Analisis Perubahan Fungsi Lahan Di Kawasan Pesisir Dengan Menggunakan Citra Satelit Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut)
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009
ANALISIS PERUBAHAN FUNGSI LAHAN DI KAWASAN PESISIR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT BERBASIS SISTEM
INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading
dan Langkat Timur Laut)
Agus Purwoko
Dosen Program Studi Kehutanan FP USU
Abstract: This Research aims to analyze the change of land use of coastal zone, especially at mangrove ecosystem. This research result showed there is a decreasing of primary mangrove forest area of 4.905,98 ha (64,27%). Currently, there are any increasing of wide at the land use of secondary mangrove forest of 4.123,89 ha (54,04%), brackish water culture of 350,66 ha ( 4,55%), water’s body of 102,53 ha (1,34%), empty land of 291,45 ha (3,82%) and settlement of 37,47 ha ( 0,48%). This changes of space and land use caused by wrong utilization or management, either by private/community and government that exploitative and unsustainable, that giving negative impact to the existence of mangrove ecosystem and function of as life support system of coastal area society in this region.
Keyword: land use, mangrove and coastal zone
PENDAHULUAN Pertambahan penduduk yang
meningkat pesat memunculkan berbagai permasalahan dalam pembangunan, di antaranya adalah meningkatnya kebutuhan akan ruang untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup lahan budidaya, perumahan, perindustrian dan kegiatan pertanian lainnya. Upaya pemenuhan kebutuhan yang meningkat menyebabkan tekanan terhadap ruang dan sumberdaya alam, terutama dikarenakan perekonomian Indonesia masih sangat tergantung kepada pemanfaatan sumberdaya alamnya, termasuk sumberdaya hutan.
Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan wilayah konservasi yang terletak sebagian besar di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat dan Kecamatan Karang Gading, Kabupaten Deli Serdang. Akan tetapi berdasarkan laporan USU (1999) kawasan tersebut mengalami kerusakan oleh berbagai kegiatan eksploitasi yang tidak ramah lingkungan maupun bentuk-bentuk konversi lahan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti lahan untuk perumahan, pertanian, perkebunan maupun budidaya perikanan. Interaksi antara masyarakat dan lahan yang menyebabkan terjadinya
perubahan terhadap penggunaan lahan ini memiliki potensi menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap kelangsungan sumber daya itu Untuk itu perlu adanya upaya pemantauan terhadap perubahan lahan agar dampak negatif akibat perubahan lahan dapat ditanggulangi dan lupaya pengelolaan sumber daya tersebut ke depan bisa direncanakan dengan lebih mengacu kepada optimalisasi manfaat sumber daya secara lestari. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan di kawasan pesisir khususnya pada ekosistem mangrove di kawasan di sebagian Kabupaten Langkat dan Deli Serdang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium
Inventarisasi
Hutan
Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. Lokasi cek
lapangan (ground check) adalah beberapa
titik di Kawasan Suaka Margasatwa Karang
Gading dan Langkat Timur Laut (Kabupaten
Langkat dan Deli Serdang), Sumatera Utara
yang dilakukan mulai Bulan April sampai
dengan September 2006. Bahan dan alat
yang digunakan adalah citra satelit landsat
TM tahun 1989 dan citra satelit landsat ETM
tahun 2004, Peta Rupa Bumi Kecamatan
111
Agus Purwoko: Analisis Perubahan Fungsi Lahan ...
Secanggang, peta administrasi, data kependudukan masyarakat sekitar hutan, seperangkat komputer dengan software ArcView GIS 3.3, GPS, kamera, kalkulator, dan alat tulis. Pada Citra Landsat TM tahun 1989 dan Citra Landsat ETM tahun 2004 dilakukan pengkombinasian band (Stacking) dan koreksi geometris yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan posisi atau letak objek yang terekam pada citra (Lillesand dan Kiefer 1979 dalam Farid 1998). Tahap selanjutnya adalah melakukan klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan dilakukan secara kombinasi dengan klasifikasi tidak terbimbing dan interpretasi visual dengan mengacu kepada tujuh karakteristik dasar foto yang perlu diperhatikan yaitu adalah bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona, tekstur dan situs (Wolf, 1993).
HASIL Berdasarkan hasil interpretasi dan
klasifikasi data citra satelit Landsat TM tahun 1989 dan citra satelit landsat ETM tahun 2004, kawasan hutan mangrove Secanggang mengalami perubahan penggunaan lahan. Perubahan tersebut menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan luas penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut terjadi pada semua jenis penggunaan lahan yang ada di kawasan hutan suaka alam tersebut yaitu hutan mangrove primer, hutan mangrove
sekunder, lahan kosong, badan air, tambak dan pemukiman. Kondisi penutupan lahan pada tahun 1989 (rona awal) dan tahun 2004 (rona akhir) tercantum pada tabel 1.
Berdasarkan hasil klasifikasi data citra tahun 1989, diperoleh hasil bahwa kondisi penutupan lahan pada kawasan konservasi tersebut masih cukup baik, meskipun juga telah terjadi disfungsi pada sebagian kecil wilayahnya. Hutan mangrove primer merupakan jenis penggunaan lahan dengan jumlah luasan terbesar yaitu 6280,93 ha atau 82,29% dan pemukiman merupakan jenis penggunaan lahan terkecil yaitu 8,277 ha atau 0,11% (Tabel 1). Penutupan lahan tahun 1989 dapat dilihat pada Gambar 1.
Hasil klasifikasi citra tahun 2004 (Tabel 1) menunjukkan telah terjadi perubahan penutupan lahan yang signifikan, dimana hutan mangrove sekunder merupakan jenis penggunaan lahan dengan luas terbesar yaitu 4.498,95 ha atau 58,95% dan yang paling kecil luasnya adalah pemukiman yaitu sebesar 45,74 ha atau 0,59%. Peta penggunaan lahan tahun 2004 dapat dilihat pada Gambar 2.
Perubahan penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas yang paling besar adalah hutan mangrove sekunder yaitu sebesar 4.123,89 ha atau sekitar 54,04%, dan pada saat yang sama hutan mangrove primer berkurang sebesar 4.905,98 atau 64,27%. Perbandingan penggunaan lahan ini dapat di lihat pada Gambar 3.
Tabel 1. Penggunaan Lahan Tahun 1989 dan 2004 serta Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Mangrove Tahun 1989 dan Tahun 2004
Penggunaan Lahan
Tahun 1989
Tahun 2004
Luas (Ha) Pro- Luas (Ha) Pro-
porsi (%)
porsi (%)
Perubahan Lahan
(1989-2004)
Luas (Ha)
Pro-
porsi (%)
Badan air
636,28 8,34
738,75
9,68
102,53
1,34
Hutan mangrove primer
6.280,93
82,29 1.374,95
18,02 −4.905,98
64,27
Hutan mangrove sekunder
375,06
4,91 4.498,95
58,95
4.123,89
54,04
Lahan kosong
18,44
0,24 309,89
4,06
291,45
3,82
Pemukiman
8,28 0,11 45,74 0,59
37,47
0,48
Tambak Total
313,41 7.632,35
4,11 100,00
664,07 7.632,35
8,70 100,00
350,66 9.811,97
4,55 128,50
112
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009 Gambar 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1989
Gambar 2. Peta Penutupan Lahan tahun 2004 113
Agus Purwoko: Analisis Perubahan Fungsi Lahan ...
Luas (Ha)
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000
0
1
2
Tahun 1989
Keterangan : 1. Badan air 2. Hutan mangrove primer 3. Hutan mangrove sekunder
34 5 Je nis Pe nggunaan Lahan
Tahun 2004
4. Lahan kosong 5. Pemukiman 6. Tambak
6
Gambar 3. Perbandingan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Mangrove Tahun 1989 dan Tahun 2004
PEMBAHASAN Menurut Lillesand dan Kiefer
(1990), penggunaan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Pada sektor pertanian lahan digunakan orang untuk areal persawahan, kebun dan ladang sedangkan untuk bidang lainnya lahan digunakan untuk pemukiman, prasarana umum, pekarangan dan lain-lain.
Berdasarkan hasil interpretasi citra tahun 1989, penggunaan lahan yang paling besar adalah hutan mangrove primer yaitu 6280,93 ha atau mendekati angka 10 %. Hal ini sinkron dengan pernyataan USU (1999) yang menyatakan bahwa kawasan suaka margatsatwa ini merupakan satu-satunya kawasan suaka didunia yang keseluruhan wilayahnya merupakan ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove ini juga merupakan salah satu tempat persinggahan burung migran internasional yang secara berkala melakukan migrasi dari Australia ke Siberia dan sebaliknya, sehingga membuat kawasan ini memiliki nilai satrategis secara global dan kemudian dikukuhkan menjadi kawasan
suaka margasatwa. Selain itu, ekosistem yang terbentuk oleh proses pengendapan lumpur dari kawasan-kawasan hulu di Provinsi Sumatera Utara ini juga merupakan kawasan yang bernilai strategis bagi keberadaan biota laut yang menjadi sumber mata pencaharian nelayan (Purwoko, 2005).
Berdasarkan interpretasi tahun 2004 diperoleh hasil dimana penggunaan lahan yang paling besar adalan hutan mangrove sekunder yaitu sebesar 4498,945 ha atau 58,95%. Secara visual (Gambar 1 dan Gambar 2) dapat dilihat bahwa kawasan hutan mangrove sekunder ini terdapat pada areal yang rona awalnya merupakan kawasan hutan mangrove primer. Dari tinjauan perubahan penutupan lahan, hutan mangrove sekunder merupakan penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas yang paling besar yaitu 4.123,89 ha atau 54,04%. Besarnya perubahan penggunaan lahan ini diakibatkan oleh adanya kegiatan manusia pada kawasan ini. Perubahan ini umumnya terjadi akibat adanya perubahan penutupan lahan dari hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder dan bahkan
114
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009
sebagian lahan tersebut di konversi menjadi areal untuk tambak, lahan kosong maupun pemukiman. Berdasarkan laporan USU (1999) dan Purwoko (2005), besarnya areal hutan mangrove sekunder ini diakibatkan karena banyaknya kegiatan pemanfaatan dan/atau eksploitasi yang selain ilegal bahkan secara teknis juga dilakukan secara tidak lestari. Bahkan di areal ini juga pernah beroperasi HPHTI yang operasinya bersifat eksploitatif. Pasca beropersinya HPHTI, penebangan-penebangan liar yang dilakukan masyarakat dilakukan dengan sangat intensif sehingga tidak memberikan kesempatan sama sekali kepada pohon-pohon bakau untuk melakukan regenerasi secara generatif, karena pohon bakau ditebang pada usia muda (diameter > 5 cm). Bahkan akhir-akhir ini setelah ketersediaan kayu bakau di ekosistem pesisir Sumatera Utara menipis, pengambilan kayu bakau dilakukan dengan cara membongkar tonggak pohon-pohon mangrove, sehingga menutup peluang bagi terjadinya regenerasi secara vegetatis. Sehingga, Purwoko dan Onrizal (2002) menyatakan bahwa ekosistem mangrove tersebut sudah tidak bisa lagi melakukan regenerasi secara alami. Artinya, harus ada tindakan intervensi berupa rehabilitasi untuk mengarahkan agar ekosistem tersebut bisa diharapkan fungsinya seperti semula.
Selain penebangan liar, yang sering terjadi adalah konversi lahan menjadi bentuk-bentuk penggunaan lain. Hasil interpretasi menunjukkan adanya perubahan lahan pada kawasan ini yang di konversi menjadi areal tambak, pemukiman dan bentuk-bentuk penggunaan lain. Menurut USU (1999), bentuk-bentuk perubahan fungsi yang terjadi di kawasan ini juga berupa areal perkebunan sawit dan areal budidaya pertanian lainnya.
Sebagian dari perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi adalah adanya areal hutan mangrove sekunder yang mengalami perubahan menjadi badan air. Perubahan lahan menjadi badan air disebabkan karena pada saat pengambilan citra sebagian dari luasan hutan mangrove sekunder yang telah ditebang tergenang air akan tetapi kemungkinan ada juga yang diakibatkan oleh karena bagian kiri kanan sungai mengalami pertambahan luas. Dalam skala relatif kecil, perubahan ini juga
dikarenakan adanya aberasi pantai/tepi
sungai yang menyebabkan luas paluh/sungai
menjadi bertambah. Hal ini disebabkan oleh
adanya kegiatan budiaya perikanan di
kawasan ini yang dilakukan lpersis di tepi
sungai/alur.
Sedangkan perubahan
penggunaan lahan menjadi pemukiman
maupun tambak diakibatkan oleh masyarakat
sekitar hutan membuka hutan mangrove
primer atau sekunder menjadi pemukiman
maupun tambak. Hal ini juga terkait dengan
kondisi demografi di sekitar kawasan
tersebut, dimana terjadi penambahan jumlah
penduduk yang cukup signifikan (BPS, 1989
dan 2005) yang konsekuensinya
membutuhkan ruang yang lebih luas untuk
pemukiman dan penghidupan.
Perubahan hutan mangrove primer
dan sekunder menjadi lahan kosong
diakibatkan oleh adanya penebangan-
penebangan liar berlebihan dan membabi
buta pada kawasan ini sampai-sampai
ekosistem tersebut tidak bisa melakukan
regenerasi secara alami, sehingga areal bekas
penebangan tersebut tidak ditumbuhi
vegetasi lagi. Areal kosong yang bertambah
luas ini juga disebabkan karena adanya areal
pertambakan yang tidak diusahakan lagi.
Kondisi ekosistem mangrove di
kedua kabupaten tersebut secara umum
sangat menghawatirkan dan bisa dipastikan
membawa dampak yang signifikan bagi
ketersediaan sumber daya perikanan pantai
yang justru menjadi tumpuan kehidupan
masyarakat pesisir di kawasan ini. Karena,
menurut Dephut (1997) ketersediaan sumber
daya perikanan di pantai bertipe lumpur
sangat bergantung kepada keberadaan
ekosistem mangrove yang sehat sebagai
nursery ground, feeding ground, habitat
tumbuh, feed suply dan fungsi-fungsi lain.
Purwoko (2005) mendapati bahwa kerusakan
ekosistem mengrove di kawasan pesisir
berdampak terhadap penurunan pendapatan
masyarakat nelayan sebesar 33.89 %.
KESIMPULAN
Selama periode tahun 1989-2004
terjadi perubahan penggunaan ruang /
penutupan lahan yang signifikan di
ekosistem mangrove kawasan pesisir yang
menjadi lokasi penelitian.
Alokasi
penutupan lahan yang mengalami kenaikan
luas antara lain hutan mangrove sekunder,
lahan kosong, badan air dan pemukiman.
115
Sedangkan jenis penutupan lahan yang mengalami penurunan luas adalah hutan mangrove primer.
Perubahan penggunaan ruang dan penutupan lahan ini disebabkan oleh berbagai tindakan pengelolaan/pemanfaatan baik oleh swasta maupun masyarakat yang bersifat ekspliotatif merusak/tidak lestari, sehingga memberikan dampak negatif terhadap keberadaan ekosistem mangrove dan fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat pesisir di wilayah ini. SARAN
Mengingat adanya berbagai perubahan fungsi lahan yang terjadi mengarah pada bentuk-bentuk kerusakan dan degradasi kapasitas daya dukung ekosistem, Pemerintah Daerah setempat dan semua stake holders terkait perlu segera melakukan tindakan penataan dan rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasan pesisir, agar kerusakan lebih lanjut bisa dicegah dan sejauh mungkin bisa mengembalikan berbagai fungsi ekosistem mangrove bagi keseahteraan masyarakat pesisir. Dikarenakan perubahan fungsi lahan tersebut terkait dengan tindakan pemanfaatan/pengelolaan yang merusak, maka tidakan pencegahan persuasif dan penegakkan hukum dalam menjaga kelestarian ekosistem tersebut harus dilakukan dengan komitmen penuh. Selain itu, untuk mengurangi faktor-faktor penyebab perilaku merusak, maka perlu dikaji program-prpgram pemberdayaan ekonimi dan sosial dari masyarakat pesisir berbasis pengelolaan/pemanfaatan ekosistem mangrove agar tercipta simbiosis yang saling menguntungkan antara masyarakat dan ekosistem mangrove maupun ekosistem pesisir nsecara keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA BPS. 1990. Kecamatan Secanggang dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat. Stabat.
Agus Purwoko: Analisis Perubahan Fungsi Lahan ...
BPS. 2004. Kecamatan Secanggang dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat. Stabat.
Dephut. 1997.
Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Mangrove di
Indonesia. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Farid,
M. J. 1998. Estimasi Biomassa Vegetasi Mangrove Menggunakan Data Landsat TM. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Lillasand dan Kiefer, 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih Bahasa R. Dubahri. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Lo, C. P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan.
Terjemahan.
Universitas
Indonesia. Jakarta
Purwoko, A. 2005. Dampak Kerusakan
Ekosistem
Hutan
Bakau
(Mangrove) terhadap Pendapatan
Masyarakat Pantai di Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat.
Jurnal Wahana. Sekolah Pasca
Sarjana USU. Medan.
Purwoko, A. dan Onrizal, 2002. Identifikasi Potensi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di SM KGLTL. Makalah Seminar Nasional Hasilhasil Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Ditjend DIKTI. Jakarta.
USU. 1999. Pelestarian dan Pengembangan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Makalah pada Seminar Pelestarian dan Pengembangan SM KGLTL. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Wolf, P. R. 1993. Elemen Fotogrametri. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
116
ANALISIS PERUBAHAN FUNGSI LAHAN DI KAWASAN PESISIR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT BERBASIS SISTEM
INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading
dan Langkat Timur Laut)
Agus Purwoko
Dosen Program Studi Kehutanan FP USU
Abstract: This Research aims to analyze the change of land use of coastal zone, especially at mangrove ecosystem. This research result showed there is a decreasing of primary mangrove forest area of 4.905,98 ha (64,27%). Currently, there are any increasing of wide at the land use of secondary mangrove forest of 4.123,89 ha (54,04%), brackish water culture of 350,66 ha ( 4,55%), water’s body of 102,53 ha (1,34%), empty land of 291,45 ha (3,82%) and settlement of 37,47 ha ( 0,48%). This changes of space and land use caused by wrong utilization or management, either by private/community and government that exploitative and unsustainable, that giving negative impact to the existence of mangrove ecosystem and function of as life support system of coastal area society in this region.
Keyword: land use, mangrove and coastal zone
PENDAHULUAN Pertambahan penduduk yang
meningkat pesat memunculkan berbagai permasalahan dalam pembangunan, di antaranya adalah meningkatnya kebutuhan akan ruang untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup lahan budidaya, perumahan, perindustrian dan kegiatan pertanian lainnya. Upaya pemenuhan kebutuhan yang meningkat menyebabkan tekanan terhadap ruang dan sumberdaya alam, terutama dikarenakan perekonomian Indonesia masih sangat tergantung kepada pemanfaatan sumberdaya alamnya, termasuk sumberdaya hutan.
Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan wilayah konservasi yang terletak sebagian besar di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat dan Kecamatan Karang Gading, Kabupaten Deli Serdang. Akan tetapi berdasarkan laporan USU (1999) kawasan tersebut mengalami kerusakan oleh berbagai kegiatan eksploitasi yang tidak ramah lingkungan maupun bentuk-bentuk konversi lahan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti lahan untuk perumahan, pertanian, perkebunan maupun budidaya perikanan. Interaksi antara masyarakat dan lahan yang menyebabkan terjadinya
perubahan terhadap penggunaan lahan ini memiliki potensi menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap kelangsungan sumber daya itu Untuk itu perlu adanya upaya pemantauan terhadap perubahan lahan agar dampak negatif akibat perubahan lahan dapat ditanggulangi dan lupaya pengelolaan sumber daya tersebut ke depan bisa direncanakan dengan lebih mengacu kepada optimalisasi manfaat sumber daya secara lestari. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan di kawasan pesisir khususnya pada ekosistem mangrove di kawasan di sebagian Kabupaten Langkat dan Deli Serdang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium
Inventarisasi
Hutan
Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. Lokasi cek
lapangan (ground check) adalah beberapa
titik di Kawasan Suaka Margasatwa Karang
Gading dan Langkat Timur Laut (Kabupaten
Langkat dan Deli Serdang), Sumatera Utara
yang dilakukan mulai Bulan April sampai
dengan September 2006. Bahan dan alat
yang digunakan adalah citra satelit landsat
TM tahun 1989 dan citra satelit landsat ETM
tahun 2004, Peta Rupa Bumi Kecamatan
111
Agus Purwoko: Analisis Perubahan Fungsi Lahan ...
Secanggang, peta administrasi, data kependudukan masyarakat sekitar hutan, seperangkat komputer dengan software ArcView GIS 3.3, GPS, kamera, kalkulator, dan alat tulis. Pada Citra Landsat TM tahun 1989 dan Citra Landsat ETM tahun 2004 dilakukan pengkombinasian band (Stacking) dan koreksi geometris yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan posisi atau letak objek yang terekam pada citra (Lillesand dan Kiefer 1979 dalam Farid 1998). Tahap selanjutnya adalah melakukan klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan dilakukan secara kombinasi dengan klasifikasi tidak terbimbing dan interpretasi visual dengan mengacu kepada tujuh karakteristik dasar foto yang perlu diperhatikan yaitu adalah bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona, tekstur dan situs (Wolf, 1993).
HASIL Berdasarkan hasil interpretasi dan
klasifikasi data citra satelit Landsat TM tahun 1989 dan citra satelit landsat ETM tahun 2004, kawasan hutan mangrove Secanggang mengalami perubahan penggunaan lahan. Perubahan tersebut menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan luas penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut terjadi pada semua jenis penggunaan lahan yang ada di kawasan hutan suaka alam tersebut yaitu hutan mangrove primer, hutan mangrove
sekunder, lahan kosong, badan air, tambak dan pemukiman. Kondisi penutupan lahan pada tahun 1989 (rona awal) dan tahun 2004 (rona akhir) tercantum pada tabel 1.
Berdasarkan hasil klasifikasi data citra tahun 1989, diperoleh hasil bahwa kondisi penutupan lahan pada kawasan konservasi tersebut masih cukup baik, meskipun juga telah terjadi disfungsi pada sebagian kecil wilayahnya. Hutan mangrove primer merupakan jenis penggunaan lahan dengan jumlah luasan terbesar yaitu 6280,93 ha atau 82,29% dan pemukiman merupakan jenis penggunaan lahan terkecil yaitu 8,277 ha atau 0,11% (Tabel 1). Penutupan lahan tahun 1989 dapat dilihat pada Gambar 1.
Hasil klasifikasi citra tahun 2004 (Tabel 1) menunjukkan telah terjadi perubahan penutupan lahan yang signifikan, dimana hutan mangrove sekunder merupakan jenis penggunaan lahan dengan luas terbesar yaitu 4.498,95 ha atau 58,95% dan yang paling kecil luasnya adalah pemukiman yaitu sebesar 45,74 ha atau 0,59%. Peta penggunaan lahan tahun 2004 dapat dilihat pada Gambar 2.
Perubahan penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas yang paling besar adalah hutan mangrove sekunder yaitu sebesar 4.123,89 ha atau sekitar 54,04%, dan pada saat yang sama hutan mangrove primer berkurang sebesar 4.905,98 atau 64,27%. Perbandingan penggunaan lahan ini dapat di lihat pada Gambar 3.
Tabel 1. Penggunaan Lahan Tahun 1989 dan 2004 serta Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Mangrove Tahun 1989 dan Tahun 2004
Penggunaan Lahan
Tahun 1989
Tahun 2004
Luas (Ha) Pro- Luas (Ha) Pro-
porsi (%)
porsi (%)
Perubahan Lahan
(1989-2004)
Luas (Ha)
Pro-
porsi (%)
Badan air
636,28 8,34
738,75
9,68
102,53
1,34
Hutan mangrove primer
6.280,93
82,29 1.374,95
18,02 −4.905,98
64,27
Hutan mangrove sekunder
375,06
4,91 4.498,95
58,95
4.123,89
54,04
Lahan kosong
18,44
0,24 309,89
4,06
291,45
3,82
Pemukiman
8,28 0,11 45,74 0,59
37,47
0,48
Tambak Total
313,41 7.632,35
4,11 100,00
664,07 7.632,35
8,70 100,00
350,66 9.811,97
4,55 128,50
112
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009 Gambar 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1989
Gambar 2. Peta Penutupan Lahan tahun 2004 113
Agus Purwoko: Analisis Perubahan Fungsi Lahan ...
Luas (Ha)
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000
0
1
2
Tahun 1989
Keterangan : 1. Badan air 2. Hutan mangrove primer 3. Hutan mangrove sekunder
34 5 Je nis Pe nggunaan Lahan
Tahun 2004
4. Lahan kosong 5. Pemukiman 6. Tambak
6
Gambar 3. Perbandingan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Mangrove Tahun 1989 dan Tahun 2004
PEMBAHASAN Menurut Lillesand dan Kiefer
(1990), penggunaan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi. Pada sektor pertanian lahan digunakan orang untuk areal persawahan, kebun dan ladang sedangkan untuk bidang lainnya lahan digunakan untuk pemukiman, prasarana umum, pekarangan dan lain-lain.
Berdasarkan hasil interpretasi citra tahun 1989, penggunaan lahan yang paling besar adalah hutan mangrove primer yaitu 6280,93 ha atau mendekati angka 10 %. Hal ini sinkron dengan pernyataan USU (1999) yang menyatakan bahwa kawasan suaka margatsatwa ini merupakan satu-satunya kawasan suaka didunia yang keseluruhan wilayahnya merupakan ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove ini juga merupakan salah satu tempat persinggahan burung migran internasional yang secara berkala melakukan migrasi dari Australia ke Siberia dan sebaliknya, sehingga membuat kawasan ini memiliki nilai satrategis secara global dan kemudian dikukuhkan menjadi kawasan
suaka margasatwa. Selain itu, ekosistem yang terbentuk oleh proses pengendapan lumpur dari kawasan-kawasan hulu di Provinsi Sumatera Utara ini juga merupakan kawasan yang bernilai strategis bagi keberadaan biota laut yang menjadi sumber mata pencaharian nelayan (Purwoko, 2005).
Berdasarkan interpretasi tahun 2004 diperoleh hasil dimana penggunaan lahan yang paling besar adalan hutan mangrove sekunder yaitu sebesar 4498,945 ha atau 58,95%. Secara visual (Gambar 1 dan Gambar 2) dapat dilihat bahwa kawasan hutan mangrove sekunder ini terdapat pada areal yang rona awalnya merupakan kawasan hutan mangrove primer. Dari tinjauan perubahan penutupan lahan, hutan mangrove sekunder merupakan penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas yang paling besar yaitu 4.123,89 ha atau 54,04%. Besarnya perubahan penggunaan lahan ini diakibatkan oleh adanya kegiatan manusia pada kawasan ini. Perubahan ini umumnya terjadi akibat adanya perubahan penutupan lahan dari hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder dan bahkan
114
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009
sebagian lahan tersebut di konversi menjadi areal untuk tambak, lahan kosong maupun pemukiman. Berdasarkan laporan USU (1999) dan Purwoko (2005), besarnya areal hutan mangrove sekunder ini diakibatkan karena banyaknya kegiatan pemanfaatan dan/atau eksploitasi yang selain ilegal bahkan secara teknis juga dilakukan secara tidak lestari. Bahkan di areal ini juga pernah beroperasi HPHTI yang operasinya bersifat eksploitatif. Pasca beropersinya HPHTI, penebangan-penebangan liar yang dilakukan masyarakat dilakukan dengan sangat intensif sehingga tidak memberikan kesempatan sama sekali kepada pohon-pohon bakau untuk melakukan regenerasi secara generatif, karena pohon bakau ditebang pada usia muda (diameter > 5 cm). Bahkan akhir-akhir ini setelah ketersediaan kayu bakau di ekosistem pesisir Sumatera Utara menipis, pengambilan kayu bakau dilakukan dengan cara membongkar tonggak pohon-pohon mangrove, sehingga menutup peluang bagi terjadinya regenerasi secara vegetatis. Sehingga, Purwoko dan Onrizal (2002) menyatakan bahwa ekosistem mangrove tersebut sudah tidak bisa lagi melakukan regenerasi secara alami. Artinya, harus ada tindakan intervensi berupa rehabilitasi untuk mengarahkan agar ekosistem tersebut bisa diharapkan fungsinya seperti semula.
Selain penebangan liar, yang sering terjadi adalah konversi lahan menjadi bentuk-bentuk penggunaan lain. Hasil interpretasi menunjukkan adanya perubahan lahan pada kawasan ini yang di konversi menjadi areal tambak, pemukiman dan bentuk-bentuk penggunaan lain. Menurut USU (1999), bentuk-bentuk perubahan fungsi yang terjadi di kawasan ini juga berupa areal perkebunan sawit dan areal budidaya pertanian lainnya.
Sebagian dari perubahan penutupan/penggunaan lahan yang terjadi adalah adanya areal hutan mangrove sekunder yang mengalami perubahan menjadi badan air. Perubahan lahan menjadi badan air disebabkan karena pada saat pengambilan citra sebagian dari luasan hutan mangrove sekunder yang telah ditebang tergenang air akan tetapi kemungkinan ada juga yang diakibatkan oleh karena bagian kiri kanan sungai mengalami pertambahan luas. Dalam skala relatif kecil, perubahan ini juga
dikarenakan adanya aberasi pantai/tepi
sungai yang menyebabkan luas paluh/sungai
menjadi bertambah. Hal ini disebabkan oleh
adanya kegiatan budiaya perikanan di
kawasan ini yang dilakukan lpersis di tepi
sungai/alur.
Sedangkan perubahan
penggunaan lahan menjadi pemukiman
maupun tambak diakibatkan oleh masyarakat
sekitar hutan membuka hutan mangrove
primer atau sekunder menjadi pemukiman
maupun tambak. Hal ini juga terkait dengan
kondisi demografi di sekitar kawasan
tersebut, dimana terjadi penambahan jumlah
penduduk yang cukup signifikan (BPS, 1989
dan 2005) yang konsekuensinya
membutuhkan ruang yang lebih luas untuk
pemukiman dan penghidupan.
Perubahan hutan mangrove primer
dan sekunder menjadi lahan kosong
diakibatkan oleh adanya penebangan-
penebangan liar berlebihan dan membabi
buta pada kawasan ini sampai-sampai
ekosistem tersebut tidak bisa melakukan
regenerasi secara alami, sehingga areal bekas
penebangan tersebut tidak ditumbuhi
vegetasi lagi. Areal kosong yang bertambah
luas ini juga disebabkan karena adanya areal
pertambakan yang tidak diusahakan lagi.
Kondisi ekosistem mangrove di
kedua kabupaten tersebut secara umum
sangat menghawatirkan dan bisa dipastikan
membawa dampak yang signifikan bagi
ketersediaan sumber daya perikanan pantai
yang justru menjadi tumpuan kehidupan
masyarakat pesisir di kawasan ini. Karena,
menurut Dephut (1997) ketersediaan sumber
daya perikanan di pantai bertipe lumpur
sangat bergantung kepada keberadaan
ekosistem mangrove yang sehat sebagai
nursery ground, feeding ground, habitat
tumbuh, feed suply dan fungsi-fungsi lain.
Purwoko (2005) mendapati bahwa kerusakan
ekosistem mengrove di kawasan pesisir
berdampak terhadap penurunan pendapatan
masyarakat nelayan sebesar 33.89 %.
KESIMPULAN
Selama periode tahun 1989-2004
terjadi perubahan penggunaan ruang /
penutupan lahan yang signifikan di
ekosistem mangrove kawasan pesisir yang
menjadi lokasi penelitian.
Alokasi
penutupan lahan yang mengalami kenaikan
luas antara lain hutan mangrove sekunder,
lahan kosong, badan air dan pemukiman.
115
Sedangkan jenis penutupan lahan yang mengalami penurunan luas adalah hutan mangrove primer.
Perubahan penggunaan ruang dan penutupan lahan ini disebabkan oleh berbagai tindakan pengelolaan/pemanfaatan baik oleh swasta maupun masyarakat yang bersifat ekspliotatif merusak/tidak lestari, sehingga memberikan dampak negatif terhadap keberadaan ekosistem mangrove dan fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat pesisir di wilayah ini. SARAN
Mengingat adanya berbagai perubahan fungsi lahan yang terjadi mengarah pada bentuk-bentuk kerusakan dan degradasi kapasitas daya dukung ekosistem, Pemerintah Daerah setempat dan semua stake holders terkait perlu segera melakukan tindakan penataan dan rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasan pesisir, agar kerusakan lebih lanjut bisa dicegah dan sejauh mungkin bisa mengembalikan berbagai fungsi ekosistem mangrove bagi keseahteraan masyarakat pesisir. Dikarenakan perubahan fungsi lahan tersebut terkait dengan tindakan pemanfaatan/pengelolaan yang merusak, maka tidakan pencegahan persuasif dan penegakkan hukum dalam menjaga kelestarian ekosistem tersebut harus dilakukan dengan komitmen penuh. Selain itu, untuk mengurangi faktor-faktor penyebab perilaku merusak, maka perlu dikaji program-prpgram pemberdayaan ekonimi dan sosial dari masyarakat pesisir berbasis pengelolaan/pemanfaatan ekosistem mangrove agar tercipta simbiosis yang saling menguntungkan antara masyarakat dan ekosistem mangrove maupun ekosistem pesisir nsecara keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA BPS. 1990. Kecamatan Secanggang dalam
Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat. Stabat.
Agus Purwoko: Analisis Perubahan Fungsi Lahan ...
BPS. 2004. Kecamatan Secanggang dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat. Stabat.
Dephut. 1997.
Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Mangrove di
Indonesia. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Farid,
M. J. 1998. Estimasi Biomassa Vegetasi Mangrove Menggunakan Data Landsat TM. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Lillasand dan Kiefer, 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih Bahasa R. Dubahri. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Lo, C. P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan.
Terjemahan.
Universitas
Indonesia. Jakarta
Purwoko, A. 2005. Dampak Kerusakan
Ekosistem
Hutan
Bakau
(Mangrove) terhadap Pendapatan
Masyarakat Pantai di Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat.
Jurnal Wahana. Sekolah Pasca
Sarjana USU. Medan.
Purwoko, A. dan Onrizal, 2002. Identifikasi Potensi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di SM KGLTL. Makalah Seminar Nasional Hasilhasil Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Ditjend DIKTI. Jakarta.
USU. 1999. Pelestarian dan Pengembangan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Makalah pada Seminar Pelestarian dan Pengembangan SM KGLTL. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Wolf, P. R. 1993. Elemen Fotogrametri. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
116