Kajian Etnobotani dan Aspek Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] Di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat

(1)

KAJIAN ETNOBOTANI DAN ASPEK KONSERVASI

SENGKUBAK [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.]

DI KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

UTIN RIESNA AFRIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2 0 0 7


(2)

PERNYATAAN MENGENAI

TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Etnobotani dan Aspek Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2007 Utin Riesna Afrianti NRP. E051054085


(3)

ABSTRACT

UTIN RIESNA AFRIANTI. The study of Etnobotany and Conservation Aspect of Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] in Sintang, West Kalimantan. Supervised by AGUS HIKMAT and AGUS PRIYONO KARTONO. This study was Sintang Regency carried out in sub districts of Dedai, Sintang, Kelam Permai and Sepauk, West Kalimantan by using interview and direct sampling for collecting vegetation data. Sampling methods for characteristics of vegetation was conducted by using combination line transect and square line. The result indicated that the leaves of the P. cauliflora used as natural tasty by Dayak and Melayu ethnic. Other utilization has not been recognized yet. The average density of P. cauliflora in secondary forests was 14 individuals/ha; the height average is 1.5 m, diameter is 0.73 cm, 68.98% of P. cauliflora are seedling. P. cauliflora mostly can be found at 50 – 150 meters above sea level (m asl). The spatial distribution pattern of P. cauliflora tends to be clumped. They have positive associated with rubber plantation (Hevea brasilliensis) and Syzygium zeylanicum for tree level; Hopea dryobalanoides and Palaquium rostratum for pole level. Cultivation effort and the preservation of tembawang forest (mixed rubber plantation) from conversion to other land uses are important aspect of P. cauliflora conservation.


(4)

ABSTRAK

UTIN RIESNA AFRIANTI. Kajian Etnobotani dan Aspek Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] Di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Dedai, Sintang, Kelam Permai dan Sepauk, Kabupaten Sintang Kalimantan Barat menggunakan wawancara dan metode kombinasi jalur dengan garis berpetak. Hasilnya menunjukkan bahwa daun sengkubak digunakan oleh etnik Dayak dan Melayu sebagai penyedap rasa alami, pemanfaatan untuk kepentingan lainnya relatif belum diketahui. Pada formasi hutan sekunder sengkubakmemiliki potensi rata-rata 14 ind/ha, rata-rata tinggi batangnya adalah 1,5 m, potensi anakan 68,98%, rata-rata diameternya 0,73 cm. Sengkubak dapat ditemukan pada ketinggian 50-150 m dpl. Sengkubak memiliki sebaran spasial cenderung mengelompok, dan berasosiasi positif dengan Hevea brasilliensis dan Syzygium zeylanicum (tingkat pohon) dan Hopea dryobalanoides dan Palaquium rostratum (tingkat tiang). Meningkatkan budidaya dan tetap mempertahankan keberadaan hutan tembawang (hutan karet alam campuran) dari konversi lahan untuk penggunaan lain merupakan aspek penting dalam konservasi sengkubak.


(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

RINGKASAN

UTIN RIESNA AFRIANTI. Kajian Etnobotani dan Aspek Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] Di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Komunitas etnis Melayu dan Dayak di Kabupaten Sintang memiliki pengetahuan tradisional mengenai penggunaan daun sengkubak (Pycnarrhena cauliflora) sebagai penyedap rasa alami masakan. Pengetahuan tersebut merupakan warisan leluhur kedua etnis tersebut. Diperlukan penelitian mengenai etnobotani sengkubak pada etnis Melayu dan Dayak Sintang dan aspek konservasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi aspek etnobotani meliputi persepsi masyarakat mengenai pemanfaatan sengkubak, budidayanya, pergeseran penggunaannya, jenis sengkubak menurut masyarakat, dan mengidentifikasi aspek konservasi sengkubak meliputi bagaimana kondisi populasi sengkubak dan habitat sengkubak, faktor-faktor yang mengancam kelestariannya dan implikasi konservasi sengkubak di Kabupaten Sintang.

Metode penelitian secara garis besar terdiri dari 2 (dua) kegiatan utama, yaitu pengumpulan data primer berupa wawancara untuk kajian etnobotani dan inventarisasi potensi sumberdaya sengkubak (P. cauliflora) dan spesies tumbuhan lain dilakukan pada tipe hutan sekunder di Kabupaten Sintang, pengisian kuesioner dan pengumpulan data sekunder. Penelitian di laksanakan selama 3 (tiga bulan) yaitu bulan Mei-Juli 2007.

Daun sengkubak saat ini masih digunakan oleh sebagian masyarakat Dayak dan Melayu Sintang sebagai penyedap rasa alami. Pengetahuan manfaat sengkubak untuk keperluan penyedap rasa, pengobatan, nilai magis dan pengetahuan mengenai manfaat terhadap bagian-bagian yang dapat digunakan (daun, batang, buah) dari sengkubak, serta pengetahuan cara mengolah sengkubak sebagai penyedap rasa (diremas, diiris-iris, ditumbuk) adalah berbeda antara etnis Dayak dan Melayu Sintang. Tingkat seringnya menggunakan daun sengkubak sebagai penyedap rasa tidak berbeda antara suku Dayak dan Melayu jika di lihat berdasarkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, asal etnis, jarak antara tempat tinggal pengguna sengkubak dengan tempat hidupnya sengkubak, namun berbeda jika berdasarkan kelompok umur (15-54 tahun dan > 54 tahun). Pengetahuan penggunaan sengkubak telah berkurang terutama di kalangan generasi muda etnis Dayak dan Melayu. Pemanfaatan sengkubak yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara memanen langsung dari alam, sengkubak tidak dibudidayakan tetapi tumbuh secara liar di hutan-hutan sekunder (karet alam campuran dan hutan adat). Kondisi populasi sengkubak di formasi hutan sekunder Sintang rata-rata kerapatannya 14 ind/ha. Sengkubak cenderung menyebar secara mengelompok, dan sengkubak mempunyai asosiasi positif dengan Ubah (Syzygium zeylanicum) pada tingkat pohon, (X2 = 4,4408 dan X20,05(1) = 3,841) di hutan Sirang. Dengan derajat asosiasi 0,375 (Jaccard Index) dan 0,545 (Dice Index). Sengkubak juga berasosiasi positif dengan Nyatoh (Palaquium rostratum) pada tingkat tiang (X2 = 6,511 dan X20,05(1) = 3,841), dengan derajat asosiasi 0,400 (JI) dan 0,571 (DI),


(7)

asosiasi sengkubak juga terjadi dengan karet (Hevea brasilliensis) pada tingkat pohon (X2 = 5,590 dan X20,05(1) = 3,841), dengan derajat asosiasi 0,200 (JI) dan 0,333 (DI), dengan keladan (Hopea dryobalanoides) dengan (X2 = 5,590 dan X20,05(1) = 3,841), dengan derajat asosiasinya yaitu 0,375 (JI) dan 0,545 (DI).

Pada tingkat semai di habitat P. cauliflora ditemukan 69 spesies tumbuhan, dengan spesies yang dominan adalah Hevea brasilliensis (INP 26,15%), Hopea dryobalanoides (INP 16,31%), dan Syzygium zeylanicum (INP 15,32%). Pada tingkat pancang ditemukan 89 spesies tumbuhan, dimana Hevea brasilliensis merupakan spesies dominan pertama dengan INP 48,37%, Horsfieldia irya (INP 20,82%) dan Litsea elliptica merupakan spesies dominan ketiga (INP 13,64%). Pada tingkat tiang di habitat P. cauliflora ditemukan 69 spesies tumbuhan, dimana Hevea brasilliensis masih merupakan spesies dominan dalam populasi tingkat tiang dengan INP 59,31%, diikuti oleh tiang dari spesies-spesies Horsfieldia irya (INP15,16%) dan Syzygium zeylanicum (14,48%). Eleteriospermum tapos (INP 16,7%). Pada tingkat pohon ditemukan 72 spesies tumbuhan, Hevea brasilliensis merupakan jenis dominan yang memiliki INP tertinggi (58,27%), diikuti Litsea elliptica dengan INP 21,5% dan Eleteriospermum tapos dengan INP 16,70%.

Hutan sekunder yang menjadi habitat sengkubak memiliki nilai keanekaragaman spesies yang termasuk dalam kategori sedang hingga tinggi pada semua tingkat pertumbuhan spesies berkisar 2,09-3,14, kekayaan spesies pada berbagai tingkat pertumbuhan berkisar 3,56-8,76 dan kemerataan spesies bervariasi pada berbagai tingkat pertumbuhan mulai dari 0,66 (tingkat semai) hingga 0,90 pada tingkat pertumbuhan pancang. Wilayah hutan Suak I dan Suak II (2-3) memiliki kesamaan komunitas yang cukup tinggi (IS>50%) pada semua tingkat pertumbuhan, hutan Sirang dengan Suak I, Suak II dan hutan Medang dapat dikategorikan memiliki kesamaan komunitas rendah (IS<40%), kesamaan komunitas antara hutan Suak I dengan hutan Medang dan Suak II dengan hutan Medang dapat dikategorikan sedang pada tingkat pertumbuhan tiang (IS mendekati 50%), pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon pada lokasi tersebut kesamaan komunitasnya tergolong rendah (IS<40%).

Ancaman terhadap kelestarian sengkubak di Kab.Sintang berawal dari konversi lahan hutan (adanya kecenderungan mengganti perkebunan karet menjadi perkebunan kelapa sawit), dan tidak dilakukan budidaya yang intens terhadap sengkubak, serta hilangnya pengetahuan penggunaan sengkubak terutama di kalangan generasi muda baik pada etnis Dayak dan Melayu. Implikasi konservasi sengkubak adalah meningkatkan nilai (mutu) dari sengkubak dengan mengetahui kandungan bioaktif sengkubak, melakukan konservasi secara insitu dan eksitu. Secara insitu dengan mempertahankan keberadaan hutan-hutan tembawang atau hutan karet alam campuran sebagai habitat alami sengkubak yang dikelola oleh masyarakat dengan melakukan kemitraan antara masyarakat, pemerintah, stakeholder lain (Lembaga Swadaya Masyarakat, perguruan tinggi). Secara eksitu dengan mengembangkan budidaya sengkubak di luar habitat aslinya yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan sebagai pengguna sengkubak dengan pemanfaatan yang lestari.


(8)

KAJIAN ETNOBOTANI DAN ASPEK KONSERVASI

SENGKUBAK [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.]

DI KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

UTIN RIESNA AFRIANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Kehutanan pada

Sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2 0 0 7


(9)

(10)

Judul Tesis : KAJIAN ETNOBOTANI DAN ASPEK KONSERVASI SENGKUBAK [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] DI KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN

BARAT

Nama Mahasiswa : Utin Riesna Afrianti Nomor Pokok : E.051054085

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati

Disetujui Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS NIP. 131 760 834 NIP. 131 953 388


(11)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucap syukur kepada Allah SWT karena atas berkat anugerah-Nya penelitian dan penulisan tesis berjudul “Kajian Etnobotani Dan Aspek Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] Di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat.

Tesis ini menguraikan tentang dokumentasi persepsi masyarakat tentang pemanfaatan sengkubak, budidayanya, pergeseran pemanfaatannya, dan jenis sengkubak menurut masyarakat, dan aspek konservasi sengkubak, meliputi kondisi populasi sengkubak di alam, kondisi habitat sengkubak, faktor-faktor yang mengancam kelestarian sengkubak di Sintang, serta implikasi konservasi sengkubak di Kabupaten Sintang.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun cara penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan tesis ini.

Bogor, Desember 2007


(12)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F selaku Ketua Komisi dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si selaku Anggota Komisi yang telah memberikan saran dan bimbingan.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA yang telah memberikan kesempatan berupa bea siswa untuk mengikuti pendidikan pascasarjana, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf atas fasilitas yang diberikan selama pendidikan, Kepala Balai TN. Bukit Baka-Bukit Raya beserta staf, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sintang beserta staf yang telah banyak membantu selama dilakukan penelitian ini, Ir. Sahala Sibarani terima kasih atas bantuan dan dukungan moril selama dilakukan penelitian, penghargaan kepada Dr. Ir. Y. Purwanto dan Ismail (Staf LIPI Cibinong) atas saran dan bantuannya kepada penulis, teman, kerabat dan relasi yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih kepada orang tua, Ibunda Utin Halidjah atas keikhlasannya dan doanya, Ibu mertua Sunarmiati, suami dan anak-anak (Andhar dan Pasha), semua keluarga besar yang telah memberikan dukungan dan kasih sayangnya selama penulis belajar di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 12 April 1975. Penulis adalah anak keempat dari enam bersaudara. Ayah bernama Gusti Achmad Katharina (Alm) dan Ibu bernama Utin Halidjah.

Penulis manamatkan Sekolah Dasar Negeri 13 di Pontianak tahun 1988, dan menamatkan SMP Negeri 12 Pontianak tahun 1991, kemudian pada tahun 1994 menamatkan SMA Negeri 1 Pontianak dan pada tahun yang sama mendapatkan kesempatan memasuki Perguruan Tinggi Universitas Tanjungpura Jurusan Kehutanan melalui program PMDK (Pengembangan Minat dan Kemampuan). Tahun 1999 penulis berhasil menamatkan kuliah di Jurusan Kehutanan Program Studi Teknologi Hasil Hutan Universitas Tanjungpura Pontianak dengan predikat ”Cumlaude”.

Pada bulan Maret tahun 2000 penulis diterima menjadi PNS Departemen Kehutanan dan bertugas sebagai staf Balai Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, hingga kini penulis telah bertugas selama ± 7 (tujuh) tahun.

Tahun 2004 penulis mengikuti tes kompetensi (empat kriteria) Departemen Kehutanan dan dinyatakan lulus dengan nilai sangat disarankan plus, Pada tahun 2006 penulis mendapatkan kesempatan mengikuti karya siswa Departemen Kehutanan pada Program Strata 2 (S2) Profesi Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas di IPB.

Penulis menikah dengan Andhi Jumhadi Adji Saroyo pada tanggal 8 Juni 2002. Dari pernikahan ini, penulis telah dikaruniai dua putra yaitu Andhar Hibatullah Adji Saroyo dan Pasha Ziyadatullah Adji Saroyo.


(14)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioekologi Sengkubak ... 4

1. Klasifikasi dan Morfologi ... ... 4

2. Ekologi dan Penyebaran ... 7

B. Penggunaan Sengkubak... 7

C. Etbobotani ... 8

1. Definisi Etnobotani ... 8

2. Ruang Lingkup Etnobotani... 9

4. Kajian Etnobotani di Indonesia ... 9

D. Kearifan Tradisional Masyarakat ... 10

E. Hubungan Budaya Dayak dengan Hutan ... 12

F. Hubungan Budaya Melayu dengan Hutan ... 13

G. Konservasi Tumbuhan ... 14

1. Penyebab Kelangkaan dan Kepunahan Tumbuhan ... . 14

2. Upaya Konservasi Tumbuhan ... 17

4. Permasalahan Konservasi Tumbuhan ... 19

III. KEADAAN UMUM LOKASI KAJIAN A. Sejarah Kabupaten Sintang ... 21

B. Letak dan Luas ... 22

C. Topografi ... 24

D. Hidrologi ... 24

E. Iklim... 25

F. Tanah. ... 26

G. Keadaan Hutan... 27

H. Keadaan Sosial dan Ekonomi Masyarakat. ... 28

I. Deskripsi Lokasi Penelitian... 32

IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 35


(15)

ii

D. Kerangka Pemikiran ... 37

E. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 38

F. Penentuan Sampel... .... 49

G. Metode Pengumpulan Data ... 40

1. Wawancara... 41

2. Pengamatan Langsung ... 42

a. Bentuk, Ukuran dan Jumlah Unit Pengamatan... 42

b. Metode Pengamatan Jenis... 42

c. Metode Pengambilan Data... 42

1). Inventarisasi Vegetasi... 42

2). Pengamatan Komponen Fisik Habitat... 44

3). Pembuatan Herbarium... 44

H. Metode Analisis Data... 44

1. Data Hasil Wawancara Etnobotani... 44

2. Pola Sebaran Spasial Sengkubak... 45

3. Asosiasi Antar Dua Spesies... 46

4. Komposisi dan Dominasi Spesies.. ... 47

5. Keanekaragaman Vegetasi ... 48

a. Kekayaan Jenis ... 49

b. Keragaman Jenis... ... 49

c. Indeks Kemerataan ... 49

6. Kesamaan Komunitas... 50

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 51

A. Etnobotani Sengkubak ... 51

1. Persepsi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sengkubak... 51

a. Pemanfaatan Sebagai Penyedap Rasa Alami ... 51

b. Pemanfaatan Lain... 51

c. Bagian yang digunakan... 52

2. Budidaya Sengkubak ... 57

3. Jenis Sengkubak ... ... 59

a. Jenis Sengkubak Menurut Etnis Dayak Sintang... 59

b. Jenis Sengkubak Menurut Etnis Melayu Sintang... 63

B. Aspek Konservasi Sengkubak... 70

1. Kondisi Populasi Sengkubak... 70

a. Potensi dan Penyebaran Sengkubak... 70

b. Pola Sebaran SpasialSengkubak... 73

c. Asosiasi Antar Spesies ... 74

2. Kondisi Habitat Sengkubak... 76

a. Karakterisik Fisik Habitat... 76

b. Komposisi dan Dominasi Spesies Tumbuhan... 80

c. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Habitat Sengkubak... 89

d. Kesamaan Komunitas ... 93

3. Ancaman Kelestarian Sengkubak... 94

4. Implikasi Konservasi Sengkubak... 97

a. Meningkatkan Nilai Sengkubak... 97

b. Konservasi Insitu dan Eksitu... 99


(16)

iii

d. Meningkatkan Pengetahuan dalam Pembudidayaan Sengkubak 102 5. Pengelolaan Hutan oleh Etnis Dayak Sintang... 102 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 104 DAFTAR PUSTAKA ... 106 LAMPIRAN


(17)

iv

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Kategori keterancaman populasi

biota...

16 2 Posisi geografis setiap kecamatan di Kabupaten Sintang... 22 3 Luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang ... 23 4 Luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang menurut

topografinya...

24 5 Temperatur maksimum, minimum dan rata-rata tahunan di

Kabupaten Sintang tahun 2000-2004...

26 6 Jenis tanah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang... 27 7 Luas kawasan hutan di Kabupaten Sintang tahun 2005... 28 8 Jumlah penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Sintang menurut

jenis kelaminnya tahun 2005...

29 9 Kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk setiap kecamatan di

Kabupaten Sintang tahun 2005...

30 10 Kondisi sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Sintang

tahun 2005...

30 11 Kategori pengelompokkan vegetasi dan luas petak ukur... 43 12 Asosiasi spesies (kotingensi 2 x 2)... 46 13 Komposisi dan pemanfaatan P.cauliflora oleh masyarakat di

Kabupaten Sintang Kalimantan Barat ...

53 14 Penggunaan E. cochincnensis bagi pengobatan... 67 15 Penggunaan dan pengolahan sengkubak oleh etnis Melayu

Sintang...

68 16 Penggunaan S. elongatae oleh etnis Melayu Sintang... 69 17 Pengetahuan dan pengenalan etnis Dayak dan Melayu terhadap

sengkubak...

70 18 Kerapatan dan frekuensi sengkubak di formasi hutan sekunder

Kabupaten Sintang Kalimantan Barat...

72 19 Beberapa karakteristik botanis sengkubak di formasi hutan

sekunder Kabupaten Sintang Kalimantan Barat...

73 20 Nilai standarisasi Indeks Morishita penyebaran spasial

sengkubak...

75 21 Asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon dan

tiang...


(18)

v

No. Halaman

22 Beberapa karakteristik fisik sengkubak di formasi hutan sekunder Kabupaten Sintang Kalimantan Barat...

79 23 Lima spesies tumbuhan pada tingkat semai dengan INP tertinggi di

kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang...

82 24 Lima spesies tumbuhan pada tingkat pancang dengan INP tertinggi

di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang...

84 25 Lima spesies tumbuhan pada tingkat tiang dengan INP tertinggi di

kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang...

86 26 Lima spesies tumbuhan pada tingkat pohon dengan INP tertinggi

di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang...

88 27 Keanekaragaman spesies tumbuhan pada habitat sengkubak... 90 28 Indeks kesamaan komunitas pada habitat sengkubak (hutan

sekunder) di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat...

95 29 Kegunaan dan kandungan kimia genus Pycnarrhena lainnya... 99


(19)

vi

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Morfologi Pycnarrhena cauliflora dalam sketsa... 5 2 Lokasi penelitian empat kecamatan di Kabupaten Sintang ... 35 3 Kerangka pemikiran penelitian ... 38 4 Bentuk dan ukuran petak pengamatan inventarisasi vegetasi

dengan metode kombinasi jalur dengan garis berpetak...

43 5 Teras sengkubak yang sudah di simpan selama ± 10 tahun oleh

seorang warga Dusun Medang Kec. Dedai Kabupaten Sintang ... 54 6 Daun sengkubak diikat dalam kulit kayu lukai untuk penangkal

makhluk halus (kepercayaan sebagian etnis Dayak dan Melayu Sintang) ...

54

7 Bentuk akar sengkubak perempuan (P.cauliflora) ... 60 8 Bentuk daun sengkubak dengan permukaaan licin...

...

60 9 Buah sengkubak koleksi Herbarium Bogoriens LIPI Cibinong

Bogor ... 61 10 Anakan sengkubak (lokasi hutan pungkun Medang, Dedai) ... 62 11 Batang atau perpanjangan akar sengkubak tumbuh melilit

dipohon dan batang yang berada di dekat tempat tumbuhnya

... 62

12 Morfologi Galearia filiformis saat berbunga dan belum berbunga 63 13 Pucuk daun G. filiformis yang pucuk daunnya dimakan binatang

di hutan ...

63 14 Warna bagian belakang daun Excoecaria cochincchinensis ... 65 15 Morfologi sengkubak macan versi etnis Melayu Sintang

...

65 16 Sengkubak melilit disebuah batang pohon lokasi hutan karet

alam campuran Dusun Suak Kecamatan Sepauk Sintang

2007... 67 17 Sengkubak rebung lokasi desa Baning Kota Sintang ... 68 18 Hubungan diameter dengan jumlah individu sengkubak

...

72 19 Hubungan tinggi batang sengkubak dengan jumlah individunya

(ind/ha)... .


(20)

vii

No. Halaman

20 Jumlah individu sengkubak (ind/ha) berdasarkan ketinggian tempat... ...

77

21 Hubungan ketebalan serasah dengan jumlah individunya ... 78

22 Famili-famili dominan tingkat semai berdasarkan INP... 80

23 Famili-famili dominan tingkat pancang berdasarkan INP... 82

24 Famili-famili dominan tingkat tiang berdasarkan INP... 84

25 Famili-famili dominan tingkat semai berdasarkan INP... 86

28 Indeks keragaman spesies pada habitat sengkubak... 91

27 Indeks kekayaan spesies pada habitat sengkubak... 92 28 Indeks kemerataan spesies pada habitat sengkubak... 93


(21)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Daftar Nama Responden Sengkubak di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat...

110 2 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan

pohon di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang

114 3 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan

pohon di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang...

115

4 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pohon di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang...

116

5 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pohon di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang

117

6 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang

118 7 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan

tiang di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang...

119

8 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang...

120

9 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang

121 10 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan

pancang di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang...

122

11 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang...

123

12 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang...

124

13 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang...

125


(22)

ix

semai di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang

No. Halaman

15 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang...

127

16 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang...

128

17 Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang...

129

18 Perhitungan sebaran spasial

sengkubak...

130 19 Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain di hutan adat I

Dusun Sirang Kecamatan Sepauk Sintang... 131 20 Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain di hutan karet

alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk Sintang ...

134 21 Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain di hutan karet

alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk Sintang

... 137

22 Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai Sintang...


(23)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] merupakan salah satu golongan liana yang termasuk dalam famili Manispermaceae (Backer & Brink 1963). Spesies ini menjadi istimewa karena penggunaan sengkubak sebagai penyedap rasa alami sudah cukup dikenal di kalangan etnis Dayak dan Melayu Sintang. Ide penting tentang penyedap rasa alami yang berasal dari sengkubak merupakan alternatif yang perlu mendapat perhatian lebih besar, karena kandungan kimia sintetik dalam penyedap modern dapat mengganggu kesehatan manusia.

Sengkubak merupakan salah satu bentuk pemanfaatan yang khas terhadap suatu spesies tumbuhan yang dilakukan oleh etnis Melayu dan Dayak Sintang. Pengetahuan penggunaan sengkubak tersebut tumbuh dan berkembang dari pengalaman empiris yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan tradisional adalah salah satu kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya, karena merupakan sumber bagi pengembangan ide-ide alternatif di masa kini (Adimihardja 1996 dalam Hendra 2002). Sejalan dengan hal itu, menurut Soekarman dan Riswan (1992) pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya nabati juga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan sumber devisa baru bagi negara.

Sengkubak memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan selain sebagai penyedap rasa juga sebagai bahan obat alami. Hal ini karena marga Pycnarrhena lainnya yaitu P. ozantha diketahui mengandung 4 (empat) bisbenzylisoquinoline alkaloids yang dapat mengobati tumor (Loder 1972; Abouchacraet et al. 1987), P. novoguinensis mengandung magnoflorine (Verpoorte, et al. 1982), P. manillensis Vidal, tepung dari akarnya sebagai pengobat penyakit kolera (Philippine medical plants 2007), dan P. tumetacta daunnya diketahui mengandung protein tinggi, sekitar 6-7% (Hoe & Siong 1999). Oleh karena itu, manfaat sengkubak selain untuk penyedap rasa juga di duga mengandung bahan bioaktif yang bermanfaat bagi umat manusia.


(24)

Semakin terbukanya gaya hidup moderen dan tersedianya sumber-sumber alternatif lain, masyarakat lebih jarang menggunakan hasil tanamannya secara langsung. Oleh karena itu penelitian dan pengembangan pengetahuan etnobotani penting dilakukan sebelum spesies-spesies tersebut punah (Mackinnon et al. 2000). Menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, strategi yang digunakan untuk mewujudkan tujuan konservasi adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwaliar beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Memanfaatkan, mempelajari dan menyelamatkannya merupakan upaya-upaya dalam strategi konservasi (Wilson 1992). Upaya-upaya-upaya ini juga tergambar dalam budaya dan pengetahuan masyarakat lokal, seperti masyarakat Melayu dan Dayak di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat.

Berdasarkan hal tersebut, kajian ilmiah yang dapat menjelaskan bagaimana pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap spesies tumbuhan tersebut, maupun informasi mengenai kondisi populasi sengkubak di alam penting untuk dilakukan. Diharapkan informasi yang diperoleh dari kajian tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mendukung upaya pelestarian pemanfaatan dan pengembangannya di masa kini dan mendatang. Studi etnobotani dapat memberikan kontribusi yang besar dalam proses pengenalan sumber daya alam yang ada di suatu wilayah (Ndero & Tjitssen 2004).

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi aspek etnobotani sengkubak pada masyarakat di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat, meliputi bagaimana pemanfaatan dan pengetahuan tentang sengkubak.

2. Mengidentifikasi aspek konservasi sengkubak, terutama kondisi populasinya di alam meliputi potensi dan penyebarannya, sebaran spasialnya, asosiasinya, kondisi habitatnya di alam.


(25)

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukan penelitian adalah dapat memberikan data dan informasi yang berguna, dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pelestarian pemanfaatan sengkubak, terutama sebagai bahan penyedap rasa alami yang sehat, dan dapat menjadi dasar bagi pengembangan penelitian selanjutnya.


(26)

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bioekologi Sengkubak

1. Klasifikasi dan Morfologi

Sengkubak merupakan golongan liana yang termasuk dalam famili Menispermaceae, berdasarkan identifikasi jenis yang dilakukan, maka secara taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Backer & Brink 1963) :

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Ranunculales Famili : Menispermaceae Genus : Pycnarrhena

Spesies : Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.

Nama lokal : sengkubak, Dayak Siberuang, Sekujang, Desa, Ransa Kalimantan Barat, bekkai lan, Dayak Kenyah Kaltim (Uluk, et al. 2000), apak (P. tumetacta) Malaysia (Hoe & Siong 1999), ambal (P. manillensis) Philipina (Philippine Medical Plant 2007).

Secara umum Pycnarrhena memiliki bunga-bunga aksilar yang tumbuh di sepanjang tangkai berdaun (foliat) atau tangkai tak berdaun (defoliat), tumbuh teruntai atau bertangkai, atau muncul berdiri sendiri (secara reduksi). Pycnarrhena memiliki 6-9 daun kelopak (sepal), bagian luar yang berukuran sangat kecil, ukurannya kemudian akan meningkat dan daun-daun kelopak bagian dalam menutupinya.

Bunga Pycnarrhena memiliki 2-6 daun bunga, di Pulau Jawa 3 daun bunga, ukurannya lebih kecil dari daun kelopak bagian dalam, tumbuh menyebar, memiliki 2-12 benang sari (stamen). Di Pulau Jawa bunga Pycnarrhena memiliki 9 atau 12 benang sari, berkumpul dengan rapat; tersusun dari tangkai-tangkai sari (filament), kepala sari (anther) sebagian meresap ke puncak filament. Bunga betina terdiri dari 2-4 indung telur (ovary), berbulu atau glabrous (tanpa bulu);


(28)

5 kepala putik (stigma); terdiri dari 1-4 drupelet, berada di atas bakal buah (sessile) atau stipitate (bertangkai), dan berbulu atau glabrous. Inti dari kepala putik terletak di bagian perut, dinding pyrene yang dimiliki sangat tipis; condylus berukuran kecil atau bahkan tidak ada; tidak memiliki endosperm, cotyledons berukuran besar, berdaging; dan radicle berukuran sangat kecil. Pembungaan yang berkembang menjadi buah muncul dari batang disebut cauliflora. Sketsa morfologi Pycnarrhena cauliflora disajikan pada Gambar 1.


(29)

6

P. cauliflora secara morfologi memiliki daun-daun yang tidak berlapis dengan bentuk lebih panjang, dan daun mudanya berserat pada tangkai. Serat yang dimaksud adalah cabang dari tulang daun atau tulang daun yang kecil. Petiole menebal pada kedua ujungnya. Serta secara spesifik P. cauliflora mempunyai daun-daun pada tangkai yang berbunga dengan panjang 7,5-21 cm hingga 3-9,5 cm, daun yang lebih besar kebanyakan lebih panjang dari 12,5 cm, matang pada bagian bawah tulang daun, serta memiliki bulu yang pendek atau glabrous, berbentuk oval-persegi tak beraturan, dengan dasar tumpul atau membulat, meruncing, lancip memanjang, lancip atau tumpul, pada kedua sisi yang sama dari tulang daun dengan 5-12 serat lateral, mengkilap pada kedua permukaannya. Selain itu, pembuluh-pembuluhnya secara terpisah berbeda dengan jelas menonjol di bagian bawah; memiliki petiole 1,5-6 cm, yang berbulu pendek dan halus.

Pada bunga jantan (hanya diketahui tunas muda), berbunga banyak dalam untaian; pada tangkai tumbuh satu bunga, benang sari 9 buah, pada bunga betina berbunga 3-12 untaian, panjang pedicel 4-8 mm; daun kelopak bagian dalam memiliki lebar 2-2,5 mm; indung telur dan drupelet matang secara bersamaan. Tangkai muda berbulu pendek halus, secara perlahan, kayu putih (Backer & Brink 1963).

P. cauliflora memiliki ”body climber”, biasanya hidup diantara pohon-pohon besar. Beberapa genus lainnya yang termasuk famili Menispermaceae sebagian besar merupakan golongan liana. P. cauliflora juga mempunyai ranting yang zigzag, dan permukaan ranting berbulu halus rapat. Internot (jarak antar daun) adalah 1–2 cm, bentuk daun ellips, pangkal daun lancip, tepi daun rata, ujung daun luncip (accuminate), panjang ujung daun (accumane) atau ekor 2 cm, serta urat daun nyata sebanyak 6–8 pasang. Urat daun melengkung sebelum mencapai tepi (anastomosting).

Selanjutnya dapat dijelaskan pula permukaan daun bagian atas licin, mengkilat, sedang permukaan bawah berbulu pada urat daun (direticulet), ganggang daun adalah bipulpined atau tegak tidak melengkung (terjadi dua kali penebalan), dan tangkai daun berbenjol dua sekitar 3 – 4 cm (Backer & Brink 1963).


(30)

7 2. Ekologi dan Penyebaran

Penyebaran dan ekologi P. cauliflora sulit untuk di uraikan karena sangat minimnya literatur yang mendukung. Berdasarkan studi pustaka dengan menelusuri spesimen yang dikolekasi di Herbarium LIPI Cibinong (2007), diketahui bahwa P. cauliflora ditemukan di Kalimantan Barat pada ketinggian 100-150 m di habitat dataran rendah dan perbukitan, di Kalimantan Selatan pada habitat lembah antara dua perbukitan di Muara Uya pada ketingian 100 m dan 90 m. Pulau Panaitan (Prinsene Island) pada habitat hutan dengan dataran rendah (koleksi tahun 1951). Di Pantai Ngliyep Selatan Malang, Pantai Popoh Selatan di Tulung Agung (koleksi tahun 1914), di Cisampora Wangun Lengkong pada ketinggian 700 m dpl (tahun 1976), selain itu ditemukan pula di Sumba, Langgaliru, Sumba Barat pada ketinggian 600 m dpl pada habitat hutan sekunder.

Pada penelusuran spesimen yang dikoleksi tersebut diketahui P. cauliflora dapat hidup pada ketinggian 80-700 m dpl. Pada habitat dataran rendah, perbukitan dan pada habitat hutan sekunder. Penyebaran anggota marga pycnarrhena lainnya ditemukan di Papua New Guinea (P. ozantha), Himalaya dan Jawa (P. marocarpa), Philipina Jawa, Sulawesi (P. calocarpa), Philipina (P. manillensis Vidal), Borneo, (P. borneensis), Himalaya (P. longiflora), dan Timor-timor (P. longifolia) (Data LIPI Cibinong 2007).

B. Penggunaan Sengkubak

Pengetahuan mengenai penggunaan sengkubak sebagai bumbu atau penyedap telah lama dimiliki oleh masyarakat pedalaman Kalimantan baik pada suku dayak maupun melayu. Pengetahuan penggunaan sengkubak sebagai ”micin” oleh masyarakat pedalaman ini sebagian telah diketahui oleh peneliti yang pernah berkunjung ke daerah-daerah hulu Kalimantan. Selain itu pada masyarakat Dayak di sekiatar Taman Nasional Kayan Mentarang dihimpun data bahwa mereka juga menggunakan tumbuhan tersebut sebagai bahan bumbu dan diketahui bahwa bumbu yang berasal dari hutan liar berkisar antara 70 % sampai 73 %. Disebutkan pula bahwa Tumbuhan paling umum yang digunakan sebagai bumbu dari hutan liar adalah bekkai lan (P. cauliflora) (Uluk et al. 2001). Adanya kesamaan penggunaan terhadap spesies P. cauliflora sebagai penyedap masakan ternyata


(31)

8 juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat suku Melayu maupun Dayak yang berdiam diwilayah hulu Kalimantan Barat (Sanggau, Sintang, Sekadau, Putussibau), walaupun belum ada penelitian lebih lanjut tentang kesamaan penggunaan P. cauliflora ini.

C. Etnobotani

1. Definisi Etnobotani

Istilah etnobotani untuk pertama kalinya diusulkan oleh Harsberger pada tahun 1895 dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa yang masih primitif atau terbelakang. Etnobotani berasal dari kata ethnos dan botany. Ethnos berasal dari bahasa Yunani berarti bangsa dan botany artinya tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya Powers (1874) dalam Maheshwari (1990) telah menggunakan istilah ”Aboriginal botany” dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan penduduk asli untuk bahan obat, pangan, sandang dan sebagainya. Istilah etnobotani untuk pertama kali di adopsi oleh Fewkes (1896), istilah tersebut digunakan dalam pustaka dan publikasi antropologi dan menitikberatkan pada nama lokal tumbuhan dan etimologinya (Soekarman dan Riswan 1992).

Sejalan dengan perkembangan keilmuan, etnobotani kemudian diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh perkumpulan suku primitif dan berguna untuk mengembangkan perkumpulan tersebut. Batasan ini merupakan bantuan untuk menguraikan posisi budaya suatu etnik berdasarkan kegunaan tumbuh-tumbuhan, menggambarkan penyebarannya dimasa lampau dan perjalanan-perjalanan perdagangannya serta dengan diketahui manfaatnya maka akan menimbulkann pikiran negatif untuk memindahkan tumbuhan tersebut dari tempat liarnya ke lingkungan yang masih kosong (Waluyo 2002).

Istilah etnobotani juga digunakan untuk menjelaskan interaksi masyarakat setempat (etno atau etnis) dengan lingkungan hidupnya, khususnya dengan tumbuh-tumbuhan. Studi etnobotani ini dapat membantu masyarakat dalam mencatat atau merekam kearifan lokal yang mereka miliki selama ini, untuk masa


(32)

9 mendatang. Sehingga studi etnobotani dapat memberi kontribusi yang besar dalam proses pengenalan sumber alam hidup yang ada di suatu wilayah melalui kegiatan pengumpulan kearifan lokal dari dan bersama masyarakat setempat (Ndero & Thijssen 2004 ).

Etnobotani yang dimaksud dalam penelitian ini menggunakan definisi yang dinyatakan oleh Purwanto (1999) yaitu etnobotani didefinisikan sebagai suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik secara menyeluruh antara masyarakat lokal dengan alam lingkungannya meliputi sistem pengetahuan tentang sumber daya alam tumbuhan.

2. Ruang Lingkup Etnobotani

Pengkajian etnobotani dibatasi oleh ruang lingkup bahwa etnobotani adalah cabang ilmu pengetahuan yang mendalami tentang persepsi dan konsepsi masyarakat tentang sumber daya nabati di lingkungannya. Dalam hal ini kajian di arahkan dalam upaya untuk mempelajari kelompok masyarakat dalam mengatur sistem pengatuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkungannya, yang digunakan tidak saja untuk keperluan ekonomi tetapi juga untuk kepentingan spiritual dan nilai budaya lainnya. Pemanfaatan yang dimaksud di sini adalah pemanfaatan baik sebagai bahan obat, sumber pangan, dan sumber kebutuhan hidup manusia lainnya. Disiplin ilmu lain yang terkait dalam penelitian etnobotani adalah antara lain anthropologi, sejarah, pertanian, ekologi, kehutanan, geografi tumbuhan (Sudarsono & Waluyo 1992).

3. Kajian Etnobotani di Indonesia

Kedudukan etnobotani saat ini di Indonesia telah mendapatkan perhatian dan porsi yang layak seperti halnya ilmu-ilmu lainnya di mata para pakar, terutama botani. Hal ini merupakan suatu perkembangan yang baik, para ahli menyadari bahwa banyak sumber daya nabati telah punah sebelum mereka sempat meneliti. Demikian halnya dengan pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat yang masih terbelakang atau dianggap primitif sudah hilang, sebelum informasi pengetahuan tersebut dicatat atau diketahui oleh peneliti. Karena pengetahuan ini sifatnya lisan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi lainnya.


(33)

10 Kemajuan teknologi telah menimbulkan akses terhadap lingkungan dan dampak negatif terhadap kesehatan, misalnya obat-obatan atau pewarna makanan sintetis. Akhir-akhir ini, di Indonesia timbul gerakan untuk kembali alam atau back to nature, diantaranya berupaya memanfaatkan kembali sumber daya nabati alami, seperti penggunaan obat tradisional, kosmetik, pewarna yang dibuat dari bahan alami. Hal yang terpenting adalah bagaimana pengetahuan tradisional dapat diselamatkan, untuk dikaji kembali.

Pusat dari pengetahuan tradisional mengenai pemanfaatan tumbuhan ini umumnya dijumpai pada negara-negara berkembang dan umumnya terletak pada kawasan tropika, baik di Amerika, Afrika maupun Asia. Di negara-negara ini pula dikatakan merupakan sumber dari pengetahuan tradisional serta sumber daya hayati yang meliputi tumbuhan, hewan dan jasad renik terdapat.

Penelitian etnobotani di Indonesia, telah banyak dilakukan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu, tetapi dikatakan bahwa penelitan tersebut hanya sebagai sampingan saja. Hal tersebut menyebabkan data dan informasi mengenai etnobotani tersebut diberbagai publikasi dari berbagai disiplin ilmu, misalnya ahli botani lebih menitikberatkan pada pemanfaatan tumbuhannya sedangkan ahli antropologi lebih menitikberatkan pada manusianya (Soekarman & Riswan 1992). Beberapa kajian etnobotani terhadap beberapa etnis di Indonesia yaitu etnobotani Pandanaceae dalam kehidupan etnis Arfak, Irian Jaya (Sadsoeitoeboen 1999), etnobotani pinang yaki (Areca vestiaria) oleh etnis Bolaang Mongondow, Sulawesi (Simbala 2006), dan etnobotani benzoin (Stryrax spp.) pada etnis batak di Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Purwanto et al. 2003).

D. Kearifan Tradisional Masyarakat

Bangsa Indonesia yang mendiami diseluruh pulau-pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke terdiri dari suku-suku yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan adat istiadat yang berkembang dan diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kehidupan suku-suku tersebut terutama yang mempunyai interaksi dekat dengan sumberdaya dan lingkungannya secara turun-temurun pula mewarisi pola hidup tradisional yang dijalani oleh leluruhnya. Masyarakat setempat yang hidup secara tradisional tersebut dikenal dengan istilah-istilah tribal people (masyarakat suku), indigenous people (orang


(34)

11 asli), native people (penduduk asli) atau tradisional people (masyarakat tradisional (Dasman 1991 dalam Primack et al. 1998).

Indonesia diperkirakan dihuni oleh 100 – 150 famili tumbuhan yang meliputi 25.000-30.000 spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di dalam kawasan hutan alam. Diperkirakan separuh dari jumlah tersebut merupakan tumbuhan berkayu dan buah-buahan (Meijer 1974) dan masih banyak sekali yang belum diketahui manfaatnya (Khazahara 1986).

Telah lama masyarakat tradisional hidup secara berdampingan dengan keanekaraman hayati atau sumber daya alam yang ada di sekelilingnya. Di sebagian besar tempat, ternyata mereka tidak melakukan perusakan besar-besaran terhadap sumber daya alam yang ada di sekelilingnya tersebut (Primack et al. 1998). Masyarakat tradisional telah berhasil memanfaatkan metoda-metoda irigasi yang bersifat inovatif, misalnya dengan melakukan panen yang bervariasi. Metode tersebut telah memungkinkan kehidupan manusia dengan populasi yang tinggi tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan maupun komunitas biologis di sekelilingnya. Namun, saat ini masyarakat tradisional sedang dihadapkan pada perubahan lingkungan secara besar-besaran akibat meningkatnya interaksi masyarakat dengan dunia luar, yang seringkali timbul perbedaan tajam antara generasi tua dan muda.

Banyak masyarakat tradisional yang mempunyai etika konservasi yang kuat, walaupun etika tersebut lebih halus dan tersamar dibandingkan keyakinan konservasi dunia Barat. Etika konservasi telah memberikan pengaruh pada perilaku sehari-hari (Gomez-Pompa & Kaus 1992; Posey 1992 dalam Primack et al. 1998). Salah satu contoh yang baik dari penerapan pandangan konservasi adalah pada suku Indian Huastec, di timur laut Meksiko. Mereka memelihara lahan pertanian secara permanen, juga memelihara hutan yang terletak dibukit-bukit, dan daerah aliran sungai, berdasarkan konservasi dikenal dengan istilah lokal te’lom. Di kawasan hutan tersebut terdapat 300 species yang merupakan sumber makanan, kayu dan berbagai produk bermanfaat lainnya. Mereka melakukan modifikasi pada komposisi species di hutan untuk mendukung berbagai species bermanfaat dengan cara menanam dan memangkas gulma secara berkala (Alcorn 1984 dalam Primack et al. 1998).


(35)

12 E. Hubungan Budaya Dayak dengan Hutan

Kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dengan agama atau sistem kepercayaan/believe system. Sistem kepercayaan/agama bagi kelompok etnik Dayak hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial ekonomi sehari-hari. Kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan, kegiatan sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari dibimbing, didukung dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan adat istiadat, tetapi juga dengan nilai-nilai budaya (Algadrie 1994 dalam Florus et al. 1994). Hubungan etnis Dayak dengan hutan dengan segala isinya merupakan hubungan timbal balik, di satu pihak alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya etnis Dayak, di lain pihak etnis Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya. Pola kehidupan etnis Dayak tradisional masih sangat tergantung pada sumber alam, mata pencahariannya terbatas pada kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh alam (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994).

Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan. Hutan digunakan sebagai tempat berburu, untuk berladang pohon-pohon di hutan di buka, untuk mengusahakan tanaman perkebunan, etnis Dayak cenderung memilih tanaman hutan seperti karet, rotan, tengkawang dan sejenisnya. Kecenderungan seperti itu merupakan suatu refleksi dari hubungan yang akrab yang telah berlangsung berabad-abad dengan hutan dan segala isinya. Hutan merupakan basis utama dari kehidupan, sosial, ekonomi, budaya dan politik kelompok etnik Dayak (Florus et al. 1994).

Pengolahan lahan tradisional masyarakat Dayak didasarkan pada sistem perladangan daur ulang untuk masa putaran tertentu. Masa putaran 3 sampai 4 tahun untuk tana’ ujung dan paya’; 5 sampai 6 tahun untuk tana’ rambur dan kereng; dan 10-15 tahun untuk tana’ toan (hutan sekunder).

Kultur material etnis Dayak juga dipengaruhi dan berorientasi pada hutan, rumah panjang yang masih asli di buat seluruhnya dari kayu. Tiang, lantai, dinding, atap, bahkan pengikat semuanya diambil dari hutan. Peralatan transportasi sungai berupa sampan-sampan kecil biasanya dibuat dengan teknologi sederhana yaitu dengan mengeruk batang pohon. Peralatan kerja dan senjata


(36)

13 seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, talabang (perisai), tengkalang dan sumpit sebagian bahannya terbuat dari bahan-bahan yang diambil dari hutan (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994). Demikian pula dengan kebudayaan non material orang Dayak banyak sekali berhubungan dengan hutan. Sebagai contoh pohon-pohon besar atau spesies kayu tertentu dipandang sebagai perlambang kekuatan atau mistik. Hal tersebut menggambarkan bahwa kehidupan tradisional dan budaya Dayak sulit dipisahkan dari sumber daya hutan.

F. Hubungan Budaya Melayu dengan Hutan

Etnis Melayu yang mendiami wilayah pedalaman Sintang merupakan pengelola hutan yang gigih, hutan belantara yang begitu tebal bertukar menjadi kampung dan ladang. Tradisi mengelola hutan untuk kepentingan manusia tidak dapat dipisahkan karena hutan mempunyai kaitan yang erat dengan kepentingan manusia selama berada di dalam hutan.

Pada masa dahulu masyarakat Melayu menganggap bahwa hutan mempunyai semangat yang keras (nuansa magis sangat tinggi). Hutan selain di huni oleh binatang buas, hutan juga di huni berbagai jenis jembalang (makhluk halus), yang dapat menyebabkan bencana pada manusia. Lantaran kepercayaan tersebut, masyarakat Melayu beranggapan perlu mengadakan upacara khas bila hendak mengambil rotan, damar, kayu, buluh, akar kayu dan sebagainya atau untuk membuka lahan baru. Adat tersebut dilaksanakan demi menjamin keselamatan seseorang (www.members.tripod.com/niah_abdullah/tamadun/new 2007).

Sebelum datangnya Islam di kehidupan etnis Melayu Sintang, masyarakat memiliki kepercayaan animisme. Namun sejak Islam memasuki kehidupan masyarakat Melayu, Melayu selalu diidentikkan dengan Islam. Masyarakat Melayu juga mempercayai kelebihan sesuatu hari dalam melakukan upacara atau acara-acara yang penting dalam hidup. Bulan atau hari yang dipilih didasarkan pada kalender Hijriah. Hari yang kurang baik untuk masuk hutan adalah hari Selasa akhir bulan Melayu. Hari yang baik untuk melakukan upacara adalah hari Rabu, Kamis, dan Jumat. Hari-hari tersebut dipercayai mendatangkan manfaat yang lebih. Selain itu, dalam budaya Melayu terdapat sistem kekerabatan yang bersifat bilateral, masyarakat juga percaya akan petuah-petuah yang di sampaikan


(37)

14 oleh orang tua. Petuah yang sangat dipercaya oleh masyarakat Melayu bila memasuki hutan, yaitu pantang bagi orang Melayu untuk bersiul semasa dalam perjalanan, berbicara dengan keras, dan berpisah dari rombongan saat memasuki hutan.

Etnis Melayu di Kabupaten Sintang saat ini terkonsentrasi pada pemukiman-pemukiman yang berada di sepanjang tepian Sungai Kapuas. Pusat Kerajaan Melayu Sintang yaitu Kerajaan Al Mukaromah berada di tepian Sungai Kapuas Kampung Raja di Kecamatan Sintang.

G. Konservasi Tumbuhan

1. Penyebab Kelangkaan dan Kepunahan Tumbuhan

Tumbuh-tumbuhan, hewan, mikroorganisme di bumi yang saling berintegrasi dengan lingkungan fisik di ekosistem merupakan landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan. Sumber biota yang kaya ini mampu mendukung kehidupan dan aspirasi manusia, dan memungkinkan manusia beradaptasi dengan perubahan akan kebutuhan dan lingkungan. Hilangnya keanekaragaman hayati secara terus-menerus merupakan ukuran adanya ketimpangan antara kebutuhan dan keinginan manusia dan daya dukung alam.

Laju berkurangnya keanekaragaman hayati pada masa kini, diperkirakan sama cepatnya dengan pada masa kepunahan dinosaurus, yaitu sekitar 65 juta tahun yang lalu. Tingkat kepunahan yang paling parah diperkirakan terdapat di hutan tropis, sekitar 10 juta spesies yang hidup dibumi berdasarkan perkiraan terbaik antara 50% hingga 90% dari jumlah tersebut diperkirakan berada di hutan tropis. Dengan kecepatan pembuakaan hutan yang ada, maka antara 5% sampai 10% jenis hutan tropis mungkin akan punah dalam waktu 30 tahun mendatang. Hal ini juga berarti kita akan mengalami kehilangan spesies tumbuhan tropis yang beragam jenisnya dan mempunyai aneka keunikan dan kegunaan bagi manusia (UNEP 1995).

Jika diadopsi mekanisme hilangnya keanekaragaman hayati bagi keberadaan spesies tumbuhan yang dimiliki hutan tropis, maka punahnya keanekaragaman hayati termasuk spesies tumbuhan diantaranya diakibatkan baik oleh faktor penyebab langsung maupun tidak langsung. Mekanisme langsung dari kepunahan


(38)

15 tersebut meliputi hilangnya dan terkotak-kotaknya habitat akibat fragmentasi habitat, invasi jenis baru yang diintroduksi, pemanfaatan sumber daya hayati yang berlebihan apalagi tanpa diikuti tindakan budidaya, polusi, perubahan iklim global, serta industri pertanian dan kehutanan. Pemiskinan biota tersebut hampir merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari sebagai akibat cara manusia menggunakan dan menyalahgunakan lingkungan dalam usahanya untuk menjadi spesies yang dominan.

Penyebab utama hilangnya dan punahnya spesies-spesies tumbuhan yang ada berasal dari populasi manusia yang berkembang dengan cepat, dari cara manusia yang dengan cepat memperluas wilayah ekologisnya dan memanfaatkan sumber daya hayati dari bumi yang lebih banyak lagi. Konsumsi sumber daya alam yang berlebihan tanpa berusaha memperbaharuinya, pengurangan yang terus-menerus terhadap jenis pertanian dan perikanan komersil, sistem ekonomi yang gagal dalam meletakkan nilai yang tidak tepat bagi lingkungan, lemahnya sistem hukum maupun institusional.

Menurut UNEP (1995), penyebab utama kepunahan keanakaragaman hayati yang juga penyebab kepunahan di tingkat spesies tumbuhan antara lain adalah : (1). Adanya peningkatan laju populasi manusia dan konsumsi sumber daya alam

yang tidak berkelanjutan. Bersamaan dengan meningkatnya populasi manusia yang memiliki laju dan besarnya pertumbuhan yang cukup tinggi, dan berkembangnya teknologi baru, maka penggunaan sumber daya alam oleh umat manusia akan turut meningkat. Penggunaan sumber daya alam secara berlebihan termasuk terhadap spesies tumbuhan, tanpa didukung oleh upaya pengembangan spesies tumbuhan tersebut maka akan menyebabkan kepunahan bagi spesies tumbuhan tersebut.

(2). Penyempitan spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. Pertukarangan ekonomi global yang berdasarkan prinsip persaingan dan spesialisasi telah meningkatkan keseragaman dan saling ketergantungan. Salah satu contohnya yaitu produsen pertanian banyak yang mengkhususkan diri untuk memperdagangkan spesies tanaman yang relatif sedikit dan laku untuk diperdagangkan dipasaran. Bersamaan berkurangnya jenis tanaman, bakteri pengikat nitrogen, penyerbuk, penyebar


(39)

16 benih dan jenis lain yang berevolusi selama berabad-abad dalam sistem pertanian tradisional ikut musnah, kehadiran mereka diganti oleh pupuk, pestisida, dan varietas lain yang dapat menghasilkan panen yang baik demi peningkatan produksi, keuntungan jangka pendek akan didapatkan. Penyempitan spektrum pada produk pertanian tersebut salah satunya merupakan penyebab berkurangnya keanekaragaman spesies tumbuhan yang lama kelamaan dapat menyebabkan terjadinya kepunahan ditingkat spesies tumbuhan.

(3). Sistem kebijakan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan kepada lingkungan dan sumber dayanya. Perubahan yang dilakukan terhadap sistem alam, seperti perubahan hutan dan rawa menjadi lahan pertanian dan peternakan secara biologis dan ekonomis seringkali tidak efisien, karena sering tidak mempertimbangkan apakah tindakan tersebut akan merusak atau tidak, dan sebagian lainnya karena habiatat alami umumnya tidak dihargai secara ekonomis.

(4). Kurangnya pengetahuan dan penerapannya. Ketidaktahuan ini terjadi akibat erosi kebudayaan tradisional yang mempunyai pemahaman tersendiri mengenai alam, bahkan walaupun pengetahuan itu ada seringkali tidak mengalir secara efisien kepada pengambil keputusan, sehingga menyebabkan gagalnya pengembangan kebijakan yang mencerminkan nilai ilmiah, ekonomis dan sosial.

(5). Sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi

Kriteria keterancaman (kelangkaan) spesies dilihat berdasarkan kategori keterancaman biota (IUCN 1994) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kategori keterancaman populasi biota

Kriteria Kritis Genting Rawan

Penurunan tajam > 80% selama 10 tahun/3 generasi

> 50% selama 10 tahun/ 3 generasi

> 20% selama 10 tahun/ 3 generasi Daerah sebaran

yang sempit

Luas daerah sebaran < 100km2 atau luas daerah yang ditempati < 10 km2

Luas daerah sebaran < 500 km2 atau luas daerah yang ditempati < 500 km2

Luas daerah sebaran < 20.000 km2 atau luas daerah yang ditempati < 2000 km2


(40)

17 Tabel 1 Lanjutan

Kriteria Kritis Genting Rawan

Populasi kecil < 250 individu dewasa

< 2500 individu dewasa

< 10.000 individu dewasa

Populasi sangat kecil

< 50 individu dewasa

< 250 individu dewasa

< 10.000 individu dewasa <100 km2/ <5 lokasi

Kemungkinan punah

Peluang punah > 50% selama 5 tahun

Peluang punah > 20% selama 20 tahun

Peluang punah > 10% selama 100 tahun

Sumber : IUCN (1994)

2. Strategi Konservasi Tumbuhan

Melakukan konservasi tumbuhan tentunya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan konservasi sumber daya alam hayati secara keseluruhan. Konservasi sumber daya alam hayati adalah sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya senantiasa memperhitungkan kelangsungan persediannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan dilakukannya konservasi tersebut adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia (Dephut 1990).

Menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka strategi yang digunakan untuk mewujudkan tujuan konservasi adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

a. Perlindungan system penyangga kehidupan.

Dalam melakukan cara pemanfaatan wilayah perlindungan dan system penyangga hendaknya senantiasa memperhatikan kelangsungan dan fungsi perlindungan di wilayah tersebut.

b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar beserta ekosistemnya.


(41)

18 Kegiatan pengawetan dapat dilakukan melalui dua macam kegiatan yaitu melalui konservasi secara insitu dan konservasi eksitu. Secara Insitu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan di dalam habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk identifikasi, inventarisasi, pemantauan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian dan pengembangan (Dephutbun 1999a). Konservasi eksitu merupakan upaya pengawetan jenis di luar kawasan yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa liar. Tempat yang cocok untuk melakukan kegiatan tersebut misalnya di kebun binatang, kebun raya, arboretum, dan taman safari. Dan kegiatan konservasi eksitu dilakukan untuk menghindari adanya kepunahan suatu jenis.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian,pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Dalam pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam hendaknya senantiasa tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan, dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar harus selalu memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, keanekaragaman jenis tumbuhan, dan satwa liar tersebut. Pemanfaatannya dapat dilakukan dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman dan obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan (Dephutbun 1999b).

Menurut Willson (1992), ada tiga unsur pokok yang dapat dilakukan sebagai strategi pelestarian keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya strategi untuk melakukan konservasi terhadap tumbuhan adalah menyelamatkan keanekaragaman hayati yang ada, mempelajarinya dan menggunakannya secara berkelanjutan dan seimbang. Dalam hal mempelajari, berarti mendokumentasikan pengetahuan yang diperoleh dari apa yang dipelajari tentang suatu spesies


(42)

19 tumbuhan misalnya, dan memanfatkan pengetahuan tersebut untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

Strategi konservasi sumber daya alam di era pelaksanaan otonomi daerah saat ini, dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar kawasan dengan membina perilaku produktif yang berwawasan lingkungan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sumber daya alam tersebut, hal tersebut dapat dilakukan dengan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan (Sudarmadji 2002).

3. Permasalahan Konservasi Tumbuhan

Hingga saat ini, spesies tumbuhan hutan tropika banyak memberikan kontribusi terhadap kebutuhan manusia salah satunya terhadap kesehatan. Sebagian besar bahan baku tumbuhan untuk keperluan tersebut merupakan hasil panenan dari alam, di lain pihak kebutuhan akan bahan baku tersebut terus-menerus meningkat. Apabila upaya pelestarian tidak dilakukan, dikhawatirkan akan terjadi kekurangan suplai bahan baku dan bahkan yang lebih parah adalah akan terjadi pemanenan berlebihan yang berakibat pada kepunahan spesies tumbuhan tertentu.

Penelitian dan informasi mengenai potensi, penyebaran, bioekologi dan teknik penangkaran tumbuhan secara umum dan tumbuhan obat khususnya masih sangat terbatas. Di lain pihak publikasi dan informasi mengenai hal tersebut sangat diperlukan guna mendasari upaya pelestarian pemanfaatan dan pengembangan usaha pemanfaatan tumbuhan obat khususnya melalui budidaya jenis. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran lembaga ilmiah sangat diperlukan dan perlu ditingkatkan. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai keperluan manusia perlu diimbangi dengan upaya konservasnya, baik secara insitu maupun eksitu, agar tidak terjadi penurunan populasi dan keanekaragamannya (Zuhud & Haryanto 1991).

Ancaman kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan, terutama tumbuhan obat, lebih dikarenakan sebagian besar dari tumbuhan obat merupakan tumbuhan liar yang hidup di alam. Heyne (1950) dalam Zuhud dan Haryanto (1991), mengidentifikasi sebanyak 1040 spesies tumbuhan obat/jamu di Indonesia sebagian besar berasal dari tumbuhan berbiji, yang sebagian besar merupakan


(43)

20 tumbuhan liar yang hidup di alam. Permasalah berikutnya, bahwa bududaya untuk jenis-jenis tersebut sebagian besar juga belum diketahui tekniknya dan belum dilakukan budidaya, serta masih dipungut dari alam. Apabila laju pemungutan langsung dari alam lebih cepat dari laju kemampuan alam untuk memulihkan populasinya, maka akan kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan tersbeut tidak dapat dielakkan.

Permasalahan dalam konservasi tumbuhan secara umum, dan tumbuhan obat khususnya adalah masalah budidaya tumbuhannya. Hingga saat ini belum menggairahkan petani, disebabkan kurangnya informasi dan publikasi hasil penelitian mengenai teknik budidaya serta belum adanya sistem pemasaran hasil yang mantap. Selain itu penelitian sebagai upaya memperoleh data dasar yang diperlukan bagi pelestarian pemanfaatan tumbuhan potensial mulai dari penelitian bioekologi hingga teknik budidayanya dan eksplorasi bahan aktif yang berguna belum dilakukan secara intensif. Salah satu perusahaan farmasi menyatakan bahwa penapisan (screening) tumbuhan potensial untuk memperoleh senyawa yang berguna sangat mahal dan laju keberhasilannya rendah. Untuk mengatasi hal tersebut maka kegiatan harus dipusatkan dan pada umumnya screening tumbuhan potensial banyak dilakukan di luar negeri walaupun bahan tumbuhannya berasal dari Indonesia (Zuhud & Haryanto 1991).

Keadaan yang dikemukakan di atas lebih memberikan gambaran mengenai belum terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat petani dengan perusahaan asing yang memegang monopoli harga bahan baku dan produknya. Selain itu budidaya tumbuhan obat dalam skala ekonomi belum menjadi bagian kebudayaan dan kelembagaan para petani, khususnya di Indonesia.


(44)

III. KEADAAN UMUM LOKASI KAJIAN

A. Sejarah Kabupaten Sintang

Daerah Sintang pada tahun 1936 pernah berada dalam kekuasaan pemerintahan Belanda, merupakan lanschop di bawah naungan pemerintahan Gouverment. Daerah lanschop ini terbagi menjadi 4 (empat) onderrafdeling yang dipimpin oleh seorang controleur atau gesagkekber, yaitu :

(1). Onderafdeling Sintang, berkedudukan di Sintang. (2). Onderafdeling Melawi, berkedudukan di Nanga Pinoh. (3). Onderafdeling Semitau, berkedudukan di Semitau.

(4). Onderafdeling Boeven Kapuas, berkedudukan di Putussibau.

Sedangkan daerah kerajaan Sintang yang didirikan oleh Demang Irawan (Jubair I) dijadikan daerah swapraja Sintang dan kerajaan Tanah Pinoh dijadikan neo swapraja Tanah Pinoh. Pemerintahan Lanschop ini berakhir pada tahun 1942 dan kemudian tampuk pemerintahan di ambil alih oleh pemerintahan Jepang.

Pada masa pemerintahan Jepang, struktur pemerintahan yang berlaku tidak mengalami perubahan hanya sebutan wilayah kepala pemerintahan yang disesuaikan dengan bahasa negara yang memerintah ketika itu. Kepala negara disebut Kenkarikan (semacam bupati), sedangkan wakilnya disebut Bunkenkari-kan,. disetiap kecamatan diangkat Gunco (Kepala Daerah).

Setelah adanya pengakuan kedaulatan dari pihak Belanda kepada pihak Indonesia, kekuasaan pemerintahan Belanda yang disebut Afdeling Sintang diganti dengan Kabupaten Sintang, onderafdeling diganti dengan kewedanan, distric diganti dengan kecamatan. Untuk menetralisir pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1953, UU No. 25 Tahun 1956 dan UU No. 4 Tahun 1956 tentang pembentukan DPRD dan DPR Peralihan, maka pada tanggal 27 Oktober 1956 dilaksanakan pelantikan keanggotaan DPRD Peralihan Kabupaten Sintang.

Sesuai dengan Keppres No. 6 Tahun 1959 tanggal 6 Nopember 1959, sebagai realisasi pelaksaan UU No. 3 Tahun 1953, maka daerah onderrafdeling dihimpun kembali dalam satu tangan Bupati Kepala Daerah yang dibantu oleh Badan pemerintahan Harian yang kemudian di atur lebih lanjut dalam UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.


(45)

22 Berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Sintang No. 14 Tahun 2000 pemerintah Kabupaten Sintang dibagi menjadi 21 pemerintahan kecamatan. Kemudian setelah adanya UU No. 43 Tahun 2003 (pemekaran wilayah kabupaten) tentang pembentukan Kabupaten Melawi, sehingga Kabupaten Sintang menjadi 14 pemerintahan kecamatan, 6 kelurahan, 183 desa dan 638 dusun (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang 2006) .

B. Letak dan Luas

1. Letak

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sintang, Kabupaten Sintang terletak di bagian timur Propinsi Kalimantan Barat atau diantara 1°05’ LU serta 0°46’ LS dan 110°50’ - 113°20’ BT, dilalui oleh garis khatulistiwa. Informasi tentang posisi geografis setiap kecamatan di Kabupaten Sintang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Posisi geografis setiap kecamatan di Kabupaten Sintang

Nama Kecamatan Letak Astronomis

Garis Lintang Garis Bujur

Serawai 0°02’ LS-0°44’ LS 112°20’ - 112°51’ BT

Ambalau 0°16’ LU-0°46’ LS 112°30’ - 113°20’ BT

Kayan Hulu 0°08’ LU-0°29’ LS 111°57’ - 113°30’ BT

Sepauk 0°14’ LU-0°31’ LS 110°52’ - 111°22’ BT

Tempunak 0°09’ LU-0°26’ LS 111°14’ - 111°24’ BT

Dedai 0°44’ LU-0°14’ LS 111°30’ - 111°39’ BT

Kayan Hilir 0°11’ LU-0°14’ LS 111°36’ - 112°15’ BT

Sintang 0°09’ LU-0°02’ LS 111°21’ - 111°36’ BT

Sei Tebelian 0°04’ LU-0°22’ LS 111°22’ - 111°36’ BT Kelam Permai 0°02’ LU-0°20’ LU 111°33’ - 111°56’ BT Binjai Hulu 0°06’ LU-0°18’ LU 111°20’ - 111°35’ BT Ketungau Hilir 0°13’ LU-0°37’ LU 111°13’ - 111°44’ BT Ketungau Tengah 0°26’ LU-1°02’ LU 111°12’ - 111°44’ BT Ketungau Hulu 0°41’ LU-1°05’ LS 110°50’ - 111°20’ BT Letak Keseluruhan 1°05’ LU-0°46’ LS 110°50’ - 113°20’ BT Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)

Secara administratif pemerintahan Kabupaten Sintang termasuk dalam wilayah propinsi Kalimantan Barat. Secara administratif, batas wilayah Kabupaten Sintang adalah :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Serawak (Malaysia Timur) dan Kapuas Hulu b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kalimantan Tengah dan Kabupaten Melawi


(46)

23 c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kalimantan Tengah

d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ketapang, Sanggau dan Sekadau. Jarak ibukota Kabupaten Sintang dengan ibukota Propinsi Kalimantan Barat mencapai 395 km atau jarak tempuh melalui jalan darat mencapai ± 9 jam, dan melalui Kabupaten Sanggau dan Sekadau. Kabupaten Sintang dengan luas 21.638 km2 merupakan kabupaten yang memiliki luas wilayah ketiga terbesar setelah Kabupaten Ketapang dan Kapuas Hulu.

2. Luas

Sebagian besar wilayah Kabupaten Sintang merupakan wilayah perbukitan dengan luas sektar 13.573,75 km2 atau 62,74% dari luas Kabupaten Sintang (21.635 km2). Kabupaten Sintang merupakan kabupaten terbesar ketiga setelah Kabupaten Kapuas Hulu dan Ketapang.

Kecamatan yang memiliki luas terbesar adalah Kecamatan Ambalau dengan luas 6.386,40 km2 dan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Sintang dengan luas wilayahnya sebesar 277,05 km2. Namun, Kecamatan Sintang merupakan ibokota Kabupatan dan pusat kegiatan pemerintahan daerah kabupaten berlangsung. Data tentang luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang secara rinci disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang Nama

Kecamatan

Luas area (km2)

Persentase terhadap luas kabupaten (%)

Serawai 2.127,50 9,83

Ambalau 6.386,40 29,52

Kayan Hulu 937,50 4,33

Sepauk 1.825,70 8,44

Tempunak 1.027,00 4,75

Dedai 694,10 3,21

Kayan Hilir 1.136,70 5,25

Sintang 277,05 1,28

Sei Tebelian 526,50 2,43

Kelam Permai 523,80 2,42

Binjai Hulu 307,65 1,42

Ketungau Hilir 1.544,50 7,14

Ketungau Tengah 2.182,40 10,09

Ketungau Hulu 2.138,20 9,88

Luas Keseluruhan 21.635,00 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)


(47)

24 Selain itu Kabupaten Sintang menempati posisi strategis baik dalam konteks nasional, regional dan internasional. Kabupaten Sintang berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur) serta berlanjut ke Brunei Darussalam. Kawasan ini akan menjadi gerbang keluar masuk barang dan orang (outlet) dari dan ke Sarawak maupun Brunei Darussalam melalui jalan darat. C. Topografi

Sebagian besar wilayah Kabupaten Sintang merupakan wilayah perbukitan dengan luas sekitar 22.392 km2 atau sekitar 69,37 persen dari luas Kabupaten Sintang (32.279 km2). Berdasarkan topografinya, wilayah datar di Kabupaten Sintang seluas 806.125 ha dan wilayah bukit dan gunung seluas 1.357.375 ha. Wilayah datar terluas terdapat di Kecamatan Ketungau Hilir seluas 127.954 ha, sedangkan wilayah bukit dan gunung terdapat di Kecamatan ambalau seluas 638.640 ha, hal tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang menurut topografinya

Nama Kecamatan Luas Area (ha)

Wilayah datar (ha) Wilayah bukit dan gunung (ha)

Serawai 212.750 - 212.750

Ambalau 638.640 - 638.640

Kayan Hulu 93.750 29.573 64.177

Sepauk 182.570 71.936 110.634

Tempunak 102.700 58.632 44.068

Dedai 69.410 57.792 11.618

Kayan Hilir 113.670 88.838 24.832

Sintang 27.705 27.705 -

Sei Tebelian 52.650 49.850 2.800

Kelam Permai 52.380 49.780 2.600

Binjai Hulu 30.765 30.021 744

Ketungau Hilir 154.450 127.954 26.496 Ketungau Tengah 218.240 121.116 97.124 Ketungau Hulu 213.820 92.928 120.892 Luas Keseluruhan 2.163.500 806.125 1.357.375

Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)

D. Hidrologi

Kabupaten Sintang dialiri oleh dua sungai besar yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Sungai Kapuas melewati daerah Sepauk, Tempunak, Sintang dan


(48)

25 Ketungau, sedangkan Sungai Melawi melewati kota Sintang, Dedai, sampai Ambalau dan menuju ke Propinsi Kalimantan Timur.

Di akibatkan sebagian besar wilayahnya adalah perbukitan, Kabupaten Sintang memiliki sekitar 19 air terjun yang tersebar di 5 (lima) lokasi kecamatan. Air terjun tertinggi berada di Kecamatan Ambalau yaitu : Air Terjun Nokam Langit (200 m), Air Terjun Nokam Nayan (180 m), dan Air Terjun Nokam Jengonai (170 m).

E. Iklim

1. Tipe Iklim

Kabupaten Sintang cukup dikenal sebagai daerah penghujan dengan intensitas tinggi. Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, iklim di Kabupaten Sintang tergolong iklim A, yaitu daerah yang bercurah hujan tinggi (Iklim basah), dengan bulan basah antara 7-9 bulan, sedangkan bulan kering 2-3 bulan.

2. Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan

Berdasarkan data BPS Kabupaten Sintang (2006), Kabupaten Sintang merupakan daerah Khatulistiwa dengan intensitas curah hujan cukup tinggi. Hal ini dikarenakan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perbukitan yaitu sebesar 62,74 %. Sepanjang tahun 2005 jumlah curah hujan 3297,36 mm atau rata-rata 274,78 mm/bulan. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi terutama dipengaruhi oleh keadaan daerah yang berhutan tropis dan disertai kelembaban udara yang cukup tinggi.

Rata-rata bulanan curah hujan tertinggi tahun 2005 terjadi pada bulan Oktober mencapai 414,9 mm dengan hari hujan sebanyak 26 hari, sedangkan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu hanya mencapai 110,3 mm dengan hari hujan sebanyak 14 hari. Sedangkan intensitas hujan yang tinggi biasanya mempengaruhi kecepatan angin.

Intensitas hujan yang tinggi biasanya mempengaruhi kecepatan angin. Faktor angin ini sangat mempengaruhi kegiatan penerbangan serta kegiatan-kegiatan lainnya. Kecepatan angin setiap bulannya rata-rata berkisar antara 1


(49)

26 knots /jam sampai dengan 3 knots/jam. Selain itu, penyinaran matahari di Kabupaten Sintang berkisar antara 42,0 s/d 71,0 % atau rata-rata 53,9 % (BPS Kabupaten Sintang, 2006).

3. Temperatur

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang (2006), temperatur rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang selama lima tahun dari tahun 2000-2004 adalah 26,89 oC, di mana rata-rata temperatur udara terendah sebesar 22,45 oC dan temperatur udara tertinggi sebesar 35,7 oC. Data temperatur maksimum, minimum dan rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Temperatur maksimum, minimum dan rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang tahun 2000-2004.

Temperatur Tahun

Maksimum (oC) Minimum (oC) Rata-rata (oC)

2000 32,10 22,45 26,55 2001 33,45 21,70 26,55 2002 32,60 22,70 27,65 2003 32,30 22,70 26,90 2004 32,50 22,70 26,80 Rata-rata 32,59 22,45 26,89 Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2005)

4. Kelembaban Relatif

Kelembabab relatif rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang selama tahun 2004 berkisar antara 82-90%, dengan kelembabab relatif rata-rata tahunan sebesar 86,9% (BPS Kabupaten Sintang 2006).

F. Tanah

Dilihat dari jenis tanahnya, sebagian besar daerah Kabupaten Sintang terdiri dari tanah latosol meliputi areal seluas 1.016.606 hektar atau sekitar 46,99 % dari luas daerah yaitu 2,16 juta hektar. Selanjutnya tanah podsolik sekitar 928.014 hektar atau 42,89 % yang terhampar hampir di seluruh kecamatan sedangkan jenis tanah yang paling sedikit ditemui yaitu jenis tanah organosol.

Jenis tanah Organosol terluas terdapat di Kecamatan Sepauk seluas 24.064 ha, tanah aluvial di Kecamatan Ketungau Hilir seluas 67.072 ha, tanah podsolik di


(50)

27 Kecamatan Sepauk seluas 158.506 ha, dan tanah latosol di Kecamatan Ambalau seluas 541.130 ha, seperti tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis tanah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang Luas areal per jenis tanah (ha) Nama Kecamatan

Organosol Alluvial Podsolik Latosol

Serawai - - - 212.750

Ambalau - - 97.510 541.130

Kayan Hulu - - 22.500 71.250

Sepauk 24.064 - 158.506 -

Tempunak 2.304 - 100.390 -

Dedai - - 69.410 -

Kayan Hilir - - 100.870 12.800

Sintang - 27.705 - -

Sei Tebelian - 12.748 37.552 2.350

Kelam Permai - 37.780 12.925 1.675

Binjai Hulu - 20.071 10.367 327

Ketungau Hilir 17.920 67.072 69.458 -

Ketungau Tengah 768 8.448 125.312 83.712

Ketungau Hulu - - 123.208 90.612

Luas Keseluruhan 45.056 173.824 928.014 1.016.606 Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)

G. Keadaan Hutan

Kawasan hutan yang terdapat di Kabupaten Sintang adalah kawasan hutan hujan tropis yang terdiri dari kawasan hutan rawa gambut, hutan dataran rendah hingga pegunungan. Vegetasi Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (sebagian wilayahnya juga termasuk wilayah administrasi Kabupaten Sintang), Taman Wisata Alam Bukit Kelam, dan TWA Hutan Baning didominasi oleh jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae seperti meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus spp), dan kapur (Dryobalanops sp), dan jenis-jenis lainnya penghasil buah-buahan yang merupakan sumber makanan bagi banyak satwa, diantaranya jenis durian (Durio carinatus), rambutan hutan (Nephellium sp), pluntan (Arthocarpus sp), dan berbagai jenis ara (Ficus spp), serta banyak pula jenis-jenis unik dan berharga lainnya baik dari jenis palem, berbagai jenis anggrek, kantong semar (Nephenthes sp), rotan, bambu-bambuan dan berbagai jenis liana yang unik dan bermanfaat.

Sedangkan jenis fauna yang relatif mudah dijumpai di kawasan hutannya, adalah jenis primata seperti beruk (Macaca nemestrina), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelasi (Hylobathes frontata), dan jenis mamalia darat


(1)

Lokasi Suak I tiang

Plot Sengkubak Sengkajang

1 0 0

2 1 0

3 0 0

4 0 0

5 0 0

6 0 0

7 0 0

8 0 0

9 1 1

10 0 0

11 0 0

12 0 1

13 0 0

14 0 0

15 0 0

16 0 0

17 1 0

18 1 0

19 1 0

20 0 0

21 1 0

22 1 0

23 0 1

24 0 0

25 0 0

7 3

Ada Tdk ada Total

Ada 1 6 7

Tdk ada 2 16 18

Total 3 22 25

E(a) = 0,84

E(b) = 6,16

E(c) = 2,16

E(d) = 15,84 X2h = 0,0481 0,0481 X20.05(1) = 3,841

JI = 0,111111

DI = 0,2

Sengkubak


(2)

Lampiran 21. Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain

Lokasi Hutan Karet alam campuran II Dusun Suak (asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon)

Plot Sengkubak Keladan Plot Sengkubak Ubah Plot Sengkubak Medang Plot Sengkubak Kempenat

1 0 1 1 0 1 1 0 0 1 0 0

2 0 0 2 0 0 2 0 0 2 0 0

3 0 0 3 0 1 3 0 1 3 0 0

4 1 0 4 1 1 4 1 1 4 1 1

5 0 0 5 0 1 5 0 1 5 0 0

6 0 0 6 0 0 6 0 1 6 0 0

7 0 0 7 0 0 7 0 0 7 0 0

8 0 0 8 0 0 8 0 0 8 0 0

9 1 1 9 1 1 9 1 0 9 1 0

10 0 0 10 0 0 10 0 1 10 0 0

11 0 0 11 0 0 11 0 0 11 0 0

12 0 0 12 0 0 12 0 0 12 0 0

13 0 0 13 0 0 13 0 1 13 0 0

14 0 0 14 0 0 14 0 0 14 0 0

15 0 0 15 0 0 15 0 0 15 0 0

16 0 1 16 0 0 16 0 0 16 0 0

17 0 0 17 0 0 17 0 0 17 0 0

18 0 1 18 0 0 18 0 0 18 0 0

19 0 0 19 0 0 19 0 0 19 0 0

20 0 0 20 0 0 20 0 0 20 0 0

21 1 0 21 1 0 21 1 0 21 1 0

22 1 0 22 1 0 22 1 0 22 1 0

23 0 0 23 0 0 23 0 0 23 0 0

24 0 0 24 0 0 24 0 0 24 0 0

25 0 0 25 0 0 25 0 0 25 0 0

4 4 4 5 4 6 4 1

Sengkubak Keladan Sengkubak Ubah Sengkubak Medang Sengkubak Kempenat

Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total

Ada 1 3 4 Ada 2 2 4 Ada 1 3 4 Ada 1 3 4

Tdk ada 3 18 21 Tdk ada 3 18 21 Tdk ada 5 16 21 Tdk ada 0 21 21

Total 4 21 25 Total 5 20 25 Total 6 19 25 Total 1 24 25

E(a) = 0,64 E(a) = 0,8 E(a) = 0,96 E(a) = 0,16

E(b) = 3,36 E(b) = 3,2 E(b) = 3,04 E(b) = 3,84

E(c) = 3,36 E(c) = 4,2 E(c) = 5,04 E(c) = 0,84

E(d) = 17,64 E(d) = 16,8 E(d) = 15,96 E(d) = 20,16

X2h = 0,28699 X2h = 2,678571 X2h = 0,002611 X2h = 5,46875

0,28699 2,678571 0,002611 5,46875

X2

0.05(1) = 3,841 X20.05(1) = 3,841 X20.05(1) = 3,841 X20.05(1) = 3,841

JI = 0,142857 JI = 0,285714 JI = 0,111111 JI = 0,25


(3)

Lampiran 21. Lanjutan

Hutan Karet alam campuran II Dusun Suak (tingkat pohon) Asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat tiang (Ht. karet alam campuran II Suak)

Plot Sengkubak Nyatuh ensik Plot Sengkubak Entibab Plot Sengkubak Nyatuh Plot Sengkubak Ubah

1 0 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0

2 0 0 2 0 0 2 0 0 2 0 1

3 0 0 3 0 0 3 0 0 3 0 1

4 1 0 4 1 0 4 1 1 4 1 1

5 0 0 5 0 0 5 0 0 5 0 1

6 0 0 6 0 0 6 0 0 6 0 0

7 0 0 7 0 0 7 0 0 7 0 0

8 0 0 8 0 0 8 0 0 8 0 0

9 1 1 9 1 0 9 1 1 9 1 1

10 0 1 10 0 0 10 0 0 10 0 0

11 0 0 11 0 0 11 0 0 11 0 0

12 0 0 12 0 0 12 0 0 12 0 0

13 0 0 13 0 0 13 0 0 13 0 0

14 0 0 14 0 0 14 0 0 14 0 0

15 0 0 15 0 0 15 0 0 15 0 0

16 0 0 16 0 0 16 0 0 16 0 0

17 0 0 17 0 0 17 0 0 17 0 0

18 0 0 18 0 0 18 0 0 18 0 0

19 0 0 19 0 0 19 0 0 19 0 0

20 0 0 20 0 0 20 0 0 20 0 1

21 1 0 21 1 1 21 1 0 21 1 0

22 1 0 22 1 0 22 1 0 22 1 0

23 0 0 23 0 0 23 0 0 23 0 1

24 0 0 24 0 0 24 0 0 24 0 1

25 0 0 25 0 0 25 0 0 25 0 0

4 2 4 1 4 3 4 8

SengkubakNyatuh ensik Sengkubak Entibab Sengkubak Nyatuh Sengkubak Ubah

Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total

Ada 1 3 4 Ada 1 3 4 Ada 2 2 4 Ada 2 2 4

Tdk ada 1 20 21 Tdk ada 0 21 21 Tdk ada 1 20 21 Tdk ada 6 15 21

Total 2 23 25 Total 1 24 25 Total 3 22 25 Total 8 17 25

E(a) = 0,32 E(a) = 0,16 E(a) = 0,48 E(a) = 1,28

E(b) = 3,68 E(b) = 3,84 E(b) = 3,52 E(b) = 2,72

E(c) = 1,68 E(c) = 0,84 E(c) = 2,52 E(c) = 6,72

E(d) = 19,32 E(d) = 20,16 E(d) = 18,48 E(d) = 14,28

X2h = 1,869824 X2h = 5,46875 X2h = 6,511544 X2h = 0,709034

1,869824 5,46875 6,511544 0,709034

X2

0.05(1) = 3,841 X20.05(1) = 3,841 X20.05(1) = 3,841 X20.05(1) = 3,841

JI = 0,2 JI = 0,25 JI = 0,4 JI = 0,2


(4)

Lampiran 21. Lanjutan

Lokasi SuakII Tiang

Plot Sengkubak Puduk

1 0 0

2 0 0

3 0 0

4 1 0

5 0 0

6 0 1

7 0 0

8 0 1

9 1 0

10 0 0

11 0 0

12 0 0

13 0 1

14 0 0

15 0 0

16 0 0

17 0 0

18 0 0

19 0 0

20 0 0

21 1 1

22 1 0

23 0 1

24 0 0

25 0 0

4 5

Ada Tdk ada Total

Ada 1 3 4

Tdk ada 4 17 21

Total 5 20 25

E(a) = 0,8

E(b) = 3,2

E(c) = 4,2

E(d) = 16,8

X2h = 0,074405

0,074405 X2

0.05(1) = 3,841

JI = 0,125

DI = 0,222222 Sengkubak


(5)

Lampiran 22. Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain

Lokasi Hutan Adat II Dusun Medang (asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon)

Plot sengkubak Petai Plot sengkubak Piling Plot Sengkubak Kelampai Plot Sengkubak Merkubong

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0

2 1 0 2 1 1 2 1 1 2 1 1

3 1 0 3 1 0 3 1 1 3 1 0

4 0 0 4 0 0 4 0 0 4 0 0

5 1 0 5 1 0 5 1 1 5 1 1

6 0 0 6 0 0 6 0 0 6 0 1

7 1 0 7 1 0 7 1 1 7 1 0

8 0 0 8 0 0 8 0 1 8 0 0

9 0 0 9 0 0 9 0 1 9 0 0

10 0 0 10 0 0 10 0 1 10 0 0

11 0 0 11 0 0 11 0 1 11 0 0

12 1 1 12 1 0 12 1 1 12 1 0

13 1 0 13 1 0 13 1 1 13 1 0

14 1 0 14 1 0 14 1 1 14 1 0

15 1 1 15 1 0 15 1 1 15 1 0

16 1 1 16 1 0 16 1 1 16 1 0

17 1 0 17 1 0 17 1 0 17 1 0

18 1 1 18 1 0 18 1 0 18 1 0

19 1 1 19 1 0 19 1 1 19 1 0

20 1 0 20 1 0 20 1 1 20 1 0

21 1 1 21 1 0 21 1 0 21 1 0

22 0 0 22 0 0 22 0 0 22 0 0

23 0 1 23 0 0 23 0 0 23 0 0

24 0 0 24 0 0 24 0 1 24 0 0

25 0 0 25 0 0 25 0 1 25 0 0

15 8 15 2 15 18 15 3

Sengkubak Petai Sengkubak Piling Sengkubak Kelampai SengkubakMerkubong

Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total

Ada 7 8 15 Ada 2 13 15 Ada 12 3 15 Ada 2 13 15

Tdk ada 1 9 10 Tdk ada 0 10 10 Tdk ada 6 4 10 Tdk ada 1 9 10

Total 8 17 25 Total 2 23 25 Total 18 7 25 Total 3 22 25

E(a) = 4,8 E(a) = 1,2 E(a) = 10,8 E(a) = 1,8

E(b) = 10,2 E(b) = 13,8 E(b) = 4,2 E(b) = 13,2

E(c) = 3,2 E(c) = 0,8 E(c) = 7,2 E(c) = 1,2

E(d) = 6,8 E(d) = 9,2 E(d) = 2,8 E(d) = 8,8

X2h = 3,707108 X2h = 1,449275 X2h = 1,190476 X2h = 0,063131

3,707108 1,449275 1,190476 0,063131

X20.05(1) = 3,841 X

2

0.05(1) = 3,841 X

2

0.05(1) = 3,841 X

2

0.05(1) = 3,841

JI = 0,4375 JI = 0,133333 JI = 0,571429 JI = 0,125


(6)

Lampiran 22. Lanjutan

Hutan Adat II Medang (asosiasi tingkat pohon)

Plot Sengkubak Medang Plot Sengkubak Ubah Plot sengkubak Cempedak Plot Sengkubak Mentawak

1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0

2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0

3 1 0 3 1 0 3 1 1 3 1 0

4 0 0 4 0 0 4 0 0 4 0 0

5 1 1 5 1 1 5 1 0 5 1 0

6 0 0 6 0 1 6 0 1 6 0 0

7 1 0 7 1 0 7 1 0 7 1 0

8 0 1 8 0 0 8 0 0 8 0 0

9 0 0 9 0 0 9 0 0 9 0 1

10 0 0 10 0 0 10 0 0 10 0 0

11 0 0 11 0 0 11 0 0 11 0 1

12 1 0 12 1 0 12 1 0 12 1 0

13 1 1 13 1 0 13 1 0 13 1 0

14 1 0 14 1 0 14 1 0 14 1 1

15 1 0 15 1 0 15 1 0 15 1 0

16 1 0 16 1 1 16 1 0 16 1 0

17 1 0 17 1 1 17 1 0 17 1 1

18 1 0 18 1 0 18 1 0 18 1 1

19 1 0 19 1 1 19 1 0 19 1 0

20 1 1 20 1 0 20 1 0 20 1 0

21 1 0 21 1 1 21 1 1 21 1 0

22 0 1 22 0 0 22 0 0 22 0 0

23 0 0 23 0 1 23 0 1 23 0 0

24 0 0 24 0 1 24 0 1 24 0 0

25 0 0 25 0 0 25 0 1 25 0 1

15 5 15 8 15 6 15 6

Sengkubak Medang Sengkubak Ubah Sengkubak Cempedak Sengkubak Mentawak

Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total Ada Tdk ada Total

Ada 3 12 15 Ada 5 10 15 Ada 2 13 15 Ada 3 12 15

Tdk ada 1 9 10 Tdk ada 3 7 10 Tdk ada 4 6 10 Tdk ada 3 7 10

Total 4 21 25 Total 8 17 25 Total 6 19 25 Total 6 19 25

E(a) = 2,4 E(a) = 4,8 E(a) = 3,6 E(a) = 3,6

E(b) = 12,6 E(b) = 10,2 E(b) = 11,4 E(b) = 11,4

E(c) = 1,6 E(c) = 3,2 E(c) = 2,4 E(c) = 2,4

E(d) = 8,4 E(d) = 6,8 E(d) = 7,6 E(d) = 7,6

X2h = 0,446429 X2h = 0,030637 X2h = 2,339181 X2h = 0,328947

0,446429 0,030637 2,339181 0,328947

X20.05(1) = 3,841 X

2

0.05(1) = 3,841 X

2

0.05(1) = 3,841 X

2

0.05(1) = 3,841

JI = 0,1875 JI = 0,277778 JI = 0,105263 JI = 0,166667