, MSc selaku pembimbing, serta Dr Herwasono
Soedjito, MSc APU, yang telah banyak memberi saran. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada para pengajar di Program Studi Biologi Tumbuhan atas ilmu,
pengalaman, bimbingan dan nasihat.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Mahmud, Bapak Sembai,
Bapak Hermanus Bintang, Bapak Cepi, Bapak Manja, Bapak Isak dan seluruh
warga desa Desa Ensaid Panjang Kabupaten Sintang Kalimantan Barat; Bapak
Sunaryo, Bapak Ujang Hafid, Ibu Widoyanti dari Laboratorium Morfologi,
Anatomi dan Sitologi LIPI Cibinong; Ibu Ruqiah Ganda Putri Panjaitan dan Ibu
Nurlaili dari Laboratorium Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Tanjungpura Pontianak; Bapak Rodias Darwis dan Bapak
Rijaludin dari Program Studi Pendidikan Biologi yang telah memberikan izin
dalam pelaksanaan penelitian dan membantu selama pengumpulan data. Ucapan
terima kasih saya sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(DIKTI) yang telah mendanai penelitian ini melalui program Beasiswa Unggulan
2012. Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada (alm)
Bapak, Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya, serta
kepada seluruh rekan-rekan Biologi Tumbuhan 2012, rekan-rekan minor
Taksonomi Tumbuhan, seluruh rekan dari Departemen Biologi, rekan Pinaceae
Family dan Pondok Malea Atas, atas kebersamaan dan bantuannya selama penulis
menyelesaikan studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2016
Asih Perwita Dewi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN

1

2 TINJAUAN PUSTAKA
Etnobotani dan Keanekaragaman Hayati Indonesia
Asal Usul Masyarakat Dayak di Kalimantan
Anyaman dalam Budaya Masyarakat Dayak
Masyarakat Dayak Iban-Désa
Pengumpulan Data dalam Penelitian Etnobotani

3
3
4
5
6
9

3 METODE
12
Waktu dan Lokasi Penelitian
12
Pengumpulan dan Analisis Data
13
Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Desa Ensaid
Panjang
13
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan, Produk Anyaman, dan Kepentingan
Budaya Tumbuhan Anyaman
13
Ketersediaan Tumbuhan Anyaman di Habitat
14
Dimensi Sel Serat Tumbuhan Anyaman
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Desa Ensaid Panjang 18
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Produk Anyaman
21
Index Cultural Significance (ICS) Tumbuhan Anyaman Masyarakat Dayak
Iban-Désa
34
Status Ekologi dan Aspek Konservasi Tumbuhan Anyaman
37
Anatomi Serat Tumbuhan Anyaman
45
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

56
56
57

DAFTAR PUSTAKA

58

LAMPIRAN

65

RIWAYAT HIDUP

87

DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi strategi konservasi berdasarkan tinjauan nilai INP dan ICS
2 Kategori kelas serat menurut panjang serat berdasarkan klasifikasi
IAWA
3 Kategori kelas serat menurut diameter lumen dan tebal dinding sel
berdasarkan klasifikasi IAWA
4 Nama suku/ilmiah, nama lokal, dan bagian tumbuhan yang
dimanfaatkan dalam produk anyaman di masyarakat Dayak Iban-Désa
5 Keanekaragaman jenis-jenis rotan yang digunakan pada beberapa
kelompok masyarakat
6 Nilai kepentingan budaya (ICS) tumbuhan bahan anyaman berdasarkan
nilai kualitas (q), intensitas (i) dan eksklusivitas (e)
7 Jumlah individu/rumpun dan penyebaran jenis di dalam plot pada lokasi
sampling hutan adat Tawang Mersibung
8 Jumlah individu/rumpun dan penyebaran jenis di dalam plot pada lokasi
sampling bekas ladang dekat rumah adat betang panjang
9 Jumlah individu/rumpun dan penyebaran jenis di dalam plot pada lokasi
sampling kaki Bukit Rentap
10 Perbandingan nilai INP dan ICS untuk menetapkan strategi konservasi
tumbuhan anyaman
11 Ketebalan dinding sel serat pada setiap jenis tumbuhan anyaman
12 Panjang sel serat pada setiap jenis tumbuhan anyaman

15
16
16
22
25
35
40
40
40
43
51
52

DAFTAR GAMBAR
1 Rumah betang yang ditempati masyarakat Dayak Iban-Désa di Desa
Ensaid Panjang
2 Peta lokasi hutan adat di Desa Ensaid Panjang
3 Lokasi penelitian di desa Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai,
Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat
4 Komponen dimensi sel serat yang diamati melalui preparat maserasi
5 Kegiatan harian masyarakat Dayak Iban-Désa
6 Lima marga rotan yang dimanfaatkan masyarakat Dayak Iban-Désa
7 Jenis-jenis bambu yang digunakan oleh masyarakat Dayak Iban-Désa
8 Jenis-jenis pandan yang dimanfaatkan masyarakat Dayak Iban-Désa
9 Jenis palem Licuala sp. yang digunakan masyarakat Dayak Iban-Désa
sebagai bahan anyaman (A); Daun Licuala sp yang dipanen sebagai
bahan untuk membuat anyaman tudung atau topi untuk berladang (B);
Topi tudung yang dibuat dari daun Licuala sp. (C)

7
9
12
16
19
21
27
28

29

10 Tumbuhan senggang (Hornstedtia reticulata) (A); Tangkai daun
senggang dibersihkan dari helaian daun (B); Pemisahan helaian
pelepah daun senggang (C); Penjemuran pelepah daun senggang (D);
Pembuatan kelayak (tikar untuk menjemur padi) dari senggang (E);
Ketapu laung atau topi untuk upacara adat, salah satu contoh produk
anyaman bermotif yang menggunakan lapisan dalam dari pelepah
senggang (F)
11 Komponen anyaman pada kemansai
12 Lokasi pemanenan tumbuhan anyaman di hutan adat Tawang
Mersibung, bekas ladang di dekat rumah adat betang panjang, dan di
kaki bukit Rentap
13 Hutan adat Tawang Mersibung dengan kanopi renggang (kiri) dan
terbuka (kanan)
14 Bekas ladang di dekat rumah adat betang panjang sebagai lokasi panen
pandan dan senggang
15 Hutan di kaki Bukit Rentap sebagai lokasi pemanenan bambu
16 Variasi sel epidermis pada lima marga rotan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat Dayak Iban-Désa
17 Struktur “yellow cap”: Korthalsia echinometra (kiri), Korthalsia
flagellaris (tengah), dan Plectocomiopsis wrayi (kanan)
18 Jumlah untaian floem pada berkas pengangkut rotan: dua untaian floem
(A); satu untaian floem (B)
19 Persentase jaringan serat dalam berkas pembuluh pada masing-masing
kelompok tumbuhan anyaman

30
31

38
38
39
39
46
47
47
49

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta persebaran subsuku Dayak di Kalimantan Barat
2 Pemanfaatan tumbuhan anyaman berdasarkan komponen anyaman bila’,
lalin, dan bengkung
3 Ragam produk anyaman masyarakat Dayak Iban-Désa
4 Pemanfaatan tumbuhan anyaman sebagai bahan anyaman utama atau
bahan anyaman pengganti
5 Koordinat titik pengambilan sampel tumbuhan
6 Tumbuhan asosiasi yang terdapat di sekitar lokasi sampling hutan adat
Tawang Mersibung
7 Tumbuhan asosiasi yang terdapat di sekitar lokasi sampling bekas
ladang dekat rumah adat betang panjang
8 Tumbuhan asosiasi yang terdapat di sekitar lokasi sampling kaki bukit
Rentap

67
69
70
78
79
80
84
85

PENDAHULUAN
Tidak kurang dari 38.000 spesies tumbuhan tercatat di Indonesia, namun
baru 10% diantaranya yang dikenali kemanfaatannya oleh masyarakat, antara lain
sebagai bahan pangan, obat-obatan, bahan bangunan, tanaman hias, bahan industri
dan lainnya (Walujo 2009). Oleh karena itu, kajian mengenai pemanfaatan
tumbuhan oleh kelompok masyarakat masih perlu dilakukan untuk mengungkap
potensi pemanfaatannya. Bidang ilmu etnobiologi yang mencakup didalamnya
subbidang etnobotani, etnomedisin, dan etnoekologi adalah cabang ilmu yang
mendalami hubungan budaya manusia dengan lingkungan disekitarnya dengan
mengutamakan pada persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat dalam
mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam
lingkungan hidupnya (Walujo 2004). Salah satu potensi tumbuhan yang masih
belum banyak dikaji pemanfaatannya adalah tumbuhan anyaman.
Tumbuhan anyaman adalah tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kerajinan anyaman seperti keranjang, tikar, topi, dan peralatan rumah
tangga lainnya. Praktik pembuatan anyaman telah dimulai sejak ribuan tahun yang
lalu. Salah satu bukti tertua artifak anyaman ditemukan di New Mexico dan
Arizona dengan perkiraan artifak berasal dari 5000 tahun SM (Das et al. 2001).
Kelompok etnis di Indonesia yang hingga kini masih memanfaatkan tumbuhan
anyaman dan memproduksi anyaman adalah suku Dayak di Kalimantan.
Masyarakat suku Dayak dikenal memiliki seni anyaman yang terkaya dan terindah
di dunia (Sellato 2013). Penelitian ini mengaji ragam tumbuhan anyaman pada
kelompok Dayak Iban-Désa di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Dayak
Iban-Désa adalah anak suku dari suku Dayak Iban, yang merupakan rumpun suku
Dayak terbesar di Borneo (Mackinnon et al. 2000; Alloy et al. 2008).
Pengetahuan masyarakat Dayak Iban-Désa dalam pemanfaatan tumbuhan
selama ini hanya terbatas dari pengetahuan turun-temurun dan pengalaman pribadi
dalam membuat produk anyaman. Pengetahuan pemanfaatan tumbuhan dapat
memberikan dampak positif maupun negative bagi kelestarian tumbuhan tersebut.
Intensitas penggunaan tinggi dapat memberi peluang bagi tumbuhan untuk
dibudidayakan sehingga ketersediaanya berkelanjutan. Namun, tumbuhan yang
intensitas penggunaannya jarang cenderung untuk terlupakan dan terabaikan
keberadaannya.
Keanekaragaman tumbuhan anyaman yang digunakan oleh masyarakat
Dayak Iban-Désa belum pernah didokumentasikan. Oleh karena itu, penelitian ini
dengan judul “Etnobotani Dayak Iban-Désa di Kabupaten Sintang Provinsi
Kalimantan Barat: Keanekaragaman Jenis dan Anatomi Serat Tumbuhan
Anyaman” dilakukan untuk meninjau aspek budaya, botani, ekologi dan anatomi
terkait pemanfaatan tumbuhan anyaman oleh masyarakat Dayak Iban-Désa.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
 Mengungkap keanekaragaman jenis tumbuhan bahan baku anyaman dan
penggunaannya dalam produk anyaman masyarakat subsuku Dayak Iban-Désa
 Mengetahui nilai kepentingan jenis-jenis tumbuhan anyaman dari segi
keutamaan sebagai tumbuhan bahan baku anyaman utama atau pengganti,
intensitas pemanenan, dan kekuatan seratnya menurut penilaian masyarakat

2
 Mengetahui ketersediaan individu/rumpun dan persebaran tumbuhan bahan
baku anyaman di habitat tempat bahan anyaman dipanen
 Mengetahui kualitas bahan anyaman berdasarkan dimensi serat melalui
pengamatan anatomi serat.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Etnobotani dan Keanekaragaman Hayati Indonesia
Indonesia dikenal sebagai rumah harta karun keanekaragaman hayati dunia
(Mackinnon dan Suwelo 1982) karena memiliki beragam ekosistem, jenis dalam
ekosistem, dan plasma nutfah (genetik) yang sangat tinggi. Kendati demikian,
Indonesia masih menghadapi banyak masalah dalam upaya pelestarian
keanekaragaman hayati, diantaranya yaitu ancaman kerusakan habitat.
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang sangat pesat mengakibatkan
pembukaan lahan-lahan baru untuk dijadikan daerah perumahan. Pembukaan
lapangan pekerjaan baru seperti perkebunan dan pabrik untuk memenuhi
kebutuhan kerja masyarakat juga makin meningkat. Pada kenyataannya, masih
banyak keanekaragaman hayati di Indonesia yang belum dikenal karena
keberadaannya juga bergantung pada usaha manusia untuk mengeksplorasinya
(Astirin 2000). Hal ini menjadi sebuah kondisi yang mendesak dunia ilmu
pengetahuan dan para ilmuwan khususnya untuk segera mendokumentasikan
keanekaragaman hayati di Indonesia melalui kajian ilmu yang kompatibel, salah
satunya melalui ilmu etnobotani. Keuntungan yang dimiliki bangsa Indonesia
yaitu keanekaragamannya yang menjadi salah satu kunci utama bagi
berlangsungnya kajian ilmu etnobotani (Rifai 1998). Kearifan masyarakat lokal
dalam memanfaatkan sumber daya alam yang telah diterapkan jauh sebelum
adanya kebijakan dan sistem pengelolaan sumber daya hayati oleh pemerintah,
sangat menarik untuk ditelaah. Dalam hal ini, peranan etnobotani adalah sebagai
pengungkap hubungan pemanfaatan, nilai budaya dan nilai kepentingan tumbuhan
oleh masyarakat tradisional (Cotton 1996).
Bukti sejarah penelitian etnobotani dunia ditemukan pada catatan perjalanan
beberapa abad silam. Catatan Christopher Columbus dalam pelayarannya tahun
1492 menyebutkan pemanfaatan tumbuhan di beberapa daerah yang ia singgahi
yaitu San Salvador, Kuba dan Hispaniola; salah satunya penggunaan tembakau
(Nicotiana spp) sebagai rokok oleh masyarakat tradisional di Kuba (Cummins
1992). Penjelajah Inggris Richard Spruce menemukan zat psikoaktif dari
penggunaan tumbuhan Banisteriopsis caapi oleh suku Indian Amazon (Schultes
1983). Istilah etnobotani pada awalnya dikenal sebagai “aboriginal botany” oleh
Stephen Powers dalam penelitiannya mengenai tumbuhan yang digunakan oleh
suku Indian di California (Powers 1874). Kemudian seorang ahli botani John
Harshberger menggunakan istilah “ethno-botany” untuk menyebut pemanfaatan
tumbuhan dalam kajian etnografi dan prasejarah manusia (Harshberger 1895). Di
negara Indonesia, sebuah tulisan dari seorang ahli botani G. Rumphius pada abad
ke- XVII dalam bukunya “Herbarium Amboinense” tentang tumbuh-tumbuhan di
Ambon dan sekitarnya dianggap sebagai pelopor etnobotani khususnya dan botani
pada umumnya di Indonesia (Soekarman dan Riswan 1992). Pada tanggal 18 Mei
1982 didirikanlah Museum Etnobotani Indonesia yang merupakan bagian dari
Herbarium Bogoriense, Puslitbang Biologi LIPI. Tujuan dari pendirian museum
etnobotani tersebut adalah untuk menghimpun dokumentasi dan informasi dari
penelitian-penelitian etnobotani, baik itu berupa data koleksi jenis tumbuhan
maupun artefak-artefak etnobotani.

4
Etnobotani sebagai jembatan pengetahuan tradisional dan modern menjadi
topik yang semakin berkembang dan memerlukan dukungan dari berbagai bidang
ilmu antara lain analisis arkeologi, linguistik, biologi farmasi, fitokimia, pertanian,
kehutanan, ekologi (fitografi) dan lain-lain (Purnomo 1995). Walujo (1987)
mengelompokkan cakupan kajian etnobotani sebagai berikut:
1. tumbuhan sebagai penyedia bahan pangan (baik untuk makanan pokok,
makanan tambahan maupun sebagai bahan untuk pembuatan minuman ataupun
rempah-rempah),
2. tumbuhan sebagai penyedia bahan sandang,
3. tumbuhan sebagai penyedia bahan papan dan perlengkapan lain (seperti bahan
bangunan rumah, bahan untuk alat rumah tangga dan pertanian, bahan talitemali dan anyam-anyaman, dan lain-lain),
4. tumbuhan untuk bahan obat-obatan dan kosmetika,
5. tumbuhan sebagai bahan pewarna,
6. tumbuhan sebagai sumber pelengkap upacara tradisional dan kegiatan sosial,
7. tumbuhan sebagai bahan pemenuhan keindahan, seni dan lain-lain.
Ketujuh aspek cakupan kajian etnobotani tersebut dianggap telah mewakili
seluruh aktivitas pemanfaatan tumbuhan oleh manusia pada umumnya.
Asal Usul Masyarakat Dayak di Kalimantan
Kalimantan sebagai pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan
Papua (Mackinnon et al. 2000) merupakan rumah tidak hanya bagi hutan
hujannya yang berlimpah, tetapi juga masyarakatnya yang memiliki keberagaman
(Jessup dan Vayda 1988). Menurut sejarahnya, masyarakat Dayak dikenal sebagai
suku asli di pulau Kalimantan. Istilah Dayak yang pertama kali dikenal oleh para
penjajah kolonial untuk menyebut masyarakat asli pulau Kalimantan memiliki
berbagai makna seperti “hulu” dan “manusia” (berdasarkan pada pemukiman
orang Dayak yang menempati daerah-daerah hulu sungai). Pengertian lain dari
kata “Dayak” juga dikaitkan dengan bahasa Kawi “dayaka” yang artinya “suka
memberi”. Arti kata ini sesuai dengan sifat orang Dayak yang gemar memberi apa
saja baik itu makanan, sayuran, hasil ternak, dan lain-lain kepada orang pendatang
(Alloy et al. 2008). Hingga saat ini belum diketahui dengan pasti nenek moyang
dari masyarakat suku Dayak. Manusia tertua yang menghuni Kalimantan
diperkirakan hidup pada masa 38.000 – 40.000 SM. Hal ini berdasarkan pada
catatan penemuan arkeologi berupa tengkorak manusia oleh Tom Harrison pada
tahun 1954 di Gua Niah, Sarawak (Harrison 1970). Diperkirakan tengkorak
manusia tersebut berasal dari Bangsa Australoid yang pertama kali mencapai
dataran Kalimantan pada periode interglasial dalam Kala Pleistosen. Mereka
melakukan migrasi dari daratan yang menghubungkan Kepulauan Sunda Besar
dengan daratan Asia (Mackinnon et al. 2000). Walaupun demikian, belum dapat
dipastikan apakah bangsa tersebut merupakan nenek moyang pertama suku Dayak
yang dikenal sebagai suku asli di Kalimantan. Sumber lainnya mengatakan pula
bahwa nenek moyang suku Dayak merupakan migrasi dari sekelompok bangsa
Austronesia dari daratan di selatan Cina pada tahun 4000 SM yang kemudian
berpindah ke Filipina pada tahun 3000 SM sebelum akhirnya mencapai
Kalimantan pada tahun 2500 SM. Hal ini didukung pula oleh penuturan bahasa

5
Austronesian yang memiliki kemiripan dengan bahasa Dayak pada saat ini
(Rautner et al. 2005).
Anyaman dalam Budaya Masyarakat Dayak
Masyarakat Dayak sejak zaman dahulu kala dikenal sebagai penguasa rimba
belantara Kalimantan. Adaptasi untuk hidup di lingkungan hutan menuntut
masyarakat Dayak untuk mengembangkan kreatifitas dalam segala aspek
kehidupannya (Christensen 2010). Pengetahuan dasar dalam memanfaatkan
sumber daya alam sebagai sumber pangan, sandang dan papan; membaca tandatanda alam untuk menentukan musim berladang dan lokasi tempat tinggal yang
baik; serta keterampilan teknik untuk menghasilkan perkakas sederhana yang
digunakan dalam aktivitas harian juga berkembang dari generasi ke generasi.
Demikian halnya dengan produk-produk anyaman yang dihasilkan masyarakat
Dayak, merupakan hasil adaptasi terkait dengan tuntutan kebutuhan hidup yang
bergantung dengan sumber daya alam. Aktivitas harian utama masyarakat Dayak
seperti berladang dan berburu membutuhkan peralatan penunjang seperti
keranjang untuk membawa hasil panen atau mencari kayu bakar dan buah-buahan
hutan, dan perangkap binatang seperti ikan, udang dan labi-labi yang dipasang di
sungai. Hutan sebagai gudang sumber daya alam menyediakan berbagai bahan
yang dapat dimanfaatkan sebagai anyaman.
Seiring dengan perubahan pola hidup dari nomaden ke tempat tinggal yang
permanen, masyarakat Dayak mengembangkan produk-produk anyaman untuk
fungsi lainnya seperti untuk perabotan rumah tangga, perlengkapan adat dan
hiasan. Masyarakat Dayak masih mempertahankan penggunaan tumbuhan dalam
produk-produk anyaman yang dihasilkan. Bagi masyarakat Dayak, anyaman
bukan sekedar peralatan maupun perkakas penunjang kegiatan sehari-hari.
Anyaman adalah suatu hasil kerja dimana si pembuatnya merasakan kepuasan,
kesenangan, dan kebanggaan dalam menggunakannya. Masyarakat Dayak juga
memiliki penilaian tersendiri untuk sebuah produk anyaman. Produk anyaman
dinilai “indah” bila produk tersebut dibuat sangat rapi, dianyam dari bahan
berkualitas bagus, dan memiliki masa pakai yang tahan lama (Sellato 2013).
Eratnya tradisi menganyam dan penggunaan tumbuhan sebagai material utama
anyaman juga terlihat pada motif-motif yang digunakan untuk menghias beberapa
produk anyaman. Motif-motif yang dibuat biasanya diambil dari tumbuhan
maupun hewan yang dijumpai disekitar lingkungan hutan. Beberapa diantara
motif tersebut juga diambil dari fenomena alam seperti awan dan angin. Beberapa
jenis motif bahkan menunjukkan tingkatan sosial bagi si pemakai, misalnya para
tetua adat maupun para dukun. Hingga saat ini, produk anyaman yang dihasilkan
masyarakat Dayak dikenal sebagai penghasil anyaman terkaya dan terindah di
dunia (Sellato 2013).
Pengetahuan tradisional masyarakat Dayak terhadap aneka tumbuhan
anyaman dapat digali lebih dalam melalui kajian ilmu etnobotani untuk
menemukan potensi-potensi tumbuhan dengan kualitas serat yang baik. Maraknya
penggalakan kembali penggunaan serat alami oleh FAO melalui program
International Year of Natural Fibres sejak tahun 2009 (FAO 2009) seperti
membuka jalan bagi penelitian serat-serat alami terutama di Indonesia. Beberapa
informasi mengenai pengetahuan tumbuhan anyaman dan pemanfaatannya oleh

6
masyarakat Dayak telah diperoleh melalui beberapa penelitian etnobotani, antara
lain penelitian etnobotani di Dayak Iban dan Kelabit (Christensen 2002) dan
Dayak Bidayuh (Mashman dan Nayoi 2013) di Sarawak, Malaysia; etnobotani
masyarakat Dayak Benuaq (Hendra 2009), Kayan Mendalam (Ngo 2013), Dayak
Uut Danum (Couderc 2013) di Kalimantan, dan Dayak Kanayatn di Desa Saham
Kabupaten Landak, Kalimantan Barat (Munziri et al. 2013), Indonesia. Namun,
ada kecenderungan penelitian etnobotani tumbuhan anyaman lebih mengaji aspek
budaya anyaman dan produk yang dihasilkan daripada aspek botani yang meliputi
keanekaragaman jenisnya. Oleh karena itu, masih diperlukan lebih banyak lagi
kajian etnobotani tumbuhan anyaman dengan lebih memperdalam kajian
botaninya.
Masyarakat Dayak Iban-Désa
Masyarakat Dayak hidup dalam beberapa rumpun yang terbentuk
berdasarkan kesamaan adat istiadat budaya dan bahasa. Terdapat enam rumpun
besar suku Dayak yang dikenal, yaitu Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot
Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan (Lontaan 1975). Rumpun
Dayak Punan merupakan rumpun yang paling tua mendiami pulau Borneo.
Rumpun Dayak Punan dikenal merupakan rumpun Dayak dengan pola hidup
nomaden atau berpindah-pindah. Keenam rumpun tersebut terbagi dalam ± 405
subsuku, dan terdapat sekitar ± 150 subsuku tersebar di Kalimantan Barat
(Lampiran 1). Rumpun Dayak Iban sebagai rumpun dayak terbesar juga
membentuk sub-subsuku yang cukup banyak, dan salah satunya adalah subsuku
Dayak Iban-Désa yang merupakan subjek penelitian ini.
Masyarakat Dayak Iban-Désa masih berkerabat dekat dengan Dayak Iban
dari Sarawak-Malaysia (Mackinnon et al. 2000; Alloy et al. 2008) bersama
rumpun suku Dayak lainnya seperti Dayak Kantu’, Seberuang, Bugau dan
Mualang (Mackinnon et al. 2000). Pelafalan huruf “e” pada kata “désa” adalah
seperti menyebut kata “enau”. Hal ini untuk membedakannya dengan pelafalan “e”
pada subsuku Dayak Dsa yang dibaca “desa” dengan “e” seperti pada kata “terong”
(Alloy et al. 2008).
Persebaran masyarakat Dayak Iban-Désa paling banyak di Kabupaten
Sintang, Kalimantan Barat. Asal mula masyarakat Dayak Iban-Désa di Kabupaten
Sintang diduga berasal dari koloni suku Dayak Iban di Kabupaten Kapuas Hulu
yang memisahkan diri. Masyarakat Dayak Iban-Désa menempati tujuh kecamatan
di kabupaten Sintang, yaitu Kecamatan Sintang, Binjai Hulu, Kelam Permai,
Sungai Tebelian, Dedai, Tempunak dan Sepauk. Hingga saat ini, jumlah total
masyarakat Dayak Iban-Désa di Kabupaten Sintang mencapai ± 40.000 jiwa, atau
sekitar 9,73% dari seluruh penduduk kabupaten Sintang (Alloy et al. 2008).
Sejarah Pemukiman Dayak Iban-Désa di Desa Ensaid Panjang
Catatan tertulis maupun bukti sejarah asal mula bermukimnya masyarakat
Dayak Iban-Désa di Kabupaten Sintang sulit untuk dilacak dan ditemukan. Akan
tetapi, beberapa sesepuh dan orang-orang tua masyarakat Dayak Iban-Désa masih
mengingat sedikit cerita mengenai asal mula terbentuknya subsuku Dayak IbanDésa tersebut. Berdasarkan cerita turun-temurun, masyarakat Dayak Iban-Désa

7
berasal dari masyarakat Dayak yang konon bermukim di sekitar Sungai Desa,
Kabupaten Kapuas Hulu. Karena adanya pertikaian antar sesama penghuni yang
menempati rumah betang panjang, akhirnya beberapa kepala keluarga keluar dari
rumah betang panjang tersebut dan bermigrasi hingga ke Kabupaten Sintang
(Alloy et al. 2008). Koloni masyarakat Dayak yang berpindah dari Sungai Desa
tersebut kemudian menyebar luas ke beberapa kecamatan di Kabupaten Sintang,
termasuk salah satunya adalah di Kecamatan Kelam Permai. Pusat pemukiman
pertama masyarakat Dayak Iban-Désa di Kecamatan Kelam Permai adalah di
Desa Kebong (ibukota kecamatan Kelam Permai). Hal ini dibuktikan dengan
adanya Tembawang Sandung yang merupakan kawasan tembawang tertua.
Tembawang merupakan suatu lokasi yang ditanami buah-buahan dan pepohonan
sebagai tanda pernah dijadikan kawasan pemukiman di masa lampau (Alloy et al.
2008). Dari Desa Kebong, pemukiman Dayak Iban-Désa memecah ke daerah
sekitarnya termasuk ke Kampung Siju’ yang terletak di sekitar Sungai Maram
(sebelah utara Bukit Rentap). Pemukiman Dayak Iban-Désa di Desa Ensaid
Panjang dipercaya berasal dari Kampung Siju’. Perpindahan koloni Dayak IbanDésa dari Kampung Siju’ mengikuti aliran sungai Ensaid (kata “ensaid” diartikan
sebagai “jalan dewa” menurut bahasa Dayak Iban-Désa) (Hermanus Bintang,
Ketua Adat Suku Dayak Iban-Désa di Desa Ensaid Panjang, 2013 Agustus 1,
komunikasi pribadi). Perpindahan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti mengikuti lokasi perladangan berpindah, bencana wabah dan penyakit, dan
faktor-faktor lainnya (Delyanet 2015). Pada tahun 1986, koloni masyarakat Dayak
Iban-Désa tersebut mendirikan rumah betang (rumah adat khas suku Dayak,
Gambar 1) di dekat muara Sungai Kebiau (sungai utama di kawasan Desa Ensaid
Panjang) dan menetap hingga saat ini.

Gambar 1 Rumah betang yang ditempati oleh masyarakat Dayak Iban-Désa di
Desa Ensaid Panjang
Aksesibilitas ke Desa Ensaid Panjang
Desa Ensaid Panjang merupakan salah satu desa di Kecamatan Kelam
Permai yang menjadi lokasi pemukiman masyarakat Dayak Iban-Désa. Desa
Ensaid Panjang memiliki luas wilayah 2.200 ha, dan secara geografis terletak pada
koordinat 00°04’01” - 00°09’39” LU dan 111°39’49” - 111°42’27” BT. Secara
administratif, desa ini memiliki batas wilayah sebagai berikut.

8
- Wilayah utara: Desa Sungai Maram
- Wilayah timur: Desa Baning Panjang
- Wilayah selatan: Desa Empaci
- Wilayah barat: Desa Merepak
Lokasi Desa Ensaid Panjang dapat ditempuh dengan jalur darat maupun udara.
Sarana transportasi umum untuk mencapai Kota Sintang melalui jalur darat
berupa bus dan travel, sedangkan sarana transportasi umum jalur udara berupa
pesawat kecil yang berangkat dari Bandara Supadio Pontianak. Desa Ensaid
Panjang dapat ditempuh dengan jalur darat menggunakan satu-satunya sarana
transportasi dari kota Sintang ke Desa Baning Panjang, yaitu salah satu desa yang
berbatasan dengan Desa Ensaid Panjang, dengan menggunakan oplet (angkutan
umum menyerupai angkot) yang beroperasi turun dari Desa Baning Panjang
menuju kota Sintang pada pukul 08.00 pagi, dan pulang ke Desa Baning Panjang
pada pukul 14.00. Terdapat jalur alternatif lainnya yaitu melalui Desa Merpak,
tetapi jalan tersebut kurang aman untuk dilalui karena berupa jalan tanah yang
berlumpur licin dan selalu tergenang air jika musim penghujan serta tidak
memiliki penerangan di malam hari. Jarak tempuh menuju Desa Ensaid Panjang
adalah ± 478 km dari kota Pontianak (± 11 jam melalui jalur darat dan 2 jam 45
menit melalui jalur udara dari kota Pontianak – kota Sintang dan jalur darat dari
kota Sintang-Ensaid Panjang), ± 58 km dari kota Sintang (± 2 jam melalui jalur
darat), dan ± 27 km dari Desa Kebong (± 1 jam melalui jalur darat).
Kondisi Fisik Lingkungan Desa Ensaid Panjang
Area Desa Ensaid Panjang memiliki topografi berbukit, dengan puncak
tertinggi mencapai 658 meter di atas permukaan laut (mdpl). Curah hujan di Desa
Ensaid Panjang rata-rata 263 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 216 hari hujan
per tahun atau 18 hari hujan per bulan. Curah hujan tertinggi dan jumlah hari
hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember, sedangkan curah hujan paling
rendah dan jumlah hari hujan paling sedikit terjadi pada bulan Agustus yang
merupakan puncak musim kemarau. Kisaran suhu udara di lingkungan Desa
Ensaid Panjang adalah 22°C - 32°C serta kelembaban udara antara 60% - 70%
(Armayadi dan Tinus 2011; Delyanet 2015). Kawasan Desa Ensaid Panjang
memiliki jenis tanah aluvial dan podsolik merah kuning dengan bahan induk
terdiri dari aluvial, batuan endapan dan batuan beku. Jenis tanah podsolik merah
kuning lebih mendominasi dibandingkan tanah aluvial (Delyanet 2015). Lokasi
studi termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas yang berhulu di
Bukit Rentap (Sungai Kebiau, Desa Baning Panjang) melewati Desa Ensaid
Panjang, Merpak, Kebong, Ampar Bedang, Tanjung Puri, dan bermuara di Sungai
Kapuas. Sungai Kebiau yang melewati Desa Ensaid Panjang memiliki lebar 4-6
meter dengan kedalaman 1-2 meter. Beberapa anak sungai yang bermuara di
Sungai Kebiau yang melewati Desa Ensaid Panjang adalah Sungai Labu, Sungai
Ensaid, Sungai Sepayan, Sungai Mersibung, Sungai Sebesai, dan Sungai Semilas
(Delyanet 2015).
Kondisi Biotik Lingkungan Desa Ensaid Panjang
Desa Ensaid Panjang merupakan salah satu dari 16 desa di Kecamatan
Kelam Permai, Kabupaten Sintang, yang memiliki kawasan berhutan. Kawasan
berhutan yang termasuk dalam wilayah Desa Ensaid Panjang adalah 995.5 ha.

9
Terdapat dua tipe ekosistem hutan yang dapat dijumpai di Desa Ensaid Panjang,
yaitu ekosistem hutan perbukitan dan ekosistem hutan rawa atau yang dikenal
oleh masyarakat setempat dengan sebutan tawang. Ekosistem hutan perbukitan
terdapat di Bukit Rentap (750 ha), sedangkan ekosistem hutan rawa terdapat di
lima lokasi yaitu: Tawang Serimbak (67.012 ha), Tawang Sepayan (17.457 ha),
Tawang Mersibung (53.983 ha), Tawang Sebesai (8.867 ha), dan Tawang Semilas
(42.778 ha) (nama hutan diambil dari nama anak sungai yang melalui kawasan
hutan, Gambar 2). Sebelum tahun 2012, masih terdapat satu lokasi hutan rawa
yaitu Tawang Sampur (5 ha). Tawang Sampur merupakan lokasi hutan dengan
luas area terkecil dibandingkan hutan lainnya. Pada saat ini Tawang Sampur
sudah mengalami konversi lahan menjadi lahan pertanian (Armayadi dan Tinus
2011; Delyanet 2015).

Gambar 2 Peta lokasi hutan adat di Desa Ensaid Panjang
(Sumber: Delyanet 2015)
Potensi flora di kawasan Desa Ensaid Panjang terdiri atas 134 jenis dari 46
famili tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Beberapa diantaranya
merupakan tumbuhan yang memiliki manfaat sebagai penghasil resin, minyak,
tanin, buah-buahan, pewarna alami, obat-obatan, maupun sebagai tanaman hias.
Kawasan hutan desa Ensaid Panjang juga memiliki ragam fauna yang tinggi.
Tercatat 16 jenis mamalia, 22 jenis burung, 60 jenis serangga, dan 19 jenis
herpetofauna yang terdiri dari 9 jenis amfibi, 8 jenis reptil, 1 jenis kura-kura dan 1
jenis labi-labi (Armayadi dan Tinus 2011).
Pengumpulan Data dalam Penelitian Etnobotani
Penelitian etnobotani dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek
meliputi: (1) jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan serta cara penggunaannya,
(2) persepsi, sikap dan perilaku masyarakat, serta penggolongan-penggolongan,

10
sistem penamaan yang diberikan terhadap tumbuhan, (3) vegetasi dan kelimpahan
jenis, (4) potensi ekonomi tumbuhan dan lingkungan, (5) koleksi spesimen, dan
(6) koleksi jenis (Darnaedi 1998). Secara sederhana, dalam memperoleh data dari
suatu penelitian etnobotani, biasanya data tersebut diperoleh melalui dua macam
pendekatan, yaitu pendekatan emik dan pendekatan etik. Data emik adalah data
yang diperoleh murni dari persepsi masyarakat dan penggolongan tumbuhan
dengan tata bahasanya sendiri; dan data etik adalah data yang diperoleh dari
persepsi peneliti dan ilmu pengetahuan, tetapi tidak terlepas pula dari sistem
pengelompokan oleh masyarakat lokal (Martin 2004).
Data Emik
Perolehan data emik yang bersumber langsung dari pengetahuan empirik
masyarakat dilakukan dengan wawancara. Beberapa teknik wawancara yang dapat
dilakukan, misalnya wawancara terencana (standardized interview), wawancara
tak terencana (unstandardized interview), dan wawancara sambil lalu (casual
interview) (Walujo 2004). Selain dengan wawancara, sebuah survei eksploratif
juga dilakukan untuk menginventarisasi keanekaragaman sumber daya hayati
yang dikenali oleh masyarakat tempatan. Hasil inventarisasi tersebut kemudian
dinilai dengan beberapa teknik penilaian seperti RRA (Rapid Rural Appraisal),
PRA (Participatory Rural Appraisal), REA (Rapid Ethnobotanical Appraisal),
maupun gabungan ketiganya yaitu Participatory Ethnobotanical Appraisal
(Walujo 2004). Data emik kemudian diolah untuk menentukan nilai guna jenisjenis tumbuhan didalam masyarakat pengguna tumbuhan tersebut. Penentuan nilai
guna tumbuhan salah satunya dilakukan dengan melakukan penilaian berdasarkan
kategori manfaat (Walujo 2004). Valuasi nilai kepentingan tumbuhan bagi
masyarakat ditentukan berdasarkan Indeks Kepentingan Budaya atau Index
Cultural Significance (ICS). Tiga komponen penilaian dalam ICS yang dijadikan
dasar yaitu quality value (q) atau nilai kualitas suatu jenis tumbuhan yang
menentukan nilai budayanya oleh masyarakat (misal sejauh mana tumbuhan
tersebut dipilih sebagai bahan pokok atau bahan sekunder), intensity value (i) atau
intensitas penggunaan tumbuhan dalam kegiatan harian masyarakat (misal
intensitas penggunaan sering, jarang, atau sangat jarang), dan exclusivity value (e)
atau nilai eksklusivitas yang menunjukkan nilai kesukaan masyarakat sehingga
memilih jenis tumbuhan yang digunakan (Turner 1988). Jenis penilaian lain untuk
menentukan nilai guna adalah dengan menentukan use value (Uvs). Uvs dapat
digunakan untuk membandingkan nilai guna antar spesies maupun antar famili,
sehingga akan terlihat jenis tumbuhan yang benar-benar berguna bagi masyarakat
(Cotton 1996).
Data Etik
Data etik adalah data yang dikumpulkan dari berbagai pengamatan dan uji
ilmiah yang sesuai dengan tujuan penelitian etnobotani yang dikaji. Pada
penelitian etnobotani tumbuhan sumber pangan, kosmetik dan obat-obatan,
beberapa uji yang dapat dilakukan adalah uji histokimia dan fitokimia kandungan
zat didalam tumbuhan. Pada penelitian etnobotani tumbuhan anyaman, uji yang
dapat dilakukan diantaranya pengamatan anatomi dimensi sel serat, uji fisikmekanik dan uji histokimia.

11
Pengamatan anatomi serat meliputi pengamatan struktur berkas pembuluh,
dimensi sel serat yang meliputi panjang, lebar, dan ketebalan dinding sel serat
dalam kaitannya untuk menentukan kualitas kekuatan serat tumbuhan. Serat
berasal dari komponen berkas pembuluh yaitu sklerenkim yang merupakan
jaringan yang terjadi dari sel-sel dengan penebalan dinding sekunder (Fahn 1991).
Pengamatan dimensi sel serat ini banyak digunakan terutama dalam industri pulp
dan kertas yang memanfaatkan bahan baku sisa hasil pertanian dan bambu, untuk
melihat kekuatan pulp yang dihasilkan dari dimensi serat bahan (Nurrahman dan
Silitonga 1973).
Uji fisik-mekanik dilakukan untuk melihat sifat mekanis bahan, seperti
kekuatan tarik, kekuatan tekan, kekuatan geser, dan kekuatan lentur. Beberapa uji
fisik-mekanik yang dapat dilakukan misalnya uji tarik sejajar serat dan tegak lurus
serat, uji tekan sejajar serat dan tegak lurus serat, uji kekuatan geser sejajar serat,
dan uji lentur statis (Mardikanto et al. 2011). Uji kimia dilakukan untuk melihat
sifat kimia serat melalui kandungan holoselulosa, α-selulosa, hemiselulosa, lignin,
silika, kristalinitas selulosa dan pati (Sanusi 2012). Uji kimia berhubungan dengan
sifat fisik-mekanik kayu dan keawetan serat, sehingga dapat digunakan pula untuk
menentukan kualitas serat.
Pengamatan ekologi vegetasi dapat digolongkan dalam data etik, yaitu
melalui observasi partisipatif plot sampling yang melibatkan masyarakat sebagai
pemandu dan informan kunci (Walujo 2004). Pengamatan ekologi dapat
menentukan Indeks Nilai Penting (INP) yang merupakan gambaran karakteristik
sifat kuantitatif suatu komunitas untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat
penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuha