Hubungan Praktek Pemberian ASI, Pola Konsumsi Pangan, dan Fasilitas Belajar terhadap Kecerdasan Logika-Matematika Anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara
ABSTRACT
AULIA MASRUROH. Correlation Between Breast-Feeding Practice, Food
Consumption Patterns, and Learning Facilities with Logical-Mathematic
Intelligence of Students at SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Under supervision of ALI
KHOMSAN.
The aims of study was to know correlation between practice of breastfeeding, food consumption patterns, and learning facilities with logicalmathematic intelligence of students at SDN 09 Pagi Jakarta Utara. The study
design used cross-sectional study. The total sample consists of 38 students of 4th
grade. There was significant correlation between breast-feeding duration
(p=0.000), exclusive breast-feeding duration (p=0.000), and mother‟s education
(p=0.031) with IQ, while energy adequacy level (p=0.039), protein adequacy level
(p=0.017), animal protein consumption frequency (p=0.000), doing homework at
home (p=0.000), repeating the lesson (p=0.000), studying accompanied by
parents (p=0.000), owning learning room (p=0.000), owning school stationery
(0.000), owning desk for studying (p=0.000), IQ (p=0.002), and age (p=-0.042)
had significant and positive correlation with students mathematic report score.
There was significant correlation between protein adequacy level (p=0.033),
animal protein consumption frequency (p=0.000), doing homework at home
(p=0.000), repeating the lesson (p=0.000), studying accompanied by parents
(p=0.000), owning learning room (p=0.000), owning school stationery (p=0.000),
owning desk for studying (p=0.000), and IQ (p=0.011) with students‟ mathematic
learning test result. There was no significant correlation between nutritional status
(p=0.301), sex (p=0.061), pocket money (p=0.826), father‟s education (p=0.825),
mother‟s education (p=0.205), and family‟s income (p=0.865) with mathematic
report score. There was no correlation between energy sufficient level (p=0.073),
nutritional status (p=0.807), sex (p=0.078), pocket money (p=0.789), age
(p=0.097), father‟s education (p=0.995), mother‟s education (p=0.090), family‟s
income (p=0.596) with students learning test result.
Keywords : Breastfeeding, Food Consumption, Nutrition Status, Intelligence
Quotient
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hakikat manusia pada umumnya tidak bisa lepas dari orang lain, begitu
pula dengan anak manusia banyak memerlukan pertolongan dari kedua
orangtua. Peran orangtua sangat dominan terutama ibu. Ibu yang mengandung,
melahirkan, menyusui, membesarkan, dan membimbing. Dalam hal menyusui,
seorang ibu harus pandai dan selektif terutama dalam memanfaatkan karunia
illahi yaitu dengan memberikan ASI pada anaknya. Selain itu, ibu juga harus
selektif
dalam
memilih
makanan
yang
baik
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangan anaknya, karena anak merupakan asset bangsa, pewaris
sekaligus sebagai generasi penerus bangsa. Oleh sebab itu anak diharapkan
dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya sehingga menjadi orang dewasa
yang sehat secara fisik, mental, sosial, dan emosionalnya dapat berkembang
secara optimal sehingga menjadi SDM yang berkualitas. Menurut Bierley dalam
Megawangi et al. (2005) menyatakan bahwa bukti dari penelitian otak
menunjukkan
potensi,
fleksibilitas,
dan
kelenturan
otak
anak-anak
menggambarkan dengan jelas akan pentingnya masa-masa prasekolah dan
sekolah dasar.
Menurut WHO-UNICEF pada tahun 2002 dalam Global Strategy for Infant
and Young Child Feeding menerapkan cara pemberian makan pada bayi yang
baik dan benar yaitu menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan
umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan dan mulai
umur 6 bulan, bayi mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Data
Susenas (2007-2008) cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan di
Indonesia menunjukkan penurunan dari 62.2% (2007) menjadi 56.2% (2008).
Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun
dari 28.6% (2007) menjadi 24.3% (2008). Sementara jumlah bayi di bawah enam
bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16.7 persen pada 2002 menjadi
27.9 persen pada 2003 (Riskesdas 2010).
Berdasarkan hasil penelitian UNICEF di Indonesia setelah krisis ekonomi
dilaporkan bahwa hanya 14% bayi yang disusui dalam 12 jam setelah kelahiran.
Kolostrum dibuang oleh kebanyakan ibu karena dianggap kotor dan tidak baik
bagi bayi. UNICEF juga mencatat penurunan yang tajam dalam menyusui
berdasarkan tingkat umur diketahui bahwa 63% sejumlah bayi disusui hanya
pada bulan pertama, 45% bulan kedua, 30% bulan ketiga, 19% bulan keempat,
2
12% bulan kelima dan hanya 6% pada bulan keenam bahkan lebih dari 200.000
bayi atau 5% dari populasi bayi di Indonesia saat itu tidak disusui sama sekali
(Kamalia 2005).
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dari 1997 hingga
2002, jumlah bayi usia enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menurun
dari 7.9% menjadi 7.8%. Sementara itu, hasil SDKI 2007 menunjukkan
penurunan jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif hingga 7.2%. Pada saat
yang sama, jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula
meningkat dari 16.7% pada 2002 menjadi 27.9% pada 2007. UNICEF
menyimpulkan, cakupan ASI eksklusif enam bulan di Indonesia masih jauh dari
rata-rata dunia, yaitu 38% (Riskesdas 2010).
Pemberian ASI sejak bayi lahir akan berkembang menjadi anak yang
cerdas. Kandungan asam lemak omega-3 dan omega-6 yang terkandung di
dalam ASI sangat berperan dalam penyusunan sel-sel otak (Khomsan &
Ridhayani 2008). Penelitian oleh James W. Anderson, seorang ahli dari
universitas Kentucky menunjukkan bahwa kemampuan otak pada bayi yang
diberi ASI lebih baik daripada bayi yang diberi susu buatan pabrik. Berdasarkan
hasil penelitian ditetapkan bahwa ASI yang diberikan hingga 6 bulan bermanfaat
bagi kecerdasan bayi, dan anak yang disusui kurang dari 8 minggu tidak
memberi manfaat pada IQ (Yahya 2005 dalam Mindasa 2007).
Mencapai
tumbuh kembang yang optimal dibutuhkan zat gizi yang adekuat melalui
pemberian makanan yang sesuai dengan tingkat kemampuan konsumsi anak,
tepat jumlah (kuantitas) dan tepat mutu (kualitas), oleh karena kekurangan
maupun kelebihan zat gizi, akan menimbulkan gangguan kesehatan, status gizi
maupun tumbuh kembang (Samsuddin 2002 dalam Nilawati 2006). Menurut
Brown dan Pollit (1996) menyatakan bahwa pengaruh asupan zat gizi terhadap
gangguan perkembangan anak melalui menurunnya status gizi. Status gizi yang
kurang tersebut akan menimbulkan kerusakan otak, sakit, dan penurunan
pertumbuhan
fisik.
Ketiga
keadaan
ini
akan
berpengaruh
terhadap
perkembangan intelektual. Gangguan perkembangan yang tidak normal antara
lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan
motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial.
Inteligensi atau kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam arti kapasitas
yang dimiliki individu sehingga memungkinkan seseorang untuk belajar,
memecahkan masalah, dan melakukan tugas-tugas kognitif tingkat tinggi lainnya.
3
Kecerdasan setiap orang berbeda-beda, ada yang cepat memahami apa yang
dipelajari dan ada juga yang lamban dalam memahami apa yang dipelajari.
Kecerdasan setiap orang dapat dilihat dari hasil yang dicapai atau biasa disebut
dengan prestasi. Prestasi belajar setiap orang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain tingkat intelegensi dan fasilitas belajar (Suryabrata 2005). Hasil
dari intelegensi setiap orang khususnya siswa dapat diperoleh dengan cara
mengukur intelegensi atau biasa disebut dengan tes IQ.
Pemenuhan fasilitas belajar yang baik dapat mendorong siswa untuk rajin
belajar. Fasilitas belajar sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa karena
pemenuhan fasilitas belajar yang memadai dan lengkap akan mendorong siswa
untuk
mendapat hasil yang
maksimal
(Suryabrata 2005).
Berdasarkan
persentase cakupan ASI yang masih rendah dan ada atau tidak hubungannya
dengan kecerdasan anak, serta ada atau tidak hubungannya konsumsi pangan
dan fasilitas belajar terhadap prestasi belajar anak, peneliti tertarik untuk
mempelajari hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan
fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak di SDN 09 Pagi
Jakarta Utara.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap
kecerdasaan logika-matematika anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik orangtua (usia, besar keluarga, tingkat pendidikan,
pendapatan, dan pekerjaan) dan siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (usia,
jenis kelamin, uang saku, dan status gizi).
2. Mempelajari praktek pemberian ASI di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (praktek
ASI dan alasannya, durasi pemberian ASI, pemberian susu non-ASI).
3. Mengetahui kecerdasan logika-matematika siswa di SDN 09 Pagi Jakarta
Utara (IQ dan prestasi belajar matematika).
4. Mengidentifikasi kebiasaan konsumsi pangan siswa.
5. Mengidentifikasi fasilitas belajar siswa.
6. Menganalisis hubungan antara praktek pemberian ASI, pola konsumsi
pangan, fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak.
4
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah praktek pemberian ASI, pola konsumsi
pangan,
dan fasilitas belajar
berhubungan dengan kecerdasan logika-
matematika.
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pentingnya, praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar
terhadap kecerdasan logika-matematika anak. Penelitian ini juga diharapkan
dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya serta
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan pada khususnya untuk
lebih memperhatikan praktek pemberian ASI, konsumsi pangan, dan fasilitas
belajar sehingga dapat meningkatkan kecerdasan logika matematika anak.
Selain itu, informasi ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Praktek Pemberian ASI (0 - 2 Tahun)
ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI mengandung semua zat
gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi
selama enam bulan (Roesli 2000). ASI merupakan jaringan kehidupan yang tidak
terstruktur, seperti darah, dan dapat mentransportasikan zat gizi yang digunakan
untuk sistem biokimia, memperkuat sistem imunitas dan menghancurkan
pathogen (Riordan 2005). Menurut Muchtadi (2002) ASI merupakan makanan
satu-satunya yang eksklusif bagi bayi di tahun pertama kehidupannya.
ASI juga merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena
mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang
dibuat oleh manusia ataupun yang berasal dari susu hewan, seperti susu sapi,
susu kerbau, atau susu kambing (Krisnatuti et al. 2006). Eckhardt et al. (2001)
menyatakan bahwa pemberian ASI secara penuh selama minimal empat bulan
pertama dapat meningkatkan pertumbuhan fisik bayi. Pemberian ASI dapat
menumbuhkan kasih sayang dan ikatan emosional antara ibu dan bayinya, yang
sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak di kemudian hari
(Sulistijani dan Herlianty 2003).
ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara
langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya
kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat
(Gibney et al. 2005). ASI eksklusif yakni memberikan ASI saja sampai anak
berusia 6 bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu-ibu di perkotaan.
Kesibukan karir menjadi hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya
dengan sempurna. Selain itu, ada juga ibu-ibu yang tidak bisa menyusui anaknya
karena putting tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004).
Pentingnya pemberian ASI telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI
dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 1990an, mulai dengan
kampanye pemberian ASI eksklusif 4 bulan, kemudian dilanjutkan dengan
kampanye pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan.
Menurut petunjuk Bina Gizi Masyarakat, pengertian ASI eksklusif adalah
hanya memberikan ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan. Bahkan pemberian
ASI harus dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun yang tentunya disertai
dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai (Nurmiati dan Besral 2008).
Pertemuan bersama antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1990 di
6
Italia menghasilkan Deklarasi Innocenti tentang Perlindungan, Promosi, dan
Dukungan pada Pemberian ASI. Deklarasi tersebut mendefinisikan bahwa
pemberian makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari
saat lahir hingga bayi berusia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua
kehidupan, sementara makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika
bayi berusia 6 bulan (Gibney et al. 2005). Dukungan pemerintah Indonesia
terhadap hal tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti Gerakan
Nasional Perancangan PP-ASI serta Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas
Sayang Bayi (Depkes RI 2004). Roesli (2000) menjelaskan bahwa ASI sebagai
makanan tunggal yang memenuhi kebutuhan bayi normal sampai usia 6 bulan.
Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI
dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih.
Kandungan Gizi ASI
ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu
formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada
susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah
dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial,
asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang
mencukupi kebutuhan bayi (Brown et al. 2005). Perbandingan kontribusi energi
dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain
Zat Gizi Makro
ASI
Formula Susu Sapi
Formula Susu Kedelai
(Kalori)
(Kalori)
(Kalori)
Protein
7%
9-12%
11-13%
Karbohidrat
38%
41-43%
39-45%
Lemak
55%
48-50%
45-49%
Sumber: Brown et al. 2005
Durasi Pemberian ASI
WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI
eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO
menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6 bulan
(Gibney et al. 2005). Fawtrell et al. (2007) mendukung hal ini melalui hasil
penelitian yang menyatakan bahwa durasi ASI eksklusif selama 6 bulan lebih
optimal dibandingkan 3-4 bulan. The U.S Surgeon General merekomendasikan
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan,
dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005).
7
Eastwood (2003) menyatakan pada usia 4-6 bulan bayi membutuhkan makanan
MP-ASI karena hanya sedikit ibu yang mampu memproduksi ASI secara cukup
untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Penelitian Wigati (2005)
menunjukkan
bahwa
pemenuhan
zat-zat
gizi
yang
dibutuhkan
untuk
mengotimalkan kecerdasan pada periode tumbuh otak adalah melalui pemberian
ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai waktu ideal (24 bulan).
Menurut Nurmiati dan Besral (2008) menyatakan bahwa ketahanan hidup bayi
yang mendapatkan ASI dengan durasi >6 bulan 33.3 kali lebih baik daripada bayi
yang mendapatkan ASI dengan durasi
AULIA MASRUROH. Correlation Between Breast-Feeding Practice, Food
Consumption Patterns, and Learning Facilities with Logical-Mathematic
Intelligence of Students at SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Under supervision of ALI
KHOMSAN.
The aims of study was to know correlation between practice of breastfeeding, food consumption patterns, and learning facilities with logicalmathematic intelligence of students at SDN 09 Pagi Jakarta Utara. The study
design used cross-sectional study. The total sample consists of 38 students of 4th
grade. There was significant correlation between breast-feeding duration
(p=0.000), exclusive breast-feeding duration (p=0.000), and mother‟s education
(p=0.031) with IQ, while energy adequacy level (p=0.039), protein adequacy level
(p=0.017), animal protein consumption frequency (p=0.000), doing homework at
home (p=0.000), repeating the lesson (p=0.000), studying accompanied by
parents (p=0.000), owning learning room (p=0.000), owning school stationery
(0.000), owning desk for studying (p=0.000), IQ (p=0.002), and age (p=-0.042)
had significant and positive correlation with students mathematic report score.
There was significant correlation between protein adequacy level (p=0.033),
animal protein consumption frequency (p=0.000), doing homework at home
(p=0.000), repeating the lesson (p=0.000), studying accompanied by parents
(p=0.000), owning learning room (p=0.000), owning school stationery (p=0.000),
owning desk for studying (p=0.000), and IQ (p=0.011) with students‟ mathematic
learning test result. There was no significant correlation between nutritional status
(p=0.301), sex (p=0.061), pocket money (p=0.826), father‟s education (p=0.825),
mother‟s education (p=0.205), and family‟s income (p=0.865) with mathematic
report score. There was no correlation between energy sufficient level (p=0.073),
nutritional status (p=0.807), sex (p=0.078), pocket money (p=0.789), age
(p=0.097), father‟s education (p=0.995), mother‟s education (p=0.090), family‟s
income (p=0.596) with students learning test result.
Keywords : Breastfeeding, Food Consumption, Nutrition Status, Intelligence
Quotient
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hakikat manusia pada umumnya tidak bisa lepas dari orang lain, begitu
pula dengan anak manusia banyak memerlukan pertolongan dari kedua
orangtua. Peran orangtua sangat dominan terutama ibu. Ibu yang mengandung,
melahirkan, menyusui, membesarkan, dan membimbing. Dalam hal menyusui,
seorang ibu harus pandai dan selektif terutama dalam memanfaatkan karunia
illahi yaitu dengan memberikan ASI pada anaknya. Selain itu, ibu juga harus
selektif
dalam
memilih
makanan
yang
baik
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangan anaknya, karena anak merupakan asset bangsa, pewaris
sekaligus sebagai generasi penerus bangsa. Oleh sebab itu anak diharapkan
dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya sehingga menjadi orang dewasa
yang sehat secara fisik, mental, sosial, dan emosionalnya dapat berkembang
secara optimal sehingga menjadi SDM yang berkualitas. Menurut Bierley dalam
Megawangi et al. (2005) menyatakan bahwa bukti dari penelitian otak
menunjukkan
potensi,
fleksibilitas,
dan
kelenturan
otak
anak-anak
menggambarkan dengan jelas akan pentingnya masa-masa prasekolah dan
sekolah dasar.
Menurut WHO-UNICEF pada tahun 2002 dalam Global Strategy for Infant
and Young Child Feeding menerapkan cara pemberian makan pada bayi yang
baik dan benar yaitu menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan
umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan dan mulai
umur 6 bulan, bayi mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Data
Susenas (2007-2008) cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan di
Indonesia menunjukkan penurunan dari 62.2% (2007) menjadi 56.2% (2008).
Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun
dari 28.6% (2007) menjadi 24.3% (2008). Sementara jumlah bayi di bawah enam
bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16.7 persen pada 2002 menjadi
27.9 persen pada 2003 (Riskesdas 2010).
Berdasarkan hasil penelitian UNICEF di Indonesia setelah krisis ekonomi
dilaporkan bahwa hanya 14% bayi yang disusui dalam 12 jam setelah kelahiran.
Kolostrum dibuang oleh kebanyakan ibu karena dianggap kotor dan tidak baik
bagi bayi. UNICEF juga mencatat penurunan yang tajam dalam menyusui
berdasarkan tingkat umur diketahui bahwa 63% sejumlah bayi disusui hanya
pada bulan pertama, 45% bulan kedua, 30% bulan ketiga, 19% bulan keempat,
2
12% bulan kelima dan hanya 6% pada bulan keenam bahkan lebih dari 200.000
bayi atau 5% dari populasi bayi di Indonesia saat itu tidak disusui sama sekali
(Kamalia 2005).
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dari 1997 hingga
2002, jumlah bayi usia enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menurun
dari 7.9% menjadi 7.8%. Sementara itu, hasil SDKI 2007 menunjukkan
penurunan jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif hingga 7.2%. Pada saat
yang sama, jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula
meningkat dari 16.7% pada 2002 menjadi 27.9% pada 2007. UNICEF
menyimpulkan, cakupan ASI eksklusif enam bulan di Indonesia masih jauh dari
rata-rata dunia, yaitu 38% (Riskesdas 2010).
Pemberian ASI sejak bayi lahir akan berkembang menjadi anak yang
cerdas. Kandungan asam lemak omega-3 dan omega-6 yang terkandung di
dalam ASI sangat berperan dalam penyusunan sel-sel otak (Khomsan &
Ridhayani 2008). Penelitian oleh James W. Anderson, seorang ahli dari
universitas Kentucky menunjukkan bahwa kemampuan otak pada bayi yang
diberi ASI lebih baik daripada bayi yang diberi susu buatan pabrik. Berdasarkan
hasil penelitian ditetapkan bahwa ASI yang diberikan hingga 6 bulan bermanfaat
bagi kecerdasan bayi, dan anak yang disusui kurang dari 8 minggu tidak
memberi manfaat pada IQ (Yahya 2005 dalam Mindasa 2007).
Mencapai
tumbuh kembang yang optimal dibutuhkan zat gizi yang adekuat melalui
pemberian makanan yang sesuai dengan tingkat kemampuan konsumsi anak,
tepat jumlah (kuantitas) dan tepat mutu (kualitas), oleh karena kekurangan
maupun kelebihan zat gizi, akan menimbulkan gangguan kesehatan, status gizi
maupun tumbuh kembang (Samsuddin 2002 dalam Nilawati 2006). Menurut
Brown dan Pollit (1996) menyatakan bahwa pengaruh asupan zat gizi terhadap
gangguan perkembangan anak melalui menurunnya status gizi. Status gizi yang
kurang tersebut akan menimbulkan kerusakan otak, sakit, dan penurunan
pertumbuhan
fisik.
Ketiga
keadaan
ini
akan
berpengaruh
terhadap
perkembangan intelektual. Gangguan perkembangan yang tidak normal antara
lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan
motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial.
Inteligensi atau kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam arti kapasitas
yang dimiliki individu sehingga memungkinkan seseorang untuk belajar,
memecahkan masalah, dan melakukan tugas-tugas kognitif tingkat tinggi lainnya.
3
Kecerdasan setiap orang berbeda-beda, ada yang cepat memahami apa yang
dipelajari dan ada juga yang lamban dalam memahami apa yang dipelajari.
Kecerdasan setiap orang dapat dilihat dari hasil yang dicapai atau biasa disebut
dengan prestasi. Prestasi belajar setiap orang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain tingkat intelegensi dan fasilitas belajar (Suryabrata 2005). Hasil
dari intelegensi setiap orang khususnya siswa dapat diperoleh dengan cara
mengukur intelegensi atau biasa disebut dengan tes IQ.
Pemenuhan fasilitas belajar yang baik dapat mendorong siswa untuk rajin
belajar. Fasilitas belajar sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa karena
pemenuhan fasilitas belajar yang memadai dan lengkap akan mendorong siswa
untuk
mendapat hasil yang
maksimal
(Suryabrata 2005).
Berdasarkan
persentase cakupan ASI yang masih rendah dan ada atau tidak hubungannya
dengan kecerdasan anak, serta ada atau tidak hubungannya konsumsi pangan
dan fasilitas belajar terhadap prestasi belajar anak, peneliti tertarik untuk
mempelajari hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan
fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak di SDN 09 Pagi
Jakarta Utara.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap
kecerdasaan logika-matematika anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik orangtua (usia, besar keluarga, tingkat pendidikan,
pendapatan, dan pekerjaan) dan siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (usia,
jenis kelamin, uang saku, dan status gizi).
2. Mempelajari praktek pemberian ASI di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (praktek
ASI dan alasannya, durasi pemberian ASI, pemberian susu non-ASI).
3. Mengetahui kecerdasan logika-matematika siswa di SDN 09 Pagi Jakarta
Utara (IQ dan prestasi belajar matematika).
4. Mengidentifikasi kebiasaan konsumsi pangan siswa.
5. Mengidentifikasi fasilitas belajar siswa.
6. Menganalisis hubungan antara praktek pemberian ASI, pola konsumsi
pangan, fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak.
4
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah praktek pemberian ASI, pola konsumsi
pangan,
dan fasilitas belajar
berhubungan dengan kecerdasan logika-
matematika.
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pentingnya, praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar
terhadap kecerdasan logika-matematika anak. Penelitian ini juga diharapkan
dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya serta
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan pada khususnya untuk
lebih memperhatikan praktek pemberian ASI, konsumsi pangan, dan fasilitas
belajar sehingga dapat meningkatkan kecerdasan logika matematika anak.
Selain itu, informasi ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Praktek Pemberian ASI (0 - 2 Tahun)
ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI mengandung semua zat
gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi
selama enam bulan (Roesli 2000). ASI merupakan jaringan kehidupan yang tidak
terstruktur, seperti darah, dan dapat mentransportasikan zat gizi yang digunakan
untuk sistem biokimia, memperkuat sistem imunitas dan menghancurkan
pathogen (Riordan 2005). Menurut Muchtadi (2002) ASI merupakan makanan
satu-satunya yang eksklusif bagi bayi di tahun pertama kehidupannya.
ASI juga merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena
mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang
dibuat oleh manusia ataupun yang berasal dari susu hewan, seperti susu sapi,
susu kerbau, atau susu kambing (Krisnatuti et al. 2006). Eckhardt et al. (2001)
menyatakan bahwa pemberian ASI secara penuh selama minimal empat bulan
pertama dapat meningkatkan pertumbuhan fisik bayi. Pemberian ASI dapat
menumbuhkan kasih sayang dan ikatan emosional antara ibu dan bayinya, yang
sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak di kemudian hari
(Sulistijani dan Herlianty 2003).
ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara
langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya
kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat
(Gibney et al. 2005). ASI eksklusif yakni memberikan ASI saja sampai anak
berusia 6 bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu-ibu di perkotaan.
Kesibukan karir menjadi hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya
dengan sempurna. Selain itu, ada juga ibu-ibu yang tidak bisa menyusui anaknya
karena putting tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004).
Pentingnya pemberian ASI telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI
dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 1990an, mulai dengan
kampanye pemberian ASI eksklusif 4 bulan, kemudian dilanjutkan dengan
kampanye pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan.
Menurut petunjuk Bina Gizi Masyarakat, pengertian ASI eksklusif adalah
hanya memberikan ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan. Bahkan pemberian
ASI harus dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun yang tentunya disertai
dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai (Nurmiati dan Besral 2008).
Pertemuan bersama antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1990 di
6
Italia menghasilkan Deklarasi Innocenti tentang Perlindungan, Promosi, dan
Dukungan pada Pemberian ASI. Deklarasi tersebut mendefinisikan bahwa
pemberian makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari
saat lahir hingga bayi berusia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua
kehidupan, sementara makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika
bayi berusia 6 bulan (Gibney et al. 2005). Dukungan pemerintah Indonesia
terhadap hal tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti Gerakan
Nasional Perancangan PP-ASI serta Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas
Sayang Bayi (Depkes RI 2004). Roesli (2000) menjelaskan bahwa ASI sebagai
makanan tunggal yang memenuhi kebutuhan bayi normal sampai usia 6 bulan.
Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI
dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih.
Kandungan Gizi ASI
ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu
formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada
susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah
dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial,
asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang
mencukupi kebutuhan bayi (Brown et al. 2005). Perbandingan kontribusi energi
dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain
Zat Gizi Makro
ASI
Formula Susu Sapi
Formula Susu Kedelai
(Kalori)
(Kalori)
(Kalori)
Protein
7%
9-12%
11-13%
Karbohidrat
38%
41-43%
39-45%
Lemak
55%
48-50%
45-49%
Sumber: Brown et al. 2005
Durasi Pemberian ASI
WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI
eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO
menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6 bulan
(Gibney et al. 2005). Fawtrell et al. (2007) mendukung hal ini melalui hasil
penelitian yang menyatakan bahwa durasi ASI eksklusif selama 6 bulan lebih
optimal dibandingkan 3-4 bulan. The U.S Surgeon General merekomendasikan
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan,
dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005).
7
Eastwood (2003) menyatakan pada usia 4-6 bulan bayi membutuhkan makanan
MP-ASI karena hanya sedikit ibu yang mampu memproduksi ASI secara cukup
untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Penelitian Wigati (2005)
menunjukkan
bahwa
pemenuhan
zat-zat
gizi
yang
dibutuhkan
untuk
mengotimalkan kecerdasan pada periode tumbuh otak adalah melalui pemberian
ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai waktu ideal (24 bulan).
Menurut Nurmiati dan Besral (2008) menyatakan bahwa ketahanan hidup bayi
yang mendapatkan ASI dengan durasi >6 bulan 33.3 kali lebih baik daripada bayi
yang mendapatkan ASI dengan durasi