Tindak Tutur dan Perangkat Tindak Tutur dalam Bahasa Mandailing

16

Artikel
Tindak Tutur dan Perangkat Tindak Tutur
dalam Bahasa Mandailing
Khairina Nasution
Staf Pengajar Jurusan Bahasa Arab Fakultas Sastra USU

1. Pendahuluan
Tindak tutur merupakan salah satu
bidang kajian yang penting di dalam
pragmatik. Pragmatik adalah cabang ilmu
bahasa yang mempelajari struktur bahasa
secara eksternal yakni bagaimana satuan
kebahasaan
itu
digunakan
dalam
komunikasi dan makna yag dikaji di
dalamnya adalah makna yang terikat
konteks. Sehubungan dengan itu bisa saja

bentuk lahiriah tidak tutur itu sama tetapi
menimbulkan makna yang berbeda. Adanya
kenyataan bahwa wujud bahasa itu bisa
juga berbeda-beda didasarkan pada faktorfaktor sosial yang tersangkut dalam situasi
tutur, seperti jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status sosial, ekonomi penutur
dan petutur.
Hal yang senada diungkapkan oleh
Levinson (1983) bahwa di dalam
memahami
sebuah
tuturan
konteks
pemakaian bahasa merupakan aspek yang
sangat penting karena di dalam pragmatik
konteks itu terkait dengan semua latar
belakang pengetahuan yang dimiliki oleh
penutur dan petutur. Hal ini menunjukan
bahwa faktor ekstralingual memegang
peranan penting di dalam analisis

pragmatik.
Misalnya kata jeges dalam bahasa
Mandailing bermakna ‘baik’, tetapi secara
eksternal bila kita lihat dari konteks
kalimatnya, kata jeges itu tidak selalu
bermakna ‘baik’. Contohnya sebagai
berikut.
1. Angko rapormu jeges taon on. (Nilai
rapormu bagus tahun ini).
2. A: Ngon dia sajo de ho so mulak
borngin tu. (Dari mana saja kamu
pulang malam-malam begini).
B: Ngon bagas dongan. (Dari rumah
teman).
A: Jeges, ncongot nangkon ho mulakmulak be da. (Bagus, besok kamu tidak
usah pulang lagi).

HISTORISME

Kata jeges pada contoh (1)

memiliki makna integral yaitu ‘tidak buruk’
karena kalimat itu dikatakan oleh seorang
guru kepada muridnya, sedangkan kata
jeges pada contoh (2) memiliki makna
eksternal ‘tidak baik’ karena maknanya
‘menyindir’ yang dikatakan seorang ibu
yang
sedang
marah
pada
anak
perempuannya yang pulang larut malam.
Kajian tindak tutur diteliti pertama
kali dalam bidang filsafat oleh (J. Austin
1962; H. Grice 1957, 1975; J. Habermas
1979; J. Searle 1969, 1975, 1983),
kemudian dikembangkan oleh (Sadock
1974; D. Hymes 1974; J. Gumperz 1982; E.
Ochs & B. Schieffin 1979). Semua kajian
ini pada dasarnya sepakat terhadap asumsi

bahwa pengertian tindak tutur sangat
mendasar bagi komunikasi manusia. Dan
Siregar (2000) mengatakan tindak tutur
adalah melakukan tindak tertentu melalui
kata, misalnya memohon sesuatu, menolak
(tawaran permohonan), berterima kasih,
memberi salam, memuji, dan meminta
maaf. Dan dalam melakukan tindak tutur
diperlukan perangkat tindak tutur antara
lain situasi tutur, jenis tindak tutur, prinsip
kerja sama dan prinsip kesopanan.
Austin (dalam Parera: 2004)
membedakan makna tutur menjadi lokusi,
ilokusi, dan perlokusi. Tuturan lokusi
adalah tuturan yang mengandung makna
makna referensial kognitif. Tuturan ilokusi
adalah tindak bahasa yang dibatasi oleh
konvensi sosial, dan tindak perlokusi adalah
tindak tutur untuk menimbulkan atau
menyebabakan konsekuensi tertentu pada

pendengar. Selanjutnya Searle (1979)
membagi ilokusi dengan berbagi kriteria
menjadi (1) asertif, (2) direktif, (3) komisif,
(4) ekspresif, (5) deklaratif. Dan jenis-jenis
kalimatnya
mencakup
bentuk-bentuk
deklaratif, imperatif, interogatif dan
interjeksi.

KHAIRINA NASUTION
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

17

Artikel
Brown dan Levinson (1978)
menyatakan bahwa penutur di dalam
memperlakukan petutur sebagai lawan

tuturnya menggunakan strategi yang berbedabeda. Strategi itu ada yang terdiri dari strategi
(1) kurang sopan, (2) agak sopan, (3) sopan,
dan (4) paling sopan. Keempat strategi ini
harus dikaitkan dengan tiga parameter
pragmatik seperti (a) jarak sosial antara
penutur dan petutur yang ditentukan
berdasarkan perbedaan umur, jenis kelamin
dan latar belakang sosiokultural, (b) tingkat
status sosial yang didasarkan atas kedudukan
yang asimetris antara penutur dan petutur di
dalam konteks pertuturan. Misalnya di ruang
praktik dokter, seorang dokter memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari seorang
polisi. Akan tetapi di jalan raya polisi
memiliki konteks sosial yang lebih tinggi.
Kajian tentang tindak tutur dan
kesantunan telah pernah dikaji oleh Siregar
(2000) dalam kaitannya dengan proses
pemerolehan bahasa Jepang sebagai bahasa
asing di Indonesia dan pemerolehan tindak

tutur dan siasat kesantunan: suatu ancangan
teoretis (tahun 2000). Kajian tentang tindak
tutur memohon dalam bahasa Indonesia
oleh pelajar dari Jepang dan implikasinya
dalam pembelajaran BIPA telah pula diteliti
oleh Kartika (2004). Namun penelitian
yang membahas khusus tentang tindak tutur
dan perangkat tindak tutur dalam bahasa
Mandailing belum relatif banyak dilakukan.
Tulisan ini membahas tindak tutur dan
perangkat tindak tutur dalam bahasa
Mandailing yang meliputi situasi tutur,
tindak tutur, jeni-jenis tindak tutur, prisip
kerja sama dan prinsip kesopanan.
Data bersumber dari data lisan dan
tulisan. Data lisan bersumber dari seorang
informan dan penulis sendiri sebagai penutur
asli. Pengumpulan data menggunakan metode
simak dan cakap dan analisis data
menggunakan teknik ganti. Sedangkan

pemaparan hasil analisis menggunakan
metode informal (Mahsun: 2005).

HISTORISME

2. Pembahasan
2.1 Situasi Tutur
Sebuah tuturan tidak senantiasa
merupakan representasi langsung dari
elemen makna unsur-unsurnya karena
timbulnya bermacam-macam maksud yang
dikomunikasikan oleh penutur dalam
bertindak tutur. Leech (1983) mengemukakan
beberapa aspek yang harus diperhatikan
dalam bertindak tutur yaitu:
(1) Penutur dan petutur yang berkaitan
dengan usia, latar belakang sosial
ekonomi, jenis kelamin dan tingkat
keakraban dsb.
(2) Konteks tuturan yang berkaitan dengan

aspek fisik atau setting sosial yang
relevan dari tuturan bersangkutan.
(3) Tujuan tuturan yaitu bentuk-bentuk
tuturan yang diutarakan oleh penutur
dan dilatarbelakangi oleh maksud dan
tujuan tertentu.
Dalam hubungan ini bentuk-bentuk
tuturan yang bermacam-macam itu
dapat digunakan untuk menyatakan
maksud yang sama atau sebaliknya
berbagi
macam
maksud
dapat
diutarakan dengan tuturan yang sama.
Contoh:
“Bagas nami songon andang ni itik ma
ia. (Rumah kami seperti kandang
bebek).
Kalimat pada contoh di atas ini

bermaksud merendahkan diri agar
terdengan sopan di telinga lawan
tuturnya. Tuturan itu jauh lebih sopan
bila dibandingkan dengan tuturan
berikut ini.
“Ana jeges bagas nami. (Rumah kami
bagus sekali)
(4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau
aktivitas, dan
(5) Tuturan sebagai produk tindak verbal.

KHAIRINA NASUTION
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara