HUBUNGAN LAMA PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS PARU DENGAN KADAR SGPT PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI RSUD ABDUL MOELOEK

(1)

HUBUNGAN LAMA PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS PARU DENGAN KADAR SGPT PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI

RSUD ABDUL MOELOEK

(Skripsi)

Oleh

SANDI FALENRA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

CORRELATION OF ANTI TUBERCULOSIS DRUGS TREATMENT DURATION WITH SGPT LEVEL ON PULMONARY TUBERCULOSIS

PATIENT IN ABDUL MOELOEK HOSPITAL By

SANDI FALENRA

The aim of this research to study were there correlation of anti tuberculosis drugs treatment duration with SGPT level on pulmonary tuberculosis patient in Abdul Moeloek hospital.

This research is a cross sectional study with analytic descriptive. This research was carried out from October 2012 to January 2013. A total sample of 25 tuberculosis patients selected through purposive sampling. SGPT level was measured to the tuberculosis patient which got treatment less than 62 day. SGPT level data was proceed with pearson parametric test using SPSS 17.0 for windows. Significance was set at p < 0,05.

Results showed the SGPT level there was an elevation appropriate with anti tuberculosis drugs treatment duration. The conclusion of this research is there are correlation between anti tuberculosis drugs treatment duration with SGPT level on pulmonary tuberculosis patient in Abdul Moeloek hospital.


(3)

Key words : Anti Tuberculosis Drugs Treatment Duration, SGPT level, Tuberculosis


(4)

ABSTRAK

HUBUNGAN LAMA PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS PARU DENGAN KADAR SGPT PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI

RSUD ABDUL MOELOEK

Oleh

SANDI FALENRA

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan lama penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan kadar SGPT pada pasien tuberkulosis paru di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Penelitian ini merupakan penelitiancross sectionalyang bersifat deskriptif analitik. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 hingga Januari 2013. Jumlah sampel yang dipakai pada penelitian ini sebanyak 25 orang yang diambil secara purposive sampling. Pemeriksaan kadar SGPT dilakukan pada pasien yang menjalani pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama ≤ 62

hari. Data kadar SGPT diolah dengan uji parametrik Pearsonmenggunakan SPSS 17.0for windows. Signifikansi yang digunakan adalah p < 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan kadar SGPT pada pasien meningkat sesuai dengan lamanya penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara lama penggunaan Obat Anti


(5)

Tuberkulosis dengan kadar SGPT pada pasien tuberkulosis paru di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Kata kunci : Lama penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), Kadar SGPT, Tuberkulosis


(6)

HUBUNGAN LAMA PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS PARU DENGAN KADAR SGPT PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI

RSUD ABDUL MOELOEK

Oleh

SANDI FALENRA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(7)

Judul Skripsi : HUBUNGAN LAMA PENGGUNAAN

OBAT ANTI TUBERKULOSIS

DENGAN KADAR SGPT PADA

PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI RSUD ABDUL MOELOEK

Nama Mahasiswa : Sandi Falenra

Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011019

Program Studi : Pendidikan Dokter Umum

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

2. Dekan Fakultas Kedokteran dr. Wiranto Basuki, Sp.PK

NIP 195406191984101002

dr. Oktafany NIP 197610162005011003

Dr. Sutyarso, M.Biomed. NIP 195704241987031001


(8)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Wiranto Basuki, Sp.PK

Sekretaris : dr. Oktafany

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Zulfian, Sp.PK

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Tanggal Lulus Ujian Skripsi: 4 Februari 2013 Dr. Sutyarso, M.Biomed.


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kelurahan Yosorejo, Kecamatan Metro Timur, Kota Metro, Provinsi Lampung pada tanggal 2 Juni 1991, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, dari Bapak Saripudin Alie, S.E dan Ibu Farida Haryani, S.Pd.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Pertiwi Teladan Kota Metro pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 2 Kota Metro pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 5 Kota Metro pada tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif sebagai anggota pada organisasi Forum Studi Islam (FSI) FK Unila .


(10)

Persembahan sangat sederhana

untuk Papa dan Mama tercinta,

yang tak pernah berhenti berdo a,

berjuang dan tetap tersenyum untukku.


(11)

i SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi dengan judul “Hubungan Lama Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis dengan Kadar SGPT pada Pasien Tuberkulosis Paru di RSUD Abdul Moeloek” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Papa dan Mama yang selalu menyebut nama saya dalam doanya, membimbing, mendukung, dan memberikan yang terbaik. Mereka adalah yang terbaik.

2. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

3. Bapak dr. Wiranto Basuki, Sp.PK., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini. Beliau adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;


(12)

ii 4. Bapak dr. Oktafany selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak dr. Zulfian Sp.PK selaku Penguji Utama pada ujian skripsi atas masukan, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan. Beliau juga adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

6. dr. Oktadoni Syahputra dan dr. Risal Wintoko selaku Pembimbing Akademik yang selalu memberikan bantuan, dukungan dan motivasi dalam pembelajaran di Universitas.

7. Saudara-saudara kandung saya (Dani, Reza, dan Yogi), yang selalu memberi doa, bantuan, semangat, dan terutama senyum keceriaan yang dapat menghilangkan kepenatan ketika tiba di rumah. Mahkota, Maharani, dan seluruh keluarga tersayang yang selalu mendukung dan mendoakan tanpa henti. Keinginan membahagiakan mereka adalah motivasi terkuat untuk tetap bertahan dan semangat hingga penelitian ini selesai;

8. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

9. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini; 10. Ibu Wahyu, Bapak Sigit, dan Bapak Wawan yang sudah banyak

membantu dalam proses penelitian di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek;


(13)

iii 11. Sahabat-sahabat dan seseorang yang penting bagi saya Wigeta Thufeily, Fajar Al Habibi, Tetra Arya Saputra, Halimatus Sahdiah Siahaan, Galih Wicaksono, Putri Rahmawati dan Bobby Irawan atas bantuannya dan selalu ada dalam setiap kegiatan penelitian dan seminar, dengan senyuman, keceriaan dan semangat. Semoga persahabatan ini tetap terjaga selamanya, amin;

12. Adik Devi, Adik Vivi, dan Adik Intan yang telah menyempatkan hadir dalam seminar proposal maupun hasil;

13. Teman-teman angkatan 2009, Hilman, Nabila, Nanang, Hanif, Agung, Ryan, Rian, Harli, Husni, Loven, Arif, Ririn, Putu, Salman, Satya dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

14. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya (angkatan 2002–2012) yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bandar Lampung, Februari 2013

Penulis


(14)

(15)

(16)

(17)

(18)

(19)

(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Price, 2006). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan prevalensi tuberkulosis tertinggi ke-5 di dunia setelah Bangladesh, China, Korea, dan India. Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia adalah sekitar 5,8% dari total jumlah pasien tuberculosis di dunia. Setiap tahunnya diperkirakan terdapat 528.000 kasus tuberkulosis baru, dengan angka kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi tuberkulosis di Indonesia tahun 2009 adalah 100/100.000 penduduk dan 70% diantaranya merupakan pasien dalam usia produktif (WHO, 2010).

Sejak tahun 1995, Indonesia menerapkan strategi pengobatan yang direkomendasikan WHO, yaitu strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS). Implementasi strategi DOTS ini terbukti dapat menurunkan angka kematian tuberkulosis (Depkes, 2010). Meskipun pengobatan tuberkulosis yang efektif sudah tersedia, namun kasus tuberkulosis


(21)

2

masih menjadi fokus perhatian dunia, ditunjukkan dengan dideklarasikannya tuberkulosis sebagai Global Health Emergency (Pramastuti, 2011).

Terdapat dua prinsip dasar yang digunakan dalam terapi penyakit tuberkulosis, yaitu :

1. Terapi tuberkulosis memerlukan dua macam obat dimana basil tuberkulosis peka terhadap obat tersebut, dan salah satu obat harus memiliki sifat bakterisid.

2. Perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang persisten (Amin dan Bahar, 2006).

Dengan adanya prinsip tersebut, terapi tuberkulosis pada umumnya adalah dengan metodemultidrugyang menggunakan isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid, dan streptomisin. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) mempunyai efek samping terhadap hepar, kulit, saraf, dan dapat menyebabkan kelainan gastrointestinal. Efek serius yang menjadi fokus saat ini adalah efek obat anti tuberkulosis terhadap hepar, yaitu menyebabkan hepatotoksik, yang dikenal dengan istilah Antituberculosis Drug-induced Hepatotoxicity (ATDH) (Tostmann dkk, 2008).

Hepatotoksik merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada dalam pengobatan tuberkulosis. Hal itu dikarenakan fungsi hati sebagai pusat disposisi metabolik dari semua obat dan zat asing dalam tubuh. Dalam hepatosit, obat diubah menjadi lebih hidrofilik, sehingga dapat larut dalam air


(22)

3

dan dapat diekskresikan ke dalam urin atau empedu. Jejas hepar yang ditimbulkan karena obat anti tuberkulosis merupakan reaksi hepatoseluler yang mempunyai efek langsung, yaitu dengan produksi kompleks enzim-obat. Kompleks ini kemudian akan menyebabkan disfungsi sel, disfungsi membran, dan respon sitotoksik sel T (Bayupurnama, 2006).

Tes yang dapat dilakukan untuk menilai fungsi hepar terkait hepatotoksik antara lain pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase atau transaminase, alkali fosfatase, γGT, dan albumin. Tes fungsi hepar yang mengarah pada kerusakan hepatoseluler atau inflamasi adalah pemeriksaan kadar transaminase (Amirudin, 2006). Peningkatan kadar transaminase tanpa gejala merupakan hal yang umum pada pemakaian obat anti tuberkulosis, namun efek ini dapat menjadi fatal jika tidak dikenali lebih awal (Tostmann dkk., 2008).

Pemakaian isoniazid untuk terapi tuberkulosis paru dapat menyebabkan kerusakan hepar karena terjadi nekrosis multilobular. Gangguan fungsi hepar diperlihatkan oleh peningkatan enzim transaminase yang terjadi pada 4-8 minggu pengobatan. Peningkatan enzim transaminase hingga 4 kali nilai normal terjadi pada 10 – 20 % pasien. Peningkatan kadar enzim ini juga dipengaruhi oleh umur penderita, dimana semakin tua penderita, maka risiko peningkatan ini semakin besar. Kerusakan fungsi hepar ini jarang terjadi pada usia di bawah 35 tahun (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).


(23)

4

Rifampisin dapat menyebabkan perubahan hepatoseluler, nekrosis sentrilobuler, dan terkait dengan kolestasis (Tostman dkk.,2007). Dengan pemakaian rifampisin intermiten, dapat terjadi kenaikan kadar enzim transaminase, namun kejadian hepatitis karena pemakaian rifampisin jarang ditemukan (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Efek samping dari pirazinamid yang paling serius adalah kerusakan hepar. Bila pirazinamid diberikan 3 g/hari, maka kelainan hepar yang muncul adalah sebesar 3 % (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Peningkatan kadar enzim transaminase dalam plasma merupakan abnormalitas awal yang diakibatkan oleh pemberian pirazinamid (Gilman, 2008).

Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya, dari 339 pasien yang diberi pengobatan dengan anti tuberkulosis, 67 pasien mengalami kenaikan SGOT dan SGPT. Dari 67 pasien tersebut, 38 pasien mengalami peningkatan kadar SGOT 3-5 kali batas normal, 15 pasien meningkat 10-15 kali batas normal, dan 14 pasien meningkat lebih dari 10 kali batas normal. Sedangkan pada kadar SGPT sebanyak 38 pasien meningkat 2-5 kali batas normal, 15 pasien meningkat 5-10 kali batas normal, dan 14 pasien meningkat lebih dari 10 kali batas normal (Mahmood dkk., 2007).

Dari uraian latar belakang sebelumnya maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara lamanya penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan kadar SGPT pada pasien tuberkulosis di RSUDAM Bandar Lampung.


(24)

5

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara lamanya penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan kadar SGPT pada pasien tuberkulosis paru di RSUDAM Bandar Lampung?

C. Tujuan

Mengetahui apakah ada hubungan antara lama penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan kadar SGPT pada pasien tuberkulosis paru di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung?

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi Terkait

Hasil penelitian ini bisa menjadi masukan dan data untuk dapat mengambil langkah pencegahan sedini mungkin terhadap kasus hepatotoksik pada pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pasien tuberkulosis.

2. Bagi Peneliti

Menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan penulis terutama tentang hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan kadar SGPT pada pasien tuberkulosis.

3. Bagi Peneliti Lain

Membantu memberikan gambaran bagi peneliti selanjutnya untuk bisa melakukan penelitian yang lebih baik dan lebih mendalam terutama tentang efek Obat Anti Tuberkulosis (OAT).


(25)

6

E. Kerangka Penelitian 1. Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori ( Pramastuti, 2011) Acetylhyd

-razine

Hidrolisis

Hydrazine

Aktivasi sitokrom P450

Ikatan kovalen enzim-obat 3-formyl rifampisin 5-hydroxy pirazinoic Iskemik dan hipoksia sel hepar Nekrosis sel hepar Isoniazid Pasien Tuberkulosis Obat Anti Tuberkulosis

Rifampisin Pirazinamid Streptomicin Etambutol

Asetilase Acetylisoni -azid Hidrolisis Desacetyl rifampisin Pyrazinoic acid Tidak hepatotoksik

Aktivasi sel T sitolitik


(26)

7

Gambar 1 memperlihatkan Obat Anti Tuberkulosis seperti isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomicin, dan etambutol. Pada penggunaan streptomicin dan etambutol tidak menimbulkan efek hepatotoksik, namun isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid memiliki efek terjadinya kematian sel hepar yang akan meningkatkan kadar enzim transaminase.

2. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori diatas, maka kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 2. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep di atas didapatkan hipotesis:

Ada hubungan antara lamanya penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan kadar SGPT pada pasien tuberkulosis paru di RSUDAM Bandar Lampung.

Lamanya penggunaan Obat Anti Tuberkulosis isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid

kadar SGPT


(27)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 µm dan panjang 1-4 µm. Penyusun utama dinding sel bakteri ini adalah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat, danmycobacterial sulfolipid(Aditama, 2006). Tuberkulosis paru ditularkan melalui inhalasidroplet yang mengandung basil tuberkel dari seorang pasien terinfeksi. Gumpalan basil tuberkel yang terinhalasi tersebut masuk ke dalam ruang alveolus, kemudian membangkitkan reaksi dari leukosit polimorfonuklear. Leukosit tersebut memfagosit bakteri, namun tidak menghancurkannya, dan dalam beberapa hari akan digantikan oleh makrofag (Price, 2006).

Sel strain tuberkulosis paru mampu masuk ke dalam makrofag. Di dalam makrofag, bakteri ini memanipulasi endosom dengan cara mengubah pH dan menghentikan pematangan endosom. Dengan berubahnya pH maka pembentukan fagolisosom yang efektif akan terganggu, sehingga bakteri ini dapat berproliferasi tidak terkendali (Kumar, 2007).


(28)

9

Basil tuberkel yang telah hidup dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain. Sedangkan kuman yang tetap berada di jaringan paru, akan membentuk fokus primer yang disebut fokusghon(Amin dan Bahar, 2006).

Klasifikasi tuberkulosis menurut tipe pasiennya adalah sebagai berikut : 1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. 2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

a. Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis, dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi. b. Infeksi jamur

c. Tuberkulosis paru kambuh

3. Kasusdefaulted ataudrop out adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 4. Kasus gagal

a. Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).


(29)

10

b. Pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

5. Kasus kronik / persisten adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Catatan:

a. Kasus pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.

b. Kasus Bekas TB:

• Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik (PDPI, 2002).

B. Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis paru terdiri dari 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Obat utama (lini 1) yang diberikan dalam pengobatan tuberkulosis paru adalah isoniazid (H), rifampisin (R),


(30)

11

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomicin (S). sedangkan obat tambahan (lini 2) yang diberikan antara lain kuinolon, kanamicin, dan amikasin (Amin dan Bahar, 2006).

Pengobatan tuberkulosis paru dibagi menjadi :

1. Tuberkulosis kasus baru diberikan terapi 2.RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE atau 2RHZE/4R3H3.

Panduan pengobatan tersebut dianjurkan untuk : a. Tuberkulosis kasus baru dengan BTA (+)

b. Tuberkulosis kasus baru dengan BTA (-) dan gambaran radiologi lesi luas.

2. Tuberkulosis paru kasus baru, BTA negative, gambaran radiologi lesi minimal diberikan terapi 2RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3. 3. Tuberkulosis paru kasus kambuh diberikan terapi 2RHZES/1RHZE jika

belum dilakukan uji resistensi. Bila tidak ada uji resistensi dapat diberikan 5RHE.

4. Tuberkulosis paru kasus gagal pengobatan diberikan terapi lini 2 sebelum ada uji resistensi. Bila tidak ada uji resistensi dapat diberikan 5RHE. 5. Tuberkulosis paru kasus putus berobat

Pengobatan akan dimulai kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut : a. Berobat≥ 4 bulan :

1) Jika BTA negatif, klinis dan radiologi tidak aktif, maka pengobatan dihentikan


(31)

12

2) Jika BTA negative, klinis dan radiologi aktif, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka lebih lama

3) Jika BTA positif, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu lebih lama

b. Berobat≤ 4 bulan

1) Jika BTA positif, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka lebih lama 2) Jika BTA negatif, maka gambaran foto toraks positif :

pengobatan diteruskan

6. Tuberkulosis paru kasus kronik diberikan RHZES apabila belum ada uji resistensi. Jika telah dilakukan uji resistensi, maka diberikan obat sesuai dengan uji resistensi ditambah dengan obat lini 2, minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup (Aditama, 2006).

C. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 1. Isoniazid

Isoniazid merupakan obat utama pada kemoterapi tuberkulosis paru. Semua pasien dengan penyakit yang disebabkan infeksi galur basil tuberkulosis harus diberi obat ini jika mereka dapat menoleransinya (Gilman,2008). Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid. Efeknya menghambat pembelahan bakteri, terutama untuk bakteri yang sedang aktif membelah. Mekanisme kerja isoniazid belum


(32)

13

diketahui secara pasti, namun ada pendapat bahwa isoniazid bekerja dengan menghambat biosintesis asam mikolat, yaitu unsur penting penyusun dinding sel bakteri. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dari bakteri dan menurunkan kadar lemak terekstraksi methanol yang dihasilkan oleh bakteri (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Isoniazid segera diarbsorbsi dari saluran pencernaan. Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam 1-2 jam dengan pemberian dosis biasa yaitu 5 mg/kg/hari (Jawetz, 2004). Isoniazid mudah berdifusi ke seluruh cairan di sel tubuh. Konsentrasi terbesar obat ini adalah di dalam pleura dan ascites. Mula-mula konsentrasi isoniazid lebih tinggi dalam plasma dan jaringan otot daripada di jaringan yang terinfeksi, namun jaringan yang terinfeksi mampu menahan obat ini lebih lama dalam jumlah yang dibutuhkan untuk bakteriostatis. Sebagian besar metabolit isoniazid diekskresi dalam urin dalam waktu 24 jam (Gilman, 2008).

Efek samping isoniazid bergantung pada lama dan dosis pemberian. Reaksi alergi terhadap isoniazid yang sering terjadi adalah demam dan kulit kemerahan. Sedangkan efek toksik yang paling sering terjadi pada sistem saraf pusat dan perifer berkaitan dengan defisiensi piridoksin. Isoniazid juga berkaitan dengan hepatotoksik. Pada pasien diketahui dapat menyebabkan uji fungsi hepar abnormal, penyakit kuning, dan nekrosis multilobular (Jawetz, 2004).


(33)

14

2. Rifampisin

Rifampisin secara in vitro menghambat pertumbuhan mycobacterium tuberculosis. Mekanisme kerja rifampisin adalah menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari bakteri. Sama halnya seperti isoniazid, rifampisin aktif pada bakteri yang sedang aktif membelah (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Bila rifampisin diberikan bersama dengan isoniazid, rifampisin bersifat bakterisidal dan mensterilisasi jaringan yang terinfeksi, rongga, dan sputum (Jawetz, 2004).

Rifampisin diabsorbsi baik dengan pemberian oral dan diekskresikan melalui hepar ke dalam empedu selanjutnya obat ini akan mengalami sirkulasi enterohepatik (Jawetz, 2004). Selama sirkulasi tersebut, rifampisin mengalami deasetilasi secara progresif, sehingga setelah 6 jam hampir semua antibiotik di empedu ditemukan dalam bentuk terdeasetilasi. Ekskresi terbesar obat ini adalah melalui feses, yaitu sebesar 60% (Gilman, 2008).

Efek samping rifampisin yang sering terjadi adalah ruam kulit, demam, mual, muntah, dan ikterus. Hepatitis jarang terjadi pada pasien dengan fungsi hepar normal. Pada pasien dengan penyakit hepar kronik dan alkoholisme, risiko terkena ikterus meningkat. Efek samping yang berhubungan dengan sistem saraf antara lain rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, binging, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan kelemahan otot. Selain itu terdapat efek samping lain yang kaitannya


(34)

15

dengan reaksi hipersensitifitas diantaranya demam, pruritus, urtikaria, dan eosinofilia ( Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

3. Etambutol

Etambutol menekan pertumbuhan kuman yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomicin. Mekanisme kerja etambutol adalah menghambat pembentukan metabolit sel yang menyebabkan kematian sel (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Sekitar 75-80 % dosis etambutol yang diberikan secara oral diserap dengan baik di saluran gastrointestinal. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah obat diminum, sedangkan waktu paruh etambutol adalah 3-4 jam. Tiga perempat dosis etambutol akan diekskresi dalam urin dengan bentuk yang utuh dalam waktu 24 jam (Gilman, 2008).

Penurunan ketajaman penglihatan, neuritis optic, dan rusaknya retina merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemakaian etambutol. Oleh karena itu, pada pasien yang mendapat terapi etambutol selama beberapa bulan, perlu dilakukan tes tajam penglihatan secara berkala. Efek tersebut bisa membaik jika pemakaian obat dihentikan (Jawetz, 2004).


(35)

16

4. Pirazinamid

Pirazinamid memiliki efek bakteriostatik dengan mekanisme hidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat. Efek tuberkulostatik pirazinamid hanya bekerja efektif pada media yang asam (Istiantoro dan setiabudy, 2007).

Pirazinamid diabsorbsi dengan baik di saluran gastrointestinal dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Obat ini menembus cairan serebrospinal dengan baik. Waktu paruh pirazinamid pada orang dengan ginjal normal adalah 9-10 jam. Obat ini diekskresi terutama melalui glomerulus ginjal. Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian pirazinamid adalah cedera hepar. Pada pemberian oral 40-50 mg/kg, sekitar 15 % pasien akan menunjukkan tanda-tanda cedera hepar. Efek lain dari pirazinamid adalah terhambatnya ekskresi garam urat, pirai, mual, muntah, anoreksia, disuria, lesu, dan demam (Gilman, 2008).

5. Streptomicin

Secara in vitrostreptomicin bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Sedangkan secara in vivo, streptomicin berfungsi sebagai supresi. Hal ini dibuktikan dengan adanya mikroorganisme yang hidup dalam abses dan kelenjar limfe regional serta hilangnya efek obat setelah beberapa bulan pengobatan (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).


(36)

17

Karena telah tersedia obat lain yang lebih efektif, maka streptomicin jarang digunakan untuk terapi tuberkulosis. Streptomicin dikombinasikan dengan obat lain pada pengobatan bentuk-bentuk tuberkulosis yang telah menyebar atau meningitis. Efek samping yang ditimbulkan karena pemakaian streptomicin antara lain ruam, gangguan fungsi pendengaran, dan gangguan fungsi vestibular pada saraf cranial kedelapan (Gilman, 2008).

D. Anatomi dan Fisiologi Hepar

Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh dengan berat rata-rata 1,5 kg pada orang dewasa. Unit fungsional dasar hepar adalah lobulus, yang berbentuk silindris. Lobulus terbentuk dari banyak lempeng sel hepar. Hepar mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus, dimana setiap lobulus dipisahkan oleh septum fibrosa. Lobulus terbentuk mengelilingi vena sentralis, yang mengalirkan darah ke vena hepatica kemudian ke vena cava (Guyton, 2007).

Tiap-tiap sel hepar berdekatan dengan beberapa kanalikuli biliaris yang akan bermuara pada duktus biliaris. Kanalikuli biliaris merupakan saluran dimana empedu yang dihasilkan hepatosit diekskresikan. Beberapa duktus biliaris akan bergabung melalui duktus interlobulus untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri. Selanjutnya, kedua duktus hepatikus tersebut bergabung diluar hepar membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus menjadi duktus


(37)

18

koledokus yang akan bermuara di duodenum. Duktus sistikus bermuara dalam kantung empedu (Ganong, 2003).

Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi garam empedu. Setiap hari hepar mengekskresi empedu sebanyak satu liter ke dalam usus halus. Selain itu, hepar juga menyimpan hasil metabolisme monosakarida dalam bentuk glikogen. Proses ini disebut dengan glikogenesis. Glikogen yang telah tersimpan dalam hepar, akan diubah menjadi glukosa dan disuplai ke dalam darah secara konstan untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Proses ini disebut glikogenolisis. Fungsi hepar yang lain adalah sebagai tempat metabolisme protein dan lemak. Hepar menghasilkan protein plasma berupa albumin, protrombin, fibrinogen dan faktor pembekuan lain. Fungsi hepar dalam metabolisme lemak adalah sebagai penghasil lipoprotein, kolesterol, fosfolipid, dan asam asetoasetat (Amirudin, 2006).

Selain fungsi metabolisme lemak dan protein, hepar juga merupakan tempat metabolisme obat. Dalam empedu yang dihasilkan hepatosit, terdapat enzim yang berguna dalam metabolisme obat. Beberapa obat bersifat larut lemak dan dipengaruhi oleh garam empedu dalam usus (Fox, 2006).

Untuk mengetahui fungsi normal hepar dapat dilakukan beberapa tes, antara lain adalah :


(38)

19

1. Bilirubin total digunakan untuk menilai ikterus.

2. Bilirubin tak terkonjugasi digunakan untuk menilai hemolisis.

3. Alkalin fosfatase digunakan untuk mendiagnosis kolestasis dan penyakit infiltratif.

4. Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT) atau Aminotransferase Aspartat (AST) digunakan untuk mengetahui gangguan hepatoseluler.

5. Serum Glutamic Pyruvic Transferase (SGPT) atau Aminotransferase Alanin (ALT) dibandingkan dengan hasil SGOT untuk menilai fungsi hepar.

6. Albumin digunakan untuk menilai tingkat jejas hepar.

7. Gamma globulin untuk mengetahui hepatitis autoimun, atau kenaikan yang khas terjadi pada pasien sirosis.

8. Antimitokondrial antibodi digunakan untuk diagnosis utama sirosis biliaris (Mehta, 2010).

E. Transaminase

1.Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT)

Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), atau sering disebut Aminotransferase Alanin (ALT) merupakan enzim yang ditemukan dalam hepar pada kasus peradangan hepar. Selain itu SGPT juga ditemukan dalam jumlah sedikit di jantung, ginjal, dan otot rangka. Pada penentuan diagnosis, hasil SGPT sering dibandingkan dengan hasil SGOT. Kadar normal SGPT


(39)

20

pada orang dewasa adalah sebesar 5-19 U/L pada laki-laki dan 5-23 U/L pada perempuan (Depkes, 2008).

2.Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT)

Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT) atau Aminotransferase Aspartat (AST) dapat ditemukan dalam jumlah besar di dalam jantung. Jika terjadi serangan infark miokard kadarnya akan naik dalam waktu 24 jam, kemudian akan turun secara bertahap dalam waktu 4-6 hari jika tidak terjadi infark susulan. Dalam kadar sedang, SGOT juga dapat ditemukan dalam ginjal, otot rangka, dan pancreas. Nilai normal SGOT adalah sebesar 5-17 U/L pada laki-laki dan 5-15 U/L pada perempuan (Depkes, 2008).

F. Hepatotoksik

Hepatotoksik didefinisikan sebagai tanggapan berbahaya atau yang tidak diinginkan untuk obat yang terjadi pada dosis biasanya digunakan untuk profilaksis, diagnosis, atau terapi penyakit. Kejadian hepatotoksisistas ini terhitung jarang, yaitu 1 tiap 10.000 penduduk. Namun demikian, bila tidak terdeteksi secara dini, angka tersebut akan meningkat. Tidak ada pengobatan tertentu yang efektif untuk hepatotoksik kecuali menghentikan pengobatan. Berdasarkan konferensi FDA (Food and Drug Association) tahun 2001, kenaikan transaminase lebih dari 3 kali nilai normal dan kenaikan bilirubin lebih dari 2 kali nilai normal, dapat menjadi acuan adanya abnormalitas fungsi hepar terkait hepatotoksik. Gejala dan tanda hepatotoksik yang


(40)

21

mendukung temuan laboratorium antara lain kelelahan, anoreksia, mual, urin yang berwarna lebih gelap, dan rasa ketidaknyamanan pada perut kuadran kanan atas (Navarro, 2006).

Faktor risiko terjadinya hepatotoksik antara lain :

1. Ras: beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras/suku bangsa. Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar individu

2. Umur: pada orang tua risikonya lebih tinggi karena turunnya fungsi hepar dan aliran darah ke hepar, serta interaksi antar obat yang satu dengan yang lain

3. Jenis kelamin: dengan sebab belum diketahui, hepatotoksik lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria

4. Alkohol: alkohol menyebabkan seseorang rentan terhadap hepatotoksik karena penipisanglutathioneyang bersifat hepatoprotektif

5. Penyakit hepar: penyakit kronik hepar meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik

6. Factor komorbiditas: misalnya pada penyakit AIDS penyimpanan gluthationesedikit

7. Sifat obat: obat dengan sifat long-acting lebih berisiko menyebabkan hepatotoksik daripada obat yang bersifatshort-acting(Mehta, 2010).


(41)

22

Mekanisme hepatotoksik imbas obat tidak bisa ditinjau hanya dari satu sisi. Terdapat beberapa mekanisme penyebab hepatotoksik, yaitu sebagai berikut: 1. Ikatan kovalen antara enzim P-450 dan obat dikenali oleh sistem imun

sebagai antigen, sehingga timbul reaksi imun berupa pengaktifan sel T sitolitik. Akibat reaksi tersebut terjadilah kematian sel.

2. Karena ikatan kovalen obat dengan protein intraseluler, kadar ATP akan turun dan menyebabkan gangguan pada aktin. Kerusakan pada fibrin aktin mengakibatkan membrane sel rupture.

3. Metabolit obat yang toksik akan merusak epitel saluran empedu, sehingga pengeluaran empedu terganggu.

4. Produksi energy beta-oxidasi dan penghambatan sintesis nicotamide adenine dinukleotide serta flavin adenine dinukleotide menyebabkan penurunan produksi ATP. Penuurunan ATP tersebut dapat mengganggu fungsi mitokondrial.

5. Obat yang mempengaruhi transport protein pada kanalikuli dapat menyebabkan terganggunya aliran empedu (Navarro, 2006).

Hepatotoksik akibat pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terjadi melalui berbagai mekanisme. Di dalam hepar, isoniazid diasetilasi menjadi acetylisoniazid, kemudian dihidrolisis menjadi acetylhydrazine dan dihidrolisis kembali membentuk hydrazine. Diketahui bahwa hydrazine merupakan metabolit toksik isoniazid yang mempunyai efek merusak sel hepar. Hydrazine mengaktivasi sitokrom P450 sehingga terbentuk ikatan


(42)

23

kovalen enzim-obat. Ikatan ini dikenal sebagai antigen oleh sel T sitolitik dan berakibat kematian sel (Tostmann dkk., 2007).

Mekanisme hepatotoksik rifampisin belum diketahui secara pasti. Namun beberapa berpendapat bahwa mekanisme hepatotoksik terjadi melalui pengaktifan sitokrom P450. Begitu pula mekanisme hepatotoksik pirazinamid sampai saat ini belum diketahui. Pirazinamid diketahui menyebabkan iskemik sel hepar (Tostmann dkk., 2007).

G. Hubungan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Peningkatan Enzim Transaminase

Hepar merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan zat yang masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu, perlukaan hepar karena obat sangat mungkin terjadi. Tidak terkecuali pada pemakaian obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid, pirazinamid, dan rifampisin (Bayupurnama, 2006).

Pemakaian isoniazid untuk terapi tuberkulosis paru dapat menyebabkan kerusakan hepar karena terjadi nekrosis multilobular. Gangguan fungsi hepar diperlihatkan oleh peningkatan enzim transaminase yang terjadi pada 4-8 minggu pengobatan. Peningkatan enzim transaminase hingga 4 kali nilai normal terjadi pada 10–20 % pasien. Peningkatan kadar enzim ini juga dipengaruhi oleh umur penderita, dimana semakin tua penderita, maka risiko peningkatan ini semakin besar.


(43)

24

Kerusakan fungsi hepar ini jarang terjadi pada usia di bawah 35 tahun (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Dari studi kasus baik pada hewan maupun manusia, ditunjukkan bahwa hepatotoksik akibat isoniazid bermanifestasi steatosis hepatoseluler dan nekrosis. Metabolit isoniazid berikatan kovalen dengan makromolekul sel. Hydrazine merupakan metabolit toksik dari isoniazid yang dalam penelitian terbukti menyebabkan steatosis, vakuolasi hepatosit dan deplesi gluthatione (Tostmann dkk., 2007).

Rifampisin dapat menyebabkan perubahan hepatoseluler, nekrosis sentrilobuler, dan terkait dengan kolestasis (Tostman dkk.,2007). Dengan pemakaian rifampisin intermiten, dapat terjadi kenaikan kadar enzim transaminase, namun kejadian hepatitis karena pemakaian rifampisin jarang ditemukan (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Efek samping dari pirazinamid yang paling serius adalah kerusakan hepar. Bila pirazinamid diberikan 3 g/hari, maka kelainan hepar yang muncul adalah sebesar 3 % (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Peningkatan kadar enzim transaminase dalam plasma merupakan abnormalitas awal yang diakibatkan oleh pemberian pirazinamid (Gilman, 2008).

Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya, dari 339 pasien yang diberi pengobatan dengan anti tuberkulosis, 67 pasien mengalami kenaikan SGOT dan


(44)

25

SGPT. Dari 67 pasien tersebut, 38 pasien mengalami peningkatan kadar SGOT 3-5 kali batas normal, 13-5 pasien meningkat 10-13-5 kali batas normal, dan 14 pasien meningkat lebih dari 10 kali batas normal. Sedangkan pada kadar SGPT sebanyak 38 pasien meningkat 2-5 kali batas normal, 15 pasien meningkat 5-10 kali batas normal, dan 14 pasien meningkat lebih dari 10 kali batas normal (Mahmood dkk., 2007).


(45)

6

III.METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian cross sectional yang bersifat deskriptif analitik.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUDAM Bandar Lampung pada bulan Oktober 2012 sampai Januari 2013.

C. Variabel Penelitian

Variabel penelitian pada penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas

Lamanya Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 2. Variabel terikat

Kadar enzim SGPT

D. Populasi dan Sampel

Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling. Jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sesuai perhitungan berikut :


(46)

27

(Zα+ Zβ) 2

n= +3

0,5ln[(1+r)/(1-r)]

(1,96 + 1,28) 2

n= +3

0,5ln[(1+0,6)/(1-0,6)]

n= 24,85 (dibulatkan jadi 25)

E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 1. Kriteria Inklusi

Sampel yang diambil memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut :

1. Pasien tuberkulosis berusia dewasa (terhitung berumur ≥ 35 tahun pada saat pengambilan sampel) yang menjalani pengobatan di poliklinik paru RSUDAM Bandar Lampung. 2. Pasien tuberkulosis yang menjalani pengobatan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) selama≤ 62 hari.

3. Pasien direncanakan akan menjalani pemeriksaan kadar SGPT 4. Sampel bersedia menjadi subjek penelitian dan mengikuti

semua proses penelitian.

2. Kriteria Eksklusi

Sampel yang memenuhi kriteria namun harus dieleminasi adalah sebagai berikut:

1. Pengguna alkohol

2. Memiliki riwayat penyakit hepar. 3. Menggunakan hepatoprotektor


(47)

28

4. Tidak teratur meminum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

F. Definisi Operasional

Tabel . Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1. Kadar SGPT

Enzim yang dilepaskan di aliran darah karena adanya proses kerusakan hepar, ditemukan sedikit pada jantung, ginjal, dan otot rangka. Nilai normal dari SGPT adalah 5–

19 U/L pada laki-laki dan 5- 23 U/L pada perempuan. Pemeriksaan enzim transaminase dengan cara mengambil darah vena dari pasien kemudian diperiksa dengan alat COBAS INTEGRA

Laki-laki:

1. Normal 5–19 U/L 2. Meningkat ≥ 19

U/L Perempuan:

1. Normal 5 - 23 U/L 2. Meningkat≥ 23

U/L Nomi nal 2. Lama penggun aan Obat Anti Tuberkul osis (OAT)

Waktu yang telah dilalui oleh pasien tuberkulosis dalam menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Anamnesis dan Rekam medik

Hasil ukur berupa angka yang

menunjukkan waktu yang telah dilalui oleh pasien tuberkulosis dalam menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

dalam satuan waktu hari.

Nume rik


(48)

29

G. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serum pasien tuberkulosis yang menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan reagen ALT-L Roche.

2. Alat Penelitian

a. COBAS INTEGRA 400 Plus b. Spuit 3 cc

c. Tabung kaca d. Kapas alkohol e. Mesin sentrifugal

H. Prosedur Penelitian

Persiapan penelitian

Pengumpulan data pada laboratorium patologi klinik RSUD Abdul Moeloek mengenai cara kerja pada alat untuk pemeriksaan kadar SGPT. Pemeriksaan kadar SGPT dengan cara mengambil darah vena dari pasien sebanyak 3 cc, kemudian darah disentrifugal dengan kecepatan 3000 rpm selama 5-10 menit setelah serum terpisah, kemudian serum diperiksa menggunakan alat COBAS

INTEGRA 400 PLUS yang menggunakan reagen ALT-L Roche dengan panjang gelombang 340 nm. Metode yang digunakan adalah menurut International Federation of Clinical Chemistry, tanpa pyridoxal-5-phospate

Pengumpulan data pada rekam medik untuk mengetahui lama penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan kadar SGPT pasien tuberkulosis


(49)

30

Pengolahan data

Analisis Data

Hasil I. Pengumpulan Data

Data diperoleh dengan pengumpulan data primer berupa anamnesis dan data sekunder berupa rekam medis serta hasil pemeriksaan laboratorium SGPT pasien tuberkulosis di RSUDAM Bandar Lampung.

J. Analisis Data

Hasil penilitian ini akan di analisis apakah memiliki distribusi data normal (p>0,05) atau tidak (p<0,05) dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampel < 50. Jika distribusi data normal akan dilakukan uji parametrik Pearson. Apabila tidak memenuhi syarat uji paramaterik atau data tidak terdistribusi normal, dilakukan uji transformasi. Bila distribusi data hasil transformasi normal akan dipilih uji korelasi Pearson. Jika distribusi data hasil tidak normal dilakukan korelasiSpearman(Dahlan, 2011).


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y., Soepandi, P.Z. 2000. Tuberkulosis, terapi dan masalahnya.Edisi III. Jakarta: Lab. Mikrobiologi RSUP Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis; p.31-47.

Aditama, T.Y. 2008. Tuberkulosis. Masalah dan perkembangannya. Pidato Pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam Bidang Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Aditama, Y dkk. 2006 Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta.

Amin, Z. dan Asril, B. 2006. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. Amirudin, R. 2006. Fisiologi dan Biokimia Hatidalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,

Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Bayupurnama, P. 2006. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta.

Dahlan, S. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Edisi 3.Salemba Medika. Jakarta

Dahlan, S. 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi Lima. Salemba Medika. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta.

DEPKESRI,2010,Panduan Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta 2. WHO. Fox, S.I. (2006)Human Physiology. 9th ed., Wm. C. Brown Publishers. Iowa. Ganong, F. 2008.Buku AjarFisiologiKedokteran, Ed. 22. EGC. Jakarta.


(51)

4✁

Gilman and Goodman, 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, diterjemahkan oleh Amalia, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Guyton, A.C. dan Hall, E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC. Jakarta.

Istiantoro, Y. H., dan Setiabudy, R. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. 616619, Penerbit FKUI, Jakarta.

Jawetz, M dkk. 2004.Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta.

Kee, J. 2008. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium Dan Diagnostik. Edisi 6. EGC. Jakarta.

Kumar, R. dkk. 2007.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. EGC. Jakarta.

M a h m o o d d k k . 2007.Alanin Aminotransferase / Aspartae aminotransferase Ratio Reversal and prolonged Prothrombin Time : A Specific Indicator of Hepatic Cirrhosis.

Mehta, N. dkk. 2010. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology and Hepatology.

Navarro, V.J. dan Senior, J.R. 2006. Current concept: drug related hepatotoxicity. N Eng J Med; 354:731-9.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia.

Pramastuti, I. 2011. Hubungan Antara Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Dengan Kadar Enzim Transaminase Pada Pasien Tuberkulosis Kasus Baru Di RSUD Temanggung. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Price dan Sylvia, A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. EGC. Jakarta.

Soepandi, P.Z. Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya TB-MDR. Departemen Pulmonologi Dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan. Jakarta.

Taufiqurrahman, M.A. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Klaten: CSGF (The Community of Self Help Group Forum) Perhimpunan Pemandirian Masyarakat Indonesia, pp: 129-30.


(52)

4✂

Tostmann, A, Boeree, M.J., Aarnoutse, Rob, E., Lange, Wiel, C.M.de., Ven, A. J A M van der., dan Dekhuijzen, R. 2007. Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity: Concise up-to-date review, Journal of Gastroenterology and Hepatology, 23:192-202.


(1)

28

4. Tidak teratur meminum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

F. Definisi Operasional

Tabel . Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala 1. Kadar

SGPT

Enzim yang dilepaskan di aliran darah karena adanya proses kerusakan hepar, ditemukan sedikit pada jantung, ginjal, dan otot rangka. Nilai normal dari SGPT adalah 5–

19 U/L pada laki-laki dan 5- 23 U/L pada perempuan. Pemeriksaan enzim transaminase dengan cara mengambil darah vena dari pasien kemudian diperiksa dengan alat COBAS INTEGRA

Laki-laki:

1. Normal 5–19 U/L 2. Meningkat ≥ 19

U/L Perempuan:

1. Normal 5 - 23 U/L 2. Meningkat≥ 23

U/L Nomi nal 2. Lama penggun aan Obat Anti Tuberkul osis (OAT)

Waktu yang telah dilalui oleh pasien tuberkulosis dalam menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Anamnesis dan Rekam medik

Hasil ukur berupa angka yang

menunjukkan waktu yang telah dilalui oleh pasien tuberkulosis dalam menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

dalam satuan waktu hari.

Nume rik


(2)

1. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serum pasien tuberkulosis yang menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan reagen ALT-L Roche.

2. Alat Penelitian

a. COBAS INTEGRA 400 Plus b. Spuit 3 cc

c. Tabung kaca d. Kapas alkohol e. Mesin sentrifugal

H. Prosedur Penelitian

Persiapan penelitian

Pengumpulan data pada laboratorium patologi klinik RSUD Abdul Moeloek mengenai cara kerja pada alat untuk pemeriksaan kadar SGPT. Pemeriksaan kadar SGPT dengan cara mengambil darah vena dari pasien sebanyak 3 cc, kemudian darah disentrifugal dengan kecepatan 3000 rpm selama 5-10 menit setelah serum terpisah, kemudian serum diperiksa menggunakan alat COBAS

INTEGRA 400 PLUS yang menggunakan reagen ALT-L Roche dengan panjang gelombang 340 nm. Metode yang digunakan adalah menurut International Federation of Clinical Chemistry, tanpa pyridoxal-5-phospate

Pengumpulan data pada rekam medik untuk mengetahui lama penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan kadar SGPT pasien tuberkulosis


(3)

30

Pengolahan data

Analisis Data

Hasil

I. Pengumpulan Data

Data diperoleh dengan pengumpulan data primer berupa anamnesis dan data sekunder berupa rekam medis serta hasil pemeriksaan laboratorium SGPT pasien tuberkulosis di RSUDAM Bandar Lampung.

J. Analisis Data

Hasil penilitian ini akan di analisis apakah memiliki distribusi data normal (p>0,05) atau tidak (p<0,05) dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampel < 50. Jika distribusi data normal akan dilakukan uji parametrik Pearson. Apabila tidak memenuhi syarat uji paramaterik atau data tidak terdistribusi normal, dilakukan uji transformasi. Bila distribusi data hasil transformasi normal akan dipilih uji korelasi Pearson. Jika distribusi data hasil tidak normal dilakukan korelasiSpearman(Dahlan, 2011).


(4)

for Tuberculosis; p.31-47.

Aditama, T.Y. 2008. Tuberkulosis. Masalah dan perkembangannya. Pidato Pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam Bidang Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Aditama, Y dkk. 2006 Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta.

Amin, Z. dan Asril, B. 2006. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. Amirudin, R. 2006. Fisiologi dan Biokimia Hatidalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,

Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Bayupurnama, P. 2006. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta.

Dahlan, S. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Edisi 3.Salemba Medika. Jakarta

Dahlan, S. 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi Lima. Salemba Medika. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta.

DEPKESRI,2010,Panduan Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta 2. WHO. Fox, S.I. (2006)Human Physiology. 9th ed., Wm. C. Brown Publishers. Iowa. Ganong, F. 2008.Buku AjarFisiologiKedokteran, Ed. 22. EGC. Jakarta.


(5)

4✁

Gilman and Goodman, 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, diterjemahkan oleh Amalia, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Guyton, A.C. dan Hall, E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC. Jakarta.

Istiantoro, Y. H., dan Setiabudy, R. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. 616619, Penerbit FKUI, Jakarta.

Jawetz, M dkk. 2004.Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta.

Kee, J. 2008. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium Dan Diagnostik. Edisi 6. EGC. Jakarta.

Kumar, R. dkk. 2007.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Volume 2. EGC. Jakarta.

M a h m o o d d k k . 2007.Alanin Aminotransferase / Aspartae aminotransferase Ratio Reversal and prolonged Prothrombin Time : A Specific Indicator of Hepatic Cirrhosis.

Mehta, N. dkk. 2010. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology and Hepatology.

Navarro, V.J. dan Senior, J.R. 2006. Current concept: drug related hepatotoxicity. N Eng J Med; 354:731-9.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia.

Pramastuti, I. 2011. Hubungan Antara Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Dengan Kadar Enzim Transaminase Pada Pasien Tuberkulosis Kasus Baru Di RSUD Temanggung. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Price dan Sylvia, A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. EGC. Jakarta.

Soepandi, P.Z. Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya TB-MDR. Departemen Pulmonologi Dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan. Jakarta.

Taufiqurrahman, M.A. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Klaten: CSGF (The Community of Self Help Group Forum) Perhimpunan Pemandirian Masyarakat Indonesia, pp: 129-30.


(6)

hepatotoxicity: Concise up-to-date review, Journal of Gastroenterology and Hepatology, 23:192-202.


Dokumen yang terkait

Faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat anti Tuberkulosis pada pasien Tuberkulosis Paru di Puskemas Pamulang Tangerang Selatan Provinsi Banten periode Januari 2012 – Januari 2013

5 51 83

EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PASIEN ANAK EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PASIEN ANAK TUBERKULOSIS PARU DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI PERIODE JAN

4 11 14

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS EVALUASI PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS WIROSARI – PURWODADI TAHUN 2009.

0 1 16

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN Evaluasi Penggunaan Obat Antituberkulosis Pada Pasien Tuberkulosis Dewasa Diinstalasi Rawat Jalan Rs Paru Dungus Madiun Tahun 2010.

2 10 15

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS DAN KEPATUHAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Dan Kepatuhan Pada Pasien Tuberkulosis Paru Di RSUD Dr. Moewardi.

0 3 12

PENDAHULUAN Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Dan Kepatuhan Pada Pasien Tuberkulosis Paru Di RSUD Dr. Moewardi.

1 4 18

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS DAN KEPATUHAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Dan Kepatuhan Pada Pasien Tuberkulosis Paru Di RSUD Dr. Moewardi.

0 1 15

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PASIEN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IMOGIRI 1 NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PASIEN MINUM OBAT ANTI TUBERK

0 1 20

Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Jumpandang Baru Makassar - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 115

PEMAHAMAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) DI TIGA PUSKESMAS (KEDURUS, WIYUNG DAN SAWAHAN)

0 1 18