Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758) di Taman Nasional Gunung Ciremai.

SEBARAN SPASIAL JEJAK AKTIVITAS BABI HUTAN
(Sus scrofa Linnaeus 1758) DI TAMAN NASIONAL
GUNUNG CIREMAI

FRISKA MEGA UTAMI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sebaran Spasial Jejak
Aktivitas Babi Hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758) di Taman Nasional Gunung
Ciremai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Friska Mega Utami
NIM E34110031

ABSTRAK
FRISKA MEGA UTAMI. Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan (Sus scrofa
Linnaeus 1758) di Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh YANTO
SANTOSA.
Babi Hutan (Sus scrofa) adalah salah satu kelompok mamalia yang menjadi
hama di kebun sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Sebaran spasial
aktivitas babi hutan digunakan untuk mengetahui sebaran dan pergerakan babi
hutan di beberapa tipe tutupan vegetasi yaitu di hutan alam, hutan tanaman, dan
kebun di Resort Argalingga, SPTN wilayah II Majalengka, Taman Nasional
Gunung Ciremai. Pengambilan data sebaran spasial menggunakan teknik
pengamatan jejak, analisis vegetasi, dan wawancara. Teknik pengambilan data
sebaran jejak aktivitas menggunakan metode strip tansect. Sebanyak 16 jejak
ditemukan di kebun, 98 jejak di hutan tanaman, dan 33 jejak di hutan alam. Hasil

uji hipotesis menunjukkan bahwa sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan
dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi. Babi hutan melakukan aktivitas berjalan,
makan, berkubang, mengasah taring atau menggesek tubuh, berlindung, dan
membuang kotoran. Selain itu, babi hutan terbukti menyebar hingga ke kebun untuk
mencari makan.
Kata kunci : babi hutan, hama, sebaran spasial, taman nasional Gunung Ciremai,
tipe tutupan vegetasi.

ABSTRACT
FRISKA MEGA UTAMI. Spatial Distribution of Traces of Wild Boar (Sus scrofa
Linnaeus,1758) Activity in Mount Ciremai National Park. Supervised by YANTO
SANTOSA.
Wild Boar (Sus scrofa) is one of group of mammals which become pests in
gardens around the area of Mount Ciremai National Park. The spatial distribution
of wild boar activity was determined to find out its distribution and movement in
several types of vegetation cover are natural forest, plantation forest, and gardens
at Resort Argalingga, SPTN region II Majalengka, Mount Ciremai National Park.
The data spatial distribution is retrieved using the technique of indirect observation
(Traces), vegetation analyze, and interview. Indirect distribution using strip tansect
method. Based on the observations have been found 16 traces in the garden, 98

traces in plantation forest, and 33 traces in natural forest. Hypothesis test results
showed that the spatial distribution traces of wild boar activity is influenced by the
type of vegetation cover. Wild boar committing several activities are walk, eat,
wallowing, sharpening fangs or swipe the body, cover, and dispose of feces. In
addition, wild boar proven spread to the gardens for foraging.
Keywords: Mount Ciremai national park, pest, spatial distribution, trace, vegetation
cover, wild boar.

SEBARAN SPASIAL JEJAK AKTIVITAS BABI HUTAN
(Sus scrofa Linnaeus 1758) DI TAMAN NASIONAL
GUNUNG CIREMAI

FRISKA MEGA UTAMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan selama bulan Maret 2015 ini ialah
sebaran spasial, dengan judul Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan (Sus
scrofa Linnaeus 1758) di Taman Nasional Gunung Ciremai.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA selaku
dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran. Penghargaan
penulis sampaikan pula kepada pihak Taman Nasional Gunung Ciremai yang telah
mengijinkan dan membantu penulis, baik dari segi materil maupun tenaga sehingga
penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.
Ucapan terima kasih juga diberikan kepada ayah, ibu, beserta seluruh
keluarga atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman KSHE 48,
khususnya Tim PKLP Taman Nasional Gunung Ciremai (Galuh Masyithoh, Dinar

Adiatma, Muhammad Imam, Maya Rumanty Hutagalung, Rifanti Diana Lutfi, dan
Gilang Nugraha Kusuma Ardhi) serta kakak, teman, dan adik di Fakultas
Kehutanan atas motivasi dan kerjasamanya. Kepada sahabat terdekat (Winarsih,
Novita Chantika, Bovi Mutiara Sofi, Karina Restu Pangggalih, dan Rizka Syabana
Azmi) atas suka duka, kebersamaan, dan dukungannya selama ini, serta semua
pihak yang telah memberikan doa dan dukungan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Friska Mega Utami

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii


DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1


Hipotesis

2

METODE

2

Waktu dan Tempat

2

Alat dan Instrumen

2

Prosedur penelitian

2


Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Karakteristik Vegetasi

5

Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan

8

Penyebaran Babi Hutan di Kebun
SIMPULAN DAN SARAN

17

19

Simpulan

19

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

21

DAFTAR TABEL
1 Hasil analisis vegetasi di hutan alam dengan nilai kerapatan paling

tinggi
2 Hasil analisis vegetasi di hutan tanaman dengan nilai kerapatan paling
tinggi
3 Potensi kegunaan tumbuhan oleh babi hutan di setiap tipe tutupan
vegetasi.
4 Jumlah jejak aktivitas babi hutan pada setiap tutupan vegetasi

5
6
7
8

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi jalur transek
2 Jumlah dan jenis jejak pada setiap tipe tutupan vegetasi
3 Jejak kaki babi hutan (a) di hutan tanaman, (b) di kebun, (c) di hutan
alam
4 Jumlah jejak kaki babi hutan pada tiga tipe tutupan vegetasi
5 Jenis makanan yang ditemukan (a) tanaman pertanian di kebun, (b)
cacing di kebun, (c) akar di Hutan Alam, (d) rumput di hutan tanaman,

(e) pinus di hutan tanaman, (f) pisang di hutan tanaman.
6 Jumlah jejak makanan pada setiap tipe tutupan vegetasi
7 Persentase ketersediaan potensi makanan babi hutan
8 Jumlah jejak kubangan pada setiap tipe tutupan vegetasi
9 Jumlah jejak mengasah taring pada setiap tipe tutupan vegetasi
10 Aktivitas mengasah taring pada jenis tumbuhan lain (hasil video trap
BTNGC 2014)
11 Jejak mengasah taring dan menggesekkan tubuh pada pohon pinus
12 Jumlah jejak feses pada setiap tipe tutupan vegetasi
13 Sarang babi hutan di hutan tanaman (a) ukuran 4 m2 dan (b) ukuran 2
m2
14 Matriks hubungan jejak aktivitas yang berdekatan di hutan tanaman
15 Matriks hubungan jejak aktivitas yang berdekatan di hutan alam
16 Peta sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di Resort Argalingga,
SPTN II wilayah Majalengka, Taman Nasional Gunung Ciremai
17 Sebaran spasial aktivitas babi hutan berdasarkan hasil wawancara

3
9
10
10

11
11
12
13
13
14
14
14
15
15
16
16
18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data kerapatan vegetasi di hutan alam
2 Data kerapatan vegetasi di hutan tanaman
3 Hasil uji chi-square sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan pada
seluruh tipe tutupan vegetasi

21
23
24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) adalah sebuah kawasan
konservasi yang terletak di Provinsi Jawa Barat. TNGC ditetapkan berdasarkan SK
Menhut RI No. 424/Menhut-II/2004. TNGC merupakan daerah penting bagi habitat
satwaliar, terutama mamalia. Salah satu kelompok mamalia yang berada di TNGC
adalah babi hutan (Sus scrofa Linnaeus 1758).
Babi hutan dapat hidup pada berbagai jenis habitat. Babi hutan dapat berada
di dalam hutan atau di luar kawasan hutan seperti lahan-lahan pertanian,
perkebunan, dan pekarangan. Babi hutan yang berada di luar kawasan hutan
seringkali dianggap merugikan masyarakat karena dapat merusak tanaman
pertanian (Alikodra 2010). Berdasarkan data dari BTNGC (2014), keberadaan babi
hutan di TNGC telah menjadi hama di kebun milik masyarakat sekitar TNGC.
Babi hutan di TNGC melakukan pergerakan yang lebih luas sehingga
mencapai kebun masyarakat. Keluarnya populasi babi hutan dari dalam kawasan
TNGC diperkirakan karena berbagai faktor diantaranya ledakan populasi babi hutan
di TNGC, menurunnya kualitas habitat, dan ketersediaan pakan. Selain itu juga
diasumsikan karena sedikitnya jumlah predator babi hutan yaitu macan tutul
(Panthera pardus) karena berdasarkan laporan kegiatan Pengendali Ekosistem
Hutan BTNGC (2014), jumlah predator ini hanya satu individu. Asumsi-asumsi
tersebut belum dapat dibuktikan, karena tidak adanya data yang pasti mengenai
populasi, kondisi habitat, sebaran, maupun aktivitas predasi satwaliar di TNGC.
Penelitian mengenai sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan sangat
penting dilakukan karena data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai data dasar
dan pedoman untuk mencari penyebab pasti keluarnya babi hutan dari dalam
kawasan TNGC serta untuk mengetahui pengaruh ancaman tersebut di sekitar
kawasan TNGC. Data sebaran spasial jejak aktivitas ini juga diperlukan untuk
melihat pergerakan babi hutan. Melalui penelitian ini dapat diperoleh data-data
pendukung lainnya yang meliputi karakteristik vegetasi, karakteristik jejak, tekanan
dan kerugian petani, serta penangganan terhadap gangguan babi hutan yang sedang
terjadi. Data diambil berdasarkan pada keberadaan jejak aktivitas yang terlihat di
tipe tutupan vegetasi yang berbeda. Hasil penelitian sebaran jejak aktivitas babi
hutan diharapkan dapat mendukung pengelolaan babi hutan di Taman Nasional
Gunung Ciremai.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sebaran spasial jejak aktivitas babi
hutan di kawasan Resort Argalingga, SPTN Wilayah II Majalengka, Taman
Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di Taman
Nasional Gunung Ciremai ini sebagai berikut :

2
a. Memberikan informasi dan data terbaru mengenai sebaran spasial jejak
aktivitas babi hutan di TNGC.
b. Sebagai bahan pertimbangan pengelolaan satwaliar di kawasan TNGC.
c. Sebagai pedoman yang dapat digunakan dalam mencari upaya penyelesaian
gangguan oleh babi hutan di sekitar TNGC.
d. Sebagai rujukan bagi penelitian yang berhubungan dengan bidang ekologi
babi hutan.
Hipotesis
H0
H1

: Sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di Taman Nasional Gunung
Ciremai tidak dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi.
: Sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di Taman Nasional Gunung
Ciremai dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan ini dilaksanakan di
Resort Argalingga, SPTN Wilayah II Majalengka, Taman Nasional Gunung
Ciremai, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret 2015.
.
Alat dan Instrumen
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, peta lokasi dan
peta kerja, tambang, meteran, pita ukur, GPS Garmin 60 CSX, pengukur waktu,
kamera, software DNRgps versi 6.0.0.6, ArcGIS versi 9.3, dan microsoft Excel
2013. Instrumen yang digunakan adalah panduan wawancara dan tally sheet.
Prosedur penelitian
Kegiatan Pendahuluan
Sebelum dilakukan pengumpulan data maka dilakukan kegiatan berikut :
a. Orientasi lapangan, untuk mengetahui kondisi areal pengamatan,
mencocokan peta kerja dengan kondisi lapangan, penentuan sample jalur.
b. Studi pustaka, untuk memperoleh gambaran umum tentang babi hutan.
Beberapa literatur yang digunakan dalam studi pustaka merupakan hasilhasil penelitian, jurnal, buku, dan situs internet berkaitan dengan babi hutan.
Pengambilan Data
Pengambilan data sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan dilakukan di tiga
tipe tutupan vegetasi yaitu hutan alam, hutan tanaman, dan kebun. Data sebaran
spasial jejak aktivitas diambil menggunakan cara tidak langsung yaitu pengamatan
jejak aktivitas. Selain itu, dilakukan pula analisis vegetasi dan wawancara.

3
Pengamatan Jejak. Pengamatan terhadap tanda-tanda keberadaan (jejak
aktivitas) babi hutan dilakukan di tiga tipe tutupan vegetasi yaitu hutan alam, hutan
tanaman, dan kebun. Jejak yang diamati meliputi jejak telapak kaki babi hutan,
feses, sarang, makanan, kubangan, dan jejak asahan taring. Data yang diambil
meliputi jenis jejak, titik ditemukan, dan ukuran jejak. Pengamatan jejak aktivitas
babi hutan ini menggunakan metode strip transect yaitu pengamatan sepanjang
jalur. Garis pengamatan yang dibuat yaitu sebanyak 12 jalur dengan panjang
berkisar antara 2 km hingga 3,5 km setiap jalurnya dengan lebar ± 50 m. Jalur yang
dibuat mencakup ketiga tipe tutupan vegetasi sehingga memaksimalkan jalur-jalur
tersebut untuk memperoleh data yang representatif. Pengambilan data dilakukan
sebanyak 1 kali untuk setiap jalurnya. Total Panjang jalur transek pada seluruh tipe
tutupan vegetasi adalah 41 km. Peta jalur pengamatan strip transect dapat dilihat
pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi jalur transek
Data dicatat pada tallysheet. Posisi jejak ditandai dengan GPS Garmin 60
CSX. Data titik penemuan jejak dalam GPS diperoleh dengan menggunakan
software DNRgps versi 6.0.0.6. Koordinat titik jejak aktivitas yang telah ditandai
dengan GPS kemudian di digitasi ke dalam peta Taman Nasional Gunung Ciremai
menggunakan software ArcGIS versi 9.3 untuk melihat sebaran spasial aktivitas
babi hutan secara geografis.
Analisis Vegetasi. Karakteristik vegetasi diperoleh melalui analisis
vegetasi. Analisis vegetasi juga dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi
jenis tumbuhan pada setiap tipe tutupan vegetasi yang dilakukan dengan cara
sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis
berpetak dengan ukuran sebuah plot adalah 20 m dan panjang jalur 20 m
(Soerianagara dan indrawan 2002). Jumlah plot yang dibuat sebanyak 10 plot
pengamatan pada setiap tipe tutupan vegetasi yaitu di hutan alam dan hutan tanaman.

4
Wawancara. Informasi mengenai Taman Nasional Gunung Ciremai,
keberadaan dan penyebaran babi hutan, dan tekanan masyarakat sekitar TNGC
merupakan data pendukung penelitian yang diperoleh melalui wawancara dengan
pihak terkait. Wawancara dilakukan kepada 35 responden yaitu satu orang anggota
Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) dari BTNGC, tiga orang petugas lapang, dan
31 responden yang diambil dengan menggunakan metode Snowball yaitu teknik
pemilihan responden melalui informan kunci. Kriteria responden adalah petani
yang memiliki lahan yang terkena dampak gangguan oleh babi hutan. Kegiatan ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan babi hutan beserta
penyebarannya di TNGC. Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Lokasi dan tipe tutupan vegetasi daerah sebaran babi hutan.
b. Jumlah individu yang terlihat.
c. Tumbuhan atau satwa yang dimakan oleh babi hutan.
d. Kerugian akibat gangguan babi hutan.
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan meliputi analisis terhadap beberapa faktor
terkait karakteristik vegetasi, analisis hasil wawancara, dan analisis hubungan
antara parameter pendugaan, dan. Formulasi yang digunakan dalam analisis data
sebagai berikut :
Analisis karakteristik vegetasi
Data yang diambil dalam analisis vegetasi yaitu mencari nilai kerapatan
relatif pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah. Rumus
mencari kerapatan relatif menurut Soerianagara dan Indrawan (2002) sebagai
berikut.
Kerapatan (K)
Kerapatan Relatif (KR)

=

=

�ℎ



� � �

� � �










%

Analisis hasil wawancara
Hasil wawancara dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif.
Analisis kuantitatif menggunakan software Microsoft Excel 2013 untuk mengolah
data hasil wawancara.
Analisis hubungan parameter penduga
Parameter penduga dianalisis dengan menggunakan uji chi-square (X2)
(Santosa 2003). Parameter yang di uji adalah sebaran spasial jejak aktivitas dengan
tipe tutupan vegetasi. Pengujian hipotesis menggunakan rumus chi-square (X2)
yang di notasikan sebagai berikut :


� ��



∑( ˳ − ᵨ)
� =[
]


5
Keterangan :
X2
: Nilai chi-square / X2 hitung
fo
: Frekuensi yang diperoleh/diamati
fe
: Frekuensi yang diharapkan
X2tabel = X2 (α ; Db)
Keterangan :
Taraf nyata : α = 5% = 0.05
Derajat Bebas : Db = 2
Kriteria Uji :
 Jika X2hitung ≤ X2tabel, maka terima H0
 Jika X2hitung > X2tabel, maka tolak H0

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Vegetasi
Tipe tutupan vegetasi yang merupakan daerah penyebaran babi hutan di
sekitar TNGC yaitu hutan alam dan hutan tanaman yang berada di dalam kawasan
taman nasional serta kebun yang berada di luar batas kawasan taman nasional.
Gambaran umum mengenai karakteristik vegetasi di setiap tipe tutupan vegetasi
sebagai berikut :
Hutan alam
Hutan alam merupakan hutan campuran yang ditumbuhi dengan beberapa
tumbuhan yang beragam. Hasil analisis vegetasi ditemukan sebanyak 7 jenis pada
tingkat semai, 19 jenis pada tingkat tumbuhan bawah, 18 jenis pada tingkat
pancang, 9 jenis pada tingkat tiang, dan 16 jenis pada tingkat pohon. Hasil analisis
vegetasi dari mulai kerapatan yang paling besar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil analisis vegetasi di hutan alam dengan nilai kerapatan paling tinggi
Tingkat
Semai
Tumbuhan bawah
Pancang
Tiang
Pohon

Nama
Lokal
Beunying
Huru
Teklan
Bubukuan
Beunying
Kileho
Beunying
Walen
Kipare
Saninten
Kileho

Nama ilmiah

Ficus fistulosa
Macaranga rhizinoides
Eupatorium riparium
Sambucus javanica

Ficus fistulosa
Saurauia blumiana
Ficus fistulosa
Ficus ribes

Deyeuxia australis
Castanopsis javanica
Saurauia blumiana

Jumlah
(ind/ha)
437500
312500
9375000
2812500
17600
9600
50000
30000
375000
275000
150000

KR
(%)
25,92
18,51
45,31
13,59
25,58
13,95
22,72
13,63
26,78
19,64
10,71

6
Berdasarkan Tabel 1, beunying (Ficus fistulosa) adalah jenis semai dengan
kerapatan relatif tertinggi yaitusebesar 25.92% Adapun tumbuhan bawah dengan
kerapatan relatif tertinggi adalah teklan (Eupatorium riparium) yaitu sebesar
45.31%. Tingkat pancang dengan kerapatan relatif tertinggi yaitu beunying (Ficus
fistulosa) dengan kerapatan relatif sebesar 25.58%. Tingkat tiang dengan kerapatan
relatif tertinggi yaitu beunying (Ficus fistulosa) dengan kerapatan relatif sebesar
22.72%. Sedangkan pohon dengan kerapatan relatif tertinggi adalah Kipare
(Deyeuxia australis) yaitu sebesar 26.78%. Jenis lainnya yang ada di hutan alam
antara lain pasang (Quercus sundaica), mara (Macaranga tanarius), saninten
(Castanopsis javanica), kileho (Saurauia blumiana), huru (Macaranga
rhizinoides), harendong (Melastoma candidum), paku-pakuan dan jenis tumbuhan
bawah yang merupakan pakan babi hutan. Secara umum dapat diketahui bahwa
jenis tumbuhan hutan alam lebih beragam dibandingkan jenis yang ditemukan pada
tipe tutupan vegetasi lainnya.
Jenis tumbuhan bawah yang merupakan pakan babi hutan memiliki nama
lokal yaitu rambucan dan bubukuan. Rambucan memiliki kerapatan relatif sebesar
4.5% sedangkan bubukuan memiliki kerapatan relatif sebesar 13.6%. Berdasarkan
penemuan di lapang, babi hutan menggunakan bagian rimpang dari rambucan dan
bagian akar dari bubukuan sebagai pakan.
Hutan tanaman
Hutan tanaman merupakan hutan yang didominasi oleh jenis pinus (Pinus
merkusii). Hasil analisis vegetasi ditemukan sebanyak 2 jenis pada tingkat semai, 7
jenis pada tingkat tumbuhan bawah, 4 jenis pada tingkat pancang, 1 jenis pada
tingkat tiang, dan 1 jenis pada tingkat pohon. Hasil analisis vegetasi dari mulai
kerapatan yang paling besar dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil analisis vegetasi di hutan tanaman dengan nilai kerapatan tertinggi
Tingkat
Semai

Nama lokal
Nama Ilmiah
Kina
Cinchona succirubra
Kaliandra
Calliandra callothyrus

Tumbuhan
bawah
Teklan
Pancang
Kina
Kaliandra
Tiang
Pinus
Pohon
Pinus

Eupatorium riparium
Cinchona succirubra
Calliandra callothyrus
Pinus merkusii
Pinus merkusii

Jumlah
(ind/ha)
437500
562500

KR (%)
43,75
56,25

3375000
14400
6400
40000
3325000

75
42,85
19,04
100
100

Pinus (Pinus merkusii) adalah jenis yang mendominasi pada tingkat pohon
dan tiang dengan kerapatan relatif sebesar 100%. Tingkat pancang ditumbuhi kina
(Cinchona succirubra) dengan kerapatan relatif sebesar 42.85% dan juga kaliandra
dengan kerapatan relatif sebesar 19.04%. Tingkat semai yang banyak tumbuh
adalah kaliandra dengan kerapatan relatif sebesar 56.2%. Tingkat tumbuhan bawah
(semak dan rumput) dengan kerapatan relatif adalah teklan yaitu sebesar 75%.
Teklan, kaliandra, dan beberapa jenis rumput digunakan babi hutan untuk membuat
sarang. Selain itu juga terdapat tanaman pisang yang merupakan pakan babi hutan
dengan kerapatan relatif sebesar 28.6%. Hutan tanaman merupakan hutan yang

7
telah mengalami perubahan fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan
produksi yang dikelola dengan sistem tumpang sari berupa tanaman pertanian.
Setelah menjadi kawasan taman nasional, saat ini hutan tersebut dibiarkan tumbuh
alami sehingga terjadi kembali perubahan ekologis pada lantai hutan dengan
tumbuhnya jenis-jenis baru pada tingkat tumbuhan bawah, semai, dan pancang.
Tegakan hutan tanaman memiliki topografi yang relatif datar, terbuka, serta
terdapat berbagai sumber kebutuhan babi hutan seperti sumber pakan, air, dan
tempat istirahat. Habitat merupakan suatu tempat yang dapat memenuhi kebutuhan
satwaliar, dan digunakan sebagai tempat mencari makan, minum, berlindung,
bermain, berkembangbiak, shelter dan cover (Alikodra 1990). Hutan tanaman
TNGC merupakan tipe vegetasi yang menyediakan kebutuhan bagi babi hutan.
Kebun
Kebun berada di luar kawasan TNGC. Lokasi kebun berbatasan langsung
dengan kawasan TNGC. Kebun merupakan lahan yang ditanami dengan tanaman
pertanian. Kebun ditanami dengan singkong, talas, ubi jalar, jagung, bawang daun,
cabai hijau, cabai rawit, kol, sawi putih, dan kentang. Berdasarkan wawancara
dengan petani, babi hutan lebih sering terlihat di kebun pada saat tanaman sedang
berbuah. Kebun di sekitar TNGC ini memiliki musim berbuah hingga musim panen
yang beragam, hal ini disebabkan oleh jenis tanaman yang berbeda pada setiap
lahan. Hal tersebut juga yang menyebabkan babi hutan dapat mendatangi kebun
dengan lokasi yang berbeda pada setiap waktu. Berdasarkan sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Caley tahun 1993, babi hutan menyukai area yang menyediakan
makanan yang bersuplemen seperti tanaman pertanian. Penelitiannya menunjukan
bahwa lokasi yang dekat dengan tanaman ini dapat meningkatkan kepadatan
populasi babi hutan (Wolf dan Conover 2003).
Jenis tumbuhan yang digunakan babi hutan untuk beraktivitas disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 3 Potensi kegunaan tumbuhan oleh babi hutan di setiap tipe tutupan vegetasi.
Tipe Tutupan Vegetasi

Nama Lokal

Kegunaan

Hutan Alam

Rambucan
Bubukuan
Pinus
Pinus
Pinus
Teklan
Kaliandra
Rumput
Pisang
Singkong
Talas
Ubi Jalar
Jagung
Kentang

Pakan
Pakan
Pakan
Mengasah taring
Menggesekan tubuh
Membuat sarang
Membuat sarang
Membuat sarang
Pakan
Pakan
Pakan
Pakan
Pakan
Pakan

Hutan tanaman

Kebun

Bagian
yang
digunakan
Rimpang
Akar
Buah
Batang
Batang
Daun
Daun
Seluruh bagian
Batang
Umbi
Umbi
Umbi
Tongkol Jagung
Umbi

8
Sebaran Spasial Jejak Aktivitas Babi Hutan
Satwaliar meninggalkan jejak untuk memperlihatkan keberadaannya di alam.
Hal ini dapat dipergunakan sebagai indikator ada tidaknya satwa yang bersangkutan.
Setelah melakukan aktivitas tertentu, babi hutan meninggalkan jejak berupa jejak
telapak kaki, feses, sisa makanan, bekas mengasah taring atau menggesekkan tubuh,
sarang, dan kubangan. Terdapat 147 jejak aktivitas babi hutan ditemukan pada tiga
tipe tutupan vegetasi (Tabel 2). Hal ini menunjukan adanya kemampuan babi hutan
dalam beradaptasi dan menyebar pada habitat yang berbeda (Azhima 2001). Jejak
aktivitas yang ditemukan ini memiliki jumlah yang berbeda pada tiga tipe tutupan
vegetasi tersebut. Uji hipotesis terhadap hubungan antara sebaran spasial jejak
akivitas babi hutan dengan tipe tutupan vegetasi menunjukan bahwa sebaran spasial
jejak aktivitas babi hutan dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi (�2ℎ� �� =
76.448 > �2 (0.05;2) = 5.991).
Tabel 4 Jumlah jejak aktivitas babi hutan pada setiap tutupan vegetasi
Tipe Tutupan Vegetasi

Jumlah

Kebun

16

Hutan Tanaman

98

Hutan Alam

33

Total

147

Berdasarkan tabel diatas, sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan terbanyak
berada di hutan tanaman, diikuti dengan hutan alam dan kebun. Sebanyak 16 buah
jejak ditemukan di kebun, 98 buah jejak ditemukan di hutan tanaman, dan 33 buah
jejak ditemukan di hutan alam. Hal tersebut menunjukan bahwa babi hutan dapat
ditemukan pada berbagai tipe habitat.
Penelitian Gunawan dan Bismark (2007) yang dilaksanakan di Taman
Nasional Gunung Ciremai SPTN 1 wilayah Kuningan membuktikan bahwa babi
hutan (Sus scrofa) dapat dijumpai mulai dari kebun dan ladang penduduk sampai
ke hutan tanaman pinus (Pinus merkusii) dan hutan hujan pegunungan. Penelitian
ini juga membuktikan bahwa jejak aktivitas babi hutan dapat dijumpai di kebun
pada ketinggian 1000 m dpl, hutan tanaman pinus pada ketinggian 1000-1500 m
dpl, dan hutan alam yang berada pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl. Hal ini
didukung dengan pernyataan Chapman dan Trani (2007) bahwa babi hutan
mungkin berada pada area padang savana, hutan, wilayah pertanian, semak dan
rawa. Selain itu, menurut Suripto (2000), babi hutan dapat ditemukan pada habitat
yang luas mulai dari habitat dengan penutupan yang rapat seperti hutan sampai
habitat terbuka yang tidak tertutup rapat oleh pepohonan. Hal tersebut menunjukan
bahwa babi hutan memiliki kemampuan adaptasi dan penyebaran yang tinggi pada
berbagai jenis habitat.
Keberadaan babi hutan pada suatu tipe tutupan vegetasi tergantung pada
jenis aktivitas yang dilakukan pada tipe tutupan vegetasi tertentu. Jenis aktivitas
diketahui berdasarkan jenis jejak yang ditemukan meliputi berjalan atau berlari,
makan, berkubang, berlindung, mengasah taring atau menggesek tubuh, dan

9
membuang kotoran. Jumlah jenis jejak pada setiap tipe tutupan vegetasi diuraikan
sebagai berikut.
1. Hutan alam
Jumlah jejak terbanyak kedua adalah di hutan alam yaitu sebanyak
33 buah. Berdasarkan Azhima (2001), babi hutan juga menyukai tempat
yang berlereng, bersemak rendah, tertutup dan tidak rapat, karena tipe
habitat ini dapat memberikan kebutuhan bagi aktivitas babi hutan serta
jarangnya aktivitas manusia di habitat yang berlereng menjadi faktor
penentu penggunaan habitat tersebut oleh babi hutan. Hutan alam TNGC
memiliki banyak lereng yang merupakan daerah sungai yang mengalirkan
air ketika hujan, sehingga memungkinkan babi hutan mendapatkan sumber
air di hutan alam untuk beraktivitas. Babi hutan melakukan aktivitas
berjalan, makan, dan berkubang di hutan alam.
2. Hutan tanaman
Hutan tanaman merupakan tempat yang paling banyak ditemukan
jejak babi hutan yaitu sebanyak 98 buah. Berdasarkan jejak yang ditemukan,
babi hutan melakukan aktivitas yang lebih lengkap di hutan tanaman
meliputi makan, berjalan, membuang kotoran, mengasah taring, menggesek
tubuh, berkubang, dan berlindung. Hutan tanaman didominasi jenis pinus
yang digunakan oleh babi hutan untuk mengasah taring dan menggesekan
tubuhnya. Selain itu, hutan tanaman memiliki rumput dan semak yang rapat
sehingga babi hutan dapat membuat sarang. Hutan tanaman juga memiliki
aliran sungai sebagai sumber air sehingga hutan tanaman ini dapat
menyediakan kebutuhan bagi babi hutan untuk beraktivitas.
3. Kebun
Kebun merupakan tempat yang paling sedikit terdapat jejak yaitu
sebanyak 16 buah. Hal ini juga diduga karena kebun hanya menyediakan
kebutuhan pakan babi hutan, sehingga aktivitas yang ditemukan di kebun
hanya jejak aktivitas berjalan dan makan. Hal ini menunjukkan bahwa babi
hutan pergi ke kebun untuk mencari makan.
Habitat yang disukai oleh satwaliar adalah habitat yang
menyediakan semua kebutuhan hidup bagi satwaliar yang terdiri atas
makanan, air, tempat berlindung, berkembang biak, dan areal teritori. Hal
ini dinyatakan dalam Santosa et al. (2010) bahwa habitat yang disukai harus
memiliki kualitas yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka keberadaan
suatu satwa tergantung pada ketersediaan kebutuhannya untuk beraktivitas.
Jumlah dan jenis jejak pada setiap tipe tutupan vegetasi dapat dilihat pada
Gambar 2.

0
0
0
0
9
7

0
10
Jumlah (buah)

Sarang
4
Feses
2
Asahan… 11
Kubangan
2
Makanan
46
Kaki Babi
33
0 20 40 60
Jumlah (buah)

Hutan Alam
Sarang
Jenis Jejak

Sarang
Feses
Asahan…
Kubangan
Makanan
Kaki Babi

Hutan Tanaman
Jenis Jejak

Jenis Jejak

Kebun

0

Feses
0
Asahan… 0
Kubangan
2
Makanan
Kaki Babi

25
6
0 10 20 30
Jumlah (buah)

Gambar 2 Jumlah dan jenis jejak pada setiap tipe tutupan vegetasi

10
Jejak aktivitas berjalan
Jejak kaki babi hutan (Gambar 3) yang ditemukan menunjukan aktivitas
berjalan atau berlari untuk berpindah tempat dan melaksanakan aktivitas yang
lainnya. Bentuk jejak kaki babi hutan umumnya hampir mengotak dengan ujung
terbelah, pijakan dalam pada bagian tengah dan adanya bulatan jejak kuku pada
bagian belakang tetapi berdasarkan temuan di lapang banyak kaki babi yang
ditemukan dalam kondisi tidak jelas. Kemungkinan keadaan jejak yang berubah
ukuran maupun bentuknya karena tercuci oleh air hujan yang besar dan hal itu
merupakan kelemahan dalam melacak jejak. Selain itu, kondisi jejak yang
ditinggalkan sangat tergantung pada kondisi keadaan permukaan tanah, pasir, liat,
ataupun batu.

(a)

(c)

(b)

Gambar 3 Jejak kaki babi hutan (a) di hutan tanaman, (b) di kebun, (c) di hutan
alam
Jejak kaki babi hutan yang ditemukan sebanyak 46 buah. Berdasarkan
Gambar 4, jejak kaki babi yang ditemukan di kebun sebanyak 7 buah, di hutan
tanaman sebanyak 33 buah, dan di hutan alam sebanyak 6 buah. Lebih banyaknya
jejak kaki yang ditemukan di hutan tanaman karena keseluruhan jejak aktivitas juga
banyak ditemukan di hutan tanaman sehingga memungkinkan babi hutan sering
berjalan dan berpindah tempat dari aktivitas satu aktivitas ke aktivitas lainnya.

Jenis Jejak

40

33

30
20
10

7

6

0
Kebun

Hutan Tanaman

Hutan Alam

Tipe Tutupan Vegetasi

Gambar 4 Jumlah jejak kaki babi hutan pada tiga tipe tutupan vegetasi
Jejak aktivitas makan
Babi hutan merupakan satwa omnivora yang berperan untuk menjaga
keseimbangan ekosistem. Pergerakan babi hutan juga dipengaruhi oleh keberadaan
pakannya. Makanan yang ditemukan berupa tanaman pertanian (kentang, singkong,
ubi jalar, jagung, dan kentang), cacing, akar, rumput, buah pinus, dan pisang
(Gambar 5).
Makanan adalah jenis jejak yang paling banyak ditemukan pada seluruh tipe
tutupan vegetasi yaitu sebanyak 54.4 % yaitu sebanyak 80 buah jejak. Ketersediaan

11
sumber pakan merupakan salah satu faktor keberadaan babi hutan pada suatu lokasi.
Hal ini didukung dengan pernyataan Azhima (2001) bahwa aktivitas harian babi
hutan sebagian besar digunakan untuk mencari makan yaitu 67.5% dari seluruh
aktivitas harian. Ketersediaan sumber pakan merupakan salah satu faktor
keberadaan babi hutan pada suatu lokasi. Persentase aktivitas makan terbesar terjadi
di hutan tanaman yaitu sebanyak 57.5%, diikuti dengan hutan alam yaitu sebanyak
31.3%, dan terkecil di kebun dengan persentase sebesar 11.2%.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 5 Jenis makanan yang ditemukan (a) tanaman pertanian di kebun, (b)
cacing di kebun, (c) akar di Hutan Alam, (d) rumput di hutan tanaman,
(e) pinus di hutan tanaman, (f) pisang di hutan tanaman.

Jenis Jejak

Jumlah jejak makanan yang ditemukan di hutan tanaman lebih banyak
dibandingkan dengan di tipe tutupan vegetasi lainnya yaitu sebanyak 46 buah. Jejak
yang ditemukan di hutan alam sebanyak 25 dan yang ditemukan di kebun sebanyak
9 buah (Gambar 6). Hasil pengamatan menunjukan bahwa makanan yang paling
banyak ditemukan adalah cacing sebanyak 60 % berdasarkan adanya bekas galian
babi hutan dan pisang sebanyak 23 %. Cacing paling banyak terdapat di hutan
tanaman sedangkan pisang hanya terdapat di hutan tanaman sehingga makanan
terbanyak ditemukan di hutan tanaman.

50
40
30
20
10
0

46
25
9

Kebun

Hutan Tanaman

Hutan Alam

Tipe Tutupan Vegetasi

Gambar 6 Jumlah jejak makanan pada setiap tipe tutupan vegetasi

12
Berdasarkan temuan di lapang, babi hutan meninggalkan jejak makanannya
dengan jumlah yang berbeda setiap jenisnya. Banyaknya jejak makanan yang
ditemukan menunjukan ketersediaan potensi pakan tertentu (Gambar 7). Cacing
merupakan makanan yang banyak ditemukan. Sesuai dengan pernyataan Chapman
dan Trani (2007) bahwa babi hutan juga memakan telur burung, serangga, daging,
binatang pengerat, dan cacing. Babi hutan memakan rumput sebanyak 1%, akar
sebanyak 3%, dan buah pinus sebanyak 1% karena babi hutan menyukai makanan
yang memiliki kandungan serat tinggi ( > 25% ) seperti rumput rendah protein,
kacang-kacangan, rempah-rempah, dan akar (Sicuro 2002 dalam Wolf dan Conover
2003). Babi hutan juga menyukai makanan yang bernutrisi tinggi seperti pisang
yang ditemukan sebanyak 23%. Nutrisi ekstra diperlukan oleh babi hutan betina
untuk menyusui (Focardi dan Monetti 2000 dalam Wolf dan Conover 2003).

Jenis pakan

Sayuran

11%

Pinus

1%

Akar

3%

Cacing

60%

Rumput

1%

Pisang

23%
0%

20%

40%
Persentase

60%

80%

Gambar 7 Persentase ketersediaan potensi makanan babi hutan
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, babi hutan memakan tanaman
pertanian meliputi kentang, ubi jalar, jagung, singkong, dan talas. Babi hutan
mencari makanan tersebut ke kebun milik masyarakat pada malam hari karena babi
hutan cenderung menghindari daerah terbuka ketika aktif mencari makan pada
siang hari karena mereka lebih rentan terhadap predasi, sehingga kegiatan mencari
makan biasanya meningkat pada malam hari. Berdasarkan Aspinall et al. (1999),
babi hutan merupakan binatang malam (nocturnal), sehingga selama sore dan
malam babi hutan muncul di daerah terbuka untuk mencari makanan.
Jejak aktivitas berkubang
Kubangan yang ditemukan menunjukan aktivitas berkubang yang
merupakan perilaku alamiah babi hutan. Kubangan yang ditemukan sebanyak 4
buah jejak. Penemuan jejak kubangan di hutan alam dan hutan tanaman
menunjukan jumlah yang sama yaitu masing-masing 2 kubangan. Babi hutan tidak
ditemukan berkubang di kebun (Gambar 8). Kubangan yang ditemui memiliki luas
sekitar 3 m2 hingga 6 m2, sehingga memungkinkan babi hutan berkubang dalam
satu kelompok. Selain digunakan sebagai tempat berkubang, kubangan juga
digunakan sebagai tempat untuk minum (Johnson et al. 1994). Kubangan terletak
dengan sumber air dan menjadi salah satu faktor penyebab babi hutan melakukan
aktivitas berkubang.

Jumlah jejak (Buah)

13

2,5
2
1,5
1
0,5
0

2

2

0
Kebun

Hutan Tanaman Hutan Alam
Tipe Tutupan Vegetasi

Gambar 8 Jumlah jejak kubangan pada setiap tipe tutupan vegetasi
Aktivitas berkubang diperlihatkan dengan babi hutan melapisi seluruh
permukaan tubuhnya dengan lumpur. Aktivitas ini diduga bertujuan untuk
melindungi tubuh dari lalat, pengaturan suhu tubuh, pembersihan ektoparasit pada
tubuhnya, pembersihan luka pada kulit, dan tingkah laku seksual seperti
menunjukkan kompetisi antar babi hutan jantan. Selain itu, pada cuaca panas babi
hutan mencari sumber air untuk menjaga suhu tubuhnya tetap dingin (Boitani et al.
1994).

Jumlah Jejak (Buah)

Jejak aktivitas mengasah taring dan menggesek tubuh
Pangkal batang pohon yang mengelupas lapisan kulit kayunya menunjukan
aktivitas babi hutan yang telah mengasah taring atau menggesekan tubuhnya ke
batang pohon. Jejak mengasah taring atau menggesekkan tubuh ini hanya
ditemukan di hutan tanaman yaitu sebanyak 11 buah jejak (Gambar 9). Hal ini
dikarenakan babi hutan menggunakan pohon pinus yang terdapat di hutan tanaman
untuk mengasah taring atau menggesekan tubuhnya.
12
10
8
6
4
2
0

11

0
Kebun

0
Hutan Tanaman Hutan Alam
Tipe Tutupan Vegetasi

Gambar 9 Jumlah jejak mengasah taring pada setiap tipe tutupan vegetasi
Babi hutan menggunakan taringnya untuk makan, mengambil bahan sarang,
melindungi anak, serta untuk mempertahankan dirinya ketika babi hutan mendapat
serangan (Oliver dan Leus 2008). Setelah mengasah taring biasanya babi hutan
akan melakukan rubbing, yaitu menggesekkan tubuhnya pada tumbuhan yang dapat
berfungsi untuk membantu membersihkan kutu pada tubuhnya. Contoh jejak
mengasah taring pada batang pohon pinus dapat dilihat pada Gambar 10.

14

Gambar 11 Jejak mengasah taring dan menggesekkan tubuh pada pohon pinus
Pengamatan lapang menunjukan bahwa Pinus (Pinus merkusii) adalah jenis
tumbuhan yang digunakan babi hutan untuk melakukan aktivitas ini. Berdasarkan
hasil monitoring satwaliar di TNGC menggunakan video trap milik BTNGC pada
tahun 2014 menunjukan bahwa babi hutan juga menggunakan jenis tumbuhan lain
untuk melakukan aktivitas mengasah taring. Hal ini menunjukan bahwa babi hutan
tidak hanya menggunakan batang pohon pinus untuk mengasah taring dan
menggesekkan tubuhnya (Gambar 11).

Gambar 10 Aktivitas mengasah taring pada jenis
tumbuhan lain (hasil video trap BTNGC 2014)

Jumlah Jejak (buah)

Jejak aktivitas membuang kotoran
Feses menunjukan babi hutan telah melakukan aktvitas membuang kotoran.
Feses yang ditemukan masih baru. Feses ini ditemukan hanya di hutan tanaman
sebanyak 2 buah jejak (Gambar 12). Aktivitas mencari makan memiliki intensitas
yang tinggi di hutan tanaman sehingga peluang ditemukannya feses di hutan
tanaman lebih besar.
2,5

2

2
1,5
1
0,5

0

0

0
Kebun

Hutan Tanaman

Hutan Alam

Tipe Tutupan Vegetasi

Gambar 12 Jumlah jejak feses pada setiap tipe tutupan vegetasi

15
Jejak aktivitas berlindung
Babi hutan membuat sarang untuk berlindung. Satwa ini hidup dekat dengan
sumber air dan shelter untuk berlindung dan bersembunyi dari predator (Melis et
al. 2006). Sebanyak 4 buah sarang yang ditemukan di hutan tanaman. Sarang
tersebut berukuran cukup besar yaitu 2 m2 dan 4 m2 (Gambar 13). Ukuran sebuah
sarang memungkinkan untuk menampung beberapa individu babi hutan yang
berlindung didalamnya. Hal ini didukung dengan pernyataan Oliver dan Leus
(2008) bahwa babi hutan biasa melakukan aktivitas kesehariannya dengan
berkoloni. Hutan tanaman memiliki kondisi vegetasi dan topografi yang beragam,
terdapat area berumput, bersemak, dan berlereng memungkinkan keberadaan babi
hutan untuk berlindung dan membuat sarang. Sarang babi hutan terbuat dari alang
alang, rumput, teklan, dan daun kaliandra.

(a)
(b)
Gambar 13 Sarang babi hutan di hutan tanaman (a) ukuran 4 m2 dan (b) ukuran 2 m2
Jejak aktivitas yang ditemukan di hutan tanaman adalah makan, berjalan,
mengasah taring, berlindung, berkubang, dan membuang kotoran. Jejak aktivitas
yang ditemukan di hutan alam adalah makan, berjalan, dan berkubang. Jejak
aktivitas yang ditemukan di kebun adalah makan dan berjalan. Hubungan antar
jejak aktivitas yang ditemukan berdekatan dapat dilihat pada matriks hubungan
jejak aktivitas pada setiap tipe tutupan vegetasi (Gambar 14 dan 15).

Jenis jejak
Kaki
Makanan
Kubangan
Asahan Taring
Feses
Sarang

Kaki
4
2
0
1
0

Makanan
4
0
0
0
1

Kubangan
2
0
0
0
0

Asahan
Taring
4
0
0
1
0

Nilai
Feses
1
0
0
1
0

Sarang
0
1
0
0
0
-

11
5
2
1
2
1

Gambar 14 Matriks hubungan jejak aktivitas yang berdekatan di hutan tanaman
Gambar 14 menunjukan bahwa sebanyak 4 (empat) buah jejak makanan di
hutan tanaman ditemukan berdekatan dengan jejak kaki babi, 1 buah jejak makanan
berdekatan dengan sarang, dan sisanya ditemukan hanya aktivitas jejak
makanannya saja. Selain itu, sebanyak 2 buah jejak kubangan ditemukan jejak kaki
dan ditemukan 1 buah jejak feses yang berdekatan dengan jejak asahan taring.

16

Jenis jejak
Kaki
Makanan
Kubangan
Asahan Taring
Feses
Sarang

Kaki
3
0
0
0
0

Makanan
3
0
0
0
0

Kubangan
0
0
1
0
0

Asahan
Taring
0
0
1
0
0

Nilai
Feses
0
0
0
0
0

Sarang
0
0
0
0
0
-

3
3
1
1
0
0

Gambar 15 Matriks hubungan jejak aktivitas yang berdekatan di hutan alam
Gambar 15 menunjukan bahwa sebanyak 3 buah jejak makanan yang
ditemukan di hutan alam berdekatan dengan keberadaan jejak kaki dan sebanyak 1
buah kubangan berdekatan dengan jejak mengasah taring. Ditemukannya jejak kaki
babi hutan yang memiliki intensitas paling tinggi yaitu 11 kali di hutan tanaman
dan 3 kali di hutan alam disebabkan oleh aktivitas babi hutan yang berpindah tempat
ketika akan melakukan suatu aktivitas. Adanya asosiasi antar jejak aktivitas tersebut
menunjukan keberadaan dan pergerakan babi hutan pada suatu tutupan vegetasi
didasarkan pada kebutuhan untuk melakukan aktivitas. Hutan tanaman memiliki
intensitas penemuan jejak berdekatan yang lebih tinggi dibandingkan hutan alam.
Selain itu, beberapa jejak yang berdekatan ini menjadi alasan dan dasar penentuan
suatu objek dianggap sebagai jejak babi hutan.
Berdasarkan letak geografisnya, peta sebaran jejak aktivitas babi hutan
dapat dilihat pada Gambar 16. Pada daerah hutan tanaman terlihat sebaran aktivitas
yang lebih banyak dibandingkan tipe tutupan vegetasi yang lainnya. Babi hutan
telah terbukti menyebar hingga keluar kawasan taman nasional yaitu ke kebun milik
masyarakat.

Gambar 16 Peta sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan di Resort Argalingga,
SPTN II wilayah Majalengka, Taman Nasional Gunung Ciremai

17
Penyebaran Babi Hutan di Kebun
Adanya perubahan struktur dan komposisi jenis vegetasi di hutan tanaman
telah mengubah komposisi satwaliar yang berada di dalamnya. Dampak terhadap
satwaliar tersebut disebabkan berubahnya penyebaran dan kelimpahan makanan,
berubahnya iklim mikro, dan tersedianya tempat berkembang biak atau berlindung.
Babi hutan memperoleh kebutuhan makanan dan tempat berlindung di hutan
tanaman. Oleh karena itu populasi babi hutan dari hutan alam memperluas wilayah
jelajahnya ke hutan tanaman dan semakin mendekati kebun masyarakat. Babi hutan
dapat berada di luar kawasan hutan seperti lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan
pekarangan. Babi hutan seringkali menjadi hama yang dapat menimbulkan
kerusakan serius pada lahan pertanian, sehingga banyak diburu oleh masyarakat
(Choquenot et al. 1996)
Penyebaran babi hutan keluar kawasan TNGC yaitu ke kebun telah
dibuktikan dengan data dan peta sebaran spasial yang telah diperoleh melalui
penelitian ini. Berdasarkan hasil wawancara rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh
satu orang petani adalah 0,7 ha. Kerugian petani akibat kerusakan oleh babi hutan
pada setiap kali serangan berkisar antara Rp 20.000,- hingga Rp 32.000.000,-.
Kerugian tersebut tergantung jumlah komoditas tanaman yang dimakan oleh babi
hutan, banyaknya babi hutan yang diperkirakan menyerang, serta luasan plastik
penutup tanah yang dirusak oleh babi hutan. Babi hutan mendatangi kebun yang
berada pada lokasi yang berbeda setiap malamnya. Babi hutan lebih sering terlihat
ke kebun pada saat musim berbuah hingga musim panen. Babi hutan memakan
jagung, kentang, singkong, talas, dan ubi, serta menggali tanah untuk mencari
cacing dan merusak plastik penutup tanah.
Sebanyak 35% petani tidak pernah melihat babi hutan secara langsung dan
sebanyak 65% petani pernah melihat langsung keberadaan babi hutan di kebun.
Jumlah babi yang terlihat berkisar antara 1 hingga 20 individu dengan jumlah anak
yang lebih banyak daripada dewasa. Spesies ini dapat berkembang biak dengan
cepat dan jumlah anak yang dilahirkan lebih banyak dibandingkan ungulata lainnya.
Biasanya sebanyak 4 hingga 6 anak dilahirkan oleh satu individu babi hutan (Alpers
et al. 2005). Dalam kondisi yang baik babi hutan dapat melahirkan 10 individu anak
(Choquenot et al. 1996). Hal ini menunjukan bahwa babi hutan melahirkan antara
6 hingga 10 individu anak. Data video trap (BTNGC 2014) juga menunjukan babi
hutan beraktivitas secara berkelompok.
Selain itu, babi hutan juga bersifat omnivorous, yang dengan mudah
mendapatkan makanan. Hal tersebut diatas menjadi alasan utama spesies ini dapat
menyebar dengan luas. Disamping dua hal diatas sedikitnya predator alami yaitu
macan tutul menyebabkan semakin berlimpahnya keberadaan spesies ini di hutan.
Berdasarkan Alikodra (2010) Gangguan babi hutan ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain perusakan habitat satwaliar di taman nasional oleh
manusia, perburuan liar, kawasan taman nasional tidak menyediakan semua
kebutuhan hidup babi hutan, populasi babi hutan yang berlebih, dan taman nasional
terisolasi oleh lahan-lahan pertanian dan pemukiman. Gangguan babi hutan yang
terjadi di Resort Argalingga, SPTN II Taman Nasional Gunung Ciremai ini
disebabkan oleh faktor ketersediaan kebutuhan babi hutan berupa makanan di
kebun.

18
Masyarakat telah memiliki cara melindungi kebunnya dari gangguan babi
hutan, seperti pagar dari bahan yang kurang kuat, umbul-umbul yang terbuat dari
kain atau karung bekas, perburuan liar, dan perangkap. Penanganan yang telah
dilakukan tersebut belum dapat mengusir babi hutan dari kebun, bahkan
penanganan yang telah dilakukan cenderung mengabaikan keselamatan babi hutan.
Babi hutan diburu secara liar, ditembak, dan dijerat, hingga mati. Oleh karena itu
diperlukan suatu upaya pengendalian dan penanggulangan gangguan babi hutan ini
secara bijaksana. Untuk mengatasi masalah ini harus dilakukan pendekatan solusi
jangka pendek dan jangka panjang. Beberapa solusi jangka pendek yang dapat
dilakukan oleh masyarakat sebagai berikut.
a. Pemagaran disekitar kebun dengan kontruksi yang kuat, tinggi, dan mudah
terlihat. Pagar mengelilingi lahan kebun milik petani.
b. Pengusiran atau penghalauan pada saat tanaman sedang berbuah hingga
panen
c. Pembuatan jebakan atau perangkap yang terbuat dari gulungan kawat
sehingga kemungkinan babi hutan terperangkap dalam gulungan kawat.
Ketiga pilihan solusi tersebut dilakukan oleh para petani yang ingin
melindungi kebunnya, sementara itu, pihak TNGC dapat membantu petani dalam
bentuk pendidikan dan pelatihan dalam upaya penanganan masalah gangguan babi
hutan tersebut berkaitan dengan cara pemagaran, pengusiran, penghalauan, dan
pembuatan perangkap yang disarankan. Sedangkan untuk solusi jangka panjang
harus dimulai dengan penelitian-penelitian lain yang relevan seperti penentuan daya
dukung habitat babi hutan, penggunaan ruang, dan parameter demografi babi hutan
sehingga dapat menentukan sistem pengelolaan yang tepat bagi kelestarian babi
hutan dan habitatnya.
Peta sebaran aktivitas babi hutan yang terlihat oleh petani dapat dilihat pada
Gambar 17. Berdasarkan letak geografisnya, Babi hutan terlihat oleh petani berada
di kebun yang berada di luar kawasan taman nasional.

Gambar 17 Sebaran spasial aktivitas babi hutan berdasarkan hasil wawancara

19

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sebaran spasial jejak aktivitas babi hutan (Sus Scrofa Linnaeus 1758) di
Taman Nasional Gunung Ciremai dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi. Jejak
aktivitas babi hutan paling banyak ditemukan di hutan tanaman dibandingkan
dengan tipe tutupan vegetasi lainnya. Makanan merupakan jejak aktivitas yang
paling banyak ditemukan di seluruh tipe tutupan vegetasi. Babi hutan terbukti
menyebar hingga keluar kawasan taman nasional yaitu ke kebun karena faktor
ketersediaan pakan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang daya dukung habitat babi
hutan dan parameter demografi babi hutan di kawasan TNGC untuk
memperbaharui data tentang status keberadaan dan kemelimpahan babi hutan di
TNGC. Data ini digunakan untuk menentukan sistem pengelolaan yang tepat bagi
kelestarian babi hutan dan habitatnya maupun digunakan sebagai dasar
pertimbangan penyelesaian permasalahan gangguan babi hutan yang sedang terjadi
di kawasan sekitar TNGC.

DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor (ID): Pusat Antar
Universitas IPB.
Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar dalam Rangka Mempertahankan
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press.
Alpers DL, Doust J, Hampton JO, Higgs T, Pluske J, Spencer PBS, Twigg LE,
Woolnough AP. 2004. Molecular techniques, wildlife management and the
importance of genetic population structure and dispersal: a case study with
feral pigs. Journal of Applied Ecology. 41:735-743.
Aspinall R, Leaper R, Gorman ML, Massei G. 1999. The Feasibility of
Reintroducing Wild Boar (Sus Scrofa) To Scotland. Printed in Great Britain.
United Kingdom. Mammal Rev. 29(4): 239–259.
Azhima, F. 2001. Pengendalian Babi Hutan, Hama Utama Bagi Kebun Karet di
Jambi. Jambi (ID): Seri Wanatani Karet.
[BKSDA] Balai Konservasi Sumberdaya Alam (ID). 2006. Rencana Pengelolaan
Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Bandung (ID): Balai Konservasi
Sumberdaya Alam Jawa Barat II, Departemen Kehutanan RI.
[BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (ID). 2014. Manusia dan
Satwaliar. Kuningan (ID): Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.
Boitani L, Corsi F, Mattei L, Nonis D. 1994. Spatial and activity patterns of wild
bords in Tuscany, Italy. Journal of Mammalogy. 75(3):600-612.

20
Chapman B, Trani M. 2007. Feral Pig (Sus scrofa). Di dalam M Trani, W Ford, B
Chapman, editor. The Land Manager`s Guide to Mammals of the South.
Durham. NC: The Nature Conservancy and the US Forest Service, Southern
Region. Hlm 540-544.
Choquenot D, Korn T, McIlroy J,. 1996. Managing Vertebrate Pests: Feral Pigs.
Canberra: Australian Government Publishing Service.
Gunawan H, Bismark M. 2007. Status Populasi Dan Konservasi Satwaliar
Mamalia di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Bogor (ID): Pusat
Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Johnson, McGlone, Morrowtesch L, Salak L. 1994. Heat and Social Stress Effects
on Pig Immune Measures. Journal of American Society of Animal Science.
72:259-269.
Melis C, Barton K, Szafranska P, Jedrzeiewska B. 2006. Biogeographical variation
in the population density of wild boar (Sus scrofa) in western Eurasia. Journal
of Biogeography. 33(5) : 803-811
Oliver W, Leus K. 2008. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2.
Sus scrofa [Internet]. [Diunduh 2015 Mei 19]; Tersedia pada
http://www.iucnredlist.org/details/41775/0.
[PEH] Pen