Undang undang Zakat di Indonesia
Zakat : Tinjauan Historis& Perundang-undangan di Indonesia
Dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester I
Mata kuliah : Ekonomi Islam
Zakat merupakan ibadah yang wajib dikerjakan oleh setiap umat Islam, sepanjang
memenuhi syarat kriteria kewajiban berzakat. Zakat adalah ibadah yang bertujuan untuk
membersihkan atau mensucikan harta kekayaan yang dimiliki oleh setiap umat Islam. Apabila
ditinjau dari sifatnya, ada yang bersifat pembersihan jiwa seorang muslim tanpa terkecuali, yang
wajib kita keluarkan pada saat selesai bulan Ramadhan, yaitu zakat fitrah. Dan kedua, adalah
yang bersifat pembersihan harta yang diwajibkan untuk kalangan tertentu, yang terikat oleh
jumlah dan waktunya, atau biasa disebut zakat maal. Contoh dari zakat tipe kedua ini adalah
zakat harta kekayaan, zakat emas, zakat harta temuan, zakat pertanian atau peternakan. 1
Secara historis, zakat bermula berupa infak yang harus dikeluarkan kepada fakir miskin
dan demi kepentingan pembelaan agama pada masa awal-awal berkembangnya Islam. Al Quran
berisi wahyu yang mewajibkan bagi setiap umat Islam untuk memberikan sedekah (pemberian
yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun di kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk
membayar zakat. 2
Menurut Al-Furqon Hasbi dalam bukunya “125 Masalah Zakat” disebutkan bahwa awal
Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, zakat belum dijalankan. Pada waktu itu, Nabi Muhammad,
para sahabat, serta kaum muhajirin yang turut hijrah bersama Nabi dari Mekah ke Madinah
masih disibukkan dengan usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya di tempat baru tersebut.
Saat itu, tidak semua orang mempunyai kecukupan dalam perekonomian, kecuali Usman bin
Affan, karena harta kekayaan semua mereka tinggalkan di Mekah ketika hijrah. 3
Kaum Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan
para sahabat yang berhijrah dari Mekah, pada saat itu menyambut dan memberikan
1 Sumber : http://pusat.baznas.go.id/zakat-peternakan/
2 Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat
3 Sebagaimana disebutkan dalam ulasan Republika di tautan http://www.republika.co.id/berita/ensiklopediaislam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat
keramahtamahan yang luar biasa, namun bukan lah adat orang Arab pada saat itu untuk
membebani orang lain. Itu pula sebabnya mereka bekerja keras agar bisa memperoleh kehidupan
yang baik.
Kebetulan, kaum Muhajirin yang mengikuti Nabi berhijrah kebanyakan adalah ahli
berdagang. Dikisahkan, pada suatu hari Saad bin ArRabi menawarkan hartanya kepada
Abdurrahman bin Auf, tapi Abdurahman menolaknya, dan sebaliknya ia hanya minta
ditunjukkan jalan ke pasar. Ternyata sesampai di pasar, Abdurrahman mulai berdagang mentega
dan keju, dan dalam waktu tidak terlalu lama perdagangannya semakin maju dan ia menjadi kaya
kembali sebagaimana sewaktu di Mekah. Kesukaan orang Mekah pada perdagangan ini sampai
diungkapkan dalam Al Quran yaitu antara lain di Surat An Nur ayat 37 :
“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah,
melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan
penglihatan menjadi guncang (hari kiamat).”
Pada saat itu, tidak semua orang Muhajirin mencari nafkah dengan berdagang, sebagian
ada yang menggarap tanah milik orang-orang Anshor. Tidak sedikit pula yang mengalami
kesulitan dalam hidupnya. Untuk mereka yang mengalami kesulitan perekonomian tersebut,
Nabi menyediakan tempat berupa sebuah shufa (bagian masjid yang beratap) sebagai tempat
tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa (penghuni shuffa). Untuk
mencukupi kebutuhan para ahlush shuffa ini kaum Muhajirin maupun Anshor yang mampu
membantu berupa sedekah. 4
Ketika para ahlush shuffa ini mulai meningkat kehidupannya maka pada saat itu pula
mulai keluar perintah untuk berzakat. Zakat ini pada mulanya berupa infaq yang harus
dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin dan kepentingan pembelaan agama. Sementara
jumlah banyak dan sedikitnya sendiri tidak atau belum ada batasan. Baru pada tahun ke dua
setelah Hijrah, zakat kemudian dijadikan pokok ibadah yang harus dilakukan oleh setiap muslim
apabila telah memiliki harta pada batas-batas yang ditetapkan, sebagaimana tertera di dalam AlQur'an surah Al-Baqarah ayat 267, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
4 Ibid.
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian
dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."
Selain itu Al Quran surah al-Baqarah ayat 277, juga menyebutkan tentang zakat, yang artinya
kurang lebih sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh lagi mendirikan shalat dan
membayar zakat, untuk mereka itu pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa ketakutan
atas mereka dan tiada rasa berduka cita bagi mereka.”
Setelah turunnya ayat ini, kewajiban zakat juga kemudian dirinci lagi melalui ayat-ayat yang
turun kemudian, dan juga melalui penjelasan dari Nabi, sehingga kewajiban zakat menjadi
semakin jelas.
Dilihat dari pembahasan fiqih tentang basis-basis keuangan Islam, zakat dan sedekah
digunakan secara bergantian. Namun jika melihat kata zakat, yang berasal dari bahasa Arama,
memiliki arti yang lebih spesifik daripada sedekah (shadaqah) –yang diberikan dengan sukarela
—dan secara tidak langsung mengungkapkan pemberian yang bersifat amaliah umum.5
Secara terminologis, zakat merupakan bagian dari harta yang wajib dibayarkan oleh
setiap muslim yang memenuhi syarat, untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya menurut ajaran Islam. Kewajiban zakat sangat fundamental, dan berkaitan erat
dengan aspek-aspek ketuhanan maupun sosial ekonomi. Secara sederhana, zakat menurut
pengertian secara istilah syar'i adalah kadar harta yang tertentu, diberikan kepada yang berhak
menerimanya dengan syarat-syarat tertentu pula.6
5Irfan Mahmud Ra’ana, System Ekonomi Pemerintahan umar Ibn al-Khatab, terj. Mansuruddin Djoely, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1990, hlm: 75
6 ibid
Dalam Al Quran, posisi zakat dan sholat dianggap hampir sama pentingnya. Kita bisa
melihat ini dari 30 ayat yang dalam Quran yang menyebut tentang zakat, ada 27 ayat diantaranya
dimana kewajiban berzakat disebutkan bersama-sama dengan kewajiban sholat. Kita lihat
misalnya
surah
al-Baqarah
[2]:
83,
110; An-Nisa[4]:77; At-Taubah
[9]:5,11,18,71;
Maryam[19]:31,55; Al-Anbiya[21]: 73; Al-Hajj[22]:41; An-Nur[24]:55-56; An-Naml[27]:3; dan
Lukman[31]:4). Nabi pun menegaskan bahwa zakat merupakan kewajiban yang termasuk pada
pilar utama yang menegakkan rukun Islam. Sabda Nabi Muhammad tentang hal ini yaitu sesuai
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim :
"Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, Engkau
mengerjakan
Shalat,
membayar
zakat,
dan
Shaum
di
bulan
Ramadhan"
Tidak terdapat informasi yang jelas apakah sebelum datangnya Islam di jazirah Arab
pernah ada pajak atau pungutan yang berbentuk seperti zakat.
Dalam teori sosiologi, kemiskinan akan berakibat keresahan jika terjadi dalam situasi
yang berhadapan secara kontras dengan kemewahan. Oleh sebab itu Islam tidak melarang
umatnya untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya asalkan ia mampu menjaga kestabilan
kondisi sosial (mencegah terjadinya social unrest) yakni dengan mendistribusikan kekayaannya
kepada orang yang kurang beruntung. Atau dengan kata lain, kekayaan yang berhasil
dikumpulkan oleh umat Islam tersebut mengandung suatu hak kaum lain yang mana wajib
atasnya untuk dikeluarkan, yaitu hak para mustahik zakat, terutama fakir miskin. Di bawah ini
adalah golongan mereka yang berhak menerima zakat :
1. Fakir; mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokok hidup
2. Miskin; mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
dasar untuk hidup
3. Amil; mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat
4. Mu’allaf; mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
5. Hamba sahaya; budak yang memerdekakan dirinya
6. Gharimin; mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk
memenuhinya
7. Fisabilillah; mereka yang berjuang di jalan Allah, melalui perang, dakwah, dan
sebagainya
8. Ibnu Sabil; mereka yang kehabisan biaya di tengah perjalanan7
Dengan melihat tujuan zakat dan faktor terjadinya permasalahan hubungan sosial, maka
jelas bahwa kedudukan zakat dalam Islam, selain fungsi religius sebagai tempat membuktikan
ketaqwaan terhadap aturan-aturan Allah SWT., zakat juga mempunyai fungsi sosiologis yaitu
menetralisis hal-hal yang menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan kehidupan bermasyarakat
yaitu faktor kesejahteraan masyarakat.
Zakat juga mengarahkan umat Islam ke arah yang lebih mulia, yaitu dengan kekuatan
ekonomi yang dibangun dari kesadaran berzakat umat, maka umat Islam telah menguatkan
agama dan saudara sesama muslim. Laik jika kemudian Nabi Muhammad Rasulallah SAW
menganjurkan kepada para amil zakat atau siapapun yang menerima harta zakat, untuk
mendoakan mereka dengan sholawat, doa yang sama yang diucapkan untuk Nabi.
Perundang-undangan Zakat di Indonesia
Sejak Islam datang ke tanah air kita, zakat telah menjadi satu sumber dana untuk
kepentingan pengembangan agama Islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia menentang
penjajahan Barat pendahulu, zakat merupakan sumber dana perjuangan ketika satu persatu tanah
air kita dikuasai oleh penjajah Belanda. Pemerintah Kolonial itu mengeluarkan Bijblad Nomor
1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai zakat.
Yang menjadi pendorong pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah alasan klasik rezim
kolonial yaitu mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para penghulu atau naib
bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan pemerintah Belanda, tapi tidak diberi gaji
atau tunjangan untuk membiayai hidup dan kehidupan mereka beserta keluarganya. Dan untuk
melemahkan (dana) kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu. Pemerintah Hindia Belanda
7 Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat
melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan
zakat.8
Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat mulai meningkat pada tahun 1968. Pada
tahun itu, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 / 1968.
Masing-masing tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan pembentukan Baitul Mal ( Balai
Harta Kekayaan ) di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya. Setahun sebelumnya,
yakni pada tahun 1967, pemeritah telah pula menyiapkan RUU zakat yang akan diajukan kepada
DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Menteri Keuangan, pada waktu itu, dalam
jawabannya kepada Menteri Agama, menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu
dituangkan dalam undang-undang, cukup dengan peraturan Menteri Agama saja. Karena
pendapat itu, Menteri menunda pelaksanaan peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun
1968 tersebut di atas. Kemudian beberapa hari setelah itu, pada peringatan Isra’ dan Mi’raj di
Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968, Presiden Soeharto manganjurkan untuk menghimpun
zakat secara sistematis dan terorganisasi seperti Badan Amil Zakat Nasional yang dipelopori oleh
Pemerintah Daerah khusus Ibukota Jakarta.Dengan di pelopori Pemerintah Daerah DKI Jaya
yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, berdirilah di Ibukota ini Badan Amil
Zakat, Infak dan Sedekah (disingkat BAZIS ). Pada tahun 1968 yang terbentuk diberbagai
daerah.9
Sebagaimana dilansir dalam situs resmi Baznas, sejak tahun 1964 Indonesia telah
memulai penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Zakat, dan rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pelaksanaan Pengumpulan Pembagian
Zakat serta pembentukan Baitul Maal. Namun pada saat itu proses penyusunan rancangan UU
tersebut berhenti di tengah jalan karena situasi politik dan Negara yang tidak memungkinkan.10
Pada masa Orde Baru, rancangan UU tentang Zakat diajukan oleh Menteri Agama pada
saat itu KH M Dachlan kepada Pemimpin DPR-GR tahun 1967, namun upaya tersebut gagal
karena tidak tercapai kesepakatan dengan menteri keuangan Frans Seda, yang berpendapat
bahwa zakat tidak perlu diatur dalam undang-undang.
8 Sumber : http://konsultasi-hukum-online.com/2013/07/sejarah-perkembangan-zakat-di-indonesia/
9 Ibid.
10 Sumber : http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/peran-parlemen-ri-dalam-penguatan-institusi-zakat/
Baru pada masa pemerintahan BJ Habibie lahirlah UU Pengelolaan Zakat. Menteri
Agama pada saat itu yaitu Malik Fajar mengajukan UU ini kepada Ketua DPR-MPR saat itu
yaitu Harmoko. Perjalanan panjang UU Pengelolaan Zakat mencapai babak baru ketika pada 27
Oktober 2011 Rapat Paripurna DPR-RI mensahkan RUU Pengelolaan Zakat Infak dan Shadaqah
menjadi Undang-Undang Pengelolaan Zakat sebagai pengganti UU no.38 tahun 1999.
Pengelolaan zakat secara terlembaga di Indonesia terhitung sejak berdirinya Bazis DKI
pada tahun 1968, yang kemudian disusul pula oleh banyak lembaga serupa. Peran lembagalembaga ini tidak hanya mengumpulkan zakat, namun juga sebagai agen-agen untuk sosialisasi
zakat yang dilakukan secara terorganisir dan massif.
Namun lahirnya UU Pengelolaan Zakat ini bukannya tanpa kontroversi. Sebagian pihak
menganggap UU ini terlalu sentralistik dalam pelaksanaannya. Sebagian lembaga amil zakat
(LAZ) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Zakat mengajukan permohonan uji materi
terhadap UU Pengelolaan Zakat ini. UU ini digugat ke Mahkamah Konstitusi karena tiga hal
yaitu :
1. Pertama, terkait masalah sentralisasi dalam pengelolaan zakat dimana pasal 6 dan pasal
17 UU ini menyatakan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) lah yang berhak mengelola
zakat di tanah air, sementara posisi LAZ hanya untuk membantu Baznas.
2. Kedua, terkait dengan pembatasan pembentukan LAZ dimana pasal 18 ayat 2 UU zakat
menyatakan LAZ hanya bisa berdiri di atas badan hukum organisasi kemasyarakatan
(ormas), padahal banyak LAZ yang telah lama berdiri melalui badan di luar ormas.
3. Ketiga, terkait masalah kriminalisasi amil (pengelola) zakat dimana pasal 38 UU zakat
menyatakan hanya pihak yang mendapat izin dari pejabat yang berwenang yang dapat
mengelola zakat. Padahal kenyataannya banyak pengelolaan zakat di seluruh institusi
Islam seperti di masjid-masjid, atau mushala-mushala.11
Dalam kesempatan seminar membahas UU Pengelolaan Zakat tahun 2011 ini, Ketua
Panja UU Zakat yaitu H. Gondo Radityo mengungkapkan bahwa UU zakat ini mempunyai
beberapa pesan dan muatan. Yang pertama, secara konstitusional, bahwa UU Pengelolaan Zakat
sesuai dengan UUD RI tahun 1945 pasal 20, 21, 29, dan 34 ayat 1. Kedua, secara ideologis,
bahwa Negara berkewajiban menata dan mengatur tata laksana dalam rangka peningkatan
11 Sumber : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/361993-mk-gelar-sidang-uji-materi-uu-pengelolaan-zakat
kualitas umat melalui pengelolaan zakat yang efektif dan efisien. Ketiga, secara filosofis, UU
Pengelolaan Zakat ini bertujuan memotong mata rantai kemiskinan. Keempat, secara sosiopolitik, UU ini hendak mendorong adanya integrasi, sinergi dan koordinasi yang jelas dalam
pengelolaan dana zakat dan dana sosial keagamaan lainnya, serta dapat terpadu dari pusat sampai
daerah sehingga menciptakan program-program tepat sasaran, jumlah, dan waktu bagi para
mustahik zakat.12 Dalam UU zakat tahun 2011 ini pula tercetus usulan adanya zakat sebagai
unsur pengurang pajak.
Mengenai zakat sebagai pengurang pajak, Prof Dr Didin Hafidudin mengatakan bahwa 13 :
Setiap muzaki yang melakukan pembayaran zakat melalui Badan Amil Zakat (menurut
nomenklatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 berubah menjadi BAZNAS,
BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
teregistrasi mendapat insentif dalam kaitan dengan pembayaran pajak penghasilan, yaitu bukti
pembayaran zakat atau disebut Bukti Setoran Zakat diperhitungkan sebagai komponen biaya
yang menjadi pengurang penghasilan kena pajak atau disebut “pengurang penghasilan bruto”.
Pembayaran
zakat
atas
gaji
karyawan
melalui
Unit
Pengumpul
Zakat
(UPZ)
Kementerian/Lembaga dan BUMN baik dilakukan secara tunai maupun payroll system juga
diakomodasi sebagai pengurang penghasilan kena pajak, dengan syarat UPZ tersebut
menyetorkan dana zakat yang terkumpul kepada BAZNAS dan atas dasar itu BAZNAS
menerbitkan kwitansi bukti setoran zakat.Terkait dengan itu, dalam Undang-Undang tentang
Pengelolaan Zakat (UU No 23 Tahun 2011) bahwa BAZ atau LAZ wajib memberikan bukti
setoran zakat kepada setiap muzaki. Bukti setoran zakat tersebut digunakan sebagai pengurang
penghasilan bruto dalam pengisian SPT tahunan.Pembayaran zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak (penghasilan bruto) telah berlaku sejak 2001. Namun sampai saat ini
masih banyak Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam atau pembayar zakat (muzaki)
yang belum memanfaatkan pengurangan penghasilan bruto atas Pajak Penghasilan (PPh)
tersebut. Untuk itu amil zakat dan pegawai pajak di semua kantor pelayanan diharapkan dapat
memberi
informasi
dan
penjelasan
kepada
para
muzaki
dan
Wajib
Pajak
yang
dilayaninya.Penting diketahui bahwa pengurang penghasilan bruto sebetulnya tidak hanya zakat
atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam, tetapi
12 Notulensi Diskusi UU Zakat, tanggal 24 November 2011, di dalam tautan :
http://imz.or.id/new/uploads/2011/11/Notulensi-Diskusi-UU-Zakat-FOZ-24-November-2011.pdf
13 Sumber : http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/zakat-sebagai-pengurang-penghasilan-kena-pajak/
juga berlaku untuk zakat penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan atau lembaga zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.
Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku di negara kita, khususnya yang terkait dengan
PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 bahwa zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib dikurangkan dari penghasilan bruto. Kebijakan Ditjen Pajak juga
menetapkan bahwa terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang ketika penyampaian SPT Tahunan
PPh yang menyatakan kelebihan bayar (termasuk lebih bayar karena pemotongan zakat), niscaya
akan dilakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajaknya tanpa melalui pemeriksaan, tetapi
cukup dengan penelitian oleh pegawai pajak.
Upaya mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan bruto, tidak cukup hanya
dilakukan oleh BAZNAS dan Kementerian Agama saja. Tetapi membutuhkan koordinasi,
kerjasama dan sinergi dengan instansi terkait, terutama jajaran Direktorat Jenderal Pajak.
Koordinasi, kerjasama dan sinergi itulah yang ke depan perlu dibangun di tingkat institusi,
karena bagi umat Islam zakat dan pajak adalah dua kewajiban yang seiring dan paralel.
Potensi zakat yang sangat besar untuk kemajuan umat Islam dan rakyat Indonesia secara
keseluruhan sudah seharusnya dikelola dengan baik agar dapat digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Potensi zakat di Indonesia per tahun, sekitar 217 triliun Rupiah
menurut Aida S. Budiman – Direktur Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia. 14
Namun dari nilai tersebut hanya sekitar 2,7 triliun Rupiah saja potensi zakat yang berhasil
diserap oleh Baznas beserta lembaga amil zakat lain di seluruh Indonesia. Penyerapan itupun
sebagian besar habis untuk membeli sembako saja, padahal masih banyak program jangka
panjang yang bisa didanai dengan dana zakat contohnya untuk dana pendidikan.
Sebagai penutup kami simpulkan bahwa zakat dalam Islam selain memiliki fungsi
religious sebagai symbol ketaatan kepada Allah SWT juga berfungsi sosiologis yaitu sebagai
pemerataan pendistribusian harta kepada kaum yang tidak mampu. Potensi zakat yang begitu
14 Sumber : http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/10/29/potensi-zakat-di-indonesia-mencapai-rp-217-triliun
besar membutuhkan pengelolaan yang benar, sehingga harus didukung oleh Negara dalam
bentuk menyediakan peraturan perundang-undangan yang baik, serta sosialisasi zakat sebagai
pengurang pajak harus semakin ditingkatkan.
Dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester I
Mata kuliah : Ekonomi Islam
Zakat merupakan ibadah yang wajib dikerjakan oleh setiap umat Islam, sepanjang
memenuhi syarat kriteria kewajiban berzakat. Zakat adalah ibadah yang bertujuan untuk
membersihkan atau mensucikan harta kekayaan yang dimiliki oleh setiap umat Islam. Apabila
ditinjau dari sifatnya, ada yang bersifat pembersihan jiwa seorang muslim tanpa terkecuali, yang
wajib kita keluarkan pada saat selesai bulan Ramadhan, yaitu zakat fitrah. Dan kedua, adalah
yang bersifat pembersihan harta yang diwajibkan untuk kalangan tertentu, yang terikat oleh
jumlah dan waktunya, atau biasa disebut zakat maal. Contoh dari zakat tipe kedua ini adalah
zakat harta kekayaan, zakat emas, zakat harta temuan, zakat pertanian atau peternakan. 1
Secara historis, zakat bermula berupa infak yang harus dikeluarkan kepada fakir miskin
dan demi kepentingan pembelaan agama pada masa awal-awal berkembangnya Islam. Al Quran
berisi wahyu yang mewajibkan bagi setiap umat Islam untuk memberikan sedekah (pemberian
yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun di kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk
membayar zakat. 2
Menurut Al-Furqon Hasbi dalam bukunya “125 Masalah Zakat” disebutkan bahwa awal
Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, zakat belum dijalankan. Pada waktu itu, Nabi Muhammad,
para sahabat, serta kaum muhajirin yang turut hijrah bersama Nabi dari Mekah ke Madinah
masih disibukkan dengan usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya di tempat baru tersebut.
Saat itu, tidak semua orang mempunyai kecukupan dalam perekonomian, kecuali Usman bin
Affan, karena harta kekayaan semua mereka tinggalkan di Mekah ketika hijrah. 3
Kaum Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan
para sahabat yang berhijrah dari Mekah, pada saat itu menyambut dan memberikan
1 Sumber : http://pusat.baznas.go.id/zakat-peternakan/
2 Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat
3 Sebagaimana disebutkan dalam ulasan Republika di tautan http://www.republika.co.id/berita/ensiklopediaislam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat
keramahtamahan yang luar biasa, namun bukan lah adat orang Arab pada saat itu untuk
membebani orang lain. Itu pula sebabnya mereka bekerja keras agar bisa memperoleh kehidupan
yang baik.
Kebetulan, kaum Muhajirin yang mengikuti Nabi berhijrah kebanyakan adalah ahli
berdagang. Dikisahkan, pada suatu hari Saad bin ArRabi menawarkan hartanya kepada
Abdurrahman bin Auf, tapi Abdurahman menolaknya, dan sebaliknya ia hanya minta
ditunjukkan jalan ke pasar. Ternyata sesampai di pasar, Abdurrahman mulai berdagang mentega
dan keju, dan dalam waktu tidak terlalu lama perdagangannya semakin maju dan ia menjadi kaya
kembali sebagaimana sewaktu di Mekah. Kesukaan orang Mekah pada perdagangan ini sampai
diungkapkan dalam Al Quran yaitu antara lain di Surat An Nur ayat 37 :
“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah,
melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan
penglihatan menjadi guncang (hari kiamat).”
Pada saat itu, tidak semua orang Muhajirin mencari nafkah dengan berdagang, sebagian
ada yang menggarap tanah milik orang-orang Anshor. Tidak sedikit pula yang mengalami
kesulitan dalam hidupnya. Untuk mereka yang mengalami kesulitan perekonomian tersebut,
Nabi menyediakan tempat berupa sebuah shufa (bagian masjid yang beratap) sebagai tempat
tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa (penghuni shuffa). Untuk
mencukupi kebutuhan para ahlush shuffa ini kaum Muhajirin maupun Anshor yang mampu
membantu berupa sedekah. 4
Ketika para ahlush shuffa ini mulai meningkat kehidupannya maka pada saat itu pula
mulai keluar perintah untuk berzakat. Zakat ini pada mulanya berupa infaq yang harus
dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin dan kepentingan pembelaan agama. Sementara
jumlah banyak dan sedikitnya sendiri tidak atau belum ada batasan. Baru pada tahun ke dua
setelah Hijrah, zakat kemudian dijadikan pokok ibadah yang harus dilakukan oleh setiap muslim
apabila telah memiliki harta pada batas-batas yang ditetapkan, sebagaimana tertera di dalam AlQur'an surah Al-Baqarah ayat 267, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
4 Ibid.
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian
dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."
Selain itu Al Quran surah al-Baqarah ayat 277, juga menyebutkan tentang zakat, yang artinya
kurang lebih sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh lagi mendirikan shalat dan
membayar zakat, untuk mereka itu pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa ketakutan
atas mereka dan tiada rasa berduka cita bagi mereka.”
Setelah turunnya ayat ini, kewajiban zakat juga kemudian dirinci lagi melalui ayat-ayat yang
turun kemudian, dan juga melalui penjelasan dari Nabi, sehingga kewajiban zakat menjadi
semakin jelas.
Dilihat dari pembahasan fiqih tentang basis-basis keuangan Islam, zakat dan sedekah
digunakan secara bergantian. Namun jika melihat kata zakat, yang berasal dari bahasa Arama,
memiliki arti yang lebih spesifik daripada sedekah (shadaqah) –yang diberikan dengan sukarela
—dan secara tidak langsung mengungkapkan pemberian yang bersifat amaliah umum.5
Secara terminologis, zakat merupakan bagian dari harta yang wajib dibayarkan oleh
setiap muslim yang memenuhi syarat, untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya menurut ajaran Islam. Kewajiban zakat sangat fundamental, dan berkaitan erat
dengan aspek-aspek ketuhanan maupun sosial ekonomi. Secara sederhana, zakat menurut
pengertian secara istilah syar'i adalah kadar harta yang tertentu, diberikan kepada yang berhak
menerimanya dengan syarat-syarat tertentu pula.6
5Irfan Mahmud Ra’ana, System Ekonomi Pemerintahan umar Ibn al-Khatab, terj. Mansuruddin Djoely, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1990, hlm: 75
6 ibid
Dalam Al Quran, posisi zakat dan sholat dianggap hampir sama pentingnya. Kita bisa
melihat ini dari 30 ayat yang dalam Quran yang menyebut tentang zakat, ada 27 ayat diantaranya
dimana kewajiban berzakat disebutkan bersama-sama dengan kewajiban sholat. Kita lihat
misalnya
surah
al-Baqarah
[2]:
83,
110; An-Nisa[4]:77; At-Taubah
[9]:5,11,18,71;
Maryam[19]:31,55; Al-Anbiya[21]: 73; Al-Hajj[22]:41; An-Nur[24]:55-56; An-Naml[27]:3; dan
Lukman[31]:4). Nabi pun menegaskan bahwa zakat merupakan kewajiban yang termasuk pada
pilar utama yang menegakkan rukun Islam. Sabda Nabi Muhammad tentang hal ini yaitu sesuai
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim :
"Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, Engkau
mengerjakan
Shalat,
membayar
zakat,
dan
Shaum
di
bulan
Ramadhan"
Tidak terdapat informasi yang jelas apakah sebelum datangnya Islam di jazirah Arab
pernah ada pajak atau pungutan yang berbentuk seperti zakat.
Dalam teori sosiologi, kemiskinan akan berakibat keresahan jika terjadi dalam situasi
yang berhadapan secara kontras dengan kemewahan. Oleh sebab itu Islam tidak melarang
umatnya untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya asalkan ia mampu menjaga kestabilan
kondisi sosial (mencegah terjadinya social unrest) yakni dengan mendistribusikan kekayaannya
kepada orang yang kurang beruntung. Atau dengan kata lain, kekayaan yang berhasil
dikumpulkan oleh umat Islam tersebut mengandung suatu hak kaum lain yang mana wajib
atasnya untuk dikeluarkan, yaitu hak para mustahik zakat, terutama fakir miskin. Di bawah ini
adalah golongan mereka yang berhak menerima zakat :
1. Fakir; mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokok hidup
2. Miskin; mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
dasar untuk hidup
3. Amil; mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat
4. Mu’allaf; mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
5. Hamba sahaya; budak yang memerdekakan dirinya
6. Gharimin; mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk
memenuhinya
7. Fisabilillah; mereka yang berjuang di jalan Allah, melalui perang, dakwah, dan
sebagainya
8. Ibnu Sabil; mereka yang kehabisan biaya di tengah perjalanan7
Dengan melihat tujuan zakat dan faktor terjadinya permasalahan hubungan sosial, maka
jelas bahwa kedudukan zakat dalam Islam, selain fungsi religius sebagai tempat membuktikan
ketaqwaan terhadap aturan-aturan Allah SWT., zakat juga mempunyai fungsi sosiologis yaitu
menetralisis hal-hal yang menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan kehidupan bermasyarakat
yaitu faktor kesejahteraan masyarakat.
Zakat juga mengarahkan umat Islam ke arah yang lebih mulia, yaitu dengan kekuatan
ekonomi yang dibangun dari kesadaran berzakat umat, maka umat Islam telah menguatkan
agama dan saudara sesama muslim. Laik jika kemudian Nabi Muhammad Rasulallah SAW
menganjurkan kepada para amil zakat atau siapapun yang menerima harta zakat, untuk
mendoakan mereka dengan sholawat, doa yang sama yang diucapkan untuk Nabi.
Perundang-undangan Zakat di Indonesia
Sejak Islam datang ke tanah air kita, zakat telah menjadi satu sumber dana untuk
kepentingan pengembangan agama Islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia menentang
penjajahan Barat pendahulu, zakat merupakan sumber dana perjuangan ketika satu persatu tanah
air kita dikuasai oleh penjajah Belanda. Pemerintah Kolonial itu mengeluarkan Bijblad Nomor
1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai zakat.
Yang menjadi pendorong pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah alasan klasik rezim
kolonial yaitu mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para penghulu atau naib
bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan pemerintah Belanda, tapi tidak diberi gaji
atau tunjangan untuk membiayai hidup dan kehidupan mereka beserta keluarganya. Dan untuk
melemahkan (dana) kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu. Pemerintah Hindia Belanda
7 Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat
melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan
zakat.8
Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat mulai meningkat pada tahun 1968. Pada
tahun itu, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 / 1968.
Masing-masing tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan pembentukan Baitul Mal ( Balai
Harta Kekayaan ) di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya. Setahun sebelumnya,
yakni pada tahun 1967, pemeritah telah pula menyiapkan RUU zakat yang akan diajukan kepada
DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Menteri Keuangan, pada waktu itu, dalam
jawabannya kepada Menteri Agama, menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu
dituangkan dalam undang-undang, cukup dengan peraturan Menteri Agama saja. Karena
pendapat itu, Menteri menunda pelaksanaan peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun
1968 tersebut di atas. Kemudian beberapa hari setelah itu, pada peringatan Isra’ dan Mi’raj di
Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968, Presiden Soeharto manganjurkan untuk menghimpun
zakat secara sistematis dan terorganisasi seperti Badan Amil Zakat Nasional yang dipelopori oleh
Pemerintah Daerah khusus Ibukota Jakarta.Dengan di pelopori Pemerintah Daerah DKI Jaya
yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, berdirilah di Ibukota ini Badan Amil
Zakat, Infak dan Sedekah (disingkat BAZIS ). Pada tahun 1968 yang terbentuk diberbagai
daerah.9
Sebagaimana dilansir dalam situs resmi Baznas, sejak tahun 1964 Indonesia telah
memulai penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Zakat, dan rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pelaksanaan Pengumpulan Pembagian
Zakat serta pembentukan Baitul Maal. Namun pada saat itu proses penyusunan rancangan UU
tersebut berhenti di tengah jalan karena situasi politik dan Negara yang tidak memungkinkan.10
Pada masa Orde Baru, rancangan UU tentang Zakat diajukan oleh Menteri Agama pada
saat itu KH M Dachlan kepada Pemimpin DPR-GR tahun 1967, namun upaya tersebut gagal
karena tidak tercapai kesepakatan dengan menteri keuangan Frans Seda, yang berpendapat
bahwa zakat tidak perlu diatur dalam undang-undang.
8 Sumber : http://konsultasi-hukum-online.com/2013/07/sejarah-perkembangan-zakat-di-indonesia/
9 Ibid.
10 Sumber : http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/peran-parlemen-ri-dalam-penguatan-institusi-zakat/
Baru pada masa pemerintahan BJ Habibie lahirlah UU Pengelolaan Zakat. Menteri
Agama pada saat itu yaitu Malik Fajar mengajukan UU ini kepada Ketua DPR-MPR saat itu
yaitu Harmoko. Perjalanan panjang UU Pengelolaan Zakat mencapai babak baru ketika pada 27
Oktober 2011 Rapat Paripurna DPR-RI mensahkan RUU Pengelolaan Zakat Infak dan Shadaqah
menjadi Undang-Undang Pengelolaan Zakat sebagai pengganti UU no.38 tahun 1999.
Pengelolaan zakat secara terlembaga di Indonesia terhitung sejak berdirinya Bazis DKI
pada tahun 1968, yang kemudian disusul pula oleh banyak lembaga serupa. Peran lembagalembaga ini tidak hanya mengumpulkan zakat, namun juga sebagai agen-agen untuk sosialisasi
zakat yang dilakukan secara terorganisir dan massif.
Namun lahirnya UU Pengelolaan Zakat ini bukannya tanpa kontroversi. Sebagian pihak
menganggap UU ini terlalu sentralistik dalam pelaksanaannya. Sebagian lembaga amil zakat
(LAZ) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Zakat mengajukan permohonan uji materi
terhadap UU Pengelolaan Zakat ini. UU ini digugat ke Mahkamah Konstitusi karena tiga hal
yaitu :
1. Pertama, terkait masalah sentralisasi dalam pengelolaan zakat dimana pasal 6 dan pasal
17 UU ini menyatakan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) lah yang berhak mengelola
zakat di tanah air, sementara posisi LAZ hanya untuk membantu Baznas.
2. Kedua, terkait dengan pembatasan pembentukan LAZ dimana pasal 18 ayat 2 UU zakat
menyatakan LAZ hanya bisa berdiri di atas badan hukum organisasi kemasyarakatan
(ormas), padahal banyak LAZ yang telah lama berdiri melalui badan di luar ormas.
3. Ketiga, terkait masalah kriminalisasi amil (pengelola) zakat dimana pasal 38 UU zakat
menyatakan hanya pihak yang mendapat izin dari pejabat yang berwenang yang dapat
mengelola zakat. Padahal kenyataannya banyak pengelolaan zakat di seluruh institusi
Islam seperti di masjid-masjid, atau mushala-mushala.11
Dalam kesempatan seminar membahas UU Pengelolaan Zakat tahun 2011 ini, Ketua
Panja UU Zakat yaitu H. Gondo Radityo mengungkapkan bahwa UU zakat ini mempunyai
beberapa pesan dan muatan. Yang pertama, secara konstitusional, bahwa UU Pengelolaan Zakat
sesuai dengan UUD RI tahun 1945 pasal 20, 21, 29, dan 34 ayat 1. Kedua, secara ideologis,
bahwa Negara berkewajiban menata dan mengatur tata laksana dalam rangka peningkatan
11 Sumber : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/361993-mk-gelar-sidang-uji-materi-uu-pengelolaan-zakat
kualitas umat melalui pengelolaan zakat yang efektif dan efisien. Ketiga, secara filosofis, UU
Pengelolaan Zakat ini bertujuan memotong mata rantai kemiskinan. Keempat, secara sosiopolitik, UU ini hendak mendorong adanya integrasi, sinergi dan koordinasi yang jelas dalam
pengelolaan dana zakat dan dana sosial keagamaan lainnya, serta dapat terpadu dari pusat sampai
daerah sehingga menciptakan program-program tepat sasaran, jumlah, dan waktu bagi para
mustahik zakat.12 Dalam UU zakat tahun 2011 ini pula tercetus usulan adanya zakat sebagai
unsur pengurang pajak.
Mengenai zakat sebagai pengurang pajak, Prof Dr Didin Hafidudin mengatakan bahwa 13 :
Setiap muzaki yang melakukan pembayaran zakat melalui Badan Amil Zakat (menurut
nomenklatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 berubah menjadi BAZNAS,
BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
teregistrasi mendapat insentif dalam kaitan dengan pembayaran pajak penghasilan, yaitu bukti
pembayaran zakat atau disebut Bukti Setoran Zakat diperhitungkan sebagai komponen biaya
yang menjadi pengurang penghasilan kena pajak atau disebut “pengurang penghasilan bruto”.
Pembayaran
zakat
atas
gaji
karyawan
melalui
Unit
Pengumpul
Zakat
(UPZ)
Kementerian/Lembaga dan BUMN baik dilakukan secara tunai maupun payroll system juga
diakomodasi sebagai pengurang penghasilan kena pajak, dengan syarat UPZ tersebut
menyetorkan dana zakat yang terkumpul kepada BAZNAS dan atas dasar itu BAZNAS
menerbitkan kwitansi bukti setoran zakat.Terkait dengan itu, dalam Undang-Undang tentang
Pengelolaan Zakat (UU No 23 Tahun 2011) bahwa BAZ atau LAZ wajib memberikan bukti
setoran zakat kepada setiap muzaki. Bukti setoran zakat tersebut digunakan sebagai pengurang
penghasilan bruto dalam pengisian SPT tahunan.Pembayaran zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak (penghasilan bruto) telah berlaku sejak 2001. Namun sampai saat ini
masih banyak Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam atau pembayar zakat (muzaki)
yang belum memanfaatkan pengurangan penghasilan bruto atas Pajak Penghasilan (PPh)
tersebut. Untuk itu amil zakat dan pegawai pajak di semua kantor pelayanan diharapkan dapat
memberi
informasi
dan
penjelasan
kepada
para
muzaki
dan
Wajib
Pajak
yang
dilayaninya.Penting diketahui bahwa pengurang penghasilan bruto sebetulnya tidak hanya zakat
atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam, tetapi
12 Notulensi Diskusi UU Zakat, tanggal 24 November 2011, di dalam tautan :
http://imz.or.id/new/uploads/2011/11/Notulensi-Diskusi-UU-Zakat-FOZ-24-November-2011.pdf
13 Sumber : http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/zakat-sebagai-pengurang-penghasilan-kena-pajak/
juga berlaku untuk zakat penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan atau lembaga zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.
Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku di negara kita, khususnya yang terkait dengan
PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 bahwa zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib dikurangkan dari penghasilan bruto. Kebijakan Ditjen Pajak juga
menetapkan bahwa terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang ketika penyampaian SPT Tahunan
PPh yang menyatakan kelebihan bayar (termasuk lebih bayar karena pemotongan zakat), niscaya
akan dilakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajaknya tanpa melalui pemeriksaan, tetapi
cukup dengan penelitian oleh pegawai pajak.
Upaya mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan bruto, tidak cukup hanya
dilakukan oleh BAZNAS dan Kementerian Agama saja. Tetapi membutuhkan koordinasi,
kerjasama dan sinergi dengan instansi terkait, terutama jajaran Direktorat Jenderal Pajak.
Koordinasi, kerjasama dan sinergi itulah yang ke depan perlu dibangun di tingkat institusi,
karena bagi umat Islam zakat dan pajak adalah dua kewajiban yang seiring dan paralel.
Potensi zakat yang sangat besar untuk kemajuan umat Islam dan rakyat Indonesia secara
keseluruhan sudah seharusnya dikelola dengan baik agar dapat digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Potensi zakat di Indonesia per tahun, sekitar 217 triliun Rupiah
menurut Aida S. Budiman – Direktur Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia. 14
Namun dari nilai tersebut hanya sekitar 2,7 triliun Rupiah saja potensi zakat yang berhasil
diserap oleh Baznas beserta lembaga amil zakat lain di seluruh Indonesia. Penyerapan itupun
sebagian besar habis untuk membeli sembako saja, padahal masih banyak program jangka
panjang yang bisa didanai dengan dana zakat contohnya untuk dana pendidikan.
Sebagai penutup kami simpulkan bahwa zakat dalam Islam selain memiliki fungsi
religious sebagai symbol ketaatan kepada Allah SWT juga berfungsi sosiologis yaitu sebagai
pemerataan pendistribusian harta kepada kaum yang tidak mampu. Potensi zakat yang begitu
14 Sumber : http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/10/29/potensi-zakat-di-indonesia-mencapai-rp-217-triliun
besar membutuhkan pengelolaan yang benar, sehingga harus didukung oleh Negara dalam
bentuk menyediakan peraturan perundang-undangan yang baik, serta sosialisasi zakat sebagai
pengurang pajak harus semakin ditingkatkan.