Enkapsulasi Ekstrak Temulawak Menggunakan Matriks Pati Tapioka Dan Sagu Nanokristalin Dan Maltodekstrin.

ENKAPSULASI EKSTRAK TEMULAWAK MENGGUNAKAN
MATRIKS PATI TAPIOKA DAN SAGU NANOKRISTALIN
DAN MALTODEKSTRIN

FATIMAH JUMIATI PASARIBU

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Enkapsulasi Ekstrak
Temulawak Menggunakan Matriks Pati Tapioka dan Sagu Nanokristalin dan
Maltodekstrin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Fatimah Jumiati Pasaribu
NIM F34100111

ABSTRAK
FATIMAH JUMIATI PASARIBU. Enkapsulasi Ekstrak Temulawak
Menggunakan Matriks Pati Tapioka dan Sagu Nanokristalin dan Maltodekstrin.
Dibimbing Oleh TITI CANDRA SUNARTI.
Ekstrak temulawak merupakan oleoresin rimpang temulawak yang
mengandung bahan aktif kurkumin yang diketahui berkhasiat sebagai antioksidan.
Akan tetapi pemanfaatannya terbatas karena sifatnya yang hidrofobik,
bioavailabilitas rendah, serta sensitif terhadap pH, suhu, dan cahaya. Kelemahan
tersebut dapat diatasi dengan enkapsulasi kurkumin menggunakan bahan penyalut
pati nanokristalin. Kelebihan pati nanokristalin dibandingkan polimer lain sebagai
matriks antara lain biodegradable, memiliki kekuatan pengikatan yang tinggi, dan
ukuran yang kecil membuat penyerapannya lebih tinggi. Pati sagu dan tapioka
nanokristalin merupakan pati potensial yang dapat dijadikan sebagai matriks
karena kelarutan dan daya cernanya yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh persentase rasio pati nanokristalin dari tapioka dan sagu
sebagai matriks dan maltodekstrin sebagai penstabil, serta konsentrasi ekstrak
temulawak terhadap karakteristik nanokapsul yang dihasilkan, dan pengaruh
enkapsulasi terhadap stabilitas aktivitas antioksidan ekstrak temulawak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rasio pati nanokristalin, maltodekstrin dan
konsentrasi ekstrak temulawak berpengaruh nyata terhadap karakteristik
nanokapsul. Perlakuan enkapsulasi terbaik pada matriks tapioka nanokristalin
didapatkan pada rasio pati nanokristalin: maltodekstrin 25 : 75 (% b/b) dan
konsentrasi ekstrak temulawak 10%, sedangkan pada matriks sagu nanokristalin
adalah 75 : 25 (% b/b) dan konsentrasi ekstrak temulawak 10%. Aktivitas
antioksidan ekstrak temulawak menurun setelah dilakukan enkapsulasi
dibandingkan sebelum enkapsulasi. Penggunaan suhu tinggi saat spray drying
mempengaruhi penurunan aktivitas antioksidan ekstrak temulawak.
Kata kunci : enkapsulasi, ekstrak temulawak, pati nanokristalin, tapioka, sagu

ABSTRACT
FATIMAH JUMIATI PASARIBU. Encapsulation of Temulawak Extract using
Tapioca and Sago Nanocrystalline Starch Matrix and Maltodextrin. Supervised by
TITI CANDRA SUNARTI.
Temulawak extract is oleoresin from temulawak rhizome contained the

active compound curcumin which is known efficacious as antioxidant. However,
its utility is limited because of its hydrophobic property, low bioavailability, and
its sensitivities to pH, temperature, and light. These weaknesses can be overcome
by encapsulating the curcumin by using nanocrystalline starch as matrix.
Nanocrystalline starch has more advantage than other polymers because of its
biodegradability, has high binding capacity and its small particle size make
higher absorption in gastrointestinal tissue. Tapioca and sago nanocrystalline
starches are potential modified starch that can be used as matrix for its low
solubility and digestibility. This research aimed to determine the effect of

percentage ratio of tapioca and sago nanocrystalline starch as matrix and
maltodextrin as stabilizer; and the effect of concentration of temulawak extract on
nanocapsule characteristics, as well as encapsulation effect on stability of
antioxidant activity. The results showed that percentage ratio of nanocrystalline
starch, maltodextrin and concentration of temulawak extract significantly affected
to the nanocapsule characteristics. The best encapsulation condition obtained for
tapioca nanocrystalline matrix with ratio of nanocrystalline starch : maltodextrin
25 : 75 (% w/w) and 10% concentration of temulawak extract, while for sago are
75: 25 (% w/w) and 10% concentration of temulawak extract. The use of high
temperature on spray drying affected to the declining of antioxidant activity of

encapsulated temulawak extract.
Keywords : encapsulation, temulawak extract, nanocrystalline starch, tapioca,
sago

ENKAPSULASI EKSTRAK TEMULAWAK MENGGUNAKAN
MATRIKS PATI TAPIOKA DAN SAGU NANOKRISTALIN
DAN MALTODEKSTRIN

FATIMAH JUMIATI PASARIBU

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi dengan
judul “Enkapsulasi Ekstrak Temulawak Menggunakan Matriks Pati Tapioka dan
Sagu Nanokristalin dan Maltodekstrin” telah dapat diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan mulai bulan Juni 2014 sampai dengan Desember 2014 dan
merupakan bagian dari penelitian KKP3N yang didanai oleh Badan Litbang
Pertanian tahun 2014. Selama penyusunan skripsi ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1 Dr Ir Titi Candra Sunarti selaku pembimbing atas semua bimbingan,
motivasi, saran selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.
2 Ibu tercinta Nur Asimah Pohan, yang menjadi ayah sekaligus ibu bagi
penulis, dan kakak Tini Safridar Pasaribu serta abang dan adik yang selalu
mencurahkan doa dan dukungan kepada penulis.
3 Ibu Christina Winarti yang telah berbagi ilmu, saran, diskusi ilmiah dan
banyak bantuan selama penyelesaian skripsi ini.
4 Teman seperjuangan di Laboratorium Bioindustri, Fithriani dan Ardhi
Novrialdi Ginting, serta teman - teman TIN 47 lainnya.

5 Pihak - pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala
bantuan dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan skripsi ini dengan baik.
semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2015
Fatimah Jumiati Pasaribu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN


x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian


3

Ruang Lingkup Penelitian

3

METODE

3

Bahan

3

Alat

4

Prosedur Penelitian


4

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Karakteristik Pati Nanokristalin

6

Karakteristik Nanokapsul

9

SIMPULAN DAN SARAN


21

Simpulan

21

Saran

21

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP


39

DAFTAR TABEL
1
2

Komposisi penambahan maltodekstrin dan pati nanokristalin
Karakteristik fungsional pati tapioka dan pati sagu nanokristalin

4
8

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Diagram alir produksi pati nanokristalin
Ilustrasi perusakan daerah amorf pada proses lintnerisasi
Representasi skema struktur kompleks amilosa-bahan aktif dan
kemungkinan lokasi molekul yang terjerat
Struktur molekul maltodekstrin
Efisiensi enkapsulasi nanokapsul (a) tapioka, (b) sagu nanokristalin
berdasarkan faktor yang mempengaruhi pada berbagai perlakuan
Drug loading nanokapsul (a) tapioka (b) sagu nanokristalin
berdasarkan faktor yang mempengaruhi pada berbagai perlakuan
Struktur kimia radikal bebas (1) dan non radikal DPPH (2)
Aktivitas antioksidan nanokapsul (a) tapioka (b) sagu nanokristalin
sebelum enkapsulasi dan sesudah sesudah enkapsulasi berdasarkan
faktor yang mempengaruhi pada berbagai perlakuan
Struktur kimia kurkumin dan demetoksikurkumin

5
7
10
11
14
14
17
18
20

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Karakterisasi pati nanokristalin
Penentuan kinerja nanokapsul
Hasil uji karakteristik nanokapsul
Hasil analisis keragaman faktor rasio pati tapioka nanopartikel :
maltodekstrin, dan konsentrasi ekstrak temulawak terhadap
karakteristik nanokapsul
Hasil analisis keragaman faktor rasio pati sagu nanopartikel :
maltodekstrin, dan konsentrasi ekstrak temulawak terhadap
karakteristik nanokapsul
Hasil analisis statistik uji T

25
27
28
29
31
33

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Temulawak merupakan salah satu jenis tanaman khas Indonesia yang
banyak dimanfaatkan sebagai obat atau jamu disebabkan mengandung senyawa
aktif kurkumin yang berkhasiat sebagai antioksidan, mengatasi kurang nafsu
makan, anti inflamasi, anti kanker, anti kolesterol, dan menyembuhkan berbagai
penyakit lainnya. Penelitian dan studi klinis mengenai manfaat kurkumin ini telah
banyak dilakukan (Dhillon et al. 2008; Gharcia et al. 2007; Sharma et al. 2001;
Shoskes et al. 2005). Konsumsi temulawak saat ini umumnya secara komersil
disajikan dalam bentuk ekstrak temulawak atau serbuk bahan dengan diseduh air
panas. Penyerapan senyawa aktif kurkumin dalam tubuh dalam bentuk ekstrak
temulawak tersebut kurang efektif karena sifat kurkumin yang memiliki
bioavailabilitas yang rendah dan tidak dapat larut air. Selain itu kurkumin
memiliki sensitivitas tinggi terhadap pH, suhu, dan cahaya. Oleh karena itu, salah
satu cara untuk mengatasi kelemahan tersebut, yaitu untuk meningkatkan
kelarutan dan bioavailabilitas kurkumin dalam ekstrak serta melindungi kurkumin
adalah dengan menyalut kurkumin dengan bahan penyalut (matriks) yang sesuai.
Diantara berbagai bahan yang umum digunakan sebagai matriks, seperti
lipid, protein, pati, atau polimer non biodegradagable seperti Eudragit, pati lebih
banyak digunakan karena memiliki beberapa keunggulan, antara lain harganya
yang relatif murah, tersedia dalam jumlah besar, bersifat biodegradable dan
mudah dimodifikasi untuk perbaikan karakteristik fisiko-kimianya. Pati juga telah
lama dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada sediaan obat di bidang farmasi,
baik sebagai bahan pengisi, penstabil, atau penyalut obat. Oleh karena itu, pada
penelitian ini digunakan pati sebagai bahan penyalut. Akan tetapi, penggunaan
pati alami sebagai matriks memiliki kelemahan seperti tidak larut dalam air dingin,
viskositas suspensi yang tidak stabil, dan daya cerna nya yang tinggi yang tidak
sesuai dengan karakteristik matriks yang diinginkan. Oleh karena itu agar sesuai
perlu dilakukan modifikasi terhadap pati. Modifikasi yang dapat dilakukan adalah
dengan lintnerisasi, yaitu merusak bagian amorf pati dan amilosa pada titik
percabangan rantai amilopektin untuk menjadi pati kristalin sehingga menurunkan
daya cerna pati, dan mengubah ukuran pati menjadi nano (nanopartikel) melalui
proses presipitasi.
Penggunaan pati nanopartikel merupakan salah satu alternatif matriks
pembawa bahan aktif karena memiliki beberapa kelebihan. Pati nanopartikel
memiliki viskositas suspensi rendah walau konsentrasinya relatif tinggi, bersifat
tahan terhadap asam dan memiliki kekuatan pengikatan yang tinggi sehingga
potensial sebagai bahan pembawa. Selain sebagai pelindung bahan aktif agar tetap
stabil dari gangguan faktor luar, ukurannya yang sangat kecil membuat luas
permukaan aktif semakin besar sehingga kemampuan mengikat kurkumin juga
lebih besar. Selain itu, ukuran yang kecil juga meningkatkan penyerapan bahan
aktif ke dalam jaringan pencernaan dalam tubuh (usus halus), sehingga dapat
mempercepat proses pengobatan dalam tubuh. Pati sagu dan tapioka merupakan
pati yang ketersediaannya melimpah di Indonesia, disusun dengan rantai
amilopektin dalam jumlah besar (73% dan 83%) yang dapat menghasilkan pati

2
dengan kristalinitas tinggi, dan berdasarkan penelitian Wulandari (2013), pati sagu
dan tapioka nanopartikel memiliki nilai kelarutan, daya cerna pati yang rendah
yang sesuai digunakan sebagai matriks pembawa. Oleh karena itu, enkapsulasi
ekstrak temulawak pada penelitian ini menggunakan matriks dari pati sagu dan
tapioka nanopartikel.
Menurut Barros dan Stringheta (2006), matriks enkapsulan ideal harus
memiliki sifat pembentuk film, memiliki sifat pengemulsi, bersifat biodegradable,
resisten terhadap saluran pencernaan, memiliki viskositas yang rendah
pada konsentrasi tinggi, menunjukkan higroskopisitas rendah dan murah. Akan
tetapi, tidak memungkinkan bahwa semua karakteristik tersebut dapat dipenuhi
dengan menggunakan satu matriks saja. Oleh karena itu, pencampuran dari dua
atau lebih komponen matriks lebih sering dilakukan (Barros dan Stringheta 2006).
Pada proses pengikatan senyawa aktif kurkumin yang tidak larut air, matriks
pati nanopartikel memerlukan bantuan tambahan matriks lain yang berfungsi
sebagai penstabil dan emulsifier. Bahan penstabil dibutuhkan untuk menghasilkan
nanokapsul yang stabil. Umumnya, nanokapsul bahan aktif distabilkan
menggunakan protein biokompatibel (misalnya serum albumin manusia) atau
polimer (misalnya PVA) (Gupta 2006). Pada penelitian ini digunakan bahan
penstabil berupa maltodekstrin. Maltodekstrin merupakan pati termodifikasi yang
banyak diaplikasikan sebagai bahan penstabil dan emulsifier di industri pangan.
Maltodekstrin memiliki sifat cepat terdispersi, dapat membentuk sifat higroskopis
yang rendah, dan kemampuan membentuk film dan daya ikat yang kuat (Srihari et
al. 2010). Karena daya ikatnya yang kuat, maltodekstrin juga digunakan sebagai
co-matriks pada penelitian ini.
Aplikasi pati nanopartikel sebagai matriks enkapsulasi telah dilakukan oleh
Winarti (2014) yang mengenkapsulasi kurkumin dengan pati garut. Pada
penelitian ini enkapsulasi dilakukan menggunakan pati sagu dan pati tapioka
nanopartikel sebagai matriks pembawa, dengan penambahan maltodekstrin yang
berfungsi sebagai penstabil dan emulsifier, dan perlakuan perbedaan penambahan
konsentrasi bahan aktif yang akan dienkapsulasi. Kedua faktor perlakuan tersebut
dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap karakteristik nanokapsul yang
dihasilkan, dan pengaruh enkapsulasi terhadap stabilitas ekstrak temulawak dilihat
dari aktivitas antioksidannya. Dari pengujian tersebut kemudian dipilih perlakuan
terbaik dari tiap matriks yang digunakan dalam enkapsulasi ekstrak temulawak.
Perumusan Masalah
Maltodekstrin digunakan sebagai bahan penstabil dan emulsifier pada
pengikatan ekstrak temulawak dalam pati nanokristalin. Maltodekstrin juga
memiliki fungsi sebagai co-matriks dengan pati nanokristalin. Banyaknya
maltodekstrin yang digunakan dengan pati nanokristalin sebagai matriks akan
memiliki pengaruh terhadap karakteristik nanokapsul yang dihasilkan.
Konsentrasi ekstrak temulawak yang ditambahkan ke dalam matriks juga akan
mempengaruhi karakteristik nanokapsul. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang
ditambahkan, maka semakin banyak bahan aktif yang akan tersalut oleh matriks.
Oleh karena itu, perbedaan taraf konsentrasi penggunaan pati nanokristalin dan

3
maltodekstrin sebagai matriks, dan penambahan ekstrak temulawak menjadi
faktor pada penelitian ini.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah enkapsulasi ekstrak temulawak
dalam matriks pati sagu dan tapioka nanokristalin. Tujuan khusus dari penelitian
ini adalah untuk mengkaji pengaruh rasio pati nanokristalin dan maltodekstrin
yang digunakan sebagai matriks serta konsentrasi ekstrak temulawak yang
ditambahkan terhadap karakteristik nanokapsul ekstrak temulawak yang
dihasilkan, dan pengaruh enkapsulasi terhadap stabilitas aktivitas antioksidan
ekstrak temulawak.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan sebagai formulasi
enkapsulasi ekstrak temulawak dalam matriks nanocarrier. Aplikasi matriks ini
sebagai bahan penyalut akan meningkatkan efektifitas senyawa aktif kurkumin
dalam ekstrak temulawak dengan bioavalabilitas yang tinggi sehingga dapat
dimanfaatkan khasiatnya secara maksimum.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mempelajari pengaruh rasio penambahan pati
tapioka dan pati sagu nanokristalin dengan maltodekstrin, dan perbedaan
konsentrasi ekstrak temulawak yang ditambahkan terhadap karakteristik
nanokapsul yang dihasilkan, meliputi rendemen, efisiensi enkapsulasi, drug
loading, dan aktivitas antioksidan; mempelajari pengaruh enkapsulasi terhadap
stabilitas ekstrak temulawak dilihat dari aktivitas antioksidan ekstrak temulawak
sebelum dan sesudah dienkapsulasi, dan pemilihan perlakuan terbaik dari tiap
matriks yang digunakan dalam enkapsulasi ekstrak temulawak.

METODE
Bahan
Pati yang digunakan pada penelitian ini adalah pati tapioka dan sagu. Pati
nanokristalin sebagai matriks dihasilkan berdasarkan metode Winarti (2014).
Maltodekstrin digunakan sebagai co-matriks dan bahan penstabil (emulsifier).
Senyawa herbal yang digunakan adalah ekstrak temulawak (Balai Pasca Panen)
dan bahan aktif kurkumin standar (Merck USA). Bahan lain yang digunakan
antara lain larutan etanol pro analis, senyawa radikal bebas DPPH (1,1-diphenyl2-picryl-hydrazyl), dan bahan kimia untuk analisa.

4
Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu waterbath, penangas,
magnetic stirrer, oven pengering, neraca analitik, homogenizer Ultra Turrax T25
basic, spray dryer, kertas saring, sonikator (Branson 5510), inkubator,
spektrofotometer UV-Vis (HP 8453), dan peralatan gelas untuk analisis.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu preparasi dan
karakterisasi pati nanokristalin, tahap enkapsulasi ekstrak temulawak dalam
matriks, dan tahap pengujian nanokapsul.
Preparasi Pati Nanokristalin
Pati tapioka dan sagu nanokristalin yang digunakan dihasilkan berdasarkan
metode dari hasil penelitian Winarti (2014). Adapun proses pembuatan pati
nanokristalin disajikan pada Gambar 1.
Karakterisasi Pati Nanokristalin
Karakterisasi pati sagu dan pati tapioka nanokristalin meliputi kelarutan,
swelling power, dan daya cerna pati. Metode analisa karakterisasi pati disajikan
pada Lampiran 1.
Proses Enkapsulasi Bahan Aktif (Modifikasi Winarti 2014)
Masing-masing matriks nanopatrikel pati sagu dan tapioka dicampurkan
dengan maltodekstrin dengan perbandingan komposisi berbeda yang ditunjukkan
pada Tabel 1, dengan berat total bahan 15 g (10% b/v). Dasar rasio tersebut
digunakan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi penyalut yang optimum
dengan merepresentasikan nilai bahan penyalut dalam rendah, sama besar, dan
tinggi. Kedua jenis campuran pati (pati sagu dan maltodekstrin; pati tapioka dan
maltodekstrin) kemudian didispersi dengan akuades suhu 70 oC sambil diaduk
dengan magnetic stirrer selama 15 menit, selanjutnya direhidrasi semalam.
Ekstrak temulawak yang telah diencerkan dengan etanol hingga kadar padatan
terlarut ≥ 20 oBrix dimasukkan ke dalam suspensi pati sebanyak 5% v/v dan 10%
v/v, kemudian dihomogenisasi dengan Ultra Turrax selama 10 menit pada
kecepatan 11000 rpm. Selanjutnya dilakukan atomisasi dan pengeringan dengan
spray dryer dengan kondisi suhu inlet sekitar 80 oC dan suhu outlet 170 oC.
Nanokapsul yang diperoleh ditimbang dan dihitung rendemennya.
Tabel 1 Komposisi penambahan maltodekstrin dan pati nanokristalin
Basis

Komposisi (%)

15 g

25 : 75
50 : 50
75 : 25

Pati Sagu/Tapioka
Nanokristalin (g)

Maltodekstrin (g)

3.75
7.50
11.25

11.25
7.50
3.75

5
Pati Alami : HCl 2.2 N
1 : 2 (b/v) (hidrolisis pati)
Inkubasi dalam shakerbath
T=35 oC, 6 jam
Penetralan suspensi pati
Filtrat

NaOH 1 N

Penyaringan
Pencucian dengan aquades dan
etanol 95%
Pengeringan, T= 40 oC
24 jam
Pati Kristalin (Lintnerisasi)
Dipanaskan sampai tergelatinisasi sempurna T = 90 oC
Penambahan etanol 95% secara perlahan-lahan
dengan pengadukan
Pemisahan kompleks pati dan etanol
Pengeringan T = 40 oC, 24 jam
Pati Nanokristalin

Karakterisasi :
- Kelarutan
- Swelling power
- Daya cerna pati

Gambar 1 Diagram alir produksi pati nanokristalin

6
Penentuan Karakteristik Nanokapsul
Penentuan karakteristik nanokapsul meliputi efisiensi enkapsulasi, drug
loading, dan uji aktivitas antioksidan. Prosedur analisis selengkapnya disajikan
pada Lampiran 2. Hasil uji aktivitas antioksidan nanokapsul nantinya akan
dibandingkan dengan aktivitas antioksidan ekstrak temulawak sebelum
dienkapsulasi untuk melihat stabilitas aktivitas antioksidan yang terjadi.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan pada penelitian ini menggunakan rancangan acak
lengkap faktorial (RALF), dengan dua faktor, yaitu faktor konsentrasi ekstrak
temulawak (A) (5% dan 10%), dan faktor rasio pati nanokristalin : maltodekstrin
(B) (25 : 75, 50 : 50, 75 : 25, ) terhadap karakteristik nanokapsul. Setiap perlakuan
diulang sebanyak 3 kali. Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis sidik
ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan menggunakan perangkat lunak SAS 9.1.
Model statistik yang digunakan adalah sebagai berikut :
ij

=

i

j

(

)ij

ij

Keterangan :
Yij1
= nilai respon faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dengan ulangan ke-1
= nilai rata - rata
Ai
= pengaruh faktor konsentrasi ekstrak temulawak pada taraf ke-I (i = 5%
dan 10%)
Bj
= pengaruh faktor rasio pati dan maltodekstrin pada taraf ke j (j = 25:75,
50:50, 75:25)
(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
= pengaruh galat atau error dari faktor A taraf ke-i, B taraf ke-j
ij

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pati Nanokristalin
Pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang tersusun
atas dua homopolimer yang memiliki struktur berbeda yaitu amilosa dan
amilopektin. Komponen amilosa dan amilopektin merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi perbedaan karakteristik kimia dan fungsional pada pati.
Pati tersusun atas granula pati, yang tersusun atas lapisan kristalin dan lapisan
amorf. Bagian kristalin merupakan kumpulan molekul amilopektin dalam granula,
sedangkan bagian amorf disusun oleh molekul amilosa yang tersebar pada cluster
amilopektin.
Pati nanokristalin merupakan pati alami termodifikasi yang memiliki
ukuran partikel berkisar 20-50 nm dan memiliki sifat kristalin. Pati dapat
membentuk struktur nano karena granula pati sendiri tersusun oleh bloklet
kristalin ukuran nano (nano-scale crystalline blocklet) dengan diameter berkisar

7
20-500 nm, tergantung asal botaninya. Satu bloklet granula tersusun oleh lapisan
yang terdiri atas lamela kristal (5-6 nm) dan lamela amorf (2-5 nm) (Gallant et al.
1997). Pati nanopartikel memiliki sifat viskositas rendah walaupun pada
konsentrasi tinggi dan memiliki daya mengikat yang tinggi, sehingga pati
nanopartikel kerap dimanfaatkan di industri, seperti untuk bahan tambahan
makanan, bahan pembawa dalam obat-obatan, coating binders, biodegradable
composites, dan berbagai produk lainnya.
Pati nanokristalin dihasilkan melalui dua proses utama, yaitu lintnerisasi dan
presipitasi pati. Lintnerisasi pati menghasilkan pati kristalin, yaitu pati
termodifikasi yang telah dirusak fraksi amilosa rantai panjang dan titik
percabangan α-1,6 inter klaster dari rantai amilopektin sehingga dihasilkan fraksi
amilosa rantai pendek dengan bobot molekul yang lebih rendah dan membentuk
struktur kristalin dengan dihidrolisis menggunakan asam kuat. Semakin banyak
struktur yang diputus dengan asam kuat menjadi gula-gula sederhana,
menghasilkan daya cerna pati yang semakin rendah. Lintnerisasi juga bertujuan
untuk menurunkan viskositas pati dan meningkatkan kristalinitasnya. Adapun
proses perusakan daerah amorf dan kristalin pada proses lintnerisasi diilustrasikan
pada Gambar 2.

Gambar 2 Ilustrasi perusakan daerah amorf pada proses lintnerisasi
(Srichuwong et al. 2005)
Lintnerisasi hanya memodifikasi struktur kimia pati, sehingga untuk
pengecilan ukuran granula pati dilakukan proses lanjutan yaitu dengan presipitasi.
Proses presipitasi dilakukan dengan penambahan pelarut organik secara perlahan
dengan pengadukan yang cepat. Terbentuknya pati nanopartikel terjadi ketika pati
mendapat perlakuan suhu tinggi saat proses gelatinisasi dan adanya energi
mekanis yang mengakibatkan terjadinya perusakan ikatan kovalen dan hidrogen
pada struktur double helix amilopektin dan pelelehan bagian kristalin, sehingga
terbentuk partikel-partikel yang lebih kecil hingga sampai ukuran nano (Winarti
2014). Berdasarkan penelitian Winarti (2014), pati nanopartikel yang dihasilkan
dengan proses presipitasi etanol berukuran antara 100-250 nm.
Karakteristik fungsional pati nanokristalin yang berhubungan dengan
aplikasinya sebagai matriks bahan aktif adalah kelarutan, swelling power, dan
daya cerna pati. Nilai kelarutan, swelling power, dan daya cerna pati tapioka dan
sagu nanokristalin ditunjukkan pada Tabel 2. Kelarutan pati semakin tinggi

8
dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas
untuk tiap pati (Pomeranz 1991). Berdasarkan penelitian Winarti (2014), nilai
kelarutan pati nanokristalin lebih rendah dibandingkan pati kristalin (lintnerisasi).
Peningkatan kelarutan pada lintnerisasi disebabkan proses hidrolisis telah merusak
granula dan memecah rantai pati menjadi lebih pendek sehingga lebih mudah
terlarut. Adapun kelarutan pati nanokristalin menurun disebabkan hilangnya
molekul air akibat partikel presipitasi etanol. Etanol akan menggantikan molekul
air di dalam bahan sehingga kelarutan cenderung rendah (Winarti 2014). Nilai
kelarutan pati sagu (56.67%) lebih rendah dibandingkan dengan pati tapioka
(72.78%). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Rizkiana (2015) dan
Sauyana (2015). Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, kadar amilosa,
dan kristalinitas pati mempengaruhi sifat swelling power dan kelarutan. Proses
lintnerisasi cenderung menurunkan kadar amilosa pati dan meningkatkan derajat
kristalinitasnya. Penurunan kadar amilosa meningkatkan kelarutan karena rantai
panjang amilosa diputus menjadi amilosa rantai pendek sehingga lebih mudah
terlarut. Amilosa rantai pendek memiliki bobot molekul rendah yang lebih mudah
larut air sehingga meningkatkan kelarutannya. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya oleh Rizkiana (2015) dan Sauyana (2015) yang kadar
amilosa pati tapioka (19%) kristalin lebih rendah dibandingkan pati sagu kristalin
(25%). Kadar amilosa pati pada sagu nanokristalin (23.89%) memang lebih
rendah dibandingkan pati tapioka nanokristalin (34.66%) akan tetapi hal ini dapat
terjadi karena proses presipitasi juga dapat menyebabkan kadar amilosa
meningkat karena terjadi kompleksasi amilosa dengan pelarut organik yang
digunakan sehingga mengendapkan kembali amilosa yang terlarut dalam air, serta
amilosa merupakan fraksi pati yang larut air sehingga kemungkinan kelarutan pati
tapioka nanokristalin lebih tinggi dibandingkan sagu nanokristalin karena lebih
banyak amilosa yang terlarut. Sebagai matriks, nilai kelarutan pati diharapkan
rendah, karena nilai kelarutan yang tinggi akan mempercepat matriks larut dalam
air sehingga bahan aktif kurkumin yang disalut akan ikut luruh dan hilang
sebelum sampai di jaringan pencernaan.
Tabel 2 Karakteristik fungsional Pati Tapioka dan Pati Sagu nanokristalin
Karakteristik
Kelarutan

Tapioka

Sagu

(%)

72.78

56.67

Swelling power (%)

226.38

249.15

Daya cerna pati (%)

71.67

80.25

Swelling power didefinisikan sebagai pertambahan volume dan berat
maksimum yang dialami pati dalam air (Buleon et al. 1998). Swelling power
terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul
pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air
oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas
meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati
(Swinkels 1985).

9
Swelling atau kapasitas menyerap air pada pati sangat penting dalam
aplikasi biomedis atau farmasi, baik sebagai implan maupun sistem penghantaran
obat. Hal itu disebabkan tingkat kesetimbangan swelling akan mempengaruhikoefisien difusi pelarut melewati matriks, sifat permukaan dan mobilitas
permukaan, termasuk sifat mekanisnya (Peppas et al. 1996). Proses lintnerisasi
berpengaruh terhadap sifat swelling power karena selama proses hidrolisis, asam
mendegradasi daerah amorf yang berperan sebagai pengembangan pati. Proses
hidrolisis asam akan meningkatkan kelarutan namun menurunkan swelling power
(Winarti 2014). Swelling power yang dihasilkan pada tapioka nanokristalin lebih
rendah (226.38%) dibandingkan pati sagu nanokristalin (249.15%). Hasil ini
bersesuaian dengan hasil kelarutan pati dimana kelarutan pati tapioka memang
lebih tinggi dari pada kelarutan pati nano kristalin sehingga swelling power nya
rendah. Proses hidrolisis merusak granula dan memecah rantai pati menjadi lebih
pendek dan menurunkan bobot molekul pati. Meningkatnya rantai amilosa pendek
pati meningkatkan sifat kristalinitas pati karena amilosa teretrogradasi membentuk
struktur kristalin yang kokoh dan kompak sehingga air terhambat untuk masuk ke
dalam granula pati yang mengakibatkan swelling power menurun (Winarti 2014).
Sebagai matriks, diharapkan pati tidak terlalu mudah mengembang karena dengan
pengembangan matriks maka struktur akan membuka dan bahan aktif akan cepat
terlepas. Di lain pihak sebagai hidrogel, kemampuan membentuk jaringan gel
yang akan melapisi permukaan nanokapsul juga diharapkan sehingga akan
menghambat keluarnya bahan aktif.
Sifat daya cerna pati dipengaruhi oleh kristalinitas pati. Semakin kristalin
maka daya cerna pati semakin menurun disebabkan daerah kristalin memiliki
struktur yang rapat dan kompak sehingga akan sulit ditembus oleh enzim
pankreatin amilase (Winarti 2014). Proses lintnerisasi dan presipitasi cenderung
menurunkan daya cerna pati. Proses hidrolisis menyebabkan meningkatnya
jumlah rantai polimer yang berbobot molekul rendah dan molekul amilosa rantai
pendek. Bertambahnya jumlah fraksi amilosa rantai pendek akan memudahkan
pati mengalami retrogradasi (Sajilata et al. 2006). Adapun pada proses presipitasi
terjadi retrogradasi pati yang menyebabkan perubahan struktur amilosa dan
amilopektin mengakibatkan terjadi perubahan kristanilitas pati yang berpengaruh
terhadap perubahan sifat daya cerna pada pati yang dihasilkan. Daya cerna pati
tapioka nanokristalin yang dihasilkan sebesar 71.67% dan lebih rendah
dibandingkan daya cerna pati sagu nanokristalin (80.25%). Hasil ini bersesuaian
dengan penelitian Wulandari (2013) yang derajat kristalinitas pati tapioka
nanokristalin lebih tinggi (63.14%) dibandingkan pati sagu nanokristalin
(51.14%). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa pati tapioka lebih tahan
cerna dibandingkan pati sagu. Sebagai matriks, diharapkan daya cerna pati rendah
terhadap enzim pencernaan. Hal ini diperlukan agar matriks tidak mudah diserang
enzim dalam pencernaan sehingga matriks utuh sampai ke organ target yaitu usus
kecil (Winarti 2014).
Karakteristik Nanokapsul
Enkapsulasi adalah proses atau teknik untuk menyalut inti yang berupa
suatu senyawa aktif baik itu padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan

10
pelindung tertentu yang dapat mengurangi kerusakan senyawa aktif tersebut.
Enkapsulasi membantu memisahkan material inti dengan lingkungannya hingga
material tersebut terlepas ke lingkungan. Material inti yang dilindungi disebut
core dan struktur yang dibentuk oleh bahan pelindung yang menyelimuti inti
disebut sebagai dinding membran, matriks, atau kapsul (Kailasapathy 2002).
Berdasarkan ukuran partikelnya, produk enkapsulasi dapat dibagi menjadi
makrokapsul (ukuran partikel > 5000 m), mikro enkapsulasi (ukuran partikel 1.05000 m) dan nano enkapsulasi (ukuran partikel < 1.0 m).
Pengikatan bahan aktif dalam kompleks dengan amilosa dideskripsikan oleh
Biais et al. (2006) seperti pada Gambar 3. Digambarkan bahwa pengikatan
kompleks asam lemak (aroma) seperti asam dekanoat, asam heksanoat, dan 1,5
dekanolakton dalam struktur kompleks amilosa dapat digunakan untuk
menggambarkan pengikatan komponen tersebut dalam aplikasinya di pengolahan
pangan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan aktif akan terikat di
dalam atau di luar heliks dalam daerah kristalin maupun daerah amorfous.

Gambar 3 Representasi skema struktur kompleks amilosa-bahan aktif dan
kemungkinan lokasi molekul yang terjerat (Biais et al. 2006)
Maltodekstrin merupakan emulsifier yang digunakan pada penelitian ini.
Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung unit
α-D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE
kurang dari 20. Maltodekstrin merupakan campuran dari glukosa, maltosa,
oligosakarida dan dekstrin. Maltodekstrin biasanya dideskripsikan oleh DE
(Dextrose Equivalent), yaitu persen dari gula pereduksi dalam gula yang dihitung
sebagai dekstros dalam basis kering. Maltodekstrin merupakan hasil pati
termodifikasi yang cenderung bersifat bersifat non-higroskopis. Rumus umum
maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O)] (Griffin dan Brooks 1989). Gugus hidrat
pada maltodekstrin yang nantinya akan mengikat senyawa-senyawa bersifat
hidrofobik, sedangkan gugus lainnya akan mengikat senyawa bersifat hidrofilik.
Struktur molekul maltodekstrin ditunjukkan pada Gambar 4. Maltodekstrin
komersial umumnya memiliki DE sebesar 4-7 .

11

Gambar 4 Struktur molekul maltodekstrin (Smith 2008)
Emulsifier yang ditambahkan dalam fase air akan menstabilkan emulsi dan
memainkan peran penting dalam pembentukan partikel. Karena bahan pengemulsi
terdapat di lapisan batas antara fase air dan fase organik selama pembentukan
partikel, emulsifier/stabilizer bisa dimasukkan ke dalam matriks polimer
nanopartikel pada antar muka atau diserap karena interaksi ionik atau hidrofobik,
sehingga memodifikasi sifat nanopartikel antara lain ukuran nanopartikel tersebut,
zeta-potential, hidrofilisitas/hidropobisitas, muatan permukaan, adhesi, dll (Feng
dan Huang 2001).
Secara umum, mekanisme emulsifikasi nanoenkapsulasi bahan aktif adalah
proses mengemulsi bahan aktif yang terlarut dalam pelarut organik (etanol) dalam
pelarut non organik (air) yang berisi pengemulsi untuk membentuk emulsi minyak
pada air (o/w emulsion). Nanopartikel terbentuk setelah pelarut organik dari
emulsi menguap. Bahan aktif bersifat lipofilik dapat dimasukkan ke dalam
nanopartikel dengan melarutkannya dalam pelarut organik bersamaan dengan
polimer sebelum emulsifikasi.
Berdasarkan penelitian Winarti (2014), nanokapsul ekstrak temulawak yang
didapatkan telah berukuran nano yaitu sekitar 100 nm. Sistem nanopartikel
disebut ideal bila menghasilkan rendemen yang tinggi, sehingga mengurangi
jumlah matriks yang digunakan untuk formulasi. Hasil karakteristik nanokapsul
ekstrak temulawak ditunjukkan pada Lampiran 3. Rendemen nanokapsul ekstrak
temulawak dengan pati tapioka nanokristalin yang dihasilkan sebesar 32.75 37.64%, sedangkan nanokapsul matriks pati sagu nanokristalin yang dihasilkan
sebesar 30.02 - 44.13%. Secara keseluruhan rendemen nanokapsul yang
dihasilkan terbilang masih kecil. Menurut Hadi (2009), rendahnya rendemen
kapsul yang dihasilkan dengan spray dryer disebabkan karena saat proses
atomisasi terjadi pemisahan antara minyak dengan penyalut karena suhu yang
tinggi. Hal tersebut mengakibatkan terjadi penumpukan cairan emulsi di tabung
siklon. Selain itu, sedikitnya rendemen yang dihasilkan terjadi akibat beberapa
kesalahan teknis saat penelitian yang seharusnya dapat dihindari. Oleh karena itu,
untuk selanjutnya agar diperhatikan kesiapan dan performa alat sebelum
dilakukan penelitian agar kesalahan yang tidak perlu tidak terjadi.
Efisiensi Enkapsulasi (EE)
Efisiensi enkapsulasi menunjukkan banyaknya bahan aktif yang terikat
dalam matriks dilihat dari jumlah bahan aktif yang ditambahkan sebelum proses
enkapsulasi. Tingginya nilai EE yang dihasilkan menunjukkan banyaknya bahan

12
aktif yang terikat dalam matriks, maka semakin tinggi nilai EE yang dihasilkan
menunjukkan kemampuan matriks dalam mengenkapsulasi suatu bahan aktif
semakin baik. Hasil penelitian menunjukkan EE nanokapsul matriks pati tapioka
nanokristalin sebesar 32.89 - 69.95%, dan pada matriks sagu nanokristalin sebesar
33.19 - 58.54% (Gambar 5a). Hasil ini hampir sama dengan penelitian Paramera
et al. (2011) yang melakukan enkapsulasi kurkumin dengan pati termodifikasi
(OSA) dengan nilai EE 60.4% untuk perlakuan dengan penambahan emulsifier
(Tween 80) dan 56.2% untuk perlakuan tanpa emulsifier. Penelitian lain seperti
Winarti (2014) menghasilkan nanokapsul dengan EE sebesar 48.69-69.59%
menggunakan pati garut nanopartikel. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh
perbedaan bahan penyalut dan emulsifier yang digunakan, dan perbedaan
komposisi matriks dan emulsifier dalam formulasi nanokapsul sehingga
mempengaruhi perbedaan dalam nilai EE tersebut. Selain itu, perbedaan nilai EE
juga disebabkan perbedaan penggunaan bahan aktif. Pada penelitian ini, bahan
aktif yang digunakan merupakan ekstrak temulawak kasar, sementara Paramera et
al.. (2011) menggunakan kurkumin murni. Proses spray drying untuk
pembentukan serbuk nanokapsul dimana bahan dikenakan suhu tinggi selama
proses enkapsulasi juga mempengaruhi persentase EE.
Dari Gambar 5a ditunjukkan nilai EE matriks tapioka nanokristalin
cenderung naik dengan meningkatnya konsentrasi maltodekstrin yang
ditambahkan (penurunan konsentrasi pati nanokristalin dalam matriks). Nilai EE
juga mengalami kenaikan dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak temulawak
yang ditambahkan, kecuali pada rasio pati : maltodekstrin 50:50 EE dengan
konsentrasi ekstrak 5% lebih tinggi dibandingkan 10%. Pada nanokapsul matriks
sagu nanokristalin, nilai EE pada konsentrasi ekstrak temulawak 5% terus
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi maltodekstrin yang ditambahkan,
namun hal yang berbeda terjadi pada nilai EE pada konsentrasi ekstrak 10% yang
cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi maltodekstrin yang
ditambahkan (Gambar 5b).
Hasil analisis keragaman (Lampiran 4) menunjukkan bahwa rasio pati
tapioka nanokristalin dan maltodekstrin yang ditambahkan dan interaksi faktor
rasio pati : maltodekstrin dan konsentrasi ekstrak temulawak berpengaruh nyata
terhadap efisiensi enkapsulasi nanokapsul. Dari hasil uji lanjut Duncan
ditunjukkan bahwa rasio terbaik dilihat dari rata-rata tertinggi adalah 25% pati
nanokristalin dan 75% maltodekstrin. Pada Gambar 5a ditunjukkan nilai EE pada
rasio 25 : 75 yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan dua rasio polimer
lainnya. Mirjazani et al. (2010) dan Rafati et al. (1997) menyatakan bahwa
peningkatan konsentrasi stabiliser/ emulsifier dalam matriks meningkatkan nilai
efisiensi enkapulasi dan drug loading capacity. Hal ini bersesuaian dengan hasil
yang diperoleh dalam penelitian yang juga menunjukkan polimer dengan
konsentrasi emulsifier tertinggi menghasilkan nilai EE yang lebih tinggi
dibandingkan dua konsentrasi yang lain.
Peningkatan konsentrasi emulsifier menghasilkan rata-rata ukuran partikel
nanokapsul semakin kecil (Mirjazani et al. 2010). Hal tersebut mengakibatkan
pengikatan bahan aktif dalam matriks semakin tinggi karena luas permukaan aktif
nya yang semakin besar. Maltodekstrin yang juga berfungsi sebagai co-matriks
meningkatkan konsentrasi polimer sehingga meningkatkan viskositas suspensi dan
mencegah migrasi bahan aktif dari batas fase terdispersi (Rafati et al. 1997).

13
Zambaux et al. (1998) juga menyatakan hal yang sama dalam penelitiannya yang
menunjukkan bahwa terjadi penurunan ukuran partikel dari 530 nm menjadi 380
nm dengan peningkatan konsentrasi PVA (emulsifier) dari 0.5% hingga 5% (b/v),
dan penurunan polydispersity index sehingga menghasilkan ukuran partikel yang
lebih seragam. Interaksi antara rasio pati : maltodekstrin dan konsentrasi ekstrak
temulawak juga memberi pengaruh signifikan terhadap efisiensi nanokapsul
tapioka. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kedua
faktor berpengaruh signifikan terhadap efisiensi nanokapsul ekstrak temulawak.
Hasil uji Duncan menunjukkan nilai EE tertinggi dihasilkan oleh kombinasi rasio
pati : maltodekstrin 25 : 75 (% b/b) dan konsentrasi ekstrak temulawak 10%. Pada
formulasi tersebut, Nilai EE yang didapatkan sebesar 69.78 ± 1.13 %.
Gambar 5b menunjukkan bahwa efisiensi nanokapsul sagu nanokristalin
dengan konsentrasi ekstrak temulawak 5% lebih tinggi dibandingkan dengan
konsentrasi ekstrak 10%. Penurunan nilai EE yang cukup tinggi terjadi saat
konsentrasi ekstrak temulawak yang dienkapsulasi dinaikkan menjadi 10%. Hasil
ini dibuktikan dengan hasil analisis keragaman nanokapsul matriks sagu
nanokristalin (Lampiran 5) yang menunjukkan bahwa faktor konsentrasi ekstrak
temulawak yang ditambahkan berpengaruh nyata terhadap efisiensi enkapsulasi
nanokapsul. Interaksi faktor rasio pati : maltodekstrin dengan konsentrasi ekstrak
temulawak juga berpengaruh nyata terhadap efisiensi enkapsulasi nanokapsul pati
sagu nanokristalin. Peningkatan konsentrasi ekstrak pada enkapsulasi selanjutnya
akan memungkinkan terjadinya penurunan efisiensi enkapsulasi matriks.
Penurunan nilai EE ini diduga disebabkan matriks hanya mampu mengikat bahan
aktif ekstrak temulawak pada konsentrasi di bawah 10%. Lamprecht et al. (2000)
menyatakan bahwa peningkatan jumlah bahan aktif (obat) membentuk sruktur
polimer matriks yang lebih porous; di dalam inti polimer terdapat saluran besar
dan lubang yang dapat diisi oleh obat dimana obat dapat dengan mudah keluar
dari matriks. Selain itu, karena konsentrasi obat meningkat dalam nanopartikel,
perbedaan tekanan osmotik antara fase luar dan dalam berubah, yang
menyebabkan beberapa kerusakan sehingga terbentuk droplet kuasi-emulsi yang
memudahkan obat keluar dari fase dalam matriks. Berdasarkan hasil uji lanjut
Duncan, rata-rata efisiensi enkapsulasi nanokapsul tertinggi dihasilkan dari
penambahan ekstrak temulawak 5%.
Interaksi antara rasio pati : maltodekstrin dan konsentrasi ekstrak temulawak
juga memberi pengaruh signifikan terhadap efisiensi nanokapsul sagu
nanokristalin. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua faktor
berpengaruh signifikan terhadap efisiensi nanokapsul ekstrak temulawak. Hasil uji
Duncan menunjukkan nilai EE tertinggi dihasilkan oleh kombinasi konsentrasi
ekstrak 5% dan rasio pati : maltodekstrin 25 : 75 (% b/b). Pada formulasi tersebut,
Nilai EE yang didapatkan sebesar 58.54 ± 0.18 %.
Drug Loading (DL)
Drug loading menunjukkan total bahan aktif yang terdapat dalam
nanokapsul yang dihitung berdasarkan rasio bobot bahan aktif dalam nanokapsul
terhadap bobot nanokapsul secara keseluruhan. Hasil penelitian menunjukkan
drug loading yang dihasilkan nanokapsul matriks tapioka nanokristalin sebesar
0.14-0.24% , sedangkan matriks sagu nanokristalin sebesar 0.14-0.28% . DL yang

14
dihasilkan relatif cukup rendah, dibandingkan dengan penelitian Paramera et al.
(2011) sebesar 2.8-2.9%.

Efisiensi enkapsulasi (%)

80
70
60
50
40
30
20
10
0

ekstrak 10%

Pati NK : MD = 25/75
Pati NK : MD = 50/50
Pati NK : MD = 75/25

(b)
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Efisiensi enkapsulasi (%)

ekstrak 5%

(a)

25 / 75

50 / 50

75 / 25

5

10

Konsentrasi ekstrak temulawak (%)

Rasio pati NK: MD (% b/b)

Gambar 5 Efisiensi enkapsulasi nanokapsul (a) tapioka, (b) sagu nanokristalin
berdasarkan faktor yang mempengaruhi pada berbagai perlakuan
Ket : Pati NK = Pati Nanokristalin; MD = Maltodekstrin

(a)

0.15
0.1
0.05
0

5
10
Konsentrasi ekstrak temulawak (%)

ekstrak 10%

0.3

0.25
0.2

ekstrak 5%

(b)

Drug loading (%)

Drug loading (%)

0.3

Pati NK : MD = 25/75
Pati NK : MD = 50/50
Pati NK : MD = 75/25

0.25
0.2
0.15
0.1

0.05
0

25 / 75
50 / 50
75 / 25
Rasio Pati NK : MD

Gambar 6 Drug loading nanokapsul (a) tapioka (b) sagu nanokristalin
berdasarkan faktor yang mempengaruhi pada berbagai perlakuan
Ket : Pati NK = Pati Nanokristalin; MD = Maltodekstrin

15
Gambar 6a menunjukkan bahwa nilai DL pada nanokapsul matriks tapioka
nanokristalin meningkat ketika konsentrasi ekstrak juga dinaikkan dari 5% ke
10%. Selain itu, nilai DL cenderung turun pada tiap-tiap konsentrasi ekstrak
temulawak ketika konsentrasi pati nanokristalin ditingkatkan, kecuali pada
konsentrasi ekstrak 5%, DL pada rasio pati : maltodekstrin 50 : 50 (% b/b) lebih
tinggi dibandingkan oleh dibandingkan 25 : 75 maupun 75 : 25 (% b/b). Hasil
analisis keragaman (Lampiran 4) menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak
temulawak, dan interaksi faktor rasio pati : maltodekstrin dan konsentrasi ekstrak
temulawak berpengaruh signifikan terhadap drug loading nanokapsul. Hasil lanjut
uji Duncan menunjukkan bahwa penambahan ekstrak temulawak 5% memberikan
nilai drug loading yang lebih rendah dibandingkan dengan penambahan ekstrak
temulawak 10%. Hasil ini mengikuti tren yang sama dengan penelitian Lin et al.
(2009) yang menunjukkan semakin banyak kurkumin terenkapsulasi dengan
meningkatnya konsentrasi kurkumin yang ditambahkan. Penambahan ekstrak
temulawak 10% memberikan hasil drug loading yang terbaik.
Interaksi antara matriks yang digunakan dan konsentrasi ekstrak yang
ditambahkan memberi pengaruh signifikan terhadap hasil drug loading pada
matriks tapioka nanokristalin. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
kedua faktor berpengaruh signifikan terhadap drug loading ekstrak temulawak.
Hasil pengelompokan dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kombinasi
konsentrasi ekstrak temulawak 10% dan penambahan matriks dengan rasio pati
nanokristalin : maltodekstrin 25 : 75 (% b/b) menghasilkan nilai rata-rata tertinggi.
Hasil ini bersesuaian dengan data yang didapatkan karena nilai drug loading
cenderung meningkat ketika persentase konsentrasi pati nanokristalin yang
digunakan menurun (konsentrasi maltodekstrin meningkat). Pada formulasi
tersebut, nilai DL yang didapatkan sebesar 0.24 ± 0.02%.
Hasil DL nanokapsul dengan matriks sagu nanokristalin ditunjukkan pada
Gambar 6b. Pada grafik tersebut ditunjukkan bahwa nilai DL cenderung
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak temulawak yang digunakan
dari 5% ke 10% pada masing-masing persentase konsentrasi matriks yang
digunakan. Nilai DL juga cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
pati sagu nanokristalin terhadap maltodekstrin yang digunakan sebagai matriks.
Hasil tersebut sesuai, dibuktikan dengan hasil dari analisis keragaman (Lampiran
5) yang menunjukkan bahwa faktor konsentrasi ekstrak temulawak dan faktor
rasio pati : maltodekstrin berpengaruh nyata terhadap drug loading nanokapsul.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan DL tertinggi dihasilkan pada konsentrasi
ekstrak temulawak 10% dibandingkan pada konsentrasi 5%. Hasil ini mengikuti
tren yang sama dengan penelitian Lin et al. (2009) yang menunjukkan semakin
banyak kurkumin terenkapsulasi dengan meningkatnya konsentrasi kurkumin
yang ditambahkan. Adapun pada konsentrasi rasio pati nanokristalin :
maltodekstrin yang digunakan, berdasarkan hasil uji lanjut Duncan didapatkan
bahwa matriks dengan rasio 75% pati sagu nanokristalin dan 25% maltodekstrin
menghasilkan DL dengan nilai rata-rata tertinggi. Pada formulasi rasio pati sagu
naokristalin : maltodekstrin 75 : 25 dan konsentrasi ekstrak temulawak 10% nilai
DL yang didapatkan sebesar 0.28 ± 0.01%.
Pada nanokapsul matriks sagu nanokristalin, konsentrasi ekstrak temulawak
yang memberikan pengaruh signifikan terhadap parameter efisiensi enkapsulasi
dan drug loading berbeda, yaitu konsentrasi 5% pada parameter efisiensi

16
enkapsulasi dan 10% pada parameter drug loading. Hal ini mungkin terjadi
disebabkan perbedaan pendekatan perhitungan masing-masing parameter. Pada
efisiensi enkapsulasi, jumlah ekstrak temulawak terhitung merupakan ekstrak
temulawak yang hanya terikat di bagian dalam matriks (ekstrak temulawak yang
terikat pada bagian permukaan matriks tidak dihitung). Adapun pada drug loading,
jumlah ekstrak temulawak terhitung merupakan ekstrak temulawak yang terdapat
pada bagian dalam dan permukaan matriks (total bahan aktif yang teradsorbsi
matriks). Selain itu, penghitungan drug loading didasarkan pada bobot nanokapsul,
sedangkan pada efisiensi enkapsulasi bobot nanokapsul tidak mempengaruhi
hasilnya. Oleh karena itu, semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang digunakan
maka akan semakin banyak bahan aktif yang dimuat pada matriks, akan tetapi
belum tentu terikat seluruhnya dalam matriks.
Aktivitas Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi
atau suatu zat yang dapat menetralkan radikal bebas, yang terbentuk sebagai hasil
dari metabolisme oksidatif yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses
metabolik yang terjadi dalam tubuh. Senyawa antioksidan dapat berfungsi sebagai
penangkap radikal bebas, pembentuk kompleks dengan logam-logam prooksidan
dan berfungsi sebagai senyawa pereduksi (Andlauer et al. 1998). Antioksidan
dapat menangkap radikal bebas sehingga menghambat mekanisme oksidatif yang
merupakan penyebab penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung,
kanker, penurunan fungsi otak dll.
Pengukuran aktivitas antioksidan umumnya dilakukan untuk mengevaluasi
adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh senyawa antioksidan yang
terdapat dalam bahan pangan atau ekstrak bahan alam. Pengukuran aktivitas
antioksidan diperlukan untuk mengetahui kualitas antioksidan dan ketahanan
produk selama proses pengolahan dan penyimpanan, serta implikasinya ke
jaringan tubuh. Dari beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur
aktivitas antioksidan, pada penelitian ini digunakan metode uji DPPH untuk
pengukuran aktivitas tersebut.
Uji DPPH merupakan salah satu metode uji pengukuran aktivitas
antioksidan di dalam bahan pangan. Uji DPPH memiliki beberapa kelebihan
antara lain uji ini tidak spesifik untuk keterangan komponen antioksidan, tetapi
digunakan untuk pengukuran kapasitas antioksidan total pada bahan pangan.
Kelebihan uji DPPH lain adalah metode uji pengukuran kapasitas antioksidan
yang dilakukan sederhana, cepat dan murah. Uji DPPH menggunakan senyawa
radikal bebas stabil DPPH (1.1-diphenyl-2-pycryl hydrazil) sebagai senyawa
pendeteksi antioksidan untuk menguji kemampuan senyawa tersebut bereaksi
sebagai penghambat radikal atau donor hidrogen. Senyawa DPPH larut dalam
pelarut seperti