Format Hubungan Negara dan Masyarakat

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

FORMAT HUBUNGAN NEGARA DAN MASYARAKAT
Junjungan SBP Simanjuntak
Abstract: The state are compulsary associations claimming control over territories and
the people within them, administrative, legal, extractive, and coercive organizations are
the core of any state. The state must be considered as more than goverment, it is
continous administrative, legal, beaucratic and coercive system that attemp not only to
structure relationship between civil society and public authority in a polity but also to
structure many crucial relationship within civil society as well.
Keywords: civil society, state
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini pengkajian mengenai
format hubungan negara dan menarik untuk
dibicarakan terlebih karena globalisasi membawa
perubahan yang meluas, mendasar dan cepat pada
setiap aspek kehidupan. Berbagai konsep dan
teori mengenai hubungan negara dan masyarakat
turut
mengalami
perubahan.

Fenomena
perubahan ini bisa dilihat dari semakin intensnya
masyarakat menuntut hak-haknya sebagai
konsekuensi logis dari demokratisasi. Disamping
itu banyak peristiwa politik yang terjadi
dibelahan bumi ini dimana bagi sebagian
pengamat menganggap bahwa hal itu merupakan
proses awal dari demokratisasi yang akan terjadi
dalam skala global.
Bukti lainnya adalah runtuhnya tembok
Berlin, terceraiberainya Uni Soviet, keberhasilan
gerakan solidaritas di Polandia pimpinan Lech
Wallesa, maraknya gerakan pro demokrasi di
Hongaria, Cekoslowakia, dan tumbangnya rezim
sosialis komunis di Yugoslavia dan banyak lagi
peristiwa lainnya yang tidak lain adalah dampak
daripada demokratisasi.
Gerakan demokrasi telah menempatkan
kekuatan masyarakat sebagai kelompok yang
mempunyai hak otonom menuntut jaminan bagi

hak-hak asasi manusia dimana kebebasan
berbicara, kebebasan menyatakan pendapat, serta
rasa keadilan yang merata, termasuk masalah
pembagian sumber daya ekonomi yang merata
menjadi bagian dari proses ini.
Persoalan ini merupakan masalah aktual
dalam hubungannya dengan negara, dimana
semangat demokrasi turut mewarnai hubungan
masyarakat sipil dengan negara. Bagaimana
negara menyatakan keberadaannya di tengah
tengah masyarakat sipil yang kompleks dan

memiliki jaringan-jaringan yang memiliki potensi
tersendiri yang dapat mempengaruhi negara.
Sejalan dengan hal itu
Heningsen
mengatakan bahwa masyarakat sipil dapat
diartikan sebagai pengelompokan dari warga
negara yang dengan bebas dan egaliter mampu
untuk mengadakan wacana tentang segala hal

yang
berkaitan
dengan
masalah
yang
dihadapinya.
Di dalam masyarakat sipil ini terdapat
jaringan-jaringan, kelompok-kelompok sosial
yang terdiri dari keluarga, organisasi–organisasi
sukarela, sampai pada organisasi yang mungkin
pada awalnya di bentuk oleh negara untuk
melayani kepentingan masyarakat itu sendiri.
Walaupun
masyarakat
mampu
untuk
mengimbangi negara tetapi masyarakat tidak
menghalangi negara untuk berperan sebagai
penjaga perdamaian atau keamanan dan sebagai
wasit diantara berbagai kepentingan yang

bertolak belakang.
Pemahaman yang berbeda mengenai
masyarakat sipil ini dikemukakan oleh Karl
Marx yang mengatakan bahwa negara yang
melindungi masyarakat sipil dan masyarakat sipil
yang mengimbangi negara adalah mubazir dan
penuh penipuan. Maka dari itu formulasi
masyarakat sipil tidak diperlukan, karena begitu
eksploitasi berakhir, munculah tatanan sosial
yang tak memerlukan penguatan yang bersifat
memaksa sebagaimana peranan negara. Hanya
perpecahan internal yang patologis dari
masyarakat yang dapat menciptakan kebutuhan
akan negara; jadi hilangnya kondisi itu maka
secara otomatis akan menghilangkan kebutuhan
akan sebuah negara (Karl Marx, Membangun
Masyarakat Sipil, 1994).
Konsep mengenai negara sebagaimana
yang banyak dianut oleh para ahli ilmu politik


Junjungan SBP Simanjuntak adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU
62

Universitas Sumatera Utara

Simanjuntak, Format Hubungan Negara dan Masyarakat

adalah konsep negara sebagaimana yang
diformulasikan oleh Max Weber yang
mengatakan bahwa “Negara sebagai organisasi
pemaksa yang bertugas mengendalikan wilayah
dan penduduk yang tinggal dalam wilayah
tersebut melalui pengorganisasian yang bersifat
koersif, ekstraktif, legal, dan administratif.”
Tidak jauh berbeda dengan apa yang
disampaikan oleh Alfred Stepan yang
mengatakan bahwa “Negara mempunyai
kemampuan
bertindak tidak hanya untuk
menentukan bentuk hubungannya dengan

masyarakat tetapi lebih daripada itu menentukan
hubungan-hubungan
yang
terjadi
dalam
masyarakat,
dimana
negara
mempunyai
karakteristik yang intervensionis artinya sedikit
banyak negara ikut mencampuri urusan
masyarakatnya sendiri.”
Secara konsepsional format hubungan
negara dan masyarakat setidaknya dapat
ditelusuri melalui 4 model yaitu:
1. Model Bureaucratic Polity. (Karl D Jackson)
Bureaucratic polity secara khusus
melihat sejauh mana pembuatan keputusan
terisolasi dari pengaruh pengaruh kekuatan sosial
politik diluar elite. Jackson mengatakan bahwa

ketika pada tahun 1957 format demokrasi di
Indonesia diakhiri dengan diberlakukannya
undang-undang darurat perang, ternyata format
hubungan masyarakat dengan negara tidak
banyak mengalami perubahan yang fundamental,
bahkan sejak kepemimpinan jatuh ke tangan orde
baru kekuasaan masih terkonsentrasikan di
bawah kepemimpinan Presiden Soekarno (19591966).
Dalam model Bureaucratic Polity
pemegang kekuasaan tertinggi adalah Presiden
dimana ia memiliki kekuasaan yang didasarkan
pada kewenangan resmi dan bukan sekedar
legitimasi tradisional. Untuk itu Presiden harus
disokong oleh sekurang-kurangnya konsensus
minimal dari elite militer dan birokrasi. Sejalan
dengan hal itu maka keputusan-keputusan
Presiden harus dikonsultasikan dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada elite militer dan
birokrasi.
Peranan Militer di negara berkembang

pada dasarnya adalah untuk mendukung aspirasi
politik masyarakat di bawah kepemimpinan sipil.
Ketika peranannya telah menyimpang jauh dari
apa yang dimaksud di atas maka, ia dianggap

telah melakukan intervensi politik. Sedangkan
pada umumnya di negara berkembang atau di
Dunia Ketiga, lebih banyak kecenderungan
militer untuk melibatkan diri dalam perpolitikan
nasional.
Keterlibatannya militer di Dunia Ketiga
dimungkinkan terjadi oleh karena beberapa
faktor, seperti dikemukakan oleh Bilver Singh:
(1). Apabila ada kelompok-kelompok kuat dalam
masyarakat yang mengancam eksistensi angkatan
bersenjata. (2), militer akan melakukan intervensi
politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih
besar yang oleh korps perwira dianggap lebih
sesuai dengan struktur-struktur politik yang ada
dalam masyarakat. (3). Adanya keterlibatan militer

di negara-negara dunia ketiga ini membuat diskusi
tentang rezim militer menjadi semakin menarik
terlebih karena memberikan pengaruh pada
format hubungan masyarakat dengan negara,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Amos
Perlmutter bahwa apa yang disebut sebagai rezim
militer tidaklah harus didominasi oleh militer.
(Bilver Singh, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal: 5).
Rezim militer dapat dijelaskan dari bagaimana
hakikat hubungan elite negara seperti antara
struktur militer dan sipil; bagaimana otonomi
birokrasi negara dan institusi militer; bagaimana
hakikat sarana politis dan administratif yang
dimanfaatkan oleh rezim tersebut untuk mencapai
modernisasi, bagaimana legitimasi struktur
birokratis, komisi, partai politik, kelompok–
kelompok kepentingan dan militer itu sendiri.
Satu hal yang menarik adalah bahwa
adanya semacam kaidah yang biasanya berlaku
dalam militer yakni melakukan intervensi,

apabila terjadi krisis politik, ekonomi, sosial yang
muncul sebagai akibat dari perubahan
masyarakat.
Rezim-rezim militer biasanya terdapat
dalam masyarakat yang sedang mengalami
perubahan, adanya kekurangteraturan dan
dukungan politik yang sah membuat rezim ini
cenderung tumbuh subur terlebih dalam
pemerintahan yang tidak stabil, belum
berkembang secara politik, belum padu secara
struktural, dan dalam kebanyakan kasus, belum
berfungsi dengan baik. Rezim militer biasanya
hadir untuk menggantikan rezim yang lemah
seperti eksekutif dan legislatif yang lemah,
khususnya dalam rangka mempertahankan negara
dari pengambilalihan secara revolusioner oleh
kaum komunis maupun para ekstrimis.

63
Universitas Sumatera Utara


Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

Jadi sebagaimana yang dikemukakan
sebelumnya maka alasan militer untuk campur
tangan biasanya meliputi alasan–alasan sbb:
Anti kolonialisme, nasionalisme, oposisi terhadap
rezim nasionalis, anti-oligarkisme, dorongan
untuk melindungi institusi militer dari
pelanggaran dan ketakutan akan hilangnya
otonomi dan kekuasaan militer, keinginan untuk
mempromosikan modernisasi dan perkembangan
ekonomi, serta tanggapan terhadap ancaman dari
sayap kiri (Amos Perlmutter, Political Roseland
Millitary Rules, 1980, hal 238).
Model Kepolitikan birokratik juga harus
dibedakan dengan pemerintahan militer atau
kediktatoran militer, atas dasar ”gaya” dan
”tujuan” (bentuk kebijakan) pemerintahan yang
lebih bercorak birokratik dan tehnokratik
daripada militeristik.
Jackson memberi
gambaran
bagaimana
kompetisi
untuk
memperoleh kekuasaan yang berlangsung di
lingkungan para pengambil keputusan (the ruling
circle) yang jumlahnya kurang dari 1000 orang di
Jakarta, yaitu melalui penggunaan jaringan
hubungan ”patron-client” yang secara nyata
dapat mengatasi dan memotong jalur hubungan
lain yang lebih sempit, seperti etnik, famili dan
aliran.
Hubungan
”patron-client”
adalah
hubungan-hubungan yang terjadi antara bapak
dan anak buah yang bersifat pribadi dan saling
menguntungkan. Dalam hal ini tugas patron tidak
sekedar memberi imbalan material namun
merangkap sebagai pelindung dan penasehat
masalah-masalah pribadi, kepercayaan dan
mistik. Sedangkan pihak klien dituntut
kesetiaannya untuk mengabdi sekaligus bersedia
secara total untuk ikut berjuang guna
mempertahankan keutuhan kekuasaan dari
patron.
2. Model Neopatrimonialism (Donald K
Emerson, R William Liddle, Harold Crouch)
Model ini didasarkan pada pandangan
Guenther Roth sebagai hasil penafsiran terhadap
tesis ”kekuasaan patrimonial” yang dikemukakan
oleh Max Weber. Menurut model ini penguasaan
perorangan/pribadi disesuaikan dengan situasi
dan kondisi masyarakat modern, melalui
detradisionalisasi patrimonialisme klasik dan
kemudian dibentuk patrimonialisme baru, dimana
legitimasi didasarkan pada imbalan-imbalan
material. Kekuasaan perorangan/pribadi dapat

64

diperluas daya jangkaunya melalui penggunaan
organisasi–organisasi modern seperti, birokrasi,
militer dan organisasi-organisasi kepentingan
lainnya.
Konsep kekuasaan dalam negara
neopatrimonial diturunkan dari konsep Jawa
(Mataram) yang melihat kekuasaan sebagai
sesuatu yang ”homogen, mengumpul dan
berjumlah tetap”. Dalam pengertian ini, antara
pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan
dipandang merupakan satu kesatuan. Oleh sebab
itu aktifitas politik dipahami harus selalu terpusat
pada si pemegang kekuasaan. Benedict
Anderson, mengatakan bahwa budaya yang ada
di negara-negara Dunia Ketiga seperti halnya
Indonesia masih bersifat feodal. Kekuasaan
politik masih dianggap sebagai perpanjangan dari
kekuasaan ke Ilahian, sehingga tidak bisa
ditentang" (Benedict Anderson, Teori Negara,
1996,
hal:
107).
Adapun
kekuasaan
dikonsentrasikan kepada pemegangnya melalui
penggunaan hubungan patron-client, sehingga
struktur kekuasaan dapat digambarkan sebagai
lingkaran–lingkaran vertikal yang memusat
(seperti spiral lancip). Lingkungan di luar pusat
kekuasaan diwarnai oleh kompetisi untuk
mendapatkan perhatian dan keistimewaan dari
pusat kekuasaan.
Tali pengikat utama dari kelangsungan
struktur kekuasaan ini adalah berupa imbalan–
imbalan material yang didiseminasikan dari pusat
kekuasaan ke stuktur–struktur bawahnya, melalui
jaringan hubungan yang ada tersebut. Menurut R
William Liddle penguasaan perorangan/pribadi
ini terbagi atas tingkatan-tingkatan yaitu: (1).
Lembaga Kepresidenan dengan Presiden sebagai
penguasa mutlaknya. (2). Eselon kedua yang
terdiri dari berbagai kelompok yang saling
berkompetisi seperti: militer, partai politik,
birokrasi pemerintahan dll.
Jadi pada intinya dalam rezim
neopatrimonial, penguasa tertinggi mempunyai
kekuasaan mutlak dan tidak dapat dikontrol.
Karenanya keputusan sepenuhnya berada di
tangan Presiden, para menteri dan pejabat-pejabat
tinggi
negara
lainnya
hanya
memberi
pertimbangan dan menyodorkan alternatifalternatif pilihan beserta perhitungan-perhitungan
untung ruginya. Negara-negara merdeka yang
muncul di Dunia Ketiga yang sebelumnya
dijajah, terlanjur mempunyai kekuasaan yang
begitu besar. Pemerintah berdiri di atas kelas-

Universitas Sumatera Utara

Simanjuntak, Format Hubungan Negara dan Masyarakat

kelas sosial yang ada. Kekuasaan yang lebih
besar dari pada kekuatan yang ada di tangan
rakyatnya. Ketika masyarakat jajahan ini berhasil
memperoleh kemerdekaan, pemerintah atau
birokrasi kolonial yang ada masih tetap utuh.
Penguasa nasional yang baru seringkali merasa
bahwa perangkat kekuasaan ini memudahkan
mereka untuk memerintah. Karena itu di banyak
negara Dunia Ketiga yang memperoleh
kemerdekaan, bentuk pemerintahannya harus
dipertahankan, atau sangat sedikit diubah oleh
penguasa yang baru, dan inilah yang disebut
sebagai negara pasca kolonial" (Hamza Alavi,
Teori Negara, 1996, hal: 109).
3.

Model Bureaucratic Capitalist State
(Richard Robinson)
Model ini dikembangkan atas dasar
”teori perjuangan kelas” dan persepsi masyarakat
yang mengacu pada pandangan Karl Marx yang
mengatakan bahwa: masyarakat sipil merupakan
suatu penipuan. Melindungi masyarakat sipil dan
masyarakat sipil yang melindungi negara adalah
mubazir dan penuh penipuan. Menurutnya
formulasi masyarakat sipil tidak diperlukan:
begitu eksploitasi berakhir, munculah tatanan
sosial yang tak memerlukan penguatan yang
bersifat memaksa.
Menurut pandangan ini struktur politik
terdiri dari formasi kelas-kelas ekonomi domestik
yang berkoeksistensi dengan dan terintegrasikan
kedalam kapitalisme internasional. Dalam
perspektif ini negara sebagai alat yang digunakan
oleh kelompok-kelompok konglomerat untuk
mempertahankan penguasaan mereka terhadap
sumberdaya ekonomi yang ada. Kelompokkelompok ini berkoalisi dengan birokrat dan
kaum kapitalis komprador domestik yang
sebagian besar merupakan borjuasi Cina dan
kapitalisme internasional. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Peter Evans bahwa persekutuan
antara Borjuasi lokal, modal asing dan
pemerintah (Peter Evans, Teori Negara, hal 113,
1996).
Sehubungan
dengan
itu
maka
nasionalisme merupakan basis ideologi bagi
terselenggaranya akumulasi modal negara,
berguna
untuk
berargumentasi
melawan
perusahaan–perusahaan multinasional.
Nasionalisme memberikan legitimasi
bagi birokrat pemerintah untuk menjalankan
perannya di mata borjuasi lokal. Nasionalisme

juga merupakan satu-satunya basis di mana
pemerintah dapat menyatakan kepada rakyat
banyak bahwa mereka sedang menjalankan
pembangunan nasional, yang hasilnya nanti
dinikmati oleh segala lapisan masyarakat.
(Alejandro, Teori Negara, hal: 115, 1996).
Pada model ini struktur politik tersusun
sebagai konsekuensi dari-dan merupakan respon
terhadap tekanan-tekanan stuktural yang berbasis
pada pertentangan-pertentangan ekonomi, dengan
pemihakan negara kepada kelestarian dominasi
kelompok koalisi penguasa ekonomi ini. Atas
dasar itu maka pengambilan keputusan dan
kebijakan berorientasi kepada kepentingan
kelompok
ini,
dengan
pertimbanganpertimbangan yang rasional yang menghindari
kerugian dari kelompok-kelompok ini. Apabila
kelompok ini mengalami kerugian maka akan
berakibat fatal pada struktur secara keseluruhan,
termasuk didalamnya kekuasaan rezim.
4. Model Bureaucratic Authoritarian Regime
(Juan Linz, Guillermo O Donnel, Dwight Y
King).
Model ini menjelaskan bahwa negara
sangat
mandiri
dalam
menghadapi
masyarakatnya, dimana untuk itu negara secara
terus menerus menolak tuntutan-tuntutan politik
para pemimpin masyarakat terutama yang berasal
dari kelas bawah, bahkan para pemimpin rakyat
juga disingkirkan dari kedudukan–kedudukan
politik yang bisa mempengaruhi pengambilan
keputusan yang di lakukan oleh negara
(Guillermo O, Donnel, Teori Negara, hal: 109,
1996).
Model ini mendalilkan bahwa dominasi
negara harus jelas, modern dan relatif stabil dan
memiliki keunggulan struktur serta kemampuan
luar biasa untuk mempertahankan diri dan
mengendalikan berbagai macam tekanan
potensial yang muncul dari masyarakat selama
modernisasi. Model ini memperkuat dirinya
melalui landasan legitimasi yang variatif, yaitu
suatu kombinasi yang diperhitungkan antara
prinsip-prinsip tradisional, kharismatik, legalrasional, substantif-rasional dan prinsip-prinsip
efisiensi teknis.
Dalam model ini “transisi” dijelaskan
sebagai “interval waktu antara satu rezim politik
dan rezim politik yang lain”, dimana dirumuskan
bahwa suatu transisi demokrasi akan berhasil
dilakukan suatu negara apabila memenuhi

65
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2

persyaratan sebagai berikut: (a) tercapai
kesepakatan mengenai prosedur-prosedur politik
untuk
menghasilkan
pemerintahan;
(b)
pemerintah pemegang kekuasaan adalah atas
dasar hasil pemilu yang bebas; (c) pemerintah
memiliki otoritas untuk menghasilkan kebijakan–
kebijakan; dan (d) kekuasaan eksekutif, legislatif,
dan yudikatif yang dihasilkan sudah lebih
mandiri serta tidak dipengaruhi oleh institusi
kepentingan lainnya
Proses transisi menuju demokrasi ini
biasanya mencakup tahap liberalisasi politik dan
tahap demokratisasi, dimana hal ini bisa

66

berlangsung secara gradual –liberalisasi lebih
dahulu kemudian berlanjut kepada demokratisasiatau secara bersama-sama dan sekaligus, atau
bisa juga suatu transisi tanpa tahap demokratisasi
sama sekali. Liberalisasi politik hanya mencakup
perluasan serta perlindungan bagi hak-hak dan
kebebasan individu maupun kelompok dari
kesewenangan negara atau pihak lain. Oleh
karenanya maka demokratisasi harus mencakup
perubahan struktur pemerintahan dari yang
bersifat otoriter sehingga negara dapat
memberikan
tanggung
jawabnya
kepada
masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Simanjuntak, Format Hubungan Negara dan Masyarakat

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict ROG; The Idea Of Power Politic in Javanese Culture, dalam Claire Holt (ed):
Culture Politics in Indonesia, Itacha: Cornell University Press, 1972.
Budiman, Arif; Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Idiologi, Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Emerson, Donald K; Indonesia”s Elite: Political Culture and Cultural Politics, Ithaca, Cornell
University Press, 1976.
Guillermo O Donnel; Transisi Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta, 1998.
Henningsen, ”Democracy or the Promise of Civil Society and the State”, London-New York; Verso
1988.
Maruto M.D; Anwari WMK; Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat; Kendala, dan Peluang
Menuju Demokrasi, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2002
Stepan, Alfred; The State and Society, Peru in Comparative Perspective, New Jersey, Princeton
University Press, 1978.

67
Universitas Sumatera Utara