PERANAN ANKUM DAN PAPERA DALAM PENGADILAN MILITER

(1)

ABSTRAK

PERANAN ANKUM DAN PAPERA DALAM PENGADILAN MILITER Oleh

Nia Prima Syarie

Militer merupakan orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. karena itu bagi mereka diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Institusi militer merupakan institusi yang peran dan posisinya khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara. Rumusan masalah dalam penulisan ini yaitu, apakah peran Ankum (Atasan Yang Menghukum) dan Papera (Perwira Penyerah Perkara) dalam Pengadilan Militer, bagaimanakah prosedur penyerahan perkara dari Ankum dan Papera ke Mahkamah Militer, dan juga faktor apa yang menjadi hambatan dalam proses pelaksanaan Pengadilan Militer. Sedangkan tujuan penelitian ini sendiri merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai jawaban yang dihadapi dan juga untuk memenuhi kebutuhan perorangan.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang bersifat yuridis normatif dan yuridis empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan, data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif. Populasi yang diambil adalah Polisi militer pada Den Pom, dan Oditurat pada UPT Oditur Militer. Responden terdiri dari 1 orang Polisi Militer pada Den POM II/3 Bandar Lampung dan 1 orang Oditur pada UPT Oditur Militer 104 Bandar Lampung.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan peranan Ankum dalam Pengadilan Militer adalah sebagai orang yang berhak menentukan apakah pelanggaran yang dilakukan oleh anggota TNI itu merupakan pelanggaran biasa saja yang hanya cukup diberi teguran saja, atau merupakan pelanggaran pidana yang kasusnya harus ditindak lebih lanjut lagi, sedangkan Papera mempunyai peranan menentukan apakah perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI yang melakukan kesalahan diteruskan dipengadilan atau menutup perkara demi kepentingan hukum atau untuk kepentingan umum/militer. Prosedur Penyerahan Perkara dari Ankum dan Papera ke Pengadilan Militer yakni dalam proses penyidikan Ankum memberikan izin atau perintah kepada penyidik agar dapat melakukan penahanan terhadap tersangka dalam hal tersangka diancam pidana selama 3 bulan penjara dengan alasan bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak


(2)

pidana dengan masa penahan paling lama 20 hari. Setelah adanya proses penyidikan maka dilanjutkan dengan mengadakan pertimbangan antara penyidik dan Perwira Penyerah Perkara. Setelah dikeluarkan surat keputusan dari Papera mengenai tersangka yang diserahkan kepada Oditur dan menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili tersangka, Oditur dapat melakukan penuntutan terhadap terdakwa dengan menyerahkan berkas perkara terhadap pengadilan yang berwenang dengan disertai surat dakwaan. Surat dakwaan yang dibuat oleh Oditur dapat diubah paling lambat 7 hari sebelum sidang pengadilan pada tingkat pertama. Salinan surat dakwaan diserahkan kepada terdakwa atau penasehat hukum dan Perwira penyerah perkara. Sejak berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan dan diregistrasi, maka kewenangan penahanan atas terdakwa beralih ke pengadilan. Beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan Peradilan Militer yang pertama faktor hukumnya sendiri (perundang-undangan), Adanya perbedaan asas keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan hukum, yang kedua faktor penegak hukum yang kurang maksimal dalam melaksanakan tugas sesuai dengan semestinya dan kurang aktif dalam melaksanakan penegakan hukum di lingkungan militer, dan yang ketiga faktor masyarakat, peningkatan kesadaran dan penegakan hukum bagi Prajurit TNI perlu dijadikan sebagai prioritas kebijakan dalam pembinaan personel TNI, karena kurangnya pemahaman hukum di kalangan Prajurit TNI merupakan salah satu penyebab terjadinya pelanggaran hukum di samping pengaruh-pengaruh lainnya baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Pada bagian akhir penulisan ini yang disarankan penulis adalah Pemerintah harus segera menyusun Peraturan Pemerintah yang memperjelas dan membatasi kewenangan Ankum, Polisi Militer, dan Oditur sebagai penyidik, agar tidak adanya pengaruh kesatuan yang berlebihan terhadap setiap pelanggaran oleh Prajurit TNI demi tegaknya keadilan. Perlu adanya perubahan mengenai peradilan militer untuk lebih menjelaskan mekanisme penangkapan, penahanan dan penyitaan terhadap hak-hak warga sipil sebagai tersangka atau terdakwa di lingkungan Peradilan Militer. Perlu adanya Amandemen Undang-undang mengenai peradilan militer yang lebih berpihak pada keadilan dan terciptanya kepercayaan terhadap penanganan hukum di lingkungan militer


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Negara Indonesia juga menjamin setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat. Dengan demikian sudah sewajarnya penegakan keadilan berdasarkan hukum dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara setiap lembaga masyarakat termasuk kalangan militer.

Penegakan hukum di Indonesia sebagai wujud dari penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 4 tahun 2004 dilaksanakan di empat lingkungan Peradilan yaitu lingkungan Peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan peradilan militer sesuai kewenangan absolutnya.

Dalam Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman ditetapkan bahwa salah satu penyelenggara kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, termasuk susunan serta acaranya diatur dalam undang-undang tersendiri.


(4)

Eksistensi pengadilan di lingkungan peradilan Militer juga dimuat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang Berbunyi kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Konstitusi.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah Suatu organisasi yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan Negara untuk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya tentu saja ada kemungkinan penyimpangan yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia. Bentuk penyimpangan itu antara lain pelanggaran hak asas manusia, pelanggaran hukum disiplin dan tindak pidana. Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia diselesaikan di Peradilan Militer.

Militer merupakan orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Mereka harus tunduk pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan yang pada pelaksanaannya diawasi dengan ketat oleh atasannya. Beberapa pihak menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin, namun salah satu unsur untuk menegakkan disiplin itu adalah hukum. Karenanya hukum itu secara tidak langsung menyelenggarakan pemeliharaan disiplin militer. Pengadilan


(5)

Militer sebagai wujud nyata bagi masyarakat umum adalah lembaga penegak hukum atau disiplin bagi para anggota militer.

Institusi militer merupakan institusi yang peran dan posisinya khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara. Untuk itu hampir semua institusi militer di seluruh negara memiliki mekanisme peradilan khusus yang dikenal sebagai peradilan militer.

Hukum Pidana Militer diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai hukum material dan hukum acara pidana militer, sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai hukum formal. Setiap perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum dengan kategori tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI atau yang dipersamakan dengan prajurit TNI, maka berdasarkan ketentuan Hukum Pidana Militer harus diproses melalui Pengadilan Militer. Sebagaimana halnya Hukum Pidana Umum, proses penyelesaian perkara pidana militer terbagi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksasan di pengadilan Militer dan berakhir dengan proses eksekusi. Adanya tahapan-tahapan tersebut berkaitan pula dengan pembagian tugas dan fungsi dari berbagai institusi dan satuan penegak hukum di Lingkungan TNI yang pengaturan kewenangannya adalah meliputi sebagai berikut:

1. Komandan satuan selaku Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara (Papera).


(6)

2. Polisi militer selaku penyidik

3. Oditur militer selaku penyidik, penuntut umum dan eksekutor.

4. Hakim militer di Pengadilan Militer yang mengadili memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh TNI atau yang dipersamakan sebagai Prajurit TNI menurut undang-undang.

Ditinjau dari perannya dalam fungsi penegakan Hukum Militer, Komandan selaku ANKUM adalah atasan yang oleh atau atas dasar Undang-undang Nomor 26 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin prajurit diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya apabila Prajurit TNI tersebut melakukan pelanggaran hukum disiplin. Dalam hal bentuk pelanggaran hukum tersebut merupakan tindak pidana, maka komandan-komandan tertentu yang berkedudukan setingkat komandan korem dapat bertindak sebagai perwira penyerah perkara yang oleh Undang-undang diberi kewenangan menyerahkan perkara setelah mempertimbangkan saran pendapat dari Oditur Militer. Saran pendapat hukum dari Oditur Militer disampaikan kepada PAPERA berdasarkan berita acara pemeriksaan hasil penyidikan polisi militer.

Peran Oditur Militer dalam proses Hukum Pidana Militer selain berkewajiban menyusun berita acara pendapat kepada Papera untuk terangnya suatu perkara pidana, juga bertindak selaku pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan sebagai pelaksana putusan atau pendapat Pengadilan Militer. Oditur Militer juga dapat bertindak sebagai Penyidik untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna melengkapi hasil pemeriksaan Penyidik Polisi


(7)

Militer apabila dinilai belum lengkap. Apabila Papera telah menerima berita acara pendapat dari Oditur Militer, selanjutnya Papera dengan kewenangannya mempertimbangkan untuk menentukan perkara pidana tersebut diserahkan kepada atau diselesaikan di Pengadilan Militer. Dengan diterbitkannya Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skepera) tersebut, menunjukkan telah dimulainya proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Militer.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mendeskripsikan sebuah penulisan bidang hukum yang berjudul Peranan Ankum dan Papera dalam Pengadilan Militer.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan Penelitian

Rumusan masalah diperlukan guna identifikasi dan spesifikasi permasalahan yang hendak diteliti dan dibahas agar masalah tersebut menjadi jelas dan terarah serta dapat mencapai sasaran yang diinginkan, sehingga memudahkan dalam penyusunan dan juga pencarian data-data guna menghasilkan penelitian skripsi yang baik. Bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini meliputi:

a. Apakah peran Ankum dan Papera dalam Pengadilan Militer?

b. Bagaimana prosedur penyerahan perkara dari Ankum dan Papera ke Pengadilan Militer?

c. Faktor apa yang menjadi hambatan dalam proses pelaksanaan Pengadilan Militer?


(8)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat permasalahan tersebut memerlukan suatu pembatasan ruang lingkup, ruang lingkup dalam penulisan ini terutama terbatas pada peranan Ankum dan Papera dalam Pengadilan Militer, prosedur penyerahan perkara dari Ankum dan Papera ke Pengadilan Militer, dan faktor apa yang menjadi hambatan dalam penyerahan perkara ke Pengadilan Militer. Lokasi penelitian pada skripsi ini adalah pada Den Pom II/3 Bandar Lampung dan pada UPT Oditur Militer 104 Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sendiri merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai jawaban atas permasalashan yang dihadapi (Tujuan Obyektif) dan juga untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subjektif). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mangetahui peran Ankum dan Papera dalam Pengadilan Militer.

b. Untuk mengetahui prosedur penyerahan perkara dari Ankum dan Papera ke Mahkamah Militer.

c. Untuk mengetahui apakah ada hambatan atau tidak dalam penyerahan perkara ke Mahkamah Militer.


(9)

2. Kegunaan Penelitian

Agar hasil dari kegiatan penelitian yang dicapai tidak sia-sia, maka setiap penelitian berusaha untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum acara pidana pada umumnya dan hukum acara peradilan militer pada khususnya.

b. Kegunaan Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan sumbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal proses penyelesaian tindak pidana dan lingkungan peradilan militer.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Peradilan militer merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggara pertahanan keamanan negara.

Badan yang termasuk kedalam ruang lingkup peradilan militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran (Pasal 12 UU Peradilan Militer, yang


(10)

selanjutnya disingkat menjadi UUPM). Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negeri Tertinggi.

Prajurit TNI sebagai WNI sebagaimana WNI lainnya, memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan wajib menjunjung hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Amandemen keempat yang berbunyi:

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Pelanggaran terhadap tindak pidana militer, akan diproses melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) dengan komponen (subsistem) terdiri dari Ankum, Papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer, dan Petugas Pemasyarakatan Militer. Peradilan Militer memiliki yurisdiksi mengadili semua tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Tindak pidana tersebut, baik tindak pidana umum sebagaimana terdapat dalam KUHP maupun undang-undang diluar KUHP yang memiliki ancaman pidana.

Untuk membahas permasalahan dalam skripsi ini penulis mencoba mengadakan pendekatan, penulis menggunakan teori peranan yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto. (Soerjono Soekanto, 1990:269) Menjelaskan bahwa peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status), sebagai aspek dinamis maka peranan mencakup:


(11)

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

2. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapt dilakukan oleh individu dalam masyarakat yang organisasi.

3. Peranan yang dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur masyarakat.

Lebih lanjut lagi bahwa suatu peranan dari individu atau kelompok dapat dijabarkan (Soerjono Soekanto, 1986:130) :

1. Peranan yang ideal (ideal role)

2. Peranan yang seharusnya (expect role)

3. Peranan yang dianggap diri sendiri (perceived role) 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)

Dalam kaitannya dengan penegakan hukum atau peraturan, peranan ideal dan peranan seharusnya adalah peranan yang seharusnya dikehendaki dan diharapkan oleh hukum yang telah ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri atau peranan yang sebenarnya dilakukan adalah peranan yang telah dikembangkan antara kehendak hukum yang tertulis dengan kenyataan-kenyataan, dalam hal ini penegak hukum harus menentukan dengan kemampuannya berdasarkan kenyataan yang terjadi.

Sebagaimana halnya Hukum Pidana Umum, proses penyelesaian perkara pidana militer terbagi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan,


(12)

pemeriksaan di Peradilan Militer dan berakhir dengan proses eksekusi. Adanya tahapan-tahapan tersebut terkait puladengan pembagian tugas dan fungsi dari berbagai institusi dan satuan penegak hukum di lingkungan TNI yang pengaturan kewenangannya adalah sebagai berikut:

a. Komandan satuan selaku Ankum dan Papera. b. Polisi Militer sebagai Penyidik.

c. Oditur Militer selaku Penyidik, Penuntut umum, dan eksekutor.

d. Hakim Militer di Pengadilan Militer yang mengadili, memeriksa, dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang dipersamakan sebagai Prajurit TNI menurut undang-undang.

Prosedur penyelesaian perkara pidana militer sama halnya dengan penyelesaian perkara pidana umum, yaitu meliputi tahap penyidikan, penuntutan,npemeriksaan dipengadilan militer, dan berakhir dengan proses eksekusi. Komandan selaku Ankum adalah atasan yang oleh atau atas dasar Undang-undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit TNI yang berada dibawah wewenang komandonya apabila Prajurit TNI tersebut melakukan pelanggaran hukum disiplin. Dalam hal bentuk pelanggaran hukum tersebut merupakan tindak pidana, maka Komandan-Komandan tertentu yang berkedudukan setingkat Komandan-Komandan Korem dapat bertindak sebagai Perwira Penyerah Perkara atau Papera yang oleh undang-undang diberi kewenagan menyerahkan perkara setelah mempertimbangkan saran pendapat Oditur Militer. Saran pendapat hukum dari Oditur Militer ini disampaikan kepada Papera berdasarkan berita acara pemeriksaan hasil penyidikan Polisi Militer.


(13)

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soejono Soekanto, 1979).

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.


(14)

2. Konseptual

Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang menjadi kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 ; 132).

Batasan pengertian istilah yang digunakan dalam penulisan ini adalah:

a. Peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilksanakan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989)

b. Ankum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang (Pasal 1 angka 9 UUPM)

c. Papera adalah Perwira yang oleh atau atas dasar undang-undang ini mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berada dibawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan diluar Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (Pasal 1 angka 10 UUPM)

d. Peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997).

e. Peradilan Militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer (Wikipedia)


(15)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan yang baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan hukum terdiri dari 5 (lima) bab yaitu: pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, penutup, ditambah dengan lampiran-lampiran dan daftar pustaka, apabila disusun dengan sistematis adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian latar belakang, permasalahan, ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, serta kerangka teoritis dan konseptual yang diakhiri dengan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam tinjauan ini terdiri dari Pengertian Militer, Tindak Pidana Militer, Polisi Militer dan Oditur Militer serta Mahkamah Militer. Kemudian berlanjut pada tinjauan umum tentang Ankum dan Papera berupa pengertian, kewenangan penyerahan perkara Ankum dan Papera, proses perkara pidana yang meliputi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan.

III.METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang langkah-langkah mengenai metode yang dipakai dalam penelitian, adapun metode yang digunakan terdiri dari pendekatan masalah,


(16)

sumber data dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisikan pembahasan dari permasalahan dan hasil penelitian yaitu meliputi, prosedur penyerahan perkara dari Ankum dan Papera ke Mahkamah Militer, kemudian juga mengulas faktor apa yang menjadi hambatan dalam penyerahan perkara ke Mahkamah Militer.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan penelitian dan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.


(17)

DAFTAR PUSTAKA

Faisal, Salam. 2006. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Mandar Maju. Bandung. _______________. 1994. Peradilan Militer Indonesia. Mandar Maju. Bandung. Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP.

Sinar Grafika, Jakarta.

Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontenporer. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Wojowasito.1995. Kamus Bahasa Indonesia. Shinta Darma, Bandung.

Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Undang-undang Peradilan Militer. Sinar Grafika. Jakarta.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Militer

Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang yang bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih dari tantangan untuk menghadapi musuh, sedangkan ciri-ciri militer sendiri mempunyai organisasi teratur, pakaiannya seragam, disiplinnya tinggi, mentaati hukum yang berlaku dalam peperangan. Apabila ciri-ciri ini tidak dimiliki atau dipenuhi, maka itu bukan militer, melainkan itu suatu gerombolan bersenjata (Faisal Salam, 2006 ; 13).

Militer menurut Amiroeddin Syarif (1996 : I) adalah orang yang dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus, mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan pelaksanaannya diawasi denganm ketat.

Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut prajurit adalah warga negara yang memenuhi prasyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer (UUPM Pasal 1 (42)).


(19)

Prajurit TNI adalah bagian dari suatu masyarakat hukum yang memiliki peran sebagai pendukung terbentuknya budaya hukum di lingkungan mereka. Kesadaran hukum di lingkungan TNI tidak dapat diharapkan akan tegak jika para prajurit TNI sebagai pendukung budaya hukum tidak memberikan konstribusi dengan berusaha untuk senantiasa mentaati segala peraturan yang berlaku serta menjadikan hukum sebagai acuan dalam berperilaku dan bertindak. Pemahaman tentang kesadaran hukum perlu terus ditingkatakan sehingga terbentuk perilaku budaya taat hukum dari diri masing-masing individu prajurit TNI.

B. Tindak Pidana Militer

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1983 ; 54).

Tindak pidana merupakan dasar dalam hukum pidana. Perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud dalam peraturan pidana. Dalam bahasa Belanda istilah tindak pidana tersebut adalah ”Strafbaarfeit” atau delict.

Menurut Wirjono Prodikoro (1986 ; 55), tindak pidana adalah Suatu perbuatan yang terhadap pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana .

Berdasarkan pengertian tindak pidana tersebut di atas, ada beberapa yang perlu diketahui mengenai arti tindak pidana menurut pendapat para sarjana.


(20)

Menurut Simon, tindak pidana adalah: kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Moeljatno, 1983 ; 56).

Menurut Van Hamel, tindak pidana adalah: Kelakuan orang yang dirumuskan dalam Wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan (Moeljatno, 1983 ; 56).

Secara sosiologis, tindak pidana adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku manusia yang secara ekonomis, politis, dan sosial psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma asusila dan menyerang keselamatan masyarakat. Secara yuridis normal, suatu tindak pidana adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, assosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang (Bambang Poernomo, 1978 ; 45).

Tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang diatur tersendiri dalam undang-undang khusus, yang memberikan peraturan khusus tentang tata cara penyidikannya, tuntutannya, pemeriksaannya, maupun sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang dimuat dalam KUHP.

Tindak pidana militer adalah tindak pidana khusus yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja yaitu seorang militer (Moch. Faisal Salam, 2006 ;27).


(21)

Tindak pidana militer yang diatur di dalam KUHPM dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Tindak pidana militer murni (Zuiver Militeire Delict), yaitu suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifat khusus militer.

Ada 4 (empat) contoh yang digolongkan dalam tindak pidana militer murni yakni: 1. Militer yang pergi dengan maksud (oogmerk) untuk menarik diri selamanya

dari kewajiban-kewajiban dinasnya.

2. Militer yang pergi dengan maksud menghindari bahaya perang. 3. Militer yang pergi dengan maksud menyeberang ke musuh.

4. Militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.

b. Tindak pidana militer campuran, yaitu tindakan yang dilarang atau diharuskan yang sudah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, sedangkan ancaman hukumannya dirasakan terlalu ringan apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang militer. Oleh karena itu perbuatan yang telah diatur perundang-undangan lain yang jenisnya sama, diatur kemnali kedalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer disertai ancaman hukuman yang lebih berat (Moch. Faisal Salam, 2006 ; 28).

Penegakan hukum dalam organisasi TNI merupakan fungsi komando dan menjadi salah satu kewajiban Komando selaku pengambil keputusan. Menjadi keharusan bagi para Komandan di setiap tingkat kesatuan untuk mencermati kualitas kesadaran hukum dan disiplin para Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya.


(22)

Perlu pula diperhatikan bahwa konsep pemberian penghargaan dan penjatuhan sanksi hukuman harus benar-benar diterapkan berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi penegakan hukum. Pemberian penghargaan haruslah ditekankan pada setiap keberhasilan pelaksanaan kinerja sesuai bidang tugasnya, bukan berdasarkan aspek lain yang jauh dari penilaian profesionalisme bidang tugasnya. Sebaliknya pada Prajurit TNI yang dinilai kurang profesional, banyak mengalami kegagalan dalam pelaksanaan tugas, lamban dalam kinerja, memilki kualitas disiplin yang rendah sehingga melakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka kepada mereka sangat perlu untuk dijatuhi sanksi hukuman. Penjatuhan sanksi ini harus dilakukan dengan tegas dan apabila perlu diumumkan kepada lingkungan tugas sekitarnya untuk dapat dijadikan contoh.

Terhadap setiap perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum dengan katagori tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang dipersamakan dengan TNI, maka berdasarkan ketentuan hukum pidana militer harus diproses melalui pengadilan militer. Sebagaimana halnya hukum pidana umum, proses penyelesaian perkara pidana militer terbagi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan militer dan berakhi dengan proses eksekusi.

C. Pejabat yang Terlibat dalam Peradilan Militer 1. Polisi Militer

Organisasi TNI didesain sebagai organisasi komando yang bersifat universal. Dalam organisasi TNI terstruktur Polisi Militer sebagai bagian dari aparat penegak hukum


(23)

untuk lingkungan TNI. Polisi militer tentu memiliki arti sebagai "polisinya militer" yang bertanggung jawab terhadap penegakan hukum di lingkungan TNI, termasuk melakukan penyidikan bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana.

Peran Polisi Militer sebagai Penyidik berpengaruh terhadap Ankum yakni Atasan yang Berhak Menghukum, adalah Atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman kepada Prajurit yang berada dibawah wewenang komandonya menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 huruf (e) Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep/23/VIII/2005 tentang Atasan Yang berhak Menghukum). Polisi Militer sebagai lembaga penyelidik tidak memiliki independensi dari struktur militer.

Polisi militer bertugas di wilayah penegakan hukum (termasuk penyelidikan kejahatan) pada kepemilikan militer dan mengenai anggota militer, keamanan instalasi, perlindungan pribadi perwira militer senior, pengaturan tahanan perang, tahanan militer, pengendalian lalu lintas, penandaan rute dan memasok kembali manajemen rute. Tak semua organisasi militer berkaitan dengan area tugas tadi. Di beberapa negara, angkatan polisi militer - umum dikenal sebagai gendarmerie, meski masih ada ragam nama lain - juga bertugas sebagai angkatan polisi nasional, sering bertindak sebagai back-up kuat untuk polisi sipil dan/atau menjaga ketertiban daerah pinggiran.


(24)

2. Oditur Militer

Dalam Pasal 1 angka 2 pada Undang-undang Peradilan Militer Oditurat Militer merupakan Badan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara dibidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Institusi Oditurat Militer sebagai lembaga penuntutan dalam peradilan militer tidak independen karena berada langsung di bawah struktur komando Panglima TNI. Fungsi penuntutan oleh Oditur Militer subordinatif terhadap kebijakan Panglima sebagai atasan.

Institusi Oditurat Militer dibatasi oleh kewenangan yang dimiliki pejabat administrasi militer yang bertindak sebagai Papera. Hal ini berakibat lembaga penuntutan pidana di kalangan militer menjadi alat kelengkapan pejabat administrasi militer. Oditurat terdiri dari:

a. Oditur Militer

Menurut UU Peradilan Militer Pasal 64, Oditur militer mempunyai tugas dan wewenang:

1. Melakukan penuntutan pada perkara pidana yang Terdakwanya:

a. Prajurit yang berpangkat Kapten kebawah;


(25)

c. Mereka yang harus diadili oleh Pengadilan Militer.

2. Melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum.

3. Melakukan pemeriksaan tambahan

Selain memiliki tugas dan wewenang, Oditurat Militer dapat melakukan Penyidikan.

b. Oditur Militer Tinggi

Oditer militer Tinggi memiliki tugas dan wewenang:

1. Melakukan penuntutan pada perkara pidana yang Terdakwanya:

a. Prajurit yang berpangkat Kapten kebawah;

b. Mereka yang terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Kapten Kebawah; c. Mereka yang harus diadili oleh Pengadilan Militer.

2. Melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum.

3. Melakukan pemeriksaan tambahan


(26)

c. Oditur Jenderal

Oditur jenderal memilki tugas dan wewenang, yaitu:

1. Selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Oditurat, mengendalikan pelaksanaan tugas dalam bidang penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata. 2. Mengendalikan dan mengawasi penggunaan wewenang penyidikan, penyerahan

perkara, dan penuntutan, di lingkungan angkatan bersenjata.

3. Menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati, permohonan atau rencana pemberian amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.

4. Melaksanakan ttugas khusus dari Panglima sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Oditur Militer Pertempuran.

Oditur Militer Pertempuran memilki tugas dan wewenang, yaitu:

1. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana

2. Melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan Militer Pertempuran.

Selain mempunyai tugas dan wewenang diatas, Oditur Militer Pertempuran dapat melakukan penyidikan sejak awal tanpa perintah Oditur Jenderal dalam hal ada perintah langsung dari Panglima atau Komandan Komando Operasi Pertempuran.


(27)

3. Pengadilan Militer

Badan pengadilan militer adalah pengadilan yang dibentuk untuk mengadili dalam tingkat pertama segala perkara pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata.

Pengadilan Militer terdiri dari: a. Pengadilan Militer Luar Biasa

Yaitu badan pengadilan yang ditugasi memeriksa dan memutuskan perkara pidana dalam tingkat pertama dan terakhir mengenai perkara khusus yang ditentukan oleh kepala negara

b. Pengadilan Militer Tinggi

Yaitu badan pengadilan khusus yang memeriksa dan memutuskan perkara pidana dalam tingkat banding perkara pidana dalam lingkungan angkatan bersenjata

4. Ankum (Atasan yang Berhak Menghukum)

Pengertian Ankum diatur dalam Pasal 1 angka 9 UUPM yaitu: ”Atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang ini”.

Atasan yang berhak menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin kepada prajurit yang berada dibawah wewenang komandonya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal


(28)

1 huruf (e) Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep/23/VII/2005 tentang Atasan Yang Berhak Menghukum).

Yang berhak menjadi Ankum adalah para Komandan/Kepala Kesatuan/Dinas/Jawatan dilingkungan TNI, paling rendah Dan Yon/Dan Dim atau yang setingkat, serta Dan Ki yang berdiri sendiri, yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin kepada prajurit yang berada dibawah wewenang komandannya serta berwenang melakukan penyidikan.

Tugas Ankum di lingkungan Tentara Nasional Indonesia adalah sebagai berikut: a. Menegakkan hukum dilingkungan militer yang berada dibawah komandonya. b. Bertanggungjawab atas setiap prajurit TNI yang melakukan pelanggaran yang

berada dibawah wewenang komandonya.

Wewenang Ankum di lingkungan Tentara Nasional Indonesia adalah sebagai berikut: a. Ankum yang Berwenang Penuh

Berwenang penuh untuk menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin kepada semua Prajurit yang berada dibawah wewenang Komandonya, seperti:

1. Teguran

2. Penahanan Ringan (Paling lama 14 (empat belas) hari); dan 3. Penahanan Berat (Paling Lambat 21 (dua puluh satu) hari).

b. Ankum yang Berwenang Terbatas

Berwenang menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin kepada setiap Prajurit yang berada dibawah wewenang Komandonya, kecuali terhadap perwira seperti:


(29)

1. Teguran

2. Penahanan Ringan (Paling lambat 14 (empat belas) hari); dan 3. Penahanan Berat (Paling Lambat 21 (dua puluh satu) hari).

c. Ankum yang Berwenang Sangat Terbatas

Berwenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Bintara dan Tamtama yang berada dibawah wewenang komandonya, seperti:

1. Teguran

2. Penahanan Ringan (Paling lambat 14 (empat belas) hari); dan

Menurut Pasal 12 ayat (1) undang-undang Nomor 26 Tahun 1997 Atasan yang Berhak Menghukum itu berwenang untuk:

a. Melakukan atau memerintahkan melakukan pemeriksaan terhadap Prajurit yang berada di bawah komandonya;

b. Menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Prajurit yang berada dibawah wewenang komandonya;

c. Menunda pelaksanaan hukuman disiplin yang tekah dijatuhkan.

Setiap Ankum juga berwenang melakukan penyidikan, bersama pejabat polisi militer tertentu dan oditur yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang (Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer).

5. Papera (Perwira Penyerah Perkara)

Perwira Penyerah Perkara (Papera) yaitu pejabat dilingkungan TNI yang berdasarkan perundang-undangan diberi kewenangan untuk menyerahkan perkara Prajurit


(30)

bawahannya kepada peradilan militer atau peradilan lain yang berwenang, yang terdiri dari:

a. Pangab (sebagai Papera tertinggi). b. KSAD, KSAL, dan KSAU.

c. Pangkotama (Pangdam atau yang setingkat)

d. Komandan/Kepala Kesatuan/Dinas/Jawatan setingkat Komandan Korem yang ditunjuk.

Perwira Penyerah Perkara berwenang untuk:

a. Memerintahkan Penyidik untuk melakukan penyidikan. b. Menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan.

c. Memerintahkan upaya paksa memperpanjang penahanan terhadap tersangka. d. Memperpanjang penahanan terhadap tersangka.

e. Menerima atau meminta pendapat Oditur.

f. Menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang berwenang.

g. Menentukan suatu perkara harus diselesaikan menurut Hukum disiplin Prajurit atau tidak.

D. Kewenangan Ankum dan Papera dalam Perkara Pidana oleh Anggota Militer.

Peranan Ankum dalam penegakan hukum militer adalah sebagai orang yang ikut bertanggungjawab atas segala perbuatan bawahannya yang melakukan pelanggaran hukum. Oleh karenanya Ankum diberi wewenang dan berhak menghukum


(31)

bawahannya tersebut, tetapi Ankum dalam menghukum harus sesuai dengan aturan dan tidak boleh melampaui wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, karena tugas Ankum hanya dibatasi pada pelanggaran diwilayah kesatuan komandonya saja.

Ankum tidak dapat secara spontan melakukan tindakan penegakan hukum baik terhadap pelanggaran maupun tindak pidana yang dilakukan bawahannya, karena sebelum Ankum melakukan tindakan, sebelumnya harus melalui proses terlebih dahulu, salah satunya adalah mempertimbangkan saran atau pendapat oditur militer.

Ankum memiliki wewenang menjatuhkan hukuman kepada prajurit TNI yang berada dibawah komandonya, namun sebatas berwenang melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya. Setelah mengetahui bahwa perkara tersebut termasuk tindak pidana, maka pelaksanaan penyidikan selanjutnya harus diserahkan kepada penyidik lainnya yakni polisi militer atau Oditur. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 UUPM yakni ankum mempunyai wewenang:

a. Melakukan penyidikan terhadap Prajurit bawahannya yang ada dibawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik.

b. Menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari Penyidik.. c. Menerima berkas perkara hasil penyidikan dari Penyidik.

d. Melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada dibawah wewenang komandonya.


(32)

Setelah adanya proses penyidikan maka dilanjutkan dengan mengadakan pertimbangan antara Penyidik dan Perwira Penyerah Perkara. Adapun yang dimaksud dengan Perwira Penyerah Perkara (Papera) adalah Perwira yang mempunyai wewenang untuk menentukan suatau perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata (militer) yang berada dibawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan diluar pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Dalam hal ini Papera berkewajiban mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara, Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit; atau Surat Keputusan Penutupan Perkara demi kepentingan hukum.

Kewenangan penyelesaian perkara pidana secara Hukum Disiplin Militer ada pada Papera. Berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU Nomor : 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI disebutkan bahwa, “Pelanggaran hukum disiplin tidak murni merupakan setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin prajurit.” Yang dimaksud dengan sedemikian ringan sifatnya adalah :

a. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling tinggi Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah);

b. Perkara sederhana dan mudah pembuktiannya; dan

c. Tindak pidana yang terjadi tidak akan mengakibatkan terganggunya kepentingan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan/atau kepentingan umum.


(33)

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menjatuhkan hukuman disiplin kepada seorang Prajurit yang melakukan pelanggaran disiplin tidak murni ketiga persyaratan di atas harus terpenuhi. Hal ini terjadi karena dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU Nomor : 26 Tahun 1997, ketiga point tersebut merupakan satu rangkaian kalimat yang berkaitan dan tidak dipisahkan. Apabila ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka prajurit yang melanggar tidak dapat dijatuhi hukuman disiplin.

E. Proses Perkara Pidana 1. Penyelidikan

Penyelidikan dalam KUHAP merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut dan yang diatur dalam undang-undang.

Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu penin dakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.


(34)

Proses penyelidikan dikalangan militer merupakan metode dari fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain, yaitu tindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

Proses penyelidikan terhadap anggota TNI adalah untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Adapun fungsi penyelidikan antara lain:

1. Adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak prajurit.

2. tidak setiap peristiwa terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

Menurut Soejono Soekanto, penyelidikan di dalam KUHAP antara lain untuk perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia dengan adanya persyaratan dan pembahasan yang ketat dalam penggunaan wewenang alat-alat pemaksa. Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi rehabilitasi dikaitkan bahwa setiapetatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi rehabilitasi dikaitkan bahwa setiap peristiwa dijadikan dan diduga sebagai tindak pidana tidak selalu menampakan secara jelas sebagai tindak pidana karena selalu melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya alat-alat pemaksa, perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa itu terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar-benar merupakan tindak pidana sehingga dapat dilakukan penyidikan.


(35)

Proses penyelidikan dan penyidikan merupakan hal yang sama-sama bertujuan untuk memproses suatu perkara yang diduga dilakukan oleh militer maupun warga sipil yang melakukan tindak pidana bersama militer, disini penyelidikan didasari atas perbuatan tersangka saja, apakah merupakan tindak pidana atau bukan, sedang penyidikan didasari atas tindak lanjut dari penyelidikan dengan mengumpulkan barang bukti dan melakukan penahanan terhadap tersangka.

2. Penyidikan

Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti, yang dengan bukti-bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Dalam peradilan militer Penyidik memiliki wewenang berdasarkan Pasal 71 UU Peradilan Militer yakni:

a. Menerima laporan atau pengaduan

Laporan (Pasal 1 angka 14) adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Sedangkan pengaduan (Pasal 1 angka 15) adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan tindak pidana aduan yang merugikan.


(36)

b. Melakukan tindakan pertama pada saat dan tempat kejadian

Adapun yang dimaksud dengan tindakan yang pertama pada saat kejadian atau tempat kejadian adalah melakukan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan pada saat itu atau ditempat kejadian, misalnya:

1. Menangkap pelaku;

2. Mengamankan alat bukti dan barang bukti; 3. Mengamankan lokasi kejadian.

c. Mencari keterangan dan barang bukti

Maksudnya mencari informasi yang dapat membuat terang suatu kejahatan yang telah terjadi. Sedangkan barang bukti adalah alat-alat yang dipergunakan melakukan tindak pidana itu atau barang-barang yang diperoleh dari kejahatan itu.

d. Menyuruh berhenti seseorang

Maksud menyuruh berhenti seseorang yang diduga seseorang yang diduga sebagai Tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya.

e. Melakukan upaya paksa: 1. Penagkapan;

2. Penggeledahan; 3. Penahanan; 4. Penyitaan; dan


(37)

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang

g. Memanggil seseorang untuk didengar dan didengar sebagai tersangka atau saksi Perkara desersi yang tersangkanya tidak ditemukan cukup memeriksa saksi yang ada dan pemberkasan perkaranya tidak terhalang dengan tidak adanya pemeriksaan Tersangka.

h. Meminta bantuan

Penyidik dapat meminta bentuan seorang ahli atau dapat mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan tindakan lain

Tindakan lain disini haruslah menurut hukum yang bertanggung jawab, misalnya tindakan yang dilakukan penyidik untuk kepentingan penyidik, dengan syarat:

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan.

3. Tindakan itu patut dan masuk akal dan termasuk dilingkungan jabatannya. 4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.

5. Menghormati hak asai manusia dalam pelaksanaan kewenangan tersebut, diantaranya Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

j. Melaksanakan perintah atasan yang berhak menghukum untuk melakukan penahanan tersangka


(38)

k. Melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Atasan yang Berhak Menghukum

Untuk melaksanakan wewenangnya tersebut diatas, Penyidik membuat berita acara. Selanjutnya, Penyidik (Ankum, Polisi Militer, atau Oditur) menyerahkan berkas perkara kepada Perwira Penyerah Perkara, Atasan yang Berhak Menghukum dan Oditur sebagai Penuntut Umum, penyerahan perkara kepada Oditur sebagai Penuntut Umum dan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (12) UU Peradilan Militer, ditentukan:

Penyidik Pembantu adalah pejabat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tertentu yang berada dan diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan di kesatuannya.

Dalam pelaksanaan tugasnya Penyidik dibantu oleh Penyidik Pembantu (Pasal 69 Ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997) terdiri dari:

1. Provost Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Darat; 2. Provost Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut; 3. Provost Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Udara; 4. Provost Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3. Penuntutan

Penuntutan adalah Pelimpahan perkara ke Pengadilan yang berwenang agar diperiksa dan diputuskan di sidang Pengadilan. Penuntut terdiri dari Oditur Militer (Otmil), Oditur Jenderal (Otjen), Oditur Pertempuran (UUPM Pasal 49).


(39)

Berdasarkan Pasal 64 Undang-undang Peradilan Militer, ditentukan tugas dan wewenang Oditurat Militer, yaitu melakukan penuntutan perkara pidana yang terdakwanya:

a. Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah dan yang dipersamakan dengan mereka.

b. Seseorang yang berdasarkan keputusan Pangab dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan Militer.

Berdasarkan Pasal 65 UU Peradilan Militer, ditentukan tugas dan wewenang Odditurat Militer Tinggi yaitu melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya:

a. Prajurit atau salah satu Prajuritnya berpangkat Mayor ke atas dan yang dipersamakan dengan mereka.

b. Seseorang yang berdasarkan keputusan Pangab dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi.

Berdasarkan Pasal 66 UU Peradilan Militer, ditentukan tugas dan wewenang Oditurat Militer Jenderal, yaitu:

a. Membina, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat;

b. Menyelenggarakan pengkajian masalah kejahatan guna kepentingan penegakan serta kebijaksanaan pemidanaan; dan


(40)

c. Dalam rangka penyelesaian dan pelaksanaan penuntutan perkara tindak pidana tertentu yang acaranya diatur secara khusus, mengadakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Polisi Militer, dan badan penegak hukum lain.

Berdasarkan Pasal 68 UU Perdilan Militer, ditentukan tugas dan wewenang Oditurat Militer Pertempuran, yaitu:

a. Oditurat Militer Pertempuran mempunyai tugas dan wewenang:

1. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang dilakukan oleh mereka. 2. Melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan Militer

Pertempuran.

b. Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer Pertempuran dapat melakukan penyidikan sejak awal tanpa perintah Oditur Jenderal dalam hal ada perintah laangsung dari Panglima atau Komandan Operasi Pertempuran.

4. Pemeriksaan dipersidangan

Setelah Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menerima pelimpahan berkas perkara dari Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi, Kepala Pengadilan Militer/ Kepala Pengadilan Militer Tinggi segera mempelajarinya, apakah perkara itu termasuk wewenang Pengadilan yang di pimpinnya. Dalam pemeriksaan perkara pidana dikenal beberapa acara pemeriksaan, yaitu:

1. Acara Pemeriksaan Biasa 2. Acara Pemeriksaan Cepat


(41)

3. Acara Pemeriksaan Khusus 4. Acara Pemeriksaan Koneksitas

Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim bebas menentukan siapa yang akan diperiksa terlebih dahulu. Pada asasanya sidang pengadilan terbuka untuk umum, kecuali untuk pemeriksaan perkara kesusilaan, sidang dinyatakan tertutup. Pada perinsipnya pengadilan bersidang dengan hakim majelis kecuali dalam acara pemeriksaan cepat.

Terhadap tindak pidana militer tertentu, Hukum Acara Pidana Militer mengenal peradilan in absensia yaitu untuk perkara desersi. Hal tersebut berkaitan dengan kepentingan komando dalam hal kesiapan kesatuan, sehingga tidak hadirnya prajurit secara tidak sah, perlu segera ditentukan status hukumnya.

Dalam pemeriksaan sidang tingkat pertama pada Pengadilan Militer, Hakim ketua berwenang:

a. Apabila Terdakwa berada dalam tahanan sementara, wajib menetapkan apakah Terdakwa tetap ditahan atau dikeluarkan dari tahanan sementara.

b. Guna kepentingan pemeriksaan, mengeluarkan perintah untuk menahan Terdakwa paling lama 30 (tiga puluh) hari.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2008. Hukum Pidana Militer. Diklat Kuliah. Universitas Lampung. Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP.

Sinar Grafika, Jakarta.

Moertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenal Hukum. Libertu, Yogyakarta. Moeljatno. 1983. Azas-azas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.

Rusli, Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontenporer. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Salam, Moch. Faisal. 2006. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Mandar Maju, Bandung.

________________. 1994. Peradilan Militer Indonesia. Mandar Maju, Bandung. Sjarif, Amiroeddin. 1996. Hukum Disiplin Militer Indonesia. Rineka Cipta.

Jakarta.

Wojowasito. 1995. Kamus Bahasa Indonesia. Shinta Darma, Bandung.

Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 1997 tentang Tentara nasional Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Undang-undang RI Nomor 26 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta.

Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1997 tentang Undang-undang Peradilan Militer, Sinar Grafika. Jakarta.


(43)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian adalah suatu metode ilmiah yang dilakukan melalui penyelidikan dengan seksama dan lengkap, terhadap semua bukti-bukti yang dapat diperoleh mengenai suatu permasalahan tertentu sehingga dapat diperoleh suatu pemecahan bagi permasalahan itu. Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum, dengan jalan menganalisanya.

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk mempelajari kaedah hukum dengan mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan yang bersifat normatif adalah penelitian dengan data sekunder yang dilakukan dalam mencari data atau sumber yang bersifat teori yang berguna untuk memecahkan masalah melalui studi kepustakaan yang meliputi buku-buku, peraturan-peraturan, surat-surat keputusan, dan dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik yang berupa penilaian, perilaku, pendapat, dan sikap dengan mengadakan penelitian lapangan terhadap pelaksanaan


(44)

Peradilan Militer. Pendekatan ini bertujuan memperoleh data murni yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung di lapangan yang berupa keterangan-keterangan dan informasi dari responden secara langsung yang didapat melalui wawancara dan observasi lapangan di Daerah Militer 4 Sriwijaya Datasemen Polisi Militer II/3 Bandar Lampung.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan dengan cara mengutip, menelaah, dan mencatat bahan-bahan peraturan atau bahan-bahan lainnya yang berhubungan dan sesuai dengan pokok bahasan, yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, seperti Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder tersebut meliputi Rancangan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri.


(45)

c. Bahan hukum tersier, meliputi hasil karya ilmiah, hasil-hasil penelitian, kamus, literatur-literatur, koran, majalah, dan sebagainnya.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi atau Universe, adalah jumlah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu didalam suatu peelitian (Hadai Nawawi, 1987 ; 141). Dalam hal penelitian ini yang menjadi populasi adalah Polisi Militer pada Den POM, dan Oditurat pada UPT Oditur Militer.

2. Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu (Hadai Nawawi, 1987 ; 144). Sampel ditentukan secara-cara “Purposive Proporsional Sampling” yaitu, metode pengambilan sample berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian, dimana pemilihan responden disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak diteliti. Dalam hal penelitian ini, yang menjadi sample adalah Polisi Militer pada Den POM II/3 Bandar Lampung, Oditurat pada UPT Oditur Militer 104 Bandar Lampung.


(46)

3. Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Polisi Militer pada Den POM II/3 Bandar Lampung : 1 Orang 2. Oditurat pada UPT Oditur Militer 104 Bandar Lampung : 1 Orang +

Jumlah : 2 Orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Pelaksanaan pengumpulan data digunakan cara dengan studi kepustakaan dan studi lapangan yaitu sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder, yaitu data-data dan keterangan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dengan mempelajari dokumen-dokumen atau tulisan dari ahli, buku-buku literature, Yurisprudensi, serta berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi atau isi dari permasalahan. Serta data tersier, yaitu data-data yang diperoleh dari berbagai situs di internet.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan dilakukan dengan maksud memperoleh data primer, yaitu data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan serta penelitian secara langsung di lapangan (field research), yaitu dilakukan dengan metode wawancara. Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang utuh menyeluruh. Wawancara


(47)

menggunakan pedoman secara tertulis, tetapi dalam kenyataannya dapat saja keluar dari pedoman tertulis selagi hal tersebut tidak menyimpang dari permasalahan dalam skripsi ini.

2. Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah semua data berhasil dikumpulkan , baik dari kepustakaan maupun dari lapangan. Pengolahan data yang telah terkumpul dilakukan dengan cara:

a. Pemeriksaan data (Editing), yaitu mengoreksi apakah masih terdapat kekurangan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang ada.

b. Rekontruksi data (Reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan dan logis, sehingga mudah dipahami dan di interprestasikan.

c. Sistematisasi data (Sistemmatzing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika pokok bahasan dan sub pokok bahasan.

E. Analisis Data

Keseluruhan penelitian ini diperoleh dengan mengkombinasikan antara penelitian hukum normative dengan penelitian hukum empirisyang dikaji dan dianalisis secara kualitatif dengan melakukan pendekatan hukum. Data dan informasi yang ditemukan akan diukur dengan ketentuan hokum yang berlaku berkaitan dengan isi dari permasalahan. Data yang telah diukur tesebut akan dianalisis dan dilakukan data yang sesuai dengan kenyataan mengacu kepada peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang


(48)

dikemukakan dalam penulisan ini Setelah data dianalisis maka dapat ditarik kesimpulan secara umum sehingga kesimpulan tersebut dapat diberikan saran.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Ashhofa, Burhan. 1996. Metodelogi Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. Husin, Sanusi. 1997. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum

Universitas Lampung. Lampung.


(50)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden

Penulisan skripsi ini menggunakan studi wawancara terhadap sejumlah responden. Sebelum penulis memaparkan hasil penelitian dan pembahasan terlebih dahulu akan diuraikan mengenai karakteristik responden. Adapun responden tersebut adalah 2 (dua) orang, diantaranya adalah 1 orang Polisi Militer dan 1 orang Oditur Militer.

Pemilihan responden diatas dengan perkembangan bahwa responden terssebut dapat mewakili dan menjawab permasalahan dalam skripsi ini, sehingga penelitian ini memperoleh sumber yang dapat mempertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk memperoleh keakuratan data dan penelitian serta gambaran objektif dari responden, maka penulis akan mengemukakan terlebih dahulu tentang karakteristik responden, sebagai berikut:

1. Nama : Sukino, S.H. Jenis Kelamin : Laki-laki

Jabatan : Kepala UPT OTMIL 1-04 Bandar Lampung Pangkat/NRP : MAYOR CHK / 594547


(51)

2. Nama : Barnabas Irianto, S.H. Jenis Kelamin : Laki-laki

Jabatan : Kapten CPM Pangkat/NRP : 11030012671079

B. Peran Ankum dan Papera dalam Pengadilan Militer

Sebagaimana halnya hukum pidana umum, proses penyelesaian perkara pidana militer terbagi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan militer dan berakhir dengan proses eksekusi.

Proses penyelidikan dikalangan militer merupakan metode dari fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain, yaitu tindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

Menurut penulis proses penyelidikan dan penyidikan merupakan hal yang sama-sama bertujuan untuk memproses suatu perkara yang diduga dilakukan oleh militer maupun warga sipil yang melakukan tindak pidana bersama militer, disini penyelidikan didasari atas perbuatan tersangka saja, apakah merupakan tindak pidana atau bukan, sedangkan penyidikan didasari atas tindak lanjut dari penyelidikan dengan mengumpulkan barang bukti dan melakukan penahanan terhadap tersangka.

Pelaksanaan penyidikan merupakan wewenang dari Ankum, Polisi Militer dan Oditur. Penyidik dapat melakukan penahanan terhadap tersangka atas izin atau perintah dari Atasan yang berhak menghukum, dengan masa penahan paling lama 20 hari yang apabila kemudian diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat


(52)

diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara paling lama 180 hari. Penahanan dapat dilakukan di rumah tahanan militer atau tempat lain yang ditentukan oleh Panglima.

Ankum yakni Atasan yang berhak menghukum sebagai penyidik adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman kepada Prajurit yang berada dibawah wewenang komandonya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 huruf (e) Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep/23/VIII/2005 tentang Atasan yang berhak menghukum).

Peranan Ankum dalam pengadilan militer yaitu sebagai orang yang berhak menentukan apakah pelanggaran yang dilakukan oleh anggota TNI itu merupakan pelanggaran biasa saja yang hanya cukup diberi teguran saja, atau merupakan pelanggaran pidana yang kasusnya harus ditindak lebih lanjut lagi, tetapi Ankum juga harus mempertimbangkan pendapat dari Oditur Militer.

Menurut Barnabas Irianto peranan ideal (ideal role) Ankum dalam Pengadilan Militer adalah sebagai orang yang ikut bertanggungjawab atas segala perbuatan bawahannya yang melakukan pelanggaran hukum. Oleh karenanya Ankum diberi wewenang dan berhak menghukum bawahannya tersebut, tetapi Ankum dalam menghukum harus sesuai dengan aturan dan tidak boleh melampaui wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan karena tugas ankum hanya dibatasi pada pelanggaran diwilayah kesatuan komandonya saja.


(53)

MenurutBarnabas Irianto,Ankum tidak dapat secara spontan melakukan tindakan penegakan hukum baik terhadap pelanggaran maupun tindak pidana yang dilakukan bawahannya, karena sebelum Ankum melakukan tindakan sebelumnya harus melalui proses terlebih dahulu, salah satunya adalah mempertimbangkan saran atau pendapat Oditur Militer. Pendapat tersebut merupakan peranan yang seharusnya (expect role).

Sedangkan peran yang dianggap diri sendiri (perceived role) menurut penulis yaitu peranan Ankum selaku komandan dikesatuan atau diwilayah komandonya. Karena ia merupakan atasan, maka memang tugas atau peranannyalah untuk menghukum atau menegur bawahannya yang melakukan kesalahan atau melakukan tindak pidana.

Masih menurut penulis, peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role) oleh Ankum terkadang tidak sesuai dengan peranan yang seharusnya dilakukan Ankum selaku atasan atau komandan dikesatuannya, yaitu menghukum atau menegur bawahannya yang melakukan tindak pidana atau kesalahan, akan tetapi Ankum terkadang membela atau melindungi bawahannya, dikarenakan Ankum memiliki tanggungjawab terhadap bawahannya, dan apabila bawahannya melakukan pelanggaran hukum, maka Ankum merasa tercoreng namanya.

Dalam Pasal 74 UUPM Ankum mempunyai wewenang:

a. melakukan penyidikan terhadap Prajurit bawahannya yang ada dibawah wewenang komandonyayang pelaksanaanya dilakukan oleh Penyidik

b. menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari Penyidik c. menerima berkas perkara hasil penyidikan dari Penyidik


(54)

d. melakukan penahanan terhadap Tersangka anggota bawahannya yang ada dibawah wewenang komandonya.

Setelah adanya proses penyidikan maka dilanjutkan dengan mengadakan pertimbangan antara penyidik dan Perwira Penyerah Perkara. Adapun yang dimaksud dengan Perwira penyarah perkara (Papera) adalah Perwira yang mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata (militer) yang berada dibawah wewenang komandonya, diserahkan kepada atau diselesaikan diluar pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Peranan Papera dalam Pengadilan Militer lebih besar dibandingkan peranan yang dilakukan oleh Ankum. Karena peranan Papera yaitu menentukan apakah perkara pidana yang dilakukan oleh anggota TNI yang melakukan kesalahan diteruskan dipengadilan atau menutup perkara demi kepentingan hukum atau untuk kepentingan umum/militer. Dalam hal ini Perwira penyerah perkara (Papera) berkewajiban mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara, Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit; atau Surat Penutupan Perkara demi kepentingan hukum. Papera juga berperan untuk memperpanjang penahanan apabila kemudian diperlukan guna kepentingan pemeriksaan. Peranan yang dilakukan oleh Papera tersebut merupakan peranan yang seharusnya (expect role).

Menurut penulis, peran ideal (ideal role) Papera yaitu memberikan perintah tentang keputusan perkara, apakah dapat dilanjutkan ke pengadilan atau menutup


(55)

perkara tersebut, tidak langsung turun tangan menghukum anggota TNI yang melakukan tindak pidana tersebut.

Masih menurut penulis, Peranan yang dianggap diri sendiri (perceived role) yaitu peranan Papera selaku penyerah perkara, yang juga menjadi tugasnya untuk membuat Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skepera), sedangkan peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role) oleh Papera sudah cukup baik, yaitu dapat tegas menentukan perkara pidana dapat diteruskan atau dihentikan demi kepentingan hukum atau untuk kepentingan umum/militer.

Dalam Pasal 123 UUPM adalah wewenang Papera adalah : a. memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan b. menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan c. memerintahkan dilakukannya upaya paksa

d. memperpanjang penahanan

e. menerima atau meminta pendapat hukum dari Oditur tentang penyelesaian suatu perkara

f. menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili

g. menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit h. menutup perkara demi kepentingan hukum atau untuk kepentingan


(56)

C. Prosedur Penyerahan Perkara dari ankum dan Papera ke Pengadilan Militer

Proses penyelesaian perkara pidana militer terbagi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan militer dan berakhir dengan proses eksekusi. Proses penyelidikan dikalangan militer merupakan metode dari fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain, yaitu tindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

Dalam proses penyidikan Ankum memberikan izin atau perintah kepada penyidik agar dapat melakukan penahanan terhadap tersangka dalam hal tersangka diancam pidana selama 3 bulan penjara dengan alasan bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana dengan masa penahan paling lama 20 hari yang apabila kemudian diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara paling lama 180 hari. Penahanan dapat dilakukan di rumah tahanan militer atau tempat lain yang ditentukan oleh Panglima.

Setelah adanya proses penyidikan maka dilanjutkan dengan mengadakan pertimbangan antara penyidik dan Perwira Penyerah Perkara. Dalam hal ini Perwira penyerah perkara (Papera) berkewajiban mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skepera), Surat Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit; atau Surat Penutupan Perkara demi kepentingan hukum.

Setelah dikeluarkan surat keputusan dari Papera mengenai tersangka yang diserahkan kepada Oditur dan menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili tersangka, Oditur dapat melakukan


(57)

penuntutan terhadap terdakwa dengan menyerahkan berkas perkara terhadap pengadilan yang berwenang dengan disertai surat dakwaan. Surat dakwaan yang dibuat oleh Oditur dapat diubah paling lambat 7 hari sebelum sidang pengadilan pada tingkat pertama. Salinan surat dakwaan diserahkan kepada terdakwa atau penasehat hukum dan Perwira penyerah perkara. Oditur membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan tanda tangan serta berisi: nama lengkap, pangkat, nomor regestrasi pusat, jabatan kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal terdakwa, serta uraian fakta secara cermat, jelas, dan lengkap, mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Sejak berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan dan diregistrasi, maka kewenangan penahanan atas terdakwa beralih ke pengadilan, maka untuk itu pada pemeriksaan sidang tingkat pertama pada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi (Pasal 37), Hakim Ketua Majelis berwenang menetapkan apakah terdakwa tetap ditahan atau dikeluarkan dari tahanan sementara, atau mengeluarkan perintah untuk menahan terdakwa paling lama untuk 30 (tiga puluh) hari untuk kepentingan pemeriksaan, dan masa penahanan itu dapat diperpanjang oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi paling lama untuk 60 (enam puluh) hari, hal ini tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, apabila kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi, oleh karena itu sesudah waktu 90 (sembilan puluh) hari, walaupun perkara belum diputus terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.


(58)

Ketentuan tersebut diatas juga berlaku pada pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama, penahanan terhadap terdakwa dapat di perpanjang secara istimewa (Pasal 138) atau dikecualikan dari ketentuan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindari demi kepentingan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan kepentingan pemeriksaan yaitu pemeriksaan yang belum dapat diselesaikan dalam waktu penahan yang ditentukan. Adapun alasan yang sah untuk itu adalah karena terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Yang dimaksud dengan gangguan fisik atau mental yang berat adalah gangguan fisik dan mental terdakwa yang tidak mungkin untuk diperiksa dipersidangan atau karena perkara yang sedang diperiksa itu diancam dengan pidana penjara 9 (sembilan) tahun atau lebih, untuk itu diperpanjang penahanan dapat diberikan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan bila masih diperlukan, dpat diperpanjang 30 (tiga puluh) hari lagi dan perpanjangan penahanan tersebut diberikan atas permintaan dan laporan pemeriksaan.

Kemudian dalam tahap eksekusi, isi putusan atau vonis adalah hasil akhir dari suatu proses peradilan. Adapun isi putusan itu dalam kasus Pidana Militer adalah sebagai berikut:

1. Bebas dari segala dakwaan (Vrijspraak)

Putusan bebas dari segala dakwaan, dijatuhkan bila Pengadilan (Majelis hakim) berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan dari sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah


(59)

dan meyakinkan, Pasal 189 ayat (1) UUPM. Oleh karena itu, terdakwa yang ditahan diperintahkan dibebaskan seketika itu juga.

2. Lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag van rechtvervolging)

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum Pasal 198 ayat (2) UUPM dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana.

Penjatuhan putusan ”bebas dari segala dakwaan” atau ”lepas dari segala tuntutan hukuman” maka terdakwa yang berada dalam status tahanan diperintahkan dibebaskan seketika itu juga, kecuali karena alasan lain yang sah terdakwa harus ditahan, apabila terdakwa tetap dikenai penahanan atas dasar alasan lain yang sah, maka alasan tersebut diberitahukan kepada Pengadilan Tingkat Pertama sebagai pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan.

Waktu selama dalam penahanan (sementara) wajib dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan atau dalam hal terdakwa pernah dijatuhi hukuman disiplin yang berupa penahan, maka hukuman disiplin tersebut wajib diperhitungkan dari pidana yang dijatuhkan. Dalam putusan hakim juga ditetapkan status barang bukti (Pasal 191 UUPM) untuk diserahkan kembali kepada pihak yang paling berhak yang tercantum dalam putusan tersebut, kecuali apabila menurut ketentuan peraturan perundang-undangan barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau untuk dimusnahkan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Kecuali apabila terdapat alasan yang sangat sah, Pengadilan dapat menetapkan supaya barang bukti diserahkan sebelum sidang selesai, misalnya barang bukti tersebut


(60)

sangat diperlukan untuk mencari nafkah, seperti kendaraan, alat pertanian, dan lain-lain.

1. Perintah penyerahan barang bukti dapat dilakukan tanpa disertai syarat apapun, kecuali dalam hal putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, penyerahan barang bukti dapat dilakukan meskipun putusan Pengadilan belum mempunyai putusan yang tetap, tetapi harus disertai syarat tertentu, antara lain; barang bukti tersebut setiap saat dapat dihadapkan ke Pengadilan dalam keadaan utuh. Setelah menerima kutipan Surat Keputusan yang telah menjadi tetap dari Panitera Pengadilan, Oditur melaporkan hal itu kepada Papera/Ankum dengan menampilkan ikhtisar putusan.

Bagi seorang militer baik ia dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Militer maupun dijatuhi oleh Pengadilan Umum selama tidak dipecat dari dinas militer, menjalani pidana tersebut di Lembaga Pemasyarakatan Militer. Kalau terpidana militer ittu dipecat, maka pelaksanaan hukuman itu di Lembaga Pemasyarakatan Umum.

Munurut Sukino pemisahan tempat menjalani pidana bagi seorang terpidana yang berstatus militer (termasuk dipersamakan) dari terpidana umum mutlak diperlukan, karena sifat pelaksanaan antara Lembaga Pemasyarakatan Militer dengan Lembaga Pemasyarakatan Umum berbeda. Apabila Pemasyarakatan Umum bagi terpidana sipil ditujukan agar bisa kembali bergaul dalam masyarakat sekitarnya, maka sistem pembinaannya harus berintikan aturan-aturan pergaulan dalam masyarakat. Sedangkan sistem Lembaga Pemasyarakatan Militer, sistem pembinaannya dimana terpidanan selesai menjalankan hukuman akan dikembalikan ke kesatuannya.


(1)

ii

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ………

Penguji Utama : Shafruddin, SH., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 19560901 198103 1003


(2)

M0TTO :

Jangan Yakin Akan Sesuatu Sebelum Dapat Dilihat, Dengar, dan

Rasakan

(NiaPrimaSyarie)

Jadikan Kegagalan Sebagai Batu Pijak Untuk Melompat Lebih Tinggi

(NiaPrimaSyarie)

Sesungguhnya Allah Tidak Akan Merubah Keadaan Suatu Kaum

Sehingga Mereka Merubah Keadaan Yang Ada Pada Diri Mereka

Sendiri


(3)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkah dan

hidayahnya jualah sehingga skripsi ini dapat di selesaikan, serta

kepada junjunganku

baginda Besar Muhammad S.A.W yang telah membawaku dari alam

kegelapan menuju alam yang terang benderang ini, dengan ketulusan

dan kerendahan hati kupersembahkan sebuah karya kecil ini kepada:

Bapak dan Ibu yang telah memberikan pengorbanan, ketulusan, dan

kasih sayangnya, yang kuyakin takkan mungkin pernah dapat aku

membalasnya, kakakku Enchon dan Yunda dan juga adik

kesayanganku algi serta seluruh keluarga yang senantiasa

memberikan bantuan moril dan materil hingga penulis selalu

semangat dalam membuat skripsi.

Untuk Almamater

Universitas Lampung


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 21 April 1988. Merupakan putri ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Nazaruddin Alwi, S.E. dan Ibunda Lida Sari. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 2 Rawa Laut (Teladan) pada tahun 2000. Dan Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 9 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003. Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 9 Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2006

Tahun 2006 Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Hukum Universitas Lampung, Pada Oktober 2009, penulis melakukan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Kantor Advokad Faisal Chudari.


(5)

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji Syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : ”Peranan Ankum dan Papera Dalam Pengadilan Militer”

Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, petunjuk, bimbingan, saran, dan kritik dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Hi. Adius Sumenguk, S.H.,M.S. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H.,M.H. Selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung dan sebagai Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. Selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan sebagai Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Safrudin, S.H., MH, Selaku Pembahas I yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan saran dan keritik dalam penulisan skripsi ini.


(6)

5. Bapak Gunawan, S.H.,M.H. Selaku Pembahas II yang telah memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen, Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

7. Mbak Sri dan Mbak Yanti yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripisi ini

8. Keluarga tercinta yang amat kucintai dan kubanggakan, Ibu, Bapak, Enchon, Yunda, adek Ghi, Andung, dan seluruh keluarga besar yang selalu

memberikan dukungan, semangat, do’a, dan meramaikan hidupku.

9. Om dan Tante Djohansyah yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabatku yang telah dulu sukses Karina Lesty W.P, S.H., Muly Mutiara, S.H, Vera Yolanda Sari, S.sos, Lesty Putri Utami, S.H, Putri Kirana S.H.

11. Teman-teman Fakultas Hukum yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 12. Terakhir, untuknya yang slalu setia menemani, yang telah memberikan

banyak rasa, untuknya...M. Iqbal Chadafy JHS.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua, dan semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka yang telah banyak membantu serta memberikan ridho-Nya kepada kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 22 Agustus 2010 Penulis