Produksi Pati Tapioka Nanokristalin Terasetilasi

PRODUKSI PATI TAPIOKA NANOKRISTALIN
TERASETILASI

WENING RIZKIANA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi Pati Tapioka
Nanokristalin Terasetilasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015
Wening Rizkiana
NIM F34100139

ABSTRAK
WENING RIZKIANA. Produksi Pati Tapioka Nanokristalin Terasetilasi
Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI.
Tapioka alami memiliki banyak kelemahan jika langsung digunakan pada
industri, sehingga diperlukan modifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk
menghasilkan pati termodifikasi yaitu pati nanokristalin terasetilasi. Modifikasi
tapioka nanokristalin terasetilasi meliputi tiga proses yaitu pembentukan tapioka
kristalin melalui proses lintnerisasi, pembentukan tapioka nanokristalin melalui
proses presipitasi dengan etanol, dan asetilasi menggunakan asetat anhidrida.
Modifikasi asetilasi menggunakan beberapa jenis pati yaitu tapioka alami, tapioka
kristalin dan tapioka nanokristalin dengan perlakuan asetat anhidrida 3% dan 6%.
Pengaruh perlakuan perbedaan konsentrasi asetat anhidrida yang ditambahkan
dalam proses asetilasi dapat meningkatkan daya serap air, daya serap minyak,
namun menurunkan kelarutan, swelling power dan daya cerna pati. Pengaruh
perbedaan konsentrasi asetat anhidrida 3% dan 6% menyebabkan peningkatan
persen asetilasi dan derajat substitusi pada pati tapioka kristalin, namun pada

tapioka alami dan tapioka nanokristalin terjadi penurunan persen asetilasi dan
derajat substitusi.
Kata kunci : asetilasi, lintnerisasi, pati termodifikasi, tapioka kristalin, tapioka
nanokristalin, presipitasi.

ABSTRACT
WENING RIZKIANA. Production Nanocrystalline Tapioca Starch with
Treatment of Acetylation. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI.
Native starch of tapioca has many applicatoin in industry, but it has
limitations that reduce its function in industry, so that it is necessary to be
modified. This research aims to produce nanocrystalline starch which is resistance
to acid conditions so it can be used as matrix for active ingredient in the drug
substance. There were three steps in modification of tapioca starch including
produced crystalline tapioca with litnerization, followed with etanol precipitation,
and acetylation with acetic anhydride. In acetylation process, starch samples
(native tapioca, crystalline tapioca and nanocrystalline tapioca) were treated by
using 3 and 6% of acetic anhydride. The treatment caused increasing water
absorption, oil absorption, but decreasing the solubility, swelling power and starch
digestibility. The increasing of acetic anhydride concentration from 3% to 6%
caused the increasing of percent acetyl and substitution degree in crystalline

tapioca, but decreasing in native tapioca and nanocrystalline tapioca.
Keywords: acetylation, crystalline tapioca, lintnerisasi, modified starch,
nanocrystalline tapioca, precipitation.

PRODUKSI PATI TAPIOKA NANOKRISTALIN
TERASETILASI

WENING RIZKIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Judul Skripsi : Produksi Pati Tapioka Nanokristalin Terasetilasi
Nama
: Wening Rizkiana
NIM
: F34100139

Disetujui oleh

Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi berjudul “Produksi Pati Tapioka
Nanokristalin Terasetilasi” telah dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian KKP3N 2014 yang didanai oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Rasa terima kasih dan penghargaan
teristimewa penulis sampaikan kepada :
1.
Dr Ir Titi Candra Sunarti selaku pembimbing atas semua bimbingan selama
penelitian hingga penyusunan skripsi.
2.
Prof Dr Ir Erliza Noor, Msi dan Dr Indah Yuliasih, S.TP, MSi yang telah
bersedia menjadi dosen
penguji dan memberi masukan-masukan
membangun dalam penulisan skripsi ini.
3.
Keluarga tercinta Kanjeng Romo Sugeng Triyono dan Kanjeng Ibu Enny
Wahyuningsih serta Adha Wahyu Efendi yang selalu memberikan dukungan
dan doa yang tak terhingga.
4.
Segenap laboran TIN yang telah memberikan banyak bantuan dan

bimbingan selama penelitian.
5.
Keluarga besar TIN 47, khususnya golongan P4 atas dukungan, semangat
kebersamaan, dan kenangan yang tak terlupakan.
6.
Yayasan Karya Salemba Empat dan Perusahaan Gas Negara sebagai donatur
yang telah memberikan bantuan dan dukungan yang sangat bermanfaat.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Wening Rizkiana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

3

Ruang Lingkup Penelitian

3

METODE

3

Bahan

3

Alat


3

Metode Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Karakteristik Bahan Baku

7

Produksi Pati Asetat

10

Karakteristik Pati Asetat


11

SIMPULAN DAN SARAN

21

Simpulan

21

Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN


25

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Karakteristik mutu bahan baku
Karakteristik mutu pati asetat
Derajat kristalinitas dan tipe kristalin pati asetat.
Karakteristik fungsional pati asetat

8
11
14
18

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir proses produksi pati tapioka kristalin melalui lintnerisasi
2 Diagram alir proses produksi pati tapioka nanokristalin melalui
presipitasi etanol
3 Diagram alir proses asetilasi pati
4 Ilustrasi degradasi daerah amorf pada proses lintnerisasi
5 Reaksi asetilasi
6 Profil kristal pati hasil pengukurann dengan difraksi sinar X
7 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD untuk tapioka alami, hasil
asetilasi 3% dan 6%
8 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD untuk pati tapioka kristalin,
hasil asetilasi 3% dan 6%
9 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD untuk pati tapioka
nanokristalin, hasil asetilasi 3% dan 6%
10 Bentuk granula pati hasil pengujian SEM

4
5
6
9
10
14
14
15
15
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Karakterisasi bahan baku dan pati asetat
2 Analisa statistik karakterisasi pati asetat
3 Analisa bentuk dan ukuran granula pati berdasarkan pengujian SEM

25
30
39

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketersediaan pati sebagai polisakarida alami sangat melimpah, namun
belum dimanfaatkan dengan maksimal. Pati digunakan pada berbagai bidang
industri baik pangan maupun non pangan karena harganya yang murah dan mudah
didapatkan. Tapioka merupakan pati yang diekstrak dari ubi kayu. Produksi ubi
kayu di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2013 mencapai 23.8
juta ton. Tapioka merupakan pati yang paling banyak diproduksi di Indonesia.
Ketersediaan tapioka yang melimpah menjadikan tapioka berpotensi diolah lebih
lanjut menjadi pati termodifikasi yang banyak dibutuhkan pada industri. Impor
pati termodifikasi pada tahun 2011 mencapai 435 418.9 ton dengan nilai US$
211 253 616 (Kemenperin, 2012). Tingginya impor pati termodifikasi ini
menunjukkan sumberdaya pati yang melimpah belum termanfaatkan dengan
maksimal.
Pati tapioka alami memiliki kekurangan karena karakteristiknya kurang
sesuai dengan kebutuhan industri seperti waktu pemasakan yang lama, pasta yang
dihasilkan tidak bening, lengket, tidak tahan terhadap panas dan asam, serta sifat
pati yang hidrofilik. Kekurangan pati alami tersebut mengakibatkan
pemanfaatannya menjadi terbatas, sehingga perlu dilakukan modifikasi untuk
memperbaiki karakteristiknya dan dapat memenuhi kebutuhan industri.
Modifikasi pati dapat dilakukan secara fisik dan kimia. Modifikasi kimia
dapat memperbaiki sifat fisiko kimia pati termodifiksi yang dihasilkan. Proses
lintnerisasi merupakan perlakuan kimia untuk merusak struktur amorf dalam pati
dengan hidrolisis asam kuat di bawah suhu gelatinisasi sehingga menghasilkan
pati kristalin.
Proses modifikasi lintnerisasi yang menghasilkan pati kristalin hanya
mengubah struktur kimia dari pati, sedangkan ukuran serta bentuk granula pati
tidak mengalami perubahan. Lee et al. (2008) mengemukakan bahwa seiring
dengan berkembangnya teknologi nano saat ini, berdampak pada meningkatnya
kebutuhan bahan baku berukuran partikel kecil oleh industri baik dalam bidang
pangan ataupun non pangan, khususnya untuk pengikatan bahan aktif dalam
industri farmasi sehingga tingkat absorbsi di dalam usus halus menjadi meningkat.
Modifikasi yang dilakukan untuk mendapatkan ukuran nano pada partikel serta
granula yaitu dengan presipitasi. Berdasarkan penelitian sebelumnya, Ma et al.
(2008) mengemukakan bahwa pati nanopartikel dapat disintesis dengan presipitasi
larutan pati dengan pelarut organik. Modifikasi presipitasi dapat menghasilkan
pati nanokristalin yang merupakan pati alami termodifikasi yang memiliki ukuran
partikel berkisar 20-50 nm dan memiliki sifat kristalin. Menurut Bloembergen et
al. (2005), nanopartikel memiliki sifat viskositas rendah walaupun pada
konsentrasi tinggi dan memiliki daya mengikat yang tinggi. Pati nanokristalin
dapat dimanfaatkan untuk industri, seperti untuk bahan tambahan makanan, bahan
pembawa dalam obat-obatan, coating binders, biodegradable composites, dan
berbagai produk lainnya (Bloembergen et al. 2005).
Sebagai bahan pengisi, pati harus memiliki sifat yang dapat mengikat
bahan-bahan aktif dengan baik, pati nanokristalin adalah pati yang telah

2
dimodifikasi struktur kimia dan ukuran partikelnya. Modifikasi untuk
memperbaiki karakterisik fungsional dilakukan dengan proses asetilasi. Menurut
Albert (2008) pati asetilasi lebih stabil dan lebih tahan terhadap retrogradasi.
Proses asetilasi dapat memperbaiki sifat pati yang hidrofilik dengan meningkatkan
sifat hidrofobisitasnya sehingga dapat membantu pengikatan dalam percampuran
dengan minyak.
Penelitian ini sebagai lanjutan dari penelitian sebelumnya (Wulandari,
2013) telah melakukan penyiapan dan karakterisasi pati nanokristalin dari tapioka
dan sagu. Dari penelitian tersebut telah diketahui proses optimal untuk
mendapatkan pati nanokristalin dan diperoleh pati nanoporus. Pati nanoporus
yang dihasilkan dirasa masih perlu dimodifikasi kembali untuk menyempurnakan
karakteristiknya sehingga dapat digunakan menjadi produk industri yang memiliki
nilai tambah tinggi.

Perumusan Masalah
Tapioka sebagai pati alami memiliki banyak kelemahan dalam aplikasi
sehingga tidak dapat digunakan secara langsung dalam industri. Proses modifikasi
perlu dilakukan untuk mendapatkan pati yang sesuai permintaan industri.
Modifikasi yang dilakukan untuk menghasilkan pati nanokristalin terasetilasi ada
beberapa tahapan, diantaranya adalah lintnerisasi, presipitasi dan asetilasi. Proses
lintnerisasi dilakukan untuk merusak struktur amorf dari pati sehingga diharapkan
menghasilkan pati kristalin. Modifikasi presipitasi dengan pelarut organik
menyebabkan rusaknya fraksi amilosa dan amilopektin menjadi partikel- partkel
yang lebih kecil. Proses presipitasi ini diharapkan dapat menghasilkan pati dengan
partikel yang mempunyai ukuran nano.
Pati memiliki sifat hidrofilik, sehingga hanya dapat mengikat bahan-bahan
yang berbasis air. Asetilasi merupakan proses mengganti gugus hidroksil pada
pati dengan gugus asetil dari asetat anhidrida. Gugus asetil yang menggantikan
gugus hidroksil pada reaksi asetilasi akan mengurangi ikatan hidrogen dalam pati
dan dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas. Dengan meningkatnya hidrofobisitas
pada pati, pati termodifikasi ini diharapkan dapat mengikat senyawa yang
mengandung lemak dengan baik, serta dapat meningkatkan ketahanan terhadap
retrogradasi. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi asetat anhidrida (b/b) yang
ditambahkan dalam proses asetilasi, diperlukan perbedaan perlakuan konsentrasi
asetat anhidrida yang ditambahkan.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah memproduksi pati tapioka
nanokristalin yang diperbaiki karakteristiknya dengan proses asetilasi. Tujuan
khusus penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh perbedaan konsentrasi
asetat anhidrida (b/b) dalam proses asetilasi terhadap karakteristik mutu dan
karakteristik fungsional pada pati termodifikasi yang dihasilkan.

3
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan karakteristik mutu dan
karakteristik fungsional dari tapioka alami, tapioka kristalin dan tapioka
nanokristalin dengan proses asetilasi sehingga dapat memperluas pengaplikasian
pati dalam industri, khususnya sebagai matriks pembawa bahan aktif.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi modifikasi pati dengan
perlakuan asetilasi pada tapioka alami, tapioka kristalin, dan tapioka nanokristalin.
Pembuatan tapioka kristalin dengan proses litnerisasi dengan menggunakan HCl
2.2 N selama 6 jam. Pembuatan tapioka nanokristalin dengan proses presipitasi
dengan pelarut etanol dan modifikasi asetilasi menggunakan asetat anhidrida
dengan perlakuan penambahan jumlah asam asetat dengan jumlah yang berbeda.

METODE
Bahan
Bahan baku yang digunakan adalah tapioka yang diperoleh dari industri
tapioka di daerah Sentul Kabupaten Bogor. Bahan-bahan kimia yang digunakan
untuk produksi tapioka kristalin adalah larutan HCl 2.2 N dan NaOH, untuk
produksi tapioka nanokristalin adalah etanol 95%, sedangkan untuk proses
modifikasi asetilasi digunakan asetat anhidrida dan bahan kimia lainnya untuk
analisa.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain shaker bath, oven
pengering, magnetic stirrer, syringe 50 ml, hotplate pompa vacum, autoclave,
spektrofotometer, pH meter dan peralatan gelas lainnya.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan, yaitu tahap persiapan
dan karakterisasi bahan baku, tahap asetilasi tapioka alami, tapioka kristalin dan
tapioka nanokristalin serta karakterisasinya.
Penyiapan dan Karakterisasi Bahan Baku
Penyiapan bahan baku dilakukan dengan penjemuran tapioka dan
pengayakan hingga ukuran 100 mesh. Karakterisasi bahan baku meliputi kadar
air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar amilosa, dan daya cerna pati. Prosedur
analisa untuk karakterisasi bahan ini disajikan pada Lampiran 1.

4
Produksi Tapioka Nanokristalin Terasetilasi
Produksi tapioka nanokristalin terasetilasi dilakukan dalam tiga tahapan
yaitu pembuatan tapioka kristalin melalui proses lintnerisasi pati, pembuatan
tapioka nanokristalin dengan proses presipitasi pelarut etanol dan modifikasi
asetilasi menggunakan asetat anhidrida.
a. Produksi Tapioka Kristalin dengan Proses Lintnerisasi
Tapioka kristalin diproduksi dengan metode modifikasi Wulandari (2013).
Pati dibuat suspensi dalam larutan HCl 2.2 N dengan perbandingan 1:2.
Kemudian suspensi pati diinkubasi dalam shaker bath pada suhu 35°C selama 6
jam. Suspensi pati yang telah mengalami perlakuan lintnerisasi dinetralkan
dengan NaOH 1 N, kemudian dicuci dengan etanol dan akuades. Pati yang telah
dicuci kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 40° C selama 24 jam hingga
mencapai kadar air maksimal 10%. Setelah kering, pati digiling dengan disc mill.
Diagram alir proses lintnerisasi disajikan pada Gambar 1.
Pati tapioka alami : HCl 2.2 N
1:2
Inkubasi
T= 35° C, 6 jam

NaOH 1N

Penetralan suspensi pati

Penyaringan

Akuades
Etanol 95%

Filtrat

Pencucian

Pengeringan
T= 40º C, 24 jam

Tapioka kristalin
Gambar 1 Diagram alir proses produksi pati tapioka kristalin melalui lintnerisasi
b. Produksi Tapioka Nanokristalin dengan Proses Presipitasi Etanol
Metode presipitasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah presipitasi
menggunakan pelarut organik etanol yang diadaptasi dari Wulandari (2013).
Tapioka kristalin dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:15 dipanaskan
sampai tergelatinisasi sempurna (T=90°C). Setelah tergelatinisasi sempurna,

5
ditambahkan etanol 95% sebanyak 600 ml dengan cara diteteskan secara
perlahan-lahan sambil diaduk dengan kecepatan tinggi menggunakan magnetic
stirrer sampai terjadi perubahan warna menjadi putih opak dan didinginkan.
Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan sentrifugasi 3000 rpm selama 5 menit
kemudian dicuci dengan etanol, dan dikeringkan dengan oven suhu 40°C selama
24 jam. Diagram alir proses presipitasi pati disajikan pada Gambar 2.
Pati tapioka kristalin : Akuades
1:15

Pemanasan sampai
tergelatinisasi sempurna
T=90°C

Etanol 95%

Presipitasi etanol 95%

Pemisahan sentrifugasi
3000 rpm 5 menit

Akuades
Etanol 95%

Pencucian

Pengeringan
T= 40°C, 24 jam

Tapioka Nanokristalin

Gambar 2 Diagram alir proses produksi pati tapioka nanokristalin melalui
presipitasi etanol

6
c. Asetilasi Pati
Metode asetilasi yang dilakukan berdasarkan metode yang dijelaskan
Phillips et al (1999) dengan sedikit modifikasi. Sampel pati dalam bentuk tapioka
alami, tapioka kristalin dan tapioka nanokristalin sebanyak 100 g dilarutkan dalam
akuades 225 ml dan diaduk secara kontinu selama 1 jam pada suhu 25°C. NaOH
3% ditambahkan pada suspensi sampai pH 8. Asetat anhidrida sebanyak 3% (b/b)
atau 6% (b/b) ditambahkan tetes demi tetes dengan kondisi pH yang terkontrol (88.4) dengan penambahan NaOH 3%. Proses asetilasi dilakukan selama 10 menit.
Kemudian ditambahkan HCl 0.5 N untuk menurunkan pH suspensi sampai pH
4.5. Setelah penambahan HCl akan terbentuk endapan, cuci endapan dari asam
dengan akuades sebanyak dua kali dan sekali dengan etanol 95%. Endapan yang
telah bebas asam kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 40°C. Diagram
proses asetilasi dapat dilihat pada Gambar 3.
Pati tapioka alami/ pati tapioka kristalin/ pati
tapioka nanokristalin 100g + 225 ml akuades

Pengadukan
1 jam T= 25°C
NaOH 3%

NaOH 3%

HCl 0.5 N

Akuades
Etanol 95%

Pengaturan pH
pH 8
Asetilasi
10 menit
Pengaturan pH
pH 4.5

Pencucian

Pengeringan
40°C, 24 jam

Pati asetat

Gambar 3 Diagram alir proses asetilasi pati

7
Karakterisasi Pati Tapioka Nanokristalin Terasetilasi
Karakterisasi pati tapioka nanokristalin yang akan dilakukan terdiri
karakterisasi secara kimia, fisik dan fungsional. Karakterisasi secara kimia
meliputi kadar air, kadar abu, kadar amilosa, derajat substitusi dan % asetilasi.
Karakterisasi sifat fungsional meliputi daya serap air dan minyak, kelarutan dan
swelling power serta daya cerna pada pati. Karakterisasi fisik dilakukan dengan
kristalinitas pati dan pengamatan morfologi granula pati dengan SEM. Prosedur
karakterisasi pati nanokristalin disajikan pada Lampiran 1.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan
acak lengkap untuk masing-masing kelompok jenis pati (tapioka alami, tapioka
kristalin dan tapioka nanokristalin) dengan perlakuan bobot asetat anhidrida yang
ditambahkan dalam proses asetilasi. Pada rancangan percobaan ini dilihat
pengaruh perlakuan perbedaan konsentrasi asetat anhidrida (b/b) terhadap
karakteristik pati terasetilasi yang dihasilkan dari masing-masing kelompok pati.
Model rancangan yang digunakan yaitu :
Yij = µ + Ai + ɛij
Keterangan :
Yij
= Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= Nilai rata-rata
Ai
= Pengaruh perlakuan ke-i (i = tanpa asetilasi, asetilasi 3%, asetilasi 6%)
ɛij
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisa menggunakan software
SPSS 16.0 dengan perhitungan yang mengacu pada rancangan percobaan. Uji
dilanjutkan dengan uji duncan pada α =5% jika hasil berpengaruh nyata. Uji
tersebut digunakan untuk mengetahui besar signifikansi perbedaan antar taraf
suatu faktor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Baku
Pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang tersusun
atas dua homopolimer yang memiliki struktur berbeda yaitu amilosa dan
amilopektin. Komponen amilosa dan amilopektin merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi perbedaan karakteristik kimia dan fungsional pada pati.
Amilosa dalam bentuk struktur double helix dan bersifat hidrofobik sehingga
memungkinkan dalam membentuk kompleks dengan asam lemak bebas, asam
lemak komponen gliserin, beberapa senyawa alkohol dan iodine. Bagian granula
pati terdiri dari bagian kristalin dan amorf. Bagian kristalin dari pati merupakan

8
kumpulan molekul amilopektin dalam granula, sedangkan amilosa membentuk
daerah amorf yang tersebar pada cluster amilopektin. Amilosa memiliki
karakteristik rantai relatif lurus, dapat membentuk film yang kuat, struktur gel
kuat, serta apabila diberi pewarna iodin akan menghasilkan warna biru. Sementara
itu, amilopektin memiliki karakteristik rantai bercabang, membentuk film yang
lemah, struktur gel lembek, dan apabila diberi pewarna iodin akan menghasilkan
warna coklat kemerahan.
Dalam penelitian ini, produksi tapioka nanokristalin terasetilasi dilakukan
dengan membuat pati termodifikasi dari tapioka menjadi tapioka kristalin melalui
proses lintnerisasi, mengubah ukuran partikelnya menjadi nanopartikel dengan
proses presipitasi, dan proses modifikasi asetilasi menjadi pati asetat. Bahan baku
yang digunakan untuk membuat pati asetat diantaranya adalah tapioka alami,
tapioka kristalin, dan tapioka nanokristalin. Tabel karakteristik mutu bahan baku
yang digunakan untuk produksi pati asetat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik mutu bahan baku
Karakteristik
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar serat (%)
Kadar amilosa (%)

Tapioka
Alami
9.00
0.17
0.21
30.00

Bahan Baku
Tapioka
Kristalin
6.99
2.94
0.34
19.00

Tapioka
Nanokristalin
4.70
0.59
0.68
34.66

Tapioka merupakan pati hasil ekstraksi dari tanaman ubi kayu. Tapioka
banyak dimanfaatkan dalam bidang pangan maupun non pangan. Karakteristik
tapioka alami masih memiliki banyak kekurangan untuk dapat digunakan secara
luas dalam bidang industri. Tapioka alami memiliki beberapa kelemahan yaitu
tidak larut dalam air dingin, membutuhkan waktu yang lama dalam pemasakan,
pasta yang dihasilkan cukup keras, dan mempunyai kestabilan yang rendah. Untuk
memperbaiki karakteristik pati tersebut diperlukan berbagai modifikasi sehingga
dapat memperluas penggunaan pati di bidang industri yang lebih spesifik.
Modifikasi pati dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik
dari sifat pati sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat yang diharapkan
agar dapat memenuhi kebutuhan tertentu.
Komponen paling banyak yang terdapat pada pati dan termasuk komponen
penyusun terbesar menurut Wulandari (2013) adalah kadar pati yang mencapai
96.76%. Selain komponen mayor, pati juga memiliki komponen minor seperti
yang disampaikan Rickard et al. (1992) kandungan kimia yang terdapat pada
tapioka alami diantaranya kadar protein 0.03-0.60% kadar lemak 0.08-1.54%.
Data yang karakterisasi mutu didapatkan dari penelitian ini (Tabel 1) sudah sesuai
dengan SNI 3451: 2011 tentang karakterisasi tapioka.
Pati kristalin adalah pati termodifikasi yang telah melalui tahap perusakan
struktur amorf dengan perlakuan lintnerisasi. Lintnerisasi adalah proses hidrolisis
pati dengan menggunakan asam kuat untuk merusak struktur amorf pada pati dan
menyisakan struktur kristalinnya saja. Menurut Wulandari (2013) pada penelitian
sebelumnya proses lintnerisasi dilakukan dengan asam kuat pada suhu dibawah

9
suhu gelatinisasi menghasilkan hasil terbaik dengan perlakuan selama 6 jam.
Asam kuat mampu menghidrolisis ikatan glikosidik sehingga menghasilkan
amilosa dengan rantai yang lebih pendek dengan bobot molekul yang lebih rendah.
Ilustrasi degradasi daerah amorf pada proses lintnerisasi dapat dilihat pada
Gambar 4.

Gambar 4 Ilustrasi degradasi daerah amorf pada proses lintnerisasi (Srichuwong
2005)
Proses lintnerisasi menyebabkan perusakan daerah amorf dalam granula pati
karena adanya reaksi degradasi oleh asam. Daerah amorf merupakan daerah yang
lebih mudah mengalami pemutusan dibandingkan daerah kristalin karena ikatan
hidrogen pada daerah amorf lebih lemah dibandingkan pada daerah kristalin.
Amilosa rantai panjang yang terdapat pada daerah amorf diputus oleh asam
sehingga menjadi gula-gula sederhana. Pada penelitian sebelumnya Wulandari
(2013), total gula dalam filtrat hasil lintnerisasi pada jam ke-2 yaitu 34.87 ppm
dan mengalami peningkatan sampai 267.14 ppm pada jam ke-6. Hal ini
menunjukkan adanya hidrolisis pada pati menjadi molekul-molekul gula yang
lebih sederhana.
Rendemen tapioka kristalin yang dihasilkan yaitu 74.87(%bk). Proses
lintnerisasi yang memutus rantai amilopektin di daerah amorf sehingga tidak
berdampak pada sifat kristalinitas pada pati namun menyebabkan meningkatnya
daya cerna dan mempengaruhi karakteristik lainnya seperti kelarutan, swelling
power, daya serap air dan daya serap minyak.
Lintnerisasi hanya memodifikasi struktur kimia pati saja, sehingga untuk
memodifikasi ukuran granula pati diperlukan proses modifikasi lanjutan yaitu
dengan presipitasi. Presipitasi merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk memperoleh ukuran nanopartikel pada pati. Proses presipitasi dilakukan
dengan penambahan pelarut organik secara perlahan dengan pengadukan yang
cepat. Terbentuknya pati nanopartikel terjadi ketika pati mendapat perlakuan suhu
tinggi saat proses gelatinisasi dan adanya energi mekanis yang mengakibatkan
terjadinya perusakan ikatan kovalen dan hidrogen pada struktur double helix
amilopektin dan pelelehan bagian kristalin, sehingga terbentuk partikel-partikel
yang lebih kecil hingga sampai ukuran nano. Rendemen yang diperoleh dari
proses presipitasi dari pati tapioka kristalin yaitu 71.45(%bk).

10
Produksi Pati Asetat
Pati asetat adalah pati yang telah dimodifikasi dengan prosess asetilasi.
Asetilasi adalah modifikasi kimia yang dilakukan pada pati dengan menambahkan
gugus fungsional baru yaitu gugus asetil sehingga dapat mempengaruhi sifat
fisiko kimia pati. Asetilasi dilakukan dengan menambahkan reaktan asetat
anhidrida untuk mengganti gugus hidroksil pati dengan gugus asetil dari asetat
anhidrida. Berikut merupakan ilustrasi terjadinya reaksi asetilasi disajikan pada
Gambar 5.

Gambar 5 Reaksi asetilasi
Penelitian sebelumnya Singh (2004), menyatakan bahwa pati asetat dari
beberapa jenis pati dari beras menunjukkan perbedaan yang signifikan dan terjadi
peningkatan kestabilan pada pengaplikasiannya dibandingkan dengan pati alami.
Asetilasi dapat meningkatkan kestabilan dan sifat resisten pada retrogradasi.
Modifikasi kimia pada pati alami dengan asetilasi seringkali diperlukan untuk
memperbaiki karakteristik yang tidak diinginkan pada tekstur produk dan
penampilan produk karena retrogradasi atau kerusakan pati pada saat diproses
maupun saat penyimpanan.
Asetilasi pada pati digunakan untuk memberikan efek kental pada
pengaplikasiannya pada produk makanan. Rutenberg dan Solarek (1984)
menyatakan bahwa pengenalan gugus asetil pada proses asetilasi mengurangi
kekuatan ikatan antara molekul pati sehingga dapat meningkatkan swelling power
dan kelarutan, mengurangi penggumpalan pati, dan meningkatkan freeze-thaw
stability. Pati asetat banyak digunakan pada berbagai produk diantaranya produk
roti, bahan pengisi pie, saus, produk beku, makanan bayi, salad dressing dan
makanan ringan (Wurzburg, 1995).
Terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi proses modifikasi pati,
diantaranya ukuran partikel, suhu, waktu reaksi, konsentrasi substrat, konsentrasi
pereaksi, dan kombinasi proses lainnya. Rendemen yang dihasilkan dari
pembuatan pati asetat berkisar dari 55.58-79.48(%bk).

11
Karakteristik Pati Asetat
Proses asetilasi dari tapioka alami, tapioka kristalin dan tapioka
nanokristalin menghasilkan pati asetat dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Karakteristik yang diamati diantaranya adalah karakteristik mutu, karakteristik
fungsional dan morfologi granula pati. Karakteristik mutu meliputi kadar air,
kadar abu, kadar amilosa persen asetilasi dan derajat substitusi. Karakteristik
fungsional meliputi daya serap air, daya serap minyak, kelarutan, swelling power,
kristalinitas pati, dan daya cerna pati.
Tabel 2 Karakteristik mutu pati asetat
Karakterisasi

Tapioka alami
Tanpa
asetilasi

Tapioka kristalin

Kadar air (%)

9.00a

Asetilasi
3%
6%
a
6.80
7.85a

Kadar abu (%)

0.17a

0.06a

30.00a

Kadar amilosa (%)
Persen asetilasi (%)
Derajat substitusi

6.99a

Asetilasi
3%
6%
a
7.80 7.25a

0.41a

2.49b

0.05a

32.64a

42.15a

19.00b

9.19a

0.73a

0.32a

a

a

0.03

0.01

Tanpa
asetilasi

Tapioka nanokristalin

4.70a

Asetilasi
3%
6%
a
8.63
8.50a

0.39a

0.53b

0.06a

0.04a

3.87a

34.66b

42.35b

48.85b

0.70b

0.34a

b

0.02b

0.65b 0.91c
0.02

b

0.03

c

Tanpa
asetilasi

0.03

Angka-angka yang sama diikuti huruf yang sama pada tiap kelompok pati tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5%

Kadar air
Kadar air menunjukkan kandungan air yang terdapat pada pati. Kadar air
erat kaitannya dengan masalah penyimpanan. Kadar air yang tinggi menyebabkan
mikroba dapat tumbuh dengan mudah sehingga dapat merusak pati.
Pengkondisian kadar air dapat untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme
yang dapat merugikan. Pengkondisian kadar air dilakukan dengan menentukan
hingga batas tertentu dimana mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada
pati dihambat pertumbuhannya sehingga pati dapat disimpan lebih lama. Selain
itu, Sajilata et al. (2006) mengemukakan bahwa kadar air yang rendah dapat
meningkatkan level kristalinitas pati sedangkan kadar air yang tinggi
menyebabkan pati lebih mudah didegradasi oleh enzim.
Standar kadar air produk diatur dalam SNI, untuk tapioka kadar air
maksimalnya adalah 14%. Kadar air yang diperoleh pada penelitian sudah sesuai
dengan standar yaitu berkisar antara 4.70% sampai dengan 9.00%. Pada analisis
sidik ragam pada Lampiran 2 perlakuan konsentrasi asetat anhidrida tidak
berpengaruh signifikan terhadap kadar air pati asetat. Karakterisasi kadar air ini
tidak berbeda nyata pada perlakuan asetilasi dalam masing- masing kelompok pati
karena kadar air digunakan sebagai faktor koreksi proses.
Kadar Abu
Kadar abu menunjukkan kandungan mineral suatu bahan yang meliputi
garam garam organik dan anorganik yang diperoleh dari hasil penghitungan bahan
anorganik yang tersisa dari proses pengabuan. Hasil pengujian kadar abu sering
dijadikan parameter baik atau tidaknya proses pengolahan suatu bahan. Pada
proses asetilasi, tidak semua asetat anhidrida yang ditambahkan dapat berikatan

12
dengan molekul pati, sehingga menimbulkan residu. Kadar abu pati asetat berkisar
0.04% sampai dengan 2.94%. Peningkatan kadar abu terjadi paling besar pada
proses lintnerisasi karena pembentukan garam akibat penetralan HCl dengan
NaOH.
Kadar abu juga mengalami peningkatan sesuai dengan peningkatan
konsentrasi asetat anhidrida yang ditambahkan dalam proses asetilasi. Pada
analisia sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan
asetilasi pada tapioka alami tidak berbeda nyata, namun pada tapioka kristalin dan
tapioka nanokristalin pengaruh asetilasi 3% dan 6% berbeda nyata terhadap
tapioka yang tidak diasetilasi. Pada tapioka kristalin dan tapioka nanokristalin
telah mengalami serangkaian proses yaitu litnerisasi dan presipitasi yang
meninggalkan residu pada pati, sedangkan tapioka alami tidak melalui proses
tersebut sehingga kadar abunya lebih kecil.
Dalam proses asetilasi terjadi substitusi gugus asetil dari reaktan asetat
anhidrida dengan gugus OH pada pati. Proses asetilasi yang terjadi tidak selalu
sempurna, sehingga memungkinkan masih ada gugus asetil yang belum berikatan
dengan pati sehingga menghasilkan residu yang mengakibatkan meningkatnya
kadar abu pada penambahan bobot asetat anhidrida. Berdasarkan SNI 3451:2011
tentang tapioka, kadar abu tapioka tidak boleh lebih dari 0.5%(b/b). Pati asetat
yang dihasilkan memiliki kadar abu yang telah sesuai dengan SNI.
Kadar Amilosa
Amilosa merupakan bagian pati yang memiliki struktur lurus, yaitu α-Dglukosa yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan α-1,4 glikosidik. Kadar
amilosa pati asetat berkisar pada rentang 3.87% sampai 61.39%. Berdasarkan
analisa sidik ragam (Lampiran 2), perubahan kadar amilosa pada kelompok
tapioka alami tidak berbeda nyata. Pada kelompok tapioka kristalin, terjadi beda
nyata antara perlakuan tanpa asetilasi dan asetilasi 3% maupun 6% dengan
penurunan kadar amilosa setelah proses asetilasi. Pada kelompok tapioka
nanokristalin terdapat beda nyata antara perlakuan tanpa asetilasi dan asetilasi 3%
maupun 6% dengan peningkatan kadar amilosa setelah proses asetilasi.
Proses asetilasi dapat meningkatkan kadar amilosa pada tapioka alami dan
tapioka nanokristalin. Kadar amilosa akan turun dengan adanya proses hidrolisis
asam. Menurut Wang et al (2003) pati terhidrolisis asam akan sedikit meningkat
derajat kristalinitasnya dengan kadar amilosa lebih rendah dibandingkan pati
alaminya. Hidrolisis asam menyebabkan rusaknya struktur amorf pada pati dan
memotong rantai-rantai amilosa menjadi lebih pedek. Hidrolisis asam
menyebabkan molekul amilosa menjadi terlalu pendek untuk membentuk
kompleks dengan iod, sehingga kadar amilosa yang terukur menjadi lebih kecil.
Agar dapat membentuk kompleks dengan iod, setidaknya diperlukan panjang
rantai glukosa sebanyak 18 unit (Le Corre et al. 2012). Menurut Le Corre et al
(2012) saat hidrolisis asam terjadi penurunan panjang rantai, maka secara gradual
akan menurun kapasitasnya dalam pewarnaan dengan iod. Warna biru sebagai
hasil pewarnaan amilosa dengan iod akan berubah menjadi ungu, kemudian merah,
coklat dan akhirnya menghilang. Presipitasi menyebabkan kadar amilosa
meningkat karena terjadi kompleksasi amilosa dengan pelarut organik yang
digunakan sehingga mengendapkan kembali amilosa yang terlarut dalam air.

13

Persen Asetilasi dan Derajat Substitusi
Uji persen asetilasi dan derajat substitusi (DS) digunakan untuk mengetahui
seberapa banyak gugus asetil yang tersubstitusi ke dalam pati asetat. Menurut
Savitri (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi asetilasi,
diantaranya adalah suhu, waktu asetilasi, kecepatan pengadukan, konsentrasi
reaktan dan konsentrasi substrat. Dari hasil analisa sidik ragam (Lampiran 2),
konsentrasi asetat anhidrida tidak berpengaruh signifikan terhadap DS dan persen
asetilasi. Hal ini diduga karena banyak faktor kondisi proses yang harus
diperhatikan selain konsentrasi asetat anhidrida.
Proses asetilasi pati pada penelitian ini menghasilkan persen asetilasi dan
DS yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Singh dan
Sodhi, 2004). Perbedaan ini karena karakteristik granula pati yang berbeda.
Menurut Rivera et al. (2012), derajat substitusi akan meningkat dengan
penambahan konsentrasi reaktan asetilasi. Penambahan reaktan akan
memperbesar kemungkinan interaksi antara reaktan dengan pati, sehingga
mempengaruhi kecepatan reaksi asetilasi. Pada penelitian sebelumnya Winarti
(2014) juga menyatakan bahwa proses asetilasi dengan perlakuan 60 menit derajat
substitusi yang dihasilkan lebih besar dari perlakuan asetilsi selama 30 menit.
Proses asetilasi tidak berpengaruh signifikan pada persen asetilasi pati
tapioka alami. Pada pati tapioka kristalin asetilasi 3%, 6% dan pati tanpa asetilasi
memiliki pengaruh signifikan terhadap persen asetilasi. Pada pati tapioka
nanokristalin asetilasi 3% berpengaruh signifikasn terhadap pati tanpa asetilasi
maupun pati asetilasi 6%. Proses asetilasi tidak mempengaruhi DS tapioka alami,
namun berpengaruh signifikan pada DS kelompok tapioka kristalin dan tapioka
nanokristalin.
Pada penelitian ini dihasilkan nilai DS yang relatif rendah, akan tetapi
menurut Winarti (2014), nilai DS untuk pati komersial yang digunakan untuk
pangan menurut standar FDA dibatasi yaitu < 0.2. Berdasarkan DS pati asetil
yang diihasilkan, pati asetil ini aman jika digunakan sebagai bahan pangan.
Kristalinitas Pati
Struktur granula pati terdiri dari bagian amorf dan kristalin yang tersusun
berselang seling dalam leukoplas. Kristalinitas pati dapat dilihat dengan
menggunakan metode pola difraksi sinar X dan dapat ditentukan dengan integrasi
kurva di bawah puncak daerah amorf dan kristalinnya. Puncak intensitas dari
difraksi sinar X yang dihasilkan pada kurva berhubungan dengan daerah kristalin
dalam granula pati (Pomeranz dan Meloan 2000).
Pola difraksi sinar X dapat membedakan kristalinitas pati menjadi tipe A, B,
C dan V ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 6. Tapioka merupakan pati
dengan kristalinitas tipe A yang mempunyai derajat kristalinitas sebesar 35.8%
(Srichuwong et al. 2005a). Kristalinitas pati tipe A mempunyai karakteristik
puncak 2 teta berada pada 15°, 17°, 20° dan 23°.

14

Tabel 3 Derajat kristalinitas dan tipe kristalin pati asetat.
Bahan
Derajat kristalinitas
Tapioka alami
28.37
Tapioka alami terasetilasi 3%
26.54
Tapioka alami terasetilasi 6%
25.69
Pati kristalin
19.61
Pati kristalin terasetilasi 3%
26.90
Pati kristalin terasetilasi 6%
34.68
Pati nanokristalin
18.61
Pati nanokristalin terasetilasi 3%
21.64
Pati nanokristalin terasetilasi 6%
33.09

Tipe Kristalin
A
A
A
A
A
A
A
A
A

Intensitas

Gambar 6 Profil kristal pati hasil pengukurann dengan difraksi sinar X (Buleon et
al. 1998)

tapioka alami
3%
6%

10

12

14

16

18

20

22 24


26

28

30

32

34

Gambar 7 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD untuk tapioka alami, hasil
asetilasi 3% dan 6%

Intensitas

15

6%
3%
tapioka kristalin
10

12

14

16

18

20

22 24


26

28

30

32

34

Intensitas

Gambar 8 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD untuk pati tapioka kristalin,
hasil asetilasi 3% dan 6%

6%
3%
tapioka nanokristalin

10

12

14

16

18

20

22 24


26

28

30

32

34

Gambar 9 Pola kristalinitas berdasarkan analisa XRD untuk pati tapioka
nanokristalin, hasil asetilasi 3% dan 6%
Perlakuan hidrolisis menyebabkan perusakan struktur pati pada daerah
amorf, namun hidrolisis dengan waktu yang lama juga akan merusak daerah
kristalin. Tapioka yang dihidrolisis asam selama 6 jam mengakibatkan turunnya
kristalinitas karena hidrolisis telah merusak struktur kristalin dari pati. Proses
presipitasi mengakibatkan peak pada pola kristalinitas turun sehingga titik
puncaknya hampir menghilang (Gambar 9). Perubahan kristalinitas pada tapioka
nanokristalin karena adanya amilosa rantai pendek yang terkristalisasi dan
membentuk struktur double helix sehingga mengakibatkan perubahan pada
granula pati dan terjadi penurunan derajat kristalinitas.

16
Proses asetilasi pada pati alami dapat sedikit menurunkan kristalinitas pati,
namun pada pola kristalinitas tidak terdapat banyak perbedaan. Titik puncak pada
pola kristalinitas tidak mengalami perubahan dan tetap pada 15°, 17°, 18° dan 23°.
Gambar 8 dan 9 menunjukkan pola kristalinitas pati asetilasi dari pati tapioka
kristalin dan tapioka nanokristalin yang mengalami peningkatan kristalinitas.
Peningkatan kristalinitas ini terjadi karena proses hidrolisis asam residu asam
asetat yang dihasilkan dari proses asetilas dengan asetat anhidrida. Asetat
anhidrida yang ditambahkan selain terjadi reaksi substitusi penggantian gugus OH
pada pati, juga meninggalkan residu berupa asam asetat yang dapat meningkatkan
kristalinitas pati, karena asam dapat mendegradasi daerah amorf pada pati.
Menurut Wang et al. (2003) pati terhidrolisis asam akan sedikit
meningkatkan derajat kristalinitasnya. Peningkatan derajat kristalinitas disebabkan
kecenderungan asam untuk menyerang daerah amorf, walaupun Bertoft (2004)
juga menyatakan bahwa hidrolisis asam tidak hanya menyerang daerah amorf saja,
tetapi juga daerah kristalin, tetapi asam mula-mula akan menyerang daerah amorf
yang lebih mudah terdegradasi karena strukturnya yang lebih longgar.
Morfologi Granula Pati
Pati memiliki ukuran dan morfologi granula yang berbeda-beda tergantung
jenis sumber pati tersebut. Menurut Srichuwong et al. (2005) granula tapioka
memiliki ukuran 18 µm. Pembuatan pati asetilasi dilakukan pada pati alami, pati
kristalin dan pati nanokristalin. Untuk mengetahui pengaruh asetilasi dapat dilihat
dari morfologi pati dengan menggunakan mikroskop, pada penelitian ini
digunakan SEM (Gambar 10).
Morfologi granula tidak mengalami banyak perubahan pada proses asetilasi.
Ukuran granula pati mengalami sedikit perubahan dari pati alami menjadi pati
kristalin. Dari Gambar 10 (e dan h) terlihat granula pati kristalin mulai mengalami
pecah dan isinya keluar. Walaupun pada permukaan granula mulai terlihat
kerusakan, namun granula pati kristalin masih sama dengan pati tapioka alami
tanpa modifikasi. Lintnerisasi hanya berperan dalam perusakan daerah amorf saja
dan tidak begitu berpengaruh pada morfologi granula pati.
Proses presipitasi dilakukan dengan perlakuan panas dan mekanis yang
mengakibatkan pembentukan partikel yang lebih kecil ketika pati terdegradasi.
Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10 (c, f dan i) yang menunjukkan gambar pati
nanopartikel. Menurut Winarti (2014) pati nanopartikel yang dihasilkan dengan
presipitasi sering membentuk agregat sehingga memiliki ukuran yang lebih besar
(bukan nano). Kim & Lim (2010) menjelaskan bahwa agregat merupakan
gabungan dari pati berukuran nano. Untuk memecah agregat matriks hasil
presipitasi bisa dilakukan dengan perlakuan mekanis maupun kimia. Aglomerasi
pada pati nanopartikel hasil presipitasi kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi
pati yang tinggi, sehingga pemotongan partikel pati tidak terjadi secara sempurna.

17
a

b

d

e

g

h

c

f

i

Gambar 10 Bentuk granula pati hasil pengujian SEM untuk (a) tapioka alami
(Loksuwan 2006); (b) pati tapioka kristalin (Wulandari 2013); (c) pati
tapioka nanopartikel (Wulandari 2013); (d) pati tapioka alami asetilasi
3%; (e) pati tapioka kristalin asetilasi 3%; (f) pati tapioka nanopartikel
asetilasi 3%; (g) pati tapioka alami asetilasi 6%; (h) pati tapioka
kristalin asetilasi 6%; (i) pati tapioka nanokristalin asetilasi 6%.
Daya Serap Air dan Minyak
Menurut Zayas (1997) daya serap air adalah kemampuan suatu bahan
pangan untuk menyimpan air dalam struktur tiga dimensi bahan pangan tersebut.
Daya serap air dan minyak dipengaruhi oleh ukuran granula pati serta struktur
kimia pati tersebut (Wulandari 2013). Dari hasil penelitian daya serap air
mengalami peningkatan pada setiap proses, hal ini sesuai dengan pernyataan
Collado dan Corke (1999) bahwa pati yang telah mengalami modifikasi akan
mengalami pembengkakan granula, sehingga akan meningkatkan daya absorbsi
dari pati dan tidak dapat teretrogradasi.
Pada penelitian ini daya serap air untuk tapioka termodifikasi berkisar
1.73% sampai 3.86%. Proses lintnerisasi dan presipitasi pada tapioka akan
meningkatkan daya serap air. Daya serap air yang paling besar adalah pati tapioka
nanokristalin asetilasi 6%. Presipitasi menyebabkan ukuran partikel pati menjadi
lebih kecil dan berpori sehingga meningkatkan daya serap air. Ukuran granula pati
yang lebih kecil pada pati tapioka nanokristalin mengakibatkan kemampuan
menyerap air lebih cepat pada suhu yang sama.

18
18

Tabel 4 Karakteristik fungsional pati asetat
Karakteristik

Tapioka alami

Tapioka kristalin

Tapioka
nanokristalin
Tanpa
Asetilasi Asetilasi Tanpa
Asetilasi Asetilasi Tanpa
Asetilasi Asetilasi
asetilasi
3%
6%
asetilasi
3%
6%
asetilasi
3%
6%
a
a
a
a
ab
b
a
b
Daya serap air (g/g sampel)
1.73
1.84
1.77
1.83
2.26
2.34
3.09
3.73
3.86b
a
a
a
a
b
b
a
a
Daya serap minyak (g/g sampel)
1.70
1.80
1.81
1.64
1.91
1.93
1.63
1.82
1.69a
Kelarutan (%)
26.00a
29.17a
19.49a 97.55a
61.60a 95.52a
71.67a
52.14a
54.33a
Swelling power pada 70°C (%)
109.50a
88.66a
85.54a 806.97b 202.43a 492.50ab 184.17b
133.60a 108.00ab
Daya cerna pati (%)
57.98a
59.45a
57.28a 98.86a
78.72a
74.80a
75.35a
53.10a
39.84a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kelompok pati yang sama tidak berbeda nyata pada uji taraf 5%

20

19
Berdasarkan analisa sidik ragam (Lampiran 2) modifikasi dengan asetilasi pada
tapioka alami tidak menyebabkan pengaruh yang signifikan terhadap daya
serap air, namun pada pati tapioka kristalin asetilasi 6% berbeda nyata dengan
pati kristalin tanpa asetilasi. Pati tapioka nanokristalin 3% dan 6% berbeda
nyata terhadap pati nanokristalin yang tidak diasetilasi.
Daya serap air tertinggi yang diperoleh dari penelitian adalah pati tapioka
nanokristalin asetilasi 6%. Kemampuan daya serap air pada pati berguna dalam
proses pengikatan zat aktif yang larut air, sehingga ketika zat aktif tersebut
terlarut dalam air dapat terperangkap dengan baik pada granula pati.
Kemampuan menyerap minyak pada pati menunjukkan bahwa pati
tersebut memiliki bagian lipofilik. Menurut Afdi (1989), daya serap minyak
pada pati dipengaruhi oleh adanya protein dipermukaan granula pati, dimana
protein ini dapat membentuk kompleks yang dapat memberikan tempat
terikatnya minyak pada pati. Kemampuan menyerap minyak juga berhubungan
dengan amilosa yang terkandung dalam pati. Amilosa memiliki kemampuan
untuk membentuk kompeks dengan minyak dan membentuk amilosa lipid.
Daya serap minyak mengalami penurunan setelah proses lintnerisasi daya
serap minyak pati alami 1.70 (g/g) dan setelah proses lintnerisasi menjadi 1.64
(g/g) (Tabel 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Das et al. (2010) bahwa
penurunan daerah amorf akan menurunkan kemampuan menyerap minyak
karena penurunan jumlah situs yang bisa mengikat minyak. Penurunan daya
serap minyak juga disebabkan oleh kadar amilosa pati yang turun setelah
terjadi hidrolisis.
Berdasarkan analisa sidik ragam pada Lampiran 2 pada pati tapioka
alami, jumlah asetat anhidrat pada proses asetilasi tidak memiliki pengaruh
pada daya serap minyak. Pada pati tapioka kristalin jumlah asetat anhidrida 3%
dan 6% berbeda nyata dengan pati kristalin tanpa asetilasi, namun pada pati
tapioka nanokristalin jumlah asetat anhidrida tidak berpengaruh nyata terhadap
daya serap minyak.
Proses modifikasi lanjut seperti asetilasi akan lebih meningkatkan
penyerapan air dan minyak. Menurut Winarti (2014) peningkatan daya serap
air dan minyak setelah proses asetilasi berkaitan dengan pembentukan struktur
berpori dan ukuran yang lebih halus dari hasil proses presipitasi. Kapasitas
pengikatan minyak digunakan untuk mengukur tingkat hidrifobisitas produk.
Proses asetilasi dalam penelitian ini bertujuan untuk memodifikasi pati dan
meningkatkan sifat hidrofobisitasnya, sehingga dapat digunakan sebagai
matriks untuk proses enkapsulasi zat aktif yang bersifat hidrofobik seperti
kurkumin. Peningkatan daya serap air dan daya serap minyak setelah proses
asetilasi terjadi karena adanya perubahan gugus fungsi pada pati yang
mempengaruhi kemampuan pengikatan.
Kelarutan dan Swelling Power
Kelarutan dan swelling power (SP) merupakan salah satu sifat fungsional
pati. Swelling atau kapasitas menyerap air pada pati sangat penting dalam
aplikasi biomedis atau farmasi, baik sebagai implant maupun sebagai
penghantaran obat. Hal ini disebabkan tingkat kesetimbangan swelling akan
mempengaruhi koefisien difusi pelarut melewati matriks, sifat permukaan dan
mobilitas permukaan, termasuk sifat mekanisnya (Peppas, 1996).

20
Pati tapioka alami memiliki kelarutan yang rendah yaitu 26%, dengan
proses lintnerisasi kelarutan pati akan meningkat menjadi 97.55% (Tabel 4).
Peningkatan kelarutan disebabkan karena proses hidrolisis telah merusak
granula dan memecah rantai pati menjadi lebih pendek sehingga lebih mudah
terlarut. Rantai pati yang lebih pendek menunjukkan berat molekul yang lebih
kecil sehingga meningkatkan kelarutan. Pati tapioka kristalin yang melalui
proses presipitasi menjadi pati tapioka nanokristalin mengalami penurunan
kelarutan yaitu dari 97.55% menjadi 71.67%. Penurunan kelarutan ini
disebabkan karena hilangnya molekul air saat proses presipitasi etanol. Etanol
akan menggantikan molekul air di dalam bahan sehingga kelarutan cenderung
rendah (Winarti, 2014).
Berdasarkan analisa sidik ragam (Lampiran 2) perbedaan asetilasi 3%
dan 6% tidak berbeda nyata pada kelarutan untuk semua kelompok pati.
Kelarutan yang tinggi diperlukan untuk pembuatan produk-produk minuman
instan yang diseduh. Pati dengan kelarutan tertinggi adalah pati tapioka
kristalin dengan kelarutan sebesar 97.55%.
Swelling power pati yang diperoleh dari penelitian berkisar 85.54%
sampai 806.97% (Tabel 4). Proses lintnerisasi meningkatkan SP berhubungan
dengan hidrolisis pati yang mendegradasi daerah kristalin pada tapioka. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu Wulandari (2013), kelarutan
dan SP pada pati tapioka saat proses lintnerisasi mengalami kenaikan walaupun
kenaikannya tidak signifikan. Proses presipitasi yang dilakukan menurunkan
SP, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu Wulandari (2013) SP
mengalami penurunan pada proses lintnerisasi hingga proses lintnerisasipresipitasi 6 jam.
Berdasarkan analisa sidik ragam (Lampiran 2) jumlah asetat anhidrat
tidak berpengaruh signifikan terhadap SP pada kelompok pati tapioka alami.
Pada pati tapioka kristalin dan tapioka nanokristalin asetilasi 3% berbeda nyata
dengan pati kristalin tanpa asetilasi.
Pada proses asetilasi, kelarutan dan SP mengalami penurunan dari bahan
pati non asetilasi yang digunakan, kecuali pada pati tapioka alami. Tapioka
alami mengalami peningkatan kelarutan. Menurut Betancur et al. (1997)
Perubahan kelarutan dan SP pada modifikasi asetilasi disebabkan karena
adanya substitusi gugus hidrofilik yang menahan molekul air dari rantai
hidrogen pada granula pati. Pati dengan SP yang tinggi dapat digunakan
sebagai bahan penyerap air pada diapers atau popok bayi. Pada penelitian ini
pati dengan SP paling tinggi adalah pati tapioka kristalin tanpa asetilasi.
Daya Cerna Pati
Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan pati untuk dapat dihidrolisis
menjadi unit-unit yang lebih kecil oleh enzim pemecah pati. Haralampu (2000)
menyatakan bahwa daya cerna pati dapat diukur dengan metode daya cerna
pati in vi