Reformasi Tentang Undang-Undang Kepartaian Di Indonesia
REFORMASI TENTANG UNDANG-UNDANG KEPARTAIAN DI INDONESIA
Drs. ZAKARIA
Jurusan Ilmu Administrasi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
A. Pendahuluan
Kehidupan Kepartaian selama Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto sangat menyedihkan dan menyakitkan rakyat. Dimana ruang
gerak Partai Politik dibatasi dan dibuat tidak berdaya.
Pada awal Orde Barn Partai Politik mendapat angin segar, dimana
bemunculan Partai-partai Baru dan pada waktu dilaksanakan Pemilihan Umum
pertama pada era Orde Baru (1971) ada 10 Kontestan peserta Pemilu yang terdiri
dari 9 (sembilan) Partai Politik dan satu Golongan Karya. Kesembilan partai Politik itu
adalah NU, PARMUSI, PSII, PERTI, PNI, PARKINDO, PARTAI KATHOLIK, IPKI, dan
MURBA.
Temyata angin segar yang dihirup oleh kesembilan Parpol itu tidak
berlangsung lama. Karena kesembilan Parpol itu pada tabun 1975 difusikan oleh
Pemerintahan Soeharto menjadi dua Partai Politik melalui undang-undang Nomor:3
Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Adapun Partai Politik yang
difusikan itu adalah NU, PARMUSI, PSII dan PERTI menjadi PPP, sedangkan PNI,
PARKINDO, PARTAI KATHOLIK, IPKI dan MURBA menjadi PDI.
Melalui UU No.3 Tahun 1975 itu ruang gerak Partai Politik dipersempit,
sedangkan Golongan Karya yang menjadi kontestan Pemilu diberikan fasilitas dan
kebebasan yang lebih luas dari partai politik. Pemerintah nampak tidak adil terhadap
kontestan peserta pemilu. Keberpihakan Pemerintah terhadap Golkar sanyat
menyolok. Akibatnya Golkar sebagai peserta pemilu yang mendominasi perolehan
suara dalam pemilu lebih berorientasi pada memperjuangkan kepentingan
Pemerintah dan Penguasa daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.
Karena Golkar selalu mendukung dan mendahulukan kepentingan Pemerintah
dan penguasa daripada kepentingan rakyat, maka kehidupan politik pemerintah
(supra struktur politik) menjadi lebih besar dan kuat, sedangkan kehidupan politik
rakyat (infra struktur politik) menjadi lemah dan tak berdaya. Inilah salah satu
penyebab Presiden Soeharto dapat mempertahankan kekuasaannya sampai 32
Tahun. Tetapi bila Golkar yang memperoleh suara mayoritas setiap kali Pemilu
berpihak kepada rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Soeharto tidak
mungkin bisa berkuasa sampai 32 tahun dan kehidupan politik masyarakat menjadi
kuat
Karena yang membuat Golkar itu besar dan kuat, salah satunya adalah UU
No.3 Tahun 1975 dan UU No.3 Tabun 1985 tentang Parpol dan Golkar dan Golkar
pula yang merupakan salah satu penyebab infra struktur politik itu lemah, maka
sangat perlulah undang-undang tentang Parpol dan Golkar itu direformasi termasuk
Golkarnya sendiri.
B. Aspek-aspek Ketidakadilan Dalam UU No.3 /1975 dan UU No.3/1985
Tentang PARPOL dan GOLKAR
Pengaturan tentang Kepartaian di Indonesia selama Pemerintahan Orde Baru
diatur melalui UU NO. 3/1975 dan UU No.3/1985 yang terkenal dengan "UndangUndang Partai Politik dan Golongan Karya".
© 2003 Digitized by USU digital library
1
Undang-Undang Parpol dan Golkar tersebut yang hanya terdiri dari 18 pasal
saja, bila ditelaah isi UU tersebut secara rinci dan mendalam, banyak terdapat
kelemahan, kekurangan dan tidak mencerminkan suasana keadilan dan demokratis.
Sebagai contoh:
1. Partai Politik dan Golongan Karya disebut Organisasi Sosial Politik, tetapi Golkar
sendiri tidak disebut Partai Politik, dan tidak pula disebut sebagai Ormas
(Organisasi Kemasyarakatan). Dalam aktivitasnya ("Sang Golkar") pada waktu
PEMILU dia ikut sebagai salah satu kontestan PEMILU dengan Partai Politik yang
lain, artinya dia memakai baju partai, pada saat yang lain "Sang Golkar itu"
menjalankan tugas-tugas birokrasi, dan bergaya sebagai birokrat dengan
menggunakan baju KORPRI. Dengan kondisi atau fungsi ganda tersebut, maka
Golkar bersifat Ambivalent atau posisinya tidak jelas. Hal ini akan mengacaukan
sistem kepartaian dan membingungkan masyarakat.
2. Pegawai Negeri Sipil dapat menjadi anggota Partai Politik atau Golongan Karya
dengan sepengetahuan yang berwenang. Kemudian "Pegawai Negeri Sipil" yang
memegang jabatan-jabatan tertentu tidak dapat menjadi anggota Partai Politik
atau Golongan Karya, kecuali dengan izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 8
ayat (2) huruf A clan B) UU No.3 /1975 dan UU No.3/1985. Ketentuan tersebut
jelas sekali tidak mencerminkan keadilan dan demokratis, karena ketentuan
tersebut sangat menguntungkan posisi Golkar yang bersifat ambivalent (sebagai
Partai Politik pada satu sisi dan sebagai birokrasi pada posisi yang lain). Hal ini
terlihat dari unsur-unsur yang menjadi komponen Golkar yaitu jalur A, B clan C,
dimana jalur A yang merupakan kelompok ABRI, Jalur B yang merupakan
kelompok Korpri, dan jalur C yang merupakan masyarakat umum. Khusus
mengenai jalur B(Korpri), dimana sebahagian besar anggotanya berasal dari
Pegawai Negeri Sipil RI yang menjalankan tugas di bidang birokrasi. Dengan
sendirinya Pegawai Negeri Sipil secara otomatis menjadi anggota Golkar tanpa
membedakan apakah memegang jabatan tertentu atau tidak, dan tidak perlu lagi
meminta izin pejabat yang berwenang. lni berarti bahwa pasal 8 ayat (2) a dan b
hanya berlaku bagi Partai Politik, sedangkan bagi Golongan Karya tidak berlaku.
Dengan demikian pasaI 8 ayat (2) UU No.3/1975 dan UU No.3/1985 tidak adil
dan perlu dihapus.
3. Partai Politik dan Golongan Karya mendaftar anggota-anggotanya dan memelihara
daftar anggotanya (pasal 9). Ketentuan yang terdapat pada pasal 9 UU
No.3/1985 itu tidak demokratis. Karena bila anggota masyarakat atau anggota
suatu lembaga sosial kemasyarakatan terdaftar menjadi anggota Partai Politik
atau Golongan Karya maka secara otomatis anggota yang terdaftar tersebut
terikat dengan ketentuan-ketentuan Partai dan Golkar. Pada waktu Pemilu
dilakukan mereka harus mendukung dan memilih dimana ia terdaftar sebagai
anggota Parpol atau Golkar. Dengan sendirinya Pemilu yang dilakukan tidak lagi
bersifat Bebas dan Rahasia. Selain itu Golkar mendapat kesempatan dan
kebebasan yang sangat luas dan besar untuk merekrut anggota masyarakat dan
Pegawai Negeri Sipil beserta anggota ABRI untuk menjadi anggotanya.
Sedangkan Partai Politik dalam merekrut masyarakat untuk menjadi anggota
partainya terbatas, hanya pada kalangan anggota masyarakat yang bukan ABRI
dan Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena itu pasal 9 UU No.3/1985 tidak adil dan
tidak demokratis, dan ini harus dihapus.
4. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan dalam semua Undangundang yang berlaku, pengawasan pasal 4, pasal 7 huruf A, dan pasal 12
dilakukan oleh Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (pasal 13
ayat (1) UU No. 3/1985). Ketentuan yang terdapat pada pasal 13 ayat (1) ini
banyak terdapat kelemahannya dan membuat Parpol dan Golkar tidak berdaya.
Misalnya :
© 2003 Digitized by USU digital library
2
a. Membatasi kebebasan Parpol dan Golkar dalam melakukan aktivitasnya.
b. Membuat kekuasaan Partai menjadi kecil dan lemah.
c. Membuat fungsi. peran dan kekuasaan Presiden menjadi besar.
Oleh karena itu pasal ini harus dihapus atau dihilangkan.
5. Dengan kewenangan yang ada padanya Presiden/Mandataris Permusyawaratan
rakyat dapat membekukan Pengurus tingkat pusat Partai Politik dan Golongan
Karya yang temyata melakukan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan
pasal 4. pasal 7 huruf A, dan pasal 12 (pasal 14 ayat (I) UU No.3/1985).
Ketentuan yang terdapat pada pasal 14 ayat (I) UU No.3/1985). Ketentuan yang
terdapat pada pasal 14 ayat (1) ini menunjukkan tidak bijaksana dan banyak
terdapat kelemahannya, misalnya:
a. Memperlemah kedudukan dan posisi Parpol dan Golkar sebagai Infra struktur
politik.
b. Membuat kedudukan Supra Struktur politik khususnya Presiden menjadi kuat.
c. Bila suatu Parpol atau Golkar berkuasa dan memegang tampuk Pemerintahan
(Presiden) seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, maka Partai Politik atau
Golkar dapat mempercundangi, atau mengentak alih Pimpinan Partai yang
selalu mengkritik kelompok yang berkuasa melalui Presiden.
Hal ini akan berbahaya bagi stabilitas kedudukan dan perkembangan Partai
Politik atau Golkar. Oleh karena itu pasal ini harus dihapus.
Melihat pada pasal-pasal dari UU No.3 /1975 dan UU No. 3/1985 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya pada Orde Baru banyak terdapat kelemahan.
kekurangan. tidak adil dan tidak demokratis. rnaka UU No.3/1985 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya harus diganti secara total.
C. Jangan Mengulangi Penyakit Lama Dalam Merubah UU .
Undang-Undang No.3 Tabun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
harus diganti secara total karena Undang-undang tersebut tidak mencerminkan
keadilan, demokratis dan transparan dalam kehidupan Organisasi Sosial Politik di
Indonesia. Oleh karena itu perlu dibuat undang-undang yang baru tentang
Kepartaian di Indonesia sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Perlu disadari bahwa dalam membuat undang-undang kepartaian yang baru
itu jangan sampai terulang lagi penyakit dan kebiasaan lama yang terjadi pada masa
Pemerintahan Orde Baru, dalam membuat dan merubah undang-undang.
Bila ditelaah produk undang-undang yang dibuat pada rnasa pemerintahan
Orde Baru bahwa nampak undang-undang tersebut memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Kurang transparan, karena tidak tegas dan jelas.
2. Tidak adil, karena selalu menguntungkan satu pihak atau kelompok.
3. Tidak demokratis, karena selalu mempersempit ruang gerak masyarakat dan
infrastruktur.
4. Selalu memberikan peluang yang besar terhadap peran dan kekuasaan
Pemerintahan.
5. Pemerintah selalu mau menang sendiri.
Sebagai contoh ditelusuri 5 (lima) paket Undang-undang dalam bidang Politik dan
undang-undang tentang Pemerintahan di daerah.
1. Tentang Undang-undang Partai Politik dan Golongan Karya. Undang-undang No.3
tahun 1975 tentang Parpol dan Golkar jauh lebih transparan, adil dan demokratis
bila dibandingkan dengan UU No.3 Tahun 1985. Hal ini tampak secara jelas dari
pasal-pasal pada Undang-undang tersebut.
Pasal (1) Azas Politik dan Golongan Karya adalah Pancasila dan UUD 1945.
© 2003 Digitized by USU digital library
3
Pasal (2) Selain ketentuan tersebut daIam ayat (1) pasal ini, azas/ciri Partai
Politik dan Golongan Karya yang telah ada pada saat diundangkannya UU ini
adalah juga azas /ciri Partai Politik dan Golongan Karya.
Kemudian dalam perubahan UU tersebut menjadi UU No.3 Tahun 1985
menetapkan pasal2 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1). Partai Politik dan Golongan Karya berazaskan Pancasila sebagai
satu-satunya azas.
(2). Azas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah azas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara.
Dari pasal 2 ini dapat dipahami dan disimpulkan bahwa UU No.3 Tahun 1975
lebih demokratis karena memberikan kebebasan kepada Partai Politik dan
Golongan Karya untuk menambah azas lain dan ciri-ciri yang berbeda-beda,
sedangkan dalam UU No.3 Tahun 1975 Parpol dan Golkar tidak lagi diberikan
kebebasan daIam menentukan azas dan cirinya.
2. Tentang Undang-undang Pemilu, yaitu UU No.I5 Tahun 1969 jauh lebih
transparan, adil dan demokratis bila dibandingkan dengan UU No.4 Tahun 1975,
UU No.2 Tahun 1980 dan UU No.1 Tahun 1985. Sebagai contoh pada Pasal 2 ayat
(1) UU No. 15 Tahun 1969 menetapkan sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) Warganegara Republik Indonesia bekas anggota Organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk Organisasi
massanya atau yang terlibat langsung ataupun tak langsung
dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30 S/PKI" atau organisasi
terlarang lainnya tidak diberikan hak untuk memilih dan
dipilih.
Kemudian dalam perubahan UU tersebut menjadi UU No.4 Tabun 1975 menjadi
UU No.2 Tabun 1980, kemudian menjadi UU No.1 Tahun 1985 menetapkan
pasal2 ayat (1) sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) Warganegara Republik Indonesia bekas anggota Organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk Organisasi
Massanya atau yang terlibat langsung ataupun tak langsung
dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30 S/PKI” atau organisasi
terlarang lainnya tidak diberi hak untuk memilih dan dipilih,
kecuali
apabila
Pemerintah
mempertimbangkan
hak
memilihnya, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal2 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu jauh lebih jelas, tegas dan
transparan serta membuat pelaksanaan Pemilu menjadi jujur dan adil, tetapi
setelah dilakukan perubahan, maka UU tersebut menjadi tidak transparan, adil
dan demokratis karena Pemerintah diberi hak untuk menentukan penggunaan
hak pilih dari warga negara RI bekas organisasi terlarang seperti yang
dituangkan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas. Dengan sendirinya Pemilu
dilaksanakan tidak lagi LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) dan
JURDIL (Jujur dan Adil).
3. Tentang Undang-undang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, yaitu UU No. 16
Tahun 1969, UU No.5 Tahun 1975, dan UU No.2 Tahun 1985 tentang susunan
dan Kedudukan MPR/DPR dan DPRD. Sarna sekali tidak adil, tidak demokratis,
tidak transparan.
Sebagai Contoh:
Adanya anggota tambahan di MPR yang diangkat bukan melalui hasil Pemilihan
Umum, tetapi ditentukan oleh Pejabat yang berwenang. Demikian pula untuk
anggota DPR, ada sebahagian anggota DPR yang diangkat bukan melalui hasil
Pemilu, tetapi ditunjuk oleh pejabat tertentu. Ini menunjukkan bahwa anggota
DPR dan MPR yang merupakan wakil rakyat sulit untuk diterima sebagai wakil
© 2003 Digitized by USU digital library
4
rakyat karena tidak semuanya dipilih oleh rakyat melalui Pemilu. Bagi anggota
DPR dan MPR yang diangkat oleh pejabat yang berwenang berarti mereka
merupakan wakil Pejabat yang mengangkatnya, bukan wakil rakyat. Hal ini tentu
sangat tidak adiI, dan tidak demokratis. Agar supaya DPR dan MPR tersebut
benar-benar merupakan lembaga Perwakilan Rakyat, maka semua anggota DPR
dan MPR harus dipilih oleh rakyat secara langsung. Oleh karena itu Undangundang No.1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum harus direvisi sesuai dengan
tuntutan masyarakat.
4. Undang-undang No.5 Tahun 1985 tentang Referendum.
Undang-undang tentang Referendum ini sangat bertentangan dengan Pasal 37
ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37 (1). Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah
anggota yang hadir.
(2). Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
daripada jumlah anggota yang hadir.
Pasal 37 ayat (1) dan (2) ini sudah cukupjelas, hal ini sudah dinyatakan dalarn
penjelasan UUD 1945. Berdasarkan Pasal 37 tersebut, maka MPR mempunyai hak
dan wewenang penuh untuk mengubah UUD. tidak lagi harus meminta pendapat
rakyat melalui Referendum, karena MPR itu sudah dianggap sebagai penjelmaan
rakyat yang memegang kedaulatan negara. Oleh karena UU No.1 Tahun 1985
tentang Referendum bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945) dan harus
dihapus.
Pasal 37 ini dapat diperbandingkan dengan pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Menurut
Pasal 6 ayat (2), Presiden daD Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
dengan
suara
terbanyak.
Mengapa
dalam
melaksanakan Pasal 6 ayat (2) ini MPR tidak melakukan Referendum meminta
pendapat rakyat). Oleh karena itu untuk melaksanakan Pasal 37, MPR dapat
melakukannya sesuai dengan pelaksanaan Pasal 6 ayat (2) selama ini.
5. Undang-undang No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Bila ditelaah isi (pasal-pasal) yang terdapat pada Organisasi Kemasyarakatan
yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru tidak jauh berbeda dengan UU tentang
Parpol dan Golkar. Dimana orang dibatasi tingkat kebebasannya dan ruang
geraknya. Peranan dan campur tangan Pemerintah terhadap aktivitas Ormas
terlalu besar. Sehingga UU No.8 Tahun 1985 tentang Orrnas tersebut nampak
tidak adil, tidak demokratis, dan tidak transparan. Oleh karena itu perlu ditinjau
dan direvisi kembali.
6. Undang-undang No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah.
Sama halnya dengan 5 (lima) paket Undang-undang di bidang Politik, dimana UU
tentang Pemerintahan di daerah yang sudah 4 (empat) kali mengalami
perubahan yaitu 1, UU No. 22 Tahun 1948, diganti dengan UU No.1 Tahun 1957,
diubah lagi menjadi UU No.5 Tahun 1974.
Setiap kali melakukan percobaan, UU tentang Pemerintahan di Daerah tersebut
menjadi tidak demokratis. Wewenang dan kebebasan Daerah semakin dibatasi.
Sebaliknya wewenang dan kekuasaan pusat semakin besar. Oleh karena itu UU
No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah perlu direvisi sesuai dengan
tuntutan masyarakat di daerah.
D. Hal-hal Yang Perlu Diatur Dalam UU Kepartaian di Indonesia
1. Tentang Sistem Kepartaian dan Jumlah Kepartaian.
a. Indonesia harns menganut sistem banyak partai (Multi Party System), karena
masyarakat Indonesia heterogen baik dari aspek agama, budaya, geografi,
© 2003 Digitized by USU digital library
5
ethnisitas, dll. Diharapkan melalui sistem banyak partai aspirasi kelompok
masyarakat akan terwakili.
b. Perlu dilakukan pembatasan jumlah partai di dalam sistem banyak partai
(Multi party System), karena bila jumlah partai terlalu banyak akan mudah
terjadi hal-hal yang berdampak negatif, seperti:
1) Disintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara
semakin tinggi.
2) Sulit terbentuknya Partai Mayoritas.
3) Sulit membentuk Koalisi dalam Pemerintahan
4) Primordialisme dan Nepotisme akan semakin tinggi.
c. Jumlah Partai dalarn sistem banyak partai cukup lima saja, hal ini sesuai
dengan ideologi negara, sesuai dengan agama yang diakui di Indonesia,
sesuai dengan ethnis yang menempati pulau-pulau besar di Indonesia yang
mewarnai kondisi pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya. Melalui lima partai
ini diharapkan aspirasi kelompok masyarakat akan tertampung, dan integrasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara akan mudah
terwujud.
2. Tentang Azas, Tujuan dan Program Partai Politik.
a. Semua partai Politik harus menggunakan Pancasila sebagai azasnya dan
boleh ditambah dengan azas lain yang menurut Misi Pancasila. Tujuannya
adalah apabila Partai yang menang dengan menguasai Pemerintahan tidak
merubah-ubah sendi-sendi Pemerintahan. Oleh karena itu, setiap Partai
Politik yang ada di Indonesia mempunyai azas yang sama.
b. Tujuan partai politik, tujuan partai Politik di Indonesia ini juga diharapkan
sama dan dianjurkan sesuai dengan tujuan Negara dan Pemerintah yang
terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Bila masing-masing Parpol
mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan negara dan pemerintah, maka
setiap kali berganti penguasa didalam pemerintahan tujuannya akan sama,
maka akan terjadi kesinarnbungan pelaksanaan pembangunan.
c. Program partai Politik dalam mencapai tujuannya tidak perlu di atur sama.
Kepada setiap Parpol diberikan kebebasan dalarn menentukan dan membuat
serta mengembangkan programnya (Flatform).
3.Tentang Keanggotaan dan Kepengurusan Partai Politik
a. Keanggotaan Partai Politik
1) Setiap Warganegara bebas untuk menjadi anggota dalam suatu Partai
Politik.
2) Setiap Partai Politik bebas untuk merekrut anggota masyarakat menjadi
anggota tetap partainya, dalam rangka Pengkaderan Pengurus Partai.
3) Pegawai Negeri tidak boleh terikat atau menjadi anggota tetap dari Partai
Politik, karena hal ini akan mengganggu tugas pokoknya sebagai aparatur
negara.
4) Setiap anggota ABRI tidak boleh terikat dan menjadi anggota tetap dari
suatu Partai Politik, namun anggota ABRI dapat menjadi simpatisan dan
memberikan suaranya kepada Partai Politik tertentu dalam pemilihan
umum.
5) Setiap Warga negara termasuk Pegawai Negeri dan ABRI dapat menjadi
simpatisan atau menjadi pendukung suatu Partai Politik.
6) Semua Partai Politik harus menerapkan sistem Massa Mengarnbang (Floating
Mass), dimana anggota masyarakat tidak menjadi anggota tetap dari suatu
Partai Politik, tetapi di dalarn pemilihan umum dapat memberikan suaranya
kepada partai tertentu yang ia sukai dalam Pemilihan Umum.
b. Kepengurusan Partai Politik.
© 2003 Digitized by USU digital library
6
1) Kepengurusan Partai Politik ditetapkan oleh Partai Politik sendiri secara
bebas.
2) Partai Politik tidak dibolehkan merekrut atau mendaftarkan Organisasi
Kemasyarakatan menjadi pendukung partainya.
3) Rekruitmen yang dilakukan oleh Partai Politik pada suatu masyarakat atau
organisasi tertentu adalah individunya bukan organisasinya.
4) Pegawai Negeri Sipil dan ABRI tidak boleh menjadi pengurus dari suatu
Partai Politik, kecuali bila sudah berhenti atau meminta berhenti dari
Pegawai Negeri Sipil atau ABRI.
5) Pengurus Partai Politik yang menduduki atau yang memegang jabatan politis
dalam pemerintahan tidak boleh menilai atau menentukan jabatan karir
sekarang.
4. Tentang Kedudukan Partai Politik
a. partai Politik harus bebas dari campur tangan Pemerintah artinya Parpol itu
bersifat Independent.
b. Partai Politik harus dipisahkan dengan birokrasi secara nyata atau jelas.
Sehingga ada pemisahan yang jelas antara Pejabat Politis yang diangkat
berdasarkan kekuatan politik dengan pejabat birokrat yang diangkat
berdasarkan karir.
5. Tentang Hak dan Wewenang Partai Politik.
a. Setiap Partai Politik yang menang dalam Pemilihan Umum berhak
mencalonkan Ketua atau Pengurus partainya menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
b. Setiap Partai Politik yang menang dalam Pemilihan Umum berhak
mencalonkan orang-orang partainya menjadi anggota Kabinet.
c. Setiap Partai Politik yang menang dalam Pemilihan Umurn pada tingkat Daerah
Tingkat I atau II berhak mencalonkan orang-orangnya menjadi Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
d. Setiap Partai Politik yang tidak duduk dalam pemerintahan berwenang untuk
melakukan kritik terhadap pemerintah.
e. Setiap Partai Politik memeiliki wewenang untuk mengambil jalannya roda
pemerintahan di luar DPR sebagai anggota DPR.
6. Tentang Larangan Terhadap partai Politik.
a. Partai Politik tidak boleh mendudukkan atau mengangkat orang-orang
Partainya pada jabatan birokrasi.
b. Pejabat politis di Pemerintahan tidak dibolehkan mengangkat orang-orang
partai pada jabatan birokrasi.
Penutup
1. Untuk membuat UU tentang kepartaian yang baru dan bersifat adil, demokratis
dan transparan, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang
tentang Pemilihan Umurn, undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR dan DPRD, Undang-undang tentang Referendum, Undang-undang tentang
Organisasi Kemasyarakatan, dan termasuk Undang-undang tentang Pemilihan
Daerah.
2. Perubahan terhadap 5 (lima) paket UU tersebut (pemilu, Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD, Referendum, Organisasi Kemasyarakatan dan
Pemerintahan di Daerah) harus disesuaikan dengan Undang-undang tentang
Kepartaian.
© 2003 Digitized by USU digital library
7
DAFTAR BACAAN
Amal, Ichlasul. 1998. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Miriam, Budiardjo. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia. Jakarta.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor: 3 tahun 1975. Tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Undang-Undang Nomor: 3 tahun 1985. Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor3 Tabun 1975.
Undang-Undang Nomor: 1 tahun 1985. Tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor: 2 tahun 1985. Tentang Susunan dan Kedudukan
MPR/DPR.
© 2003 Digitized by USU digital library
8
Drs. ZAKARIA
Jurusan Ilmu Administrasi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
A. Pendahuluan
Kehidupan Kepartaian selama Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto sangat menyedihkan dan menyakitkan rakyat. Dimana ruang
gerak Partai Politik dibatasi dan dibuat tidak berdaya.
Pada awal Orde Barn Partai Politik mendapat angin segar, dimana
bemunculan Partai-partai Baru dan pada waktu dilaksanakan Pemilihan Umum
pertama pada era Orde Baru (1971) ada 10 Kontestan peserta Pemilu yang terdiri
dari 9 (sembilan) Partai Politik dan satu Golongan Karya. Kesembilan partai Politik itu
adalah NU, PARMUSI, PSII, PERTI, PNI, PARKINDO, PARTAI KATHOLIK, IPKI, dan
MURBA.
Temyata angin segar yang dihirup oleh kesembilan Parpol itu tidak
berlangsung lama. Karena kesembilan Parpol itu pada tabun 1975 difusikan oleh
Pemerintahan Soeharto menjadi dua Partai Politik melalui undang-undang Nomor:3
Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Adapun Partai Politik yang
difusikan itu adalah NU, PARMUSI, PSII dan PERTI menjadi PPP, sedangkan PNI,
PARKINDO, PARTAI KATHOLIK, IPKI dan MURBA menjadi PDI.
Melalui UU No.3 Tahun 1975 itu ruang gerak Partai Politik dipersempit,
sedangkan Golongan Karya yang menjadi kontestan Pemilu diberikan fasilitas dan
kebebasan yang lebih luas dari partai politik. Pemerintah nampak tidak adil terhadap
kontestan peserta pemilu. Keberpihakan Pemerintah terhadap Golkar sanyat
menyolok. Akibatnya Golkar sebagai peserta pemilu yang mendominasi perolehan
suara dalam pemilu lebih berorientasi pada memperjuangkan kepentingan
Pemerintah dan Penguasa daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.
Karena Golkar selalu mendukung dan mendahulukan kepentingan Pemerintah
dan penguasa daripada kepentingan rakyat, maka kehidupan politik pemerintah
(supra struktur politik) menjadi lebih besar dan kuat, sedangkan kehidupan politik
rakyat (infra struktur politik) menjadi lemah dan tak berdaya. Inilah salah satu
penyebab Presiden Soeharto dapat mempertahankan kekuasaannya sampai 32
Tahun. Tetapi bila Golkar yang memperoleh suara mayoritas setiap kali Pemilu
berpihak kepada rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Soeharto tidak
mungkin bisa berkuasa sampai 32 tahun dan kehidupan politik masyarakat menjadi
kuat
Karena yang membuat Golkar itu besar dan kuat, salah satunya adalah UU
No.3 Tahun 1975 dan UU No.3 Tabun 1985 tentang Parpol dan Golkar dan Golkar
pula yang merupakan salah satu penyebab infra struktur politik itu lemah, maka
sangat perlulah undang-undang tentang Parpol dan Golkar itu direformasi termasuk
Golkarnya sendiri.
B. Aspek-aspek Ketidakadilan Dalam UU No.3 /1975 dan UU No.3/1985
Tentang PARPOL dan GOLKAR
Pengaturan tentang Kepartaian di Indonesia selama Pemerintahan Orde Baru
diatur melalui UU NO. 3/1975 dan UU No.3/1985 yang terkenal dengan "UndangUndang Partai Politik dan Golongan Karya".
© 2003 Digitized by USU digital library
1
Undang-Undang Parpol dan Golkar tersebut yang hanya terdiri dari 18 pasal
saja, bila ditelaah isi UU tersebut secara rinci dan mendalam, banyak terdapat
kelemahan, kekurangan dan tidak mencerminkan suasana keadilan dan demokratis.
Sebagai contoh:
1. Partai Politik dan Golongan Karya disebut Organisasi Sosial Politik, tetapi Golkar
sendiri tidak disebut Partai Politik, dan tidak pula disebut sebagai Ormas
(Organisasi Kemasyarakatan). Dalam aktivitasnya ("Sang Golkar") pada waktu
PEMILU dia ikut sebagai salah satu kontestan PEMILU dengan Partai Politik yang
lain, artinya dia memakai baju partai, pada saat yang lain "Sang Golkar itu"
menjalankan tugas-tugas birokrasi, dan bergaya sebagai birokrat dengan
menggunakan baju KORPRI. Dengan kondisi atau fungsi ganda tersebut, maka
Golkar bersifat Ambivalent atau posisinya tidak jelas. Hal ini akan mengacaukan
sistem kepartaian dan membingungkan masyarakat.
2. Pegawai Negeri Sipil dapat menjadi anggota Partai Politik atau Golongan Karya
dengan sepengetahuan yang berwenang. Kemudian "Pegawai Negeri Sipil" yang
memegang jabatan-jabatan tertentu tidak dapat menjadi anggota Partai Politik
atau Golongan Karya, kecuali dengan izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 8
ayat (2) huruf A clan B) UU No.3 /1975 dan UU No.3/1985. Ketentuan tersebut
jelas sekali tidak mencerminkan keadilan dan demokratis, karena ketentuan
tersebut sangat menguntungkan posisi Golkar yang bersifat ambivalent (sebagai
Partai Politik pada satu sisi dan sebagai birokrasi pada posisi yang lain). Hal ini
terlihat dari unsur-unsur yang menjadi komponen Golkar yaitu jalur A, B clan C,
dimana jalur A yang merupakan kelompok ABRI, Jalur B yang merupakan
kelompok Korpri, dan jalur C yang merupakan masyarakat umum. Khusus
mengenai jalur B(Korpri), dimana sebahagian besar anggotanya berasal dari
Pegawai Negeri Sipil RI yang menjalankan tugas di bidang birokrasi. Dengan
sendirinya Pegawai Negeri Sipil secara otomatis menjadi anggota Golkar tanpa
membedakan apakah memegang jabatan tertentu atau tidak, dan tidak perlu lagi
meminta izin pejabat yang berwenang. lni berarti bahwa pasal 8 ayat (2) a dan b
hanya berlaku bagi Partai Politik, sedangkan bagi Golongan Karya tidak berlaku.
Dengan demikian pasaI 8 ayat (2) UU No.3/1975 dan UU No.3/1985 tidak adil
dan perlu dihapus.
3. Partai Politik dan Golongan Karya mendaftar anggota-anggotanya dan memelihara
daftar anggotanya (pasal 9). Ketentuan yang terdapat pada pasal 9 UU
No.3/1985 itu tidak demokratis. Karena bila anggota masyarakat atau anggota
suatu lembaga sosial kemasyarakatan terdaftar menjadi anggota Partai Politik
atau Golongan Karya maka secara otomatis anggota yang terdaftar tersebut
terikat dengan ketentuan-ketentuan Partai dan Golkar. Pada waktu Pemilu
dilakukan mereka harus mendukung dan memilih dimana ia terdaftar sebagai
anggota Parpol atau Golkar. Dengan sendirinya Pemilu yang dilakukan tidak lagi
bersifat Bebas dan Rahasia. Selain itu Golkar mendapat kesempatan dan
kebebasan yang sangat luas dan besar untuk merekrut anggota masyarakat dan
Pegawai Negeri Sipil beserta anggota ABRI untuk menjadi anggotanya.
Sedangkan Partai Politik dalam merekrut masyarakat untuk menjadi anggota
partainya terbatas, hanya pada kalangan anggota masyarakat yang bukan ABRI
dan Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena itu pasal 9 UU No.3/1985 tidak adil dan
tidak demokratis, dan ini harus dihapus.
4. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan dalam semua Undangundang yang berlaku, pengawasan pasal 4, pasal 7 huruf A, dan pasal 12
dilakukan oleh Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (pasal 13
ayat (1) UU No. 3/1985). Ketentuan yang terdapat pada pasal 13 ayat (1) ini
banyak terdapat kelemahannya dan membuat Parpol dan Golkar tidak berdaya.
Misalnya :
© 2003 Digitized by USU digital library
2
a. Membatasi kebebasan Parpol dan Golkar dalam melakukan aktivitasnya.
b. Membuat kekuasaan Partai menjadi kecil dan lemah.
c. Membuat fungsi. peran dan kekuasaan Presiden menjadi besar.
Oleh karena itu pasal ini harus dihapus atau dihilangkan.
5. Dengan kewenangan yang ada padanya Presiden/Mandataris Permusyawaratan
rakyat dapat membekukan Pengurus tingkat pusat Partai Politik dan Golongan
Karya yang temyata melakukan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan
pasal 4. pasal 7 huruf A, dan pasal 12 (pasal 14 ayat (I) UU No.3/1985).
Ketentuan yang terdapat pada pasal 14 ayat (I) UU No.3/1985). Ketentuan yang
terdapat pada pasal 14 ayat (1) ini menunjukkan tidak bijaksana dan banyak
terdapat kelemahannya, misalnya:
a. Memperlemah kedudukan dan posisi Parpol dan Golkar sebagai Infra struktur
politik.
b. Membuat kedudukan Supra Struktur politik khususnya Presiden menjadi kuat.
c. Bila suatu Parpol atau Golkar berkuasa dan memegang tampuk Pemerintahan
(Presiden) seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, maka Partai Politik atau
Golkar dapat mempercundangi, atau mengentak alih Pimpinan Partai yang
selalu mengkritik kelompok yang berkuasa melalui Presiden.
Hal ini akan berbahaya bagi stabilitas kedudukan dan perkembangan Partai
Politik atau Golkar. Oleh karena itu pasal ini harus dihapus.
Melihat pada pasal-pasal dari UU No.3 /1975 dan UU No. 3/1985 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya pada Orde Baru banyak terdapat kelemahan.
kekurangan. tidak adil dan tidak demokratis. rnaka UU No.3/1985 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya harus diganti secara total.
C. Jangan Mengulangi Penyakit Lama Dalam Merubah UU .
Undang-Undang No.3 Tabun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
harus diganti secara total karena Undang-undang tersebut tidak mencerminkan
keadilan, demokratis dan transparan dalam kehidupan Organisasi Sosial Politik di
Indonesia. Oleh karena itu perlu dibuat undang-undang yang baru tentang
Kepartaian di Indonesia sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Perlu disadari bahwa dalam membuat undang-undang kepartaian yang baru
itu jangan sampai terulang lagi penyakit dan kebiasaan lama yang terjadi pada masa
Pemerintahan Orde Baru, dalam membuat dan merubah undang-undang.
Bila ditelaah produk undang-undang yang dibuat pada rnasa pemerintahan
Orde Baru bahwa nampak undang-undang tersebut memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Kurang transparan, karena tidak tegas dan jelas.
2. Tidak adil, karena selalu menguntungkan satu pihak atau kelompok.
3. Tidak demokratis, karena selalu mempersempit ruang gerak masyarakat dan
infrastruktur.
4. Selalu memberikan peluang yang besar terhadap peran dan kekuasaan
Pemerintahan.
5. Pemerintah selalu mau menang sendiri.
Sebagai contoh ditelusuri 5 (lima) paket Undang-undang dalam bidang Politik dan
undang-undang tentang Pemerintahan di daerah.
1. Tentang Undang-undang Partai Politik dan Golongan Karya. Undang-undang No.3
tahun 1975 tentang Parpol dan Golkar jauh lebih transparan, adil dan demokratis
bila dibandingkan dengan UU No.3 Tahun 1985. Hal ini tampak secara jelas dari
pasal-pasal pada Undang-undang tersebut.
Pasal (1) Azas Politik dan Golongan Karya adalah Pancasila dan UUD 1945.
© 2003 Digitized by USU digital library
3
Pasal (2) Selain ketentuan tersebut daIam ayat (1) pasal ini, azas/ciri Partai
Politik dan Golongan Karya yang telah ada pada saat diundangkannya UU ini
adalah juga azas /ciri Partai Politik dan Golongan Karya.
Kemudian dalam perubahan UU tersebut menjadi UU No.3 Tahun 1985
menetapkan pasal2 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1). Partai Politik dan Golongan Karya berazaskan Pancasila sebagai
satu-satunya azas.
(2). Azas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah azas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara.
Dari pasal 2 ini dapat dipahami dan disimpulkan bahwa UU No.3 Tahun 1975
lebih demokratis karena memberikan kebebasan kepada Partai Politik dan
Golongan Karya untuk menambah azas lain dan ciri-ciri yang berbeda-beda,
sedangkan dalam UU No.3 Tahun 1975 Parpol dan Golkar tidak lagi diberikan
kebebasan daIam menentukan azas dan cirinya.
2. Tentang Undang-undang Pemilu, yaitu UU No.I5 Tahun 1969 jauh lebih
transparan, adil dan demokratis bila dibandingkan dengan UU No.4 Tahun 1975,
UU No.2 Tahun 1980 dan UU No.1 Tahun 1985. Sebagai contoh pada Pasal 2 ayat
(1) UU No. 15 Tahun 1969 menetapkan sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) Warganegara Republik Indonesia bekas anggota Organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk Organisasi
massanya atau yang terlibat langsung ataupun tak langsung
dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30 S/PKI" atau organisasi
terlarang lainnya tidak diberikan hak untuk memilih dan
dipilih.
Kemudian dalam perubahan UU tersebut menjadi UU No.4 Tabun 1975 menjadi
UU No.2 Tabun 1980, kemudian menjadi UU No.1 Tahun 1985 menetapkan
pasal2 ayat (1) sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) Warganegara Republik Indonesia bekas anggota Organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk Organisasi
Massanya atau yang terlibat langsung ataupun tak langsung
dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30 S/PKI” atau organisasi
terlarang lainnya tidak diberi hak untuk memilih dan dipilih,
kecuali
apabila
Pemerintah
mempertimbangkan
hak
memilihnya, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal2 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu jauh lebih jelas, tegas dan
transparan serta membuat pelaksanaan Pemilu menjadi jujur dan adil, tetapi
setelah dilakukan perubahan, maka UU tersebut menjadi tidak transparan, adil
dan demokratis karena Pemerintah diberi hak untuk menentukan penggunaan
hak pilih dari warga negara RI bekas organisasi terlarang seperti yang
dituangkan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas. Dengan sendirinya Pemilu
dilaksanakan tidak lagi LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) dan
JURDIL (Jujur dan Adil).
3. Tentang Undang-undang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, yaitu UU No. 16
Tahun 1969, UU No.5 Tahun 1975, dan UU No.2 Tahun 1985 tentang susunan
dan Kedudukan MPR/DPR dan DPRD. Sarna sekali tidak adil, tidak demokratis,
tidak transparan.
Sebagai Contoh:
Adanya anggota tambahan di MPR yang diangkat bukan melalui hasil Pemilihan
Umum, tetapi ditentukan oleh Pejabat yang berwenang. Demikian pula untuk
anggota DPR, ada sebahagian anggota DPR yang diangkat bukan melalui hasil
Pemilu, tetapi ditunjuk oleh pejabat tertentu. Ini menunjukkan bahwa anggota
DPR dan MPR yang merupakan wakil rakyat sulit untuk diterima sebagai wakil
© 2003 Digitized by USU digital library
4
rakyat karena tidak semuanya dipilih oleh rakyat melalui Pemilu. Bagi anggota
DPR dan MPR yang diangkat oleh pejabat yang berwenang berarti mereka
merupakan wakil Pejabat yang mengangkatnya, bukan wakil rakyat. Hal ini tentu
sangat tidak adiI, dan tidak demokratis. Agar supaya DPR dan MPR tersebut
benar-benar merupakan lembaga Perwakilan Rakyat, maka semua anggota DPR
dan MPR harus dipilih oleh rakyat secara langsung. Oleh karena itu Undangundang No.1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum harus direvisi sesuai dengan
tuntutan masyarakat.
4. Undang-undang No.5 Tahun 1985 tentang Referendum.
Undang-undang tentang Referendum ini sangat bertentangan dengan Pasal 37
ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37 (1). Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah
anggota yang hadir.
(2). Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
daripada jumlah anggota yang hadir.
Pasal 37 ayat (1) dan (2) ini sudah cukupjelas, hal ini sudah dinyatakan dalarn
penjelasan UUD 1945. Berdasarkan Pasal 37 tersebut, maka MPR mempunyai hak
dan wewenang penuh untuk mengubah UUD. tidak lagi harus meminta pendapat
rakyat melalui Referendum, karena MPR itu sudah dianggap sebagai penjelmaan
rakyat yang memegang kedaulatan negara. Oleh karena UU No.1 Tahun 1985
tentang Referendum bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945) dan harus
dihapus.
Pasal 37 ini dapat diperbandingkan dengan pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Menurut
Pasal 6 ayat (2), Presiden daD Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
dengan
suara
terbanyak.
Mengapa
dalam
melaksanakan Pasal 6 ayat (2) ini MPR tidak melakukan Referendum meminta
pendapat rakyat). Oleh karena itu untuk melaksanakan Pasal 37, MPR dapat
melakukannya sesuai dengan pelaksanaan Pasal 6 ayat (2) selama ini.
5. Undang-undang No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Bila ditelaah isi (pasal-pasal) yang terdapat pada Organisasi Kemasyarakatan
yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru tidak jauh berbeda dengan UU tentang
Parpol dan Golkar. Dimana orang dibatasi tingkat kebebasannya dan ruang
geraknya. Peranan dan campur tangan Pemerintah terhadap aktivitas Ormas
terlalu besar. Sehingga UU No.8 Tahun 1985 tentang Orrnas tersebut nampak
tidak adil, tidak demokratis, dan tidak transparan. Oleh karena itu perlu ditinjau
dan direvisi kembali.
6. Undang-undang No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah.
Sama halnya dengan 5 (lima) paket Undang-undang di bidang Politik, dimana UU
tentang Pemerintahan di daerah yang sudah 4 (empat) kali mengalami
perubahan yaitu 1, UU No. 22 Tahun 1948, diganti dengan UU No.1 Tahun 1957,
diubah lagi menjadi UU No.5 Tahun 1974.
Setiap kali melakukan percobaan, UU tentang Pemerintahan di Daerah tersebut
menjadi tidak demokratis. Wewenang dan kebebasan Daerah semakin dibatasi.
Sebaliknya wewenang dan kekuasaan pusat semakin besar. Oleh karena itu UU
No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah perlu direvisi sesuai dengan
tuntutan masyarakat di daerah.
D. Hal-hal Yang Perlu Diatur Dalam UU Kepartaian di Indonesia
1. Tentang Sistem Kepartaian dan Jumlah Kepartaian.
a. Indonesia harns menganut sistem banyak partai (Multi Party System), karena
masyarakat Indonesia heterogen baik dari aspek agama, budaya, geografi,
© 2003 Digitized by USU digital library
5
ethnisitas, dll. Diharapkan melalui sistem banyak partai aspirasi kelompok
masyarakat akan terwakili.
b. Perlu dilakukan pembatasan jumlah partai di dalam sistem banyak partai
(Multi party System), karena bila jumlah partai terlalu banyak akan mudah
terjadi hal-hal yang berdampak negatif, seperti:
1) Disintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara
semakin tinggi.
2) Sulit terbentuknya Partai Mayoritas.
3) Sulit membentuk Koalisi dalam Pemerintahan
4) Primordialisme dan Nepotisme akan semakin tinggi.
c. Jumlah Partai dalarn sistem banyak partai cukup lima saja, hal ini sesuai
dengan ideologi negara, sesuai dengan agama yang diakui di Indonesia,
sesuai dengan ethnis yang menempati pulau-pulau besar di Indonesia yang
mewarnai kondisi pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya. Melalui lima partai
ini diharapkan aspirasi kelompok masyarakat akan tertampung, dan integrasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara akan mudah
terwujud.
2. Tentang Azas, Tujuan dan Program Partai Politik.
a. Semua partai Politik harus menggunakan Pancasila sebagai azasnya dan
boleh ditambah dengan azas lain yang menurut Misi Pancasila. Tujuannya
adalah apabila Partai yang menang dengan menguasai Pemerintahan tidak
merubah-ubah sendi-sendi Pemerintahan. Oleh karena itu, setiap Partai
Politik yang ada di Indonesia mempunyai azas yang sama.
b. Tujuan partai politik, tujuan partai Politik di Indonesia ini juga diharapkan
sama dan dianjurkan sesuai dengan tujuan Negara dan Pemerintah yang
terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Bila masing-masing Parpol
mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan negara dan pemerintah, maka
setiap kali berganti penguasa didalam pemerintahan tujuannya akan sama,
maka akan terjadi kesinarnbungan pelaksanaan pembangunan.
c. Program partai Politik dalam mencapai tujuannya tidak perlu di atur sama.
Kepada setiap Parpol diberikan kebebasan dalarn menentukan dan membuat
serta mengembangkan programnya (Flatform).
3.Tentang Keanggotaan dan Kepengurusan Partai Politik
a. Keanggotaan Partai Politik
1) Setiap Warganegara bebas untuk menjadi anggota dalam suatu Partai
Politik.
2) Setiap Partai Politik bebas untuk merekrut anggota masyarakat menjadi
anggota tetap partainya, dalam rangka Pengkaderan Pengurus Partai.
3) Pegawai Negeri tidak boleh terikat atau menjadi anggota tetap dari Partai
Politik, karena hal ini akan mengganggu tugas pokoknya sebagai aparatur
negara.
4) Setiap anggota ABRI tidak boleh terikat dan menjadi anggota tetap dari
suatu Partai Politik, namun anggota ABRI dapat menjadi simpatisan dan
memberikan suaranya kepada Partai Politik tertentu dalam pemilihan
umum.
5) Setiap Warga negara termasuk Pegawai Negeri dan ABRI dapat menjadi
simpatisan atau menjadi pendukung suatu Partai Politik.
6) Semua Partai Politik harus menerapkan sistem Massa Mengarnbang (Floating
Mass), dimana anggota masyarakat tidak menjadi anggota tetap dari suatu
Partai Politik, tetapi di dalarn pemilihan umum dapat memberikan suaranya
kepada partai tertentu yang ia sukai dalam Pemilihan Umum.
b. Kepengurusan Partai Politik.
© 2003 Digitized by USU digital library
6
1) Kepengurusan Partai Politik ditetapkan oleh Partai Politik sendiri secara
bebas.
2) Partai Politik tidak dibolehkan merekrut atau mendaftarkan Organisasi
Kemasyarakatan menjadi pendukung partainya.
3) Rekruitmen yang dilakukan oleh Partai Politik pada suatu masyarakat atau
organisasi tertentu adalah individunya bukan organisasinya.
4) Pegawai Negeri Sipil dan ABRI tidak boleh menjadi pengurus dari suatu
Partai Politik, kecuali bila sudah berhenti atau meminta berhenti dari
Pegawai Negeri Sipil atau ABRI.
5) Pengurus Partai Politik yang menduduki atau yang memegang jabatan politis
dalam pemerintahan tidak boleh menilai atau menentukan jabatan karir
sekarang.
4. Tentang Kedudukan Partai Politik
a. partai Politik harus bebas dari campur tangan Pemerintah artinya Parpol itu
bersifat Independent.
b. Partai Politik harus dipisahkan dengan birokrasi secara nyata atau jelas.
Sehingga ada pemisahan yang jelas antara Pejabat Politis yang diangkat
berdasarkan kekuatan politik dengan pejabat birokrat yang diangkat
berdasarkan karir.
5. Tentang Hak dan Wewenang Partai Politik.
a. Setiap Partai Politik yang menang dalam Pemilihan Umum berhak
mencalonkan Ketua atau Pengurus partainya menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
b. Setiap Partai Politik yang menang dalam Pemilihan Umum berhak
mencalonkan orang-orang partainya menjadi anggota Kabinet.
c. Setiap Partai Politik yang menang dalam Pemilihan Umurn pada tingkat Daerah
Tingkat I atau II berhak mencalonkan orang-orangnya menjadi Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
d. Setiap Partai Politik yang tidak duduk dalam pemerintahan berwenang untuk
melakukan kritik terhadap pemerintah.
e. Setiap Partai Politik memeiliki wewenang untuk mengambil jalannya roda
pemerintahan di luar DPR sebagai anggota DPR.
6. Tentang Larangan Terhadap partai Politik.
a. Partai Politik tidak boleh mendudukkan atau mengangkat orang-orang
Partainya pada jabatan birokrasi.
b. Pejabat politis di Pemerintahan tidak dibolehkan mengangkat orang-orang
partai pada jabatan birokrasi.
Penutup
1. Untuk membuat UU tentang kepartaian yang baru dan bersifat adil, demokratis
dan transparan, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang
tentang Pemilihan Umurn, undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR dan DPRD, Undang-undang tentang Referendum, Undang-undang tentang
Organisasi Kemasyarakatan, dan termasuk Undang-undang tentang Pemilihan
Daerah.
2. Perubahan terhadap 5 (lima) paket UU tersebut (pemilu, Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD, Referendum, Organisasi Kemasyarakatan dan
Pemerintahan di Daerah) harus disesuaikan dengan Undang-undang tentang
Kepartaian.
© 2003 Digitized by USU digital library
7
DAFTAR BACAAN
Amal, Ichlasul. 1998. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Miriam, Budiardjo. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia. Jakarta.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor: 3 tahun 1975. Tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Undang-Undang Nomor: 3 tahun 1985. Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor3 Tabun 1975.
Undang-Undang Nomor: 1 tahun 1985. Tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor: 2 tahun 1985. Tentang Susunan dan Kedudukan
MPR/DPR.
© 2003 Digitized by USU digital library
8