Penyiapan dan Karakterisasi Pati Nanokristalin dari Sagu dan Tapioka

PENYIAPAN DAN KARAKTERISASI PATI
NANOKRISTALIN DARI SAGU DAN TAPIOKA

KARTIKA WULANDARI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penyiapan dan
Karakterisasi Pati Nanokristalin dari Sagu dan Tapioka adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, 2013
Kartika Wulandari
NIM F34090051

ABSTRAK
KARTIKA WULANDARI. Penyiapan dan Karakterisasi Pati Nanokristalin dari
Sagu dan Tapioka. Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI.
Pati nanokristalin merupakan pati termodifikasi yang memiliki partikel
dengan ukuran berkisar 20-50 nm dan telah mengalami perubahan struktur
kristalinnya. Sebagai matriks dalam pembawa bahan aktif atau obat-obatan, pati
nanokristalin memerlukan sifat tahan terhadap asam, memiliki daya cerna rendah
dan memiliki daya absorbsi tinggi di dalam usus. Pati nanokristalin dihasilkan
melalui 2 tahapan proses, yaitu lintnerisasi selama 2, 4, 6, dan 24 jam, yang
bertujuan untuk menghidrolisis daerah amorf pada pati sehingga terbentuk pati
kristalin; dan pembentukan partikel berukuran nano dengan pelarutan dan
presipitasi dengan etanol. Hasil memperlihatkan perlakuan waktu lintnerisasi
menghasilkan pati sagu dan tapioka kristalin yang memiliki daya cerna rendah dan
kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan pati alaminya. Presipitasi etanol
menghasilkan partikel nanoporous pada pati dan mempengaruhi penurunan daya

cerna, daya serap air dan minyak, namun meningkatkan kelarutan dan swelling
power pati nanokristalin sagu dan tapioka.
Kata kunci: pati nanokristalin, lintnerisasi, presipitasi etanol, sagu, tapioka

ABSTRACT

KARTIKA WULANDARI. Preparation and Characterization of Nanocrystalline
Sago Starch and Tapioca. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI.
Nanocrystalline starch is modified starch with particle size around 20-50 nm
and has varied crystalline structure. As active compound or drug’s matrix carrier,
nanocrystalline starch should be acid resistant, have low digestibility and high
absorbing power in human intestine. This research used sago starch and tapioca
because of their compatibility in forming low digestibility and high crystallinity
starches. There were two steps of nanocrystalline starch production. The first was
lintnerization for 2, 4, 6, and 24 hours, which aimed to hydrolyze amorphous area
of starch that formed crystalline starch, whereas solubilization and ethanol
precipitation generated the nanoparticle starch.
The results showed that
lintnerization generated crystalline sago starch and tapioca with lower digestibility
and higher crystallinity compared to their native starch. Ethanol precipitation of

crystalline starch produced starch nanoporous particles, and influenced to
decreasing the digestibility and water and oil binding capacities, meanwhile
increasing the solubility and swelling power.
Key words:

nanocrystalline starch, lintnerization, ethanol precipitation, sago,
tapioca

PENYIAPAN DAN KARAKTERISASI PATI
NANOKRISTALIN DARI SAGU DAN TAPIOKA

KARTIKA WULANDARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Penyiapan dan Karakterisasi Pati Nanokristalin dari Sagu dan
Tapioka
Nama
: Kartika Wulandari
NIM
: F34090051

Disetujui oleh

Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti

Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 29 Oktober 2013

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian dan skripsi yang berjudul “Penyiapan dan Karakterisasi
Pati Nanokristalin dari Sagu dan Tapioka” dapat diselesaikan. Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian yang didanai oleh program KKP3N tahun 2013.
Selama pelaksanaan penelitian dan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1.

2.
3.
4.
5.
6.

7.


Dr Ir Titi Candra Sunarti, Msi selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
memberikan arahan dan bimbingannya selama pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi.
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Idrasti dan Dr Prayoga Suryadarma, STP MT selaku
dosen penguji dalam ujian skripsi.
Ir Toto Suwito yang telah berkenan membantu penyediaan bahan baku.
Ayah dan ibu serta seluruh keluarga besar atas segala doa dan dukungannya.
Laboran dan staff TIN yang telah membantu dalam kelancaran penelitian dan
penyelesaian studi penulis.
Keluarga besar TIN 46 yang senantiasa memberi dukungan dan memberikan
banyak bantuan hingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan skripsi
ini.
Seluruh pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan oleh penulis, yang
senantiasa membantu dalam pelaksanaan penelitian.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun
agar skripsi ini menjadi lebih baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kami
dan pembaca dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.


Bogor, September 2013
Kartika Wulandari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

3


METODE

3

Bahan

3

Alat

3

Metode Penelitian

3

a. Penyiapan dan Karakterisasi Bahan Baku

3


b. Produksi Pati Nanokristalin

3

c. Karakterisasi Pati Nanokristalin

5

Rancangan Percobaan

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Karakteristik Bahan Baku

5


Produksi Pati Nanokristalin

7

Karakteristik Pati Nanokristalin

10

a. Kristalinitas Pati

10

b. Morfologi Granula Pati

13

c. Daya Cerna Pati

15

d. Daya Serap Air dan Minyak

16

e. Kelarutan dan Swelling Power

17

SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan

19

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

20
22

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Kandungan pati sagu dan tapioka
Derajat kristalinitas pati sagu dan tapioka
Karakteristik pati kristalin melalui proses lintnerisasi
Karakteristik pati nanokristalin melalui proses lintnerisasi-presipitasi

6
10
15
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Diagram alir proses lintnerisasi
Diagram alir proses presipitasi etanol
Struktur amilopektin pada daerah kristalin dan amorf
Ilustrasi degradasi daerah amorf selama hidrolisis asam
Grafik pengaruh waktu lintnerisasi terhadap total gula dalam filtrat
Profil kristalin pati hasil pengukuran dengan difraksi sinar X
Pola Kristalinitas berdasarkan analisa XRD untuk pati sagu
Pola Kristalinitas berdasarkan analisa XRD untuk tapioka
Bentuk granula pati hasil pengujian SEM

4
5
7
8
9
11
11
12
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Karakterisasi bahan baku dan pati nanokristalin
2 Analisa statistik karakterisasi pati nanokristalin
3 Analisa bentuk dan ukuran granula pati berdasarkan pengujian SEM

22
27
36

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pati merupakan suatu polisakarida yang terkandung dalam tanaman, yang
merupakan hasil dari proses fotosintesis. Sebagai contoh tanaman penghasil pati
adalah sagu dan ubi kayu. Tanaman penghasil pati ini memiliki ketersediaan yang
melimpah di Indonesia. Tanaman sagu memiliki produktivitas yang tinggi,
terutama di wilayah Indonesia bagian timur. Sebagai contoh, produksi sagu di
wilayah Sulawesi Tengah mencapai 3455 ton pada tahun 2011 dan untuk produksi
ubi kayu menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2013 mencapai 25 juta ton.
Pemanfaatan pati di industri sangat luas, baik di bidang pangan maupun non
pangan karena kemudahan mendapatkan bahan baku dan harganya yang relatif
murah. Namun, beberapa sifat pati alami menjadi kendala apabila digunakan
sebagai bahan baku industri, diantaranya sifat pati yang mudah rusak akibat panas
dan asam. Hal ini menyebabkan pemanfaatan pati alami menjadi terbatas. Selain
itu, Lee et al. (2008) mengemukakan bahwa seiring dengan berkembangnya
teknologi nano saat ini, berdampak pada meningkatnya kebutuhan bahan baku
berukuran partikel kecil oleh industri baik dalam bidang pangan ataupun non
pangan, khususnya untuk pengikatan bahan aktif dalam industri farmasi sehingga
tingkat absorbsi di dalam usus halus menjadi meningkat. Hal inilah yang
mendorong dilakukannya modifikasi terhadap pati alami.
Dewasa ini, pengembangan pati nanokristalin menjadi suatu objek
penelitian yang menarik. Pati nanokristalin merupakan pati alami termodifikasi
yang memiliki ukuran partikel berkisar 20-50 nm dan memiliki sifat kristalin.
Menurut Bloembergen et al. (2005), nanopartikel memiliki sifat viskositas rendah
walaupun pada konsentrasi tinggi dan memiliki daya mengikat yang tinggi.
Sehingga pati nanopartikel kerap dimanfaatkan di industri, seperti untuk bahan
tambahan makanan, bahan pembawa dalam obat-obatan, coating binders,
biodegradable composites, dan berbagai produk lainnya.
Pati nanokristalin dapat dihasilkan melalui 3 tahapan, yaitu hidrolisis asam
atau enzimatis, regenerasi, dan perlakuan mekanik (Le Corre et al. 2010). Granula
pati pada umumnya terdiri atas daerah amorf dan daerah kristalin yang tersusun
atas amilosa dan amilopektin. Proses hidrolisis asam dilakukan menggunakan
asam kuat sehingga terbentuk pati kristalin akibat asam kuat yang mendegradasi
daerah amorf pada granula pati. Asam kuat akan memotong rantai-rantai amilosa
rantai panjang dan percabangan amilopektin yang terdapat pada daerah amorf
hingga menjadi amilosa rantai pendek dengan bobot molekul yang rendah.
Amilosa rantai pendek mudah mengalami retrogradasi membentuk double helix
dan dapat membentuk kristalit yang kompak. Pati yang terbentuk dari hasil
hidrolisis asam merupakan pati kristalin yang memiliki karakteristik yang berbeda
dengan pati alaminya. Perbedaan karakteristik dari pati kristalin juga dapat
dipengaruhi oleh pengaruh waktu hidrolisis asam. Ma et al. (2008)
mengemukakan bahwa partikel ukuran nano dari pati dapat dihasilkan melalui
perlakuan mekanik, salah satu caranya adalah dengan presipitasi menggunakan
pelarut organik seperti etanol, butanol, dan aseton. Adanya perlakuan pemanasan
dari proses gelatinisasi pati dan penambahan etanol secara perlahan, serta

2
pengadukan secara cepat dari magnetic stirrer menyebabkan pati teretrogradasi
dengan cepat dan membentuk partikel pati yang tidak larut air. Pati yang terbentuk
dari hasil presipitasi menggunakan pelarut yang berbeda akan menghasilkan
karakteristik yang berbeda pula.
Perumusan Masalah
Pati nanokristalin dapat dihasilkan melalui dua tahapan, yaitu lintnerisasi
dan presipitasi. Lintnerisasi merupakan modifikasi pati melalui hidrolisis asam
pada konsentrasi rendah dan suhu kamar untuk memutus bagian amorf dari pati
sehingga menghasilkan pati kristalin. Semakin lama waktu lintnerisasi antara pati
dan asam, diharapkan asam dapat mendegradasi daerah amorf pada pati sehingga
tingkat kristalinitas pati meningkat, untuk itu, diperlukan waktu hidrolisis yang
sesuai untuk memperoleh produk yang diharapkan. Waktu proses yang kurang
dapat menyebabkan belum tercapainya kondisi optimal sesuai karakteristik
produk yang diharapkan, namun waktu proses yang lebih lama dapat
menyebabkan ikut terdegradasinya daerah kristalin oleh asam.
Pengecilan ukuran partikel pati dapat dhasilkan melalui presipitasi dengan
pelarut organik. Pada tahap ini, terjadi perusakan fraksi amilosa dan amilopektin.
Fraksi yang dipresipitasi adalah larutan pati yang telah tergelatinisasi sempurna,
sehingga dihasilkan partikel-partikel pati yang terpisah dengan pelarutnya.
Dengan etanol sebagai pelarut organik untuk presipitasi, diharapkan pati yang
dihasilkan dapat berukuran nano.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah produksi dan karakterisasi pati
nanokristalin dari sagu dan tapioka.

1.
2.

Tujuan khusus pada tiap tahapan penelitian ini adalah:
Mengetahui pengaruh waktu lintnerisasi terhadap karakteristik pati kristalin
yang dihasilkan.
Mengetahui pengaruh presipitasi etanol terhadap karakteristik pati
nanokristalin yang dihasilkan.
Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui karakteristik fungsional dari
pati nanokristalin sehingga dapat memperluas pemanfaatan pati. Pati nanokristalin
yang dihasilkan dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang, salah satunya pada
bidang farmasi yang digunakan sebagai bahan pembawa pada obat-obatan.
Dengan memanfaatkan pati nanokristalin sebagai matriks dalam pembawa bahan
aktif atau obat-obatan ini maka obat yang dikonsumsi lebih tahan terhadap asam
lambung sehingga fungsi dari obat tersebut dapat mencapai target. Selain itu,
obat-obatan ini juga dapat luruh secara perlahan dan memiliki daya absorbsi yang
lebih tinggi dalam usus.

3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi proses pembuatan pati kristalin dan
pati nanopartikel dari pati sagu dan tapioka melalui proses lintnerisasi
menggunakan HCl 2.2 N selama 2, 4, 6 dan 24 jam, dan presipitasi dengan pelarut
etanol 95%.

METODE

Bahan
Bahan baku tapioka diperoleh dari industri tapioka di daerah Sentul,
Kabupaten Bogor dan pati sagu diperoleh dari industri pati di daerah Cimahpar,
Kota Bogor. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menghasilkan pati
kristalin adalah larutan HCl 2.2 N dan NaOH. Bahan yang digunakan dalam
proses presipitasi adalah etanol 95%, serta bahan kimia lainnya untuk analisa.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain shaker bath, oven
pengering, magnetic stirrer, syringe 50 ml, hotplate dan freeze dryer, dan
peralatan gelas lainnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan dan
karakterisasi bahan baku, tahap pembuatan pati kristalin dan karakterisasinya,
serta tahap pembuatan nanopartikel pati dan karakterisasinya.
Penyiapan dan Karakterisasi Bahan Baku
Penyiapan bahan baku dilakukan dengan penjemuran bahan dan pengayakan
hingga ukuran 40 mesh. Karakterisasi bahan baku meliputi kadar air, kadar abu,
kadar serat kasar, kadar amilosa, dan kadar pati. Prosedur analisa untuk
karakterisasi bahan ini disajikan pada Lampiran 1.
Produksi Pati Nanokristalin
a. Lintnerisasi Pati
Karakteristik pati yang berbeda-beda menyebabkan pati memiliki tingkat
ketahanan asam yang berbeda-beda pada konsentrasi yang sama. Ketahanan pati
terhadap asam ini dapat dilihat dari seberapa besar rantai amilosa dan amilopektin
yang dirusak oleh asam pada waktu dihidrolisis. Untuk dapat melihat ketahanan
pati terhadap asam perlu ditentukan waktu hidrolisis tersebut. Penentuan
perlakuan waktu ini dilakukan berdasarkan tingkat hidrolisis asam terhadap
daerah amorf pada pati dengan asumsi bahwa produk akhir yang dihasilkan dari
proses ini adalah pati yang telah bersifat kristalin dan telah terdegradasi daerah

4
amorfnya. Dengan mengontrol waktu lintnerisasi ini, diharapkan asam tidak
mendegradasi daerah kristalin dari pati.
Pati lintnerisasi diproduksi dengan metode rekomendasi Faridah et al.
(2010) serta Jayakodi dan Hoover (2002). Pati dibuat suspensi dalam larutan HCl
2.2 N dengan perbandingan 1:2. Kemudian suspensi pati diinkubasi dalam shaker
bath pada suhu 350 C selama 2, 4, 6, dan 24 jam, di mana pada masing-masing
perlakuan waktu ini dilakukan dalam 3 kali ulangan. Suspensi pati yang telah
mengalami perlakuan lintnerisasi kemudian dinetralkan dengan NaOH 1 N,
kemudian dicuci dengan etanol dan akuades. Pati yang telah dicuci kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 400 C selama 24 jam hingga mencapai kadar
air 10-12%. Setelah kering, pati digiling dengan disc mill dan diayak hingga
ukuran 40 mesh, kemudian disimpan dalam freezer sampai digunakan. Diagram
alir proses lintnerisasi disajikan pada Gambar 1.
Pati Alami

HCl 2.2 N

Inkubasi dalam shakerbath
T = 350 C
Penetralan suspensi pati

Filtrat

NaOH 1 N

Penyaringan

Pengeringan (T = 400 C)

Lintnerized Starch
Gambar 1 Diagram alir proses lintnerisasi
Filtrat yang dihasilkan dari proses penyaringan pada produksi pati kristalin
dianalisa total gula sebagai penduga tingkat hidrolisis asam terhadap pati. Analisa
total gula dilakukan dengan metode fenol-asam sulfat yang disajikan pada
Lampiran 1.
b.

Presipitasi Pati dengan Etanol
Metode presipitasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah presipitasi
menggunakan pelarut organik etanol yang diadaptasi dari Ma et al. (2008). Pati
dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:15 dipanaskan sampai
tergelatinisasi sempurna. Setelah tergelatinisasi sempurna, ditambahkan etanol
dengan cara diteteskan secara perlahan-lahan sambil diaduk cepat dengan
magnetic stirrer, selanjutnya didinginkan. Endapan yang terbentuk dipisahkan
dengan sentrifugasi dan dicuci dengan etanol, kemudian dikeringkan. Diagram alir
proses presipitasi pati disajikan pada Gambar 2.

5
Lintnerized Starch

Gelatinisasi Pati

Aquadest

Penambahan etanol 95% secara
perlahan-lahan dengan pengadukan
cepat
Penyaringan
Pati Nanokristalin
Gambar 2 Diagram alir proses presipitasi etanol
Karakterisasi Pati Nanokristalin
Karakterisasi pati nanokristalin meliputi kristalinitas pati, morfologi granula
pati, daya cerna, daya serap air dan minyak, serta kelarutan dan swelling power
pada pati. Prosedur karakterisasi pati nanokristalin disajikan pada Lampiran 1.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan
acak lengkap dengan faktor waktu lintnerisasi. Pada rancangan percobaan ini akan
dilihat pengaruh faktor tersebut terhadap karakteristik filtrat hasil dari lintnerisasi
serta karakteristik dari pati kristalin dan nanokristalin yang dihasilkan. Taraf
untuk faktor waktu lintnerisasi antara lain 2, 4, 6, dan 24 jam. Bentuk hipotesis
yang akan diuji ialah:
H0 : semua τi = 0 (i = 1, 2, ..., t)
H1 : tidak semua τi = 0 (i = 1, 2, ..., t)
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisa menggunakan software
SPSS 16.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Baku
Pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang tersusun
menjadi amilosa dan amilopektin serta mengandung bahan lain seperti lipid dan
protein. Komponen amilosa dan amilopektin yang terdapat dalam granula pati
memiliki rasio yang berbeda, di mana komponen amilopektin memiliki rasio yang
lebih tinggi dibandingkan amilosa. Kedua komponen tersebut merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan karakteristik kimia dan
fungsional pada pati. Pati sagu dan tapioka yang digunakan sebagai bahan baku

6
dalam penelitian ini masing-masing memiliki kadar amilosa sebesar 22.02% dan
21.03%. Swinkels (1985) di dalam Van Beynum dan Roels (1985)
mengemukakan bahwa pati sagu memiliki amilosa dan amilopektin masingmasing sebesar 27% dan 73%, sedangkan tapioka memiliki amilosa dan
amilopektin masing-masing sebesar 17% dan 83%.
Sebagai bahan pangan, pati sagu dan tapioka memiliki syarat mutu tertentu
untuk keamanan pangan yang dicantumkan dalam Standar Nasional Indonesia
(SNI). Karakterisasi yang dilakukan untuk mengetahui mutu dari pati sagu
mengacu pada SNI 3729:2008 dan tapioka mengacu pada SNI 3451:2011. Pati
sagu dan tapioka yang akan digunakan sebelumnya diayak hingga didapatkan pati
yang lolos ayakan 40 mesh. Hasil dari karakterisasi bahan baku penelitian, pati
sagu dan tapioka yang akan digunakan dalam penyiapan pati nanokristalin
memiliki kandungan seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan pati sagu dan tapioka
Pati Sagu
Komposisi (% bb)

Kadar Air

Hasil
Pengamatan
15.79

SNI 3729:2008
Maks. 13

Tapioka
Hasil
Pengamatan
11.68

SNI 3451:2011
Maks. 14

Abu

0.11

Maks. 0.50

0.07

Maks. 0.50

Serat Kasar

0.19

Maks. 0.50

0.12

Maks. 0.40

Kadar Pati

97.83

Min. 65

96.76

Min. 75

Kadar air didefinisikan sebagai kandungan air yang terdapat di dalam pati.
Kadar air berpengaruh pada kerentanan pati terhadap pertumbuhan mikroba.
Kadar air ini ditentukan hingga batas tertentu di mana mikroba yang dapat
menyebabkan kerusakan pada pati dapat dihambat aktivitasnya sehingga pati
dapat disimpan lebih lama. Di samping itu, Sajilata et al. (2006) mengemukakan
bahwa kadar air yang rendah dapat meningkatkan level kristalinitas pati,
sedangkan kadar air yang tinggi menyebabkan pati lebih mudah didegradasi oleh
enzim. Berdasarkan hasil karakterisasi, kadar air pada pati sagu yang akan
digunakan masih belum memenuhi standar mutu yang ditentukan sehingga perlu
dilakukan pengeringan lebih lanjut hingga diperoleh kadar air di bawah 13%.
Kadar abu merupakan penghitungan terhadap bahan-bahan anorganik yang tersisa
dari proses pengabuan. Kadar abu ini dapat berpengaruh terhadap warna dan
tekstur pada pati. Selain itu, seringkali kadar abu juga digunakan sebagai
parameter dari baik atau tidaknya pengolahan suatu bahan pangan atau adanya
bahan pengotor dalam bahan pangan tersebut. Berdasarkan hasil karakterisasi
bahan baku, kadar abu pada tapioka lebih rendah dibandingkan pati sagu. Dari
segi pengaruh warna, hal ini diduga bahwa kadar abu yang lebih rendah ini
menyebabkan warna tapioka lebih putih dibandingkan pati sagu. Kadar serat kasar
merupakan komponen minor lain yang terdapat dalam pati. Serat kasar ini terdiri
atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Berdasarkan hasil dari karekterisasi bahan
baku, pati sagu memiliki kadar serat kasar yang lebih tinggi dibandingkan tapioka.
Kadar pati merupakan besarnya kandungan karbohidrat yang tidak larut dalam air

7
dalam proses pengekstrasian pati. berdasarkan hasil karakterisasi, pati sagu
memiliki kadar pati yang lebih tinggi dibandingkan tapioka. Kandungan pati pada
berbagai komoditas berbeda-beda tergantung jenis sumber patinya.
Produksi Pati Nanokristalin
Buleon et al. (1998) membagi struktur granula pati menjadi daerah yang
bersifat amorf dan daerah kristalin yang letaknya berselang-seling. Daerah amorf
merupakan daerah yang sebagian besar tersusun atas amilosa dan titik-titik
percabangan amilopektin, sedangkan daerah kristalin sebagian besar tersusun dari
ikatan-ikatan pendek dari amilopektin yang membentuk klaster. Menurut
Oostergetel dan van Bruggen (1993), daerah kristalin pada pati umumnya
membentuk struktur superheliks. Struktur amilopektin pada daerah amorf dan
kristalin dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur amilopektin pada daerah (1) kristalin dan (2) amorf (Robin et
al. 1974)
Pati nanokristalin merupakan pati yang telah mengalami proses modifikasi
pada struktur kristalin pati dan ukurannya. Penyiapan pati nanokristalin pada
penelitian ini dilakukan dengan 2 tahapan proses, yaitu lintnerisasi (hidrolisis
asam secara lambat) dan presipitasi. Perlakuan lintnerisasi dilakukan dengan
tujuan mendegradasi fraksi amilosa rantai panjang dan titik percabangan pada
amilopektin yang terdapat pada daerah amorf sehingga dihasilkan fraksi amilosa
rantai pendek dengan bobot molekul yang lebih rendah. Lehmann et al. (2003)
mengemukakan bahwa jika fraksi amilosa rantai pendek dalam pati meningkat,
maka akan semakin banyak fraksi amilosa yang terkristalisasi karena fraksi
amilosa sebagai struktur linear akan memfasilitasi ikatan silang dengan adanya
ikatan hidrogen sehingga struktur amilosa membentuk kristalit yang kompak.
Dengan dilakukannya proses lintnerisasi, diharapkan pati yang dihasilkan
mengalami peningkatan kristalinitas.
Proses lintnerisasi dilakukan menggunakan asam kuat pada suhu di bawah
suhu gelatinisasi pati. Asam kuat mampu menghidrolisis ikatan glikosidik
sehingga menghasilkan amilosa dengan rantai yang lebih pendek dan bobot
molekul menjadi lebih rendah. Pada proses ini terjadi dua tahap penyerangan yang
terjadi di dalam granula pati, yaitu tahap penyerangan secara cepat pada daerah
amorf dan tahap penyerangan yang lebih lambat pada fraksi amilopektin yang
terdapat pada daerah kristalin (Wurzburg 1989). Ilustrasi perusakan daerah amorf

8
dan kristalin pada proses lintnerisasi disajikan dalam Gambar 4. Waktu
lintnerisasi dapat berpengaruh terhadap tingkat pendegradasian daerah amorf
selama proses hidrolisis. Semakin lama waktu lintnerisasi diduga dapat
meningkatkan tingkat perusakan daerah amorf oleh asam, bahkan dapat diduga
asam akan mendegradasi struktur amilopektin pada daerah kristalin yang dapat
dijangkau oleh asam. Hingga 24 jam proses lintnerisasi, pati sagu mengalami
pemutusan/perusakan daerah amorf yang lebih sedikit dibandingkan tapioka.
Proses pendegradasian struktur amilosa dan percabangan amilopektin ini dapat
berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan dari proses lintnerisasi, semakin
banyak struktur yang diputus menjadi gula-gula sederhana yang larut dalam filtrat
dapat menghasilkan rendeman yang lebih rendah. Untuk pati kristalin sagu,
rendemen yang dihasilkan yaitu berkisar 89.28-98.26% dan untuk tapioka
rendemen yang dihasilkan berkisar 80.28-89.20%.

HCl 2.2 N

Gambar 4 Ilustrasi degradasi daerah amorf selama hidrolisis asam (Srichuwong
2005)
Proses lintnerisasi menyebabkan perusakan daerah amorf dalam granula pati.
Daerah amorf merupakan daerah yang lebih mudah mengalami reaksi kimia
dibandingkan daerah kristalin karena ikatan hidrogen pada daerah amorf lebih
lemah dibandingkan pada daerah kristalin. Amilosa rantai panjang yang terdapat
pada daerah amorf diputus oleh asam sehingga menjadi gula-gula sederhana.
Untuk itu, filtrat hasil hidrolisis asam pada pati dianalisa total gula untuk dapat
menduga tingkat hidrolisis asam dalam mendegradasi daerah amorf pada pati.
Proses hidrolisis asam ini menyebabkan gula-gula sederhana yang terdapat dalam
filtrat meningkat. Seiring dengan semakin lamanya waktu hidrolisis, semakin
banyak pula ikatan-ikatan hidrogen yang terputus dan semakin meningkat pula
gula sederhana dalam filtrat. Berdasarkan grafik yang ditampilkan pada Gambar 5,
hingga 24 jam lintnerisasi total gula pada filtrat pati sagu meningkat, namun tidak
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama pati berinteraksi dengan
asam, maka semakin banyak daerah amorf yang didegradasi oleh asam. Berbeda
dengan pati sagu, peningkatan total gula tapioka terjadi secara signifikan pada jam
ke-24. Hal ini diduga selama proses lintnerisasi tidak hanya terjadi pemutusan
rantai linear amilosa dan percabangan amilopektin yang terdapat pada daerah
amorf, namun terjadi pemutusan juga pada rantai-rantai amilopektin yang
terjangkau oleh asam di daerah kristalin. Berdasarkan grafik, terlihat pula bahwa
ikatan antarmolekul daerah kristalin pada pati sagu lebih kuat dan lebih tahan
terhadap asam dibandingkan tapioka. Hal ini ditunjukkan dari peningkatan total
gula pada jam ke-6 hingga jam ke-24 pada pati sagu tidak tinggi, sedangkan pada

9
tapioka terjadi peningkatan yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa asam
mendegradasi daerah amorf optimum pada tapioka selama 6 jam, apabila waktu
proses dilanjutkan, maka asam akan turut mendegradasi daerah kristalin.
Disertainya pemutusan rantai amilopektin di daerah kristalin ini berdampak
terhadap penurunan sifat kristalinitas pada pati. Penurunan sifat kristalinitas pati
dapat menyebabkan meningkatnya daya cerna pada pati dan dapat mempengaruhi
karakteristik lainnya seperti kelarutan dan swelling power, serta daya serap air dan
minyak pada pati.

Total Gula (ppm)

3000
2500
2000
1500
1000

500
0
2

4
6
Waktu Lintnerisasi (jam)

24

Gambar 5 Grafik pengaruh waktu lintnerisasi terhadap total gula dalam filtrat pati
sagu ( ) dan tapioka ( )
Proses lintnerisasi hanya mengubah struktur kimia dari pati, namun proses
ini tidak mengubah ukuran serta bentuk dari granula pati sagu dan tapioka
sehingga untuk memperoleh partikel berukuran lebih kecil dilakukan tahapan
proses lebih lanjut. Ma et al. (2008) mengemukakan bahwa pati nanopartikel
dapat disintesis dengan presipitasi larutan pati menggunakan pelarut organik,
salah satunya adalah etanol 95%. Terbentuknya pati nanopartikel terjadi ketika
pati mendapat perlakuan suhu tinggi saat proses gelatinisasi. Dengan adanya
energi termal dan mekanis yang diberikan pada pati selama pemanasan di atas
suhu gelatinisasinya, maka terjadi perusakan ikatan kovalen dan hidrogen pada
struktur double helix amilopektin dan pelelehan bagian kristalit, sehingga
terbentuk ukuran partikel pati yang lebih kecil. Dengan dilakukannya perusakan
terhadap ikatan-ikatan tersebut, granula pati akan lebih mudah membentuk
partikel-partikel yang lebih kecil, termasuk dalam ukuran nano.
Pada proses presipitasi ini, pati yang tergelatinisasi mengalami proses
retrogradasi secara cepat pada saat dilakukan penambahan etanol secara perlahan
dan pengadukan cepat. Selama proses presipitasi diduga tidak terjadi perusakan
rantai amilosa dan amilopektin lebih lanjut, hal ini dapat berpengaruh pada
rendemen yang diperoleh dari proses ini. Proses presipitasi ini menghasilkan pati
nanopartikel dengan rendemen berkisar 92.84-94.54% untuk pati sagu dan 85.3887.17% untuk tapioka.

10
Karakteristik Pati Nanokristalin
Kristalinitas Pati
Kristalinitas granula pati dapat dilihat menggunakan metode pola difraksi
sinar X dan dapat ditentukan dengan integrasi kurva di bawah puncak daerah
amorf dan kristalinnya. Puncak intensitas dari difraksi sinar X yang dihasilkan
pada kurva berhubungan dengan daerah kristalin di dalam granula pati (Pomeranz
dan Meloan 2000).
Pati alami mengalami perubahan kristalinitas setelah mengalami perlakuan,
salah satunya dengan lintnerisasi, di mana asam mendegradasi rantai-rantai
amilosa dan percabangan amilopektin yang terdapat pada daerah amorf sehingga
fraksi kristalin pati menjadi lebih dominan. Proses ini diharapkan dapat
meningkatkan derajat kristalinitas pati. Pati sagu memiliki kristalinitas tipe A
dengan derajat kristalinitas sebesar 32.9%, sedangkan tapioka memiliki
kristalinitas tipe B dengan derajat kristalinitas sebesar 35% (Srichuwong et al.
2005). Derajat kristalinitas pati sagu dan tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Derajat kristalinitas pati sagu dan tapioka
Sampel
Pati Sagu
Tapioka
Lintnerisasi
0 jam
40.74%
43.30%
2 jam
52.36%
56.02%
4 jam
57.20%
51.70%
6 jam
43.61%
42.47%
24 jam
44.41%
62.64%
Lintnerisasi-Presipitasi
2 jam
36.99%
56.80%
4 jam
40.87%
27.80%
6 jam
51.14%
63.14%
24 jam
34.89%
37.01%
Waktu lintnerisasi dapat berpengaruh terhadap derajat dan pola kristalinitas
pati. Hal ini diduga semakin lama pati berinteraksi dengan asam maka semakin
banyak rantai amilosa dan amilopektin yang dirusak oleh asam. Pada pati sagu,
proses lintnerisasi selama 4 jam menghasilkan kristalinitas tertinggi dibandingkan
perlakuan lainnya. Hal ini diduga waktu hidrolisis yang lebih dari 4 jam asam
turut mendegradasi rantai amilopektin yang terdapat pada daerah kristalin yang
terjangkau oleh asam, namun perusakan daerah kristalin ini tidak terjadi secara
signifikan, hal ini mengacu dari hasil analisa filtrat yang telah dilakukan
sebelumnya, di mana total gula yang terdapat dalam filtrat setelah hidrolisis
selama 6 dan 24 jam tidak mengalami kenaikan yang tinggi. Pada proses
presipitasi pati, terjadi peningkatan derajat kristalinitas pada sampel 6 jam, hal ini
diduga karena pada kondisi tersebut, fraksi amilosa rantai pendek dalam pati
tinggi sehingga fraksi amilosa rantai pendek yang terkristalisasi membentuk
kristalit yang kompak lebih banyak. Tapioka alami memiliki derajat kristalinitas

11
yang lebih tinggi dibandingkan pati sagu. Kristalinitas pati mengalami
peningkatan dari pati alaminya setelah dihidrolisis, nilai kristalinitas tertinggi
pada tapioka terjadi pada sampel yang dihidrolisis selama 24 jam.
Pola difraksi sinar X dapat membedakan pola kristalinitas pati menjadi tipe
A, B, C, dan V seperti disajikan pada Gambar 6.

Intensitas

Gambar 6 Profil kristal pati hasil pengukuran dengan difraksi sinar X (Buleon et
al. 1998)

10

0 jam
2 jam
4 jam
6 jam

15

25

20

30

35
(a)

Intensitas



10

2 jam
4 jam
6 jam
24 jam

15

25

20


30

35

(b)

Gambar 7 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD untuk pati sagu (a) hasil
lintnerisasi dan (b) presipitasi

12

Intensitas

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, pati sagu alami memiliki
pola kristalinitas tipe A. Setelah dilintnerisasi dengan waktu yang berbeda, yaitu 2,
4, 6, dan 24 jam, pati ini memiliki pola kristalinitas yang sama dengan pati
alaminya. Hal ini menunjukkan bahwa proses lintnerisasi hanya menyebabkan
perusakan daerah amorf hingga didapatkan pati yang lebih bersifat kristalin dan
tidak mengalami perubahan struktur. Setelah dilakukan presipitasi, pola
kristalinitas pati sagu juga tidak berubah, hanya saja kenaikan peak yang terjadi
tidak terlalu tinggi dibandingkan pati alaminya dan menunjukkan pola yang
semakin landai. Peak yang tidak terlalu tinggi ini menunjukkan bahwa luasan
daerah kristalin pada pati semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat pada Gambar
7a dan 7b yang menunjukkan pola kristalinitas pati sagu dari pola difraksi sinar X.

10

0 jam
2 jam
4 jam
6 jam
24 jam

15

20

25

30

35
(a)

Intensitas



2 jam
4 jam
6 jam
24 jam

10

15

25

20


30

35
(b)

Gambar 8 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD untuk tapioka (a) hasil
lintnerisasi dan (b) presipitasi

13
Berbeda dengan pati sagu, tapioka merupakan pati yang bersumber dari
umbi-umbian yang memiliki pola kristalinitas tipe B. Tapioka memiliki derajat
kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan pati sagu. Setelah mengalami proses
lintnerisasi, pola kristalinitas tapioka tidak berubah dari pati alaminya. Dalam hal
ini, proses lintnerisasi tidak mengubah pola kristalinitas pati, namun hanya
mengubah derajat kristalinitasnya, sedangkan tapioka yang telah mengalami
proses presipitasi memiliki pola kristalinitas yang berbeda dengan pati alaminya
(Gambar 8a dan 8b). Hal ini terlihat dari pola kristalinitas hasil pengukuran XRD
pada tapioka yang telah dipresipitasi (Gambar 8b) memiliki pola yang lebih landai
dibandingkan tapioka setelah dipresipitasi. Pola yang lebih landai ini
menunjukkan bahwa setelah dipresipitasi tapioka mengalami perubahan sifat
menjadi amorf. Perubahan pola kristalinitas pada tapioka nanokristalin ini diduga
karena terbukanya struktur double helix pada daerah kristalin. Selain itu, dapat
juga terjadi proses terkristalisasinya amilosa rantai pendek yang membentuk
double helix sehingga dapat menyebabkan perubahan bentuk kristalin dalam
granula pati dan terjadi penurunan nilai derajat kristalinitas.
Morfologi Granula Pati
Pati memiliki bentuk dan ukuran granula yang berbeda-beda tergantung
jenis sumbernya. Menurut Tester dan Karkalas (2002), granula pati sagu memiliki
bentuk yang oval dengan ukuran 20-40 µm, dan tapioka memiliki bentuk
lentikular dengan ukuran 5-45 µm. Pada umumnya ukuran granula pati sagu lebih
besar dibandingkan tapioka.
Pada pembuatan pati nanokristalin yang dilakukan dengan dua tahapan,
dilihat pengaruh masing-masing tahapan terhadap granula pati dengan melihat
morfologi dari granula pati tersebut. Morfologi granula pati dapat dilihat
menggunakan mikroskop, salah satunya SEM.
Berdasarkan hasil analisa SEM, pati sagu dan tapioka yang telah mengalami
proses lintnerisasi masih memiliki bentuk dan ukuran yang sama dengan pati
alaminya (Gambar 9c dan 9d). Hal ini menunjukkan bahwa proses lintnerisasi
hanya berperan dalam perusakan daerah amorf yang terdapat dalam granula pati
tanpa mempengaruhi bentuk dan ukuran pati. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, adanya perlakuan panas dan mekanis selama proses presipitasi dapat
menyebabkan pembentukan partikel yang lebih kecil ketika pati terdegradasi.
Perlakuan mekanis ini menyebabkan terjadinya pemotongan ikatan-ikatan
antarmolekul amilosa dan amilopektin ketika pati teretrogradasi sehingga bentuk
dan ukuran partikel pati ini tidak kembali seperti kondisi semula. Berdasarkan
analisa morfoligi pati menggunakan SEM, terlihat bahwa partikel-partikel pati
setelah dipresipitasi masih belum terpisah secara sempurna dan masih tergabung
membentuk pori (Gambar 9e dan 9f). Struktur yang berpori ini dapat
mempengaruhi karakteristik fungsional dari pati nanokristalin.

14

a

b

c

d

e

f

Gambar 9 Bentuk granula pati hasil pengujian SEM untuk (a) pati sagu (Chin et
al. 2011) dan (b) tapioka alami (Loksuwan 2006); pati sagu (c) dan
tapioka (d) yang dilintnerisasi serta (d) pati sagu dan (f) tapioka yang
dipresipitasi
Pati merupakan salah satu bahan pangan yang mudah mengalami perubahan
karakteristik dari pati alaminya melalui beberapa perlakuan. Perlakuan pada pati
ini dapat terjadi secara alami atau pun memang dilakukan untuk menghasilkan
pati yang memiliki karakteristik tertentu. Modifikasi pati menjadi pati
nanokristalin yang dilakukan pada penelitian ini menghasilkan pati yang memiliki
karakteristik berbeda dari pati alaminya seperti yang disajikan dalam Tabel 3 dan
4. Perlakuan waktu lintnerisasi yang berbeda juga dapat mempengaruhi
karakteristik pati.

15
Tabel 3 Karakteristik pati kristalin melalui proses lintnerisasi
Waktu (Jam)
Parameter
2
4
6
Pati Sagu
Daya Cerna Pati (%)
Daya serap air (g/g sampel)
Daya serap minyak (g/g sampel)
Kelarutan (%)
Swelling power pada 700 C (%)
Tapioka
Daya Cerna Pati (%)
Daya serap air (g/g sampel)
Daya serap minyak (g/g sampel)
Kelarutan (%)
Swelling power pada 700 C (%)

24

88.10b
1.59a
2.15a
96.22c
193.83b

82.17b
1.74ab
1.93a
76.45b
25.34a

86.43b
1.81b
2.08a
70.78b
21.25a

69.57a
1.87b
2.26a
56.67a
5.26a

88.47b
1.96a
2.24ab
77.78a
157.39a

82.20ab
1.84a
2.82b
90.00ab
534.93a

91.50b
1.85a
2.08a
91.11ab
512.57a

76.67a
1.89a
2.44ab
95.56b
773.50a

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda signifikan pada
taraf uji 5%

Tabel 4 Karakteristik pati nanokristalin melalui proses lintnerisasi-presipitasi
Waktu (Jam)
Parameter
2
4
6
24
Pati Sagu
Daya Cerna Pati (%)
85.83b
89.20b
81.00a
75.20a
Daya serap air (g/g sampel)
4.82a
9.10c
7.15b
6.21ab
Daya serap minyak (g/g sampel)
1.23b
0.71a
0.86a
0.80a
Kelarutan (%)
40.74a
57.04b
62.59b
95.56c
Swelling power pada 700 C (%)
53.49a
80.92a
57.94a
838.20b
Tapioka
Daya Cerna Pati (%)
72.17ab
72.90b
71.30ab
67.67a
Daya serap air (g/g sampel)
4.79a
6.20b
7.98c
4.48a
Daya serap minyak (g/g sampel)
1.31ab
1.47ab
0.82a
2.02b
Kelarutan (%)
64.07a
73.33b
82.96c
90.37d
Swelling power pada 700 C (%)
86.59a
121.25ab
160.88b 368.21c
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda signifikan pada
taraf uji 5%

Daya Cerna Pati
Haralampu (2000) mengemukakan bahwa tingkat kemudahan pati untuk
dapat dihidrolisis menjadi unit-unit yang lebih kecil oleh enzim pemecah pati
dapat diukur dengan metode daya cerna pati in vitro. Nilai daya cerna pati yang
rendah menunjukkan bahwa pati tersebut kemungkinan mengandung komponen
yang sulit atau tidak dapat dicerna, sehingga pati tersebut tergolong dapat pati

16
yang sulit dicerna. Pengukuran daya cerna pati dilakukan menggunakan enzim αamilase pankreatin yang memiliki kondisi sama dengan kondisi enzim pemecah
pati dalam tubuh.
Proses pencernaan pati dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik yang menyebabkan pati menjadi lambat dicerna di
dalam usus halus yaitu jika bentuk fisik makanan mengganggu pengeluaran
amilase pankreatik, khususnya jika granula pati terhalang oleh material lainnya.
Sedangkan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi daya cerna pati adalah bentuk
makanan, konsentrasi amilase dalam usus, jumlah pati, dan adannya komponen
pangan lainnya (Mahadevamma et al. 2003).
Daya cerna pati diukur dari tingginya kadar maltosa dalam pati setelah
didegradasi oleh enzim α-amilase pankreatin yang diukur secara spektrofotometri.
Pati murni sebagai kontrol dari pengujian daya cerna pati ini memiliki daya cerna
100%. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, proses lintnerisasi pada pati
dilakukan untuk mendegradasi amilosa dan percabangan amilopektin pada daerah
amorf sehingga amilosa rantai panjang menjadi amilosa rantai pendek dengan
bobot molekul yang rendah. Jika fraksi amilosa rantai pendek semakin meningkat,
maka semakin banyak amilosa yang teretrogadasi atau terkristalisasi sehingga
dapat menurunkan sifat daya cerna pati. Berdasarkan analisa statistik, penurunan
signifikan terjadi setelah pati sagu dilintnerisasi selama 24 jam. Penurunan sifat
daya cerna pati juga terjadi pada tapioka kristalin yang menurun secara signifikan
pada waktu lintnerisasi selama 24 jam.
Terjadinya retgtrogradasi pati selama proses presipitasi diduga terjadi
perubahan struktur terhadap amilosa dan amilopektin yang dapat menyebabkan
perubahan kristalinitas pati yang juga berpengaruh terhadap perubahan sifat daya
cerna pada pati yang dihasilkan. Berdasarkan analisa statistik, penurunan daya
cerna terjadi secara signifikan pada sampel 24 jam. Penurunan sifat daya cerna
pada setiap perlakuan juga terjadi pada tapioka. Berdasarkan analisa statistik,
penurunan daya cerna tapioka nanokristalin secara signifikan terjadi pada sampel
24 jam. Penurunan daya cerna pati ini diduga karena semakin banyaknya fraksi
amilosa rantai pendek yang teretrogradasi membentuk rantai double helix
sehingga membentuk kristalit yang kompak, di mana ikatan-ikatan antarmolekul
yang terbentuk kembali menjadi lebih tahan terhadap perusakan oleh enzim αamilase. Dalam aplikasinya sebagai matriks dalam pembawa bahan aktif atau
obat-obatan, sifat ini bermanfaat agar obat yang dikonsumsi luruh secara perlahan
sehingga fungsi dari obat-obatan tersebut dapat bekerja pada target.
Daya Serap Air dan Minyak
Daya serap air merupakan sifat fisik dan kemampuan struktur bahan pangan
dalam mencegah terlepasnya air dari struktur tiga dimensi bahan pangan tersebut
(Zayas 1997). Daya serap air pada pati dapat ditentukan oleh ukuran granula pati
dan struktur kimia dalam pati tersebut. Proses lintnerisasi dapat menyebabkan
perubahan sifat daya serap air pada pati. Pengaruh waktu lintnerisasi dapat
meningkatkan daya serap pati terhadap air, namun peningkatan yang terjadi tidak
signifikan. Peningkatan sifat ini diduga disebabkan struktur pati termodifikasi ini
tidak kembali seperti semula. Collado dan Corke (1999) mengemukakan bahwa
pati yang telah mengalami modifikasi akan mengalami pembengkakan granula,
sehingga akan meningkatkan daya absorbsi dari pati dan tidak dapat

17
teretrodegradasi. Pembengkakan granula pati diduga diakibatkan oleh perlakuan
waktu selama proses lintnerisasi pada suhu tertentu.
Proses presipitasi menghasilkan pati dengan ukuran partikel yang lebih kecil
dan berpori dengan bobot molekul yang lebih rendah dibandingkan pati alaminya.
Ukuran granula yang lebih kecil pada pati memiliki kemampuan menyerap air
yang lebih cepat pada suhu yang sama. Proses presipitasi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap perubahan sifat daya serap air pada pati. Berdasarkan analisa
statistik, nilai daya serap air pati sagu ini mengalami peningkatan signifikan pada
sampel 4 jam, kemudian penurunan signifikan terjadi pada sampel 6 jam.
Peningkatan daya serap air yang signifikan juga terjadi untuk tapioka pada sampel
4 jam dan penurunanan signifikan terjadi pada sampel 24 jam.
Adanya kemampuan menyerap minyak pada pati menunjukkan bahwa pati
tersebut memiliki bagian yang bersifat lipofilik. Afdi (1989) mengemukakan
bahwa daya serap minyak dipengaruhi oleh adanya protein pada permukaan
granula pati, di mana protein ini dapat membentuk kompleks yang dapat
memberikan tempat terikatnya minyak pada pati.
Proses lintnerisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan daya
serap minyak pada pati. Pada pati sagu, daya serap minyak tertinggi terdapat pada
pati yang telah dilintnerisasi selama 24 jam, sedangkan pada tapioka terdapat pada
pati yang dilintnerisasi selama 4 jam. Peningkatan daya serap minyak ini diduga
terjadi karena tingginya amilosa rantai pendek yang terbentuk setelah
dilintnerisasi sehingga semakin banyak pula amilosa yang membentuk kompleks
dengan minyak dalam membentuk amilosa-lipid. Hal ini mengacu pada Swinkels
(1985) yang mengemukakan bahwa kandungan amilosa dalam pati juga dapat
mempengaruhi daya serap minyak. Hal ini dikarenakan amilosa mempunyai
kemampuan membentuk kompleks dengan minyak dalam membentuk amilosalipid.
Setelah dilanjutkan dengan proses presipitasi, nilai daya serap minyak pada
pati sagu dan tapioka menurun secara signifikan dibandingkan pati kristalin hasil
lintnerisasi. Penurunan sifat ini diduga akibat terdegradasinya kembali amilosa
yang terjadi selama proses presipitasi sehingga tidak dapat membentuk kompleks
amilosa-lipid. Berdasarkan analisa statistik, nilai daya serap minyak pada pati
sagu mengalami penurunan signifikan pada sampel 4 jam dan mulai meningkat
kembali pada sampel 6 jam, namun peningkatan yang terjadi tidak signifikan.
Pada tapioka, daya serap minyak pada pati mengalami penurunan yang signifikan
pada sampel 6 jam dan meningkat kembali secara signifikan pada sampel 24 jam.
Pati nanokristalin yang diharapkan dari setiap tahapan proses ini dalah pati
yang memiliki daya serap air dan minyak yang rendah. Kebutuhan fungsional pati
ini disesuaikan dengan aplikasinya sebagai matriks dalam pembawa bahan aktif
atau obat-obatan, di mana dengan daya serap air dan minyak yang rendah ini, pati
dapat mengikat komponen-komponen yang bersifat hidrofobik dan lipofobik pada
bahan aktif dalam obat-obatan.
Kelarutan dan Swelling Power
Ferrini et al. (2008) mengemukakan bahwa pati yang telah dimodifikasi
dengan hidrolisis asam mengalami penurunan swelling power, viskositas, dan
kestabilan pasta pati selama proses gelatinisasi. Pada umumnya, pati yang telah
mengalami modifikasi memiliki kelarutan dan kemampuan mengembang

18
(swelling power) yang lebih rendah dibandingkan pati alaminya. Menurut
Srichuwong et al. (2005), selama proses modifikasi berlangsung, terjadi
peningkatan interaksi ikatan molekul pati sehingga dapat membatasi swelling
power granula pati. Adebowale et al. (2005) juga mengemukakan bahwa
rendahnya swelling power pada pati akibat proses modifikasi berhubungan dengan
pembatasan penetrasi air dengan pati karena meningkatnya kristalinitas pati.
Swelling power pada pati terjadi pada daerah amorf, di mana daerah ini
memiliki ikatan antarmolekul yang lemah sehingga ikatan tersebut mudah terputus
ketika diberi perlakuan panas. Selama mendapat perlakuan panas, granula pati
akan membengkak dan apabila pemanasan dilanjutkan melebihi suhu
gelatinisasinya akan menyebabkan granula pecah dan amilosa yang terdapat
dalam granula pati akan keluar dan larut dalam air. Banyaknya amilosa yang larut
tersebut yang kemudian diukur sebagai nilai kelarutan pati.
Proses lintnerisasi berpengaruh terhadap sifat swelling power pada pati. Hal
ini disebabkan selama proses hidrolisis, asam mendegradasi daerah amorf yang
berperan sebagai pengembangan pati. Pada pati sagu, semakin lama lintnerisasi
dapat menurunkan sifat swelling power pati. Penurunan sifat ini diduga akibat
banyaknya amilosa yang terkristalisasi atau teretrogradasi membentuk kristalit
sehingga memiliki ikatan antarmolekul yang lebih rapat dan air lebih sukar untuk
berpenetrasi ke dalam granula pati. Berdasarkan analisa statistik, penurunan mulai
terjadi secara signifikan setelah dihidrolisis selama 4 jam. Pada tapioka nilai
swelling power terjadi peningkatan, namun tidak signifikan. Hal ini diduga
dengan perlakuan waktu lintnerisasi yang lebih lama, ada sebagian dari daerah
kristalin yang turut didegradasi oleh asam, hal ini juga terlihat dari total gula
dalam filtrat yang semakin tinggi. Sifat swelling power memiliki korelasi yang
positif dengan kelarutan pada pati. Data yang dihasilkan dari pengukuran
menunjukkan bahwa semakin lama waktu lintnerisasi pada pati sagu dapat
menurunkan sifat kelarutan pati secara signifikan setelah dilintnerisasi selama 4
dan 24 jam, sedangkan pada tapioka nilai kelarutan meningkat namun tidak
signifikan.
Hasil pengukuran sampel pati yang telah melalui proses presipitasi etanol
menunjukkan terjadinya peningkatan nilai kelarutan dan swelling power pada pati
sagu dan tapioka nanopartikel. Hal ini diduga disebabkan granula pati yang telah
dipresipitasi ini memiliki ukuran yang lebih kecil dan membentuk porous ketika
dilakukan pemanasan, ikatan hidrogen pada granula pati mudah terganggu dan
granula mudah membengkak. Selain itu, dengan ukuran yang lebih kecil, granula
pati dapat lebih mudah larut dalam air. Berdasarkan analisa statistik, nilai swelling
power pada pati sagu meningkat secara signifikan pada sampel 24 jam, sedangkan
pada tapioka peningkatan swelling power terjadi secara signifikan pada tiap
sampel yang diberi perlakuan. Kelarutan pada pati sagu terjadi peningkatan secara
signifikan pada sampel 4 dan 24 jam. Pada tapioka, ukuran partikel ini
berpengaruh signifikan pada tiap perlakuan terhadap sifat kelarutan pati.

19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Pati nanokristalin merupakan pati alami yang telah mengalami modifikasi
melalui proses lintnerisasi dan presipitasi. Lintnerisasi pati dilakukan dengan
tujuan untuk mendegradasi daerah amorf pada pati menggunakan asam sehingga
kristalinitas dan sifat ketahanan asam pada pati meningkat. Dengan meningkatnya
kristalinitas pati ini maka diharapkan daya cerna, daya serap air dan minyak, serta
kelarutan dan swelling power pati menurun. Presipitasi dilakukan dengan tujuan
pembentukan partikel nano pada pati. Partikel berukuran nano ini berfungsi
meningkatkan daya absorbsi pati di dalam usus. Modifikasi pati menjadi
nanokristalin ini dilakukan untuk memperolah karakteristik yang sesuai dengan
aplikasinya, salah satunya matriks dalam pembawa bahan aktif atau obat-obatan.
Dengan daya cerna yang rendah dan ketahanan asam yang tinggi maka obat yang
dikonsumsi dapat luruh secara perlahan dan lebih tahan terhadap asam lambung
sehingga fungsi dari obat tersebut dapat bekerja pada target.
Proses lintnerisasi berpengaruh signifikan terhadap perubahan sifat
kelarutan dan swelling power sert