Karakter Morfofisiologi Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai Dosis Pemupukan Organik dan Hayati pada Budidaya Padi Organik

KARAKTER MORFOFISIOLOGI TANAMAN
DAN FISIKOKIMIA BERAS DENGAN BERBAGAI DOSIS
PEMUPUKAN ORGANIK DAN HAYATI
PADA BUDIDAYA PADI ORGANIK

ISNA TUSTIYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakter Morfofisiologi
Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai Dosis Pemupukan Organik dan
Hayati pada Budidaya Padi Organik adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014

Isna Tustiyani
NIM A252110061

RINGKASAN
ISNA TUSTIYANI. Karakter Morfofisiologi Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan
Berbagai Pemupukan Organik dan Hayati pada Budidaya Padi Organik. Dibimbing oleh
SUGIYANTA dan MAYA MELATI.
Adanya kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif dari pertanian
konvensional telah mendorong keinginan untuk beralih dari pertanian konvensional
menuju pertanian organik (organik farming), yang mampu menciptakan pertanian yang
ramah lingkungan dan produk organik. Salah satu komponen budidaya organik adalah
pupuk organik dan hayati. Penggunaan pupuk organik menguntungkan karena mampu
meningkatkan kesuburan fisik, biologi, dan kimia tanah serta menghasilkan produk pangan
yang aman dikonsumsi dan aman bagi lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari sifat morfofisiologi dan fisikokimia beras berdasarkan pemupukan organik
dan hayati.

Percobaan lapangan dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai Januari 2013 di
Karawang, Jawa Barat. Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan acak
kelompok dengan 12 perlakuan dan tiga ulangan. Terdapat 12 perlakuan terdiri atas 6
perlakuan pertama adalah 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton pupuk organik ha -1, sedangkan 6 perlakuan
yang lain adalah 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton pupuk organik ha -1 yang masing-masing ditambah
dengan 2 L pupuk hayati ha-1. Perlakuan pembanding adalah pupuk anorganik 400 kg
NPK (30-6-8) ha-1. Petakan yang digunakan berukuran 15 m x 10 m, dengan jarak tanam
legowo 2:1 (25 cm x 15 cm x 50 cm).
Hasil menunjukkan bahwa karakter morfofisiologi seperti warna daun, bobot 1000
butir, kadar P daun dan P gabah meningkat dengan meningkatnya dosis pupuk organik
baik tanpa maupun ditambah pupuk hayati, sedangkan karakter yang lain seperti tinggi
tanaman, jumlah anakan, kadar N, K daun dan gabah, LAB, LPR, luas daun, nisbah tajuk
akar, serapan hara, bobot biomasa, panjang daun, jumlah anakan produktif, panjang malai,
jumlah gabah per malai, persen gabah hampa, persen gabah terserang OPT, serta hasil
tanaman padi sawah tidak dipengaruhi oleh perlakuan pupuk organik tanpa maupun
ditambah pupuk hayati. Karakter fisikokimia beras seperti kadar amilosa beras menurun
akibat aplikasi pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati, sedangkan karakter
fisikokimia yang lain seperti bentuk beras, rendemen beras giling, rendemen beras kepala,
nisbah penyerapan air nasi, umur simpan nasi, dan skor organoleptik tidak dipengaruhi
oleh pemupukan organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati. Karakter morfofisiologi

seperti skor warna daun pada aplikasi pupuk anorganik lebih tinggi daripada aplikasi
pupuk organik, sedangkan karakter morfofisiologi yang lain dan karakter fisikokimia beras
pada perlakuan pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati tidak berbeda dengan
perlakuan pupuk anorganik.
Kata kunci : amilosa, beras kepala, bobot 1000 butir, nisbah penyerapan air, warna daun

SUMMARY
ISNA TUSTIYANI. The Morphophysiological and Physicochemical Characters of Rice
with Various Rates of Organic and Biological Fertilizer under Organic Farming System.
Supervised by SUGIYANTA and MAYA MELATI.
The public awareness on the negative impacts of conventional agriculture have
prompted a desire to switch from conventional farming cultivation to organic farming,
which is capable of creating environmentally friendly agriculture and organic product. One
component of organic farming is organic and biological fertilizers. The use of organic
fertilizer can improve the physical, biological, and chemical properties of soil and produce
food products that are safe to eat and safe for the environment. The objective of the
research was to investigate the morphophysiological and physicochemical characters of
rice with various rates of organic and biological fertilizer.
The experiment was conducted at rice field in Karawang and Bogor, West Java, from
May 2012 to January 2013. The experiment used one factor in randomized block design

consisted of 12 treatments and three replications. The first 6 treatments were 0, 2, 4, 6, 8,
10 ton organic fertilizer ha-1, and the other 6 treatments were 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton organic
fertilizer ha-1 combined with 2 L biological fertilizer ha -1. As control treatment was the
application of anorganic fertilizer with the rate of 400 kg NPK (30-6-8) ha-1. Plot size was
15 m x 10 m, with a double row spacing (legowo 2:1) (25 cm x 15 cm x 50 cm).
The results showed that the morphophysiological character such as that the leaf
color, 1000 grains weight, P content in leaf and grain increased with increasing rates of
organic fertilizer either without or with biological fertilizer, while other characters such as
the plant height, number of tillers, N and K content in leaf and grain, net assimilation rate,
relative growth rate, leaf area, roots shoot ratio, nutrient uptake, biomass weight, leaf
length, number of productive tillers, panicle length, number of grains per panicle, empty
grain percentage, percentage of grain attacked by the pest, and yield was not affected by
the treatments. Physicochemical character such as amylose content decresed with
increasing rates of organic fertilizer either without or with biological fertilizer, while others
physicochemical character such as rice shape, milled rice, head rice, water absorption ratio,
rice shelf life and organoleptic scores was not influenced by organic fertilizer either
without or with biological fertilizer. Morphophysiological character such as score of leaf
color in inorganic fertilized higher than organic fertilized, while the other
morphophysiological characters and the physicochemical character was not different
between organic and inorganic fertilized.

Key words : amylose, head rice, leaf color, water uptake ratio, 1000 grain weight

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

KARAKTER MORFOFISIOLOGI TANAMAN
DAN FISIKOKIMIA BERAS DENGAN BERBAGAI DOSIS
PEMUPUKAN ORGANIK DAN HAYATI
PADA BUDIDAYA PADI ORGANIK

ISNA TUSTIYANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS

Judul Tesis : Karakter Morfofisiologi Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai
Dosis Pemupukan Organik dan Hayati pada Budidaya Padi Organik
Nama
: Isna Tustiyani
NIM
: A252110061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Sugiyanta, MSi
Ketua

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 14 Mei 2014


Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 sampai Januari 2013 adalah Karakter Morfofisiologi
Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai Dosis Pemupukan Organik dan Hayati
pada Budidaya padi Organik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Sugiyanta, MSi dan Dr Ir Maya Melati,
MS, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, arahan kepada
penulis selama menjalani penelitian dan perbaikan tesis ini. Terimakasih kepada Prof Dr Ir
Sandra Arifin Aziz, MS dan Dr Ani Kurniawati, SP, MSi sebagai penguji luar komisi.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua dosen dan staf Departemen Agronomi
daan Hortikultura yang telah banyak membantu sehingga penelitian dan tesis ini dapat
diselesaikan.
Ungkapan rasa hormat dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibunda
Masfu’ah, Bapak Prodjo (Alm), Adik Rahmi Nuraini dan Setiyo Wahyono atas doa, kasih
sayang, perhatian dan dukungannya baik moril dan materil selama perkuliahan, penelitian
dan penulisan tesis ini. Penulis menyampaikan terimakasih kepada Dirjen Dikti atas

program Beasiswa Unggulan 2011 sehingga penulis dapat melanjutkan perkuliahan di
program pascasarjana IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
Pascasarjana program studi Agronomi dan Hortikultura 2011, teman-teman Agronomi 40
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bapak Entis sekeluarga, petani di Karawang,
staf BB Padi Muara, serta kepada semua pihak yang telah membantu namun tidak dapat
disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua dengan
yang lebih baik, aamiin. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juni 2014
Isna Tustiyani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis

vi
1
1
2
3
3

2


TINJAUAN PUSTAKA
Pupuk Organik
Pupuk Hayati
Budidaya Padi Organik
Karakter Morfofisiologi Tanaman Padi Sawah
Sifat Fisikokimia Beras

3
3
3
4
6
6

3

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Pelaksanaan

7
7
7
7

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakter Morfofisiologi
Hasil
Fisikokimia Beras
Pembahasan

11
18
28
32
35

5

SIMPULAN
Simpulan

39
39

DAFTAR PUSTAKA

39

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Skor suhu gelatinisasi pada beras
Hasil tanaman padi sawah pada perlakuan pupuk
Sumbangan hara dari perlakuan pupuk
Serapan hara pada perlakuan pupuk

11
30
37
38

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4
5
6
7

8

9
10
11
12

13
14

Curah hujan rata-rata di Kabupaten Karawang
Nilai pH tanah pada awal dan akhir percobaan serta perbedaan
pH
dengan yang mendapat pupuk anorganik
Kadar C-organik tanah (%) pada awal dan akhir percobaan serta
perbedaan kadar C-organik tanah dengan yang mendapat pupuk
anorganik
Kadar N tanah awal dan akhir percobaan (%)serta perbedaan
kadar N tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik
Rasio C/N tanah awal dan akhir percobaan serta perbedaan rasio
C/N tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik
Kadar P tanah awal dan akhir percobaan (ppm) serta perbedaan
kadar P tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik
Kadar K tanah pada awal dan akhir percobaan (ppm) dan
perbedaan
kadar K tanah dengan yang mendapat pupuk
anorganik
Nilai KTK tanah awal dan akhir percobaan Nilai KTK tanah
pada akhir percobaan (me/100 g) serta perbedaan nilai KTK
tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik
Tinggi tanaman pada perlakuan pupuk (cm) serta perbedaan
tinggi tanaman dengan yang mendapat pupuk anorganik
Jumlah anakan pada perlakuan pupuk serta perbedaan jumlah
anakan dengan yang mendapat pupuk anorganik2
Skor warna daun pada perlakuan pupuk serta perbedaan skor
warna daun dengan yang mendapat pupuk anorganik
Panjang tiga daun teratas pada perlakuan pupuk (cm) serta
perbedaan panjang tiga daun teratas dengan yang mendapat
pupuk anorganik
Bobot biomasa (g) dan nisbah tajuk akar pada perlakuan pupuk
Luas daun (cm2) pada perlakuan pupuk serta perbedaan luas
daun dengan yang mendapat pupuk anorganik

11
12
13

14
15
16
17

18

19
20
21
22

23
24

15
16

17

18
19
20

21
22
23

24

25

26

Nilai LPR (g hari-1) dan nilai LAB (mg cm-2 hari-1) perlakuan
pupuk
Kadar N,P, dan K daun (%) pada perlakuan pupuk serta
perbedaan kadar N, P, dan K daun dengan yang mendapat
pupuk anorganik
Kadar N, P, dan K gabah (%) pada perlakuan pupuk serta
perbedaan kadar N, P, dan K gabah dengan yang mendapat
pupuk anorganik
Serapan hara N, P, dan K (g tanaman-1) pada tanaman
Gabah hampa (%) dan gabah terserang OPT (%) serta jumlah
gabah per malai (butir)
Bobot 1000 butir (g), panjang malai (cm), jumlah anakan
produktif pada perlakuan pupuk serta serta perbedaan bobot
1000 butir, panjang malai dan jumlah anakan produktif dengan
yang mendapat pupuk anorganik
Hubungan perlakuan pupuk dengan hasil basah tiap rumpun
Hubungan perlakuan pupuk dengan dugaan hasil ha-1
Persen beras kepala (%) dan rendemen (%) pada perlakuan
pupuk serta perbedaan beras kepala dan rendemen dengan yang
mendapat pupuk anorganik
Skor organoleptik dan rasio panjang dan lebar beras pada
perlakuan pupuk serta perbedaan skor organoleptik dan rasio
panjang lebar beras dengan yang mendapat pupuk anorganik
Nisbah penyerapan air (%) pada perlakuan pupuk serta
perbedaan nisbah penyerapan air dengan yang mendapat pupuk
anorganik
Kadar amilosa (%) dan umur simpan nasi pada perlakuan pupuk
serta perbedaan kadar amilosa dan umur simpan nasi dengan
yang mendapat pupuk anorganik

25
26

27

28
29
30

31
32
32

33

34

35

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Komposisi pupuk organik padat
Komposisi pupuk hayati
Curah hujan (mm) dan hari hujan (hh) pada tahun 2012
Deskripsi/karakteristik varietas menthik wangi

45
45
45
46

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Padi merupakan komoditas strategis yang tetap mendapat prioritas
penanganannya dalam pembangunan pertanian Indonesia. Produktivitas padi pada
tahun 2012 sebesar 51.36 kwintal ha-1 dan pada tahun 2013 meningkat menjadi
sebesar 51.50 kwintal ha-1 (BPS 2013). Menurut Swastika et al. (2007) beras
yang berasal dari tanaman padi merupakan bahan pangan pokok bagi 95%
penduduk Indonesia. Permintaan terhadap beras sebagai makanan utama
sebagian besar penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan konsumsi beras ini
tidak dibarengi dengan pengingkatan luas lahan sawah, sehingga hal ini harus
segera diatasi dengan peningkatan produktivitas padi.
Petani selama ini telah terbiasa memupuk tanaman padi sesuai dengan
rekomendasi pemupukan yang berlaku umum. Namun akhir-akhir ini petani di
daerah tertentu bahkan menggunakan pupuk dengan takaran yang melebihi dosis
rekomendasi. Penggunaan pupuk anorganik secara berlebihan tidak hanya
berdampak terhadap peningkatan biaya produksi dan subsidi pemerintah untuk
pupuk, tetapi juga menyebabkan tanah menjadi lebih masam dan keras akibat
kerusakan-kerusakan struktur dan tidak berkembangnya mikroorganisme tanah.
Tanah pada kondisi tersebut tidak responsif lagi terhadap pemupukan, sehingga
produksi pertanian sulit ditingkatkan (leveling off) (Suwardi 2004). Pemupukan
berlebih juga menyebabkan tercemarnya lingkungan oleh unsur nitrat, nitrit, dan
gas N2O, tanaman mudah terserang hama dan penyakit, mudah rebah,
perkembangan gulma lebih cepat (Puslitbangtan 2006).
Adanya kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif dari pertanian
konvensional telah mendorong keinginan untuk beralih dari pertanian
konvensional menuju pertanian organik (organik farming), yang mampu
menciptakan pertanian yang ramah lingkungan dan menghasilkan produk bahan
pangan yang bermutu dan sehat untuk dikonsumsi (Ade et al. 2006; Santoso 2011;
Prihtanti et al. 2013). Salah satu komponen pertanian organik adalah pupuk
organik dan hayati. Suwarno dan Sutandi (2008) menjelaskan bahwa kelebihan
pupuk organik antara lain menambah unsur hara N, P, K, dan hara mikro,
memperbaiki struktur tanah, meningkatkan KTK tanah, menambah kapasitas
menahan air, serta meningkatkan aktivitas biologi tanah. Menurut Suriadikarta
dan Simanungkalit (2006), peranan pupuk hayati antara lain dapat meningkatkan
serapan hara, juga dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit
terbawa tanah, meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan,
menstabilkan agregat tanah, namun peranan sebagai penyedia hara lebih menonjol
daripada peranan-peranan lain. Salah satu keuntungan pupuk hayati yaitu
mampu meningkatkan serapan hara, sehingga pupuk ini dikombinasikan dengan
pupuk organik diharapkan dapat mengurangi dosis pupuk organik. Ditambah lagi
menurut Bertham (2002) pupuk hayati memiliki potensi yang sama besar dengan
pupuk anorganik.
Karakter morfofisiologi tanaman, misalnya padi sawah, dipengaruhi oleh
lingkungan tumbuh seperti kesuburan tanah dan pemupukan, misalnya

2
perkembangan akar sangat dipengaruhi oleh tersedianya N. Pertumbuhan akar
hanya terjadi secara aktif bila kadar N pada batang lebih dari 1%. Kadar nitrogen
daun di atas 3.5 % sudah cukup untuk merangsang pembentukan anakan,
sedangkan kadar nitrogen daun 2.5% pembentukan anakan akan terhenti, dan
apabila kadar N daun kurang dari 1.5% anakan-anakan akan mati. Jika fosfat pada
batang utama kurang dari 0.25% maka pembentukan anakan akan terhenti
(Murata dan Matsushima 1978).
Sebagian besar penggilingan padi di beberapa provinsi pulau Jawa dan
Bali lebih menyukai beras yang memiliki rendemen giling dan rendemen beras
kepala tinggi, pulen dan beraroma wangi (Wibowo et al. 2008). Varietas beras
aromatik memiliki rendemen beras giling relatif baik (70%) dengan kisaran
presentase beras kepala cukup tinggi (62-88%), tingkat kepulenan nasi termasuk
klasifikasi sedang sampai tinggi dengan kadar amilosa 18-24%, memiliki tekstur
nasi lunak, rasio penyerapan air 2.1-2.8 kali (Wibowo et al. 2009). Sifat
fisikokimia beras ini bisa dipengaruhi oleh hara misalnya kadar protein beras
dipengaruhi oleh nitrogen (Setyono et al. 2007).
Hasil percobaan Nurrizki (2012) pada padi di musim pertama ( November
2011 - Maret 2012) menghasilkan gabah tertinggi pada perlakuan 4-6 ton pupuk
organik ha-1 ditambah pupuk hayati. Berdasarkan penelitian tersebut perlu dikaji
produksi padi di lahan yang sama pada musim tanam ke-2 dan diharapkan dapat
memberikan hasil yang sama atau lebih baik jika dibandingkan dengan percobaan
musim pertama. Selain menyebabkan karakter perbedaan karakter morfofisiologi
tanaman, pemupukan organik, hayati, maupun anorganik diduga juga dapat
menyebabkan perbedaan karakter fisikokimia beras, misalnya rasa dan kepulenan
nasi. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara (2014) padi organik
selain lebih sehat, juga memiliki rasa yang lebih enak dan pulen. Diharapkan
percobaan ini dapat mempelajari karakter morfofisiologi padi sawah dan
fisikokimia beras dengan pemupukan organik dan atau hayati.
Perumusan Masalah
Penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jangka panjang dapat menurunkan
kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga berpotensi menurunkan
produktivitas tanaman padi sawah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi hal tersebut adalah dengan mengaplikasikan sistem pertanian organik
melalui penggunaan berbagai pupuk organik yang ramah lingkungan. Berbagai
penelitian membuktikan bahwa pupuk organik mampu meningkatkan kesuburan
fisik, biologi, dan kimia tanah, serta meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas
tanaman. Produk yang dihasilkan dari pertanian organik diyakini lebih sehat dan
aman dikonsumsi karena sedikit mengandung residu pestisida.
Perubahan budidaya padi sawah anorganik menjadi organik diduga
mengubah karakter morfofisiologi, hasil, dan karakter fisikokimia hasil gabah
maupun beras. Hal tersebut diduga terutama disebabkan oleh aplikasi pupuk
organik dan bukan lagi pupuk anorganik. Penelitian ini dimaksudkan untuk
mempelajari hal-hal tersebut diatas.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perbedaan karakter
morfofisiologi tanaman padi sawah, karakter fisikokimia beras pada budidaya
padi organik.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini yaitu ada pengaruh pemupukan
organik dan hayati terhadap karakter morfofisiologi tanaman padi sawah dan
karakter fisikokimia beras.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pupuk Organik
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 70 tahun 2011, pupuk
organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/atau
bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses
rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral
dan/atau mikrobaaaa, yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan
bahan organik tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah,
sedangkan Pupuk hayati adalah produk biologi aktif terdiri atas mikrobaaaa yang
dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah
(PERMENTAN 2011). Menurut Suwarno dan Sutandi (2008) kelebihan pupuk
organik antara lain menambah unsur hara N, P, S, dan hara mikro, memperbaiki
struktur tanah, meningkatkan KTK tanah, menambah kapasitas menahan air, serta
meningkatkan aktivitas biologi tanah.
Sejak revolusi hijau, petani mengaplikasikan pupuk anorganik dosis tinggi
karena peningkatan produktivitas padi lebih terlihat jelas; namun pemberian
pupuk anorganik juga dapat memberikan dampak negatif antara lain dapat
merusak lingkungan karena emisi gas NO2 dan penurunan kesuburan tanah yang
berakibat pada semakin menurunnya produktivitas. Penurunan produktivitas tanah
sawah disebabkan oleh kuantitas dan kualitas bahan organik tanah menurun,
kelambanan penyediaan hara N, P, dan K ke dalam bentuk tersedia, terjadi
penimbunan senyawa toksik bagi tanaman serta kesediaan hara di tanah menurun
(Makarim dan Suhartatik 2006). Penurunan bahan organik tanah ini harus segera
ditanggulangi karena menurut Adiningsih dan Rochayati (1998) pemberian bahan
organik mampu meningkatkan hasil gabah secara nyata dan merupakan tindakan
meningkatkan efisiensi pemupukan. Bahan organik selain dapat meningkatkan
kandungan C-organik tanah, juga merupakan sumber hara (Wihardjaka et al.
1999).
Pupuk Hayati
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 70 tahun 2011, pupuk hayati
adalah produk biologi aktif terdiri atas mikroba yang dapat meningkatkan efisiensi
pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah. Pupuk hayati dapat didefinisikan
sebagai inokulan berbahan aktif organisme hidup yang berfungsi untuk menambat

4
hara tertentu atau memfasilitasi tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman.
(Suriadikarta dan Simanungkalit 2006). Pupuk hayati adalah pupuk yang
mengandung mikroba di antaranya Bacillus, Pseudomonas, Rhizobium,
Azosprillum, Azotobacter, Mikoriza, dan Trichoderma. Keberadaan mikroba
tersebut bisa tunggal ataupun berupa gabungan beberapa jenis mikroba. Mikroba
yang digunakan sebagai pupuk hayati mampu memacu pertumbuhan tanaman,
menambat nitrogen, melarutkan fosfat dan menghambat pertumbuhan penyakit
tanaman (Yuliar 2009).
Pupuk hayati adalah pupuk yang mengandung mikroorganisme hidup yang
diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk membantu menyediakan unsur
hara tertentu bagi tanaman (Mas’ud 1992). Prihatini et al. (1996) mengemukakan
bahwa pupuk hayati merupakan organisme-organisme unggul berupa sel hidup
dari mikroba penambat nitrogen (N), mikroba pelarut fosfor (P) atau mikrobaaaa
perombak selulosa yang diberikan pada tanah atau tempat pengomposan yang
bertujuan untuk meningkatkan jumlah mikroba tanah dan mempercepat proses
tersedianya unsur hara tanaman.
Mikroba menjadi komponen utama dalam pupuk hayati. Pada mulanya
hanya dikenal inokulan yang hanya mengandung satu kelompok mikroba
fungsional (pupuk hayati tunggal), tetapi perkembangan teknologi inokulan telah
memungkinkan memproduksi inokulan yang mengandung lebih dari satu
kelompok mikroba fungsional/majemuk. Setiap mikroba pada pupuk hayati
membutuhkan media hidup yang berbeda, karena itu tiap mikroba dan media
hidupnya diolah dulu dalam bentuk granul, kemudian granul-granul disatukan.
Keberadaan mikroba tersebut bisa tunggal ataupun berupa gabungan beberapa
jenis mikroba (Suriadikarta dan Simanungkalit 2006). Pupuk hayati majemuk
komersial tidak hanya mengandung mikroba pupuk hayati saja tetapi juga
mengandung bahan tambahan (suplemen) seperti hara mineral dan asam amino.
Banyaknya suplemen hara mineral dalam inokulan sebaiknya tidak dalam jumlah
yang tidak menekan pertumbuhan mikroba (Simanungkalit et al. 2006).
Budidaya Padi Organik
Sistem pertanian organik adalah sistem produksi holistik dan terpadu,
mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami serta
mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan
berkelanjutan. Dalam prakteknya, pertanian organik dilakukan dengan cara, antara
lain: (1) Menghindari penggunaan bibit/benih hasil rekayasa genetika, (2)
Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis (3) Pengendalian gulma, hama
dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman, (4)
Menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetis, (5)
Kesuburan dan produktivitas tanah ditingkatkan dan dipelihara dengan
mengembalikan residu tanaman, pupuk kandang, dan batuan mineral alami, serta
penanaman legum dan rotasi tanaman (Deptan 2002).
Munculnya pertaniuan organik bersamaan dengan bangkitnya kesadaran
masyarakat tentang sumber energi yang terbarukan dan meningkatnya dampak
negatif dari pertanian modern. Pendapatan masyarakat yang meningkat dan
semakin tingginya tingkat pendidikan juga mendorong kesadaran mereka tentang
arti pentingnya pola makanan sehat. Trend pertanian organik di Indonesia, mulai
diperkenalkan oleh beberapa petani yang sudah mapan dan memahami

5
keunggulan sistim pertanian organik. Pada dasarnya pertanian organik bertujuan
untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya dan lingkungan, peningkatan nilai
tambah ekonomi produk pertanian danpendapatan petani. Penggunaan pupuk
hijau, pupuk hayati, peningkatan biomasa, penyiapan kompos yang diperkaya dan
pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit secara hayati diharapkan mampu
memperbaiki kesehatan tanah sehingga hasil tanaman dapat ditingkatkan, tetapi
aman dan menyehatkan manusia yang mengkonsumsi (Sutanto 2002). Pertanian
organik mengacu pada bentuk-bentuk pertanian dengan berusaha mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya 1okal yang ada dan mengkombinasikan berbagai
macam komponen sistem usahatani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan
manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling
besar (Reijntjes et al. 1999).
Dalam prakteknya pertanian organik mempunyai beberapa keuntungan
yaitu: 1) Pupuk organik dapat disediakan ataupun dibuat petani dengan harga
murah, bahkan memanfaatkan limbah peternakan dan pertanian yang dimiliki
ataupun didapatkan di sekitarnya; 2) Penggunaan pupuk organik dapat
meningkatkan kesuburan fisik, kimiawi dan biologi tanah dan tidak merusak
tanah; 3) Jaminan ketersediaan pupuk organik dapat diatur sendiri oleh petani,
sehingga agenda budidaya tanaman tidak terpengaruh dengan kasus kelangkaan
pupuk yang sering terjadi; 4) Produk pertanian organik lebih aman dan sehat bagi
konsumen (Prasetyo et al. 2005). Arafah dan Sirappa (2003) menambahkan
bahwa penggunaan bahan organik seperti sisa –sisa tanaman yang melapuk,
kompos, pupuk kandang atau pupuk organik cair dapat meningkatkan
produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan serta mengurangi kebutuhan pupuk
anorganik terutama pupuk K.
Selama beberapa periode terakhir, desakan pemasyarakatan penggunaan
pupuk
organik
semakin
meningkat
dengan
munculnya
berbagai
kekurangan/kelemahan yang berkaitan dengan penggunaan pupuk anorganik
untuk pertanian. Kekurangan tersebut antara lain adanya gejala kejenuhan dalam
peningkatan produktivitas pertanian terutama pangan atau levelling off di beberapa
daerah terkait dengan pemborosan penggunaan pupuk dan pestisida anorganik.
Selain itu dengan meningkatnya kesadaran manusia akan pentingnya kelestarian
lingkungan hidup sehingga memunculkan berbagai desakan untuk mengoreksi
berbagai praktek yang tidak ramah lingkungan. Disamping itu semakin luasnya
penyebaran lahan kritis dan semi kritis yang dapat menjadi ancaman bagi
kehidupan manusia di masa depan serta adanya trend global untuk kembali ke
alam atau back to nature yang berasal dari negara-negara maju. Tren tersebut akan
mempengaruhi pola dan praktek usaha tani di lapangan serta pemilihan produk
pangan yang lebih alami. Kelangkaan gas alam sebagai bahan baku pembuatan
pupuk anorganik khususnya pupuk urea juga dapat memacu pengurangan pupuk
anorganik. Kelangkaan ini tahun demi tahun akan semakin berat karena harus
bersaing dengan kebutuhan energi industri yang mampu membayar harga gas
lebih tinggi sehingga banyak pabrik urea bekerja tidak optimal atau bahkan tutup
karena tidak mendapat pasokan gas. Menyikapi beberapa issue strategis tersebut
maka anjuran peningkatan penggunaan pupuk organik sebagai komplementer
pupuk anorganik diharapkan dapat direspon masyarakat luas dalam waktu yang
tidak terlalu lama (Apriantono 2008).
Menurut Supritanto (2012), manfaat dari pertanian organik antara lain: 1)
Meningkatkan pendapatan petani karena adanya efisiensi manfaat sumber daya

6
dan memiliki nilai jual yang tinggi; 2) Menghasilkan pangan yang cukup aman
berkualitas sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat dan sekaligus daya
saing produk agribisnis; 3) Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat
bagi petani; 4) Mengurangi semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan
pertanian; 5) Meningkatkan dan menjaga produktifitas lahan pertanian dalam
jangka panjang serta memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan;
serta 6) Menciptakan lapangan kerja baru dan keharmonisan sosial di pedesaan.
Menurut Suhartini et al. 2006 pertanian organik menghasilkan produksi dan
produktivitas tanaman padi yang lebih tinggi dibandingkan pertanian anorganik
di Kabupaten Sragen.
Karakter Morfofisiologi Tanaman Padi Sawah
Karakter morfofisiologi tanaman dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh
seperti kesuburan tanah dan pemupukan. Misalnya perkembangan akar dan
anakan padi sawah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan N. Pertumbuhan akar
hanya terjadi secara aktif bila kadar N pada batang lebih dari 1% (Murata dan
Matsushima 1978; Yoshida 1981). Menurut Murata dan Matsushima (1978)
kadar nitrogen daun di atas 3.5 % sudah cukup untuk merangsang pembentukan
anakan, sedangkan kadar N daun 2.5% pembentukan anakan akan terhenti, dan
apabila kadar N daun kurang dari 1.5% anakan-anakan akan mati. Fosfat pada
batang utama jika kurang dari 0.25% maka pembentukan anakan akan terhenti.
Sifat-sifat daun merupakan salah satu sifat morfologi yang berkaitan erat
dengan produktivitas tanaman. Bertambah luasnya daun pada tanaman disebabkan
oleh dua faktor, yakni:1) meningkatnya jumlah anakan, dan 2) meningkatnya luas
tiap daun. Peningkatan indeks luas daun bagi varietas-varietas beranak banyak,
didominasi oleh faktor pertama, sedangkan dalam varietas beranak sedikit, faktor
ke-dua yang lebih menonjol (Murata dan Matsushima 1978). Menurut Makarim
dan Suhartatik (2009) sifat-sifat daun yang dikehendaki adalah daun yang
tumbuhnya tegak, tebal, kecil, dan pendek, sedangkan anakan padi merupakan
indikator pertumbuhan tanaman padi yang sehat atau sakit. Yoshida (1981)
menyatakan bahwa tanaman bertipe anakan banyak, cocok untuk berbagai
keragaman jarak tanam, mampu mengompensasi rumpun-rumpun yang mati dan
mencapai luas daun yang cepat.
Sifat Fisikokimia Beras
Karakteristik fisikokimia beras berperan terhadap mutu tanak (cooking
quality) dan mutu rasa (eating quality) nasi (Wibowo et al. 2009). Sifat-sifat
fisikokimia beras sangat menentukan mutu tanak dan mutu rasa nasi yang
dihasilkan. Sifat-sifat tersebut antara lain kandungan amilosa, amilopektin,
protein, suhu gelatinasi, pengembangan volume, nisbah penyerapan air, viskositas
pasta dan konsistensi gel pati. Beras kualitas premium yang beredar di Indonesia
digambarkan sebagai beras yang memiliki penampilan fisik butiran utuh, putih
bening, mengkilat serta memiliki ukuran dan bentuk panjang dan ramping,
karakter tekstur yang lunak, pulen, dan mengandung zat gizi yang memadai
(Setyono dan Wibowo 2008).
Menurut Suherman (1999), karakteristik umum yang banyak
mempengaruhi mutu beras di pasaran adalah (1) ukuran dan bentuk, (2) derajat

7
sosoh, (3) keterawangan, (4) kebersihan dan kemurnian, (5) kepulenan dan aroma.
Menurut Wibowo et al. (2008) varietas beras aromatik memiliki rendemen beras
giling relatif baik (70%) dengan kisaran presentase beras kepala cukup tinggi (6288%), tingkat kepulenan nasi termasuk klasifikasi sedang sampai tinggi dengan
kadar amilosa 18-24%, memiliki tekstur nasi lunak, rasio penyerapan air 2.1-2.8
kali, waktu tanak 17-20 menit. Wibowo et al. (2009) menyatakan bahwa kriteria
mutu beras yang dianggap baik dan memiliki harga jual tinggi, menurut pemilik
penggilingan padi, adalah derajat sosoh/putih, persentase beras kepala, kepulenan
nasi, dan subyektifitas nama varietas. Preferensi konsumen terhadap beras pada
kelas mutu tertentu juga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain penampilan
fisik beras, kepulenan nasi, budaya, dan tingkat sosial-ekonomi konsumen.
Komponen karakteristik fisik dan fisikokimia beras diamati berdasarkan ukuran
dan bentuk, serta semua kriteria mutu fisik yang tercantum dalam persyaratan
kualitas beras (Bulog 2005), yaitu kadar air, derajat sosoh/derajat putih, persentase
beras kepala, beras pecah, beras menir, butir kuning-rusak, butir mengapur, butir
merah, dan butir gabah.

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengujian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 – Januari 2013 di
Karawang Wetan, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Jawa
Barat. Lahan sawah irigasi yang digunakan adalah lahan musim tanam ke-dua
pada budidaya padi organik. Lahan terletak pada ketinggian sekitar 15 m dpl.
Analisis tanah dan jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium Tanah dan
Sumber daya Lahan, IPB dan analisis fisikokimia beras dilakukan di Balai
Penelitian Muara, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam pengujian ini adalah benih padi varietas
Mentik Wangi, pupuk anorganik (NPK), pupuk organik padat (berbahan 90%
kotoran sapi dan jerami), dan pupuk hayati. Alat-alat yang digunakan antara lain
alat-alat budidaya, timbangan digital dan bagan warna daun. Alat yang digunakan
untuk mengolah data yaitu program analisis statistik SAS.
Metode Pelaksanaan
Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari:
a. 0 ton pupuk organik ha-1
b. 2 ton pupuk organik ha-1
c. 4 ton pupuk organik ha-1
d. 6 ton pupuk organik ha-1
e. 8 ton pupuk organik ha-1
f. 10 ton pupuk organik ha-1

8
g. 0 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupuk hayati ha-1
h. 2 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupuk hayati ha-1
i.

4 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupuk hayati ha-1

j.

6 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupuk hayati ha-1

k. 8 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupuk hayati ha-1
l.

10 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupuk hayati ha-1

m. Pupuk anorganik (400 kg NPK (30:6:8) ha-1) sebagai pembanding.
Benih padi disemai pada lahan pesemaian yang telah disiapkan. Bibit padi
dipindahkan pada umur 10 hari. Petakan lahan dibuat berukuran 15 m x 10 m
dengan masing-masing petak memiliki saluran masuk dan saluran pembuangan
sendiri-sendiri. Lahan diolah sempurna, dengan dua kali pencangkulan secara
basah sehingga lahan melumpur sempurna, kemudian dilakukan perataan tanah
sehingga permukaan sawah rata. Sebelum dilakukan penanaman, lahan pada
kondisi air macak-macak dan dilakukan aplikasi pupuk sesuai dengan perlakuan.
Analisis tanah lengkap dilakukan untuk mengetahui kandungan C-Organik,
pH, dan kandungan hara tanah. Analisis pupuk organik dan pupuk hayati
dilakukan untuk mengetahui kandungan hara makro dan mikro serta mikrobaaaa
yang terkandung. Analisis NPK daun dan gabah padi dilakukan pada saat panen
yang dilakukan pada setiap unit percobaan.
Pengolahan tanah dilakukan sebulan sebelum penanaman. Lahan diolah
sempurna, dengan dua kali pencangkulan secara basah sehingga lahan melumpur
sempurna, kemudian dilakukan perataan tanah sehingga permukaan sawah rata.
Sebelum dilakukan penanaman lahan pada kondisi air macak-macak dan
dilakukan aplikasi pupuk organik padat sesuai dengan perlakuan.
Penyemaian benih padi dilakukan 10 hari sebelum tanam. Lahan yang
digunakan untuk persemaian berbeda dengan lahan perlakuan. Sebelum disemai,
benih direndam dalam air semalam untuk memisahkan antara benih padi yang
berkualitas baik (tenggelam) dan yang berkualitas buruk atau hampa (terapung).
Penanaman dilakukan dengan menggunakan jarak tanam legowo 2:1 (15 cm
x 25 cm x 50 cm). Jumlah bibit yang digunakan untuk setiap titik tanam adalah
dua bibit. Penyulaman dilakukan terhadap bibit tanaman yang mati dan memiliki
kualitas yang kurang baik. Penyulaman dilakukan 1-2 minggu setelah tanam
(MST).
Pemberian pupuk organik padat dilakukan saat olah tanah dengan dosis
sesuai perlakuan. Pupuk NPK diberikan saat tanam sebesar 400 kg ha -1. Pupuk
hayati diberikan saat 4 dan 6 MST dengan cara penyemprotan yang sebelumnya
dilarutkan dalam air sesuai dosis perlakuan.
Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang
telah tumbuh. Pengendalian OPT dilakukan jika populasi OPT telah mencapai
ambang batas ekonomi.
Pemanenan gabah dilakukan sekitar 30-35 hari setelah tanaman berbunga
dengan melihat kematangan gabah. Gabah dikatakan matang jika sekitar 90-95%
gabah telah menguning.

9
Pengamatan morfologi
Tinggi tanaman yang dihitung dari permukaan tanah hingga daun
tertinggi dan diamati saat 3, 5 dan 7 MST.
Jumlah anakan yang dihitung dari jumlah anakan per rumpun dan
diamati saat 3, 5 dan 7 MST.
Bobot basah dan kering tajuk dan akar yang ditimbang pada 7 MST.
Jumlah anakan produktif dari setiap rumpun tanaman contoh.
Panjang malai yang diukur dari 3 malai dari setiap rumpun tanaman
contoh.
Jumlah gabah per malai yang dihitung dari 3 malai dari setiap
rumpun tanaman contoh.
Bobot basah dan kering gabah/tanaman yang ditimbang dari tanaman
contoh.
Persentase gabah hampa yang dihitung dari 100 g gabah tanaman
contoh.
Bobot 1000 butir gabah yang ditimbang dari tanaman contoh.
Dugaan hasil per hektar (kg ha-1) : (hasil ubinan (kg) (2.5 m x 2.5 m)
x 10.000 m2 ) /6.25 m2.
Kesuburan tanah
Analisis kesuburan kimia tanah: pH, KTK, C-organik, kandungan N, P, dan
K tanah yang dianalisis saat awal percobaan dan akhir percobaan.
Pengamatan fisiologi
Warna daun yang dihitung menggunakan skala bagan warna daun dan
diamati saat 3, 5 dan 7 MST.
Analisis kadar N, P, K pada daun yang dianalisis pada 3 daun teratas pada
saat 8 MST.
Analisis kadar N, P, K pada gabah.
Laju Pertumbuhan Relatif (LPR) yang dihitung pada 3, 5, dan 7 MST.
LPR = (ln W2- ln W1)
t2-t1
Keterangan:
LPR = laju pertumbuhan relatif (g hari -1)
W = bobot kering tanaman (g)
T = waktu (hari)

10
Laju Asimilasi Bersih (LAB) yang dihitung pada 3, 5, dan 7 MST.
LAB = W2-W1 + ln L2- ln L1
L2-L1
t2-t1
Keterangan:
LAB = Laju asimilasi bersih (mg cm-2 hari -1)
W = bobot kering daun (mg)
t
= waktu (hari)
L
= luas daun (cm2), dimana:
L = Wx x Ly
Wy
Keterangan:
L = luas daun (cm2)
Wx = bobot kering total daun tanaman (g)
Wy = bobot kering potongan daun tanaman (g)
Ly = luas potongan daun tanaman (cm2)
Pengamatan fisiokimia yang terdiri dari:
Rendemen beras giling (BG) adalah berat beras giling yang dihasilkan dari
proses penggilingan gabah. Penentuan rendemen BG dilakukan secara
manual (penimbangan), yaitu perbandingan antara berat BG yang
diperoleh dengan berat gabah yang digiling.
Rendemen beras kepala adalah perolehan banyaknya beras kepala yang
dihasilkan dari pemisahan BG dengan menggunakan alat Rice Grader atau
manual (pengayakan). Beras kepala adalah beras yang utuh, tidak patah
(menir). Penentuan persentase Beras Kepala dilakukan dengan
penimbangan, yaitu perbandingan berat Beras Kepala yang diperoleh
dengan berat Beras Giling.
Kadar Amilosa. Kadar amilosa dalam beras memiliki hubungan atau
terkait dengan tingkat kepulenan nasi. Semakin tinggi kadar amilosa, maka
makin rendah tingkat kepulenan nasinya. Penentuan kadar amilosa
dilakukan dengan metode kolorimeter Iodida (Juliano 1971). Sebanyak
100 mg beras putih dari tiap sampel dimasukkan dalam labu ukur 100 mL,
ditambah 1 mL alkohol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan selanjutnya
didiamkan pada suhu ruang selama 23 jam, kemudian diberi air destilata
sampai tanda tera, lalu dikocok. Larutan diambil 5 mL kemudian
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL yang telah diisi 85 mL air
destilata dan diberi 1 mL asetat 1 N dan 2 mL KI 2 % lalu diencerkan
sampai tanda tera. Nilai penyerapan cahaya dari larutan ini diukur dengan
spektofotometer dengan panjang gelombang 625 nm.
Suhu gelatinisasi beras adalah karakter untuk menunjukkan lamanya
waktu yang diperlukan memasak beras menjadi nasi. Penentuan sifat suhu

11
gelatinisasi beras dilakukan dengan metode perendaman beras dalam
larutan alkali, kemudian diukur tingkat kerusakannya dengan pemberian
nilai/skor kerusakan (skor 1 – 7) (Suismono et al. 2003).
Tabel 1 Skor suhu gelatinisasi pada beras
Nilai/ Skor
Klasifikasi
Suhu
1-3
Tinggi
>74 0C
4-5
Sedang
70 - 74 0C
6-7
Rendah
70 0C
Lama waktu layak makan dihitung dari lamanya waktu nasi sampai
basi/busuk. Nasi yang sudah matang, dibiarkan dalam suhu ruang sampai
nasi menjadi basi.
Nisbah penyerapan air nasi (WUR/water uptake rasio) adalah
perbandingan berat nasi dengan berat beras yang dimasak. Cara
penghitungannya adalah dengan 2 gram beras dimasak dalam 100 ml air
dalam alat pemasak. Nasi yang telah masak kemudian ditimbang.
Rumus nisbah penyerapan air = berat nasi-berat beras x 100%
berat beras
Uji Organoleptik. Diambil sampel 20 responden, dengan meminta
responden mengamati tingkat kesukaan mereka terhadap penampilan dan
rasa nasi dari semua perlakuan. Tingkat kesukaan diberi skor 1-2 untuk
krieria sangat pulen, 3-4 untuk kriteria pulen, dan 4-6 untuk kriteria tidak
pulen.
Data dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam dan uji lanjut
menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %. Uji t
digunakan untuk membandingkan perlakuan dengan pupuk anorganik pada taraf
5 %.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Curah hujan
(mm)

Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, percobaan padi organik
dilaksanakan pada bulan kering (curah hujan < 100 mm per bulan), kecuali bulan
pertama yang merupakan bulan lembab dengan curah hujan 100-200 mm per
bulan (Gambar 1).
150
100
50
0
Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Gambar 1 Curah hujan rata-rata tahun 2012 di Kabupaten Karawang
Menurut Pusat Penelitian Tanah (2008), hasil analisis tanah awal
menunjukkan tanah bereaksi agak masam hingga masam dengan pH sebesar

12
5.20-6.3. Kandungan C-organik tergolong rendah (1.28-1.64%) dan kandungan Ntotal di dalam tanah termasuk rendah yaitu 0.13-0.16%. Ketersediaan P di dalam
tanah bervariasi dari 0 ppm pada perlakuan 10 ton pupuk organik ha-1 + 2 L
pupuk hayati ha-1 (sangat rendah) hingga 78 ppm pada perlakuan tanpa pupuk
yang tergolong sangat tinggi. Unsur hara makro K termasuk kategori sangat
rendah yakni berkisar 47-151 ppm.
Analisis tanah yang dilakukan setelah panen menunjukkan adanya
penurunan pH kecuali pada perlakuan pupuk organik 10 ton ha -1 + pupuk hayati 2
L ha-1 dari agak masam (5.6-6.3) dan masam (5.2-5.5) menjadi masam (< 5.5)
(Gambar 2). Penurunan pH tanah dapat terjadi karena dekomposisi bahan organik
yang diberikan pada tanah dapat menghasilkan asam-asam organik (Sugito 1995).
Pupuk Anorganik

10 ton haˉ¹ POP+PH
8 ton haˉ¹ POP+PH
6 ton haˉ¹ POP+PH
4 ton haˉ¹ POP+PH
2 ton haˉ¹ POP+PH

pH
Akhir
pH
Awal

0 ton haˉ¹ POP+PH

10 ton haˉ¹ POP
8 ton haˉ¹ POP
6 ton haˉ¹ POP
4 ton haˉ¹ POP
2 ton haˉ¹ POP

0 ton haˉ¹ POP
0

1

2A

2

3

4

5

6

7 -1

0

1

2B

Gambar 2 Nilai pH tanah pada awal dan akhir percobaan (2A) serta
perbedaan pH dengan yang mendapat pupuk anorganik (2B).
POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha -1
Gambar 3 menunjukkan hasil analisis kandungan C-organik awal dan
akhir percobaan pada setiap perlakuan. Kadar C-organik tanah sebelum
percobaan yaitu 1.28-1.64 % (kriteria rendah) dan kadar C -organik akhir
percobaan berkisar antara 1.61-2.0 % (kriteria rendah) dan 2.1-2.76 % (kriteria
sedang). Secara umum terjadi peningkatan kadar C-organik akibat pemberian
pupuk organik.

13

Pupuk Anorganik
10 ton haˉ¹ POP+PH
8 ton haˉ¹ POP+PH
6 ton haˉ¹ POP+PH
4 ton haˉ¹ POP+PH
2 ton haˉ¹ POP+PH
0 ton haˉ¹ POP+PH

C-organik
Akhir

10 ton haˉ¹ POP

C-organik
Awal

8 ton haˉ¹ POP
6 ton haˉ¹ POP
4 ton haˉ¹ POP
2 ton haˉ¹ POP
0 ton haˉ¹ POP
0

0.5

3A

1

1.5

2

-1

-0.5

0

0.5

1

3B

Gambar 3 Kadar C-organik tanah (%) pada awal dan akhir percobaan (3A)
serta perbedaan kadar C-organik tanah dengan yang mendapat
pupuk anorganik (3B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk
hayati ha-1
Gambar 4 menunjukkan hasil analisis kadar N tanah awal dan akhir pada
setiap perlakuan. Bila dibandingkan dengan kandungan N tanah sebelum
percobaan yaitu 0.13-0.18 (kriteria rendah), maka pemupukan organik tanpa
ditambah pupuk hayati dapat meningkatkan kandungan N tanah. Kandungan N
tanah selain berasal dari pemupukan juga dapat bersumber dari air hujan, air
irigasi, maupun bahan organik tanah yang telah ada dan mengalami proses
dekomposisi. Gambar 3B menunjukkan bahwa secara umum pada akhir
percobaan kadar N lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar N pada
perlakuan pupuk anorganik. Hal ini diduga karena perlakuan pupuk organik lebih
lambat menyediakan hara bila dibandingkan dengan pupuk anorganik.

14

Pupuk Anorganik

10 ton haˉ¹ POP+PH
8 ton haˉ¹ POP+PH
6 ton haˉ¹ POP+PH
4 ton haˉ¹ POP+PH
2 ton haˉ¹ POP+PH
0 ton haˉ¹ POP+PH
N akhir
N awal

10 ton haˉ¹ POP
8 ton haˉ¹ POP
6 ton haˉ¹ POP
4 ton haˉ¹ POP
2 ton haˉ¹ POP
0 ton haˉ¹ POP
0

0.05

4A

0.1

0.15

0.2

0.25

0. -0.1

0

0.1

4B

Gambar 4 Kadar N tanah awal dan akhir percobaan (%) (4A) serta
perbedaan kadar N tanah dengan yang mendapat pupuk
anorganik (4B). POP: pupuk organik padat, PH: 2 L pupuk
hayati ha-1
Gambar 5 menunjukkan hasil analisis C/N tanah awal dan akhir pada
setiap perlakuan. Bila dibandingkan dengan C/N tanah sebelum percobaan yaitu
8.5-10.7 (kriteria rendah-sedang), maka pemupukan organik tanpa ditambah
pupuk hayati dapat meningkatkan C/N tanah. Gambar 5B menunjukkan bahwa
C/N akhir pada perlakuan organic lebih tinggi daripada perlakuan anorganik. Hal
ini menunjukkan bahwa tanah bila dipupuk organik lebih subur daripada dipupuk
anorganik.

15

Pupuk Anorganik
10 ton haˉ¹ POP+PH
8 ton haˉ¹ POP+PH
6 ton haˉ¹ POP+PH

C/N akhir

4 ton haˉ¹ POP+PH
2 ton haˉ¹ POP+PH

C/N awal

0 ton haˉ¹ POP+PH
10 ton haˉ¹ POP
8 ton haˉ¹ POP

6 ton haˉ¹ POP
4 ton haˉ¹ POP
2 ton haˉ¹ POP
0 ton haˉ¹ POP
0

2
5A

4

6

8

10

12

-2

0

2

5B

Gambar 5 Rasio C/N tanah awal dan akhir percobaan (5A) serta perbedaan
rasio C/N tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik (5B).
POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha -1
Secara umum terjadi penurunan kadar P tanah pada akhir percobaan,
kecuali perlakuan 4-6 ton pupuk organik ha-1 dan 10 ton pupuk organik ha-1
ditambah pupuk hayati mengalami peningkatan kadar P tanah (Gambar 6) . Kadar
P tanah pada awal percobaan berkisar antara 0 ppm (kriteria sangat rendah) dan
34-78 ppm (criteria sangat tinggi) sedangkan kadar P tanah pada akhir percobaan
berkisar antara 6-9 ppm (kriteria sangat rendah) dan 11-13 ppm (kriteria rendah).
Penurunan kadar P tanah diduga karena terjadi penurunan nilai pH pada akhir
percobaan.

16

Pupuk Anorganik

10 ton haˉ¹ POP+PH
8 ton haˉ¹ POP+PH
6 ton haˉ¹ POP+PH
4 ton haˉ¹ POP+PH
2 ton haˉ¹ POP+PH
0 ton haˉ¹ POP+PH

P
Akhir

10 ton haˉ¹ POP

P Awal

8 ton haˉ¹ POP
6 ton haˉ¹ POP
4 ton haˉ¹ POP
2 ton haˉ¹ POP
0 ton haˉ¹ POP
0

20

6A

40

60

80

-50

0

50

6B

Gambar 6 Kadar P tanah awal dan akhir percobaan (ppm) (6A) serta
perbedaan kadar P tanah dengan yang mendapat pupuk
anorganik (6B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1
Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar K
tanah pada akhir percobaan. Kadar k tanah pada awal percobaan berkisar antara
47-151 ppm (kriteria sangat rendah) sedangkan kadar K tanah pada akhir
percobaan berkisar antara 82.18-151.75 ppm (kriteria sangat rendah). Kadar K
akhir ini dipengaruhi oleh perlakuan pupuk organik tanpa maupun dengan
ditambah pupuk hayati, dengan kadar K tertinggi pada perlakuan 10 ton pupuk
organik ha-1 ditambah pupuk hayati (Gambar 7). Secara umum kadar K pada
akhir percobaan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan anorganik.
Perlakuan 4 dan 10 ton pupuk organik ha -1 ditambah pupuk hayati nyata lebih
tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan anorganik.

17

Pupuk Anorganik

a+

10 ton haˉ¹ POP+PH

abc

8 ton haˉ¹ POP+PH

abc

6 ton haˉ¹ POP+PH

ab +

4 ton haˉ¹ POP+PH

c

2 ton haˉ¹ POP+PH

K Akhir

c

0 ton haˉ¹ POP+PH

K Awal

c

10 ton haˉ¹ POP

abc

8 ton haˉ¹ POP

abc

6 ton haˉ¹ POP

abc

4 ton haˉ¹ POP

abc

2 ton haˉ¹ POP

bc

0 ton haˉ¹ POP
0

50

7A

100

150

-50

0

50

7B

Gambar 7 Kadar K tanah pada awal dan akhir percobaan (ppm) (7A) serta
perbedaan kadar K tanah dengan yang mendapat pupuk
anorganik (7B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati
ha-1. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang
sama menunjukkan perlakuan yang nyata menurut uji DMRT
pada α = 5%. Angka yang diikuti oleh tanda (+) menunjukkan
berbeda nyata antara perlakuan dan pembanding (perlakuan
pupuk anorganik) pada α = 5% berdasarkan uji t-Dunnet
Menurut Pusat Penelitian Tanah (2008), KTK tanah menunjukkan kriteria
yang rendah sampai sedang yakni berkisar 16-20 me/100 g. Nilai KTK pada
perlakuan organik berkisar antara 16.33-19.79 (kriteria rendah) dan 20.16-21.07
(kriteria sedang). Sec