Taksonomi molekuler “DNA Barcoding” dan analisis filogenetik ikan hiu di Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu berdasarkan Marka Mitokondria

TAKSONOMI MOLEKULER ‘DNA BARCODING’ DAN
ANALISIS FILOGENETIK IKAN HIU DI PELABUHAN
PERIKANAN PALABUHANRATU BERDASARKAN MARKA
MITOKONDRIA

RAHMAD

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Taksonomi
Molekuler „ DNA Barcoding‟ dan Analisis Filogenetik Ikan Hiu di Pelabuhan
Perikanan Palabuhanratu berdasarkan Marka Mitokondria adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2013

Rahmad
NIM C54090075

ABSTRAK
RAHMAD. Taksonomi Molekuler „DNA barcoding‟ dan Analisis Filogenetik
Ikan Hiu di Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu Berdasarkan Marka Mitokondria.
Dibimbing oleh HAWIS MADDUPPA dan BEGINER SUBHAN.
Perdagangan ikan hiu umumnya hanya dalam bentuk sirip sehingga sulit
untuk diidentifikasi secara konvensional. Taksonomi molekuler DNA barcoding
dapat membantu proses identifikasi ini karena hanya membutuhkan sedikit
jaringan tubuh dari ikan hiu tersebut. Penelitian ini mengumpulkan sampel di PPN

Palabuhanratu yang bertujuan untuk mengidentifikasi ikan hiu secara molekuler
dan status konservasinya, serta menentukan hubungan filogenetik antar spesies
ikan hiu. Hasil penelitian ini menunjukkan dari 28 sampel yang teramplifikasi
terdapat 3 ekor hiu jenis Rhynchobatus australiae, 7 ekor hiu jenis Alopias
superciliosus, 12 ekor hiu jenis Carcharhinus falciformis, 2 ekor hiu jenis Isurus
paucus, 2 ekor hiu jenis Carcharhinus limbatus dan 2 ekor hiu jenis Carcharhinus
longimanus. Hiu tersebut termasuk kedalam kategori vulnerable (R.australiae,
A.superciliosus, C.Longimanus dan I.paucus) dan near threatened (C.falciformis
dan C.limbatus). Konstruksi pohon filogenetik menunjukkan bahwa hiu yang
didaratkan di Palabuhanratu terbagi kedalam 4 kelompok besar dengan 4 famili
yang berbeda yaitu Rhynchobatidae, Alopiidae, Lamnidae dan Carcharhinidae.
Kata kunci: hiu, DNA, barcoding, filogenetik, famili

ABSTRACT
RAHMAD. Molecular Taxonomy „Barcoding DNA‟ and Phylogenetic Analysis
of Shark at Fisheries Port Palabuhanratu Based on Marka Mitochondria. Under
Advisory by HAWIS MADDUPPA and BEGINER SUBHAN.
Sharks are generally traded only in the form of fins and therefore it is
difficult to identify them conventionally. Molecular taxonomy of DNA barcoding
is a tool that can help identification process because it only requires a few tissues

from the shark. The samples were collected from fisheries port of Palabuhanratu
in order to identified sharks species molecularly and confirm their conservation
status, as well as building phylogenetic tree among sharks species landed in this
market. The result showed that of 28 sample amplified were belonged to 3 species
of sharks Rhyncobatus australiae, 7 species Alopias superciliosus, 12 species
Carcharhinus falciformis, 2 species Isurus paucus, 2 species Carcharhinus
limbatus and 2 species Carcharhinus longimanus. The identified sharks were
included in to the category of vulnerable (R.australiae, A.superciliosus,
C.longimanus and I.paucus) and near threatened (C.falciformis and C.limbatus) of
IUCN redlist. The construction of phylogenetic tree showed that sharks were
divided into 4 big groups with 4 different families which are Rhynchobatidae,
Alopiidae, Lamnidae and Carcharhinidae.
Keywords: shark, DNA, barcoding, phylogenetic, family

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

TAKSONOMI MOLEKULER ‘DNA BARCODING’ DAN
ANALISIS FILOGENETIK IKAN HIU DI PELABUHAN
PERIKANAN PALABUHANRATU BERDASARKAN MARKA
MITOKONDRIA

RAHMAD

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Ilmu Kelautan
Pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Taksonomi Molekuler „DNA Barcoding‟ dan Analisis
Filogenetik Ikan Hiu di Pelabuhan Perikanan
Palabuhanratu berdasarkan Marka Mitokondria
: Rahmad
: C54090075

Disetujui oleh,

Dr Hawis Madduppa, SPi MSi
Pembimbing I

Beginer Subhan, SPi MSi

Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc
Ketua Departemen

Tanggal lulus : 07 Mei 2013

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH subhanahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September ini ialah
DNA barcoding dengan judul Taksonomi Molekuler „DNA barcoding’ dan
Analisis Filogenetik Ikan hiu di Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu berdasarkan
Marka Mitokondria.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Hawis Madduppa SPi MSi
dan Bapak Beginer Subhan SPi MSi selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Drh
G Ngurah Mahardika yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Laboratorium Indonesian Biodiversity

Research Center, Bali dan seluruh staff pegawai yang telah mendukung dan
membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, teman-teman, serta seluruh keluarga, atas segala
doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2013
Rahmad

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN


x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODOLOGI .

2

Waktu dan Tempat Penelitian


2

Koleksi Sampel

2

Ekstraksi DNA dan PCR

2

Elektroforesis

3

Siklus Pengurutan Nukleotida

3

Analisis Data


3

Identifikasi spesies dan Status konservasi

3

Analisis filogenetik

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Identifikasi Spesies dan Status Konservasi

4

Hubungan Filogenetik


9

KESIMPULAN DAN SARAN

11

Kesimpulan

11

Saran

11

DAFTAR PUSTAKA

11

LAMPIRAN

13

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL
1. Hasil identifikasi spesies ikan hiu secara molekuler
2. Daftar harga sirip ikan hiu berdasarkan ukuran dan pengolahannya

4
6

DAFTAR GAMBAR
1. Hasil analisis DNA barcoding berdasarkan pohon filogenetik

10

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.

Prosedur kerja PCR
Hasil pengurutan basa nukleotida
Hasil analisis BLAST dalam NCBI
Jenis-jenis kan hiu hasil identifikasi di Palabuhanratu

14
15
22
23

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ikan hiu mengalami eksploitasi secara besar-besaran di berbagai negara di
dunia, termasuk di Indonesia. Indonesia merupakan eksportir utama sirip ikan hiu
untuk pasar internasional misalnya Hongkong, Cina dan Singapura (Dharmadi dan
Fahmi 2005). Pada tahun 1987, produksi perikanan hiu di Indonesia tercatat
sebesar 36.884 ton, kemudian pada tahun 2000, produksi perikanan hiu meningkat
hingga hampir dua kali lipat sebesar 68.366 ton (Dharmadi dan Fahmi 2003).
Kondisi seperti ini dapat menyebabkan beberapa spesies hiu akan mengalami
kepunahan. Perdagangan ikan hiu umumnya hanya dalam bentuk sirip sehingga
sulit untuk diidentifikasi secara konvensional.
Taksonomi molekuler DNA barcoding dapat membantu proses identifikasi
ini karena hanya membutuhkan sedikit jaringan tubuh dari ikan hiu tersebut.
Selama beberapa dekade terakhir, teknik molekuler DNA Barcoding telah
diperkenalkan untuk identifikasi spesies hiu, khususnya ketika metode taksonomi
tradisional gagal karena tidak mempunyai informasi morfologi yang cukup.
Hebert et al. (2003) memperkenalkan DNA barcode sebagai sarana untuk
mengidentifikasi semua spesies hewan. Kemampuan barcode DNA untuk
mengidentifikasi spesies bergantung pada degenerasi kode genetik. Hal ini
diperkuat oleh Ward dan Holmes (2007), yang menganalisis region barcode DNA
di 388 spesies ikan, termasuk 4 holocephali dan 61 elasmobranchs. Kajian ini
menunjukkan bahwa DNA barcode mampu mendeskriminasikan hingga
98% - 99% dari spesies ikan yang diteliti sejauh ini.
Penggunaan DNA mitokondria (mtDNA) sebagai gen target semakin
banyak di lakukan untuk identifikasi suatu spesies (Kyle dan Wilson 2007).
Kelebihan yang dimiliki oleh mtDNA sebagai target dalam identifikasi spesies,
diantaranya ialah berevolusi lebih cepat dibandingkan DNA inti, berukuran lebih
kecil dibandingkan DNA inti, terdapat beberapa salinan didalam sel dan sekuen
lengkap DNA mitokondria beberapa organisme perairan telah diketahui. Oleh
karena itu, penggunaan mtDNA sangat efektif untuk penentuan dan
pengidentifikasian keragaman genetik suatu makhluk hidup. Di samping itu, hal
yang mendukung penggunaan mtDNA sebagai penanda genetik salah satunya
adalah karena mtDNA terdapat dalam jumlah copy yang tinggi, sehingga
memudahkan dalam pengisolasian dan purifikasi untuk berbagai keperluan analisa
(Duryadi 1994)
Filogenetik adalah salah satu sistem klasifikasi yang didasarkan pada
keeratan hubungan nenek moyang (Purnomo dan Pudjoarinto 1999). Tujuan dari
penyusunan filogenetik adalah untuk mengkontruksi dengan tepat hubungan
antara organisme dan mengestimasi perbedaan yang terjadi dari satu nenek
moyang kepada keturunannya (Li et al. 1999). Pohon filogenetik akan menyajikan
hasil analisis BLAST sesuai dengan karakteristik cabang yang terbentuk sehingga
sekuen hiu yang sama atau berdekatan akan membentuk satu kelompok dan
sekuen hiu yang berbeda akan membentuk kelompok tersendiri.

2

Oleh karena itu, sistem klasifikasi ini sangat penting digunakan dalam
penelusuran kekerabatan evolusioner diantara berbagai takson (Mabrouk et al.
2006). Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan database dasar dalam
manajemen populasi dan usaha konservasi ikan hiu.

Tujuan Penelitian
1. Identifikasi jenis ikan hiu secara molekuler dan status konservasi ikan hiu
yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa
Barat
2. Menentukan hubungan filogenetik antar spesies ikan hiu yang didaratkan
di Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan September dan November 2012
bertempat di Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.
Pengolahan data sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler,
Indonesian Biodiversity Research Center, Bali dan Laboratorium Biodiversitas
dan Biosistematika Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Koleksi Sampel
Sampel berupa daging/sirip hiu sebanyak 39 sampel, kemudian dimasukkan
kedalam tabung reaksi yang telah diisi ethanol 96% sebanyak 1 ml, dan diberi
label menurut masing-masing sampel individu. Tabung yang telah berisi sampel
dan ethanol disimpan rapi di laboratorium. Informasi tambahan berupa lokasi
penangkapan hiu dan harga sirip hiu diperoleh dari hasil wawancara studi lapang.
Ekstraksi DNA dan PCR
Ekstraksi DNA bertujuan untuk menghancurkan sel dan mengambil jaringan
pada sampel. Pada penelitian ini metode ekstraksi yang digunakan adalah metode
Chelex 10% (Walsh et al. 1991).
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik perbanyakan
DNA secara enzimatik. Komponen utama dalam PCR adalah 1 µL DNA template,
2,5 µL dNTP, 1,5 µL buffer PCR, 2 µL MgCL2, 1,25 µL primer dan 0,125 µL tag
polymerase. Primer yang digunakan untuk hiu adalah fish BCH: 5'-TAA ACT
TCA GGG TGA CCA AAA AAT CA-3' atau fish BCL: 5'-TCA ACY AAT CAY
AAA GAT ATY GGC AC-3' (Former et al. 1994).

3

Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang sebanyak 39 kali
siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahapan yaitu tahap peleburan (denaturasi)
yang berlansung pada suhu 94-96° C, tahap penempelan (annealing) yang
berlansung pada suhu 50-64° C dan tahap pemanjangan (ekstensi) yang
berlansung pada suhu 72 ° C dimana DNA polimerase memperpanjang rantai DNA
primer yang komplemen dengan rantai cetakan DNA.
Proses amplifikasi dimulai dengan mengisi lembar kerja PCR dengan
tanggal, jumlah sampel, tipe ekstraksi dan catatan lainnya (Lampiran 1). Pengisian
lembar kerja ini dilakukan untuk menghitung berapa banyak master mix (MM)
yang dibutuhkan dan enzim tag polimerase serta jumlah ekstrak yang digunakan
(Lampiran 1).
Elektroforesis
Elektroforesis bertujuan untuk mengetahui kualitas DNA dalam produk
PCR. Tahap awal dalam elektroforesis adalah membuat gel agarosa 1%, yaitu
dengan mencampurkan 0,75 gram bubuk agarosa dengan 75 mL buffer ke dalam
tabung erlemenyer. Panaskan dengan mesin microwave sampai agarosa benarbenar terlarut, kemudian tambahkan 4 µL cyber green atau EtBr (sebagai pewarna
molekul), dan tuang dalam cetakan agarosa. Pasang sisir pada cetakan dan tunggu
hingga 15-20 menit hingga agarosa mengeras. Setelah gel agarosa mengeras,
masukkan gel tersebut kedalam tangki elektroforesis yang berisi buffer TBE 0,5X
Selanjutnya siapkan sampel yang akan dielektroforesis. Hamparkan parafilm dan
totolkan sekitar 1µ L loading dye untuk 1 sampel.
Ambil 4 µL PCR produk dan campurkan dengan loading dye kemudian
masukkan dalam sumur gel. Jalankan mesin elektroforesis pada 200 V dan arus
400 mA selama 15 menit, angkat gel dan lihat hasilnya dengan menggunakan
lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan foto menggunakan kamera.
Siklus Pengurutan Nukleotida (cycle sequencing)
Siklus pengurutan nukleotida (Sequencing DNA) adalah metode untuk
menentukan urutan nukleotida yang terdapat dalam DNA. Urutan DNA
berhubungan dengan informasi genetik turunan dalam nukleus (inti), plasmid,
mitokondria, dan kloroplas yang membentuk dasar pengembangan semua
makhluk hidup. DNA sequencing menggunakan metode PCR sebagai pijakannya.
DNA yang akan ditentukan urutan basa ACGT-nya dijadikan sebagai cetakan
untuk kemudian diamplifikasi menggunakan enzim dan bahan-bahan yang mirip
dengan reaksi PCR, namun ada penambahan beberapa pereaksi tertentu. Proses
sequencing DNA dikirim ke Sequencing Facility UC Berkeley, California untuk
melakukan pengurutan nukleotida.
Analisis Data
Identifikasi Spesies dan Status Konservasi
Analisis data dilakukan dengan menggunakan software Mega 5.05
(Molecular Evolutionary Genetic Analysis) untuk pembacaan urutan nukleotida

4

dan penjajaran dengan menggunakan ClustalW pada program tersebut untuk
melihat adanya keragaman nukleotida (Tamura et al. 2007). Data hasil penjajaran
nukleotida yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan data yang tersedia pada
GeneBank di NCBI (National Center for Biotechnology Information) dengan
menggunakan BLAST (Basic Local Alignment Search Tool). Hasil yang diperoleh
dari GeneBank akan dianalisis status konservasinya dengan menggunakan IUCN
redlist (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources).
Analisis Filogenetik
Pembuatan pohon filogenetik pada penelitian ini menggunakan metode
Neighbour-joining tree dengan nilai boostrap 100 dan model kimura 2parameter. Outgroup yang digunakan yaitu Rhinobatus penggali atau pari
penggali muncar dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana keakuratan cabang
pohon filogenetik yang terbentuk.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Spesies dan Status Konservasi
Urutan nukleotida DNA yang telah teramplifikasi menunjukkan bahwa dari
39 sampel daging ikan hiu yang teramplifikasi hanya terdapat 28 sekuen yang bisa
teridentifikasi spesiesnya. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 4 famili ikan
hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu yaitu Rhynchobatidae, Alopiidae,
Lamnidae dan Carcharhinidae dengan beberapa spesies yang memiliki urutan basa
nukleotida yang berbeda. Hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, diantaranya
3 ekor hiu jenis Rhynchobatus australiae (white spotted guitarfish), 7 ekor hiu
jenis Alopias superciliosus (bigeye thresher shark), 12 ekor hiu jenis
Carcharhinus falciformis (silky shark), 2 ekor hiu jenis Isurus paucus (longfin
mako), 2 ekor hiu jenis Carcharhinus limbatus (blacktip shark) dan 2 ekor hiu
jenis Carcharhinus longimanus (oceanic whitetip shark) (Tabel 1)
Tabel 1. Hasil identifikasi spesies ikan hiu yang didaratkan di Pelabuhan
Perikanan Palabuhanratu dengan menggunakan BLAST
IUCN Red list

Rhynchobatus australiae

Jumlah
(ekor)
3

Alopiidae

Alopias superciliosus

7

Vulnerable

Carcharhinidae

Carcharhinus falciformis

12

Near Threatened

Carcharhinus limbatus

2

Near Threatened

Carcharhinus longimanus

2

Vulnerable

Isurus paucus

2

Vulnerable

No

Famili

Analisis BLAST

1

Rhynchobatidae

2
3

4

Lamnidae

Vulnerable

Hiu jenis ini (Tabel 1) banyak terdapat di Pelabuhan Perikanan
Palabuhanratu disebabkan oleh wilayah fishing ground nelayan yang hanya
mencapai Pantai Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Selain itu, tidak-

5

terdapatnya alat tangkap yang khusus menangkap hiu di Palabuhanratu
menyebabkan hiu di daerah ini hanya tertangkap sebagai hasil tangkapan
sampingan dari alat tangkap pancing, jaring insang dan rawai tuna. Kapal-kapal
perikanan atau armada penangkapan hiu yang khusus menangkap hiu tidak ada
yang berdomisili di PPN Palabuhanratu. Oleh karena itu, kapal-kapal perikanan
yang tersedia hanya menangkap hiu sebagai hasil tangkapan sampingan dan sesuai
dengan jenis alat tangkap yang dapat menangkap hiu.
Ikan hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada tahun 2004 mencapai
87.296 kg yang terdiri dari berbagai jenis seperti hiu aron (Carcharhiunus
amblyrhynchos), hiu lanjam (Carcharhinus melanopterus), hiu anjing (Isurus
oxirynchus), hiu kebo (Carcharhinus brachyurus), hiu koboy (Carcharhiunus
longimanus), hiu buas (Carcharhinus plumbeus), hiu caping (Sphyrna lewini), hiu
laek (Prionance glaucu), hiu lutung (Alopias superciliosus), hiu omas
(Galeocerdo cuvier) dan hiu monyet (Alopias superciliosus) (DJPT 2004).
Teluk Pelabuhanratu merupakan teluk terbesar di pantai Selatan Pulau Jawa
yang berhadapan lansung dengan Samudera Hindia. Secara geografik teluk
Pelabuhanratu terletak pada posisi 6 °57‟ LS dan 106°22‟-106°33‟ BT (Rahayu
1999). Topografi perairan daerah ini memperlihatkan perairan yang dangkal
sampai berjarak 300 m dari garis pantai dengan kedalaman kurang lebih 600 m
(Pariwono et al. 1998). Menurut Sanusi (1994), topografi dasar laut (bathymetri)
perairan teluk Pelabuhanratu adalah curam dengan kedalaman antara 3-4 m
(perairan pantai) sampai lebih dari 200 m, dibagian teluk merupakan lereng
kontinental (continental shelf). Profil demikian mengakibatkan adanya fenomena
arus menyusur pantai (longshore current) di beberapa lokasi perairan teluk.
Ikan hiu merupakan jenis ikan pelagis dan juga demersal yang bersifat
“euryhalin” artinya ikan hiu memiliki derajat toleransi yang tinggi terhadap
salinitas, sehingga dapat hidup diperairan payau, tawar dan laut sebagai habitat
utamanya. Habitat ikan hiu berbeda-beda untuk setiap jenisnya, biasanya ikan hiu
menyenangi air yang jernih dengan substrat pasir, batu, kerikil atau terumbu
karang. Menurut Allen (1997), ikan hiu terdapat di semua laut, dari laut yang
dangkal sampai laut lepas (oseanik) pada berbagai kedalaman, hingga 3000 m dari
permukaan. Tetapi kehidupan ikan hiu terpusat pada daerah neritik (dekat pantai)
dan oseanik sampai kedalaman 200 m yang kaya akan makanan (DJPT 1992).
Secara umum ikan hiu dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap seperti
pukat ikan dan pancing (Campagno 1984a).
Direktorat Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan 2004
menyatakan “ hiu dapat tertangkap dengan menggunakan alat-alat tangkap seperti
rawai tuna (tuna longline), rawai hanyut (drift longline), jaring insang tetap (set
gillnet), jaring insang lingkar (encircling gillnet), pancing ulur (hand line),
trammel net dan purse seine.
Berdasarkan hasil studi ini, harga sirip ikan hiu yang diperdagangkan relatif
sama untuk setiap spesies tergantung ukuran dan proses pengolahannya. Harga
sirip hiu sebelum proses dengan ukuran 6-14 cm dijual dengan harga mencapai
Rp 450.000/kg dan ukuran > 45 cm mencapai Rp 1.600.000/kg sedangkan harga
sirip ikan hiu setelah proses mencapai Rp 950.000/kg untuk ukuran 6-14 cm dan
2.100.000/kg untuk ukuran > 45 cm (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa-

6

semakin besar ukuran sirip ikan hiu maka nilai jualnya akan semakin tinggi dan
semakin kecil sirip ikan hiu maka nilainya jualnya akan semakin rendah.
Tabel 2. Harga sirip ikan hiu berdasarkan ukuran dan pengolahannya
No

1
2
3
4
5
6
7
8

Ukuran Sirip (cm)

> 45
40 – 44
35 – 39
30 – 34
25 – 29
20 – 24
15 – 19
6 – 14

Harga Sirip Hiu
(Rp/Kg))
Belum Proses
1.600.000
1.550.000
1.450.000
1.350.000
1.100.000
850.000
675.000
450.000

Sudah Proses
2.100.000
2.000.000
1.950.000
1.850.000
1.700.000
1.350.000
1.170.000
950.000

Famili hiu Rhynchobatidae hanya teridentifikasi satu spesies yaitu
Rhynchobatus australiae (white-spotted guitarfish) dengan jumlah 3 individu
dan memiliki pasangan basa nukleotida tertentu (Lampiran 2). Pada penelitian
ini hiu spesies Rhynchobatus australiae memiliki panjang basa nukleotida yang
teramplifikasi sebesar 612bp dan tingkat kemiripan mencapai 99-100% dengan
spesies yang ada pada GeneBank (Lampiran 3). Menurut IUCN redlist (IUCNSSC 2001) spesies Rhynchobatus australiae merupakan spesies ikan hiu dengan
status vulnerable artinya hiu spesies ini memiliki resiko yang tinggi terhadap
kepunahan di alam sehingga penangkapannya perlu diatur dengan baik.
Rhynchobatus australiae memiliki sirip ekor bagian bawah dengan cuping
ekor yang jelas, bentuk moncong seperti botol dan semakin mengecil ke daerah
ujung, terdapat bintik - bintik putih di tubuhnya dengan dua bintik hitam pada
sirip dada (Lampiran 4). Hiu Rhynchobatus australiae hidup di dasar perairan
yang bersubstrat lunak dan dekat dengan terumbu karang dengan panjang
tubuhnya hanya mencapai 300 cm (White et al. 1997).
Famili hiu Alopiidae hanya teridentifikasi satu spesies yaitu Alopias
superciliosus (bigeyes thresher shark) dengan jumlah 7 individu dan memiliki
pasangan basa nukleotida tertentu (Lampiran 2). Hasil penelitian ini menunjukkan
ikan hiu jenis Alopias superciliosus memiliki panjang basa nukleotida mencapai
655bp dan tingkat kemiripan mencapai 100% dengan spesies yang ada pada
GeneBank (Lampiran 3). Menurut IUCN redlist tahun 2001 hiu jenis Alopias
superciliosus termasuk kedalam kategori vulnerable atau rawan.
Penangkapan hiu Alopias superciliosus pada tahun 2004 mencapai 2.023
kg sehingga apabila tidak dilakukan pengaturan stock penangkapan secara teratur
maka hiu tersebut akan mengalami penurunan hasil tangkapan atau bahkan
kepunahan. Ciri-ciri hiu jenis Alopias superciliosus atau hiu lutung adalah ekor
bagian atas hampir sepanjang ukuran tubuhnya, memiliki mata yang sangat besar
dengan bagian atasnya hampir mencapai bagian atas kepala, dan memiliki warna
putih di bagian perut (Lampiran 4).

7

Hiu lutung dapat tumbuh mencapai 461 cm dan sering dijumpai dekat
pantai hingga laut lepas dari permukaan hingga kedalaman 600 m. Makanannya
berupa ikan-ikan dasar dan pelagis serta kelompok cepalopoda (White et al.
1997).
Famili hiu Carcharhinidae merupakan famili hiu yang paling mendominasi
di PPN Palabuhanratu, bahkan mencapai 16 individu dari total 28 sampel
dengan 3 spesies yang berbeda yaitu Carcharhinus falciformis (silky shark)
sebanyak 12 individu, Carcharhinus limbatus (blacktip shark) sebanyak 2
individu dan Carcharhinus longimanus (oceanic whitetip shark) sebanyak 2
individu dengan kode pasangan basa nukleotida tertentu (Lampiran 2). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa hiu jenis Carcharhinus falciformis memiliki
urutan panjang basa nukleotida mencapai 570-652bp dan tingkat kemiripan
spesies dengan spesies GeneBank mencapai 99-100% (Lampiran 3). Menurut
IUCN redlist tahun 2001 hiu dengan jenis Carcharhinus falciformis termasuk
kedalam kategori near threatened artinya kategori ini diyakini akan terancam
keberadaannya di masa mendatang, apabila tidak ada usaha pengelolaan terhadap
jenis tersebut.
Carcharhinus falciformis memiliki moncong panjang dan bulat menyempit,
gigi atas kecil dengan lekukan di satu sisinya, gigi bawah kecil ramping dan tegak
(Lampiran 4). Habitatnya di oseanik dan pelagis, tetapi lebih banyak terdapat di
lepas pantai dekat dengan daratan; biasanya dekat dengan permukaan, tetapi
kadang dijumpai hingga kedalaman 500 m. Hiu jenis Carcharhinus falciformis
tersebar di seluruh perairan tropis dan biasanya memiliki panjang tubuh hingga
mencapai 350 cm (White et al. 1997).
Hiu jenis Carcharhinus limbatus memiliki urutan panjang basa nukleotida
mencapai 652bp dengan persentase kemiripan spesies dengan spesies yang ada
pada GeneBank mencapai 100% (Lampiran 3). Menurut IUCN redlist 2001 hiu
jenis Carcharhinus limbatus termasuk kedalam kategori near threatened. Ciri-ciri
hiu Carcharhinus limbatus adalah memiliki mocong panjang dan lancip, sirip
punggung, dada dan bagian bawah sirip ekor bewarrna polos pada hiu dewasa dan
berujung hitam pada hiu muda, memiliki gigi atas dan bawah yang sama, hampir
simetris dengan bentuk taring tegak dan ramping (Lampiran 4).
Carcharhinus limbatus memiliki panjang tubuh mencapai 255 cm dan
merupakan hiu pelagis yang hidup di paparan benua dan kepulauan; kadang
dijumpai di perairan lepas pantai tetapi jarang terdapat pada kedalaman lebih dari
30 m. Makanan utama hiu jenis ini berupa ikan-ikan kecil, termasuk pari kecil,
krustasea dan kelompok cumi-cumi (White et al. 1997).
Ikan hiu jenis Carcharhinus longimanus memiliki urutan panjang basa
nukleotida mencapai 652bp dengan persentase kemiripan spesies dengan spesies
yang ada pada GeneBank mencapai 99% (Lampiran 3). Menurut IUCN redlist
(IUCN SSC 2001) hiu jenis Carcharhinus longimanus termasuk kedalam kategori
vulnerable. Tingkat penangkapan hiu jenis Carcharhinus longimanus pada tahun
2003 di PPN Palabuhanratu hanya mencapai 303 kg akan tetapi hasil
penangkapan hiu jenis ini meningkat pada tahun 2004 mencapai 847 kg (DJPT
2004). Hiu koboy atau hiu Carcharhinus longimanus memiliki ciri-ciri moncong
yang pendek, bulat melebar, gigi atas berbentuk segitiga lebar, tegak, bergerigi di
tepinya, gigi bawah kecil, dan ramping.

8

Hiu jenis Carcharhinus longimanus memiliki ujung sirip bewarna putih
pada hiu dewasa dan berujung hitam pada juvenil, tergolong kedalam hiu oseanik
dan pelagis dari permukaan sampai kedalaman 152 m dan biasanya terdapat jauh
di lepas pantai (Lampiran 4). Hiu jenis ini mampu tumbuh hingga mencapai 395
cm. Makanan hiu Carcharhinus longimanus berupa ikan-ikan kecil, cumi-cumi,
penyu, udang dan merupakan salah satu jenis hiu yang paling berbahaya bagi
manusia (White et al. 1997).
Famili hiu Lamnidae hanya teridentifikasi satu spesies yaitu Isurus paucus
(longfin mako) dengan 2 individu dan memiliki kode pasangan basa nukleotida
tertentu (Lampiran 2). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hiu spesies Isurus
paucus memiliki urutan panjang basa nukleotida mencapai 645-652bp dan tingkat
kemiripan spesies dengan spesies yang ada pada Genebank mencapai 99%
(Lampiran 3). Menurut IUCN redlist tahun 2001 hiu spesies Isurus paucus
termasuk kedalam kategori vulnerable. Ciri-ciri hiu jenis ini yaitu memiliki
moncong lebar meruncing dengan bagian bawah berwarna abu-abu hingga gelap,
gigi depan memiliki tepi halus dan lurus, tidak melengkung pada ujungnya dan
biasanya dapat tumbuh hingga 417 cm (Lampiran 4). Makanan hiu ini dapat
berupa ikan-ikan kecil, udang, dan cumi-cumi, kadang-kadang dijumpai bagian
tubuh lumba-lumba dalam pencernaannya dan dapat membahayakan manusia
(White et al. 1997).
Hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu termasuk kedalam kategori
vulnerable dan near threatened sehingga pemerintah perlu melakukan usaha
pengelolaan perdagangan dengan baik agar kelestarian hiu tersebut tetap
terlindungi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan beberapa jenis hiu terancam
mengalami kepunahan, diantaranya tingkat kematian hiu sangat tinggi akibat
tangkapan yang tidak disengaja oleh nelayan, hiu memiliki siklus hidup yang
panjang dan relatif tinggi akan tetapi hiu memiliki kemampuan reproduksi yang
rendah, serta membutuhkan waktu yang lama sehingga mengakibatkan mudah
terjadinya eksploitasi pada hiu. Ikan hiu seperti great white shark, blue shark,
longfin mako, shortfin mako dan tiger shark hanya memiliki 2-3 keturunan per
tahun dan sangat lambat untuk mencapai usia matang bahkan sampai 10 tahun
(Dharmadi dan Fahmi 2005).
Menurut Camhi et al. (1998) menjelaskan selain faktor yang disebutkan
diatas ada faktor utama yang menyebabkan hiu terancam mengalami kepunahan
yaitu terjadinya penurunan kualitas areal pembesaran ikan daerah-daerah pantai,
estuaria maupun air tawar akibat pembangunan, eksploitasi yang berlebihan, dan
pencemaran.
Tingkat kesamaan (homogenitas) yang diperoleh dari analisis BLAST
cukup tinggi yaitu mencapai 99-100%. Hal ini menunjukkan bahwa
pengidentifikasian spesies dengan menggunakan DNA barcoding sangat sesuai.
Selain itu, kemampuan teknik DNA barcoding untuk membedakan spesies dapat
juga dilihat dengan analisis pohon filogenetik yang dilakukan setelah penentuan
urutan nukleotida untuk menunjukkan kedekatan antar spesies sampel.

9

Hubungan Filogenetik
Pohon filogenetik memberikan informasi tentang pengklasifikasian populasi
berdasarkan hubungan evolusionernya (Purnomo dan Pudjoarinto 1999). Hasil
analisis pohon filogenetik menunjukkan bahwa hiu yang didaratkan di PPN
Palabuhanratu terbagi kedalam 4 famili yaitu Rhynchobatidae, Alopiidae,
Lamnidae dan Carcharhinidae yang membentuk 4 kelompok besar (Cluster)
sesuai dengan familinya. Pohon filogenetik memperlihatkan bahwa hasil analisis
BLAST sesuai dengan karakteristik cabang yang dibentuk oleh pohon filogenetik.
Ikan hiu yang memiliki sekuen (urutan basa nukleotida) yang sama atau
berdekatan akan membentuk kelompok (Cluster) sendiri (berada dalam satu
kelompok besar) dan hiu yang memiliki urutan basa nukleotida yang berbeda akan
terpisah dan membentuk kelompok tersendiri.
Berdasarkan konstruksi pohon filogenetik diketahui bahwa kelompok
pertama ditempati oleh famili Carcharhinidae dengan hiu jenis Carcharhinus
falciformis, Carcharhinus limbatus dan Carcharhinus longimanus. Ikan hiu jenis
Carcharhinus limbatus dan Carcharhinus longimanus membentuk cabang pohon
filogenetik yang terpisah akan tetapi masih berada dalam satu kelompok besar.
Pengelompokkan pohon filogenetik dalam satu kelompok untuk famili
Carcharhinidae yang sama menggambarkan kedekatan kekerabatannya. Semakin
banyak urutan nukleotida (sekuen) yang sama maka nilai similaritasnya akan
semakin tinggi sehingga posisinya di dalam percabangan pohon filogenetik akan
semakin berdekatan (Gambar 1).
Kelompok yang kedua ditempati oleh famili Lamnidae yaitu hiu dengan
jenis Isurus paucus. Hiu jenis Isurus paucus terletak pada satu pohon karena
memiliki sekuen yang sama sehingga memiliki hubungan kekerabatan yang tinggi
dengan nomor kode akses pada GeneBank FJ519011.1. Kelompok yang ketiga
pada pohon filogenetik ditempati oleh famili Alopiidae yaitu hiu jenis Alopias
superciliosus. Famili Alopiidae memiliki sekuen yang sama sehingga terletak
pada satu kelompok dan memiliki hubungan kekerabatan yang tinggi dengan
nomor akses pada GeneBank DQ108329.1 (Gambar 1).
Kelompok terakhir yaitu kelompok keempat ditempati oleh anggota famili
Rhyncobatidae yaitu hiu jenis Rhynchobatus australiae. Famili Rhynchobatidae
memiliki urutan basa nukleotida yang sama dan berdekatan sehingga terletak
dalam satu pohon filogenetika. Famili Rhynchobatidae memiliki nilai similaritas
yang tinggi dengan kode akses GeneBank JN022595.1 (Gambar 1).
Grup yang berada paling jauh merupakan sekuen dari ikan pari jenis
Rhinobatus penggali yang digunakan sebagai outgroup. Sekuen dari outgroup
semestinya berkorelasi dekat dengan sekuen-sekuen yang dianalisis, tetapi juga
mempunyai perbedaan yang signifikan antara outgroup dengan sekuen yang lain.
Nilai boostrap ditunjukkan pada angka-angka yang terletak pada cabangcabang pohon filogenetik. Boostrap merupakan alat bantu umum yang biasa
digunakan untuk mencari pendekatan dalam distribusi statistik yang dikehendaki,
dengan kata lain nilai boostrap bertujuan untuk mengetahui dan menguji seberapa
baik set data model yang digunakan. Jika nilai boostrap rendah, sekuen
seharusnya dikeluarkan dari analisis untuk mendapatkan sebuah pohon
filogenetika yang dapat di percaya.

10

Penelitian ini menunjukkan rata-rata nilai boostrap melebihi 90, perhitungan
nilai boostrap yang lebih dari 90 menunjukkan tingkat kesamaan spesies yang
tinggi dengan database yang ada dan rekontsruksi pohon filogenetika dapat
dipercaya keakuratannya. Tingginya kemampuan untuk mengidentifikasi
hubungan antar spesies dengan analisis pohon filogentik ini membuktikan bahwa
teknik DNA barcoding dan rekonstruksi pohon filogenetik sangat cocok
digunakan untuk mendeteksi suatu spesies yang diperdagangkan dalam bentuk
olahan, maupun dalam pencegahan penjualan sirip-sirip hiu ilegal ataupun
organisme lainnnya yang terancam mengalami kepunahan.

87

100

100

68
100

46-IBRC0117601 Carcharhinus falciformis
Carcharhinus falciformis
95-IBRC0116901 Carcharhinus falciformis
94-IBRC0116801 Carcharhinus falciformis
88-IBRC0116101 Carcharhinus falciformis
87-IBRC0116001 Carcharhinus falciformis
86-IBRC0115901 Carcharhinus falciformis
17-IBRC0118101 Carcharhinus falciformis
13-IBRC0117701 Carcharhinus falciformis

11-IBRC0117101 Carcharhinus falciformis
12-IBRC0117201 Carcharhinus falciformis
96-IBRC0117001 Carcharhinus falciformis
24-IBRC0119101 Carcharhinus falciformis
25-IBRC0119301 Carcharhinus limbatus
100
Carcharhinus limbatus
19-IBRC0118401 Carcharhinus limbatus
47-IBRC0118501 Carcharhinus longimanus
23-IBRC0119001 Carcharhinus longimanus
100
Carcharhinus longimanus
75 14-IBRC0117501 Isurus paucus
100

94

27-IBRC0117401 Isurus paucus
Isurus paucus
18-IBRC0118201 Alopias superciiosus
28-IBRC0118001 Alopias superciliosus
45-IBRC0116601 Alopias superciliosus
85-IBRC0115801 Alopias superciliosus
100 89-IBRC0116201 Alopias superciliosus
91-IBRC0116401 Alopias superciliosus
93-IBRC0116701 Alopias superciliosus
Alopias superciliosus
43-IBRC0115601 Rhynchobatus australiae

16-IBRC0117901 Rhynchobatus australiae
44-IBRC0115701 Rhynchobatus australiae
70
Rhynchobatus australiae
2701 Rhinobatus penggali
100

0.02

Gambar 1. Hasil analisis hiu yang didaratkan di Palabuhanratu berdasarkan
pohon filogenetik.

11

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Spesies ikan hiu yang teridentifikasi secara molekuler yaitu 3 ekor hiu jenis
Rhyncobatus australiae, 7 ekor hiu jenis Alopias superciliosus, 12 ekor hiu jenis
Carcharhinus falciformis, 2 ekor hiu jenis Isurus paucus, 2 ekor hiu jenis
Carcharhinus limbatus dan 2 ekor hiu jenis Carcharhinus longimanus. Hiu yang
didaratkan di Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu termasuk kedalam kategori
vulnerable (rawan) dan near threatened (hampir terancam).
Konstruksi pohon filogenetik menunjukkan bahwa hiu yang didaratkan
terbagi kedalam 4 kelompok besar dengan 4 famili yang berbeda yaitu
Rhynchobatidae, Alopiidae, Lamnidae dan Carcharhinidae. Tingkat kesamaan
(homogenitas) yang diperoleh dari hasil analisis BLAST cukup tinggi, berkisar
antara 99-100%. Hal ini membuktikan bahwa hasil analisis DNA barcoding dan
pohon filogenetik dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies secara
molekuler yang diperdagangkan secara tidak utuh atau berupa produk olahan
misalnya identifikasi jenis ikan hiu dalam bentuk sirip.
Saran
Perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui variasi keragaman genetik ikan
hiu dengan sampel yang lebih banyak dan lokasi penelitian di seluruh Indonesia
sehingga pemerintah Indonesia memiliki data dasar dan status hiu yang di
perdagangkan di Pelabuhan Perikanan. Hal ini dapat menjadi acuan bagi
pengelolaan perdagangan hiu di Indonesia, sehingga kelestarian hiu tetap
terlindungi.

DAFTAR PUSTAKA
Allen G. 1997. Marine Fishes of Tropical Australia and South-East Asia : A Field
Guide For Anglers And Divers. Western Australian Museum, 292 pp.
Camhi M, Flowler S, Musick J, Brautigam A and Fordham S. 1998. Sharks and
their relatives, ecology and conservation. Occasional Paper of the IUCN
Spesies Survival Commission No.20. IUCN, Gland, Switzerland and
Cambridge, UK.39p.
Campagno LJV. 1984a. FAO Spesies Catalogue. Vol 4. Sharks of the World. An
Annoted and Illustrate Catalogue of Sharks Spesies Known to Date. Part 1.
“ Hexanchiformes to Lamniformes”. FAO Fish. Synop (125) Vol 4, Pt
1:249p.
Dharmadi dan Fahmi. 2003. Fisheries characteristic of artisanal sharks and rays in
the Indonesian waters. Proc. Seminar on Marine and Fisheries Jakarta.
Agency for Marine and Fisheries Research. MMAF. p.122-129.
Dharmadi dan Fahmi. 2005. Status Perikanan Hiu dan Aspek Pengelolaannya.
Oseana. 30(1): 1-8.
[DJPT] Direktorat Perikanan Tangkap. 1992. Statistik Perikanan Indonesia Tahun
2000. Direktorat Perikanan Tangkap. Jakarta. Hal 38-43.

12

[DJPT] Direktorat Perikanan Tangkap. 2004. Statistik Perikanan Tahun 2004
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Palabuhanratu. 78 hal.
Duryadi D. 1994. Peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam studi keragaman
genetik dan biologi populasi pada hewan. Hayati 1(1):1-4.
Folmer O, Black M, Hoeh W, Lutz R and Vrijenhoek R. 1994. DNA primers for
amplification of mitochondrial cytochrome c oxidase subunit I from diverse
metazoan invertebrates. Molecular Marine Biology and Biotecnology 3:294297.
Hebert PDN, Cywinska A, Ball SL, deWaard JR. 2003. Biological identifications
through DNA barcodes, Proc, R.Soc.B 270, 313-321.
IUCN-SSC. 2001. IUCN Red list categories and criteria IUCN-The World
Conservation Union. Gland. Swizerland and Cambridge, UK.34p.
Kyle CJ, Wilson CC. 2007. Mitochondrial DNA identification of game and
harvested freshwater fish spesies. Forensic Sciece Internasional 166(1): 6876.
Li S, Pearl DK and Doss H. 1999. Phylogenetic tree construction using Markov
ChainMonte Carlo.Fred Huntchinson Cancer Research Center Washington.
http:// www.gwu.edu/~clade/faculty/lipscomb/Cladistic.pdf (14 February
2013).
Mabrouk MS, Hamdy M, Mamdouh M, Aboelfotoh M, and Kadah YM. 2006.
BIOINFTool: Bioinformatics and sequence data analysis in molecular
biology using Matlab. Proc. Cairo International Biomedical Engineering
Conference.
Pariwono JI, Eidman M, Santoso R, Purba M, Prartono T, Widodo, Djuariah U
dan Hutapea JA. 1988. Studi upwelling di Perairan Pulau Jawa. Fakultas
Perikanan. IPB. Bogor.
Purnomo dan Pudjoarinto. 1999. Struktur Perkembangan I Morfologi Tumbuhan.
Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta, hal. 1-3.
Rahayu DS. 1999. Studi Tentang Komposisi Hasil Tangkapan Rawai layur pada
siang dan malam hari di Perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Jawa Barat
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sanusi HS. 1994. Karakteristik Kimia dan Kesuburan Perairan Teluk Pelabuhan
Ratu (Tahap II-Musim Timur). Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan
Indonesia 11(2): 93-100.
Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA: Molecular Evolutionary
Genetic Analysis (MEGA) software version 5.05. Advance Access published
May 7. Oxford University Press. Mol Bio 10. 1093/molbev/msm092.
Ward RD, Holmes BH. 2007. An analysis of Nucleotide and Amino Acid
Variability in the Barcode Region of Cytochrome C Oxidase (CO 1) in
Fishes. Mol. Ecol. Notes (7): 899-907.
Walsh PS, Mezger DA, Higuchi R. 1991. Chelex 100 as a medium for simple
extraction of DNA for PCR-based typing from forensic material.
Biotecniques. 1991 Apr 10(4):506.
White WT, Last PR, Stevens JD, Yearsley GK, Fahmi, Dharmadi. 1997.
Economically important sharks and rays of Indonesia. National Library of
Australia Catalouguing in Publication entry. ACIAR monograph series ; no.
124:1-338.

13

LAMPIRAN

14

Lampiran 1. Prosedur Kerja PCR
1. Gunakan Gloves (sarung tangan) kemudian keluarkan reagen: Air, dNTP,
buffer PCR, MgCl2, Primer 1 dan Primer 2 dari freezer untuk mencairkan.
2. Isi lembar kerja PCR dengan tanggal, jumlah sampel, tipe ekstraksi dan
catatan lainnya.
3. Tandai dan nomori tabung PCR dalam rack
4. Setelah bahan cair, jentikkan setiap tabung dengan jari untuk mencampur,
kocok isi hingga dasar tabung.
5. Buat campuran MM 1 : gunakan pipet NO DNA, tambahkan bahan sesuai
dengan volume yang telah dihitung dalam daftar di lembar PCR di tabung
1,5mL. Gunakan tip berbeda untuk setiap penambahan reagen. Pipet naik
turun untuk mencampur reagen sepenuhnya.
6. Gunakan pipet NO DNA, buat MM 2 dalam tabung 1,5mL terpisah, tetapi
jangan menambahkan taq. Gunakan tip berbeda untuk setiap penambahan
reagen. Pipet naik turun untuk mencampur reagen sepenuhnya.
7. Gunakan pipet NO DNA, bagi 14 μL MM1 ke dalam setiap tabung PCR.
8. Pindahkan DNA ekstra Chelex dari ruang pendingin dan jika perlu,
sentrifugasi singkat untuk menghilangkan kondensasi. Gunakan pipet
DNA rendah, tambahkan 1 μL DNA ekstrak untuk setiap tabung.
9. Ambil taq sesuai yang di inginkan dari freezer kemudian tambahkan
kedalam MM2 dan pipet naik turun untuk mencampur.
10. Pilih dan mulai program hot-star PCR. Biarkan penutup panas dan tahan
sebentar sampai suhu mencapai 800 C. Kemudian tempatkan strip tabung
ke dalam mesin PCR.
11. Atur hingga 10μL pipetman, pipet naik turun MM2 untuk mencampur,
kemudian tambahkan MM2 ke dalam masing-masing tabung dan ganti tip
untuk setiap sampel.
12. Unpause program dan lihat layar mesin PCR untuk menjamin bahwa
mesin PCR sedang bekerja.
13. Bersihkan tempat kerja, letakkan reagen ke dalam freezer dan ekstrak
DNA ke dalam lemari pendingin.

15

Lampiran 2. Hasil pengurutan basa nukleotida (sequencing) pada sampel ikan hiu
di Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.
Famili Rhynchobatidae
Rhynchobatus australiae _ IBRC01.156.01
ATTCGAACAGAACTTAGTCAACCAGGAACACTTCTTGGAGATGACCAAATCTACAAT
GTGGTTGTAACAGCCCATGCCTTTGTGATAATCTTTTTCATGGTTATACCAATCATGAT
CGGAGGCTTTGGGAATTGACTAGTCCCCCTAATAATTGGTGCTCCAGACATAGCATTC
CCACGAATAAATAACATAAGCTTCTGATTATTACCTCCATCATTTCTTCTTTTATTGGC
CTCTGCCGGAGTTGAAGCTGGAGCTGGAACAGGTTGGACTGTGTATCCTCCCCTTGCT
GGCAATCTTGCCCATGCCGGAGCCTCTGTAGACTTACCCATCTTTTCATTACATTTAGC
AGGAATTTCCTCAATTTTAGCATCTATTAATTTTATCACAACTATTATCAACATGAAAC
CCCCAGCAATTTCCCAATACCAAACACCTCTATTCGTATGATCAATTCTTGTAACAACT
ATCTTACTCTTACTATCACTACCAGTTCTAGCAGCAGGCATTACTATACTCCTCACAGA
TCGTAATCTCAATACAACCTTCTTTGATCCAGCGGGGGGAGGAGATCCAATCCTTTAC
CAACACTTATTCTGATTT
Rhynchobatus australiae _ IBRC01.157.01
ACCCTATACTTGATTTTCGGTGCTTGAGCAGGAATAGTTGGTACTGGTCTGAGTCTGCT
CATTCGAACAGAACTTAGTCAACCAGGAACACTTCTTGGAGATGACCAAATCTACAAT
GTGGTTGTAACAGCCCATGCCTTTGTGATAATCTTTTTCATGGTTATACCAATCATGAT
CGGAGGCTTTGGGAATTGACTAGTCCCCCTAATAATTGGTGCTCCAGACATAGCATTC
CCACGAATAAATAACATAAGCTTCTGATTATTACCTCCATCATTTCTTCTTTTATTGGC
CTCTGCCGGAGTTGAAGCTGGAGCTGGAACAGGTTGGACTGTGTATCCACCCCTTGCT
GGCAATCTTGCCCATGCCGGAGCCTCTGTAGACTTAGCCATCTTTTCATTACATTTAGC
AGGAATTTCCTCAATTTTAGCATCTATTAATTTTATCACAACTATTATCAACATGAAAC
CCCCAGCAATTTCCCAATACCAAACACCTCTATTCGTATGATCAATTCTTGTAACAACT
ATCTTACTCTTACTATCACTACCAGTTCTAGCAGCAGGCATTACTATACTCCTCACAGA
TCGTAATCTCAATACAACCTTCTTTGATCCAGCGGGGGGAGGAGATCCAATCCTTTAC
CAACACTTATTCTGATTTT
Rhynchobatus australiae _ IBRC01.179.01
ACCCTATACTTGATTTTCGGTGCTTGAGCAGGAATAGTTGGTACTGGTCTGAGTCTGCT
CATTCGAACAGAACTTAGTCAACCAGGAACACTTCTTGGAGATGACCAAATCTACAAT
GTGGTTGTAACAGCCCATGCCTTTGTGATAATCTTTTTCATGGTTATACCAATCATGAT
CGGAGGCTTTGGGAATTGACTAGTCCCCCTAATAATTGGTGCTCCAGACATAGCATTC
CCACGAATAAATAACATAAGCTTCTGATTATTACCTCCATCATTTCTTCTTTTATTGGC
CTCTGCCGGAGTTGAAGCTGGAGCTGGAACAGGTTGGACTGTGTATCCACCCCTTGCT
GGCAATCTTGCCCATGCCGGAGCCTCTGTAGACTTAGCCATCTTTTCATTACATTTAGC
AGGAATTTCCTCAATTTTAGCATCTATTAATTTTATCACAACTATTATCAACATGAAAC
CCCCAGCAATTTCCCAATACCAAACACCTCTATTCGTATGATCAATTCTTGTAACAACT
ATCTTACTCTTACTATCACTACCAGTTCTAGCAGCAGGCATTACTATACTCCTCACA
GATCGTAATCTCAATACAACCTTCTTTGATCCAGCGGGGGGAGGAGATCCAATCCTTT
ACCAACACTTATTCTGATTT
Famili Alopiidae
Alopias superciliosus _ IBRC01.158.01
ACCCTTTATTTAATCTTTGGTGCATGAGCAGGAATAGTGGGAACAGCCCTCAGCCTTC
TAATTCGAGCCGAGTTAGGCCAGCCCGGATCACTCCTAGGGGATGATCAGGTCTATAA
TGTTATCGTAACCGCCCATGCATTTGTAATAATCTTCTTCATGGTTATACCCGTAATAA
TTGGGGGATTTGGAAACTGATTAGTACCCTTAATAATTGGTGCACCAGACATGGCCTT
CCCGCGAATAAATAACATAAGCTTTTGACTCCTTCCCCCTTCTTTTCTCTTACTCCTAG
CTTCAGCTGGGGTTGAAGCTGGAGCTGGCACTGGTTGAACAGTTTATCCCCCCTTAGC
TGGCAACTTAGCACATGCTGGGGCATCTGTTGACTTGGCCATTTTCTCGCTTCATTTAG
CAGGTATCTCATCAATTTTAGCTTCAATTAACTTTATTACAACTATCATTAATATAAAA
CCACCAGCCATCTCTCAATATCAAACACCATTATTTGTATGATCAATCCTAGTAACAA
CCATCCTCCTCCTCTTATCCCTCCCAGTACTCGCAGCCGGCATCACAATATTATTAACT

16

GATCGAAACCTAAACACAACATTCTTTGACCCAGCAGGAGGAGGAGATCCAATTCTTT
ACCAACATCTATTTTGATTTTTT
Alopias superciliosus _ IBRC01.162.01
ACCCTTTATTTAATCTTTGGTGCATGAGCAGGAATAGTGGGAACAGCCCTCAGCCTTC
TAATTCGAGCCGAGTTAGGCCAGCCCGGATCACTCCTAGGGGATGATCAGGTCTATAA
TGTTATCGTAACCGCCCATGCATTTGTAATAATCTTCTTCATGGTTATACCCGTAATAA
TTGGGGGATTTGGAAACTGATTAGTACCCTTAATAATTGGTGCACCAGACATGGCCTT
CCCGCGAATAAATAACATAAGCTTTTGACTCCTTCCCCCTTCTTTTCTCTTACTCCTAG
CTTCAGCTGGGGTTGAAGCTGGAGCTGGCACTGGTTGAACAGTTTATCCCCCCTTAGC
TGGCAACTTAGCACATGCTGGGGCATCTGTTGACTTGGCCATTTTCTCGCTTCATTTAG
CAGGTATCTCATCAATTTTAGCTTCAATTAACTTTATTACAACTATCATTAATATAAAA
CCACCAGCCATCTCTCAATATCAAACACCATTATTTGTATGATCAATCCTAGTAACAA
CCATCCTCCTCCTCTTATCCCTCCCAGTACTCGCAGCCGGCATCACAATATTATTAACT
GATCGAAACCTAAACACAACATTCTTTGACCCAGCAGGAGGAGGAGATCCAATTCTTT
ACCAACATCTATTTTGATTTTTTGGTCAC
Alopias superciliosus _ IBRC01.164.01
ACCCTTTATTTAATCTTTGGTGCATGAGCAGGAATAGTGGGAACAGCCCTCAGCCTTC
TAATTCGAGCCGAGTTAGGCCAGCCCGGATCACTCCTAGGGGATGATCAGGTCTATAA
TGTTATCGTAACCGCCCATGCATTTGTAATAATCTTCTTCATGGTTATACCCGTAATAA
TTGGGGGATTTGGAAACTGATTAGTACCCTTAATAATTGGTGCACCAGACATGGCCTT
CCCGCGAATAAATAACATAAGCTTTTGACTCCTTCCCCCTTCTTTTCTCTTACTCCTAG
CTTCAGCTGGGGTTGAAGCTGGAGCTGGCACTGGTTGAACAGTTTATCCCCCCTTAGC
TGGCAACTTAGCACATGCTGGGGCATCTGTTGACTTGGCCATTTTCTCGCTTCATTTAG
CAGGTATCTCATCAATTTTAGCTTCAATTAACTTTATTACAACTATCATTAATATAAAA
CCACCAGCCATCTCTCAATATCAAACACCATTATTTGTATGATCAATCCTAGTAACAA
CCATCCTCCTCCTCTTATCCCTCCCAGTACTCGCAGCCGGCATCACAATATTATTAA
CTGATCGAAACCTAAACACAACATTCTTTGACCCAGCAGGAGGAGGAGATCCAATTC
TTTACCAACATCTATTTTGATTTTTTGGTCAC
Alopias superciliosus _ IBRC01.166.01
ACCCTTTATTTAATCTTTGGTGCATGAGCAGGAATAGTGGGAACAGCCCTCAGCCTTC
TAATTCGAGCCGAGTTAGGCCAGCCCGGATCACTCCTAGGGGATGATCAGGTCTATAA
TGTTATCGTAACCGCCCATGCATTTGTAATAATCTTCTTCATGGTTATACCCGTAATAA
TTGGGGGATTTGGAAACTGATTAGTACCCTTAATAATTGGTGCACCAGACATGGCCTT
CCCGCGAATAAATAACATAAGCTTTTGACTCCTTCCCCCTTCTTTTCTCTTACTCCTAG
CTTCAGCTGGGGTTGAAGCTGGAGCTGGCACTGGTTGAACAGTTTATCCCCCCTTAGC
TGGCAACTTAGCACATGCTGGGGCATCTGTTGACTTGGCCATTTTCTCGCTTCATTTAG
CAGGTATCTCATCAATTTTAGCTTCAATTAACTTTATTACAACTATCATTAATATAAAA
CCACCAGCCATCTCTCAATATCAAACACCATTATTTGTATGATCAATCCTAGTAACAA
CCATCCTCCTCCTCTTATCCCTCCCAGTACTCGCAGCCGGCATCACAATATTATTAACT
GATCGAAACCTAAACACAACATTCTTTGACCCAGCAGGAGGAGGAGATCCAATTCTTT
ACCAACATCTATTTTGATTTT
Alopias superciliosus _ IBRC01.167.01
ACCCTTTATTTAATCTTTGGTGCATGAGCAGGAATAGTGGGAACAGCCCTCAGCCTTC
TAATTCGAGCCGAGTTAGGCCAGCCCGGATCACTCCTAGGGGATGATCAGGTCTATAA
TGTTATCGTAACCGCCCATGCATTTGTAATAATCTTCTTCATGGTTATACCCGTAATAA
TTGGGGGATTTGGAAACTGATTAGTACCCTTAATAATTGGTGCACCAGACATGGCCTT
CCCGCGAATAAATAACATAAGCTTTTGACTCCTTCCCCCTTCTTTTCTCTTACTCCTAG
CTTCAGCTGGGGTTGAAGCTGGAGCTGGCACTGGTTGAACAGTTTATCCCCCCTTAGC
TGGCAACTTAGCACATGCTGGGGCATCTGTTGACTTGGCCATTTTCTCGCTTCATTTAG
CAGGTATCTCATCAATTTTAGCTTCAATTAACTTTATTACAACTATCATTAATATAAAA
CCACCAGCCATCTCTCAATATCAAACACCATTATTTGTATGATCAATCCTAGTAACAA
CCATCCTCCTCCTCTTATCCCTCCCAGTACTCGCAGCCGGCATCACAATATTATTAACT
GATCGAAACCTAAACACAACATTCTTTGACCCAGCAGGAGGAGGAGATCCAATTCTTT
ACCAACATCTATTTTGATTTTTTGGTCAC

17

Alopias superciliosus _ IBRC01.180.01
ACCCTTTATTTAATCTTTGGTGCATGAGCAGGAATAGTGGGAACAGCCCTCAGCCTTC
TAATTCGAGCCGAGTTAGGCCAGCCCGGATCACTCCTAGGGGATGATCAGGTCTATAA
TGTTATCGTAACCGCCCATGCATTTGTAATAATCTTCTTCATGGTTATACCCGTAATAA
TTGGGGGATTTGGAAACTGATTAGTACCCTTAATAATTGGTGCACCAGACATGGCCTT
CCCGCGAATAAATAACATAAGCTTTTGACTCCTTCCCCCTTCTTTTCTCTTACTCCTAG
CTTCAGCTGGGGTTGAAGCTGGAGCTGGCACTGGTTGAACAGTTTATCCCCCCTTAGC
TGGCAACTTAGCACATGCTGGGGCATCTGTTGACTTGGCCATTTTCTCGCTTCATTTAG
CAGGTATCTCATCAATTTTAGCTTCAATTAACTTTATTACAACTATCATTAATATAAAA
CCACCAGCCATCTCTCAATATCAAACACCATTATTTGTATGATCAATCCTAGTAACAA
CCATCCTCCTCCTCTTATCCCTCCCAGTACTCGCAGCCGGCATCACAATATTATTAA
CTGATCGAAACCTAAACACAACATTCTTTGACCCAGCAGGAGGAGGAGATCCAATTC
TTTACCAACATCTATTTTGATTT
Alopias superciliosus _ IBRC01.182.01
ACCCTTTATTTAATCTTTGGTGCATGAGCAGGAATAGTGGGAACAGCCCTCAGCCTTC
TAATTCGAGCCGAGTTAGGCCAGCCCGGATCACTCCTAGGGGATGATCAGGTCTATAA
TGTTATCGTAACCGCCCATGCATTTGTAATAATCTTCTTCATGGTTATACCCGTAATAA
TTGGGGGATTTGGAAACTGATTAGTACCCTTAATAATTGGTGCACCAGACATGGCCTT
CCCGCGAATAAATAACATAAGCTTTTGACTCCTTCCCCCTTCTTTTCTCTTACTCCTAG
CTTCAGCTGGGGTTGAAGCTGGAGCTGGCACTGGTTGAACAGTTTATCCCCCCTTAGC
TGGCAACTTAGCACATGCTGGGGCATCTGTTGACTTGGCCATTTTCTCGCTTCATTTAG
CAGGTATCTCATCAATTTTAGCTTCAATTAACTTTATTACAACTATCATTAATATAAAA
CCACCAGCCATCTCTCAATATCAAACACCATTATTTGTATGATCAATCCTAGTAACAA
CCATCCTCCTCCTCTTATCCCTCCCAGTACTCGCAGCCGGCATCACAATATTATTAACT
GATCGAAACCTAAACACAACATTCTTTGACCCAGCAGGAGGAGGAGATCCAATTCTTT
ACCAACATCTATTTTGATTT
Famili Carcharhinidae
Carcharhinus falciformis _ IBRC01.159.01
ACCCTTTACCTAATTTTTGGTGCATGAGCAGGTATAGTTGGAACAGCCCTAAGTCTTCT
AATTCGAGCTGAGCTTGGACAACCTGGATCACTTTTAGGGGATGATCAGATTTATAAT
GTAATCGTAACCGCCCACGCTTTTGTAATAATCTTTTTTATGGTTATGCCAATCATAAT
TGGTGGTTTCGGAAATTGACTAGTTCCTTTAATAATTGGTGCACCAGATATAGCCTTCC
CACGAATAAATAACATAAGTTTCTGACTTCTTCCACCATCATTTCTTCTTCTCCTCGCC
TCTGCTGGAGTAGAAGCTGGAGCAGGTACTGGTTGAACAGTTTATCCTCCATTAGCTA
GTAACCTAGCACATGCTGGACCATCTGTTGATTTAGCTATTTTCTCTCTTCACTTAGCC
GGTGTGTCATCTATTCTAGCTTCAATTAATTTTATTACAACTATTATCAATATAAAACC
ACCAGCCATTTCCCAATATCAAACACCATTATTTGTTTGATCTATTCTTGTAACCACTA
TTCTTCTCCTCCTATCACTTCCAGTTCTTGCAGCAGGAATTACAATATTACTTACAGAT
CGTAACCTTAATACTACATTCTTTGATCCTGCAGGTGGAGGAGACCCAATCCTTTATC
AACATTTATTTTGATTTTTT
Carcharhinus falciformis _ IBRC01.160.01
ACCCTTTACCTAATTTTTGGTGCATGAGCAGGTATAGTTGGAACAGCCCTAAGTCTTCT
AATTCGAGCTGAGCTTG