Pemetaan Sensitivitas Lingkungan Taman Nasional Gunung Ciremai

PEMETAAN SENSITIVITAS LINGKUNGAN TAMAN
NASIONAL GUNUNG CIREMAI

DINAR ADIATMA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Sensitivitas
Lingkungan Taman Nasional Gunung Ciremai adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.


Bogor, Maret 2016

Dinar Adiatma
NIM E34110085

ABSTRAK
DINAR ADIATMA. Pemetaan Sensitivitas Lingkungan Taman Nasional Gunung
Ciremai. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan YUDI SETIAWAN.
Indeks Sensitivitas Lingkungan merupakan pendekatan sistematis untuk
menyusun informasi tingkat sensitivitas daerah berdasarkan klasifikasi fisik
perairan, sumberdaya biologis, dan penggunaan sumberdaya oleh masyarakat.
Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang
banyak mengalami gangguan masyarakat. Setiap daerah di TNGC akan
memberikan respon bervariasi sesuai tingkat sensitivitas masing-masing.
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun informasi tingkat sensitivitas daerah
TNGC menggunakan indeks sensitivitas lingkungan. Penyusunan indeks
sensitivitas lingkungan berdasarkan faktor kerentanan, ekologi, dan sosial. Kelas
sensitivitas dibagi menjadi lima tingkat mulai tingkat sangat sensitif hingga
tingkat tidak sensitif. Hasil kumulatif ketiga indeks penyusun menunjukkan

bahwa wilayah TNGC didominasi oleh wilayah sensitif. Secara keseluruhan
berdasarkan luasan setiap tingkat sensitivitas maka seluruh resort memiliki
wilayah sensitif dan agak sensitif. Resort Jalaksana dan Cilimus menjadi resort
prioritas karena memiliki kawasan dengan tingkat sangat sensitif di zona inti.
Kata kunci: gangguan, indeks sensitivitas lingkungan, sensitif

ABSTRACT
DINAR ADIATMA. Sensitivity Mapping Gunung Ciremai National Park
Environment. Supervised by LILIK BUDI PRASETYO and YUDI SETIAWAN.
Environmental Sensitivity Index is a systematic approach to organize
information based on the sensitivity level of physical classification of aquatic,
biological resources, and the use of resources by the community. Research
conducted at the National Park of Mount Ciremai (TNGC), which many impaired
people. Every region in TNGC will provide responses vary according to the level
of sensitivity of each. This study aims to collate information TNGC the sensitivity
level using environmental sensitivity index. Compilation of environmental
sensitivity by a factor of vulnerability, ecological, and social. Sensitivity class is
divided into five levels from levels very sensitive to the level insensitive. The
cumulative results for the three constituent indices showed that the region is
dominated by TNGC sensitive areas. Overall based on the extent of each level of

sensitivity, the entire resort has a sensitive region and a bit sensitive. Resort
Jalaksana and Cilimus become a priority as it has a resort area with a very
sensitive level in the core zone.
Keywords: disturbance, ecological sensitivity index, sensitivity

PEMETAAN SENSITIVITAS LINGKUNGAN TAMAN
NASIONAL GUNUNG CIREMAI

DINAR ADIATMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2016

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini merupakan
dokumentasi penelitian yang dilaksanakan pada Februari−Maret 2015 dengan
judul Pemetaan Sensitivitas Lingkungan Taman Nasional Gunung Ciremai.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Kemristekdikti yang telah memberikan
kesempatan menempuh perkuliahan melalui beasiswa Bidikmisi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Lilik Budi Prasetyo, MSc dan
Yudi Setiawan, SP, MSc, PhD selaku dosen pembimbing atas arahan, motivasi,
dan waktu yang diberikan kepada penulis. Apresiasi penulis sampaikan kepada
seluruh petugas di kantor Balai Taman Nasional Gunung Ciremai khususnya di
Seksi Pengelola Wilayah II Majalengka yang telah membimbing selama
pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir
Rachmad Hermawan, MSc dan Dr Ir Omo Rusdiana, MSc selaku ketua sidang
dan dosen penguji atas segala arahan, saran dan motivasi pada sidang
komprehensif.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para dosen yang mengajarkan
ilmu dan suri teladan selama di kampus IPB tercinta. Semoga penulis
mendapatkan kehormatan untuk membalas kebaikan beliau semua. Teriring juga

salam hangat kepada rekan-rekan mahasiswa yang penulis kenal selama
menempuh perkuliahan. Semoga hubungan silaturahmi kita tetap senantiasa
mendekatkan kepada kebaikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016

Dinar Adiatma

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN


vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

METODE


2

Waktu dan Tempat

2

Alat dan Bahan

2

Jenis Data yang Dikumpulkan

3

Prosedur Penelitian

3

Batasan Penelitian


4

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

6

Indeks Kerentanan

7

Indeks Ekologi


10

Indeks Sosial

12

Tingkat Sensitivitas Taman Nasional Gunung Ciremai

14

Analisis dengan Zonasi TNGC

16

SIMPULAN DAN SARAN

17

Simpulan


17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

20

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

6

Jenis dan sumber data
Kriteria indeks kerentanan
Indeks ekologi TNGC
Kriteria indeks sosial
Tingkat sensitivitas
Akumulasi ISL TNGC

3
5
5
6
6
7

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai
Indeks kerentanan TNGC
Persentase luasan resort TNGC berdasarkan indeks kerentanan
Indeks ekologi TNGC
Persentase luasan resort TNGC berdasarkan indeks ekologi
Indeks sosial TNGC
Persentase luasan resort TNGC berdasarkan indeks sosial
Tingkat sensitivitas TNGC
Persentase luasan resort TNGC berdasarkan ISL
Analisis tingkat sensitivitas dengan zonasi TNGC

2
8
9
10
11
12
13
15
16
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Tutupan lahan TNGC 2015
Jenis tanah TNGC
Ketinggian kawasan TNGC
Kemiringan lereng TNGC
Jenis satwa penting TNGC
Rekapitulasi indeks kerentanan tingkat resort
Rekapitulasi indeks ekologi tingkat resort
Rekapitulasi indeks sosial tingkat resort
Rekapitulasi tingkat sensitivitas tingkat resort
Hasil tumpang susun tingkat sensitivitas dengan zonasi TNGC
Dokumentasi penelitian

20
21
22
23
24
24
25
25
26
26
27

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indeks Sensitivitas Lingkungan (ISL) merupakan pendekatan sistematis
untuk menyusun informasi tingkat sensitivitas daerah berdasarkan klasifikasi fisik
perairan, sumberdaya biologis, dan penggunaan sumberdaya oleh masyarakat.
Metode ini awalnya digunakan National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA) pada 1979 untuk mitigasi tumpahan minyak di lepas pantai Amerika
Serikat. Sejak itu metode ini digunakan secara umum untuk kebutuhan mitigasi di
daerah pesisir (coastal). Tahun 1989 NOAA menggunakan pangkalan data digital
dengan sistem informasi geografis untuk memperluas jangkauan pengaplikasian
metode ini (Petersen et al. 2002).
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor
(PKSPL-IPB) mengembangkan ISL untuk daerah pesisir dan daerah terestrial.
Indeks pengembangan PKSPL-IPB memiliki tiga indeks penyusun yaitu indeks
kerentanan (vulnerability index), indeks ekologi (ecological index), dan indeks
sosial (social index). PKSPL-IPB memberikan porsi bobot yang lebih besar
terhadap indeks sosial karena besarnya potensi kerugian sosial dan ekonomi
(Wahyudin 2013).
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan taman nasional yang
seluruh wilayah pengelolaannya berada di daerah terestrial. Perubahan fungsi
wilayah Gunung Ciremai yang sebelumnya merupakan areal Perhutani dengan
sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) menjadi daerah
konservasi memerlukan proses bertahap. Masyarakat yang sebelumnya
menggantungkan kebutuhan hidup di dalam kawasan dengan berkebun harus
memenuhi kebutuhan ekonomi tanpa berada di kawasan TNGC. Setiap kawasan
yang terdapat gangguan akan memberikan respon bervariasi sesuai tingkat
sensitivitas masing-masing. Sampai saat ini belum terdapat data mengenai
sensitivitas daerah TNGC jika terjadi gangguan. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian tentang tingkat sensitivitas daerah TNGC agar diperoleh data penunjang
dalam merumuskan konsep ideal pengelolaan TNGC.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun informasi tingkat sensitivitas
daerah Taman Nasional Gunung Ciremai, Provinsi Jawa Barat menggunakan ISL.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi yang
bermanfaat bagi pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai untuk menilai
tingkat sensitivitas daerah taman nasional. Penelitian ini juga menjadi
pertimbangan upaya pengelolaan berdasarkan tingkat sensitivitas daerah taman
nasional.

2

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian bertempat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Provinsi
Jawa Barat dengan percontohan area (area sampling) Seksi Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah II Majalengka (Gambar 1). Penelitian dilaksanakan dalam dua
tahap. Tahap pertama pengambilan data pada bulan Februari−Maret 2015 dan
pengolahan data di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan Departemen KSHE,
Fakultas Kehutanan IPB.

Gambar 1 Lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam aktivitas penelitian ini dibagi
menjadi dua kategori, yaitu :
1. Alat dan bahan yang digunakan pada pengambilan data di lapangan, yaitu alat
tulis, Global Positioning System (GPS) Garmin 76csx, kamera digital, peta
daerah TNGC.
2. Alat dan bahan yang digunakan pada pengolahan dan analisis data, yaitu
seperangkat komputer yang dilengkapi dengan aplikasi ArcGis, DNR GPS, dan
Microsoft Office Suite.

3
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diambil berupa data primer dan sekunder (Tabel 1). Data
primer diambil dengan cara mengambil titik koordinat tiap tutupan lahan yang ada
di TNGC. Data sekunder berupa citra satelit diperoleh melalui mengunduh secara
daring sedangkan data peta dan dokumen pendukung diperoleh melalui Balai
Taman Nasional Gunung Ciremai.
Tabel 1 Jenis dan sumber data
No.
1.

2.
3.
4.

5.
6.
7
8.

Jenis Data

Sumber Data

Citra Landsat (Land Satellite) 8
path/row 121/65 akuisisi 20 Mei
2015
Citra ASTER GDEM path/row
121/65
Peta batas daerah TNGC skala
1:30 000
Peta sumber daya tanah tingkat
tinjau lembar Cirebon (1309)
skala 1:250 000
Statistik TNGC 2013
Laporan kajian biodiversitas
TNGC 2013
Peta tinjau zonasi TNGC 2014
skala 1:30 000
Titik koordinat pemeriksaan
lapangan tiap tutupan lahan

http://earthexplorer.usgs.gov

http://earthexplorer.usgs.gov
Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian
Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
Pengambilan data di lapangan

Prosedur Penelitian
Pembuatan peta tutupan lahan terklasifikasi
Pembuatan peta tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan citra Landsat
(Land Satellite) 8 path/row 121/65 akuisisi 20 Mei 2015 karena pada tanggal
tersebut diperoleh hasil citra paling sedikit tutupan awannya. Tahap pertama
adalah menggabungkan seluruh saluran (band) menjadi satu citra. Tahap kedua
adalah pemotongan citra (image subset) menggunakan poligon batas kawasan
pengelolaan TNGC. Hasil pemotongan citra diklasifikasi sesuai tutupan lahan
yang ada di lapangan. Tahap terakhir uji akurasi berdasarkan titik survei lapangan
di setiap tipe tutupan lahan.
Pembuatan peta fisik TNGC
Pembuatan peta fisik TNGC menggunakan citra DEM dan peta jenis tanah
Jawa Barat-Banten. Citra DEM dan peta jenis tanah terlebih dahulu dipotong
menggunakan poligon batas kawasan pengelolaan TNGC. Data fisik yang
disajikan adalah ketinggian dari permukaan laut dan kemiringan lereng
berdasarkan selang tertentu serta jenis tanah seluruh kawasan TNGC.

4
Sebaran spesies satwa
Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data kualitatif sebaran satwa dan
jenis satwa penting TNGC. Data sebaran satwa selanjutnya diubah ke dalam data
spasial berupa data ketinggian dan tutupan lahan lokasi perjumpaan satwa.
Penentuan kawasan sempadan mata air
Titik koordinat seluruh mata air TNGC diperoleh dari studi pustaka dan
ditarik radius jarak tertentu berpusat di titik mata air (buffering) sebagai kawasan
sempadan mata air.
Analisis dengan zonasi TNGC
Peta zonasi TNGC diperoleh melalui digitasi peta tinjauan zonasi TNGC
2014 pada skala 1:5 000. Peta tingkat sensitivitas TNGC ditumpangsusunkan
(overlay) dengan peta zonasi. Hasil akhir adalah sebaran setiap tingkat sensitivitas
pada zonasi TNGC.
Batasan Penelitian
Terminologi yang digunakan
Terminologi yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan modifikasi
dari Petersen et al. (2002) sebagai berikut:
1. Sensitivitas adalah tingkat kemudahan kehilangan nilai ekonomi, ekologi,
sosial, fisik suatu tutupan lahan akibat gangguan.
2. Gangguan adalah kegiatan manusia yang berada di wilayah pengelolaan
TNGC selain kegiatan pengelolaan.
3. Kerentanan adalah keadaan atau kondisi yang mengurangi kemampuan
mempersiapkan untuk menghadapi gangguan.
4. Indeks kerentanan adalah tingkat ketidakmampuan bertahan komponen
fisik TNGC terhadap erosi berdasarkan kriteria kawasan hutan lindung.
5. Indeks ekologi adalah tingkat sebaran spasial spesies satwa penting.
Spesies satwa penting diidentifikasi berdasarkan status endemis,
kelangkaan, keterancaman kepunahan, dan perlindungan spesies satwa
tersebut.
6. Indeks sosial adalah tingkat kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat
terhadap sumberdaya mata air TNGC.
Asumsi yang digunakan
Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi untuk membangun nilai ISL
agar setara, seragam, dan konsisten. Asumsi yang digunakan adalah semua daerah
TNGC memiliki potensi gangguan yang sama dan tidak terjadi bencana alam di
sebagian atau seluruh wilayah TNGC.
Analisis Data
Kriteria komponen ISL
Indeks kerentanan ditentukan berdasarkan modifikasi kriteria fisik hutan
lindung. Nilai skor berbanding lurus dengan ketinggian daerah dari permukaan
laut, kemiringan lereng, dan kepekaan jenis tanah terhadap erosi (Tabel 2). Nilai

5
skor ketinggian dari permukaan laut berubah setiap kenaikan 1 000 m dpl. Batas
maksimal ketinggian menyesuaikan dengan kriteria fisik hutan lindung yakni 2
000 m dpl. Kriteria kemiringan lereng hanya dibagi menjadi tiga kelas yakni kelas
landai, curam, dan sangat curam berdasarkan kondisi lokasi penelitian. Parameter
jenis tanah yang ditetapkan di dalam kriteria adalah merupakan jenis tanah pada
tingkat ordo. Semakin rentan terhadap erosi semakin tinggi nilai skor.

Kriteria
Elevasi

Kemiringan

Tanah

Tabel 2 Kriteria indeks kerentanan
Subkriteria
> 2 000 m dpl
1 000−2 000 m dpl
< 1 000 m dpl
> 40%
16 – 40%
< 15%
Regosol, Litosol,
Organosol,Renzine
Andosol, Laterit, Grumusol,
Podsol, Podsolik
Brown forest,non-calcic
brown, Mediteran
Latosol
Aluvial, Glei,
Planosol,Hidromorf

Skor
5
3
1
5
3
1
5
4
3
2
1

Sumber: SK Mentan No.837/kpts/um/11/1980

Indeks ekologi ditentukan berdasarkan tipe tutupan lahan hutan (hutan
tanaman dan hutan alam) dan ketinggian dari permukaan air laut (Tabel 3). Nilai
skor tidak berbanding lurus dengan ketinggian karena TNGC memiliki wilayah
pengelolaan sebagian besar pegunungan (1 000−2 400 m dpl) sehingga bagian
kawasan TNGC terbanyak pada ketinggian tersebut. Daerah pengelolaan TNGC
diindikasikan dari kondisi hutan alam yang masih terjaga dan eks lahan garapan
yang mulai mengalami suksesi sehingga menyediakan banyak ruang berlindung
(shelter dan cover) bagi satwa. Wilayah TNGC pada ketinggian < 1 000 m dpl
banyak berbatasan langsung dengan permukiman penduduk maupun lahan
garapan yang cenderung dihindari satwa sehingga keberadaan satwa penting
biasanya jarang.

Kriteria
Daerah perlindungan
satwa penting

Tabel 3 Indeks ekologi TNGC
Subkriteria
Hutan dan 1 000−2 400 m
dpl
Hutan dan > 2 400 m dpl
Hutan dan < 1 000 m dpl

Skor
5
3
1

Sumber: Gunawan et al. (2008), Gunawan dan Bismark (2007), dan Gunawan et al. (2012)

Mata air TNGC merupakan sumber air bersih utama sepanjang tahun bagi
masyarakat Kuningan, Majalengka, Cirebon, Indramayu, dan Brebes . Mata air

6
TNGC digunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum, MCK, dan irigasi
sehingga masyarakat memiliki ketergantungan tinggi terhadap mata air dari
dalam daerah (BTNGC 2014). Nilai skor indeks sosial ditentukan berdasarkan
radius dari mata air (Tabel 4). Nilai skor berbanding terbalik dengan jarak dari
mata air. Daerah di sekeliling mata air radius 200 meter memiliki skor maksimum
(5) sedangkan daerah di luar radius tersebut memiliki skor minimum (1).
Tabel 4 Kriteria indeks sosial
Kriteria
Subkriteria
Daerah perlindungan mata air Radius 200 meter dari
mata air
Radius > 200 meter dari
mata air

Skor
5
1

Sumber: PP No. 26 Tahun 2008

Persamaan ISL
Seluruh kriteria memiliki bobot sama. Nilai ISL diperoleh dari penjumlahan
total dari nilai skor setiap kriteria ketiga indeks penyusunnya menggunakan
persamaan dari Petersen et al. (2002).
ISL = f (IK, IE, IS)
Nilai setiap kriteria dijumlahkan dengan indeks lain dan dikategorikan ke
dalam tingkat skor. Tingkat skor dibedakan menjadi lima berdasarkan selang skor
(Tabel 5). Hasil analisis data direpresentasikan dalam wujud peta digital
menggunakan Sistem Informasi Geografis untuk mendukung pemodelan lebih
lanjut. Selang skor ditentukan menggunakan persamaan sebagai berikut.
Selang skor =

(skor tertinggi – skor terendah)
jumlah tingkat

Tabel 5 Tingkat sensitivitas
Tingkat
1
2
3
4
5

Kategori
Tidak sensitif
Kurang sensitif
Agak sensitif
Sensitif
Sangat sensitif

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Daerah Taman Nasional Gunung Ciremai termasuk ke dalam wilayah
administratif Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa

7
Barat koordinat 102º20’BT–108º40’ BT dan 6º40’ LS–6º58’ LS. Taman Nasional
Gunung Ciremai (15 500 ha) dibagi menjadi 11 resort pengelolaan taman nasional
yang menjadi dua seksi pengelolaan wilayah dan berbatasan langsung dengan 45
desa sekitar. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTN Wil.) II
Majalengka terdiri atas lima resort pengelolaan dengan luas 6 800.13 Ha (44%
total wilayah). Daerah TNGC khususnya SPTN Wil.II Majalengka merupakan
lahan eks Perhutani dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM) sehingga masih terdapat areal bekas hutan tanaman pinus dan bekas
lahan garapan masyarakat sekitar yang belum sepenuhnya ditinggalkan.
Topografi SPTN Wil.II Majalengka berupa pegunungan yang mendukung
fungsi hidrologis TNGC. Terletak pada ketinggian 292−3047 m dpl dan sebagian
besar wilayah memiliki kemiringan lereng curam. TNGC memiliki 98 mata air
dengan debit pemanfaatan rata-rata 118.37 liter/detik. Sebanyak 36 mata air di
antaranya terdapat di SPTN Wil.II Majalengka yang dimanfaatkan untuk air
minum, irigasi, wisata, dan MCK masyarakat sekitar (BTNGC 2014).
Tipe ekosistem di TNGC adalah ekosistem air tawar, hutan dataran rendah,
hutan pegunungan, dan hutan subalpin. Ekosistem dominan adalah ekosistem
hutan pegunungan (BTNGC 2014). Tipe tanah TNGC sebagian besar peka
terhadap erosi (andosol) dan agak peka (latosol). SPTN Wil.II Majalengka
memiliki semua tipe ekosistem TNGC dan merupakan habitat bagi spesies satwa
penting macan tutul (Panthera pardus melas), surili jawa (Presbytis aygula),
kukang jawa (Nycticebus javanicus), dan elang jawa (Nisaetus bartelsi) serta
persinggahan bagi jenis migran seperti sikep-madu asia (Pernis ptilorhynchus)
dan elang-alap cina (Accipiter soloensis).
Indeks Sensitivitas Lingkungan
Indeks kerentanan
Hasil penumpangsusunan antara peta jenis tanah, kemiringan lereng, dan
ketinggian lahan memperlihatkan bahwa 41.49% daerah TNGC termasuk daerah
rentan dan 12.94% termasuk sangat rentan (Tabel 6). Wilayah TNGC memiliki
tiga tingkat kerentanan yang mendominasi yakni rentan, agak rentan, dan kurang
rentan. Kondisi demikian disebabkan bahwa sebagian besar (56.28%) wilayah
TNGC berada pada ketinggian 1 000−2 000 m dpl dan 50.78% berada pada
daerah dengan kemiringan lereng 16−40% (curam) terutama di bagian tengah
wilayah searah puncak gunung. Wilayah TNGC sebagian besar merupakan
pegunungan bahkan puncaknya adalah puncak tertinggi di Jawa Barat sehingga
sedikit memiliki daerah landai (kemiringan < 15%). Jenis tanah andosol
mendominasi TNGC (45.85%) sebagai ciri gunung berapi karena terbentuk dari
bahan vulkanik.
Tabel 6 Akumulasi ISL TNGC
Kelas
1
2
3
4
5

IK (%)
1.05
20.67
23.86
41.49
12.94

IE (%)
16.75
2.76
54.85

IS (%)
92.72
7.28

Sensitivitas (%)
6.57
21.62
28.00
42.41
1.40

8
Keterangan: IK=Indeks kerentanan, IE=Indeks ekologi, IS=Indeks Sosial, semakin besar angka
semakin tinggi kelasnya

Setiap resort memiliki perbedaan sebaran semua tingkat sensitivitas
(Gambar 2). Tingkat rentan menyebar di bagian pinggir dan tengah wilayah
TNGC, berada di seluruh resort kecuali sebagian kecil resort Sangiang. Tingkat
sangat rentan terkonsentrasi di tengah-tengah wilayah TNGC terutama di wilayah
resort Cilimus dan Jalaksana. Tingkat kurang rentan banyak tersebar di resort
Pasawahan dan Mandirancan, sedangkan tingkat agak rentan banyak tersebar di
resort Cigugur, Darma, dan Sangiang.

Gambar 2 Indeks kerentanan TNGC
Gunung Ciremai termasuk gunung berapi aktif dengan selang waktu
istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Erupsi Gunung Ciremai
tercatat sejak 1698 dan terakhir kali pada 1937 (PVMBG 2014). Daerah gunung
berapi yang mempunyai tanah andosol seperti Gunung Ciremai umumnya
berpenduduk padat, karena kesuburan dan keindahan panoramanya. Jenis tanah
andosol yang mendominasi daerah TNGC (45.85%) berkembang dari bahan
vulkanik, oleh karena itu penyebaran tanah andosol secara geografis tidak terlepas
dari penyebaran gunung berapi (Sukarman dan Dariah 2014).
Jenis tanah di TNGC didominasi jenis peka erosi (andosol) dan sangat peka
erosi (regosol dan litosol) dengan luasan 59.33% dari total kawasan. SK Mentan
No.837/kpts/um/11/1980 menjelaskan suatu areal berpotensi tinggi sebagai daerah
bahaya erosi bila areal tersebut memiliki jenis-jenis tanah peka erosi pada

9

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Sangat rentan
Rentan

Sangiang

Pasawahan

Mandirancan

Jalaksana

Gn.Wangi

Darma

Cilimus

Cigugur

Bantaragung

Argamukti

Agak rentan
Argalingga

Luasan (%)

kemiringan lereng lebih dari 15% (agak curam−sangat curam) atau jenis tanah
tidak peka erosi berada pada kemiringan lereng > 40% (sangat curam).
Nandy et al. (2015) melaporkan kerentanan di daerah konservasi
pegunungan sejenis TNGC yakni di Great Himalaya National Park didominasi
faktor penggunaan lahan, tutupan lahan, kebakaran hutan, dan kerapatan kanopi
hutan. Kebakaran hutan menjadi faktor kerentanan dominan di TNGC karena
terjadi setiap musim kemarau baik dalam skala kecil maupun besar hingga
mencapai luas area terbakar ribuan hektar. Kasus-kasus kebakaran hutan di
Gunung Ciremai pada musim kemarau paling sering terjadi melanda blok-blok
daerah TNGC yang didominasi tumbuhan semak belukar minim tegakan pohon di
bagian lereng utara (Nuryaman 2015).
Potensi bahaya erosi tersebut merupakan kerentanan fisik TNGC selain
potensi bencana alam seperti erupsi dan longsor. Kerentanan TNGC bisa
meningkat jika terjadi kegiatan di luar rangka pengelolaan seperti kegiatan
berladang. Perladangan akan mengakibatkan perubahan tutupan lahan menjadi
lebih terbuka. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di resort Gunung Wangi
terdapat daerah dengan tanah labil yang longsor setiap turun hujan deras.
Penghitungan luasan tingkat kerentanan tiap resort menunjukkan resort
Argamukti memiliki daerah rentan sebesar 68.06% dari total luas resort, terbesar
di antara resort lainnya (Gambar 3). Kondisi kerentanan resort Argamukti
disebabkan oleh dominasi tingkat-tingkat tertinggi di setiap sub kriteria misalnya
jenis tanah yang didominasi andosol (peka erosi) dan sedikit jenis sangat peka
erosi (regosol dan litosol). Resort Argamukti memiliki sebaran tingkat kerentanan
terpusat pada tingkat rentan dan sangat rentan bahkan luasan total tingkat di
bawah rentan hanya 5.66% dari total luas resort.

Kurang rentan
Tidak rentan

Resort
Gambar 3 Persentase luasan resort TNGC berdasarkan indeks kerentanan
Kondisi serupa ditunjukkan pada resort Argalingga yang juga memiliki
sebaran tingkat kerentanan terpusat pada tingkat rentan (65.85%) dan sangat
rentan (20.06%). Berbeda dengan di Resort Jalaksana yang memiliki daerah

10
sangat rentan terbesar yakni 37.86% dari total luas resort, tetapi memiliki sebaran
tingkat kerentanan lebih merata diindikasikan dari luasan setiap tingkat
kerentanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa resort Argamukti dan Argalingga
perlu mendapatkan perhatian khusus terkait kerentanan wilayahnya.
Indeks ekologi
Penumpangsusunan antara peta ketinggian dan peta tutupan lahan
memperlihatkan bahwa 54.85% daerah memiliki skor maksimal, artinya
merupakan habitat dengan keanekaragaman spesies satwa penting paling tinggi
(Gambar 4). Daerah tingkat ekologi tinggi meliputi wilayah luas karena sebagian
besar wilayah TNGC tutupan lahan berupa hutan alam dan hutan tanaman. Daerah
di sekitar puncak Gunung Ciremai termasuk tingkat sangat rendah dan sedang.
Tingkat sangat rendah berada di sekitar kawah gunung yang tidak memungkinkan
keberadaan satwa dalam kondisi normal karena ketiadaan sumber air dan vegetasi.
Tingkat sedang terletak lebih di bawah puncak gunung terdapat pepohonan dan
berdekatan dengan hutan alam dengan luasan terkonsentrasi sehingga
memungkinkan satwa melakukan sebagian atau seluruh aktivitasnya di wilayah ini.

Gambar 4 Indeks ekologi TNGC
Pengolahan citra TNGC memperlihatkan tutupan lahan di TNGC terdiri atas
danau, hutan tanaman, hutan pegunungan, herba dan rumput, dan hamparan
batuan (Lampiran 1). Gunawan et al. (2008), Gunawan dan Bismark (2007), dan
Gunawan et al. (2012) melaporkan terdapat beberapa spesies satwa yang termasuk
spesies penting di TNGC (Lampiran 2). Spesies satwa penting memiliki sifat lebih
sensitif terhadap gangguan berdasarkan sifat-sifat tersebut.

11

Luasan (%)

Selain spesies satwa penting juga terdapat spesies prioritas. Spesies prioritas
adalah spesies yang dinilai penting untuk dilakukan konservasi jika dibandingkan
dengan spesies-spesies lain berdasarkan karakteristik terrtentu. Spesies satwa
penting yang ada di TNGC yakni macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dan
surili jawa (Presbytis comata) termasuk spesies prioritas konservasi nasional
tinggi sedangkan elang jawa (Nisaetus bartelsi) termasuk dalam spesies prioritas
konservasi nasional sangat tinggi (Kemenhut-RI 2008). Satwa-satwa tersebut
memiliki habitat berbeda berdasarkan tutupan lahan yakni hutan (hutan tanaman
dan hutan alam) dan variasi ketinggian dari permukaan laut sebagai penyusun
indeks ekologi.
Wilayah resort Darma sebagian besar (88.03%) merupakan lokasi potensial
perjumpaan dengan spesies satwa penting paling banyak (Gambar 5). Keberadaan
satwa mengindikasikan bahwa tempat tersebut merupakan habitat sebagian atau
seutuhnya bagi satwa tersebut. Habitat bagi satwa berfungsi untuk menyediakan
pakan, air, dan tempat berlindung. TNGC memiliki empat tipe ekosistem berbeda
sehingga persebaran setiap jenis satwa dipengaruhi keberadaan pakan, air, dan
tempat berlindung yang sesuai dengan relung ekologi masing-masing.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah

Resort
Gambar 5 Persentase luasan resort TNGC berdasarkan indeks ekologi
Perbedaan luasan tingkat ekologi setiap resort merupakan luasan dinamis
yang berubah sesuai kegiatan pengelolaan maupun gangguan yang terjadi. Seluruh
resort memiliki wilayah terluas pada tingkat ekologi tinggi kecuali resort
Pasawahan. Resort Darma, Gunung Wangi, Pasawahan, Sangiang tidak memiliki
daerah dengan tingkat ekologi sedang. Resort Mandirancan memiliki sebaran
tingkat ekologi paling merata kecuali tingkat sedang. Rata-rata luas wilayah resort
dengan tingkat ekologi rendah sebesar 17.07%. Hanya resort Darma, Cigugur,
Argamukti yang memiliki wilayah dengan tingkat ekologi rendah di bawah 1%.
Resort Pasawahan sebagian besar wilayahnya (66.80%) termasuk tingkat ekologi
sangat rendah.

12
Macan tutul jawa dilaporkan memiliki habitat di hutan lindung atau
berbatasan dengan hutan lindung di Jawa Tengah karena ketersediaan air
sepanjang tahun dan satwa mangsa utama (Gunawan et al. 2012). Kondisi tersebut
mampu dipenuhi ekosistem TNGC berdasarkan pengamatan di lapangan berupa
kondisi hutan pegunungan yang masih terjaga dan ketersediaan air sepanjang
tahun dan satwa mangsa seperti babi hutan, kijang muncak, dan surili jawa
(BTNGC 2014).
Indeks sosial
Seluruh resort memiliki sempadan mata air yang sebagian berada di luar
daerah TNGC. Keberadaan mata air perlu mendapatkan perhatian bersama dari
pengelola dan masyarakat sekitar. Sempadan mata air berguna mempertahankan
fungsi mata air sebagai penyedia air bersih sepanjang tahun. Jadi jika kondisi
sempadan mata air terganggu akan menurunkan fungsi mata air (Gambar 6).
PP No. 26 Tahun 2008 menyatakan bahwa daerah dengan radius 200 meter
dari mata air merupakan sempadan untuk mempertahankan fungsi mata air.
Masyarakat sekitar daerah TNGC memiliki tingkat kepentingan tinggi terhadap
akses sumberdaya air dari dalam daerah. Tercatat ada 98 mata air di dalam daerah
dengan debit mencapai 2 000 liter/detik. TNGC memberikan distribusi manfaat
kepada masyarakat daerah Kuningan, Majalengka, Cirebon, Indramayu, dan
Brebes berupa ketersediaan air bersih sepanjang tahun (BTNGC 2014).

Gambar 6 Indeks sosial TNGC
CBD (2002) menyatakan ekosistem pegunungan dunia menutupi sekitar
25% permukaan daratan bumi tapi lebih dari 50% populasi dunia bergantung

13
kepada sumberdaya pegunungan langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan
sumber daya air TNGC telah meluas tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga
dan pertanian namun juga untuk aktivitas perusahaan (komersial). Sebanyak 14
pengguna jasa lingkungan air (komersial) sudah memiliki perjanjian kerjasama
dengan TNGC (BTNGC 2014). Pengolahan peta menunjukkan daerah sempadan
mata air di TNGC meliputi juga daerah di luar daerah yang artinya memerlukan
partisipasi masyakarat sekitar untuk pengelolaannya.
Seluruh resort berdasarkan penghitungan luas memiliki daerah sempadan
mata air kurang dari 9% luas wilayah setiap resort kecuali resort Gunung Wangi.
Resort Gunung Wangi memiliki daerah sempadan mata air terbesar (20.49%)
dengan 11 mata air (Gambar 7). Luasan sempadan mata air dipengaruhi juga oleh
jarak dengan mata air lainnya. Jika mata air saling berdekatan dalam radius
kurang dari 200 meter akan menghasilkan luas lebih kecil karena kedua sempadan
menjadi berhimpitan seperti pada resort Cilimus. Resort Pasawahan memiliki
mata air terbanyak sejumlah 15 buah namun luasan sempadan mata air hanya
seperempat dari luasan sempadan mata air resort Gunung Wangi. Kondisi
demikian disebabkan letak mata air di resort Pasawahan banyak yang berjarak
kurang dari 200 meter antarmata air.
100
Luasan (%)

80
60
40
Sempadan

20

Bukan sempadan
0

Resort
Gambar 7 Persentase luasan resort TNGC berdasarkan indeks sosial
Resort Cilimus memiliki konsentrasi sebagian besar mata air di satu titik
lokasi, sedangkan letak mata air di resort lain lebih tersebar dalam beberapa lokasi.
Sebagian besar sempadan mata air berada di garis terluar batas wilayah TNGC
bahkan bertumpang tindih dengan lahan perseorangan seperti pada resort
Bantaragung, Cigugur, Cilimus dan Jalaksana. Sebaran mata air paling merata
ditunjukkan pada resort Gunung Wangi, sebanyak 11 mata air terletak hampir di
seluruh penjuru wilayah kerja resort. Keseluruhan sempadan mata air di resort
Argalingga berada di ujung-ujung wilayah kerja resort dan dimanfaatkan langsung
untuk irigasi lahan garapan di sekitarnya. Resort Sangiang memiliki satu-satunya

14
mata air berbentuk danau air tawar (Situ Sangiang) yang memiliki nilai budaya
bagi masyarakat sekitar (BTNGC 2014).
Hasil pengamatan menunjukkan di lima resort masih terdapat tanaman
serbaguna eks PHBM Perhutani misalnya kopi dan pisang namun di resort
Gunung Wangi masih terdapat kegiatan yang bisa dikategorikan di luar rangka
pengelolaan, yakni pemeliharaan tanaman kopi. Perlakuan pemeliharaan antara
lain pemangkasan pucuk, penyulaman bibit, dan pemanenan. Tanaman kopi
dinilai masyarakat masih memberikan keuntungan ekonomis meskipun lahan
garapan sudah berganti status menjadi taman nasional. Keberadaan sumbersumber mata air di dalam taman nasional seharusnya bisa dipandang memberikan
beragam manfaat tidak hanya manfaat ekonomis, sehingga aktivitas di luar rangka
pengelolaan bisa diminimalkan. TNGC memiliki kontribusi besar terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kuningan dan Majalengka sebagai
penyedia air bersih yang sudah dimanfaatkan secara komersial (BTNGC 2014).
Contoh kasus di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) sejak
2006 telah dibentuk Forum Peduli Air (Forpela) sebagai wadah bersama para
pengguna air untuk bekerja sama dalam peningkatan manfaat dan pelestarian
sumber air. Forpela TNGGP menampung aspirasi pengguna air, menampung
kontribusi dari pengguna, dan menyalurkannya untuk aktivitas-aktivitas
konservasi daerah TNGGP seperti konservasi lahan kritis, perawatan bangunan air,
irigasi, dan pembangunan desa (USAID 2006). TNGC telah memiliki kemitraan
dengan masyarakat yakni Kader Konservasi, Masyarakat Peduli Api, dan Pam
Swakarsa namun belum ada kemitraan dalam bidang pengurusan jasa lingkungan
air. TNGC sudah memiliki nota kesepahaman dengan 14 pengguna jasa air
komersial sehingga terbuka kemungkinan kerjasama melibatkan lingkup lebih
luas (BTNGC 2014).
Tingkat sensitivitas
Tingkat sensitivitas merupakan hasil akhir pengategorian berdasarkan nilai
skor gabungan seluruh penyusun indeks sensitivitas lingkungan. Hasil pengolahan
peta menunjukkan bahwa semua resort memiliki wilayah dengan tingkat sensitif
dan agak sensitif. Wilayah dengan tingkat sangat sensitif terkonsentrasi di resort
Jalaksana dan Cilimus (Gambar 8). Wilayah dengan tingkat sangat sensitif
tersebut memiliki tutupan lahan hutan pegunungan dan sempadan mata air yang
dikelilingi hutan pegunungan.
Hanya sempadan mata air Cadas Belang, Ciriwid, dan Cibalukbuk di resort
Jalaksana yang termasuk ke dalam tingkat sangat sensitif meskipun di seluruh
resort juga terdapat mata air. Faktor pembeda diduga berasal dari lokasi mata air.
Ketiga mata air tersebut terletak di wilayah yang secara fisik sangat rentan yakni
berada di atas jenis tanah sangat peka erosi (regosol dan litosol) pada kemiringan
lahan sangat curam. Secara bersamaan satwa dan manusia memiliki
ketergantungan tinggi terhadap akses ketiga mata air. Lokasi geografis ketiga
mata air di wilayah jelajah mendukung pemanfaatan oleh satwa untuk kebutuhan
minum. Letak administrasif mendukung pemanfaatan mata air oleh masyarakat
terutama di sekitar resort Jalaksana untuk kebutuhan MCK, irigasi, dan komersial
(BTNGC 2014). Jadi ketiga sempadan mata air ini memiliki nilai sangat penting
dari sisi fisik, ekologis, dan sosial dalam waktu bersamaan.

15

Gambar 8 Tingkat sensitivitas TNGC
Wilayah sangat sensitif lainnya berupa hutan pegunungan di resort
Jalaksana. Seluruh resort juga memiliki hutan pegunungan namun pembedanya
adalah faktor fisik hutan pegunungan di resort Jalaksana sangat rentan yakni
berada di atas jenis tanah sangat peka erosi (regosol dan litosol) pada kemiringan
lereng sangat curam. Faktor lain hutan pegunungan resort Jalaksana termasuk
habitat spesies satwa penting (indeks ekologi tinggi). Setiawan et al. (2014)
menjelaskan spesies satwa penting yang berada di resort Jalaksana antara lain
surili jawa (Presbytis comata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan elang
jawa (Nisaetus bartelsi). Berbeda dengan ketiga sempadan mata air yang termasuk
sangat sensitif, kawasan hutan pegunungan resort Jalaksana secara hukum tidak
memungkinkan pemanfaatan oleh masyarakat selain jasa lingkungan karena
berada di wilayah TNGC.
Perbedaan konsentrasi tingkat sensitivitas lain juga terdapat di beberapa
resort. Semua resort memiliki tingkat sensitif dengan luasan berbeda. Resort
Argalingga, Argamukti, Cilimus, dan Jalaksana perlu mendapatkan perhatian
karena lebih dari setengah wilayahnya termasuk sensitif (Gambar 9). Konsentrasi
wilayah tingkat sensitif berada di resort Argamukti, Jalaksana, Argalingga, dan
Cilimus. Wilayah dengan tingkat agak sensitif berada di resort Sangiang, Darma,
Cigugur. Wilayah dengan tingkat kurang sensitif berada di ujung-ujung tepi batas
kawasan TNGC terkonsentrasi pada resort Pasawahan dan Mandirancan. Wilayah
dengan tingkat tidak sensitif banyak berada di resort Pasawahan. Kondisi
demikian mengisyaratkan bahwa pengelolaan berdasarkan tingkat sensitivitas
perlu dilakukan secara lintas administrasi wilayah resort (transboundary
management).

Luasan (%)

16
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Sangat sensitif
Sensitif
Agak sensitif
Kurang sensitif
Tidak sensitif

Resort
Gambar 9 Persentase luasan resort TNGC berdasarkan ISL
Analisis dengan zonasi TNGC
Hasil overlay ISL dengan zonasi yang berlaku menunjukkan daerah sangat
sensitif dan sensitif mayoritas berada di zona inti (Gambar 10). Sedangkan daerah
agak sensitif tersebar secara merata di zona inti, rimba, dan rehabilitasi.
Sedangkan daerah kurang sensitif dan tidak sensitif banyak berada di zona
rehabilitasi. Hal ini menunjukkan kesesuaian antara tingkat sensitivitas dengan
zonasi TNGC. Meskipun demikian, terdapat daerah-daerah yang perlu
diperhatikan karena memiliki tingkat sangat sensitif berada di zona pemanfaatan
dan di zona rehabilitasi. Daerah sangat sensitif yang berada di zonasi pemanfaatan
seluas 4.50 ha (2.08%) terletak di resort Gunung Wangi dan resort Sangiang.
Sedangkan daerah sangat sensitif yang berada di zonasi rehabilitasi seluas 12.55
ha (5.75%) terletak di resort Gunung Wangi, resort Argalingga, dan resort
Argamukti.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

Sangat sensitif
Inti

Sensitif

Rimba

Agak sensitif Kurang sensitif Tidak sensitif

Rehabilitasi

Pemanfaatan

Religi

Gambar 10 Analisis tingkat sensitivitas dengan zonasi TNGC

17
Zona pemanfaatan merupakan daerah pemanfaatan sumber daya alam dan
ekosistem TNGC dalam bentuk jasa lingkungan sehingga memungkinkan terdapat
kegiatan lebih banyak di daerah dengan tingkat sensitif. Jika kondisi demikian
berlangsung dengan pengawasan minim akan menimbulkan dampak negatif lebih
besar daripada nilai manfaat yang diperoleh seperti kehilangan sumber daya. Zona
rehabilitasi TNGC merupakan lahan kritis akibat bekas hutan produksi yang
dilakukan pemanfaatan berbasis lahan oleh masyarakat dan lokasi rawan
kebakaran hutan yang kerap terjadi tiap tahun (TNGC 2014). Keberadaan daerah
sangat sensitif menuntut perlakuan rehabilitasi harus secara intensif untuk
mengembalikan fungsi kawasan seperti semula.
Wilayah dengan tingkat sangat sensitif merupakan wilayah yang paling
cepat terpengaruh jika terjadi gangguan daripada wilayah lain. Pengaruh
gangguan bisa mengakibatkan degradasi kuantitas dan kualitas semua fungsi
wilayah TNGC. CBD (2002) menjelaskan potensi gangguan bagi ekosistem
pegunungan adalah aktivitas manusia, pertambangan, perubahan iklim, polusi
udara, dan spesies invasif. Hal tersebut hampir sama dengan gangguan yang ada
di TNGC yakni kebakaran hutan, perambahan kawasan, perburuan liar,
penambangan, konflik satwa-manusia, dan pembalakan liar (BTNGC 2014).
Gangguan merupakan indikasi tingkat dukungan masyarakat belum maksimal
terhadap kelestarian kawasan TNGC.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil kumulatif ketiga indeks penyusun menunjukkan bahwa wilayah
TNGC didominasi oleh wilayah sensitif. Wilayah sensitif berada di seluruh resort
dan paling luas di resort Argamukti. Hanya sebagian kecil wilayah TNGC yang
termasuk tingkat sangat sensitif dan tersebar di semua resort kecuali resort
Cigugur, Darma, Pasawahan. Secara keseluruhan berdasarkan luasan setiap
tingkat sensitivitas maka seluruh resort memiliki wilayah sensitif dan agak sensitif.
Resort Jalaksana dan Cilimus menjadi resort prioritas karena memiliki kawasan
dengan tingkat sangat sensitif di zona inti.
Saran
1.
2.

3.
4.

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
Perlu dilakukan penyesuaian prioritas pengelolaan daerah sangat sensitif di
zona pemanfaatan resort Gunung Wangi dan resort Sangiang.
Daerah sangat sensitif di zona rehabilitasi resort Gunung Wangi, resort
Argalingga, dan resort Argamukti perlu dikategorikan sebagai zona
rehabilitasi intensif.
Perlu dilakukan penyesuaian prioritas pengelolaan bagi mata air Cadas
Belang, Ciriwid, dan Cibalukbuk di resort Jalaksana.
Perlu dilakukan penelitian dengan pengembangan indeks sosial dari aspek
ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya TNGC selain mata air.

18
5.
6.

Perlu dilakukan penelitian dengan bobot indeks ekologi berbeda
berdasarkan fungsi utama taman nasional yang berorientasi ekologi.
Pembentukan organisasi kemitraan para pengguna jasa lingkungan air
TNGC untuk mendukung kegiatan konservasi TNGC.

DAFTAR PUSTAKA
[BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. 2014. Statistik Balai Taman
Nasional Gunung Ciremai Tahun 2013. Kuningan (ID): Balai Taman
Nasional Gunung Ciremai.
[CBD] Convention on Biological Diversity. 2002. Status and Trends of, and
Threats to, Mountain Biological Diversity. Montreal (CA): UNEP-CBD.
Gunawan, Kartono AP, Maryanto I. 2008. Keanekaragaman mamalia besar
berdasarkan ketinggian tempat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa
Barat. Jurnal Biologi Indonesia. 4(5):321−324.
Gunawan H, Bismark M. 2007. Status populasi dan konservasi satwa mamalia di
Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam. 4(2):117−128.
Gunawan H, Prasetyo LB, Mardiastuti A, Kartono AP. 2012. Habitat macan tutul
jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) lansekap hutan tanaman pinus.
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 9(1):49−67.
[Kemenhut-RI] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2008. Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor:P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis
Konservasi Spesies Nasional 2008−2018. Jakarta (ID): Kemenhut-RI.
[Kementan-RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 1980. Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 837/Kpts/Um/11/1980 tentang
Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Jakarta (ID): KementanRI.
Nandy S, Singh C, Das KK, Kingma NC, Kushwaha SPS. 2015. Environmental
vulnerability assessment of eco-development zone of Great Himalayan
National Park, Himachal Pradesh, India. Ecological Indicator. 57:
182−195.
Nuryaman. 2015. BTNGC Sebar Tenda Pos Cegah Siaga Kebakaran Hutan
Gunung Ciremai [Internet]. Bandung (ID): PT Pikiran Rakyat Bandung.
[diunduh 2015 Okt 29]. Tersedia pada http://www.pikiranrakyat.com/jawa-barat/2015/07/03/333452/btngc-sebar-tenda-pos-cegahsiaga-kebakaran-hutan-gunung-ciremai
Petersen J, Michel J, Zengel S, White M, Lord C, Plank C. 2002. Enviromental
Sensitivity Index Version 3.0. Washington (US): National Oceanic and
Atmospheric Administration.
[PVMBG] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2014. Gunung
Ciremai [Internet]. Bogor (ID): PVMBG-ESDM. hlm 1-8; [diunduh 2015
Okt 5]. Tersedia pada: http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/
data-dasar-Gunungapi/527-g-ciremai
Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Lembaran Negara

19
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48. Jakarta (ID): Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Setiawan I, Rakhman Z, Muzakkir A, Saputro BP, Zulkarnaen I. 2014. Kajian
Biodiversitas dan Pembuatan Kebun Koleksi Anggrek di Taman Nasional
Gunung Ciremai. Bogor (ID): Pusat Informasi Lingkungan Indonesia.
Sukarman, Dariah A. 2014. Tanah Andosol di Indonesia: Karakteristik, Potensi,
Kendala, dan Pengelolaannya untuk Pertanian. Bogor (ID): Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
[USAID] United States Agency International Development. 2006. Panduan
Forpela Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Washington (US):
Development Alternatives.
Wahyudin Y. 2013. Proporsi indeks sosial ekonomi dalam penentuan Indeks
Kepekaan Lingkungan [Internet]. Workshop Metodologi Indeks Kepekaan
Lingkungan; 2013 Feb 7; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): PKSPL-IPB. hlm
1-9;
[diunduh
2014
Jul
16].
Tersedia
pada:
http://ssrn.com/abstract=2213209

Lampiran 1 Peta tutupan lahan TNGC 2015

20

Lampiran 2 Peta jenis tanah TNGC

21

Lampiran 3 Peta ketinggian kawasan TNGC

22

Lampiran 4 Peta kemiringan lereng TNGC

23

24
Lampiran 5 Jenis satwa penting TNGC
Status
endemis1

Nama ilmiah
Nycticebus javanicus
Presbytis comate
Trachypithecus auratus
Macaca fascicularis
Muntiacus muntjak
Panthera pardus melas
Prionailurus bengalensis
Paradoxurus hermaphrodites
Nisaetus bartelsi

E
E
E
E
E

Status perlindungan
IUCN2
CITES3
PP4
CR
I
D
EN
II
D
VU
II
D
LC
II
LC
D
CR
I
D
LC
II
D
LC
II
D
EN
II
D

1

E: endemis; 2CR:Critical, EN: Endangered, VU: Vulnerable, LC: Least Concern; 3Appendiks
CITES; 4D: Dilindungi PP No.7 /1999
Sumber: Gunawan et al. (2008), Gunawan dan Bismark (2007), dan Gunawan et al. (2012)

Lampiran 6 Rekapitulasi indeks kerentanan tingkat resort
Resort
Argalingga
Argamukti
Bantaragung
Cigugur
Cilimus
Darma
Gn. Wangi
Jalaksana
Mandirancan
Pasawahan
Sangiang

1
0.01
0.00
0.65
0.35
0.29
0.49
1.03
0.34
0.44
0.76
0.65

Kelas indeks kerentanan (%)
2
3
4
1.28
12.80
65.85
0.43
5.23
68.06
14.68
30.93
45.63
9.92
50.25
39.04
18.27
6.69
49.00
10.42
62.60
26.49
31.30
26.97
40.71
5.30
16.72
39.78
34.81
19.83
39.94
12.33
18.57
68.10
22.05
12.75
64.55

5
20.06
26.28
8.11
0.44
25.76
0.00
0.00
37.86
4.97
0.24
0.00

Keterangan: 1. Tidak rentan, 2. Kurang rentan, 3. Agak rentan, 4. Rentan, 5. Sangat rentan

25
Lampiran 7 Rekapitulasi indeks ekologi tingkat resort
Resort
Argalingga
Argamukti
Bantaragung
Cigugur
Cilimus
Darma
Gn. Wangi
Jalaksana
Mandirancan
Pasawahan
Sangiang

0
25.04
4.38
21.24
7.63
30.98
11.28
29.78
11.25
32.26
66.80
16.26

Kelas indeks ekologi (%)
1
3
2.14
4.11
0.00
12.31
38.96
0.11
0.51
5.84
15.86
1.70
0.69
0.00
42.20
0.00
8.92
2.89
0.26
36.11
31.16
0.00
11.18
0.00

5
68.71
83.31
39.69
86.03
51.45
88.03
28.03
76.93
31.38
2.04
72.56

Keterangan: 0. Sangat rendah, 1. Rendah, 2. Sedang, 3. Tinggi

Lampiran 8 Rekapitulasi indeks sosial tingkat resort
Resort
Argalingga
Argamukti
Bantaragung
Cigugur
Cilimus
Darma
Gn. Wangi
Jalaksana
Mandirancan
Pasawahan
Sangiang

Kelas indeks sosial (%)
1
98.35
97.74
94.03
95.78
95.51
94.81
79.51
92.20
94.82
94.79
96.00

Keterangan: 1. Bukan sempadan mata air, 5. Sempadan mata air

5
1.65
2.26
5.97
4.22
4.49
5.19
20.49
7.80
5.18
5.21
4.00

26
Lampiran 9 Rekapitulasi tingkat sensitivitas tingkat resort
Resort
Argalingga
Argamukti
Bantaragung
Cigugur
Cilimus
Darma
Gn. Wangi
Jalaksana
Mandirancan
Pasawahan
Sangiang

Tidak
0.17
0.05
0.92
0.85
2.30
0.60
6.23
0.78
5.17
19.80
2.51

Kelas sensitivitas (%)
Kurang
Agak
Sensitif
5.40
29.21
65.21
0.59
7.89
90.66
29.80
31.40
37.59
6.05
38.08
55.02
17.74
17.97
57.70
8.96
62.83
27.61
39.73
24.77
27.93
6.86
18.52
66.71
42.24
20.57
30.93
20.11
1.76
58.32
23.49
60.72
12.76

Sangat
0.01
0.81
0.29
0.00
4.28
0.00
1.34
7.12
1.09
0.00
0.52

Lampiran 10 Hasil tumpang susun tingkat sensitivitas dengan zonasi TNGC
Zona

Inti
Rimba
Rehabilitasi
Pemanfaatan
Religi

Sangat
sensitif
ha
%
155. 71.
89
91
43.8 20.
5
23
12.5 5.7
5
9
2.0
4.50
8
0.0
0.00
0

Sensitif
ha
4183.
64
1503.
41
803.3
8
27.53
1.45

%
64.
17
23.
06
12.
32
0.4
2
0.0
2

Agak
sensitif
ha
%
1410. 33.
97
18
1411. 33.
65
19
1317. 30.
37
97
110.6 2.6
8
0
0.0
2.41
6

Kurang
sensitif
ha
%
2.5
81.69
6
452.8 14.
7
22
2436. 76.
23
48
212.2 6.6
1
6
0.0
2.47
8

Tidak
sensitif
ha
%
0.0
0.00
0
10.1 1.6
9
7
560. 91.
17
57
40.7 6.6
9
7
0.1
0.59
0

27
Lampiran 11 Dokumentasi penelitian

(a) Sarang babi hutan

(c) Jejak rusa muncak

(b) Jejak macan tutul

(d) Feses macan tutul

Keterangan: pembanding adalah koin Rp 500

(f) Kondisi tanaman kopi di dalam TNGC

28

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 24 Oktober 1991. Penulis
merupakan sulung dari tiga bersaudara dari pasangan ayah Sumaryadi dan ibu
Mimik Krisnawati. Pendidikan formal ditempuh di SD Negeri Kalirungkut III
Surabaya tahun 1998-2004, SMP Negeri 35 Surabaya tahun 2004-2007, SMA
Negeri 6 Surabaya 2007-2010, dan pada tahun 2011 penulis diterima sebagai
mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Tulis.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis menjadi anggota Lembaga
Dakwah Fakultas Kehutanan Ibaadurrahman Divisi Syiar (2013-2014), anggota
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan Departemen Kesejahteraan
Mahasiswa (2013-2014), dan anggota Forum Relawan Penanggulangan Bencana
IPB (2014). Praktek lapangan yang diikuti oleh penulis antara lain: Praktek
Pengenalan Ekosistem Hutan di Suaka Margasatwa Gunung Sawal dan Cagar
Alam Pananjung Pangandaran (2013), Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan
Pendidikan Gunung Walat (2014), dan Praktek Kerja Lapang Profesi di Taman
Nasional Gunung Ciremai (2015). Penulis pernah menjadi Asisten Praktikum
Mata Kuliah Ekologi Hutan (2014) dan Asisten Praktikum Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan di Cagar Alam Kawah Kamojang (2015).