Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir Dan Laut Kepulauan Anambas Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau

(1)

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

OLEH

CHANDRA JOEI KOENAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

OLEH

CHANDRA JOEI KOENAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Anambas, Kabupate Natuna, Provinsi Kepulauan Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain selain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2007

Chandra Joei Koenawan


(4)

CHANDRA JOEI KOENAWAN. Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Anambas Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO dan ERNAN RUSTIADI.

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki kompleksitas yang sangat tinggi, baik karakteristik, dinamika dan potensi. Kepulauan Anambas yang merupakan daerah hasil pemekaran, dimana pemanfaatan ruang pesisir dan laut harus ditata secara baik dan benar sesuai dengan daya dukung lingkungan, karakteristik wilayah dan keingingan stakeholder dalam hal ini pelaku didalam masyarakat, sehingga nantinya tidak menimbulkan permasalah kedepan dalam pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang pesisir tidak mungkin dilakukan secara seragam untuk setiap wilayah laut dan pulau. Pemanfaatan harus sesuai dengan kondisi sosial dan kultur masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pula prioritas pengembangan dan pemanfaatan secara sinergis sesuai dengan dimensi ruang dan waktu.

Secara umum pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Anambas saat ini, ke arah pemanfaatan sumberdaya laut, dimana hasil kesesuaian lahan memperlihatkan bahwa wilayah Kecamatan Palmatak dan Kecamatan Siantan di Kepulauan Anambas memungkinkan untuk peruntukan kawasan konservasi pantai, pemukiman, budidaya perikanan (keramba), perikanan tangkap, dan kawasan pariwisata.

Karakteristik tipologi desa pesisir Kepulauan Anambas memiliki tiga bentuk karakteristi desa sesuai dengan potensi yang ada antara lain; wilayah tipologi I dimana wilayah dengan kepadatan tinggi dan ekonomi yang baik, namun minim sarana infrastruktur.Tipologi II dimana wilayah dengan sarana infrastruktur yang baik, pemukiman yang rendah dan minim keluarga nelayan dan Tipologi III dimana wilayah dengan kepadatan pemukiman tinggi yang didominasi nelayan prasejahtera,

Selanjutnya persepsi stakeholder mengambarkan keinginan dan peran

stakeholder (masyarakat, pemerintah dan swasta) dalam arahan pengembangan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan di Kepulauan Anambas cenderung memilih pemukiman sebagai prioritas pertama, kedua budidaya perikanan, ketiga pariwisata, keempat perikanan tangkap, dan kelima konservasi pantai.


(5)

N R P : C 251030241

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc Ketua

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam


(7)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2006 ini adalah Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Lautan Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku pembimbing, kepada Bapak Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc dam Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku dosen penguji.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Ayahanda Softianur Kamiroedin, Bc.Hk (Alm), Ibunda tercinta Kartina Wahab, Ka Eka Hartika Komariah, AMd, Bang Ade Kameswara Satriawan, SE, Ka Tri Kartika Winasari, AMd dan Mayrianti Annisa Anwar, SP yang telah memberikan doa, semangat dan pengorbanannya.

Penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan DFW - Indonesia, IKKNS Anambas, Conoco Phillips, Premier Oil dan Star Energy, juga saudara-saudaraku yang ada di Terempa yang selalu menjaga dan membantu dalam penelitian. Patnerku Awaludin, Alam, Idol, Ratih, Yanin, dan Iyek. Terima kasih kepada rekan-rekan daerah yang sama-sama berjuang, FOMPASRI Bogor, teman-teman UGM, Lamtek UI, UNRI, P4W, Bangwil, dan adik-adik IKPMR Bogor. Teman-teman SPL Angkatan X, Angkatan XI, dan alumni SPL yang selalu memberikan motivasi bersama, juga rekan-rekan Pascasarjana PSL, DAS, IKL, ITK, MIT, dan PWD.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Februari 2007


(8)

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 28 Juni 1977 dari pasangan Softianur Kamiroedin (Alm) dan Kartina Wahab. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara.

Penulis menempuh jenjang pendidikan dari SD sampai SLTA di Pekanbaru. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan dan diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Sekolah Pascasarjana IPB dan menyelesaikan pendidikan pada Tahun 2007.

Disamping itu penulis juga pernah bekerja di beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antara lain; Yayasan Hakiki pada tahun 2001, Yayasan Pesisir tahun 2003 dan DFW-Indonesia tahun 2005, juga dipercaya sebagai team leader dan tenaga ahli pada beberapa proyek pesisir dan lautan bersama DKP di Jakarta.

Selama mengikuti program S2, penulis menjadi pengurus Wacana IPB dan pengurus Forum Pascasarjana Riau, Bogor (FOMPASRI).


(9)

Halaman

DAFTAR TABEL... i

DAFTAR GAMBAR... ii

DAFTAR LAMPIRAN... iii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ... 5

Kesesuaian Lahan ... 7

Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil... 8

Pemanfaatan Ruang ... 9

Konflik Pemanfaatan ... 10

Tata Ruang dalam Pengembangan Wilayah ... 11

Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 12

Proses Hirarki Analisis (AHP)... 12

METODE PENELITIAN... 15

Kerangka Pemikiran... 15

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 18

Teknik Pengumpulan Data ... 18

Analisis Spasial ... 19

Analisis Karakteristik Tipologi Desa ... 26

Analisis Persepsi StakeholderTerhadap Prioritas Pengembangan Pemanfaatan Ruang... 27

GAMBARAN UMUM WILAYAH... 29

Letak Wilayah dan Administrasi Pemerintahan... 29

Kondisi Fisik Wilayah ... 29

Geologi dan Kemiringan Lahan ... 29

Tutupan Lahan ... 31

Klimatologi ... 31

Hidro-oseanografi ... 32

Pola Tata Guna Lahan... 40

Sumberdaya Mineral dan Tambang ... 40


(10)

Potensi Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Kepulauan Anambas... 45

Potensi Sumberdaya Teresterial di Kepulauan Anambas ... 49

Analisis Kesesuaian Lahan ... 51

Analisis Karakteristik Tipologi Pesisir Menurut Analisis Komponen Utama ... 64

Persepsi Stakeholder Terhadap Arahan Pengembangan Pemanfaatan Ruang berdasarkan AHP ... 73

Arahan Pemanfaatan Ruang Pesisir Kepulauan Anambas... 82

KESIMPULAN DAN SARAN... 96

DAFTAR PUSTAKA... 98


(11)

1. Skala angka Saaty ... 14

2. Tabel alur metode penelitian... 17

3. Jenis dan sumber data primer yang dikumpulkan ... 19

4. Jenis dan sumber data sekunder yang dikumpulkan ... 19

5. Kriteria yang diperlukan untuk zona kegiatan perikanan tangkap... 22

6. Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman ... 23

7. Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai ... 23

8. Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya perikanan laut (keramba) ... 23

9. Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai... 24

10. Variabel-variabel analisis komponen utama ... 26

11. Data hasil pengukuran parameter hidro-oseanografi bulan Juni Tahun 2005 ... 33

12. Konstanta pasang surut Terempa Kepulauan Anambas... 34

13. Luas lahan menurut penggunaan di Kepulauan Anambas 2003 (ha)... 40

14. Persensentase menurut suku di Kepulauan Anambas ... 41

15. Penduduk kecamatan Siantan dan Palmatak menurut agama ... 42

16. Penduduk kecamatan Siantan dan Palmatak menurut pekerjaan ... 43

17. Bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kecamatan Siantan dan Palmatak ... 44

18. Luas dan sebaran terumbu karang di perairan Kepulauan Anambas ... 46

19. Luas dan sebaran mangrove di Kepulauan Anambas ... 47

20. Jenis ikan yang bernilai ekonomis di Kepulauan Anambas... 49


(12)

23. Luas kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman di Kepulauan

Anambas (ha) ... 56

24. Luas kesesuaian kawasan budidaya perikanan laut (keramba) di Kepulauan Anambas (ha)... 58

25. Luas kesesuaian lahan untuk kawasan perikanan tangkap di Kepulauan Anambas (ha)... 59

26. Kesesuian lahan untuk kawasan pariwisata di Kepulauan Anambas (ha)... 63

27. Akar ciri (eigenvalue) hasil analisis komponen utama ... 66

28. Penyederhanan variabel analisis komponen utama... 67

29. Hasil analisis cluster pada desa di Kepulauan Anambas ... 68

30. Karakteristik tipologi desa di Kecamatan Siantan ... 70

31. Karakteristik tipologi desa di Kecamatan Palmatak ... 72

32. Indikator penciri tipologi wilayah... 73

33. Prioritas pengembangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Siantan ... 74

34. Prioritas pengembangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Palmatak ... 76

35. Jumlah dan kondisi bangunan di Kepulauan Anambas Tahun 2003 ... 83

36. Luas Lahan Menurut Penggunaan Di Kepulauan Anambas 2003 (ha)... 83

37. Perkembangan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Per Kecamatan di Kepulauan Anambas 1996-2003... 84

38. Data dan Produksi Budidaya Perikanan di Kepulauan Anambas Menurut Kecamatan, Tahun 2004... 86

39. Sebaran, tipologi, jenis dan atraksi obyek wisata di Kepulauan tahun 2005... 89

40. Dugaan potensi sumberdaya ikan di Kepulauan Anambas ... 90

41. Volume produksi perikanan menurut kecamatan, Tahun 2003 – 2004 (Ton) ... 91


(13)

43. Jumlah alat penangkap ikan di Kepulauan Anambas menurut

kecamatan, tahun 2004... 92

44. Armada kapal/perahu penangkap ikan yang beroperasi menurut

kecamatan tahun 2004... 92 45. Kegiatan program ComDev, Konsorsium Natuna Barat di Kepulauan


(14)

Halaman

1. Batas wilayah pesisir ... 6

2. Skema pendekatan kajian pemanfaatan ruang Kepulauan Anambas ... 16

3. Peta Kepulauan Anambas pada posisi di Laut Cina Selatan... 18

4. Hirarki kesesuaian lahan untuk konservasi pantai ... 20

5. Hirarki kesesuaian lahan untuk pemukiman ... 21

6. Hierarki kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan (keramba) ... 21

7. Hirarki kesesuaian lahan untuk pariwisata pantai... 22

8. Struktur hirarki pengembangan pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas... 28

9. Peta administrasi Kepulauan Anambas... 30

10. Mawar angin daerah Terempa, Kepulauan Anambas Kabupaten Natuna selama tahun 2001-Juli 205 ... 32

11. Grafik hasil peramalan pasang surut perairan Terempa Kepulauan Anambas... 35

12. Terumbu karang dan mangrove yang ada di Kepulauan Anambas... 46

13. Beberapa jenis ikan laut yang ditangkap oleh nelayan di Kepulauan Anambas... 48

14. Potensi sumberdaya teresterial di Kepualauan Anambas... 50

15. Peta kesesuaian untuk kawasan konservasi pantai... 55

16. Peta kesesuian unuk kawasan pemukiman ... 57

17. Peta kesesuaian untuk kawasan budidaya laut (keramba)... 61

18. Peta kesesuaian untuk kawasan perikanan tangkap ... 62

19. Peta kesesuaian untuk kawasan pariwisata pantai ... 65


(15)

22. Peta karakteristik tipologi desa pesisir... 71 23. Nilai bobot prioritas aspek dalam pengembangan pemanfaatan ruang

di Kepulauan Anambas ... 77 24. Nilai bobot prioritas kriteria aspek ekonomi dalam pengembangan

pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas... 77 25. Nilai bobot prioritas kriteria aspek lingkungan dalam pengembangan

pemanfaatan ruang di Kepulauan Anambas... 79 27. Nilai bobot prioritas stakeholder pengembangan pemanfaatan

ruang di Kepulauan Anambas ... 80 28. Struktur hirarki pemanfaatan ruang hasil analisis gabungan AHP ... 81 29. Pemukiman di Kecamatan Siantan dan Palmatak di Kepulauan

Anambas... 83 30. Keramba jaring apung (KJA) dan ikan-ikan yang dibudidayakan... 85 31. Kem masyarakat (KJT) di Dusun Airsena, Desa Air asuk, Kecamatan

Palmatak... 86 32. Armada kapal nelayan dan kapal Thailand di Kepulauan Anambas.... 92 33. Transplantasi karang, penangkaran penyu, dan kawasan konservasi laut


(16)

1. Rekapitulasi hasil kuisioner responden di Kecamatan Siantan dan

Kecamatan Palmatak, Kepulauan Anambas ... 102

2. Data klimatologi stasiun Terempa tahun 2001-2005 ... 103

3. Data hasil analisis prediksi gelombang tahun 2001-2005... 106

4. Salinan Kepmen Pertanian RI tentang jalur-jalur penangkapan ikan ... 109


(17)

Latar Belakang

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi daratan dan perairan pesisir sangat penting artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Di wilayah ini bukan saja terkandung sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi juga berbagai jenis sumberdaya alam dan jasa lingkungan, seperti sumberdaya mineral, gas dan minyak bumi, pemandangan alam yang indah, dan media perhubungan laut yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia.

Pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil saat ini berkembang dengan pesat sesuai dengan kebutuhan pembangunan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang dilaksanakan cenderung belum secara menyeluruh mengkaji dampaknya terhadap kondisi sumberdaya alam yang menjadi obyek pengelolaan sehingga terlihat terjadi penurunan kualitas sumberdaya alam tersebut (Dahuri et al, 2001)

Pada dasawarsa terakhir ini telah banyak terjadi perubahan-perubahan perkembangan, baik untuk perkembangan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan global maupun regional. Hal ini tentunya memberikan dampak yang kuat bagi perubahan-perubahan paradigma pembangunan sekaligus penataan ruang yang terjadi pada tingkat nasional maupun regional. Setelah terjadi krisis multidimensi sejak pertengahan tahun 1997 hingga sekarang, fenomena yang berkembang mengarah pada pengakomodasian paradigma tersebut serta dalam upaya mengantisipasi isu global dan pemulihan khususnya pada bidang ekonomi.

Sesuai dengan jiwa Undang-Undang No 32 dan 33 Tahun 2004, mengenai upaya pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi ditingkat kabupaten serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mengisyaratkan perlunya upaya peningkatan kemampuan daerah dalam menghadapi persaingan global, merebut peluang pertumbuhan ekonomi melalui kerjasama regional dengan memanfaatkan comparative advantage melalui kegiatan produksi, pemasokan bahan baku, kegiatan ekspor produk unggulan dan lainnya. Sejalan dengan hal tersebut Provinsi Kepulauan Riau melalui UU No. 53


(18)

Tahun 1999 telah memekarkan Kabupaten Kepulauan Riau menjadi 4 (empat) kabupaten, yaitu, Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna. dan Kabupaten Kepulauan Riau sendiri. Pemekaran tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan sesuai dengan potensi daerah, luas wilayah serta kebutuhan pada masa yang akan datang.

Untuk pencapaian akselerasi pembangunan tersebut diperlukan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan yang holistik dalam bentuk penataan dan pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang pesisir dan lautan menggaris bawahi koordinasi keseluruhan pembangunan di daerah yang mencakup segi spasial dan persepsi masyarakat sesuai dengan sosial budaya. Produk rencana tata ruang Kabupaten Natuna belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang, yaitu: (1) Rencana tata ruang belum merupakan suatu kesatuan dengan produk rencana pembangunan daerah lainnya seperti renstra, RTRW, dan lain-lain; (2) Rencana tata ruang terlambat dibandingkan dengan perkembangan pembangunan; (3) Rencana tata ruang belum diperkuat oleh aturan perundangan dan lemahnya penegakan hukum dalam menangani konflik kepentingan antar stakeholder; (4) Kualitas sumberdaya manusia perencanaan di daerah yang masih perlu peningkatan, sehingga belum bisa memahami dan memanfaatkan rencana tata ruang secara optimal; (5) Rendahnya kesadaran publik akan nilai strategis sumberdaya kelautan, khususnya sumberdaya hayati; dan (6) Masih terlihat rencana tata ruang yang tidak memenuhi kriteria baik dilihat dari segi ekologis, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam.

Secara administratif Kepulauan Anambas termasuk dalam wilayah Kabupaten Natuna, dimana Kepulauan Anambas terdiri 3 (tiga) kecamatan antara lain; Kecamatan Siantan, Kecamatan Palmatak, dan Kecamatan Jemaja. Kecamatan Siantan yang ibukotanya Terempa, dulunya merupakan suatu Kewedanaan, dimana menjadi pusat bandar kota pelabuhan di tahun 1813 M. Kampung Terempa merupakan kota perdagangan, sehingga dari dulu sampai sekarang Terempa merupakan daerah penyuplai bahan kebutuhan pokok bagi daerah di sekitarnya.


(19)

Perumusan Masalah

Rencana Tata Ruang Wilayah Kepulauan Anambas saat ini belum ada secara rinci, pemanfaatan ruang saat ini masih bersifat alamiah, dimana pemanfaatan ruang masih dititik beratkan kepada wilayah darat dan masih dalam konteks pemanfaatan jasa-jasa lingkungan seperti perhubungan laut dan pariwisata. Adapaun potensi sumberdaya alam yang terdapat pada kawasan pesisir belum termanfaatkan secara optimal. Disisi lain pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan Kepulauan Anambas khususnya Kecamatan Siantan dan Palmatak, selama ini secara nyata dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik, seperti aktifitas tangkap lebih pada beberapa kawasan yang hanya termanfaatkan.

Degradasi sumberdaya alam terjadi akibat pencemaran, penangkapan ikan dengan menggunakan bom, bahan kimia, pengambilan karang yang berlebihan dan lain-lain. Salah satu bukti lain pengelolaan dan pengaturan pemanfaatan perairan Kepulauan Anambas belum dilakukan secara baik dan benar seperti timbulnya berbagai konfik pemanfaatan ruang, antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang, nelayan lokal dengan nelayan asing dan antara nelayan lokal itu sendiri, juga kegiatan penangkapan ikan dan pembuangan limbah, Kepulauan Anambas yang merupakan daerah hasil pemekaran, dimana pemanfaatan ruang pesisir dan laut harus ditata secara baik dan benar sesuai dengan daya dukung lingkungan, karakteristik wilayah dan keinginan stakeholder dalam hal ini pelaku di dalam masyarakat, sehingga nantinya tidak menimbulkan permasalahan ke depan dalam pemanfaatan ruang.

Pemanfaatan ruang pesisir tidak mungkin dilakukan secara seragam untuk setiap wilayah laut dan pulau. Pemanfaatan harus sesuai dengan kondisi sosial dan kultur masyarakat, selain itu sehubungan dengan banyaknya sektor-sektor pemanfaatan (seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengelolaan perikanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energi, perhubungan, dan industri maritim) yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pula prioritas pengembangan dan pemanfaatan secara sinergis sesuai dengan dimensi ruang dan waktu.


(20)

Berdasarkan uraian di atas, maka akar permasalahan dapat dirumuskan : 1. Bagaimana kesesuaian fisik sumberdaya untuk berbagai peruntukan

kawasan konservasi pantai, kawasan pemukiman, kawasan budidaya perikanan laut (keramba), kawasan perikanan tangkap dan kawasan pariwisata pantai,

2. Bagaimana karakteristik desa pesisir dan keterkaitan pemanfaatan ruang pesisir di Kepulauan Anambas,

3. Apakah bentuk kebijakan pemanfaatan ruang yang dikembangkan di Kepulauan Anambas sudah sesuai dengan persepsi stakeholder.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Pemanfaatan yang sejalan dengan pembangunan di Kepulauan Anambas menjadikan suatu bentuk permasalahan baru dalam segi pemanfaatan, sehingga diperlukan kajian terhadap pemanfaatan ruang pesisir dan laut di Kepulauan Anambas. Ada paun tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Menganalisis kesesuaian penggunaan ruang untuk peruntukkan kawasan konservasi pantai, kawasan pemukiman, kawasan budidaya perikanan laut, kawasan perikanan tangkap, dan kawasan pariwisata pantai.

2. Menganalisis karakteristik dan tipologi desa-desa pesisir

3. Menganalisis persepsi stakeholder terhadap prioritas pengembangan pemanfaatan ruang Kepulauan Anambas.

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi daerah dalam pembangunan wilayah dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan dan acuan, baik dari pemerintah daerah dan pihak swasta dalam menentukan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2 dan 75 persen adalah Zona Ekonomi Eksklusif (Dahuri, 1998). Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah) dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang tersebar di Kepulauan Indonesia.

Definisi pulau-pulau kecil disini adalah kumpulan pulau-pulau secara fungsional, baik secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdaya (DKP, 2001b). Sebagai kawasan kecil keberadaan pulau-pulau kecil baik dari segi ekosistem pulau itu sendiri maupun keragaman hayati (biodiversity) yang ada di dalam ekosistem sekitar pulau yang sangat rentan terhadap berbagai aktivitas manusia yang terjadi di kawasan daratan.

Pulau kecil juga dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas areanya kurang dari 10.000 km2 dan mempunyai penduduk berjumlah kurang dari 500.000 jiwa (Beller et al 1990 diacu dalam Retraubun, 2001). Sementara itu, menurut Dahuri (1998) pulau-pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut. Keterisolasian ini juga dapat membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Pulau kecil juga mempunyai tangkapan air tawar yang relatif kecil. Selajutnya dilihat dari aspek budaya, masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan.

Dalam suatu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdapat sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya. Ekosistem tersebut bersifat alamiah atau buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau-pulau kecil, antara lain adalah : terumbu karang (coral reef), mangrove, pantai berbatu (rocky beach), estuaria,

laguna, delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (marine culture) dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2001).


(22)

Sumber: Pernetta dan Milliman, 1995 diacu dalam DKP (2000)

Gambar 1 Batas wilayah pesisir

Secara umum, sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya yang tidak dapat pulih (non renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan (environmental service). Sumberdaya dapat pulih, terdiri berbagai ikan, plankton,

benthos, molusca, mamalia laut, rumput laut (seaweeds), lamun (seagrass), mangrove, terumbu karang, dan krustasea. Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi minyak bumi dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya. Jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan antara lain adalah pariwisata dan perhubungan laut.

Selama ini potensi sumberdaya alam yang terdapat pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil belum banyak digarap secara optimal. Hal tersebut diakibatkan upaya masyarakat dan pemerintah lebih banyak terkuras untuk mengelola sumberdaya yang ada di darat yang mempunyai luas hanya sepertiga dari luas negeri ini (Kusumastanto, 2000).

Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi. Hal ini karena didukung oleh ekosistem yang komplek dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun. Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti: pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi


(23)

peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil tersebut merupakan daya tarik tersendiri di dalam pengembangan pariwisata.

Kesesuaian Lahan

Ekosistem pulau-pulau kecil juga memilki peran dan fungsi yang sangat menentukan, bukan saja kesinambungan ekonomi tetapi juga kelangsungan hidup umat manusia. Faktor paling utama adalah fungsi sebagai pengatur iklim global temasuk dinamika lanina, siklus hidrologi dan biokimia, penyerap limbah, sumberdaya plasma nuftah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan (Dahuri, 1998). Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dilakukan dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.

Permasalahan umum penggunaan lahan yang sering terjadi di wilayah pesisir adalah degradasi lingkungan seperti degradasi habitat, kerusakan ekosistem pesisir, pencemaran, konflik pemanfaatan ruang sumberdaya dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang tidak efisien. Diantara penyebab utama timbulnya masalah tersebut adalah karena belum adanya penataan ruang yang komprehensif pada wilayah pesisir dan menyebabkan terjadi penyimpangan-penyimpangan pemanfaatan terhadap tata ruang yang ada (Bengen, 2002).

Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna tanah. Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut (Widiatmaka, 2001)

Menurut Widiatmaka (2001), tujuan evaluasi kesesuaian lahan adalah menentukan nilai (kelas) untuk tujuan tertentu, dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan dan berkaitan dengan perencanaan tata guna tanah.


(24)

Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Menurut Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, konsep ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sebagai suatu sistem, ruang wilayah memiliki struktur dan fungsi, dimana struktur wilayah adalah susunan (arrangement) dari berbagai penggunaan ruang (kegiatan ekonomi) dalam ruang fisik. Fungsi wilayah adalah aliran (transport) barang-barang/komoditas (economic goods), orang, dan bahan pencemar antara penggunaan ruang.

Dilihat dari jangka waktu, pelaksanaan rencana tata ruang juga bervariasi. Suatu rencana tata ruang merupakan suatu produk dari kegiatan perencanaan tata ruang yang disusun pada suatu saat tertentu untuk kurun waktu tertentu pula. Jangka waktu perencanaan tata ruang wilayah pesisir terdiri dari beberapa tingkatan menurut UU No. 24 tahun 1992. Untuk rencana tata ruang wilayah pesisir kabupaten/kota, jangka waktu perencanaan adalah 10 tahun.

Tata ruang pesisir dapat dikelompokan melalui pengaturan lahan wilayah ke dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari keseragaman fisik, nonfisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan keamanan. Wilayah Pesisir paling dikenal sebagai daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan dimana merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia (Dahuri, 1997).

Perencanaan tata ruang wilayah pesisir adalah lebih komplek bila dibandingkan dengan perencanaan tata ruang daratan, karena (a) perencanaan di wilayah pesisir harus mengikutsertakan semua aspek yang berkaitan, baik dengan wilayah darat maupun wilayah lautan, (b) aspek daratan dan lautan tersebut tidak dapat dipisahkan secara fisik oleh garis pantai, karena kedua aspek tersebut saling berinteraksi secara terus menerus dan bersifat dinamis, seiring dengan proses-proses fisik dan biogeokimia yang terjadi, dan (c) bentang alam (geomorfologi dan fisiografi) wilayah pesisir berubah secara cepat bila dibandingkan dengan wilayah daratan. Hal ini merupakan interaksi yang dinamis antara daratan dan lautan (Dahuri, 1997).


(25)

Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang diartikan sebagai rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Menurut UU No. 24 tahun 1999 Pasal 15 tentang Penataan Ruang, pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaan, yang didasarkan atas rencana tata ruang. Adapun yang dimaksud dengan struktur pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hirarki dan saling berhubungan satu sama lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya dalam mewujudkan penguasaan penggunaan, pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya.

Menurut Sugandhy (1999), permasalahan dalam pemanfaatan ruang wilayah di Indonesia dicirikan dengan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan serta permasalahan kependudukan lainnya yang semakin besar karena tanah kehutanan dan tanah pertanian dikonversi untuk pemukiman, industri dan pemanfaatan lainnya. Oleh karena itu kecenderungan merosotnya sumberdaya alam dan lingkungan hidup selain diakibatkan oleh menurunnya kualitas pemanfaatan ruang, juga dipacu oleh kualitas wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang. Wujud struktural pemanfaatan ruang merupakan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan yang secara hierarki dan sruktural pemanfaatan ruang tersusun antara lain meliputi pusat-pusat pelayanan (kota, lingkungan, pemerintahan); prasarana jalan; rancangan bangun kota seperti ketinggian bangunan, jarak antara bangunan dan sebagainya. Pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang mengambarkan ukuran, fungsi dan karakter kegiatan atau kegiatan alam. Pola pemanfaatan ini ditandai dengan pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, pertanian serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan.


(26)

Beberapa hal yang terkait dengan pemanfaatan ruang tercantum dalam pasal 15 dan 16, UU. N0 24 Tahun 1992, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Pasal 15

1. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui program pemanfaatan ruang beserta pembiayaan yang didasarkan atas rencana tata ruang,

2. Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.

b. Pasal 16

1. Dalam Pemafaatan ruang dikembangkan :

a. Pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2;

b. Perangkat yang bersifat insentif dan disentif dengan menghormati hak penduduk sebagai warga negara.

2. Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pengaturan pemanfaatan ruang pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu dalam penyusunan komposisi pemanfaatan ruang secara optimal selain bertujuan untuk meningkatkan produktivitas juga diharapkan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungannya

Konflik Pemanfaatan

Mitchell et al, 2000 diacu dalam Darwin (2005), juga menyebutkan beberapa penyebab dasar konflik. Pertama, perbedaan pengetahuan atau pemahaman dapat mengarahkan timbulnya konflik. Berbagai kelompok mungkin menggunakan model, perkiraan atau informasi yang berbeda. Perbedaan fakta menimbukan konflik tentang apakah telah muncul persoalan dan penyelesaian persoalan, manakah yang paling tepat. kedua, konflik dimungkinkan muncul karena perbedaan nilai. Dalam hal ini, mungkin ada kesepakatan tentang bentuk


(27)

suatu persoalan serta cara penyelesaiannya, akan tetapi terjadi perbedaan yang pokok pada titik akhir yang dituju. Kelompok lain mungkin meyakini bahwa sejumlah air tertentu harus tetap dialokasikan untuk kepentingan lain, terutama untuk menjamin kehidupan ikan dan berbagai air lainnya. Ketiga, perbedaan kepentingan dapat menimbulkan konflik meskipun berbagai kelompok menerima fakta dan interpretasi yang sama, serta mempunyai kesamaan nilai. Keempat, konflik muncul karena adanya persoalan pribadi atau karena latar belakang sejarah.

Konflik tidaklah sesuatu yang berkonotasi kurang baik, dalam banyak hal, dapat membantu dalam mengidentifikasi permasalahan apabila suatu proses atau prosedur mengalami jalan buntu. Konflik juga dapat merupakan rambu-rambu bagi penganalisa atau manager untuk senantiasa menyadari akan adanya perbedaan, baik pandangan maupun nilai-nilai (Mitchell et al, 2000 diacu dalam Darwin, 2005).

Tata Ruang dalam Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah adalah suatu upaya mendorong perkembangan wilayah secara mendasar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan hidup yang berkesinambungan. Upaya tersebut antara lain: (a) meningkatkan kemampuan masyarakat yang meliputi kelembagaan, akses, informasi teknologi dan keterampilan, (b) meningkatkan efisiensi produksi yang meliputi kemampuan teknologi investasi dan trasportasi, (c) pengendalian dampak lingkungan, (d) peningkatan kemampuan pemerintah daerah. Selanjutnya pembangunan dengan pendekatan pengembangan wilayah yang dilakukan selama ini memiliki intensitas tinggi, hal ini seringkali menyebabkan rusaknya kawasan lindung yang pada akhirnya menyebabkan lingkungan di sekitar terancam rusak.

Kerusakan-kerusakan tersebut antara lain: pencemaran, degradasi fisik, habitat, over-eksploitasi sumberdaya alam serta konflik penggunaan lahan pembangunan. Selain itu, di daerah hinterland relatif kurang berkembang akibat keterbatasan akses yang akhirnya menimbulkan kesenjangan wilayah.


(28)

Oleh karenanya perlu dilakukan suatu rencana pengembangan wilayah yang dilakukan secara holistik, sinergis, koordinatif, efisien dan efektif untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat melalui penataan ruang (Deni, 2000).

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan. Pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. SIG adalah sistem komputer yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak dan personal (manusia) yang dirancang untuk secara efisien memasukan, menyimpan, memperbaharui, menanipulasi, menganalisa dan menyajikan semua jenis informasi yang berorentasi geografis. (ESRI, 1990).

Perencanaan tata ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah lebih komplek bila dibandingkan dengan perencanaan spasial di daerah daratan. Hal ini dikarenakan (a) perencanaan di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil harus mengikut sertakan semua aspek yang berkaitan baik dengan wilayah darat maupun lautan; (b) aspek daratan dan lautan tersebut tidak dapat dipisahkan secara fisik oleh garis pantai. Kedua aspek tersebut saling beriteraksi secara terus menerus dan bersifat dinamis seiring dengan proses-proses fisik dan biogeokimia yang terjadi; dan (c) bentang alam daerah pesisir berubah secara cepat bila dibandingkan dengan wilayah daratan. Hal ini merupakan hasil interaksi yang dinamis antara daratan dan lautan (Dahuri, 1997).

Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di bidang pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, permodelan perubahan iklim global dan geologi.

Proses Hirarki Analisis (AHP)

Salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan pembangunan adalah AHP (The Analytic Hierarchy Process). Metode


(29)

AHP ini dapat menentukan prioritas dari beberapa kegiatan atau proyek. Namun apabila jumlah kegiatan yang akan ditentukan prioritasnya sangat banyak (lebih dari 10 kegiatan), maka perlu ada modifikasi dalam metode AHP tersebut atau yang disebut MAHP (Modifikasi AHP). Sebenarnya dapat saja digunakan metode AHP secara murni, yaitu dibuat jenjang penilaian, misalnya dari seluruh kegiatan tersebut dikelompokan berdasarkan program, dan kemudian dikelompokkan lagi dalam program atau sub program, sehingga jumlah kegiatan dalam sub-sub program tersebut kurang atau sama dengan 10 kegiatan. Kemudian dibuat prioritas proyek atau kegiatan yang ada dalam sub-sub program tersebut. Namun metode AHP dengan banyak hirarki ini akan semakin rumit, sedangkan kita memerlukan metode yang mudah namun secara akademis dapat dipertanggung jawabkan, sehingga pilihan modifikasi AHP ini merupakan salah satu alternatif yang dipilih. Disamping itu dengan menentukan prioritas kegiatan atau proyek hanya dalam suatu sub-sub program, maka kita tidak dapat membandingkan suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dalam keseluruhan kegiatan yang ada dalam suatu departemen atau pemerintah daerah.

Modifikasi AHP ini terletak pada penilaian dengan menggunakan skor (misalnya 0,1,2, dan 3) untuk masing-masing kegiatan dikaitkan dengan misalnya kedekatannya dengan sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, jadi bukan dengan membandingkan antar kegiatan mengingat jumlah kegiatan yang akan ditentukan prioritasnya sangat banyak. Metode AHP maupun MAHP ini dapat digunakan disamping untuk menentukan prioritas kegiatan juga dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan/proyek dari beberapa bahkan ribuan proyek.

AHP adalah salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan.

AHP pada dasarnya didesain untuk menangkap persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didisain untuk sampai kepada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif. Dengan demikian dapat dianggap sebagai model multy objective multy criteria. Untuk menggunakan alat analisis ini, suatu masalah yang rumit dan tak


(30)

berstruktur perlu terlebih dahulu dipecah ke dalam berbagai komponennya. Setelah menyusun komponen-komponen ini ke dalam sebuah urutan hirarki, maka diberikan nilai dalam bentuk angka kepada setiap bagian yang menunjukkan penilaian terhadap relatif pentingnya setiap bagian itu. Untuk sampai kepada hasil akhir, penilaian tersebut disintesiskan (melalui penggunaan eigen vector) guna menentukan variabel mana yang mempunyai prioritas tertinggi.

Asumsi-asumsi yang digunakan oleh AHP adalah sebagai berikut: Pertama, harus terdapat sedikit (jumlah yang terbatas) kemungkinan tindakan, yakni: 1, 2, 3,…,n yang adalah tindakan positif, (n) adalah bilangan yang terbatas. Responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya atribut-atribut. Skala yang dipergunakan dapat apa saja, tergantung dari pandangan responden dan situasi yang relevan, walaupun demikian mengikuti pendekatan AHP dipergunakan metode skala angka Saaty mulai dari 1 yang menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya sama penting dan untuk atribut yang sama selalu bernilai satu, sampai dengan 9 (sembilan) yang menggambar satu atribut ekstrim penting terhadap atribut lainnya. Pada Tabel 1 disajikan skala angka Saaty beserta definisi dan penjelasannya.

Tabel 1 Skala angka Saaty

Intensitas/

Pentingnya Definisi Keterangan

1 Sama penting Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama

kepada tujuan 3 Perbedaan penting yang lemah antara

yang satu terhadap yang lain

Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu lebih disukai dari pada yang lain

5 Sifat lebih pentingnya kuat

Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih disukai dari yang lain.

7 Menunjukkan sifat sangat penting

Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan

9 Ekstrim penting

Bukti bahwa antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai.

2, 4, 6, 8


(31)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki kompleksitas yang sangat tinggi, baik karakteristik, dinamika dan potensi. Pembangunan yang semakin meningkat di wilayah ini, semakin menambah permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, untuk mengatasi permasalahan tersebut kerjasama antar sektor sangat diperlukan dalam setiap tahap pembangunan wilayah pesisir mulai dari proses perencanaan, implementasi dan evaluasi.

Sejalan dengan desentralisasi, daerah mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan dan pengembangan wilayahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengunaan lahan yang tidak optimal serta pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang tidak efisien merupakan permasalahan utama yang sering ditemukan dalam pembangunan wilayah pesisir. Pemerintah daerah dalam hal ini adalah institusi yang sangat berperan dalam membidangi masalah ini, telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk menanggulangi permasalahan tersebut seperti penataan ruang wilayah pesisir. Namun seringkali kebijakan tersebut menjadi tidak berarti, karena ketidak terlibatan masyarakat, dimana masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan wilayah pesisir.

Permasalahan yang sering muncul dalam perencanaan pembangunan wilayah pesisir adalah terabaikannya peran masyarakat lokal dalam setiap tahapan pembangunan sehingga kepentingan mereka terhadap sumberdaya pesisir dan laut tidak terakomodir dalam suatu perencanaan pembangunan yang terpadu dengan

stakeholder yang lain. Kepulauan Anambas yang merupakan daerah hasil pemekaran, dimana pemanfaatan ruang pesisir dan laut harus ditata secara baik dan benar sesuai dengan daya dukung lingkungan, karakteristik wilayah dan keinginan stakeholder dalam hal ini pelaku di dalam masyarakat, sehingga nantinya tidak menimbulkan permasalah kedepan dalam pemanfaatan ruang.

Analisis diawali dengan mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengelolaan pesisir dan lautan yang mencakup aspek biofisik, sosial ekonomi dan budaya. Analisis biofisik dan lingkungan diawali dengan menumpangsusunkan


(32)

peta-peta tematik seperti penggunaan lahan, peta kontur dan lain sebagainya. Pada penelitian ini, penggunaan analisis karakteristik dan tipologi desa adalah untuk mengambarkan karakteristik wilayah dan tipologi desa pesisir di kawasan Kepulauan Anambas. Hasil dari kedua analisis tersebut akan dipadukan dengan persepsi stakeholder yang mengunakan Proses Hirarki Analisis (AHP). AHP dapat mengambarkan keinginan dan persepsi stakeholder terhadap prioritas keinginan stakeholder (masyarakat, pemerintah dan swasta) dalam pengembangan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kepulauan Anambas dimasa mendatang. Pemilihan responden untuk analisis ini harus memperhitungkan pengetahuan yang luas dan keterkaitan dengan pembangunan di Kepulauan Anambas. Keluaran dari studi ini akan menjadikan masukan bagi kebijakan daerah dalam pemanfaatan ruang pesisir Kepulauan Anambas dengan tetap mempertimbangkan rencana induk pembangunan di Kabupaten Natuna. Skema pendekatan kajian pemanfaatan ruang dan alur metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 2.

Gambar 2 Skema pendekatan kajian pemanfaatan ruang Kepulauan Anambas. Arahan Pengembangan Pemanfaatan Ruang Overlay Karakteristik Biofisik Proses Hirarki Analisis masuk Analisis Kesesuaian Lahan Kriteria Kesesuaian Peruntukan Lahan Analisis Pemanfaatan Lahan Potensi dan Permasalahan Biofisik dan Lingkungan

Sosial Ekonomi dan Budaya

Persepsi

Stakeholder

Analisis Karakteristik & Tipologi Desa Pesisir

Kebijakan Pemanfaatan Ruang Kepulauan Anambas


(33)

(34)

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Siantan dan Kecamatan Palmatak yang merupakan gugusan Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Selama 6 bulan penelitian ini mulai dari bulan Januari 2006 – Juni 2006 yang meliputi pengumpulan data primer dan sekunder serta studi pustaka. Letak wilayah Kepulauan Anambas dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber : Microsoft corporation all rights reserved, 2003 diacu dalam Darwin (2005)

Gambar 3 Peta Kepulauan Anambas pada posisi di Laut Cina Selatan

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Kebutuhan data primer biofisik dilakukan dengan cara metode survei dengan pengambilan contoh di lapangan secara acak. Kegiatan di lapangan meliputi survei tentang data sekunder dan kegiatan wawancara dengan menggunakan kuisioner. Responden yang terdiri atas: Aparat pemerintah, tokoh masyarakat, dan pihak swasta dikedua kecamatan di Kepulauan Anambas yang merupakan


(35)

Tabel 3 Jenis dan sumber data primer yang dikumpulkan

No Jenis Data Sumber Data

1. Data Sosial dan Kelembagaan

(Adat istiadat, perekonomian rakyat, stuktur pemerintahan dan lembaga masyarakat)

Bappeda Kabupaten dan Pemerintah Kecamatan 2. Data Pemanfaatan Ruang (Pemukiman, Perikanan, Budidaya,

Koservasi dan Pariwisata)

Survei dan Bappeda Kabupaten

3. Persepsi Stakeholders Kuisioner dan Wawancara

Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian seperti; Bappeda, Kimpraswil Kabupaten, Pemda Kabupaten Natuna, Dinas Perhubungan, Bakosurtanal, dan Dinas Hidro-Oseanografi dan lain sebagainya, serta hasil studi dan penelitian yang sudah ada yang berkaitan dengan kegiatan di kawasan Kepulauan Anambas, maupun hasil studi kepustakaan. Jenis data sekunder dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis dan sumber data sekunder yang dikumpulkan

No Jenis Data Sumber Data

1. Demografi Kependudukan Bappeda Kabupaten Natuna dan

Pemerintah Kecamatan Siantan dan Palmatak

2. Sarana dan Prasarana Bappeda dan

Kimpraswil Kabupaten Natuna

3. Meteorologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Terempa

4. Peta Administrasi Wilayah Pemda Kabupaten Natuna dan

Kecamatan Siantan

5. Peta Rupa Bumi Bappeda Natuna dan Bakosurtanal

6. Peta Lingkungan Laut Nasional Dihidros-oseanografi

7. Peta Penggunaan Lahan Bappeda Kabupaten Natuna

8 Data Oseanografi Studi Pustaka dan Dinas

Perhubungan

9 Vegetasi Mangrove dan Terumbu Karang Studi Pustaka

Analisis Spasial

Penggunaan analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan potensi sumberdaya alam baik di darat maupun lautan, sehingga diperoleh luasan yang sesuai untuk pemanfaatan ruang yang sesuai bagi peruntukan konservasi pantai, pemukiman, budidaya perikanan laut, perikanan tangkap, dan pariwisata


(36)

pantai. Penggunaan SIG dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) antara seluruh tema-tema peta akan didapatkan seleksi tata ruang yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, pembobotan (weighting), pengharkatan (scoring), dan kelas (class).

Prosedur kerja SIG (Sistem Informasi Geografis) adalah perangkat keras, perangkat lunak dari data geografis untuk mendayagunakan sistem penyimpanan, manipulasi, analisis dan penyajian seluruh bentuk informasi geografis. Data atribut maupun data informasi terkait pada aspek keruangan lokasional disajikan dalam bentuk peta sebagai basis data. Untuk memperoleh hasil analisis spasial dilakukan teknik penampalan (overlaying), dari beberapa peta tematik baik dalam bentuk vektor maupun raster. Pada prinsipnya informasi spasial yang dihasilkan didasarkan pada nilai digit yang baru sebagai hasil perpaduan antara nilai-nilai digit yang lama. Software yang digunakan adalah software untuk SIG.

Analisis spasial dilakukan pada 5 (lima) analisis kesesuaian lahan, yaitu: masing-masing adalah, (1) kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai, (2) kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman (3) kesesuaian lahan untuk zona budidaya perikanan laut, (4) kesesuaian lahan untuk zona perikanan tangkap dan, (5) kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai. Untuk setiap kesesuaian lahan urutan prosesnya berbeda berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan, sebagaimana disajikan pada Gambar 4.

1. Kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai

Gambar 4 Hirarki kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai

Jarak dari pantai

Vegetasi

Jarak pemukiman

Ketinggian

Peta kesesuaian lahan untuk Konservasi


(37)

2. Kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman

Kriteria yang diperlukan untuk kawasan permukiman dan perkotaan dari aspek alokasi penetapan ruang adalah sebagaimana pada Gambar 5.

Gambar 5 Hirarki kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman

3. Kesesuaian lahan untuk zona budidaya perikanan dan zona perikanan tangkap

Berdasarakan karakteristik pulau-pulau kecil, maka arahan pemanfaatan potensi sumberdaya tersebut diantaranya adalah budidaya perikanan (keramba) dan perikanan tangkap, Kriteria yang diperlukan untuk zonasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 5

Gambar 6 Hirarki kesesuaian lahan untuk zona budidaya perikanan (keramba)

Keterlindungan

Jenis dasar perairan

Kedalaman

Suhu perairan Peta kesesuaian lahan

untuk Keramba

Kecerahan Jarak dari pantai

Jarak sumber Air tawar

Aksesibilitas Peta kesesuaian lahan

untuk Pemukiman


(38)

4. Kesesuaian lahan untuk zona perikanan tangkap

Kriteria lahan untuk kegiatan perikanan tangkap dilihat dari zona-zona perikanan tangkap yang ada di Kepulauan Anambas, penentuan zonasi juga melihat kondisi kawasan di sekitarnya, sebagaimana dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kriteria yang diperlukan untuk zona kegiatan perikanan tangkap

Kegiatan Kriteria

Perikanan Tangkap

1. jauh dari zona budidaya

2. jarak aman dari kawasan-kawasan lain, yang didasarkan atas tipe pasang surut.

3. jauh dari daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah pembesaran

(nursery ground).

Sumber : Bengen (2002), Modifikasi Peneliti (2006)

5. Kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai

Kriteria wilayah yang diperlukan untuk menentukan kawasan kegiatan pariwisata, adalah sebagi berikut:

1. mempunyai keindahan yang menarik untuk dilihat dan dinikmati, 2. keaslian panorama alam dan keaslian budaya,

3. keunikan ekosistem,

4. di dalam lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin besar dan topografi dasar laut yang curam,

5. tersedia sarana dan prasarana yang menujang pariwisata.

Selanjutnya dilakukan penentuan pemanfaatan lahan pulau dan perairan untuk kegiatan wisata yang disusun berdasarkan parameter biofisik dimana dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Hirarki kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai

Kedalaman

Kecerahan

Substrat dasar Perairan

Jarak sumber Air tawar

Peta kesesuaian lahan untuk Pariwisata


(39)

Penyususan matrik kesesuaian lahan dengan berbagai peruntukan didasarkan pada matrik kriteria penentuan kesesuaian lahan dari FAO, Bakosurtanal maupun hasil modifikasi kriteria peneliti dari studi pustaka. Struktur kerja analisis kesesuaian dapat dilihat pada Tabel 6,7,8 dan 9 matrik berikut ini: Tabel 6 Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman

Kategori No Parameter Bobot

(%) S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

1 Jarak dari pantai (m) 3 >200 4 100-200 3 50-100 2 <50 1

2 Jarak dari

sumber air tawar (m)

3 <500 4 500-1000 3 1000-2000

2 >2000 1

3 Aksesibilitas (jalan), (m) 2 <500 4 500-1000 3 1000-2000

2 >2000 1

4 Ketinggian (m) 1 6-15 4 16-20 3 >21 2 0-5 1

Sumber : Modifikasi FAO, 2000 diacu dalam Raup SA (2004), Modifikasi Peneliti (2006)

Tabel 7 Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pantai

Kategori No Parameter Bobot

(%) S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

1 Jarak dari pantai (m) 3 <76 4 76-150 3 150-200 2 >200 1

2 Vegetasi 3 Mangrove 4 - - Non

Mangrove

2 - -

3 Jarak dari pemukiman (m)

2 >200 4 100-200 3 - - <100 1

4 Ketinggian (m) 1 0-5 4 6-15 3 16-20 2 >21 1

Sumber : Modifikasi FAO, 2000 diacu dalam Raup SA (2004), Modifikasi Peneliti (2006)

Tabel 8 Matrik kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan laut (Keramba)

Kategori No Parameter

Bobot

(%) S1 Skor S2 Skor N Skor

1 Keterlindungan 3 Sangat

terlindung

4 Terlindung 3 Tidak terlindung

1

2 Substrat dasar perairan 3 Karang Berpasir

4 Pasir 3 Berlumpur 1

3 Kedalaman (m) 3 10-15 4 4-10 3 <4 dan

>15

1

4 Suhu perairan (0C) 2 24-29 4 29-30 3 <24 dan

>30

1

5 Kecerahan 2 Tinggi 4 Sedang 3 Rendah 1


(40)

Tabel 9 Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai

Kategori No Parameter Bobot

(%) S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

1 Kedalaman Perairan (m) 3 0-4 4 4-10 3 - - >10 1

2 Kecerahan 3 Tinggi 4 Sedang 3 - - Rendah 1

3 Subsrat dasar perairan 2 Karang 4 Pasir, terumbu

3 - - Lumpur 1

4 Jarak dari sumber air tawar (m)

2 <500 4

500-1000

3 1000-2000

2 >2000 1

Sumber : Modifikasi FAO, 2000 diacu dalam Raup SA (2004), Modifikasi Peneliti (2006)

Kesesuaian lahan dalam pemanfaatan ruang dianalisis berdasarkan kriteria dan persyaratan masing-masing, dalam penelitian ini kelas kesesuaian dibagi kedalam 3 kelas yang didefinisikan sebagai berikut:

Kelas S1 : Sangat sesuai (Higly Suitable): Kawasan/lahan ini mempunyai pembatas yang serius untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi daerah tersebut, serta tidak akan menambah masukan dari biasa dilakukan dalam pengusahaan lahan tersebut,

Kelas S2 : Sesuai (Moderately Suitable) Kawasan/lahan ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau pembatas tersebut akan mengurangi tingkat produktivitas kawasan/lahan dengan keuntungan yang diperoleh, serta pembatas ini akan meningkatkan masukan untuk mengusahakan daerah/lahan tersebut,

Kelas S3 : Tidak sesuai saat ini (Currently Not Suitable) yaitu kawasan/lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat serius akan tetapi masih memungkinkan diatasi atau diperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi yang sebih tinggi serta tambahan biaya yang lebih rasional,

Kelas N : Tidak sesuai (Not Suitable) Kawasan/lahan mempunyai pembatas sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin untuk dipergunakan terhadap suatu pengguna secara lestari.


(41)

Pembobotan (Weighting) dan Skoring

Analisis overlay yang digunakan adalah indeks overlay model (Benham dan Carter, diacu dalam Candra, 2003). Pembobotan pada setiap faktor pembatas ditentukan berdasarkan dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan. Besarnya pembobotan ditujukan pada suatu parameter untuk seluruh analisis lahan misalnya; parameter jarak pantai mempunyai bobot lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian untuk kesesuaian pemukiman. Model matematis disajiakan sebagai berikut:

=

Wi Wi Sij

Sx x

dimana :

Sx = Indeks terbobot poligon terpilih

Sij = Nilai kelas ke-j dalam peta ke-i Wi = Bobot peta ke-i

Besarnya bobot dan skoring tidak memiliki nilai mutlak, karena hanya digunakan untuk memudahkan analisis terhadap evaluasi kesesuaian lahan. Adapun penetuan nilai kelas kesesuaian lahan untuk setiap peruntukkan adalah:

3,26 – 4 : Sangat Sesuai 2,51 – 3,25 : Sesuai

1,76 – 2,50 : Tidak Sesuai Bersyarat 1,00 – 1,75 : Tidak Sesuai

Dari hasil analisis kesesuaian lahan akan diperoleh peta yang mendeskripsikan pola penggunaan lahan yang sesuai bagi peruntukkan kawasan/zona tersebut. Dengan adanya teknik SIG, diharapkan kendala-kendala pengembangan kawasan ini dapat diperkecil, disamping itu perubahan luas jenis penggunaan lahan kegiatan tertentu pada setiap tempat dapat berbeda tergantung lokasi. Dengan demikian diharapkan pemilihan lokasi untuk berbagai kawasan akan memberikan dampak positif bagi masyarakat pengguna ruang maupun pemerintah daerah.


(42)

Analisis Karakteristik Tipologi Desa

Penggunakan metode Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis /PCA), dimaksud untuk melihat karakteristik dan tipologi terhadap keseluruhan desa di Kecamatan Siantan dan Palmatak dengan menggunakan data sekunder yaitu data potensi desa (PONDES), yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003. Analisis komponen utama merupakan teknik analisis multivariabel yang dilakukan untuk tujuan ortogonalisasi dan penyederhanaan variabel.

Analisis ini merupakan teknik statistik yang menginformasikan secara linier suatu set variabel kedalam variabel baru dengan ukuran lebih kecil namun representatif dan tidak saling berkorelasi (Bengen, 2001). Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Variabel-variabel analisis komponen utama

No Variabel Notasi

1. Jumlah penduduk, Invers Jarak dari Kantor Desa/Kelurahan ke Kantor

Kecamatan yang Membawahi (km) JRK-KK

2. Kepadatan penduduk PADAT

3. Rasio Jumlah Keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I (keluarga) dengan Jumlah

Keluarga (keluarga) PRASEJAH

4. Jumlah SD/100 Penduduk SD

5. Jumlah SLTP/100 Penduduk SLTP

6. Jumlah SLTA/100 Penduduk SLTA

7. Rasio Ladang/Kebun dengan Luas Desa LADANG

8. Rasio Perumahan dan Pemukiman dengan Luas Desa RUMAH

9. Rasio Jumlah Keluarga yang Menangkap Ikan di Laut dengan Jumlah Keluarga KEL-IKAN 10. Rasio Jumlah Keluarga yang Mengusahakan Budidaya Perikanan di Laut

dengan Jumlah Keluarga KEL-BUD

Pengunaan analisis kelompok (Cluster Analysis) dimana berfungsi untuk melihat pengelompokkan suatu desa terhadap faktor-faktor yang mencirikan karakteristik tipologi wilayah. Analisis faktorial diskriminan (Discriminant Analysis / DFA) diperlukan untuk melihat apakah ketepatan dari masing-masing analisis dan penyusun model tipologi wilayah.


(43)

Analisis Persepsi Stakeholder Terhadap Prioritas Pengembangan Pemanfaatan Ruang.

AHP adalah salah satu metode analisis dalam pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel, terutama sekali membantu pengambil keputusan untuk menentukan kebijaksanaan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan. Metode MAHP merupakan metode AHP yang dimodifikasi untuk menjangkau dalam penentuan prioritas salah satu kegiatan dengan banyak alternatif pilihan (> 10 kegiatan pilihan).

Adapun permasalahan yang dibahas diantaranya persepsi stakeholder

terhadap pengembangan pemanfaatan ruang, sebagai responden yang dianggap berperan aktif dan memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang pengembangan pemanfaatan ruang (Lampiran 1). Responden tersebut terdiri dari 5 orang disetiap kecamatan, kemudian dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pemerintah (pengambil keputusan), swasta dan tokoh-tokoh masyarakat di Kecamatan Siantan dan Palmatak dengan teknik wawancara yang menggunakan kuisioner, struktur hirarki yang digunakan dalam analisis ini dapat dilihat pada Gambar 8.


(44)

Gambar 8. Struktur hirarki pengembangan pemanfaatan ruang Kepulauan Anambas


(45)

GAMBARAN UMUM WILAYAH

Letak Wilayah dan Administrasi Pemerintahan

Kecamatan Siantan dan Palmatak merupakan gugusan dari Kepulauan Anambas terdiri dari pulau-pulau Siantan, Matak dan Jemaja, yang terletak di Laut Cina Selatan, Secara geografis Kepulauan Anambas terletak pada 30 30’ - 20 45’ Lintang Utara 1060 00’ - 1060 30’ Bujur Timur (Gambar 9). Secara administratif wilayah kedua kecamatan berbatasan antara lain dengan:

Sebelah Utara : Vietnam dan Kamboja,

Sebelah Selatan : Kecamatan Tambelan Kabupaten Kepulauan Riau, Sebelah Barat : Kecamatan Jemaja dan Semenanjung Malaysia,

Sebelah Timur : Kabupaten Buguran Barat dan Midai Kabupaten Natuna. Kecamatan Siantan dengan luas wilayah 19,226 km2 (97,68% adalah lautan) terdiri dari 74 buah pulau dan hanya 24 pulau yang berpenghuni, demikian halnya dengan Kecamatan Palmatak yang luas wilayahnya 12.890 km2 (95,73% adalah lautan) terdiri dari 66 buah pulau dan hanya 20 pulau yang berpenghuni. (BPS Kab. Natuna, 2004).

Kondisi Fisik Wilayah

Kondisi fisik wilayah di Kepulauan Anambas khususnya Kecamatan Siantan dan Palmatak umumnya hampir sama, kondisi ini dibagi menjadi beberapa aspek diantaranya adalah: geologi dan kemiringan lahan, tutupan lahan, klimatologi, hidro-oseanografi, pola tata guna lahan dan sumberdaya mineral yang memuat berbagai data sekunder dan observasi di lapangan, dapat dilihat pada penjelasan berikut ini.

Geologi dan Kemiringan Lahan

Berdasarkan kondisi fisiknya, gugusan Kepulauan Anambas merupakan tanah berbukit dan bergunung batu, dataran rendah dan landai banyak ditemukan dipinggir pantai. Ketinggian wilayah antar pulau cukup beragam, yaitu berkisar antara 3 sampai dengan 959 meter dari permukaan laut dengan kemiringan antara 5% sampai 25 %, akan tetapi kemiringan lahan di gugusan Kepulauan Anambas cukup terjal.


(46)

(47)

Pada umumnya struktur geologi gugusan Kepulauan Anambas terdiri 4 jenis yakni Aluvial (kerikil pasir, lanau dan gambut), Batuan Mafik/Ultramafik (peridotit, gabro dan basal), Endapan Pantai (pasir, kerikil dan sisa tumbuhan sebagai endapan pantai), Granit (granit, putih, kasar, porforitik, holokristalin, kuarsa, ortoklas, plagioklas, biotit, yang unik terdapat pada Pulau Siantan dan Pulau Matak yang mempunyai struktur geologi dari keempat jenis tersebut.

Tutupan Lahan

Gugusan Kepulauan Anambas umumnya banyak ditumbuhi pepohonan yang cukup beraneka ragam jenisnya. Khusus di pulau-pulau besar seperti Siantan, Matak, dan Mubur, banyak tumbuh pohon kelapa baik yang ditanam oleh penduduk maupun yang tumbuh dengan sendirinya. Selain itu banyak juga tanaman cengkeh maupun pohon durian (terutama Pulau Matak). Sebaran pohon tersebut baik di daerah pesisir maupun di daerah-daerah perbukitan dan pegunungan. Selain itu untuk pulau-pulau tersebut pada daerah pesisirnya banyak juga tumbuh ekosistem mangrove, sedangkan pada pulau-pulau yang lebih kecil tutupan lahannya lebih beragam.

Klimatologi

I klim di Kepulauan Anambas sangat dipengaruhi oleh perubahan angin. Musim kemarau biasanya terjadi pada Bulan Maret sampai dengan Bulan Juli. Berdasarkan data pengamatan dari Stasiun Meteorologi Tarempa, selama Tahun 2001 – Juli 2005 (Lampiran 2), menunjukkan angin yang bertiup di daerah ini hanya dua arah yakni utara dan selatan, dimana kecepatan angin berkisar dari 1 m/ s – 17,5 m/ s dan minimum 1 m/ s. Suhu udara berkisar 25,8 – 35,2 oC. Sedangkan curah hujan berkisar 18,8 – 596,9 mm.

Gambar 10 menunjukkan distribusi angin maksimum selama Tahun 2001 – Juli 2005, terlihat kecepatan angin dominan berkisar antara 10,8 – 22 m/s (sebesar 68,7%) dengan arah angin dari selatan sebesar 40,3% dan dari utara sebesar 28,4%. Secara keseluruhan angin dari arah selatan sebesar 53,7% sedangkan dari arah utara sebesar 46,3%. Pada umumnya angin maksimum yang terbesar terjadi pada musim timur (Juni – Agustus) dan musim barat (Desember – Februari)


(48)

sedangkan pada musim peralihan I (April – Mei) dan peralihan II (September – Nopember)

Sumber : DKP (2006)

Gambar 10 Mawar angin daerah Tarempa, Kepulauan Anambas Kabupaten Natuna selama tahun 2001 – Juli 2005.

Hidro-Oseanografi

Wilayah pesisir sebagai daerah peralihan merupakan tempat pertemuan pengaruh daratan dan lautan, memiliki sifat yang sangat dinamis. Hidro-oseanografi sebagai peran dan fungsi lautan yang paling dominan mempengaruhi karakteristik wilayah ini. Dengan demikian dalam menentukan kebijakan penggunaan ruang wilayah pesisir dan laut, faktor hidro-oseanografi harus menjadi pertimbangan utama.

Studi menyangkut parameter tersebut sangat berguna dalam memprediksi pergeseran gerakan pantai akibat pengaruh gaya-gaya hidro-oseanografi seperti arus dan gelombang yang bervariasi pada setiap perubahan musim. Perubahan garis pantai dapat menjadi indikator kerusakan ekosistem pesisir dan laut, sehingga harus menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Hal ini terutama untuk kepentingan desain atau lay out peruntukan dan penggunaan lahan, seperti pertambakan, budidaya KJA/KJT, budidaya rumput laut, wisata pantai, pembangunan industri pantai, pemukiman pantai dan berbagai kepentingan pembangunan di kawasan pantai.


(49)

Gugusan Kepulauan Anambas sebagai “main-land” merupakan pulau yang memiliki banyak keunggulan sehingga menjadikan pusat pertumbuhan dan perekonomian di kawasan ini. Kepulauan Anambas yang dikelilingi oleh banyak pulau, baik yang telah berpenghuni maupun yang tidak berpenghuni memegang peranan yang sangat penting kedepan. Sebagai suatu gugusan pulau, daerah ini memiliki sumberdaya alam yang cukup besar dan beranekaragam, baik sumberdaya hayati maupun non-hayati. Besarnya sumberdaya ini memberikan peluang untuk diolah dalam segala dimensi pembangunan, akan tetapi fakta di lapangan bahwa optimalisasi sektor pembangunan belum dilakukan khususnya pembangunan di sektor kelautan, perikanan, dan wisata bahari, dalam penataan ruang wisata bahari, akan menghasilkan zonasi pemanfaatan keruangan yang sesuai dengan fungsinya, terutama diarahkan untuk lokasi pengembanagan sektor kelautan, perikanan, dan wisata bahari yang mendukung perekonomian dan ketahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gambaran kondisi hidro-osenografi dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 11 Data hasil pengukuran parameter hidro-oseanografi bulan Juni tahun 2005 Posisi Stasiun Bujur Lintang Salinitas ppm Suhu o

C pH

Kecerahan (m)

Kedalaman (m)

1 106o 16,564’ 3o 10,629’ 20,8 29,7 8,72 3 3

2 106o 17,148’ 3o 11,41’ 27,3 29,3 7,44 15 20

3 106o 18,724’ 3o 12,534’ 30 30 8 8 8

4 106o 18,994’ 3o 12,394’ 30 29,2 7,47 2 2

5 106o 18,212’ 3o 14,192’ 28,3 29,5 8,4 12 15

6 106o 17,736’ 3o 13,969’ 28,3 29,5 8 12 20

7 106o 17,484’ 3o 14,679’ 28,8 29,5 8,4 15 >20

8 106o 17,275’ 3o 14,206’ 29,2 29,5 8,2 15 >20

9 106o 14,38’ 3o 13,67’ 29,9 29,4 8,4 12 18

10 106o 14,616’ 3o 17,355’ 30,4 29,9 7,96 5 10


(50)

1. Pasang Surut

Pasang surut adalah proses naik turunnya paras laut ( sea level ) secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa, terutama matahari dan bulan, terhadap massa air laut di bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar dari pada pengaruh gaya tarik matahari. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih besar dari pada gaya tarik matahari. Fenomena ini memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan, sehingga menyebabkan kondisi fisik perairan yang berbeda-beda. (Dahuri et al, 1996 dan Triatmodjo, 1999 diacu dalam DKP, 2006).

Permasalahan mengenai kondisi pasut di Indonesia sangat penting artinya bagi Indonesia yang memiliki garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km, untuk berbagai kegiatan yang berkaitan dengan laut atau pantai seperti pelayaran antar pulau, reklamasi pantai (dermaga/pelabuhan dan pemecah ombak), budidaya laut, pencemaran laut dan pertahanan nasional. (Ongkosongo dan Suyarso, 1989 diacu dalam DKP, 2006). Pergerakan pasang surut suatu daerah memegang peranan sangat penting dalam mempertahankan sumberdaya alam seperti terumbu karang, mangrove, lamun, daerah estuaria dan sebagainya. Selain pengaruh arus, pasang surut juga berperan dalam mempengaruhi pergerakan berbagai bahan pencemar seperti polutan kimia, limbah organik, minyak dan lain-lain.

Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Dishidros diacu dalam DKP (2006), diperoleh konstanta pasut di gugusan Kepulauan Anambas sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 12 di bawah ini. Berdasarkan data ini diperoleh bilangan Formzal sebesar 3,58 dan merupakan tipe pasut tunggal (diurnal), yakni dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit.

Tabel 12 Konstanta pasang surut Tarempa Kepulauan Anambas

Konstanta

Pasut M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4 Z0

a (cm) 16 3 4 1 38 30 13 1 0 110 g (cm) 114 79 182 79 11 50 11 195 121 - Sumber: Dishidros Tahun 2003, diacu dalam DKP (2006)


(51)

Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan amplitudo pasut KI dan O1 (komponen diurnal tides akibat pengaruh matahari) lebih besar/dominan yakni 38 cm dan 30 cm dibandingkan amplitudo M2 dan S2 (komponen semi-diurnal tides

akibat pengaruh bulan) yakni 16 cm dan 3 cm. Komponen inilah yang mempengaruhi tipe pasang surut di perairan ini. Selain itu pasut di daerah ini juga sangat dipengaruhi oleh aliran massa air dari Samudera Pasifik yang melalui perairan Laut Cina Selatan. Grafik peramalan pasut di perairan Tarempa dapat dilihat pada Gambar 11.

Sumber: DKP (2006)

Gambar 11 Grafik hasil peramalan pasang surut perairan Tarempa Kepualauan Anambas.

2. Karakteristik Gelombang

Gelombang terjadi akibat adanya gaya-gaya alam yang bekerja di laut seperti tekanan atau tegangan dari atmosfir (khususnya melalui angin), gempa bumi, gaya gravitasi bumi dan benda-benda angkasa (bulan dan matahari), gaya coriolis (akibat rotasi bumi), dan tegangan permukaan. Gelombang merupakan salah satu faktor utama dalam penentuan morfologi dan komposisi pantai serta penentuan proses perencanaan dan desain pembangunan pelabuhan, terusan (waterway), struktur pantai, alur pelayaran, proteksi pantai, kegiatan penangkapan, riset ilmu pengetahuan dan wisata bahari terutama wisata laut.

0 30 60 90 120 150 180 210 240

1 24 47 70 93 116 139 162 185 208 231 254 277 300 323 346 369 392 415 438 461 484 507 530 553 576 599 622 645 668 691 714 737

Waktu (Jam) E le vas i Mu k a Ai r (c m )


(52)

Menurut DKP (2006) berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan pada umumnya gelombang yang terjadi di perairan dalam Kepulauan Anambas sangat besar bisa mencapai 3 m. Hal ini disebabkan karena perairan Anambas relatif terbuka, yakni langsung berhadapan dengan laut bebas (Laut Natuna dan Laut Cina Selatan di sebelah utara dan Laut Natuna di sebelah selatan).

Apabila angin bertiup dari arah utara maka pantai bagian utara akan terlihat lebih besar dibandingkan bagian selatan, sebaliknya jika angin bertiup dari selatan maka gelombang dibagian selatan akan lebih besar dibandingkan dengan pantai utara. Sedangkan perairan teluk dan selat relatif tenang (< 0,5 m), hal ini disebabkan gelombang tersebut telah mengalami refraksi maupun difraksi. Berdasarkan peramalan gelombang dari konversi data angin maksimum selama Tahun 2001 – Juli 2005 (Lampiran 3), menunjukkan tinggi gelombang besar umumnya terjadi pada musim timur yakni berkisar 1,71 m – 4 m dengan periode geombang 7,14 detik – 9,47 detik dan musim barat (Desember – Februari) berkisar 1,71 m – 3,2 m dengan periode geombang 7,14 detik – 8,79 detik, sedangkan saat musim peralihan I (April – Mei) dan musim peralihan II (September – Nopember) lebih kecil yakni masing-masing berkisar 1,37 m – 1,37 m dan 1,14 m – 3,89 m dengan periode gelombang 6,63 – 9,29 detik dan 6,24 – 9,38 detik.

Gerakan gelombang yang cukup tinggi memberikan indikasi ketidak terlindungan lokasi untuk kegiatan wisata bahari dan memberikan efek yang dapat menghambat kegiatan wisata dan kegiatan penangkapan. Efek ini akan lebih terasa pada kegiatan budidaya yang dilakukan dipermukaan seperti kegiatan budidaya ikan dengan menggunakan KJA atau KJT. Sehingga daerah-daerah yang relatif tenang dapat diperuntukkan bagi pemanfaatan pembudidayaan perikanan yang membutuhkan kondisi gelombang yang lebih kecil.

3. Karakteristik Arus

Pola arus di perairan gugusan Kepulauan Anambas umumnya mengikuti pola arus dari Laut Cina Selatan dimana sangat tergantung dari angin muson. Pada bulan Februari angin musom barat laut arus bergerak dari laut Cina Selatan menuju Pulau Jawa. Kedua pola arus besar tersebut akan berubah pada saat


(1)

(3). Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, hanya dibolehkan bagi:

a. Alat penangkap ikan yang menetap;

b. Alat penangkap ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi; dan/atau

c. Kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m. (4). Perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut, sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) huruf b, hanya dibolehkan bagi:

a. Alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi; b. Kapal perikanan :

1. Tanpa motor dan atau bermotor-tempel dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m;

2. Bermotor tempel dan bermotor-dalam dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal 12 m atau berukuran maksimal 5 GT dan atau;

3. Pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 150 m; 4. Jaring insang hanyut (drift gill net) ukuran panjang maksimal 1000 m.

(5). Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan I wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan :

a. Dengan warna putih bagi kapal perikanan yang beroperasi di perairan sampai dengan 3 (tiga) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah;

b. Dengan warna merah bagi kapal perikanan yang beroperasi di perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil.

Pasal 4

(1). Jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut ke arah laut.

(2). Pada jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam ayai (1), dibolehkan bagi : a. Kapal perikanan bermotor-dalam berukuran maksimal 60 GT;

b. Kapal perikanan dengan menggunakan alat penangkap ikan :

1. Pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 600 m dengan cara pengoperasian menggunakan 1 (satu) kapal (tunggal) yang bukan grup atau maksimal 1000 m dengan cara pengoperasian menggunakan 2 (dua) kapal (ganda) yang bukan grup;

2. Tuna long line (pancing tuna) maksimal 1200 buah mata pancing; 3. Jaring insang hanyut (drift gill net), berukuran panjang maksimal 2500 m.

(3). Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan II, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat maksimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan dengan warna oranye.

Pasal 5

(1). Jalur penangkapan ikan III, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf c meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan II sampai dengan batas terluaar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

(2). Pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur sebagai berikut:

a. Perairan Indonesia dibolehkan bagi kapal perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat penangkap Ikan purse seine pelagis besar di Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sawu dilarang untuk semua ukuran;

b. Perairan ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi kapal perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat penangkap ikan pukat ikan (Fish Net) minimal berukuran 60 GT;

c. Perairan ZEEI di luar ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi:

1). Kapal perikanan berbendera Indonesia dan berbendera asing berukuran maksimal 350 GT bagi semua alat penangkap ikan;

2). Kapal perikanan berukuran di atas 350 GT – 800 GT yang menggunakan alat penangkap ikan purse seine, hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari garis pangkal Kepulauan Indonesia;

3). Kapal perikanan dengan alat penangkap ikan purse seine dengan sistem group hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari garis pangkal Kepulauan Indonesia.

(3). Kapal perikanan berbendera asing boleh dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sepanjang dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku.

(4). Setiap kapal perikanan yang beroperasi di jalur penangkapan ikan III, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal ¼ (seperempat) lambung kiri dan kanan dengan warna kuning.


(2)

Pasal 6

(1). Semua alat penangkap ikan yang dipergunakan pada setiap jalur penangkapan ikan wajib diberi tanda pengenal alat penangkap ikan.

(2). Ketentuan mengenai penggunaan tanda pengenal alat penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perikanan.

Pasal 7

Kapal perikanan yang menggunakan jaring dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm (1 inchi) dan purse seine cakalang (tuna) dengan ukuran mata jaring kurang dari 75 mm (3 inchi) dilarang untuk dioperasikan di semua jalur penangkapan ikan, kecuali pukat teri dan jaring angkat (lift net).

Pasal 8

Dikecualikan dari ketentuan jalur-jalur penangkapan ikan sebagaimana diatur dalam keputusan ini yaitu kapal perikanan bermotor yang melakukan kegiatan penelitian, survey, eksplorasi dan latihan penangkapan ikan harus memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Perikanan.

Pasal 9

(1). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi di jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, boleh dioperasikan pada jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, jalur penangkapan ikan II dan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan c.

(2). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, boleh dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan c.

(3). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dan dilarang beroperasi pada jalur penangkapan ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).

(4). Semua kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi pada jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dilarang beroperasi pada jalur penangkapan Ikan I dan II sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b.

Pasal 10

(1). Direktur Jenderal Perikanan mencantumkan jalur-jalur penangkapan ikan yang dilarang dalam SPI dan SIPI bagi setiap kapal.

(2). Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II mencantumkan jalur-jalur penangkapan ikan yang dilarang dalam surat ijin kapal ikan (SIKP) bagi setiap kapal perikanan.

Pasal 11

Setiap kapal perikanan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan jalur penangkapan ikan, ketentuan kapal perikanan, ketentuan alat penangkap ikan serta ketentuan tanda pengenal alat penangkap ikan dapat dikenakan pencabutan SPI atau SIPI atau IUP dan atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan.

Pasal 12

Pemberian tanda pengenal jalur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 5 ayat (4) harus telah dilaksanakan paling lambat 1 tahun setelah berlakunya keputusan ini.

Pasal 13

Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/Kpts/Um/9/1976 tentang jalur-jalur penangkapan, Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 608/Kpts/Um/9/1976 tentang penetapan jalur penangkapan bagi kapal-kapal milik perusahaan-perusahaan perikanan negara dan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 300/Kpts/Um/5/1978 tentang pemasangan tanda pengenal jalur penangkapan ikan pada kapal-kapal ikan, dinyatakan tidak berlaku lagi.


(3)

Pasal 14 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 April 1999 MENTERI PERTANIA

ttd

Prof.Dr.Ir.H.SOLEH SOLAHUDDIN, M.Sc

SALINAN keputusan ini disampaikan kepada Yth : 1. Menteri Negara Sekretaris Negara; 2. Menteri Dalam Negeri;

3. Menteri Pertahanan dan Keamanan; 4. Menteri Perhubungan;

5. Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan; 6. Menteri Kehakiman;

7. Menteri Keuangan; 8. Jaksa Agung;

9. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 10. Kepala Staf TNI-AL;

11. Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan;

12. Para Pimpinan Unit Kerja Eselon I lingkup Departemen Pertanian; 13. Direktoral Jenderal Perhubungan Laut;

14. Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia;

15. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian seluruh Indonesia; 16. Para Kepala Dinas Perikanan Propinsi Dati I dan II seluruh Indonesia.


(4)

Lampiran 5 Hasil olahan data PCA, Cluster dan DFA

Eigenvalue (Akar ciri) hasil analisis komponen utama

Eigenvalues (datapca.sta)

Extraction: Principal components

% total Cumul. Cumul.

Eigenval Variance Eigenval %

1 4.934 49.336 4.934 49.336

2 2.021 20.205 6.954 69.541

3 1.558 15.576 8.512 85.117

Communalities

Communalities (datapca.sta) Extraction: Principal components Rotation: Unrotated

From 1 From 2 From 3 Multiple

Factor Factors Factors R-Square

JRK_KK 0.890 0.952 0.985 1

PADAT 0.400 0.847 0.945 1

PRASEJAH 0.037 0.762 0.888 1

SD 0.776 0.784 0.919 1

SLTP 0.825 0.905 0.917 1

SLTA 0.863 0.863 0.905 1

LADANG 0.853 0.856 0.859 1

RUMAH 0.054 0.704 0.925 1

KEL_IKAN 0.065 0.095 0.786 1

KEL_BUD 0.171 0.185 0.384 1

Faktor loding PCA

Factor Loadings (Varimax normalized) (datapca.sta) Extraction: Principal components

(Marked loadings are > .700000)

Factor Factor Factor 1 2 3

JRK_KK 0.9652 -0.2268 -0.0376

PADAT 0.5428 -0.7529 -0.2884

PRASEJAH 0.2505 0.9075 0.0406

SD 0.9447 0.1494 0.0609

SLTP 0.8263 0.2066 -0.4375

SLTA 0.9465 0.0450 -0.0861

LADANG 0.9018 -0.0749 -0.2008

RUMAH -0.0541 -0.6399 0.7158

KEL_IKAN 0.0013 0.0674 0.8838

KEL_BUD -0.2731 0.2507 0.4970

Expl.Var 4.6508 1.9914 1.8695


(5)

Faktor skor PCA

Factor Scores (datapca.sta) Rotation: Varimax normalized Extraction: Principal components

Factor Factor Factor

1 2 3

1 -0.246 -0.103 1.849

2 -0.411 -0.173 -0.168

3 0.393 -1.932 0.343

4 2.694 0.128 -0.245

5 -0.442 1.015 0.164 6 -0.165 1.140 1.449

7 -0.207 0.479 -0.989

8 -0.352 0.463 -1.075

9 -0.338 0.471 -1.005

10 -0.925 -1.488 -0.324

Tipologi desa-desa di Kepulauan Anambas

Tipologi Wilayah Jumlah Desa Persentase

Tipologi I 2 0,2

Tipologi II 6 0,6

Tipologi III 2 0,2

Total 10

Matrik tipologi desa hasil analisis fungsi diskriminan (DFA)

Percent G_1:1 G_2:2 G_3:3

Correct p=.20000 p=.60000 p=.20000

G_1:1 100 2 0 0

G_2:2 100 0 6 0

G_3:3 100 0 0 2


(6)

Fungsi klasifikasi desa hasil analisis diskriminan (DFA)

G_1:1 G_2:2 G_3:3

p=.20000 p=.60000 p=.20000

FACTOR_1 -1.10 0.65 -0.87

FACTOR_2 -8.07 1.58 3.34

FACTOR_3 -0.87 -2.37 7.98

Constant -8.65 -1.53 -9.15

Berdasarkan persamaan umum Y = A + B1X1 + B2X2 + …+ BnXn

Didapat model persamaan baru yang berasal dari analisis fungsi

diskiminasi sebagai berikut:

1.

Untuk tipologi wilayah I persamaan yang didapat:

Y= -8,65 - 1,10F1 –8,07F2 –0,087F3

2.

Untuk tipologi wilayah II persamaan yang didapat:

Y= -1,53 + 0,65F1 + 1,58F2 – 2,37F3

3.

Untuk tipologi wilayah III persamaan yang didapat:

Y= -9,15 – 0,87F1 + 3,34F2 + 7,98F3