Valuasi Terhadap Potensi Tumbuhan Di Cagar Alam Dolok Tinggi Raja Berdasarkan Persepsi Suku Batak Simalungun

VALUASI TERHADAP POTENSI TUMBUHAN DI CAGAR
ALAM DOLOK TINGGI RAJA BERDASARKAN PERSEPSI
SUKU BATAK SIMALUNGUN

IRMAYANI HASIBUAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Valuasi Terhadap
Potensi Tumbuhan di Cagar Alam Dolok Tinggi Raja Berdasarkan Persepsi Suku
Batak Simalungun” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Irmayani Hasibuan
NIM G353130251

RINGKASAN
IRMAYANI HASIBUAN. Valuasi terhadap potensi tumbuhan di cagar alam
Dolok Tinggi Raja berdasarkan persepsi suku Batak Simalungun. Dibimbing oleh
TATIK CHIKMAWATI dan EKO BAROTO WALUYO.
Kawasan cagar alam Dolok Tinggi Raja merupakan salah satu hutan tropis
yang memiliki keanekaragaman flora yang tinggi. Suku Batak Simalungun yang
menghuni kawasan di sekitar cagar alam DTR menggunakan banyak jenis
tumbuhan sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya. Tulisan ini mengulas tentang
pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat suku Batak Simalungun dan mengetahui
kearifan lokal masyarakat suku Batak Simalungun dalam menjaga ketersediaan
tumbuhan tersebut di alam.
Pengumpulan data tumbuhan dengan wawancara berdasarkan informasi
dari informan dan survei eksploratif dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus
2014. Wawancara lanjutan dan pengumpulan data dengan kuisioner dilakukan
pada bulan Februari sampai Maret 2015 di desa Dolok Merawa dan desa Nagori

Dolok kawasan cagar alam DTR, kabupaten Simalungun, provinsi Sumatera
Utara. Pembuatan spesimen herbarium dan identifikasi di laboratorium
Taksonomi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Penelitian
Indonesia (LIPI), Cibinong. Untuk standarisasi nama ilmiah botani digunakan
referensi dari laman IPNI (International Plant Name Indeks). Analisis data
dilaksanakan dengan menghitung nilai LUVI dan ICS.
Tumbuhan bermanfaat berdasarkan persepsi masyarakat suku Batak
Simalungun yang ditemukan di dalam cagar alam DTR sebanyak 111 spesies
yang termasuk dalam 88 genera dan 51 famili. Famili Euphorbiaceae dan
Arecaceae adalah famili yang memiliki jumlah spesies tertinggi. Tumbuhan
bermanfaat dikelompokkan dalam 10 kategori yaitu sebagai obat, kosmetik,
perabot/mebel, buah-buahan, sayuran, bumbu masakan, campuran minuman,
bahan baku cat, ritual, dan kayu bakar.
Hasil valuasi tumbuhan oleh masyarakat suku Batak Simalungun
menunjukkan bahwa hajorlang (Daemonorop draco) memiliki nilai LUVI
tertinggi dari seluruh kategori pemanfaatan (LUVI=0,263). Hobal putaran (Hoya
patela) yang berguna sebagai obat memiliki nilai ICS tertinggi (ICS=8).
Tumbuhan bermanfaat yang ditemukan di cagar alam DTR tersebut digunakan
melalui berbagai cara yaitu dikonsumsi langsung, dihaluskan, diremas-remas,
direndam air hangat, dikukus, direbus, dipanggang, dan digoreng. Bagian

tumbuhan yang digunakan adalah akar, batang, air batang, air kulit batang, getah,
daun muda, daun, buah, atau seluruh bagian tumbuhan, dan bagian yang paling
banyak digunakan adalah bagian daun.
Menarik untuk dijadikan penelitian lebih lanjut bahwa masyarakat Batak
Simalungun mulai menanam beberapa spesies asli atau liar yang ditemukan di
cagar alam DTR di dekat pemukiman dan ladang. Dengan demikian, status
tumbuhan sebagai spesies liar atau tanaman budidaya dapat diketahui secara
berkelanjutan. Selain itu, dengan dilakukan proses budidaya dapat mengurangi
kegiatan eksploratif di kawasan cagar alam.
Kata kunci: hutan tropis, ICS, LUVI, Sumatera Utara

SUMMARY
IRMAYANI HASIBUAN. Valuation of potential plant in Dolok Tinggi Raja
natural reserve according to Batak Simalungun tribe perseption. Supervised by
TATIK CHIKMAWATI and EKO BAROTO WALUYO.
Dolok Tinggi Raja natural reserve is one of the tropical forests that have
high diversity flora. Batak Simalungun tribe that inhabited the area around DTR
natural reserve uses many plants species for their life needs. This Thesis explains
about the use of plants by the people of Batak Simalungun tribe and determines
local knowledge of the tribe in maintaining the sustainability of the plants in

nature.
Plant data collection with interviews based on information from
informants and survey exploration was conducted in July until August 2014. A
continued interview and data collection using questionnaire were conducted in
February until March 2015 in Dolok Merawa and Nagori Dolok villages, DTR
natural reserve area of Simalungun district, North Sumatra province. Making
herbarium specimens and identification were conducted in the laboratory of Plant
Taxonomy, Bogor Agricultural University and Research Institute of Indonesia
(LIPI), Cibinong. The scientific botanical names used references from IPNI page
(International Plant Name Index) for standardization. Data analysis had been
calculated by calculating the value of LUVI and ICS.
Useful plants based on public perception of Simalungun Batak tribe found
in DTR natural reserve are 111 species classified into 88 genera and 51 families.
The Euphorbiaceae and Arecaceae have the highest number spesies of useful
plants. The community classified useful plants into 10 categories which are
medicine, cosmetic, furnishings/furniture, fruits, vegetables, seasoning, mixed
drinks, the raw material of paint, ritual, and firewood.
The results of the valuation of plant species by Batak Simalungun tribe
community showed that the highest LUVI value is hajorlang (Daemonorop
draco) used for dye (LUVI=0,263), while plant species with the highest ICS value

is hobal putaran (Hoya patela) used for medicinal plant (ICS=8). Batak
Simalungun community uses plants which found in DRT natural reserve using
various ways which are direct consumption, mashing, squeezing, extracted,
soaking in warm water, steamed, boiled, baked, and fried. The community used
various plant parts such as the root, stems, trunks water, water bark, sap, young
leaves, leaves, fruit, or whole parts of the plant, and the most part used is leaves. It
is interesting that the community of Batak Simalungun tribe has cultivated the
same useful species that grow in DTR natural reserve which were indigenous or
wild species closed to their houses. Therefore, the status of each species as a crop
or wild species will be known. The cultivation process will reduce the exploration
activities by community in natural reserve areas.
Keywords: ICS, LUVI, North Sumatera, rain forest

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

VALUASI TERHADAP POTENSI TUMBUHAN DI CAGAR
ALAM DOLOK TINGGI RAJA BERDASARKAN PERSEPSI
SUKU BATAK SIMALUNGUN

IRMAYANI HASIBUAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sulistijorini, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
memiliki tema yaitu Valuasi Terhadap Potensi Tumbuhan di Cagar Alam Dolok
Tinggi Raja Berdasarkan Persepsi Suku Batak Simalungun yang dilaksanakan
sejak bulan Juli 2014 – Maret 2015 di kabupaten Simalungun, Laboratorium
Taksonomi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Penelitian
Indonesia (LIPI), Cibinong.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Tatik Chikmawati, MSi dan
Prof (Ris) Dr Eko Baroto Walujo, MSc selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan nasihat, motivasi, saran, serta bimbingan. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada bapak dan ibu pengajar di program studi Biologi
Tumbuhan (BOT) atas semua ilmu, dukungan, bimbingan, dan nasihat selama ini,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Program Pascasarjana
Dalam Negeri (BPPDN) tahun 2013, Laboratorium Taksonomi Tumbuhan,
Departemen Biologi FMIPA IPB atas perizinan penelitian. Kepada Herbarium
Bogoriense (BO) atas bantuan identifikasi tumbuhan. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada orang tua (Indra Saputra Hasibuan dan Sulastri), adik (Siti

Handayani Hasibuan dan Muhammad Nikmat Hadi Hasibuan), seluruh keluarga
dan teman-teman atas segala doa, dukungan, motivasi serta kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016
Irmayani Hasibuan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFATAR LAMPIRAN

x


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Cagar Alam

4

Sejarah Suku Batak Simalungun

4

Profil Sosial Budaya Masyarakat Simalungun


5

Keanekaragaman Hayati Indonesia

6

Pemanfaatan Tumbuhan

6

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian

10

Prosedur Penelitian

10

Wawancara, Survei Eksploratif dan Kuisioner


11

Identifikasi Tumbuhan dan Pembuatan Herbarium

11

Analisis Data

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Unit Landskap

16

Nilai Indeks Pengguna Lokal (LUVI)

20

Nilai Indeks Kepentingan Budaya (ICS)

21

Kategori Pengelompokan Sumber Daya Tumbuh-tumbuhanan di Masingmasing Unit Lanskap
23
Kekayaan dan Keanekargaman Spesies Tumbuhan

25

Kearifan Lokal Masyarakat Suku Batak Simalungun terhadap Cagar
Alam Dolok Tinggi Raja

42

5 SIMPULAN

43

DAFTAR PUSTAKA

44

RIWAYAT HIDUP

84

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Nilai kualitas kegunaan suatu spesies tumbuhan
Kategori intensitas penggunaan tumbuhan berguna
Kategori eksklusivitas atau tingkat kesukaan tumbuhan
Nilai dan peringkat terhadap unit lanskap berdasarkan persepsi gender
Nilai LUVI tertinggi pada 10 kategori pemanfaatan tumbuhan
Nilai PDM landskap terhadap 10 ketegori pemanfaatan oleh suku Batak
Simalungun
7 Tumbuhan bermanfaat yang ditemukan di cagar alam DTR dengan lebih
dari satu pemanfaatan, macam pemanfaatan, macam pemanfaatan, dan
bagian yang dimanfaatkan
8 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan dan macam pemanfaatan
9 Sepuluh tumbuhan dengan nilai LUVI tertinggi yang dimanfaatkan
sebagai bahan perabot, mebel dan bahan bangunan

14
14
15
19
20
24

27
27
35

DAFTAR GAMBAR
1

Lokasi penelitian di cagar alam DTR, kabupaten Simalungun, provinsi
Sumatera Utara, Indonesia.
2 Macam lanskap di suku Batak Simalungun A. Huta, B. Juma, C. Kobun
sawit, D. Kobun karet, E. Harangan , F. Harangan toras
3 Rupa bumi kawasan penelitian.
= Huta,
= Juma,
= Kobun
sawit,
= Kobun karet, = Cagar alam DTR,
= Jalan,
=
Batas desa/daerah,
= Harangan toras (cagar alam DTR/hutan
lindung)
4 Nilai indeks kepentingan budaya (ICS) tumbuhan di cagar alam DTR
berdasarkan persepsi suku Batak Simalungun.
= ICS desa Dolok
Merawa.
= ICS desa Nagori Dolok
5 Famili dominan tumbuhan bermanfaat dengan jumlah genus dan spesies
tertinggi di cagar alam DTR.
=spesies,
=genera
6 Jumlah spesies tumbuhan pada tiap kategori pemanfaatan.
: spesies
tumbuhan yang memiliki satu kategori manfaat,
: spesies tumbuhan
yang memiliki lebih dari satu kategori manfaat
7 Cara penggunaan tumbuhan obat yang ditemukan di cagar alam DTR
oleh masyarakat suku Batak Simalungun
8 Buah yang dimanfaatkan. A. Buah Tualang (Kompassia malaccensis),
B. buah Rupas (Arthocarpus rigidus)
9 Cara pengolahan tumbuhan yang bermanfaat sebagai sayur
10 Bagot puli (Arenga obtusifolia). A. Perawakan, B. Olahan makanan
11 Morfologi hajorlang (Daemonorop draco). A. Habitus, B. Buah

10
17

18

21
25

26
29
36
38
38
40

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jumlah spesies tumbuhan bermanfaat di cagar alam DTR berdasarkan
manfaatnya dan persepsi masyarakat suku Batak Simalungun
2 Hasil perhitungan nilai PDM dan LUVI spesies tumbuhan bermanfaat
menurut suku Batak Simalungun yang terdapat cagar alam DTR
3 Nilai ICS (Indeks Cultural Significant) tumbuhan di cagar alam DTR
berdasarkan persepsi suku Batak Simalungun

50
54
68

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia yang terletak di daerah tropis memiliki keanekaragaman
tumbuhan yang tinggi yang tersebar luas di seluruh wilayahnya, meliputi hutan
pada beberapa dataran rendah sampai dataran tinggi. Keanekaragaman flora
Indonesia berada pada tingkat biodiversitas tertinggi di dunia setelah Brazil dan
Zaire. Tingginya keanekaragaman flora tersebut didukung oleh kondisi
lingkungan tempat hidupnya yang dapat menyediakan nutrisi dan keadaan yang
nyaman untuk tetap bertahan hidup (Indriyanto 2006).
Kawasan cagar alam Dolok Tinggi Raja (DRT) merupakan salah satu hutan
tropis yang memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi. Kawasan ini terletak di
kecamatan Silau Kahean, kabupaten Simalungun, provinsi Sumatera Utara.
Sebagian permukaan cagar alam ini ditutupi oleh pegunungan kapur seluas ± 5
hektar dari luas keseluruhan 167 hektar dan terdapat kawah-kawah kecil tempat
keluarnya air panas. Di daerah ini tumbuh beberapa tumbuhan pionir Blumea sp.,
Canarium sp., Garcinia sp., Kompassia sp., Nepenthes sp., Pteris sp., Pandanus
sp., Quercus sp., Shorea sp. dan rerumputan (Hartini dan Puspitaningtyas 2009;
BBKSDA SUMUT 2011).
Selain itu, Indonesia dihuni oleh berbagai macam suku bangsa yang tersebar
di berbagai daerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 melaporkan
Indonesia terdiri dari 1128 suku bangsa. Salah satunya adalah suku Batak
Simalungun, dimana suku ini merupakan suku Batak tertua dari semua suku Batak
yang ada di provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Batak Simalungun menghuni
Kawasan cagar alam DTR dan sebagian besar kabupaten Simalungun. Selain suku
Batak Simalungun, kawasan cagar alam DTR juga dihuni oleh suku lainnya
sebagai suku minoritas seperti suku Karo, Batak Toba, Melayu, Jawa dan
masyarakat dari campuran lebih dari satu suku (BBKSDA SUMUT 2011).
Setiap suku tertentu memiliki tradisi turun-temurun yang dianggap
merupakan suatu kebiasaan. Tradisi tersebut sering memanfaatkan tumbuhan
dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sebagai contoh: di daerah Jawa Barat
daun Pandanus odoratissimus dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan tikar;
Uncaria gambir di Banyuwangi digunakan untuk pemerah bibir; Imperata sp.
dimanfaatkan sebagai obat darah tinggi atau penyakit dalam oleh masyarakat lokal
di pulau Wawoni, Sulawesi Tenggara; Lawsonia inermis digunakan sebagai
pewarna kuku pada acara pernikahan di Banyuwangi; Cordyline fruticosa, Sida
rhombifolia, Plectaranthus scutellariodies, Areca catechu, Kalanchoe pinnata,
besi dan batu dalam adat ngunjak to nadal digunakan pada upacara perkawinan
sebagai isi nampan mempelai laki-laki sebelum memasuki rumah pada suku Taijo
Sulawesi Tengah; (Rahayu et al. 2006; Rahayu et al. 2008; Rahyuni et al. 2013;
Anisfiani 2014). Kebiasaan masyarakat tradisional di suatu kawasan bermacammacam dan berbeda antara satu kawasan dengan lainnya. Oleh karena itu,
mempertahankan keberadaan tetumbuhan adalah penting demi terjaganya
ketersediaan tumbuhan yang bermanfaat. Hal tersebut terjadi pada sebagian
masyarakat suku Batak Simalungun yang masih menggunakan tumbuhan dari
daerah sekitar untuk memenuhi kebutuhannya, antara lain kebutuhan sehari-hari,

2

pengobatan, pewarna, bahan perabot, bangunan dan sebagai bahan makanan khas
pada acara-acara adat.
Tumbuhan yang dimanfaatkan suatu masyarakat tradisional, biasanya dijaga
keberadaan tumbuhan tersebut di alam agar mereka tetap dapat menggunakannya
secara terus-menerus. Putusan MK no.35/puu-x/2012 menjelaskan bahwa terdapat
keterkaitan yang sangat erat antara masyarakat dengan flora dan fauna di hutan
sekitar masyarakat tersebut tinggal. Keanekaragaman hayati yang dimanfaatkan
suatu masyarakat dapat berasal dari habitat ladang, perkebunan, persawahan,
maupun hutan terdekat. Hutan yang berada dalam masyarakat hukum adat disebut
hutan adat yang penetapannya diatur pada pasal 1-6 Putusan MK no.35/puux/2012. Penetapan status sebagai hutan adat harus disepakati oleh pemerintah dan
pemangku adat setempat sesuai dengan putusan tersebut dan setiap daerah
memiliki tanggung jawab memelihara daerahnya sendiri sesuai dengan pasal 18
UUD 1945 dan UU no 6 tahun 2014.
Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat tradisional tidak hanya untuk
kepentingan ekonomi tetapi juga untuk kepentingan budaya. Setiap suku memiliki
kecenderungan dalam pemanfaatan tumbuhan. Tumbuhan yang dimanfaatkan
umumnya berasal dari daerah sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, karena
masyarakat suku tersebut mudah dalam memperolehnya. Hal tersebut sesuai
dengan pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi manusia dalam mempertahankan
hidupnya dengan mengolah sumber daya alam yang tersedia. Pemanfaatan
tumbuhan oleh masyarakat menyebabkan menurunnya ketersedian tumbuhan
tersebut di alam. Penurunan ketersediaan dari tumbuhan secara terus menerus
dapat mencapai kepunahan (Widhiono 2009). Hal ini dapat terjadi jika
pengetahuan masyarakat tentang pengaturan dan tata cara pemanfaatan tumbuhan
kurang. Salah satu contoh, pada beberapa kawasan di Indonesia telah terjadi
penurunan Dipterocarpaceae karena kayunya dimanfaatkan masyarakat sebagai
bahan bangunan dan perabot rumah tangga (Purwaningsih 2004; Widhiono 2009).
Hal yang sama juga terjadi di daerah kota Cane provinsi Sumatera Utara, sebagian
masyarakat menggunakan daun Johannesteijsmannia altiform sebagai atap rumah.
Tumbuhan tersebut dimanfaatkan tanpa pembudidayaan, dan sekarang spesies
tersebut termasuk spesies langka yang tercatat dalam IUCN Plant Red Data Book
(Mogea 1995).
Berbagai masalah yang berkaitan dengan penurunan sumber daya hayati
terjadi pada beberapa kawasan konservasi seperti taman nasional, hutan lindung
dan cagar alam. Masalah yang terjadi menyebabkan penurunan bahkan kepunahan
sumber daya hayati. Hal tersebut menyebabkan perubahan valuasi sumber daya
hayati pada daerah-daerah tersebut. Masalah tersebut dapat diatasi dengan
melakukan pengawasan pada kegiatan konservasi yang diawali dari pendataan
melalui berbagai penelitian agar diketahui fluktuasi yang terjadi pada sumber daya
hayati di kawasan konservasi tersebut.
Masyarakat suku Batak Simalungun yang tinggal di sekitar cagar alam
DTR memiliki kecenderungan memanfaatkan tumbuhan yang tersedia di cagar
alam tersebut, sehingga penelitian melaporkan tentang potensi dan spesies
tumbuhan yang ada di daerah tersebut sangat membantu untuk masyarakat
menambah wawasannya dalam menyusun kebijaksanaan pemanfaatan tumbuhan.
Akulturasi budaya dari luar dan masih kurangnya pengetahuan masyarakat
terhadap cara pemanfaatan yang berasaskan konservasi serta makin melemahnya

3

kepedulian terhadap sumber daya alam yang ada menjadi permasalahan yang
harus diperbaiki agar kestabilan ekosistem cagar alam tetap terjaga. Pemanfaatan
keanekaragaman hayati bagi kepentingan masyarakat telah ditegaskan pada UUD
1945 pada pasal 33 adalah untuk kemakmuran rakyat. Walaupun demikian,
pengaturan dan tata cara pemanfaatannya
harus tetap dilakukan demi
terwujudnya pemanfaatan yang berkelanjutan dan kelestarian tumbuhannya tetap
terjaga.
Penelitian ini memberikan data tentang valuasi tumbuhan bermanfaat yang
dapat digunakan untuk kegiatan konservasi tumbuhan. Kegiatan konservasi pada
kawasan cagar alam DTR dilakukan demi mempertahankan tingginya nilai
keanekaragaman tumbuhan yang ada di dalamnya. Pendataan tumbuhan yang
bermanfaat menjadi langkah awal yang baik. Oleh karena itu, penelitian ini sangat
mendukung pelaksanaan kegiatan konservasi di kawasan tersebut.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk menggali pengetahuan dan persepsi
masyarakat tentang unit lanskap beserta spesies tumbuhan penting yang
bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari serta valuasi keanekaragaman spesies
tumbuhan yang berasal dari cagar alam DTR.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Cagar Alam
Cagar alam adalah suatu kawasan yang sangat penting dalam melindungi
makhluk hidup khas yang berada di dalamnya sesuai dengan Undang-undang RI
nomor 5 tahun 1990 yang menyatakan bahwa cagar alam/kawasan suaka alam
yang mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem
tertentu perlu dilindungi supaya perkembangannya berlangsung secara alami.
Peraturan pemerintah nomor 62 tahun 1998 menyatakan kawasan konservasi
selain taman nasional dan cagar alam diberi tanggung jawab kepada pemerintah
daerah untuk pengelolaannya. Cagar alam dikelola langsung oleh pemerintah
pusat, agar lebih dapat diamati perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya
(LPHL 1998).
Flora dan fauna di kawasan konservasi seperti cagar alam, hutan lindung,
taman nasional dan beberapa kawasan konservasi lainnya sebaiknya dijaga
kelestariannya. Jika terjadi kerusakan atau penurunan keanekaragaman hayati
pada daerah ini, maka dapat mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Cara
pengelolaan dan pemeliharaan dari suatu kawasan konservasi sangat
mempengaruhi keberadaan dan kepunahan flora fauna di dalamnya (Mariana &
Kuatrina 2010).
Kawasan cagar alam DTR adalah salah satu hutan tropis yang memiliki
keanekaragaman yang tinggi dengan luas 167 hektar terletak di kecamatan Silau
Kahean, kabupaten Simalungun, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Ketinggian
kawasan ini antara 450 sampai 600 meter di atas permukaan laut, dengan
kemiringan 10 sampai 45%, pH 6,2 sampai di atas 7, curah hujan 2500 sampai
3500 mm per tahun. Berdasarkan klasifikasi Smith dan Ferguson kawasan ini
termasuk ke dalam tipe iklim A dengan suhu rata-rata 24 °C sampai 30 °C dan
kelembaban 25-66% (Hartini & Puspitaningtyas 2009; BBKSDA SUMUT 2011).

Sejarah Suku Batak Simalungun
Simalungun merupakan suatu kabupaten yang terdapat di provinsi
Sumatera Utara. Kabupaten ini dihuni oleh sebagian besar masyarakat suku Batak
Simalungun. Daerah ini dulu disebut kampung ‘Nagur’ sebelum berubah menjadi
kabupaten. Pemimpin daerah ini bermarga Sinaga. Daerah yang berbatasan
dengan wilayah yang dulu disebut kerajaan ‘Silou’ yang juga dipimpin oleh
pemimpin yang cukup berkuasa. Daerah ‘Silou’ ini tidak semakmur daerah
‘Nagur’. Oleh karena itu, pemimpin daerah ‘Silou’ berusaha menaklukkan daerah
‘Nagur’ sebagai pelebaran wilayah kekuasaannya. Masyarakat kampung ini
berusaha menyelamatkan diri dengan melarikan diri ke berbagai daerah di luarnya.
Sebagian besar masyarakatnya menyelamatkan diri ke daerah yang sekarang
dikenal dengan ‘Pulau Samosir’. Setelah beberapa waktu beberapa orang di antara
mereka ingin pulang ke kampungnya kembali ke ‘Nagur’. Masyarakat yang
kembali ke kampung ini sedih ketika setibanya di sana. Daerah yang dulunya
begitu ramai dan subur, kini menjadi daerah sepi yang hanya ditumbuhi oleh

5

semak-semak dan pohon. Mereka menyebutnya ‘sima-sima nalungun’ yang
berarti daerah sunyi sepi. Lama kelamaan orang-orang menyebutnya ‘Simalungun’
(Sembiring 2012).

Profil Sosial Budaya Masyarakat Simalungun
Suku Batak Simalungun menghuni sebagian besar kabupaten Simalungun
yang terdiri atas 31 kecamatan di antaranya kecamatan Silau Kahean yang terdiri
atas 16 desa (Dolok Merwa, Dolok Saribu Bangun, Nagori Simanabun,
Pardomuan Bandar, Pardomuan Tongah, Nagori Dolok, Nagori Tani, Damakitang,
Bandar Maruhut, Silou Paribuan, Bah Sarimah, Silou Dunia, Bandar Nagori,
Nagori Mariah Buttu, Nagori Sinasih, dan Nagori Buttu Bayu). Selain suku Batak
Simalungun, kawasan ini juga dihuni oleh suku lain sebagai suku minoritas yaitu
suku Jawa, Melayu, Padang, Batak Mandailing, Batak Toba, Nias dan beberapa
masyarakat dari campuran beberapa suku. Agama yang dianut masyarakat di
daerah ini adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, sedikit Hindu dan
Budha yang merupakan masyarakat pendatang dari daerah luar. Masyarakat di
daerah ini hidup rukun dan damai walaupun terdapat perbedaan kebiasaan
masing-masing suku dan jumlah masyarakat dari masing-masing suku.
Masyarakat yang tinggal di perkampungan/pedesaan biasanya cenderung
memanfaatkan tumbuhan yang ada di lingkungan sekitarnya dibandingkan
masyarakat yang tinggal di perkotaan (BBKSDA SUMUT 2011).
Penduduk wanita suku Batak Simalungun yang tinggal di pedesaan masih
gemar memakan demban yang berisi sirih (Piper sp.), gambir (Uncaria gambir),
pinang (Arenga pinanga), kapur yang dikunyah bersamaan dengan menyuntil.
Menyuntil adalah menyisipkan sejenis tembakau di antara rahang dan bibir.
Kebiasaan ini dipercayai dapat memperkuat gigi dan mencegah kerusakan gigi
tetapi dapat merubah warna gigi karena meninggalkan warna merah bata sampai
kecoklatan pada gigi dan sulit dibersihkan, bahkan warna tersebut terkadang
bersifat permanen. Berdasarkan uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak daun
sirih mengandung flavonoid, tanin dan karotenoid sedangkan ekstrak buah pinang
dan gambir mengandung tanin dan flavonoid. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga
ekstrak tersebut mengandung zat warna alam yang sangat berpotensi sebagai zat
warna (Bogiriani 2010).
Suku ini juga masih memiliki kebiasaan melaksanakan perayaan pasca
panen yang disebut rondang bittang. Kegiatan ini merupakan apresiasi rasa
syukur kepada pencipta karena memperoleh hasil panen yang baik dan berlimpah.
Dalam pelaksanaan pesta ini, masyarakat menari bersama (manortor) dengan
mengenakan pakaian adat Batak Simalungun, sekaligus melaksanakan
pertandingan olah raga tradisional dalam rangka melestarikan budaya. Sebelum
acara ini dimulai terlebih dahulu diawali dengan upacara maranggir yaitu acara
adat yang bertujuan untuk membersihkan seluruh tubuh, hati dan pikiran (Munthe
2013).

6

Keanekaragaman Hayati Indonesia
Indonesia memiliki banyak kepulauan dari 17.508 pulau dengan luas tanah
1,9 juta km2 dan laut 3,1 juta km2, memiliki banyak jenis habitat dan menjadi
salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia. Indonesia memiliki sekitar
28.000 spesies tanaman. Perusakan habitat yang disebabkan berbagai faktor
seperti fragmentasi dan masuknya spesies invasif, serta eksploitasi berlebihan
telah menyebabkan Indonesia memiliki daftar panjang spesies yang terancam
punah. Indonesia melakukan introspeksi dan mencari cara yang dapat digunakan
untuk melestarikan keanekaragaman hayati (Astirin 2000; Nahdi 2008; Triyono
2013).
Seluruh bagian dari ekosistem memiliki peran penting dalam
mempertahankan keanekaragaman hayati, baik tumbuhan penutup tanah, herba,
semak sampai tumbuh-tumbuhan berkayu yang menutupi kanopi suatu kawasan.
Tumbuhan penutup tanah seperti lumut menjadi perintis suatu vegetasi yang
mengalami kerusakan khususnya wilayah konservasi yang harus dipertahankan
keseimbangan dan keanekaragamannya. Pada suatu kawasan dengan kemiringan
tinggi sangat jarang ditemukan tumbuhan penutup tanah. Hal tersebut karena
abrasi yang sangat tinggi pada bagian permukaannya. Abrasi yang terjadi juga
dapat mengurangi kesuburan tanah di daerah tersebut karena lapisan senyawa
organik yang digunakan tumbuhan sebagai sumber hara menjadi berkurang
bahkan hilang (Windadri 2007).

Pemanfaatan Tumbuhan
Tetumbuhan di sekitar lingkungan tempat tinggal memiliki banyak potensi
yang kita belum benar-benar pelajari manfaatnya. Tumbuhan tersebut dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti makanan, obat, sandang dan diolah
menjadi barang-barang yang dapat mempemudah pekerjaan kita. Spesies
tumbuhan liar maupun budi daya dapat dimanfaatkan baik berasal dari bagian
umbi, batang, daun, bunga maupun buah. Tetumbuhan dipercaya memegang
peranan dalam kesehatan masyarakat tradisional yang biasanya lebih sering
memanfaatkan berbagai tumbuhan yang ada di lingkungan tempat tinggalnya (AliShtayeh et al. 2008; Murni et al. 2012; Kumar et al. 2015).
Suku di Indonesia mempunyai ciri-ciri dan jati diri budaya yang sudah
jelas terdefinisi, sehingga diduga kemungkinan besar persepsi dan konsepsi
masyarakat terhadap sumber daya nabati di lingkungannya berbeda-beda,
termasuk dalam pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional. Persepsi
tersebut sangat bergantung pada ketersedian tumbuhan di sekitar tempat tinggal
suku tersebut (Rifai 1998).
Tumbuhan yang memiliki potensi sebagai obat biasanya memiliki senyawa
tertentu seperti metabolit sekunder yang berasal dari kelompok alkaloid, terpenoid
dan fenol yang beberapa di antaranya memiliki bahan psikoaktif. Tumbuhan dari
famili Anacardiaceae, Asteraceae, Dipterocarpaceae, Fabaceae, Gramineae,
Gnetaceae, Lamiaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Piperaceae, Rosaceae, Rutaceae,
Zingiberaceae mengandung banyak senyawa metabolit sekunder. Contohnya,
Phyllantus niruri berfungsi mengobati penyakit liver. Air rebusannya

7

mengandung senyawa yang disebut phyllanthindan dan hypophyllanthin yang
berfungsi merangsang regenerasi sel hati. Contoh lain yaitu senyawa calkon yang
bersifat anti tumor yang diisolasi dari kulit batang Cryptocarya costata yang
dimanfaatkan sebagai obat penyembuhan penyakit tumor; Justica pectoralis
berfungsi mengobati flu, sakit kepala dan demam; Mellissa officinalis berfungsi
mengobati batuk dan sakit kepala; Averrhoa carambola berfungsi mengobati
diabetes; Piper umbelatum berfungsi mengobati penyakit liver; Rosa alba
berfungsi mengobati sakit perut dan sakit kepala; Citrus limon berfungsi
mengobati flu; Afraegle paniculata, Haematostaphis barteri, Indigoera pulchra,
Monanthotaxis sp., Ozoroa insignis, Strychnos innocua, Strychnos spinosa dan
Xeroderris stuhlmannii mengobati malaria di Ghana; daun Piper betle, mahkota
Phaleria macrocarpa, ekstrak Tinospora crispa, Centela asiatica, Curcuma
zedoaria, Zingiber officinale, Apium graveolens, Rapanus sativus, Pyrus malus,
Citrus reticulata, gula merah, ekstrak Cammelia sinensis, daun Azandirachta
indica, Aglaia odorata, dan Curcuma domestica dimanfaatkan untuk mengatasi
kelebihan kolesterol di daerah Jawa Barat; (Zulnely et al. 2004; Alex et al. 2005;
Daniel 2006; Permadi 2006; Usman et al. 2005; Chodijah et al. 2007; Wiwaha et
al. 2012; Soebiecki 2014; Baliano et al. 2015).
Pemanfaatan tumbuhan obat harus dikelola pemanfaatannya secara rasional
agar dapat memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan masa datang. Cara
pemanfaatan tumbuhan obat bermacam-macam seperti digunakan segar, direbus,
dikeringkan, dimasak dengan minyak, dilayukan atau dibakar. Hal lain yang
sangat berpengaruh yaitu kandungan airnya, seperti pada beberapa tumbuhan dari
spesies Zingiberaceae. Kandungan air spesies-spesies dari famili ini berpengaruh
terhadap kemaksimalan khasiatnya (Alex et al. 2005; Arun et al. 2012; Hidayat &
Gusti 2012; Winangsing et al. 2013).
Tumbuhan banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, baik
sebagai makanan pokok, sayuran, buah-buahan maupun bumbu masakan.
Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai makanan pokok di Indonesia biasanya
berasal dari kelompok Arecaceae, Convolvulaceae, Euphorbiaceae,
dan
Graminae. Pemanfaatan tetumbuhan untuk buah-buahan pada umumnya dimakan
langsung, berbeda halnya dengan pemanfaatan tetumbuhan sebagai sayuran. Pada
masyarakat tertentu lebih suka mengkonsumsi sayuran dalam keadaan mentah,
akan tetapi ada yang lebih suka direbus, ada yang lebih suka setelah dimasak
menggunakan santan (suku Minang), ada yang suka memasak dengan berbagai
rempah-rempah yang kental (suku Aceh dan Batak). Pengolahan sayuran biasanya
memperhatikan agar kandungan vitaminnya tidak hilang atau berkurang. Vitamin
dan beberapa senyawa pada sayuran dan beberapa buah bermanfaat sebagai
antioksidan bagi tubuh manusia. Antioxidan sangat penting bagi tubuh manusia
untuk mencegah oksidasi molekul-molekul di dalam tubuh (Choo & Sin 2012;
Yuliani et al. 2014). Buah yang biasanya digemari memiliki rasa yang menarik.
Tumbuhan yang biasanya dimanfaatkan sebagai makanan biasanya tidak memiliki
sifat toksik (racun) dan memiliki nilai rasa yang cukup baik. Kecenderungan
masyarakat mengkonsumsi tumbuhan setelah proses pemasakan juga lebih tinggi.
Hal tersebut juga berkaitan dengan kebersihan dari tumbuhan tersebut setelah
proses pemasakan atau nilai rasa dari tumbuhan tersebut setelah dimasak. Pada
beberapa spesies buah tertentu lebih digemari untuk makan saat buah matang
tetapi ada juga beberapa buah yang memiliki rasa lebih enak bila dikonsumsi pada

8

saat belum matang. Sisi lain yang menjadi pertimbangan terhadap kefavoritan
buah adalah tampilan dan tekstur karena tampilan dan tekstur buah mempengaruhi
tingkat kegemaran masyarakat untuk mengkonsumsinya (Ali-Shtayeh et al. 2008;
Antarlina 2009; Permadi & Murinto 2015).
Bagian tumbuhan tertentu dimanfaatkan sebagai pewarna. Contohnya
permukaan kulit buah Daemonorop draco dimanfaatkan sebagai bahan dasar
pewarna di Jambi. Pewarna yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Jenis
pewarna ini banyak ditemukan di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Contoh
lain pewarna alami digunakan oleh suku Marori Men-Gey, kabupaten Merauke
yaitu Curcuma domestica, Gmelina sp., Morinda citrifolia, Mangifera indica,
Ziziplus sp., Vaccinium sp. dan Zyzygium sp.. Bagian tanaman dimanfaatkan
meliputi akar, rimpang, kulit kayu, karet, dan daun. Sebagai contoh, daun
Pandanus amayllifolius dimanfaatkan sebagai pewarna makanan seperti kolak,
bubur dan beberapa jenis kue dan buah. Tanaman pewarna dimanfaatkan oleh
suku Marori Men-Gey sebagai pewarna peralatan tradisional, makanan dan tubuh
(Harbelubun et al. 2005; Munawarah et al. 2011; Iik et al. 2012; Mardiahningsih
& Resmi 2014).
Tumbuhan penghasil kayu dengan kualitas yang baik biasanya
dimanfaatkan sebagai bahan baku perabot, bahan bangunan atau bahan kerajinan
(handicrafts). Kelompok tumbuhan dari famili Dipterocarpaceae umumnya
menghasilkan kayu dengan kualitas yang baik. Kelompok ini banyak tumbuh dan
dimanfaatkan sebagai bahan baku perabot atau bahan baku sandang di pulau
Sumatera dan Kalimantan. Spesies-spesies tumbuhan lain yang dimanfaatkan
masyarakat dan memiliki kayu berpotensi baik di daerah tropis seperti di
Bengkulu dan Jambi adalah Arenga pinata, Durio zibethinus, Aleurites
moluccana, Anacolosa sp., Arthocarpus elasticus, Cyathea contaminan,
Gigantochloa atter, Ochanostachys sp., Scorodocarpus borneensis dan
Strombosida sp.. Bagian lain yang dimanfaatkan sebagai bahan baku perabot dan
kerajinan adalah daun tumbuhan, contohnya daun dari kelompok Pandanaceae
dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan pada beberapa daerah di Jawa khususnya
Jawa Timur dan Tengah (Wardah & Fancisca 2009; Hartini 2011; Rohmach et al.
2012; Purwaningsih 2014).
Beberapa tumbuhan memiliki perbedaan pada pemanfaatannya. Bagian
tumbuhan yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (tiang rumah, kusen
pintu dan jendela) dan bahan baku berbagai perabot rumah tangga umumnya
adalah organ batang dan kulit kayu. Hal tersebut disebabkan bagian batang dan
kulit memiliki struktur serat yang kuat, kokoh dan tahan lama seperti selulosa,
lignin dan pektin. Nilai kekuatan serat dari tumbuhan tersebut sangat
mempengaruhi ketahanannya. Tumbuhan yang banyak menghasilkan serat berasal
dari famili Apocynaceae, Arecaceae, Dilleniaceae, Dipterocarpaceae, Fabaceae,
Gnetaceae, Malvaceae, Pandanaceae, dan Tiliaceae (Jansen et al. 2003; Yudo &
Sukanto 2008; Rugayah & Sunarti 2009).
Beberapa masyarakat tradisional masih memiliki minat membuat berbagai
bahan kerajinan menggunakan tetumbuhan seperti membuat tikar, kerajang, alat
masak, alat makan, meja, kursi dan beberapa barang lainnya. Tumbuhan yang
dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan umumnya harus memiliki sifat yang tahan
lama. Tumbuhan yang sering dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan keranjang
adalah rotan dari famili Arecaceaeseperti pada suku Anak Dalam di Jambi.

9

Mereka menggunakan kurang lebih 18 spesies rotan sebagai bahan dasar
pembuatan keranjang dan tali temali (Rugayah & Sunarti 2009; Jumiati et al.
2012).
Masyarakat tradisional yang tinggal pada suatu daerah menggunakan tetumbuhan
untuk berbagai acara ritual, baik upacara keagamaan, kelahiran, kematian, tolak
bala, syukuran maupun upacara pernikahan. Contohnya pada masyarakat
Uttarkhashi di India menggunakan 38 spesies tumbuhan yang berasal dari 26
famili pada upacara keagamaannya; upacara Kasada pada masyarakat yang tinggal
di Malang menggunakan Anaphalis longifolia, Oryza sativa, Solanum tuberosum,
Allium fistulosum, Buddleja asiatica, Brassica oleraceae, Fuchsia magellanica,
Musa paradisiaca, Curculigo latifolia, Cosmos caudatus, Areca catechu dan
Ficus benjamina, Engelhardia spicata, janur Cocos nucifera, Piper betle, dan Zea
mays. Penggunaan Saccarum officinale pada upacara ritual pernikahan, dimana
Saccarum officinale diletakkan di bagian depan kendaraan ketika rombongan
pengantin laki-laki pergi ke rumah pengantin wanita dengan maksud untuk
meminta izin membawa pengantin wanita (Peneng & Sumatera 2005; Pramita et
al. 2013; Arun & Madhur 2015).

10

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Pengumpulan data tumbuhan dilakukan melalui wawancara berdasarkan
informasi dari informan dan survei eksploratif dilakukan pada bulan Juli sampai
Agustus 2014. Wawancara lanjutan dan pengumpulan data dengan kuisioner
dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2015 di desa Dolok Merawa dan
desa Nagori Dolok kawasan cagar alam DTR, kabupaten Simalungun, provinsi
Sumatera Utara (Gambar 1). Cagar alam DTR memiliki letak geografis pada 3o08’
s/d 3o09’ LU dan 98°46’30” s/d 98°48’30” BT (BBKSDA SUMUT 2011).
Pembuatan spesimen herbarium, identifikasi dan analisis nilai kegunaan
dilaksanakan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor
dan Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Cibinong. Untuk standarisasi nama
ilimiah botani digunakan referensi dari laman IPNI (International Plant Name
Indeks).

Gambar 1 Lokasi penelitian di cagar alam DTR, Kabupaten Simalungun, Provinsi
Sumatra Utara, Indonesia

Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan melalui pengumpulan data di lapangan dan dilanjutkan
analisis data di laboratorium. Pengumpulan data di lapangan melalui wawancara,
survei eksploratif dan kuisioner. Analisis di laboratorium diutamakan untuk
identifikasi tumbuhan, pembuatan herbarium dan analisis data untuk melakukan
penilaian kepentingannya.

11

Wawancara, Survei Eksploratif dan Kuisioner
Data dikumpulkan dengan teknik penilaian etnobotani partisipatif
(Participatory Etnobotanical Apprasial) dengan menggunakan dua pendekatan
yaitu pendekatan etik (pendekatan berdasarkan ilmu botani) dan pendekatan emik
(pendekatan berdasarkan pengetahuan masyarakat) (Waluyo 2004).
Wawancara semi-terstruktur dilakukan kepada informan yang ditunjuk
bersamaan dengan pelaksanaan survei eksploratif. Survei eksplorasi dilakukan
dengan mengumpulkan spesimen tumbuhan yang dimanfaatkan suku Batak
Simalungun berdasarkan informasi dari masyarakat lokal sebagai informan kunci
untuk memandu di lapangan (Martin 1995; Waluyo 2004). Tiga orang informan
kunci dipilih dari masing-masing desa yang berasal dari suku Batak Simalungun,
mengerti banyak tentang pemanfaatan tumbuhan, fasih dengan bahasa daerah
setempat dan bersedia dan mampu membantu di lapangan (Sheil et al. 2004).
Survei ekploratif diawali dengan menentukan informan kunci. Berbagai spesies
tumbuhan yang memiliki manfaat diambil contoh spesimen buktinya untuk
keperluan identifikasi. Selanjutnya spesimen tumbuhan dimasukkan ke dalam
lipatan kertas koran, diberi alkohol lalu dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup
rapat. Masing-masing spesimen tumbuhan dicatat data lapangan yang meliputi
nama lokal, ciri penting, kegunaan dan bagian yang dimanfaatkan,
didokumentasikan, serta diukur faktor lingkungannya (suhu udara, kelembaban
dan intensitas cahaya) dengan alat 4 in 1 dan ketinggian tempat dengan Global
Positioning System (GPS).
Pengumpulan data melalui kuisioner dilakukan setelah diperoleh data hasil
pengoleksian tumbuhan berdasarkan informasi dari informan sebanyak 3 orang
dari masing-masing desa (desa Dolok Merawa dan Nagori Dolok) pada saat
eksplorasi. Data yang diperoleh dari survei eksploratif dilakukan pengecekan
kembali kepada 10 orang masyarakat (5 orang laki-laki dan 5 orang perempuan)
suku Batak Simalungun lainnya dari masing-maing desa (desa Dolok Merawa
dan Nagori Dolok) yang merupakan desa terdekat dari kawasan cagar alam DTR,
kabupaten Simalungun, provinsi Sumatera Utara. Data kuantitatif diperoleh
dengan distribusi kerikil atau Pebble Distribution Method (PDM). Responden
yang dipilih secara purposive sampling berdasarkan jenis kelamin (50% wanita
dan 50% laki-laki) diberi kuisioner. Pemilihan demografi adalah jenis kelamin
karena umumnya berbeda pengetahuan antara laki-laki yang lebih sering
menjelajahi alam sekitar dengan wanita yang biasanya hanya berada pada daerah
dekat tempat tinggal (Martin 1995; Sheil et al. 2004).
Identifikasi Tumbuhan dan Pembuatan Herbarium
Spesimen yang diperoleh dari lapangan diidentifikasi untuk mengetahui
spesies dari tumbuhan tersebut secara tepat dengan menggunakan beberapa buku
acuan yaitu: Flora of Java (Backer & Bachuizen van den Brink 1963); A Revised
Flora of Malaya (Holtum 1966); Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters
Volume 1 (Whitmore 1972); Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters
Volume 2 (Whitmore 1973); Tree Flora of Malaya. A Manual for Foresters
Volume 3 (Phil 1978); Malesian Seed Plants Volume 1– Spot- Characters An Aid
for Identification of Families and Genera (van Balgooy 1997); Malesian Seed

12

Plants Volume 2– Portraits of Tree Families (van Balgooy 1998); dan Plant
Resources of South- East Asia (Bring & Escobin 2003).
Setelah diidentifikasi menggunakan buku acuan, nama spesimen diverifikasi
berdasarkan IPNI (International Plant Name Index). Setelah diidentifikasi,
spesimen dibuat herbarium, baik kering maupun basah. Pembuatan herbarium
kering dilakukan dengan cara mengeringkan spesimen yang telah dikoleksi dari
lapangan dalam oven, pada suhu 60 °C selama 2 sampai 3 hari. Sebelum
dikeringkan, spesimen terlebih dahulu disusun dalam lipatan kertas koran
kemudian dijepit pada sasag dengan pembatas karton dan aluminium. Selanjutnya
spesimen ditempel pada kertas herbarium (kertas bebas asam) dan dilanjutkan
dengan pemberian label. Pembuatan herbarium basah dilakukan dengan
perendaman spesimen dengan alkohol 70% di dalam botol dengan ukuran sesuai
dengan ukuran spesimen (van Steenis 1988; Rugayah et al. 2004).
Analisis Data
Data kuantitatif dihitung untuk mengetahui kepentingan suatu spesies atau
indeks nilai bagi pengguna lokal. Data kuantitatif adalah jumlah keseluruhan dari
Gij suatu spesies.
LUVI = ∑ i= spesies, keseluruhan j Gij
Gj = RWj X Rwij
Gij = ∑ kategori=J
Keterangan:
LUVI = Local User’s Value Index (Indeks nilai bagi pengguna lokal)
merupakan keseluruhan nilai Gji suatu spesies.
RWj
= bobot yang diberikan untuk kelas kegunaan yang luas, dimana
kegunaan tertentu J berada.
Rwij
= bobot relatif dalam kategori j dalam pemanfaatan spesies i yang
memenuhi syarat sebagai anggota-anggota j.
Gij
= bobot dari setiap kelas
Gj
= bobot setiap spesies dari suatu kelas j
Dalam penerapan di lapangan aplikasi rumus LUVI dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut:
a. Menentukan nilai kategori makanan pada beberapa lanskap misalnya kategori
bahan makanan mempunyai PDM 11. Nilai kelas kategori berarti 11/100.
b. Menentukan peringkat spesies tumbuhan pada kelompok pemanfaatan sebagai
makanan. Misalnya Zea mays pada peringkat 8 dari 100, maka nilainya 8/100.
c. Menentukan nilai untuk spesies tumbuhan. Responden memilih 10 spesies
tumbuhan yang disepakati sebagai tumbuhan terpenting pada setiap kategori
pemanfaatan, kemudian spesies tersebut diberi nilai. Misalnya Zea mays
memperoleh nilai 9 dari 100, karena ada tumbuhan dari kategori bahan
makanan yang termasuk pada 10 spesies yang dipilih, maka perbandingan Zea
mays adalah 9/(100 yang termasuk + 100 lebih).
d. Perhitungan LUVI secara keseluruhan untuk Zea mays yang termasuk dalam
kategori bahan makanan adalah 11/100 x 8/100 x 9/200 = 0,0396.
Untuk mengetahui nilai guna setiap spesies tumbuhan berguna bagi
masyarakat berdasarkan nilai kualitas, intensitas dan eksklusivitas dapat dihitung

13

indeks kepentingan budaya/ICS (Index Cultural Significant) dengan rumus
sebagai berikut:
n
ICS = ∑
(q x i x e) ni
i=1
Untuk spesies tumbuhan yang memiliki kegunaan lebih dari sekali dengan rumus:
n
ICS = ∑
(q1 x i1 x e1) n1 + (q2 x i2 x e2) n2+ ... + (qn x in x en) nn
i=1
Keterangan:
ICS : (Index Cultural Significant) Jumlah nilai guna suatu spesies tumbuhan
dari kegunaan 1 hingga ke n, dimana n menunjukkan kegunaan terakhir
dari suatu spesies
q
: nilai kualitas (quality value), 4= obat dan kosmetik; 3= konstruksi dan
perabot; 2= Makanan (buah, sayur, bumbu, campuran minuman dan
bagian tumbuhan tertentu dimakan langsung); 1= Lain-lain (ritual,
pewarna, kayu bakar).
i
: nilai intensitas (intensity value), 3= tinggi jika memiliki 7 jumlah
pemanfaatan atau lebih; 2= sedang, jika memiliki 4-6 jumlah
pemanfaatan; 1= rendah, jika memiliki 3 pemanfaatan atau kurang dari
tiga.
e
: nilai esklusivitas (exclusivity value), 1= tidak dapat digantikan oleh
spesies lain, 0,5 = jika spesies tersebut dapat digantikan oleh spesies lain
yang memiliki manfaat yang sama.
Kategori nilai kualitas, intensitas dan eksklusivitas dari spesies- spesies
tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat berdasarkan perhitungan yang
dikemukakan Turner (1988) dan telah dimodifikasi disajikan pada Tabel 1, 2 dan
3.
Kategori nilai kualitas, intensitas, dan eksklusivitas telah dimodifikasi dari
kategori yang dikemukakan oleh Turner (1988) berdasarkan pengelompokan dari
persepsi masyarakat. Nilai kualitas ditentukan berdasarkan kecondongan kategori
pemanfaatan pada tumbuhan yang ditemukan di dalam kawasan cagar alam DTR.
Pengelompokan nilai intensitas dilakukan dengan mengklasifikasikan berdasarkan
jumlah kegunaan dari tumbuhan bermanfaat. Nilai ekslusivitas dikelompokkan
berdasarkan tingkat kepentingan spesies tersebut dapat digantikan atau tidak pada
pemanfaatan tertentu.

14

Tabel 1 Nilai kualitas kegunaan suatu spesies tumbuhan
Nilai
Deskripsi
4
Obat dan Kosmetik
Obat masalah saluran pencernaaan (maag, sariawan/panas dalam,
mencret)
Memar dalam dan penyakit dalam (liver, sakit pinggang,
Obat sesak nafas/ dada, batuk/batuk rejan; mengeluarkan lendir
tenggorokan
Obat masalah sendi dan otot (pegal-pegal, terkilir, rematik, asam
urat)
Obat memperbaiki imunitas/jamu dan masuk angin
Obat penyakit luar/kulit (gatal-gatal, bisul), penghenti darah luka
Obat penyakit yang berhubungan dengan saraf (sawan, lumpuh
perangsangan saraf kaki)
Obat sakit mata
Obat malaria
Obat demam
Obat campak
Penambah stamina
Menstimulasi saraf kaki balita untuk cepat berjalan
Penghalus rambut
3
Konstruksi, perabot dan kerajinan
Bahan tiang rumah, kusen jendela, pintu, palang atap, gagang
cangkul
Bahan perabot rumah tangga
Bahan kerajinan
Makanan (buah, sayur, bumbu, campuran minuman dan bagian
2
tumbuhan tertentu dimakan langsung)
Buah
Sayuran
Bumbu masakan
Bahan campuran gula aren
Bahan campuran minuman
1
Lain-lain (ritual, pewarna, dan kayu bakar)
Ritual pernikahan, tolak bala dan kematian
Sebagai jimat
Pewarna cat
Kayu bakar
Tabel 2 Kategori intensitas penggunaan tumbuhan berguna
Nilai
Deskripsi
3
Tinggi, jika memiliki 7 jumlah pemanfaatan atau lebih
2
Sedang, jika memiliki 4-6 jumlah pemanfaatan
1
Rendah, jika memiliki 3 pemanfaatan atau kurang dari tiga

15

Tabel 3 Kategori eksklusivitas atau tingkat kesukaan tumbuhan
Nilai
Deskripsi
1
Meliputi spesies tumbuhan berguna yang disukai tetapi tidak terdapat
spesies lain yang memiliki manfaat yang sama apabila spesies spesies tersebut tidak ada.
0,5
Meliputi spesies - spesies tumbuhan berguna yang hanya sebagai
sumber daya sekunder, eksklusivitas atau nilai kegunaannya rendah.

16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Unit Lanskap
Hasil interaksi masyarakat suku Batak Simalungun dengan lingkungan
tempat mereka tinggal paling tidak menghasilkan lima unit lanskap yaitu huta
yang sering disebut kampung (daerah sekitar tempat tinggal penduduk), kobun
(kebun yang umumnya berisi tanaman yang lebih homogen), juma (ladang yang
umumnya berisi tanaman yang heterogen), harangan (hutan sekunder), dan
harangan toras (hutan sekunder tua. Masing-masing unit lanskap memiliki fungsi
yang berbeda-beda dan dicirikan oleh tutupan vegetasi (fisiognomi) yang berbeda
pula (Gambar 2). Oleh karena itu setiap unit lanskap memiliki struktur dan
komposisi yang beda sesuai dengan fungsi masing-masing unit lanskap itu.
1. Huta merupakan perkampungan tempat di mana masyarakat tinggal, termasuk
pekarangan dan rumah tempat tinggal masyarakat. Banyak spesies tumbuhan
di pekarangan rumah masyarakat suku Batak Simalungun yang tinggal di
dekat cagar alam DTR. Masyarakat suku Batak Simalungun menanam
berbagai tumbuhan yang biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari di
pekarangan rumahnya seperti buah-buahan, sayuran, bumbu masakan dan
tanaman hias. Tanaman buah yang ditanam meliputi papaya (Carica papaya),
jambu air (Syzigium aqueum), jambu batu (Psidium guajava), mangga
(Mangifera indica), rambutan (Nephelium lappaceum), dan lainnya. Tanaman
untuk bumbu masakan yang ditanam adalah hunir (Curcuma domestica),
kencur (Kaemferia galaga), laos (Alpinia galaga), serai (Cymbopogon
citratus), pandan wangi (Pandanus amarylifolius), siak etek (Capsicum
frutescens), tomat (Solanum lycopersicum) dan rimbang (Solanum torvum).
Tanaman sayuran yang ditanam yaitu terong (Solanum melongena), daun
singkong (Manihot utilisima) dan beberapa spesies tanaman hias yang ditanam
di pot maupun langsung di tanah seperti mawar (Rosa sp.), melati (Jasminum
sambac), bunga kertas (Bougainvillea sp.), beberapa spesies keladi-keladian
(Aglonema sp.), bunga pacar air (Impatiens balsamina), bambu-bambuan
(Bambusa sp.) serta beberapa tanaman berbunga lainnya. Tanah di pekarangan
rumah mereka biasanya lebih kering dan daerahnya terbuka dari pada lanskap
lainnya (juma, kobun, harangan dan harangan toras).
2. Juma merupakan daerah perladangan yang