Penambahan Glukosa sebagai Kosubstrat dan Pengaruhnya terhadap Produksi Xilitol oleh Candida guilliermondii

PENAMBAHAN GLUKOSA SEBAGAI KOSUBSTRAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI XILITOL
OLEH Candida guilliermondii

STEFFANUS GOZALES

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

2

ABSTRAK
STEFFANUS GOZALES. Penambahan Glukosa sebagai Kosubstrat dan
Pengaruhnya terhadap Produksi Xilitol oleh Candida guilliermondii. Dibimbing
oleh LAKSMI AMBARSARI dan SURYANI.
Xilitol merupakan gula alkohol berkarbon lima yang banyak digunakan di
berbagai bidang. Xilitol dapat diproduksi dengan ekstraksi langsung dari buahbuahan dan sayur-sayuran, serta sintesis kimia yang mahal dan boros energi. Oleh
karena itu dibutuhkan teknik produksi alternatif yang lebih murah dengan

memanfaatkan mikroba. Penelitian bertujuan menentukan waktu inkubasi
optimum untuk pertumbuhan biomassa sel C. guilliermondii dan produksi xilitol,
serta menentukan variasi glukosa:xilosa yang optimum. Fermentasi dilakukan
pada suhu 300C dengan kecepatan 120 rpm. Variasi rasio yang digunakan adalah
(glukosa:xilosa) 1:25, 1:12, 1:5, 1:2.5. Kadar xilitol diukur menggunakan
spektrofotometer dengan Kit D-sorbitol/D-xilitol. Hasil penelitian menunjukkan
fase eksponensial dari pertumbuhan sel C. guilliermondii terdapat pada inkubasi
jam ke-12 sampai 36, dan waktu inkubasi optimum untuk memperoleh kadar
xilitol tertinggi adalah 72 jam. Variasi rasio glukosa:xilosa yang terbaik adalah
rasio 1:5 dengan konsentrasi glukosa 9 g/L dan konsentrasi xilosa 45 g/L. Kadar
xilitol yang diperoleh dari rasio tersebut sebesar 2.85 g/L sedangkan xilitol yang
diperoleh dari media kontrol, yaitu media yang mengandung hanya xilosa 45 g/L
adalah 0.57 g/L, dengan demikian penambahan glukosa sebagai kosubstrat ke
dalam media fermentasi dapat meningkatkan produksi xilitol.

3

ABSTRACT
STEFFANUS GOZALES. Addition of Glucose as Co-substrate and its Effect on
Xylitol Production by Candida guilliermondii. Under direction of LAKSMI

AMBARSARI dan SURYANI.
Xylitol is a five-carbon sugar alcohol and used commercially in various
fields. Xylitol can be produced by solid-liquid extraction from fruits and
vegetables, also chemical synthesis which is expensive and energy-intensive.
Therefore, an alternative inexpensive production techniques is required, one of
them is using microorganism. The purposes of this research were to determine the
optimum incubation time for the growth of C. guilliermondii, and xylitol
production, also to determine the best ratio variation of glucose:xylose.
Fermentation was carried out at 300C with shaking speed 120 rpm. Ratio variation
used in this research were (glucose:xylose) 1:25, 1:12, 1:5, 1:2.5. Xylitol
concentration was measured with spectrophotometer based on D-sorbitol/Dxylose Kit. The results showed the log phase of the growth of C. guilliermondii at
12-36 hour, and the optimum incubation time to obtain the highest amount of
xylitol at 72 hour. The best variation ratio of glucose:xylose is 1:5 with initial
glucose concentration 9 g/L and xylose concentration 45 g/L. Xylitol obtained
from ratio 1:5 was 2.85 g/L while xylitol obtained from control medium, which is
the medium that contained only xylose 45 g/L was 0.57 g/L, thus the addition of
glucose to fermentation medium can increase the production of xylitol.

4


PENAMBAHAN GLUKOSA SEBAGAI KOSUBSTRAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI XILITOL
OLEH Candida guilliermondii

STEFFANUS GOZALES

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

5

Judul Skripsi


Nama
NIM

: Penambahan
Glukosa
sebagai
Kosubstrat
dan
Pengaruhnya terhadap Produksi Xilitol oleh Candida
guilliermondii
: Steffanus Gozales
: G84050297

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Laksmi Ambarsari, MS.
Ketua


Dr. Suryani, M.Sc.
Anggota

Diketahui

Dr. I. Made Artika, M. App. Sc
Ketua Departemen Biokimia

Tanggal Lulus:

6

PRAKATA
Puji-pujian serta syukur yang tak terhingga penulis haturkan ke hadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi berjudul Penambahan Glukosa sebagai
Kosubstrat dan Pengaruhnya terhadap Produksi Xilitol oleh Candida
guilliermondii. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari

bulan Mei 2009 sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Departemen
Biokimia IPB.
Penulisan skripsi ini juga dapat berlangsung dengan baik karena adanya
dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr.
Laksmi Ambarsari, MS. dan Dr. Suryani, M.Sc. sebagai dosen yang telah
memberikan saran, kritik, dan bimbingannya. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada keluarga tercinta atas doa, dukungan, dan kasih sayang, dan
kepada teman-teman tim peneliti xilitol (Siska dan Puspa). Penulis berharap agar
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.

Bogor, Oktober 2010

Steffanus Gozales

7

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1987. Penulis
adalah anak pertama dari pasangan Markus Wijaya dan Rosalina. Penulis

memiliki saudara kandung yaitu Griselda Agnes Gozales.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di
SMAK 2 BPK Penabur Jakarta (2002-2005). Pada tahun 2005 penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB). Pada tahun 2006 setelah menyelesaikan masa TPB di IPB penulis
diterima di Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam.
Selama di IPB, penulis pernah aktif menjadi anggota Keluarga Mahasiswa
Katholik IPB (KeMaKI) (2006-2009), anggota tim penyanyi Agria Swara dalam
acara Studium Generale oleh Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, MA dalam
rangka Grand Launching Program Doktoral Manajemen Bisnis IPB (2006),
panitia Natal Civa (2006), anggota seksi dokumentasi dalam Konser Tahunan
Agria Swara “Vox Versatilus” (2006), anggota penyanyi dalam tim “Agria Swara
Goes to Hungary” (2007), ketua konser Agria Swara “A Golden Journey” (2007),
anggota tim penyanyi dalam konser kemerdekaan bersama Twilight Orchestra
(2007), staff Departemen PSDM Agria Swara (2007-2008), koordinator seksi
latihan dan penyanyi dalam Konser Tahunan Agria Swara “Rhine-Danubian
Cruise” (2008), anggota tim penyanyi dalam konser “Terima Kasih Pemuda”
bersama Twilight Orchestra dalam rangka Hari Raya Sumpah Pemuda (2008), dan
anggota seksi latihan dalam Konser Tahunan Agria Swara “Eulogy to the Joy of

Singing” (2009). Selain itu, penulis pernah melakukan Praktik Lapang (PL) di PT.
Indofood Sukses Makmur, Tbk (2008).

8

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... viii
PENDAHULUAN ..............................................................................................

1

TINJAUAN PUSTAKA
Xilitol ......................................................................................................
Produksi Xilitol oleh Mikrob ..................................................................
Efek Penambahan Glukosa sebagai Kosubstrat ......................................
Pertumbuhan Mikrob ..............................................................................

1

3
4
5

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan ........................................................................................
Metode Penelitian ...................................................................................

6
6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Biomassa Sel ....................................................................
Produksi Xilitol ......................................................................................
Rasio Glukosa:Xilosa Optimum .............................................................

7
8
8


SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 11
LAMPIRAN ........................................................................................................ 15

DAFTAR GAMBAR

9

1

Halaman
Struktur kimia xilitol ................................................................................. 1

2

Metode produksi xilitol .............................................................................

2

3


Skema awal fermentasi xilosa oleh C. guilliermondii ...............................

3

4

Kurva pertumbuhan mikrob .......................................................................

5

5

Hubungan antara waktu inkubasi dengan absorbansi biomassa sel (kurva
merah) dan produksi xilitol (kurva biru). ...................................................

7

Hubungan antara variasi rasio glukosa:xilosa dengan konsentrasi xilitol
(g/L) ...........................................................................................................

9

6
7

Skema metabolisme glukosa dan xilosa pada khamir ............................... 10

DAFTAR LAMPIRAN

1

Halaman
Bagan alir penelitian .................................................................................. 16

2

Persiapan bahan pengukuran kadar xilitol (Metode Roche) ...................... 17

3

Data kurva pertumbuhan dan kurva produksi ........................................... 18

4

Data kurva produksi .................................................................................. 19

5

Data variasi rasio glukosa:xilosa ............................................................... 20

PENDAHULUAN

Xilitol (disebut juga gula alkohol atau
polialkohol) merupakan pemanis alami yang

2

terdapat pada sayuran dan buah-buahan
seperti wortel, kembang kol, selada, bawang
bayam, pisang, stroberi, raspberry, plum,
kuning, dan apel. Xilitol juga diproduksi oleh
tubuh sebanyak 15 g/hari sebagai senyawa
antara dalam metabolisme glukosa. Xilitol
mempunyai tingkat kemanisan yang setara
dengan sukrosa namun nilai kalorinya 40%
lebih rendah dari kelompok karbohidrat
lainnya (Ly et al. 2006). Xilitol merupakan
gula berkarbon lima yang tidak dapat
difermentasi oleh bakteri Streptococcus
mutans penyebab kerusakan gigi, sehingga
bersifat nonkariogenik yang aman untuk
kesehatan gigi (Sampaio et al. 2003). Secara
farmakologi, xilitol mempunyai peran untuk
mencegah kerusakan gigi, infeksi telinga pada
anak-anak, dan sebagai pengganti gula untuk
pasien diabetes (Cao et al. 1994). Pada
industri bahan makanan, xilitol digunakan
sebagai bahan utama untuk pembuatan
permen, permen karet (chewing gums), dan
minuman ringan. Selain itu, xilitol juga
banyak digunakan pada produk-produk
kesehatan gigi, seperti pasta gigi (Ly et al.
2006).
Secara ekonomi, xilitol mempunyai harga
jual yang tinggi dan mempunyai kegunaan
pada bidang kesehatan, farmasi, dan industri
makanan.
Harganya
yang
mahal
menyebabkan ketersediaan xilitol dalam dunia
perdagangan masih rendah, sedangkan
permintaan xilitol semakin meningkat dan
aplikasi xilitol pun semakin luas. Selama ini,
teknik produksi xilitol yang paling umum
digunakan adalah secara kimiawi dengan
teknik hidrogenasi xilosa. Produksi xilitol
melalui proses ini memerlukan biaya yang
tinggi. Selain diperlukan energi yang tinggi,
bahan baku utama yang digunakan dalam
proses tersebut adalah xilosa murni yang
menghasilkan xilitol yang masih memerlukan
proses pemurnian. Proses produksi ini
membuat harga xilitol menjadi mahal serta
boros energi (Soleimani et al. 2006).
Mahal dan borosnya proses hidrogenasi
xilosa menyebabkan diperlukannya upaya
untuk meningkatkan produksi xilitol dengan
harga yang murah dan hemat energi. Produksi
xilitol dengan proses bioteknologi melalui
fermentasi dengan memanfaatkan mikrob
merupakan salah satu cara yang diharapkan
dapat memberikan hasil yang lebih ekonomis
dibandingkan secara kimiawi (Rao et al.
2006).
Penelitian ini menggunakan mikrob
khamir spesies Candida guilliermondii yang
merupakan salah satu mikrob khamir

penghasil xilitol terbaik (Silva et al. 2007;
Rosa et al. 1998). Keberhasilan biokonversi
xilosa menjadi xilitol secara fermentasi
bergantung pada beberapa faktor, misalnya
suhu, pH, kondisi aerasi, konsentrasi substrat,
dan keberadaan gula lain selain xilosa seperti
glukosa.
Penelitian bertujuan menentukan waktu
inkubasi optimum untuk pertumbuhan
biomassa sel C. guilliermondii dan produksi
xilitol, serta menentukan konsentrasi glukosa
optimum yang ditambahkan ke dalam media
fermentasi. Hipotesis dari penelitian ini adalah
penambahan glukosa sebagai kosubstrat
dengan rasio konsentrasi glukosa:xilosa yang
optimum dapat meningkatkan produksi xilitol.
Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
menambahkan informasi tentang produksi
xilitol menggunakan sel khamir (khususnya
khamir C. guilliermondii). Selain itu hasil
penelitian juga diharapkan dapat memberikan
informasi konsentrasi glukosa optimum yang
perlu ditambahkan untuk meningkatkan
produksi xilitol.

TINJAUAN PUSTAKA
Xilitol
Xilitol termasuk senyawa poliol yang
mempunyai tingkat kemanisan setara dengan
sukrosa (Gambar 1). Xilitol juga merupakan
senyawa antara pada metabolisme karbohidrat
mamalia. Beberapa studi telah menunjukkan
efek yang menguntungkan dari xilitol sebagai
pemanis ketika digunakan sebagai senyawa
tunggal atau terformulasi dalam kombinasi
dengan gula lainnya dalam yoghurt, selai, dan
makanan beku (Ly et al. 2006)..
Tingkat pertumbuhan bakteri S. mutans
pada air liur dan plak dapat dikurangi dengan
konsumsi xilitol. Selain itu, xilitol dapat
mengurangi kemungkinan transmisi S. mutans
dari ibu ke anak (Lynch & Milgrom 2003).
Kebutuhan xilitol yang terus meningkat
diikuti dengan kemampuan xilitol yang secara

Gambar 1 Struktur kimia xilitol.

3

Buah-buahan dan sayur-sayuran

Lignoselulosa

Xilosa Komersial

Hidrolisis
Ekstraksi
Hidrolisat
H2
Detoksifikasi
Hidrogenasi
Biotransformasi
Separasi / Purifikasi

Xilitol
Gambar 2 Metode produksi xilitol (Parajo et al. 1998).
fungsional memperluas aplikasi xilitol untuk
meningkatkan kesehatan gigi (Peldyak &
Makinen 2002). Efek lainnya yang terkait
dengan pemasukkan xilitol secara oral
meliputi remineralisasi gigi, penebalan kristal
mineral pada lapisan dalam enamel gigi, dan
stimulasi diekskresikannya air liur tanpa
menurunkan pH (Miake et al. 2003). Sebagai
komponen dalam pasta gigi, xilitol
mempunyai
kemampuan
untuk
mengembalikan kelembaban mulut (Milgrom
et al. 2009). Beberapa sifat lain dari xilitol
antara lain mudah larut dalam air, tahan
terhadap panas, tidak mudah mengalami
karamelisasi (cocok untuk pembuatan jenis
roti tertentu), memberikan sensasi dingin
seperti mentol (Ahmed 2001), dan
menghasilkan energi hanya 2.4 kkalori/g
(cocok bagi penderita kegemukan/obesitas).
Obesitas dapat dihindari dengan konsumsi
reguler dari xilitol (Parajo et al. 1998).
Alasan mengapa xilitol dapat digunakan
oleh penderita diabetes disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu xilitol diserap secara
lambat oleh sistem pencernaan, langkah awal
metabolisme dari xilitol tidak bergantung
pada hormon insulin, dan xilitol tidak
menimbulkan
perubahan
besar
pada
konsentrasi gula dalam darah (Soleimani et al.
2006; Ly et al. 2006). Selain itu, xilitol juga
mempunyai potensi sebagai penyembuh
osteoporosis (Mattila et al. 2001). Xilitol
mempunyai banyak kelebihan sebagai
komposisi makanan atau zat aditif, contohnya
xilitol tidak mengalami reaksi Maillard yang
bersifat merusak yang mengakibatkan efek

darkening dan penurunan nilai nutrisi dari
protein karena hancurnya asam amino dalam
protein
tersebut
(Rangaswamy
2003;
Soleimani et al. 2006). Xilitol juga dapat
digunakan sebagai agen penstabil selama
ekstraksi
protein
untuk
menghindari
denaturasi protein (Maloney & Amburdkar
1989).
Banyak penelitian yang dilakukan
berfokus pada produksi xilitol dari xilosa.
Sebelumnya produksi xilitol dianggap sebagai
produk samping dalam fermentasi etanol dari
xilosa. Awal dilakukannya penelitian yang
berfokus pada xilitol adalah penapisan
sejumlah mikroorganisme yang didasarkan
pada potensi produksi xilitol. Selain itu karena
sifat-sifat xilitol yang unik, permintaan pasar
dari xilitol pun mulai meningkat dan
penelitian-penelitian yang berfokus pada
xilitol mulai banyak dilakukan (Winkelhausen
& Kuzmanova 1998).
Produksi xilitol dapat dicapai melalui tiga
metode, yaitu ekstraksi padat-cair, sintesis
kimia, dan bioteknologi (Gambar 2). Xilitol
dapat diekstraksi dari sumber-sumber yang
mengandung xilitol seperti buah-buahan dan
sayur-sayuran tetapi dalam proporsi yang
sangat kecil (kurang dari 0.01 % g/g) (Pepper
& Olinger 1988). Metode kedua yaitu dengan
proses sintesis kimia (hidrogenasi xilosa)
yang membutuhkan biaya produksi yang
mahal
(membutuhkan
xilosa
murni),
kebutuhan energi yang tinggi (suhu 80-140oC
dan tekanan 50 atm), dan membutuhkan
katalis logam nikel dalam prosesnya
(Soleimani et al. 2006). Metode ketiga

4

menggunakan
pendekatan
bioteknologi
dengan proses fermentasi oleh mikrob,
contohya khamir C. guilliermondii, yang
diharapkan dapat menutupi kekurangankekurangan yang terdapat pada kedua metode
di atas.
Limbah-limbah dari industri Pertanian dan
perhutanan umumnya terdiri atas material
lignoselulosa. Ketersediaan dan melimpahnya
produk-produk perhutanan dan residu-residu
pertanian
yang
dapat
diperbaharui
menawarkan penggunaan xilosa sebagai
bahan utama untuk memproduksi xilitol.
Xilosa dan arabinosa menyusun 95%
hemiselulosa arabino-xilan pada jaringan
tanaman. Gula pentosa menyusun sekitar 1933%, 10-12%, dan 40% pada kayu-kayu
keras, kayu-kayu lunak, dan residu pertanian
(Winkelhausen & Kuzmanova 1998).
Beberapa sumber xilosa yang berasal dari
residu-residu pertanian adalah beras jerami
(Roberto et al. 1996). Substrat xilosa yang
paling banyak digunakan dalam skala industri
pada saat ini berasal dari hidrolisat ampas
tebu yang juga mengandung berbagai macam
gula seperti glukosa, arabinosa, dan lain-lain
(Alves et al. 1998; Lee et al. 1996; Sene et al.
2001; Rodrigues et al. 2003; Silva et al.
2004). Gula selain xilosa yang terkandung
dalam ampas tebu tersebut berpengaruh
terhadap biokonversi xilosa menjadi xilitol.
Produksi Xilitol oleh Mikrob
Mikrob yang mempunyai aktivitas dalam
melakukan biokonversi xilosa menjadi xilitol
adalah khamir, bakteri, dan fungi. Pemilihan
khamir sebagai penghasil xilitol terbaik telah
banyak dilakukan dalam berbagai penelitian.
Menurut Saha dan Bothast (1997), spesies
khamir yang
xilitol
Xilosadapat memproduksi Xilitol
adalah C. Reduktase
guilliermondii, Candida Dehidrogenase
tropicalis,
Candida pelliculosa, Candida boidinii, dan
Xilitol
Xilosa
genus dari Saccharomyces, Debaryomyces,

Pichia, Hansenula, Torulopsis, Kloeckera,
Trichosporon, Cyptococcus, Rhodotorula,
Monilia,
Kluyveromyces,
Pachysolen,
Ambrosiozyma, dan Torula. Berdasarkan
laporan hasil-hasil penelitian, diperoleh
informasi bahwa mikroorganisme terbaik
dalam memproduksi xilitol adalah khamir dari
genus Candida (C. guilliermondii, C.
tropicalis,
C.
pelliculosa,
Candida
parapsilosis) (Carvalho et al. 2000; Sampaio
et al. 2003).
Khamir dapat mengkonversi xilosa
menjadi xilulosa melalui reaksi redoks yang
melibatkan dua rangkaian reaksi. Enzim yang
mengkatalis reaksi pertama yaitu enzim
Xylose Reductase (XR) yang bekerja
menggunakan kofaktor NADPH atau NADH
untuk mengkonversi xilosa menjadi senyawa
antara xilitol (Gambar 3). Reaksi selanjutnya
xilitol ditransformasi menjadi xilulosa oleh
enzim Xylitol Dehydrogenase (XDH) dengan
kofaktor NAD+ atau NADP+ (Hahn-Hägerdal
et al. 1994).
Spesies khamir yang berbeda mempunyai
kemampuan yang berbeda-beda dalam
memfermentasi xilosa menjadi xilitol atau
etanol. Yablochkova et al. (2001) menyatakan
kemampuan khamir untuk memproduksi
xilitol atau etanol berdasarkan pada aktivitas
enzim XR. Jenis khamir yang mempunyai
aktivitas enzim XR yang bergantung pada
kofaktor NADPH dan NADH tidak dapat
mengakumulasi
xilitol
melainkan
memproduksi etanol, contohnya Pichia
stipitis, C. shehatae, dan Pachysolen
tannophilus. Jenis khamir yang mempunyai
aktivitas enzim XR yang hanya bergantung
pada NADPH dapat mengakumulasi xilitol,
contohnya C. guilliermondii, C. tropicalis,
Xilulosa
dan C. parapsilosis.
Menurut Kinase
Ooi et al. (2002), C.
guilliermondii
dan C. tropicalis yang
Xilulosa
Xilulosa-5-fosfat
ditumbuhkan dalam media yang mengandung

Jalur Pentosa
Fosfat
Rantai respirasi

Gambar 3 Skema awal fermentasi xilosa oleh C. guilliermondii (Barbosa et al. 1988).

5

xilosa 2% b/v menghasilkan xilitol dengan
product yield (Y p/s) berturut-turut sebesar
84-86% dan 63-68%. Dalam penelitian yang
dilakukan Rosa et al. (1998), sebanyak 66.4
g/L xilosa habis dikonsumsi oleh C.
guilliermondii selama fermentasi 48 jam
untuk menghasilkan xilitol sebesar 43 g/L
dengan produktivitas volumetrik (Qp) 0.9
g/Lh, dan menurutnya C. guilliermondii dan
C. tropicalis merupakan khamir penghasil
xilitol terbaik. Meyrial et al. (1991)
menghasilkan xilitol sebesar 221 g/L dari 300
g/L xilosa dengan product yield (Y p/s)
sebesar
0.75
g/g
menggunakan
C.
guilliermondii. Vandeska et al. (1995) di
dalam penelitiannya memilih menggunakan
D. hansenii dan C. boidini sebagai penghasil
xilitol.
Contoh beberapa spesies bakteri yang
dapat menghasilkan xilitol yaitu Enterobacter
liquifaciens, Corynebacterium sp., dan
Mycobacterium smegmatis (Horitsu et al.
1992). Yoshitake et al. (1973) dalam
penelitiannya menggunakan Enterobacter
menghasilkan xilitol sebesar 33.3 g/L dalam
media yang mengandung 100 g/L xilosa.
Rangaswamy (2003) memperoleh product
yield (Y p/s) tertinggi menggunakan
Corynebacterium sp. sebesar 0.57 g/g dengan
konsentrasi xilosa mula-mula 75 g/L.
Penelitian yang dilakukan oleh Dahiya
(1991) menggunakan fungi Petromyces
albertensis menghasilkan xilitol sebesar 39.8
g/L setelah 10 hari fermentasi pada media
yang mengandung konsentrasi xilosa mulamula 100 g/L. Ueng dan Gong (1982)
mengamati kadar xilitol yang rendah dalam
fermentasi menggunakan Mucor sp. pada
hidrolisat ampas tebu. Selain itu, Chiang dan
Knight (1961) melaporkan bahwa Penicillium,
Aspergillus,
Rhizopus,
Byssochlamys,
Glicoladium, Myrothecium, dan Neurospora
sp. merupakan jenis fungi yang mempunyai
kemampuan untuk memproduksi xilitol dalam
kadar yang rendah dari sumber karbon xilosa.
Efek Penambahan Glukosa sebagai
Kosubstrat
Efek berlawanan telah dilaporkan pada
fermentasi xilosa menjadi xilitol oleh khamir
ketika dilakukan penambahan glukosa sebagai
kosubstrat ke dalam media fermentasi.
Yahashi et al. (1996) mengamati bahwa C.
tropicalis menghasilkan xilitol 84.5 g/L dan
memakai
sebagian
substrat
untuk
pertumbuhan jika digunakan media yang
hanya mengandung xilosa sebagai sumber
karbon utama (pada konsentrasi 150 g/L).

Penambahan glukosa sebagai tambahan
karbon
meningkatkan
proses
sumber
keseluruhan, tetapi penambahan glukosa
berikutnya justru mengurangi pemakaian
xilosa dan produktivitas xilitol akibat
pembentukan hasil samping seperti ribitol dan
gliserol. Yahashi et al. (1996) mengamati efek
menguntungkan akibat penambahan glukosa
pada produksi xilitol oleh sel C. tropicalis
yang telah diimobilisasi. Xilosa dapat
dikonversi menjadi xilitol lebih efisien dengan
adanya
penambahan
glukosa
sebagai
kosubstrat karena glukosa dipakai oleh sel
untuk pertumbuhan. Pemakaian glukosa lebih
cepat dibandingkan dengan pemakaian xilosa
yang menyebabkan regenerasi NADPH yang
lebih cepat melalui jalur pentosa fosfat (Lee et
al. 1996). Semakin banyak glukosa yang
ditambahkan ke dalam media akan
memperbanyak regenerasi NADPH sehingga
dapat meningkatkan biokonversi xilosa
menjadi xilitol.
Pengaruh penambahan glukosa pada C.
tropicalis tidak sama dengan pengaruh
penambahan glukosa pada C. guilliermondii,
begitu juga dengan khamir lain. Silva et al.
(1996) menyatakan bahwa penambahan
glukosa pada media yang mengandung xilosa
murni mengurangi produktivitas xilitol oleh
C. guilliermondii. Penemuan ini berdasarkan
pada fakta bahwa penambahan glukosa dapat
menghambat induksi enzim XR pada C.
guilliermondii oleh xilosa, dan intensitas
hambatan tersebut terkait dengan jumlah
glukosa yang ditambahkan pada media (Sugai
& Delgenes 1995; Silva et al. 2007). Ooi et al.
(2002) menemukan bahwa konsumsi xilosa
oleh C. guilliermondii dan C. tropicalis pada
media xilosa yang mengandung glukosa
sebagai kosubstrat memerlukan waktu yang
lebih lama dibandingkan dengan konsumsi
xilosa pada media yang tidak mengandung
glukosa. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan glukosa lebih diutamakan
daripada xilosa dan dengan demikian
memperpanjang waktu biokonversi xilosa
menjadi xilitol. Sebaliknya, Rosa et al. (1998)
menemukan peningkatan produksi xilitol oleh
C. guilliermondii pada media sintetik yang
mengandung 60 g/L xilosa dan 5 g/L glukosa,
dan menurut Felipe et al. (1993), peningkatan
tersebut
berhubungan
dengan
rasio
konsentrasi glukosa:xilosa yang terdapat pada
media.
Penggunaan xilosa dan glukosa secara
bersamaan diamati oleh Tavares et al. (2000)
selama kultivasi Debaryomyces hansenii
dalam media sintetik. Represi katabolit pada

6

asimilasi xilosa oleh glukosa terjadi ketika
ditambahkan konsentrasi glukosa dengan rasio
glukosa:xilosa 1:10 ke dalam media, dimana
terjadi peningkatan product yield (Y p/s)
sebesar 30%. Efek menguntungkan dari
glukosa pada biokonversi xilosa menjadi
xilitol juga telah diamati oleh Preziosi-Belloy
et al. (1997) selama kultivasi C. parapsilosis
pada
media
sintetik
dengan
rasio
glukosa:xilosa 1:2.5. Pada kasus ini, terjadi
reduksi waktu fermentasi dan peningkatan
product yield (Y p/s) sebesar 19%
dibandingkan dengan media yang tidak
mengandung glukosa.
Pertumbuhan Mikrob
Pertumbuhan mikrob terbagi menjadi
empat fase yang masing-masing memiliki ciri
pertumbuhan yang berbeda (Gambar 4).
Pertumbuhan mikrob secara umum terlihat
pada kurva pertumbuhan, yaitu kurva antara
waktu inkubasi dengan nilai log jumlah
organisme. Inokulum yang dipindahkan ke
suatu media baru akan mengalami adaptasi
terlebih dahulu pada kondisi media baru.
Tahap yang disebut fase lag ini membutuhkan
waktu sehingga pada kurva pertumbuhan
terlihat stagnan. Media dengan nutrisi yang
semakin lengkap akan mempercepat fase lag
yang berarti mempercepat proses memasuki
fase eksponensial (Pelczar & Chan 2008).
Sel mikrob kemudian memasuki tahap
pembelahan biner dengan laju konstan. Fase
pertumbuhan ini disebut sebagai fase
eksponensial
atau
fase
log,
karena
menunjukkan kenaikan dalam bentuk garis
linear lurus dalam kurva pertumbuhan.
Pembelahan ini mengikuti pola geometrik
yaitu dihasilkannya 2n sel baru setelah melalui
satuan waktu yang disebut sebagai waktu
generasi. Kondisi ini juga disebut sebagai
pertumbuhan seimbang, karena terjadi laju
pertumbuhan dan aktivitas metabolik yang
konstan (Pelczar & Chan 2008). Kondisi ini
berlanjut hingga sumber karbon dan energi di
media telah habis. Kondisi ini berbeda-beda
pada kondisi substrat yang memberikan laju
pertumbuhan yang berbeda pula.
Kondisi nutrisi media yang semakin
berkurang serta mulai jenuhnya kondisi media
dengan metabolit sekunder yang bersifat
toksik membuat sel baru yang bertumbuh
menjadi sebanding dengan banyaknya sel
yang mati, sehingga jumlah sel hidup menjadi
tetap. Fase ini disebut sebagai fase stasioner
dan terlihat sebagai garis lurus pada kurva
pertumbuhan. Fase pertumbuhan mikrob
diakhiri dengan fase kematian ketika akhirnya

jumlah sel yang mati melebihi jumlah
terbentuknya sel baru (Pelczar & Chan 2008).
Sel yang dipindahkan ke media baru akan
mengalami fase lag dan lama fase lag ini
ditentukan dari usia sel yang dipindahkan.
Apabila sel berasal dari fase stasioner, maka
banyak sel yang sudah mati akan terbawa
yang akan mempengaruhi turbiditas. Selain
itu, sel hidup di dalamnya membutuhkan
waktu lama untuk pemulihan dari kondisi
toksik lingkungan di media lama, seperti
adanya kondisi asam, basa, atau alkohol
(White 2007). Apabila berasal dari fase lag,
sel masih belum aktif membelah karena masih
berada dalam proses pembesaran ukuran sel
(Pelczar & Chan 2008). Sel yang berada pada
fase eksponensial atau log berada pada
kondisi yang aktif membelah dan responsif.
Kondisi ini merupakan kondisi sel yang telah
berukuran besar dan telah siap untuk
melakukan pertumbuhan dan pembelahan sel.
Hal ini didukung pernyataan White (2007)
bahwa lama fase lag pada media baru dapat
diminimalkan menggunakan kultur sel dari
fase eksponensial.
Berbagai macam teknik dapat digunakan
untuk mengukur pertumbuhan biomassa sel
dan dapat dipilih sesuai dengan tujuan
pengukuran. Beberapa cara pengukuran
pertumbuhan tersebut adalah pengukuran
turbiditas, penghitungan total sel, dan
penghitungan sel hidup (White 2007).
Absorbansi
Fase kematian

Fase stasioner
Fase log

Fase lag

Waktu Inkubasi

Pengukuran tercepat yang sering diaplikasikan
adalah pengukuran dengan metode turbiditas
(kekeruhan) dengan spektrofotometer. Prinsip
pengukurannya adalah mengukur jumlah
cahaya yang diserap oleh organisme dalam
sampel. Hasil yang diperoleh mewakili
Gambar 4 Kurva pertumbuhan mikrob.

7

biomassa mikrob yang ada.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah tabung
reaksi, pipet tetes, pipet Mohr, autopipet,
bulb, bunsen, neraca analitik, stopwatch, labu
Erlenmeyer, labu ukur, gelas ukur, cawan
Petri, autoklaf, laminar flow, inkubator, rotary
shaker, jarum ose, spektrofotometer, kuvet,
lemari es, aluminium foil, magnetic stirrer,
pH meter, sentrifus, tabung sentrifus, tabung
Eppendorf, vorteks, dan kertas saring.
Bahan-bahan yang digunakan adalah
xilosa, glukosa, akuades, akuabides steril, C.
guilliermondii, ekstrak khamir, ekstrak malt,
bakto pepton, agar, (NH4)2SO4, CaCl2.2H2O,
K2HPO4, KH2PO4, kit D-sorbitol/D-xilitol,
kapas berlemak, alkohol, dan kain kasa.
Metode Penelitian
Pengukuran Kurva Pertumbuhan dengan
Metode Turbidimetri
Penelitian ini menggunakan sel C.
guilliermondii yang dibiakkan pada agar
miring ekstrak malt dan dibekukan pada suhu
Pengukuran
kurva
pertumbuhan
4oC.
dilakukan menggunakan media Yeast Malt
(YM) cair dengan komposisi ekstrak khamir 3
g/L, ekstrak malt 3 g/L, bakto pepton 5 g/L,
dan glukosa 20 g/L. Kultur C. guilliermondii
sebanyak satu ose diinokulasikan ke dalam
media YM cair pada pH 5, selanjutnya
diinkubasi di atas rotary shaker pada suhu
30oC dengan kecepatan 120 rpm. Kultur
diinkubasi sampai 84 jam dan setiap 12 jam
dilakukan pengambilan sampel sebanyak 1
mL untuk mengukur OD kultur. Sampel 1 mL
tersebut diencerkan dengan media YM cair
sebanyak 2 mL secara aseptik. Sebagai blanko
juga digunakan media YM cair. Pengukuran
OD dilakukan menggunakan spektrofotometer
pada panjang gelombang 600 nm.
Persiapan Inokulum (Silva et al. 2007)
Inokulum sebanyak 50 mL disiapkan
dalam labu Erlenmeyer 125 mL dengan
komposisi (g/L): xilosa 45; ekstrak khamir 10;
pepton 20; (NH4)2SO4 2; CaCl2.2H2O 0.1;
K2HPO4 0,5; dan KH2PO4 0.5.
Pengukuran Kurva Produksi
Pengukuran kurva produksi dilakukan
pada inokulum. Kultur C. guilliermondii
dibiakkan pada media YM cair pada suhu
30oC dengan kecepatan 120 rpm selama 18
jam. Selanjutnya kultur C. guilliermondii

diinokulasikan ke media inokulum pada pH 5
dan diinkubasi pada suhu 30oC dengan
kecepatan 120 rpm. Inkubasi dilakukan
selama 84 jam dan diambil sampel sebanyak 3
mL setiap 12 jam. Sampel tersebut disentrifus
pada kecepatan 5000 g selama 15 menit.
Supernatan yang dihasilkan diukur kadar
xilitolnya dengan kit D-sorbitol/D-xilitol.
Pengaruh Konsentrasi Glukosa Terhadap
Produksi Xilitol
Sebanyak empat buah labu Erlenmeyer
digunakan untuk pembuatan media fermentasi
dengan komposisi yang sama dengan
pembuatan media inokulum pada pH 5. Untuk
melihat efek penambahan glukosa pada
biokonversi xilosa menjadi xilitol oleh C.
guilliermondii dilakukan penambahan glukosa
pada media fermentasi dengan perbandingan
glukosa:xilosa yaitu: 1:25 (glukosa 1.8 g/L),
1:12 (glukosa 3.75 g/L), 1:5 (glukosa 9 g/L),
dan 1:2.5 (glukosa 18 g/L) dengan kondisi
inkubasi pada suhu 300C dan kecepatan 120
rpm. Sebagai kontrol digunakan media yang
tidak ditambahkan glukosa. Pengukuran kurva
produksi dilakukan dengan pengambilan
sampel sebanyak 3 mL pada saat jam ke-72.
Sampel tersebut disentrifus pada kecepatan
5000 g selama 15 menit. Supernatan yang
dihasilkan diukur kadar xilitolnya dengan kit
D-sorbitol/D-xilitol.
Pengukuran Kadar Xilitol dengan Metode
Kolorimetri
Pengukuran kadar xilitol dalam penelitian
ini dilakukan dengan spektrofotometer (kit Dsorbitol/D-xilitol dari Roche). Sebanyak dua
tabung sentrifus yang sudah ditutup dengan
aluminium foil pada seluruh sisi disiapkan dan
dilabel dengan blanko dan sampel. Sebanyak
0.6 mL larutan 1, 0.2 mL larutan 2, dan 0.2
mL larutan 3 ditambahkan ke dalam masingmasing tabung. Komposisi masing-masing
larutan terdapat pada Lampiran 2. Sebanyak
0.1 mL supernatan kultur ditambahkan ke
dalam tabung sentrifus yang berlabel sampel.
Lalu
pada
masing-masing
tabung
ditambahkan akuabides steril sebanyak 2 mL
pada blanko, dan 1.9 mL pada sampel.
Selanjutnya masing-masing campuran diukur
absorbansinya (A1) pada panjang gelombang
492 nm, lalu dibiarkan sampai dua menit dan
diukur lagi absorbansinya. Jika selisih nilai
A1 pada kedua pengukuran absorbansi lebih
dari 0.01 maka tabung berisi sampel harus
dikurangi zat pereduksinya. Jika selisih A1
kurang dari 0.01 maka langsung ditambahkan
dengan 0.05 mL larutan 4 sehingga didapat

8

volume akhir 3.05 mL untuk masing-masing
tabung. Campuran didiamkan selama 30
menit. Setelah itu diukur absorbansinya (A2)
pada panjang gelombang 492 nm. Jika reaksi
tidak berhenti selama 30 menit, diukur lagi
absorbansinya pada selang interval 5 menit
sampai
perubahan
absorbansi
stabil.
Selanjutnya dihitung ∆A dengan persamaan:

Setelah itu ditentukan konsentrasinya dengan
persamaan:
Keterangan:
c
= konsentrasi xilitol pada sampel (g/L)
V
= volume akhir (mL)
MW = molecular weight (g/mol)
v
= volume sampel (mL)
d
= jalur cahaya (cm)
ε
= koefisien ekstensi senyawa INTformazan pada 492 nm
= 19.9 (L/mmol cm)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Biomassa Sel
Pengetahuan tentang siklus pertumbuhan
C.
guilliermondii
diperlukan
untuk
mengetahui karakteristik pertumbuhan C.
guilliermondii untuk mempermudah kultivasi
mikrob ke dalam suatu media, penyimpanan
kultur, dan penggantian media. Kultivasi C.
guilliermondii pada media membutuhkan
komposisi media dan kondisi inkubasi yang
tepat. Kedua faktor tersebut bervariasi
tergantung dari mikrob yang ditumbuhkan dan
tujuan fermentasi. Umumnya media harus
mengandung unsur-unsur yang diperlukan
untuk metabolisme sel yaitu berupa unsur
makro seperti C, H O, N, P dan unsur-unsur
mikro misalnya kalsium. Media yang
digunakan untuk menumbuhkan mikrob harus
disterilisasi terlebih dahulu untuk mencegah
kemungkinan tumbuhnya mikrob lain yang
tidak diinginkan. Adanya mikrob lain pada
media dapat menghambat pertumbuhan
mikrob yang diinginkan karena terjadi
kompetisi antar spesies mikrob untuk
memperebutkan nutrisi yang terdapat dalam
media.
Penentuan karakteristik pertumbuhan sel
C. guilliermondii dilakukan pada media YM
yang mengandung glukosa, ekstrak malt,
ekstrak khamir, dan bakto pepton. Glukosa
pada media digunakan sebagai sumber karbon
oleh sel, sedangkan ekstrak khamir, ekstrak

malt, dan bakto pepton digunakan sebagai
sumber nitrogen. Ekstrak khamir terbuat dari
ragi pengembang roti atau pembuat alkohol,
serta mengandung asam amino lengkap dan
vitamin B kompleks. Bakto pepton mampu
menyediakan
nutrien
esensial
untuk
metabolisme khamir.
Pertumbuhan C. guilliermondii yang
ditumbuhkan dalam media YM dapat diukur
secara
turbidimetri
menggunakan
spektofotometer pada panjang gelombang 600
nm. Metode turbidimetri dilakukan dengan
prinsip mengukur kenaikan biomassa sel.
Cahaya yang dibiaskan sumber cahaya akan
diserap oleh sel sehingga semakin tinggi
pertumbuhan sel akan memberikan nilai
absorbansi yang lebih besar. Sel khamir pada
umumnya dapat menyerap cahaya optimum
dengan panjang gelombang 600 nm.
Kurva
pertumbuhan
menunjukkan
informasi tentang fase-fase pertumbuhan
biomassa sel C. guilliermondii. Istilah
pertumbuhan dari mikrob mengacu pada
pertumbuhan populasi mikrob secara total,
bukan dari suatu pertumbuhan individu
organisme saja (Pelczar & Chan 2008).
Pembuatan kurva pertumbuhan dilakukan
dengan pengamatan setiap 12 jam sekali
sampai jam ke-84, karena kecepatan
pertumbuhan sel khamir lebih lambat daripada
sel bakteri yang membelah setiap dua jam
sekali. Selain itu, dari berbagai literatur yang
diperoleh, waktu fermentasi yang digunakan

Gambar 5 Hubungan
antara
waktu
inkubasi dengan absorbansi
biomassa sel (kurva merah) dan
produksi xilitol (kurva biru).

9

umumnya antara 72 sampai 96 jam. Dari
Gambar 5 dapat dilihat bahwa pada 12 jam
pertama pertumbuhan biomassa sel yang
terdeteksi
sangatlah
kecil
yang
mengindikasikan sel sedang berada dalam
fase lag. Pertumbuhan biomassa sel pada fase
lag cenderung lambat karena adanya adaptasi
terhadap media YM. Pada fase ini tidak terjadi
kenaikan jumlah sel, namun peningkatan
ukuran atau besar sel.
Fase eksponensial (log) dari C.
guilliermondii terlihat pada jam ke-12 sampai
36 dimana sel menggunakan sumber karbon
dan bahan-bahan lainnya yang terdapat di
dalam media YM untuk bertumbuh. Hal
tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 dimana
terdapat kenaikan kurva yang signifikan.
Peningkatan terjadi akibat adanya pembelahan
biner sel yang meningkatkan jumlah sel hidup
sehingga semakin banyak cahaya dari
spektrofotometer yang diserap yang membuat
nilai absorbansi lebih besar. Setelah jam ke36, kurva pertumbuhan menunjukkan laju
pertumbuhan biomassa sel C. guilliermondii
yang semakin rendah. Pada fase ini terjadi
pertumbuhan biomassa sel yang sebanding
dengan kematian sel, sehingga jumlah sel
yang hidup cenderung konstan. Hal ini
disebabkan oleh menurunnya jumlah nutrisi
yang terdapat pada media YM, ditambah
dengan adanya penimbunan hasil metabolisme
seperti xilitol atau etanol yang dapat
menghambat pertumbuhan sel.
Berdasarkan kurva pertumbuhan yang
diperoleh dapat ditentukan waktu inkubasi
pada media YM yang optimum ketika C.
guilliermondii berada pada tengah-tengah fase
eksponensial antara jam ke-12 sampai 24,
yaitu selama 18 jam. Pada fase ini, sel C.
guilliermondii membelah dengan cepat dan
konstan mengikuti kurva logaritmik dan
dianggap siap untuk dipindahkan ke media
inokulum. Data berupa waktu inkubasi
optimal selama 18 jam digunakan sebagai
referensi apabila diperlukan peremajaan kultur
C. guilliermondii.
Produksi Xilitol
Peremajaan kultur C. guilliermondii pada
media YM dilakukan sebelum fermentasi
untuk mendapatkan sel C. guilliermondii yang
berada pada tahap eksponensial. Selanjutnya
sel C. guilliermondii dari media YM
diinokulasikan ke dalam media baru
(inokulum). Media yang digunakan untuk
menumbuhkan biomassa sel (media YM)
tidak sama dengan media fermentasi dan
inokulum. Inokulum mengandung xilosa yang

bertujuan menyesuaikan sel C. guilliermondii
terhadap substrat xilosa. Selain itu, inokulasi
C. guilliermondii ke dalam media xilosa juga
dilakukan untuk memperoleh informasi saat
sel C. guilliermondii akan menghasilkan kadar
xilitol tertinggi yang dapat dilihat dalam
bentuk kurva produksi (Gambar 5). Menurut
Carvalho et al. (2007), penambahan
ammonium sulfat ke dalam media dapat
membantu konsumsi xilosa dan produksi
xilitol oleh C. guilliermondii. Penambahan
CaCl2.2H2O ke dalam media bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan unsur mikro dari
pertumbuhan C. guilliermondii.
Kurva produksi yang diperoleh dari hasil
penelitian mempunyai pola kurva yang mirip
dengan
kurva
pertumbuhan,
yang
menunjukkan meningkatnya biomassa sel C.
Guilliermondii seiring dengan meningkatnya
konsentrasi xilitol yang dihasilkan. Produksi
xilitol tertinggi dihasilkan pada jam ke-72,
sebesar 0.57 g/L. Hasil ini mendukung
penelitian yang dilakukan Silva dan Felipe
(2006)
yang
menemukan
penurunan
konsentrasi xilitol yang dihasilkan setelah jam
ke-72, bertepatan dengan habisnya xilosa pada
media. Selain itu, Felipe et al. (1995) juga
menyatakan sel khamir dapat mengasimilasi
xilitol ketika xilosa pada media sudah habis
dikonsumsi. Menurut Yulianto (2001), tipe
fermentasi yang berkorelasi positif seperti ini
dikenal sebagai pertumbuhan associated. Tipe
fermentasi ini menunjukkan bahwa xilitol
yang dihasilkan pada fase log merupakan
metabolit primer, karena terlibat langsung
dalam metabolisme sel, sedangkan metabolit
sekunder dihasilkan ketika sel berada pada
fase stasioner.
Rasio Glukosa:Xilosa Optimum
Setelah diperoleh data kurva pertumbuhan
biomassa sel dan kurva produksi xilitol oleh
C. guilliermondii, dilakukan variasi rasio
glukosa:xilosa pada media fermentasi. Media
fermentasi yang digunakan mempunyai
komposisi yang sama dengan inokulum
dengan penambahan glukosa. Tujuan dari
pengerjaan ini adalah menentukan konsentrasi
glukosa optimum yang perlu ditambahkan ke
dalam media fermentasi untuk meningkatkan
produksi xilitol. Kultur sel C. guilliermondii
yang diinokulasikan ke media fermentasi
berasal dari inokulum yang diinkubasi selama
18 jam.
Penggunaan rasio glukosa:xilosa 1:25
sampai 1:2.5 didasarkan pada fakta bahwa
rasio glukosa:xilosa yang terkandung di dalam
hidrolisat ampas tebu umumnya adalah 1:25

10

[Xilitol] (g/L)
3.2
2.8
2.4
2
1.6
1.2
0.8
0.4
0
Kontrol

1:25

1:12

1:5

1:2.5

Variasi rasio glukosa:xilosa

Gambar 6 Hubungan antara variasi rasio glukosa:xilosa dengan konsentrasi xilitol (g/L).
(Silva et al. 2007). Peningkatan rasio sampai
1:2.5 dilakukan untuk melihat pengaruh
penambahan glukosa terhadap produksi xilitol
dalam media sintetik. Xilitol yang dihasilkan
dari variasi rasio glukosa:xilosa 1:25, 1:12,
1:5, 1:2.5 berturut-turut adalah 1.94, 2.18,
2.85, 1.29 g/L (Gambar 6). Hasil pengamatan
menjelaskan bahwa rasio glukosa:xilosa 1:5
menghasilkan konsentrasi xilitol paling tinggi,
yaitu sebesar 2.85 g/L. Berdasarkan hasil
tersebut, terjadi peningkatan produksi xilitol
lima kali lipat dari media yang hanya
mengandung xilosa 45 g/L (kontrol), yaitu
sebesar 0.57 g/L. Product yield (Y p/s) xilitol
dari rasio glukosa:xilosa 1:5 adalah 6.32 %,
sedangkan pada kontrol sebesar 1.28 % (Tabel
1). Jika dilihat dari hasil tersebut, penambahan
glukosa
sebagai
kosubstrat
dapat
meningkatkan konsentrasi xilitol yang
dihasilkan. Penelitian Silva et al. (2007)
menggunakan media yang mengandung
glukosa:xilosa 1:5 (glukosa 9 g/L: xilosa 45
g/L) juga menghasilkan xilitol dengan
konsentrasi terbesar (26.9 g/L xilitol)
dibandingkan dengan variasi glukosa:xilosa
yang lain. Jika dibandingkan dengan hasil di
atas, xilitol yang dihasilkan dalam penelitian
ini lebih kecil. Hal tersebut kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan kultur C.
guilliermondii yang digunakan.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat
peningkatan produksi xilitol dari rasio
glukosa:xilosa 1:25 sampai 1:5 (Gambar 6).
Hal ini menunjukkan semakin besar
konsentrasi glukosa yang ditambahkan ke
dalam media fermentasi semakin besar pula
kadar xilitol yang dihasilkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Silva dan Felipe (2006) juga
menemukan peningkatan product yield (Y p/s)

dan produktivitas volumetrik (Qp) pada rasio
glukosa:xilosa 1:5 berturut-turut sebesar 15.69
% dan 23.26 % dibandingkan dengan rasio
glukosa:xilosa
1:25.
Glukosa
dapat
meningkatkan produksi xilitol karena glukosa
membantu regenerasi kofaktor NADPH dan
meningkatkan biomassa sel. Meskipun
demikian, terdapat penurunan produksi xilitol
yang signifikan dari rasio konsentrasi
glukosa:xilosa 1:5 ke rasio 1:2.5 (Gambar 6).
Hal ini menjelaskan terdapat batas tertentu
dimana
penambahan
glukosa
dengan
konsentrasi yang besar justru menurunkan
produksi xilitol. Berdasarkan hasil penelitian,
penambahan glukosa lebih besar dari rasio
glukosa:xilosa 1:5 menurunkan produksi
xilitol. Hal tersebut disebabkan karena
penggunaan glukosa dengan konsentrasi
tinggi justru tidak membantu meningkatkan
produksi xilitol tetapi membantu produksi
etanol (Sene et al. 2001; Silva & Felipe 2006).
Selain itu, penambahan glukosa dalam
konsentrasi besar juga dapat menghambat
transpor xilosa ke dalam sel (Tochampa et al.
2005). Penambahan glukosa lebih kecil dari
rasio 1:25 mungkin akan memberikan hasil
produksi xilitol yang tidak jauh berbeda
dibandingkan dengan kontrol yang tidak
Tabel 1 Variasi rasio glukosa:xilosa
Glukosa Xilitol Y p/s
Glukosa:Xilosa
g/L
g/L
%
Kontrol
0.57
1.28
1:25
1.80
1.94
4.30
1:12
3.75
2.18
4.85
1:5
9.00
2.85
6.32
1:2.5
18.00
1.29
2.88
Y p/s = product yield (g xilitol yang
dihasilkan / g xilosa yang
dikonsumsi)

Xilosa

Glukosa

11

Membran sel

Xilosa

Xilitol

Xilitol

Glukosa

Xilulosa

Biomassa

Transpor
Rantai
respirasi

Gambar 7 Skema metabolisme glukosa dan xilosa pada khamir (Tochampa et al. 2005).
mengandung glukosa sama sekali.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Puspita (2009) menggunakan C. tropicalis
menyatakan bahwa penambahan glukosa ke
dalam media fermentasi menurunkan produksi
xilitol tetapi meningkatkan biomassa sel.
Dalam penelitian tersebut, terjadi penurunan
produksi xilitol yang signifikan dari 14.08 g/L
menjadi 1.87 g/L pada rasio glukosa:xilosa
0:6 (kontrol) sampai 4:6. Porsi glukosa pada
variasi rasio yang digunakan dalam penelitian
tersebut lebih besar dari porsi glukosa yang
digunakan dalam penelitian ini. Hal ini
semakin mendukung pernyataan bahwa
penambahan glukosa dalam konsentrasi yang
besar tidak membantu meningkatkan produksi
xilitol tetapi membantu produksi etanol.
Menurut Lee et al. (1996) dan Nolleau et
al. (1995), enzim XR dari C. guilliermondii
terbukti hanya bergantung pada NADPH,
sedangkan aktivitas enzim XDH yang
teramati cenderung lebih menggunakan NAD+
(Gambar 7). Dalam kondisi oksigen yang
terbatas,
xilitol
diekskresikan
paling
maksimal, karena kofaktor NADH tidak dapat
sepenuhnya dioksidasi kembali menjadi
NAD+ oleh rantai respirasi (Sene et al. 2001;
Soleimani et al. 2006). Hasil dari
ketidakseimbangan reaksi redoks tersebut
turut membantu akumulasi xilitol pada
metabolisme sel C. guilliermondii karena
terbatasnya NAD+ yang dibutuhkan oleh
enzim XDH untuk mengkonversi xilitol
menjadi xilulosa. Xilitol berlebih yang

terakumulasi di dalam sel akan ditranspor
keluar sel (Gambar 7).
Penelitian yang dilakukan oleh Kastner et
al. (2001), Sene et al. (2001), Silva et al.
(2007), dan Walther et al. (2001) menemukan
adanya produk samping berupa etanol selama
fermentasi dengan sel C. guilliermondii
menggunakan media campuran xilosa dan
glukosa. Jumlah etanol yang dihasilkan
semakin banyak seiring dengan meningkatnya
konsentrasi glukosa yang ditambahkan ke
dalam
media
fermentasi.
Hal
ini
mengindikasikan
etanol
berasal
dari
metabolisme glukosa. Meningkatnya etanol
merupakan suatu pertanda bahwa glukosa
yang terdapat pada media fermentasi
digunakan oleh sel untuk pertumbuhan. Etanol
dihasilkan sebagai produk akhir dari
fermentasi piruvat dimana NADH yang
dihasilkan dari glikolisis dioksidasi kembali
menjadi NAD+ untuk digunakan lagi dalam
glikolisis.
Menurut Sene et al. (2001), dalam kondisi
mikroaerobik glukosa digunakan oleh C.
guilliermondii untuk pertumbuhan sel
sehingga pada akhirnya meningkatkan
produksi xilitol. Hal ini juga didukung oleh
Lee et al. (1996) yang menyatakan bahwa
glukosa cenderung dikonsumsi pertama kali
sampai habis sebelum xilosa dan metabolisme
glukosa tidak dipengaruhi oleh adanya xilosa
pada media fermentasi. Peningkatan biomassa
sel dapat menginduksi enzim-enzim yang
digunakan dalam produksi xilitol. Selain itu,
stimulasi metabolisme xilosa oleh glukosa

12

juga dapat dijelaskan berkat adanya regenerasi
kofaktor NADPH melalui jalur pentosa fosfat,
karena kofaktor tersebut esensial untuk
reduksi enzimatik xilosa menjadi xilitol (Silva
& Felipe 2006).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh, fase eksponensial dari pertumbuhan
C. guilliermondii adalah 12-36 jam, dan
waktu inkubasi yang optimum untuk
memperoleh kadar xilitol tertinggi adalah 72
jam, sebesar 0.57 g/L. Penambahan glukosa
sebagai kosubstrat yang paling optimum
terdapat pada variasi glukosa:xilosa 1:5
dengan kadar xilitol tertinggi sebesar 2.85 g/L
dan product yield xilitol sebesar 6.32 %. Hasil
tersebut lebih banyak jika dibandingkan
dengan kultur tanpa penambahan glukosa
(kontrol), yaitu sebesar 0.57 g/L dengan
product yield xilitol sebesar 1.28 %. Dari
kedua hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
penambahan glukosa sebagai kosubstrat ke
dalam media fermentasi dapat meningkatkan
produksi xilitol.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa
penambahan kosubstrat selain glukosa, seperti
mannosa, fruktosa atau galaktosa untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap produksi
xilitol. Selain itu diperlukan juga penelitian
lanjutan yang melihat pengaruh produk
samping yang dihasilkan dari biokonversi
xilosa menjadi xilitol oleh C. guilliermondii
seperti asam asetat, etanol, dan karbon
dioksida terhadap produksi xilitol.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed Z. 2001. Production of natural and
rate pentoses using microorganisms
and their enzymes. Electronic J
Biotech 4:2.
Alves LA, Felipe MGA, Almedia e Silva JB,
Silva SS, Prata AMR. 1998.
Pretreatment of sugarcane bagasse
hemicellulose hydrolysate for xylitol
production
by
Candida
guilliermondii.
Appl
Biochem
Biotechnol vol 70-72: hlm 89-98.
Cao N-J, Tang R, Gong CS, Chen LF. 1994.
The effect of cell density on the

production of xylitol from D-xylose
by yeast. Appl Biochem and Biotech
vol 45-46: hlm 515-519.
Carvalho W, Silva SS, Vitolo M, Felipe
MGA, Manchilha IM. 2000. Use of
immobilized Candida cells on xylitol
production from sugarcane bagasse.
Z. Naturforsch 55c: 213-217.
Carvalho W, Canilha L, Silva da SS. 2007.
Semi-continuous xylitol production
in sugarcane bagasse hydrolysate:
effect of nutritional supplementation.
Brazilian J Pharma Sci 43.
Chiang C, Knight SG. 1962. Metabolism of
D-xylose by moulds. Nature 188:7981.
Dahiya JS. 1991. Xylitol production by
Petromyces alber