Hormonal Induction maturation of Rice Field Eel (Monopterus albus)

INDUKSI MATURASI BELUT SAWAH (Monopterus albus)
SECARA HORMONAL

WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Induksi Maturasi Belut
Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Juli 2013

Wiwin Kusuma Atmaja Putra
NRP C151110111

ii

RINGKASAN

WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA. Induksi Maturasi Belut Sawah
(Monopterus albus) Secara Hormonal. Dibimbing AGUS OMAN SUDRAJAT
dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.
Belut sawah (Monopterus albus) bersifat hermaprodit protogini. Permasalahan
pada ikan betina adalah kegagalan dalam proses pematangan gonad, ovulasi dan
pemijahan. Belut sawah dengan panjang total 22±2 cm disuntik dengan hormon
Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PMSG), human Chorionic Gonadotropin
(hCG) dan antidopamin (AD). Penelitian ini bertujuan untuk menginduksi
pematangan gonad dan menentukan status kelamin belut sawah. Penelitian ini
menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tujuh perlakuan
hormon dan tujuh ulangan, seperti: K (NaCl 0,95%), hormon PMSG 20 IU/kg

bobot ikan, hormon hCG 20 IU/kg bobot ikan, antidopamin (AD) 0.01 mg/kg
bobot ikan, hormon PMSG 20 IU+hCG 10 IU/kg bobot ikan, PMSG 20 IU+AD
0.01 mg/kg bobot ikan dan hCG 20 IU+AD 0.01 mg/kg bobot ikan. Akuarium
yang digunakan sebanyak tujuh buah dengan ukuran 79x38x40cm. Hasil
penelitian yang terbaik adalah perlakuan kombinasi hormone PMSG dan
antidopamin dengan konsentrasi hormon estradiol-17β sebesar 235.2 sampai
42.53 pg/ml; nilai GSI sebesar 0.17 sampai 4.36%; nilai HSI sebesar 2.07 sampai
3.52%; diameter telur sebesar 0.48 sampai 3.07 mm; tingkat kematangan gonad
mencapai TKG IV; fekunditas sebanyak 128 butir; pertambahan panjang 0 cm;
pertambahan bobot tubuh sebesar 1.84 g; tingkat kebuntingan 100% dan status
kelamin seluruhnya betina. Hasil ini dikarenakan FSH yang terkandung dalam
PMSG merangsang peningkatan FSH, konsentrasi estradiol-17β akibat kinerja
enzim aromatase, sehingga proses vitellogenesis yang lebih cepat selama 4
minggu, teramati pada peningkatan GSI, HSI, diameter telur, tingkat kematangan
gonad, fekunditas, pertambahan bobot tubuh yang tinggi dan status kelamin.
Kesimpulan penelitian ini adalah induksi maturasi belut sawah dapat dilakukan
dengan penyuntikkan PMSG 20IU +AD 0.01 mg/kg selama empat minggu. Belut
sawah ukuran panjang 22±2 cm dan bobot sekitar 5 sampai 12 g yang diinduksi
dengan PMSG+AD adalah berstatus betina (matang gonad).
Kata kunci: Antidopamin, belut sawah, hCG, maturasi, PMSG


iii

SUMMARY

WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA. Hormonal Induction maturation of Rice
Field Eel (Monopterus
Monopterus albus).
albus Guided AGUS OMAN SUDRAJAT and NUR
BAMBANG PRIYO UTOMO
Rice field eel (Monopterus albus) are hermaphroditic protogynous. In the female
fish, often there is a failure in the process of final gonadal maturation, ovulation
and spawning. Rice field eel with a total length of 22±2 cm by injecting
inject
of
hormones Pregnan Mare Serum Gonadotropin (PSMG), human chorionic
gonadotropin (hCG) and antidopamine (AD). This study aimed to induce gonadal
maturation and determine the status sex of rice field eel. This study uses a
completely randomized
ndomized design (RAL) with seven treatments and seven reaply such

as: Controls (0.95% NaCl
NaCl), PMSG 20 IU/kg weight of fish, hCG 20 IU/kg weight
of fish, AD 0.01 mg/kg
/kg of fish, PMSG 20 IU/kg+hCG 10 IU/kg weight of fish,
PMSG 20 IU/kg+AD 0.01 mg/kg weight of fish, and hCG 20 IU/kg +AD 0.01
mg/kg weight of fish. Aquarium used as many seven pieces with size of 79x38x40
cm. The result is best hormone combination treatment PMSG and antidopamin
with hormone concentrations
concentrat
of estradiol-17β 235.2 to 35.43 pg/ml; GSI values
0.17 to 4.36%; HSI values 2.07 to 3.52%; egg diameter 0.48 to 3.07 mm; gonad
maturity level TKG IV;
IV fecundity 128 eggs; length 0 cm; weights 1.84 g;
pregnancy rate 100%;; and sex status all female. This result because of FSH
contained in PMSG stimulates an increase FSH, estradiol-17β
17β concentration
caused performance of the enzyme aromatase so that affects vitellogene
vitellogenesis
process faster for 4 weeks, look at increasing GSI, HSI, egg diameter, gonad
maturity, fecundity, body weight gain was observed and sexual status.

status The
conclusion of this study is the induction of maturation eel rice can be done with
PMSG 20IU+AD 0.01 mg/k
mg/kg injection for four weeks. Sex status of rice field eel
with a length of 22±22 cm and weight of about 5 g until 12 g hormonal induction
results are females (mature).
(mature)
Keywords:
ords: Rice field eel, maturation, PMSG, hCG,
hC antidopamine

iv

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

v

INDUKSI MATURASI BELUT SAWAH (Monopterus albus)
SECARA HORMONAL

WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

vi

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Odang Carman MSc

vii

Judul Tesis
Nama
NIM

: Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara
Hormonal
: Wiwin Kusuma Atmaja Putra
: C151110111

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Agus Oman Sudrajat, MSc
Ketua

Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Departemen
Budidaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sukenda, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:


viii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah
Induksi Maturasi Belut Sawah (Monopterus albus) Secara Hormonal yang telah
dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai Juni 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Oman Sudrajat,
MSc dan Bapak Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo, MSi selaku dosen pembimbing
yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam mengatasi
permasalahan dalam penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada
Dr Ir Odang Carman MSc yang telah meluluskan dalam Ujian Tesis. Kepada
Bapak Maranta, kang Abeng, Mbak Lina, Ahya, Farah Diana, Epro Barades, dan
Yudha Lestira D, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dalam
pengambilan data, analsis dan peminjaman alat Laboratorium. Ungkapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan Ayu Puspitasari yang
telah memberi semangat dan doanya sehingga karya ilmiah ini selesai.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi mahasiswa, petani dan peneliti
lainnya, amin.


Bogor,

Juli 2013

Wiwin Kusuma Atmaja Putra

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

ix
x
xi

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tujuan

1
1
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Belut
Tingkat Kematangan Gonad
Mekanisme Hormon Reproduksi Ikan
Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG)
Hormon Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
Antidopamin
Kebiasaan Makan dan Pakan Belut

2
2
3
4
6
6
7
8

3 METODE
Bahan
Lokasi dan Waktu Penelitian
Prosedur Penelitian
Analisis Data

9
9
9
9
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

15
15
25

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

29
29
29

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

30
35
42

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kualitas air media penelitian belut sawah
Tabel 4.1 Perkembangan tingkat kematangan gonad belut sawah
pada setiap perlakuan selama penelitian
Tabel 4.2 Jumlah belut sawah pada tingkat kematangan gonad
setiap minggu hasil induksi hormonal

15
16
19

x

Tabel 4.3 Status kelamin dan ciri-ciri belut sawah matang gonad
hasil induksi hormonal

24

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10
Gambar 4.11
Gambar 4.12
Gambar 4.13
Gambar 4.14
Gambar 4.15
Gambar 4.16
Gambar 4.17
Gambar 4.18
Gambar 4.19
Gambar 4.20

Belut sawah (Monopterus albus)
2
Mekanisme hormon reproduksi ikan
5
Tahap perkembangan telur pada ikan
5
Mekanisme antidopamin (Domperidone)
7
Cacing tubifex
8
Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi
Hormonal
15
Nilai GSI belut sawah setiap minggu hasil induksi
hormonal
16
Nilai HSI belut sawah setiap minggu hasil induksi
hormonal
16
Nilai GSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu
ke-4
17
Nilai HSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu
ke-4
17
Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah
belut sawah
18
Diameter telur belut sawah hasil induksi secara
hormonal
18
Tingkat kematangan gonad belut sawah setiap minggu 19
Gonad dan hati belut sawah pada minggu ke-0 dan
minggu ke-1
20
Histologi gonad belut sawah minggu ke-0 dan setiap
perlakuan pada minggu ke-1
20
Hati dan gonad belut sawah pada minggu ke-4
21
Histologi gonad belut sawah setiap perlakuan pada
minggu ke-4
21
Fekunditas belut sawah pada minggu ke-4
22
Pertambahan panjang dan bobot tubuh belut sawah
selama penelitian
22
Pertambahan bobot tubuh belut sawah pada minggu
ke-4
23
Pertambahan panjang tubuh belut sawah pada minggu
ke-4
23
Warna perut perut dan anus belut sawah yang belum
matang gonad
24
Warna perut dan anus belut sawah yang matang gonad 24
Hati dan gonad yang belum matang serta telur berwarna
bening
25
Hati dan gonad yang matang gonad serta telur berwarna
Kuning
25

xi

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampiran 11

Data Gonado Somatik Indeks (GSI) belut sawah setiap
minggu selama penelitian
Data dan analisis Gonado Somatik Indeks (GSI)
belut sawah pada minggu ke-4
Data Hepatosomatik Indeks belut sawah setiap minggu
selama penelitian
Analisis nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) belut sawah
pada minggu ke-4
Data konsentrasi estradiol-17β belut sawah setiap
minggu selama penelitian
Data diameter telur belut sawah setiap minggu selama
penelitian
Data pertambahan bobot dan panjang tubuh belut sawah
setiap minggu selama penelitian
Data dan analisis pertambahan bobot tubuh belut sawah
pada minggu ke-4
Data dan analisis pertambahan panjang belut sawah pada
Minggu ke-4
Biaya pembuatan hormon perlakuan pada penelitian
Mekanisme kerja hormon perlakuan induksi maturasi
belut sawah

35
36
37
37
38
38
38
39
40
41
41

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Belut sawah (Monopterus albus) bersifat hermaprodit protogini dengan
perubahan jenis kelamin dari betina, interseks dan jantan (Ye et al. 2007). Ikan ini
dapat ditemukan di wilayah Asia, diantaranya India, Cina, Jepang , Indonesia dan
Malaysia (Froese dan Pauly 2009). Kebutuhan belut di Indonesia masih
mengandalkan penangkapan secara alami yang nantinya akan dipelihara untuk
pembesaran pada media lumpur. Penangkapan belut di alam berdampak negatif
pada ketersediaan belut (induk, benih dan jantan), reproduksi dan produksi benih
di alam semakin menurun. Zohar (1989) mengatakan bahwa hampir semua ikan
yang dipelihara dalam wadah budidaya menunjukkan berbagai bentuk kegagalan
reproduksi. Permasalah reproduksi pada ikan betina yang dipelihara dalam wadah
budidaya diantaranya, pertama, ikan tidak dapat melakukan vitellogenesis; kedua,
ikan tidak mampu melakukan proses pematangan akhir gonad (final oocyte
maturation, FOM); dan ketiga, ikan tidak mampu memijah sebagai tahap akhir
dari siklus reproduksi.
Pembenihan secara buatan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
permasalahan reproduksi ikan. Pembenihan belut sawah sangat bergantung pada
ketersediaan induk matang gonad, tetapi selama ini teknik pematangan gonad dan
status kelamin dari belut sawah belum diketahui. Induksi maturasi secara
manipulasi hormonal merupakan solusi untuk penyediaan induk belut sawah
matang gonad. Perkembangan awal gonad, vitellogenesis dikontrol oleh hormon
FSH dan untuk pematangan gonad-ovulasi oleh hormon LH (Nagahama 1994).
Mekanisme hormon reproduksi ikan pada musim pemijahan secara umum
dikendalikan oleh brain – hypothalamus – pituitary – gonad (Rottmann 1991).
Sinyal lingkungan seperti hujan, temperatur, media diterima oleh sistem syaraf
pusat (brain) dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan
melepaskan hormon Gonadotropin Releising Hormone (GnRH) dan dopamin
yang akan bekerja pada kelenjar hipofisa. Selanjutnya, hormon gonadotropin
yang mengandung FSH dan LH akan bekerja pada organ target yaitu gonad.
Hormon FSH berperan merangsang proses vitellogenesis sedangkan LH akan
merangsang proses maturasi hingga ovulasi (Gambar 2.2).
Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan human
Chorionic Gonadotropin (hCG) merupakan salah satu hormon gonadotropin yang
dapat menginduksi proses vitellogenesis dan pematangan akhir pada ikan.
Antidopamin adalah bahan kimia yang bekerja menghambat kerja dopamin,
sehingga sekresi GnRH akan meningkat. Mekasnisme kerja hormon dan bahan
kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah seperti pada Lampiran 11.
Hormon PMSG merupakan Chorionic gonadotropin merupakan hormon yang
berasal dari serum darah kuda betina hamil yang mengandung FSH dan LH,
dimana aktivitasnya lebih condong ke FSH daripada LH sedangkan hCG juga
mengandung FSH dan LH, dimana aktivitasnya lebih condong ke LH daripada
FSH . Induksi hormonal diharapkan mempercepat proses vitellogenesis dan
maturasi sehingga proses ovulasi dan pemijahan dapat dilakukan secara normal
diluar musim. Kriteria status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal

2

diharapkan dapan menjadi acuan penentuan status kelamin belut sawah yang
bersifat morfologi untuk mempermudah pemijahan.
Penyuntikan hormon PMSG pada ikan lele dumbo adalah 10 IU/kg bobot
ikan memberikan pengaruh ovulasi tetapi masih rendah (Rudiana 2000), pada ikan
tor soro dapat merangsang proses maturasi (Wahyuningsih 2012) dan pada ikan
medaka merangsang peningkatan kinerja enzim aromatase (Nagahama 1991).
Dosis terbaik penggunaan hormon PMSG+hCG pada ikan patin adalah 20 IU +10
IU per kg untuk proses rematurasi (Fibriana 2010). Pemberian hormon hCG
dengan dosis 241 sampai 400 IU/kg bobot tubuh ikan baung dapat merangsang
perkembangan, kematangan gonad, dan diameter telur (Nurmahdi 2005).
Menurut Epler et al. (1986), pada beberapa spesies hCG tidak efektif jika
diberikan sendiri karena perkembangan antibodi pada ikan yang disuntik tetapi
dalam kombinasi dengan PMSG atau kelenjar pituitari dapat merangsang ovulasi
ikan Plecoglassus altivelis, dan ikan koan. Penelitian terbaru dalam Wibisono
(2012), dimana penggunaan PMSG+AD dengan dosis 15 IU+0.05 mg/kg pada
belut sawah memberikan pengaruh positif pada nilai Gonado Somatik Indeks
(GSI) sebesar 2,36% dan memacu perkembangan gonad hingga tingkat
kematangan gonad (TKG) IV selama lima minggu. Induksi secara hormonal ini
diharapkan akan memicu proses maturasi hingga belut siap untuk ovulasi dan
memijah secara normal di luar musim pemijahan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
a. Menginduksi pematangan gonad belut sawah secara manipulasi hormonal
b. Penentuan status kelamin belut sawah hasil induksi hormonal.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Belut
Ada 3 jenis belut yang dikenal yaitu belut rawa (Synbranchus bengalensis),
belut sawah (Monopterus albus) dan belut laut (Macrotema caligans).

Gambar 2.1 Belut sawah (Monopterus albus) (Dokumentasi 2013)

3

Klasifikasi belut menurut Berra (2001) adalah sebagai berikut:
 Phylum
: Chordata
 Kelas
: Pisces
 Subkelas
: Teleostei
 Ordo
: Synbranchoidae
 Family
: Synbranchidae
 Genus
: Synbranchus
 Species
: Monopterus albus
Menurut Affandi (2003), jenis kelamin belut sawah pada kisaran panjang
15.6 sampai 28.5 cm (betina), panjang 30 sampai 36.5 cm (peralihan) dan
panjang lebih dari 40 cm (jantan). Chan dan Philips (1967), melakukan Penelitian
didaerah Chungking dan Hongkong mendapat panjang belut betina dibawah
29.9 cm dan jantan diatas 30 cm. Ciri – ciri induk belut sawah jantan dan betina
antara lain (Roy 2009), sebagai berikut :
Jantan
 Berukuran panjang lebih dari 40 cm
 Warna permukaan kulit lebih gelap
 Bentuk kepala tumpul
 Usianya lebih dari10 bulan.
Betina
 Berukuran panjang antara 20 sampai 30 cm
 Warna permukaan kulit lebih cerah
 Warna punggung hijau muda dan warna perut putih kekuningan
 Bentuk kepala runcing
 Usianya kurang dari 9 bulan.
Diameter telur belut sawah sekitar 3 sampai 4 mm, dengan masa fertilisasi
140 jam dan hatching rate 92.8% (Khanh et al. 2010). Menurut Affandi (2003),
fekunditas belut sawah sebanyak 69 sampai 696 butir, tidak jauh berbeda dengan
hasil yang diperoleh pada penelitian Yamin (1997) di daerah persawahan Cibeber,
Cianjur, Jawa Barat yakni 68 sampai 646 butir dan antara 54 sampai 585 butir di
persawahan daerah Parung, Bogor, Jawa Barat (Bahri 2000). Data tentang
fekunditas (jumlah telur/berat tubuh) cenderung berpola kuadratik artinya
meningkat dengan meningkatnya ketinggian (hingga ketinggian 400 m dpl) dan
diatas ketinggian 400 m dpl nilai fekunditas selanjutnya menurun kembali
(Affandi 2003). Habitat belut sawah adalah sawah yang berpengairan teknis
(cukup air), kaya akan bahan organik dan bersuhu relatif tinggi (>26 oC) (Yusniar
1996), nilai pH berkisar 6.5 sampai 7.0 (Affandi 2003). Kandungan Oksigen
terlarut (DO) yang baik untuk ikan sebesar 4.60 sampai 5.43 mg/L (Boyd 1990).

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Secara umum peningkatan bobot gonad betina ikan pada saat matang gonad
dapat mencapai 10 sampai 25% dari bobot tubuh dan 5 sampai 10% pada ikan
jantan (Effendie 1997). Perkembangan gonad pada ikan dibagi menjadi dua tahap
yaitu tahap pertumbuhan gonad sejak ikan menetas hingga mencapai tingkat
dewasa kelamin dan tahap kematangan gonad yang berlangsung setelah ikan

4

tersebut dewasa. Gonad akan semakin berat seiring dengan pertambahan ukuran
oosit karena vitellogenesis.
Menurut penelitian Bahri (2000), ciri-ciri tingkat kematangan gonad (TKG)
belut sawah adalah seperti berikut:
TKG I
: Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi telur lebih
besar dari proporsi jantan
TKG II
: Secara visual telur sudah terlihat, telur yang terlihat berukuran
sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 sampai 90% dari isi gonad
TKG III
: Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar
antara butiran telur masih rekat sehingga agak sukar dipisahkan,
proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad.
TKG IV
: Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran besar,
antara butiran telur sulit terpisah, gonad hampir seluruhnya berisi
dengan proporsi sperma sangat sedikit.
Intersex
: Kondisi dimana proporsi telur dan sperma sama besar.

Sistem Hormon Reproduksi pada Ikan
Menurut Swanson (2008) reproduksi pada ikan, seperti pada vertebrata
tingkat tinggi diatur oleh sistem endokrin reproduksi yang terdiri dari otak
(hypothalamus), kelenjar pituitari dan gonad. Kelenjar pituitari berperan dalam
menginisiasi pematangan reproduksi (puberty), pemeliharaan reproduksi sperma
dan telur pada gonad, merangsang pematangan akhir dan pengeluaran gamet
(spawning).
Faktor yang mempengaruhi reproduksi ikan diantaranya faktor lingkungan,
sistem hormon dan organ reproduksi. Vitellogenesis adalah proses induksi dan
sintesis vitelogenin di hati oleh hormon estradiol-17β, serta penyerapan
vitelogenin yang terbawa aliran darah ke dalam oosit (Tyler et al. 1991). Pada
vitellogenesis sinyal lingkungan seperti hujan, temperatur, media diterima oleh
sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus merespon dengan
melepaskan hormon GnRH untuk bekerja pada kelenjar hipofisa. Selanjutnya
hipofisa akan melepas hormon FSH yang bekerja pada lapisan teka pada oosit
sehingga terjadi sintesis testosteron pada lapisan teka. Setelah itu testosteron
masuk kedalam lapisan granulosa dan terjadi proses pengubahan testosteron
menjadi estradiol-17β oleh enzim aromatase. Selanjutnya estradiol-17β akan
merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning
telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju gonad dan secara selektif
terjadi penyerapan oleh lapisan folikel oosit (Nagahama 1983; Yaron 1995;
Blazquet et al. 1998). Akibat dari proses penyerapan vitelogenin adalah oosit akan
tumbuh membesar sampai kemudian berhenti bila telah mencapai ukuran yang
maksimum. Keadaan ini disebut fase dorman, dimana telur hanya menunggu
sinyal lingkungan untuk memijah. Aktifitas vitellogenesis ini menyebabkan nilai
GSI dan HSI ikan meningkat (Cerda et al. 1996). Sintesis vitelogenin dipengaruhi
oleh estradiol-17β yang merupakan stimulator dalam biosintesis vitelogenin.
Selain itu dipengaruhi juga oleh androgen yang ada dalam tubuh ikan, karena
androgen ini akan diubah menjadi estrogen oleh aeromatase hati (Peyon et al.
dalam Yaron 1995) dan diduga kandungan fitoestrogen pada pakan ikan seperti

5

kedelai dan alfa memberi pengaruh positif pada vitellogenesis ikan (Pelisero dan
Sumter dalam Yaron 1995). Menurut Yaron (1995), ketika proses vitellogenesis
tersebut berlangsung granula atau globul kuning telur bertambah dalam jumlah
dan ukurannya, sehingga volume oosit membesar.
Menurut Affandi et al. (2002), pada pematangan oosit akhir, dimulai dari
perpindahan germinal vesicle yang mudah terlihat dibawah mikroskop. Membran
germinal vesicle kemudian dipecah dan isinya bercampur dengan sitoplasma
sekelilingnya. Perubahan ini meliputi penggabungan butiran kecil lipida dan
globula kuning telur, pembesaran oosit yang berlangsung cepat akibat hidrasi
serta meningkatan kejernihan oosit. Proses Maturasi dan ovulasi dimulai saat
sinyal lingkungan diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke
hipotalamus. Hipotalamus akan melepas hormon Gonadotropin Releising
Hormone (GnRH) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisa. Pada tahap ini
hipofisa tidak mengsekrisikan hormon FSH, melainkan hormon LH yang juga
bekerja pada lapisan teka oosit. Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis
hormon 17α,20β-dihisroksiprogesteron (Maturation Inducting Steroid, MIS) oleh
enzim 20β-hidroksi steroid dehidrogenase. Selanjutnya seteroid akan merangsang
pembentukan faktor perangsang kematangan (Matiration Promoting Factor,
MPF) yang akan menyebabkan inti telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian
melebur. Setelah proses peleburan inti (Germinal Vesicle Break Down, GVBD),
lapisan folikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovari (Yaron 1995
dalam Zairin 2003) (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Mekanisme hormon reproduksi ikan pada tahap (A) vitellogenesis dan
(B) pematangan gonad, ovulasi (Nagahama 1994)
Perkembangan telur pada saat proses vitellogenesis seperti pada Gambar 2.3
dibawah ini:

Gambar 2.3 Tahap perkembangan telur pada ikan (Cabrita et al. 2009).

6

Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG)
Hormon PMSG adalah salah satu chorionic gonadotropin mamalia yang
sering digunakan pada budidaya ikan untuk merangsang vitellogenesis maupun
spermatogenesis (Hoars et al. 1983). Hormon PMSG memiliki pengaruh FSH
lebih kuat dibanding LH sehingga memberikan pengaruh kepada pemasakan
folikel. Hormon PMSG merangsang terjadinya lonjakan kadar GnRH yang
selanjutnya akan mempengaruhi pituitari untuk memproduksi gonadotropin.
Gonadotropin akan merangsang ovari untuk proses akhir pematangan telur pada
gonad ikan (Bolamba et al. 1992). Secara kimiawi PMSG mempunyai struktur
yang mirip FSH dan LH dengan bobot molekul 45000 sampai 65000 Da yang
terdiri atas 2 nonkovalen subunit, yaitu unit α dan subunit ß. Sub unit α tersusun
dari 96 asam amino, sementara sub unit ß tersusun dari 149 asam amino. Masa
paruh PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang
lainnya. Hal ini disebabkan kandungan karbohidrat yang tinggi, terutama pada
gugus asam sialat yang dimiliki PMSG. Penggunaan hormon PMSG ini dalam
meningkatkan ovulasi telah dilakukan pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
dengan kombinasi hormon hCG. Pertambahan persentase telur yang mengalami
matang tahap akhir dan telur yang mengalami ovulasi terus meningkat seiring
dengan peningkatan dosis PMSG. Fungsi PMSG itu sendiri terutama untuk
merangsang pertumbuhan folikel serta mematangkan folikel yang telah terbentuk
(Basuki 1990). Pada ikan medaka (Oryzias latipes), penggunaan 100 IU/mL
PMSG dalam media secara in vitro terhadap beberapa ovari mampu menstimuli
produksi estradiol-17ß pada tahap awal vitelogenin yang diamati pada umur 32
hari sebelum pemijahan. Hal ini menunjukkan bahwa PMSG dapat menginduksi
aktivitas aromatase folikel vitelogenin ikan medaka melalui sistem adenylate
cyclase-cAMP (Nagahama et al. 1991).

Hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG)
Hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG) adalah hormon
gonadotropin yang disintesis oleh sel-sel sinsitio-trophobiast dari palsenta dan
disekresikan dalam urin wanita hamil muda. Hormon ini merupakan hormon
glikoprotein yang mengandung FSH dengan bobot molekul 32000 dan
mengandung 236 asam amino sedangkan LH berbobot molekul 30000 mempunyai
2 rantai asam amino, 1 sub unit α yang dibentuk dari 96 asam amino dan 1 Sub
unit β terdiri dari 199 asam amino dan mengandung karbohidrat sebesar 18
sampai 45% (Combarnous 1988). Aktivitas hCG menyerupai LH dan sedikit
menyerupai FSH. Rantai α sama untuk hormon FSH dan LH, sedangkan rantai β
bersifat spesifik untuk setiap hewan tetapi kekuatan biologisnya akan semakin
menurun bila kedua subunit digabungkan (Groodsky 1984). Hormon hCG
merangsang peningkatan konsentrasi gonadotropin yang berfungsi pada proses
vitellogenessis dan kematangan akhir (Aida et al. 1991).
Hormon hCG sebagai gonadotropin langsung bekerja pada tingkat gonad
untuk menginduksi pematangan gonad akhir dan ovulasi dimana pengaruhnya
lebih cepat dari pada GnRH, namun sirkulasinya dalam tubuh ikan pendek
(Mylonas et al. 1996). Penelitian pengaruh hCG terhadap produksi estradiol-17β

7

pada ikan goldfish dengan dosis 10 IU dan 100 IU dapat merangsang produksi
estradiol-17β pada tingkat kuning telur sekunder dan primer sebesar 0.5 sampai
1.5 ng/ml (Kagawa et al. 1984). Menurut Zairin et al. (1992a), bahwa pada ikan
Clarias batrachus penggunaan hormon hCG dengan dosis 0.8 IU/g bobot tubuh
sukses merangsang ovulasi dan meningkatkan steroid plasma, khususnya
testosteron dan estradiol-17β dalam darah. Menurut Siregar (1999), penyuntikan
hCG secara berkala sebanyak enam kali selama 4 bulan pada ikan jambal siam
(Pangasius hypopthalamus F) dapat menstimulasi pematangan gonad dengan
dosis 50 IU (bobot 1000 g) maupun dosis 200 IU (bobot 500 g). Menurut Barry
(1995), secara in vitro, hormon hCG dapat menginduksi pematangan akhir oosit
bila dibandingkan LHRHa pada ikan walleye, (Suzostedion vitreun) sedangkan
penyuntikan secara intramuskuler dengan dosis 500 IU/kg dapat menstimulir
pematangan akhir oosit dan ovulasi.

Antidopamin (AD)
Dopamin menghambat sekresi GnRH (FSHRH), pematangan gonad dengan
menstimulasi sekresi hormon penghambat perkembangan gonad (GIH) dan bahan
kimia yang dapat menghambat kinerja dopamin adalah antidopamin. Chen et al.
(2003) dalam Harker (1992) yang menyatakan bahwa antidopamin adalah bahan
kimia yang dapat menghentikan kerja dopamin. Konsentrasi domperidone
10 mg/ml dalam ovaprim maupun dalam semua perlakuan spawnprim mampu
menghambat kerja dopamin dan mendukung mekanisme percepatan ovulasi
(Syndel Laboratories Ltd. 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Permana
(2009) yang menggunakan dosis domperidone yang sama dalam spawnprim dan
mampu merangsang ovulasi ikan sumatra (Puntius tetrazona). Demikian pula
percobaan penggunaan spawnprim oleh Hidayat (2010) yang mampu menginduksi
ovulasi ikan komet (Carassius auratus auratus) pada komposisi domperidone
10 mg/ml
Brain
Dopamine
GnRH +
Domperindone
(Ovaprim)
Gonadotropin
Hormone
Steroids and
Prostaglandin

X

Hypothalamus
Pituitary
Gonad

Final Maturation
and Release of Egg
dan Sperm

Gambar 2.4 Mekanisme antidopamin (Domperidone) (Yanong et al. 2009)

8

Kebiasaan Makan dan Pakan Alami Belut Sawah
Kebiasaan makan belut sawah tergantung dari individu, penyebaran
keberadaan makanan, dan kondisi perairan. Belut sawah dalam memangsa
makanannya, apabila berukuran lebih kecil dari rongga mulut akan langsung
ditelan, tetapi apabila ukuran mangsanya lebih besar akan dicabik atau dikoyak
terlebih dahulu baru ditelan. Belut sawah menangkap mangsanya dengan cara
menyergap hewan – hewan air yang melintas didekat sarang serta akan keluar dari
sarangnya apabila perburuan harus terpaksa dilakukan (Taufik 2009).
Bricking (2002) menyatakan bahwa belut sawah adalah predator yang
mencari makan ikan, cacing, crustacea dan hewan air kecil lainnya dimalam hari
(nocturnal). Menurut Putra (2010), pemberian pakan hewani berupa cacing
tubifex memberi pengaruh terhadap pertumbuhan mutlak, SGR, FCR dan
kelangsungan hidup berturut-turut sebesar 7.48±1.29 g, 1.09±0.18 g, 2.23±0.21
dan 91.68%. Menurut Affandi (2003), hasil analisis isi lambung mengungkapkan
bahwa ikan belut sawah termasuk ikan karnivora dengan makanan utama anelida
(di persawahan dataran rendah) dan larva insekta (di persawahan dataran tinggi).
Cacing tubifex merupakan salah satu pakan alami hewani belut sawah
dikarenakan memiliki protein tinggi dan banyak terdapat di sawah. Cacing tubifex
dikenal dengan nama cacing sutera atau cacing rambut yang memiliki tubuh lunak
dan sangat lembut. Panjang badan cacing tubifex antara 1 sampai 3 cm dengan
tubuh berwarna merah kecoklatan dan beruas. Cacing tubifex mempunyai
kandungan protein 57%, kadar air 80% dan lemak 13.3% (Istyanto 2002).
Klasifikasi Cacing tubifex adalah sebagai berikut:
Phylum
: Annelida
Kelas
: Oligochaeta
Ordo
: Haplotaxida
Family
: Tubificidae
Genus
: Tubifex
Spesies
: Tubifex sp.

Gambar 2.5 Cacing tubifex (Dokumentasi 2013)

9

3

METODE
Bahan

Penelitian ini menggunakan belut sawah dari Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) Baitul Ilmi di daerah Sentul dengan panjang 22±2 cm dan
bobot tubuh sekitar 5 sampai 12 g. Status belut adalah immature, berdasarkan
pengamatan morfologi (warna perut), pembedahan dilanjutkan histologi gonad
ukuran panjang 20 cm sampai 31 cm dan tinjauan pustaka jurnal tentang tingkat
kematangan gonad pada ukuran 20 sampai 24 cm sebelum penelitian dimulai.
Hormon yang digunakan adalah PMSG (Murni dan PG600), hCG (Prenil 1500IU)
dan antidopamin. Pakan yang digunakan adalah cacing tubifex.

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kolam Percobaan Babakan.
Pembuatan preparat histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis konsentrasi hormon estradiol-17β
dalam darah dengan uji ELISA di Laboratorium Hormon, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober
2012 sampai Juni 2013

Prosedur Penelitian
Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan tujuh perlakuan dan tujuh ulangan individu.
Perlakuan yang diterapkan diantaranya :
 K
: larutan NaCl 0.95% (dosis 1 ml/kg bobot ikan)
 P20
: PMSG (dosis 20 IU/kg bobot ikan)
 H20
: hCG (dosis 20 IU/kg bobot ikan)
 A10
: Antidopamin (AD) (dosis 0.01 mg/kg bobot ikan)
 P20H10
: PMSG+hCG (dosis 20 IU+10 IU/kg bobot ikan)
 P20A10
: PMSG+AD (dosis 20 IU+0.01 mg/kg bobot ikan)
 H20A10
: hCG+AD (dosis 20 IU+0.01 mg/kg bobot ikan)
Persiapan wadah
Akuarium yang digunakan sebanyak tujuh buah dengan ukuran 79x38x40
cm. Akuarium dibersihkan dengan menggunakan air hingga bersih, lalu dijemur.
Kemudian setelah kering diisi air setinggi 20 cm, dan diberi larutan kalium
permanganat (PK) dengan dosis 2 ppm dan didiamkan selama satu hari. Setelah
itu air didalam akuarium dibuang, kemudian dibilas dan diisi air setinggi 7 cm.
Akuarium yang telah berisi air diberi aerasi, hiter, pelindung berupa serutan tali

10

rafia dan paralon, kemudian diberi Oxcytetracyxlin (OTC) dengan dosis
0.5 gr/22.1 L volume air media penelitian.
Persiapan induk
Belut sawah diambil dari pembudidaya. Belut sawah kemudian direndam
larutan kalium permanganat dan dimasukkan ke bak aklimasi. Belut sawah
dibiarkan terlebih dahulu satu hari tanpa diberi pakan. Pemberian pakan dilakukan
pada hari berikutnya selama satu minggu. Aklimasi dilakukan dengan tujuan
adaptasi lingkungan, pakan dan seleksi. Setelah satu minggu, dipilih induk
sebanyak 49 ekor sebagai objek perlakuan.
Pemeliharaan pakan
Pakan yang diberikan pada penelitian ini adalah cacing tubifex. Cacing
tubifex dibersihkan dahulu dengan air. Cacing tubifex dipelihara menggunakan
baskom yag diberi air dan aerasi. Cara pemberiannya dengan menggunakan
wadah khusus untuk cacing tubifex yang diletakkan pada sisi akuarium.
Pembiusan dan penyuntikan
Pembiusan belut sawah dilakukan dengan obat bius stabilizer dengan dosis
1 ml/0,5 L air selama tiga menit, kemudian dilakukan penyuntikan secara
intramuscular dengan hormon yang ditentukan. Hormon yang disuntikan adalah
hormon perlakuan sesuai dengan dosis. Suntikan yang digunakan adalah ukuran
1 ml merk Terumo. Ikan yang telah disuntik dimasukkan pada wadah dengan
aerasi yang kuat selama 6 sampai 10 menit. Belut yang telah sadar dimasukkan
kedalam akuarium.
Pemeliharaan belut sawah
Pemberian pakan cacing tubifex sebanyak 3% dari bobot tubuh belut sawah per
akuarium setiap harinya. Pemberian pakan dilakukan pada masa adaptasi dan
penelitian (pagi, siang dan malam). Penyifonan dilakukan satu kali sehari yaitu
siang. Pergantian air dilakukan apabila kualitas air kurang baik (kotor).
Parameter uji
Bobot dan panjang tubuh belut
Belut sawah dibius terlebih dahulu sebelum dilakukan penimbangan bobot
dan pengukuran panjang tubuh. Pengukuran bobot tubuh dilakukan setiap minggu
selama penelitian (empat minggu) menggunakan timbangan digital dengan tingkat
ketelitian 0.01 g. Panjang badan diukur dengan menggunakan penggaris 30 cm.
Pengukuran panjang dan bobot tubuh belut sawah dilakukan sebelum
penyuntikkan. Data pertambahan panjang dan bobot tubuh pada akhir penelitian
dihitung dengan pengurangan data pada minggu ke-4 (M4) dengan minggu ke-0
(M0).

11

Konsentarasi estradiol-17β dalam darah belut sawah
Pengukuran konsentrasi estradiol-17β dalam darah dilakukan pada awal
(M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Mekanisme
pengambilan sampel darah adalah:
1. Ikan yang akan diambil darahnya dibius terlebih dahulu dengan cara
memasukkan satu persatu ke dalam air yang diberi larutan stabilizer
dengan dosis 1 ml/0,5 L selama 5 menit,
2. Ikan yang telah pingsan, darah diambil pada bagian pangkal ekor sebanyak
0.2 sampai 0.5 ml dengan menggunakan syiring 1 ml yang telah diberi
antikoagulan (larutan citrate-phosphate-dextrose, produk Laboratorium
Kesehatan Ikan), kemudian dimasukkan kedalam mikrotube volume 1.5
ml dan disimpan dalam kotak dingin (cool box).
3. Darah yang ditampung dalam mikrotube, kemudian disentrifuge pada
kecepatan 10000 rpm selama 5 sampai 10 menit.
4. Supernatan diambil dan dimasukkan kedalam mikrotube baru. Bila
pengukuran supernatan plasma tidak dilakukan secara langsung, sampel
disimpan dalam freezer pada suhu minus 4 oC.
Pengukuran konsentrasi hormon estradiol 17β belut sawah dalam plasma
darah dilakukan dengan menggunakan metode ELISA dengan Vidas ELISA kit
untuk 17-estradiol (REF 30 330) dengan langkah kerja sebagai berikut :
1. Semua reagen harus dibiarkan dalam suhu kamar (18 sampai 25 °C)
sebelum digunakan
2. Pipet 50 μl standar, sampel dan QC ke dalam Mikro Plate
3. Tambahkan 100 μl Estradiol Enzym Conjugate untuk tiap Mikro Plate,
kemudian shaker 2 sampai 5 menit
4. Inkubasi pada suhu 37 °C selama 2 jam
5. Setelah diinkubasi, buang larutan yang ada di Mikro Plate kemudian dicuci
dengan Washing Solution sebanyak 300 μl. Pencucian Shaker diulang
sebanyak lima kali selama 3 menit, setelah selesai balikkan shaker dan
tekan kuat dengan kertas penyerap untuk mengeringkan.
6. Tambahkan 100 μl larutan TBM Substrate pada setiap Mikro Plate sesuai
dengan urutan
7. Inkubasi tabung selama 20 menit pada suhu ruang tertutup dengan kaca
film, kemudian dibungkus dengan aluminium poil.
8. Menghentikan reaksi dilakukan dengan menambahkan 50 μl Stop Solution
kedalam tiap Mikro Plate dengan lembut, campuran bahan digoyang
selama 5 detik
9. Kemudian masukkan Mikro Plate ke dalam Elisa Spectrophotometere,
baca dan obserpasi pada panjang gelombang 450 nm.
Gonado Somatik Indeks (GSI)
Pengukuran gonado somatik indeks dilakukan pada awal (M0), minggu ke1, ke-2, ke-3 dan akhir penelitian (minggu ke-4). Belut sawah sebelum dibedah
harus dilakukan penimbangan bobot tubuh terlebih dahulu, kemudian diambil
gonadnya dan ditimbang menggunakan timbangan digital (tingkat ketelitian
0.01 g). Gonado Somatik Indeks (GSI) yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil

12

dari perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dan
dikalikan dengan 100%. Rumus GSI menurut Crim et al. (1988) yaitu:

GSI

 Wg 
 
x 100 %
 W 

Keterangan :
GSI : Gonado Somatik Indeks (%)
Wg
: Bobot gonad (g)
W
: Bobot tubuh ikan (g)
Hepatosomatik Indeks (HSI)
Belut sawah dibedah, kemudian diambil hatinya dan ditimbang
menggunakan timbangan digital (tingkat ketelitian 0.01 g). Pengukuran HSI
dilakukan pada awal (M0), minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 dengan
menggunakan rumus: (Bucacker et al. (1990)

Wh 
HSI    x100%
W 
Keterangan :
HSI : Hepatosomatik Indeks (%)
Wh
: Bobot hati (g)
W
: Bobot tubuh ikan (g)
Histologi gonad
Histologi gonad dilakukan pada awal, minggu ke-1, ke2, ke-3 dan minggu
ke-4. Histologi gonad dilakukan berdasarkan metode Gunarso (1989) dengan
tahapan proses sebagai berikut:
1.
Fiksasi, ikan dibedah dan diambil jaringan gonadnya, kemudian dicuci
dengan NaCl fisiologis 0.65%, difiksasi dalam larutan bouin/BNF
(campuran asam pikrat, formalin dan asam asetat dengan perbandingan
15:5:1) selama 24 jam. Berikutnya dipindahkan kedalam alkohol 70%
beberapa kali selang satu jam sampai kuning telur hilang.
2.
Dehidrasi, organ direndam kedalam larutan alkohol bertingkat (80%, 85%,
90% dan 95%) masing-masing selama 2 jam dan dipindahkan kedalam
alkohol 100% sebanyak empat kali masing-masing selama 1 jam.
3.
Clearing, organ direndam dalam alkohol 100%+xylol (1:1) selama 45 menit,
kemudian kedalam xylol I, II dan III masing-masing selama 45 menit.
4.
Infitrasi, organ direndam dalam xylol + parafin (1:1) selama 45 menit pada
suhu 60 oC. Kemudian direndam dalam parafin I, II dan III masing-masing
selama 45 menit dalam suhu 63 oC.
5.
Embeding, organ ditanam dalam blok parafin cair pada suhu 60 oC sampai
parafin mengeras selama 24 jam.
6.
Pemotongan, spesimen dipotong setebal 6 sampai 7 µm, ditempel pada gelas
obyek yang telah ditetesin ewid, ranggangkan diatas alat pemanas dan
keringkan selama 24 jam pada suhu 45 oC.

13

7.

8.

9.
10.
11.

12.

Deparafinasi, preparat direndam berturut-turut dengan xylol I, II, alkohol
100% I, 100% II, 95%, 90%, 85%, 80%, 70% dan 50% masing-masing
selama 1 menit dan dicuci sampai warna putih.
Pewarnaan, preparat direndam dalam larutan haemotoxylin selama 2 menit,
dicuci dengan air keran mengalir, rendam dalam larutan eosin selama 2
menit, cuci dengan air keran mengalir.
Dehidrasi, preparat direndam berturut-turut delam alkohol 70%, 80%, 85%,
90%, 95% I, 95% II, 100% I dan 100% II masing-masing selama 1 menit.
Clearing, preparat direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing
selama 1 menit.
Penutupan dengan kaca penutup. Preparat diberi zat perekat Canada balsem,
ditutup dengan gelas penutup, dikeringkan selam 10 menit. Berikutnya
preparat diberi label sesuai dengan perlakuan sehingga didapatkan preparat
permanen histologi gonad yang dapat diamati dibawah mikroskop setiap
saat.
Pengamatan histologi dilakukan pada awal, minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan
minggu ke-4 penelitian.

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan pada awal (M0), minggu
ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 penelitian. Tingkat kematangan gonad diamati
secara morfologi dan histologi gonad. Menurut penelitian Bahri (2000), ciri-ciri
TKG belut sawah adalah seperti berikut:
TKG I
: Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi
telur lebih besar dari proporsi jantan
TKG II
: Secara visual telur sudah terlihat, telur yang terlihat
berukuran sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 sampai
90% dari
isi gonad
TKG III
: Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran
Besar, antara butiran telur masih rekat sehingga agak
sukar
dipisahkan, proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad.
TKG IV
: Telur terlihat sangat jelas, butiran-butiran telur berukuran
besar, antara butiran telur sulit terpisah, gonad hampir
seluruhnya berisi dengan proporsi sperma sangat sedikit.
Intersex
: Kondisi dimana proporsi telur dan sperma sama besar.
Status kelamin
Penentuan status kelamin dari belut dilakukan dengan cara pengamatan
morfologi dari warna perut, anus, gonad, status gonad dan keberadaan serta warna
gamet dalam gonad. Pengamatan ini dilakukan pada akhir penelitian (minggu
ke-4).

14

Diameter telur
Belut sawah dibius kemudian dilakukan pembedahan untuk mengambil
gonad. Gonad dipotong menjadi dua bagian, salah satu bagian digunakan untuk
histologi gonad. Gonad yang akan diamati diameter telurnya, direndam terlebih
dahulu pada larutan sera. Selanjutnya, lapisan tipis gonad dilepas dengan
menggunakan jarum agar telur dapat diambil dan dipisahkan. Diameter telur
diukur dengan mikroskop mikrometer dengan perbesaran empat puluh kali. Hasil
pengukuran menggunakan lensa okuler (µm) dikalibrasi dengan lensa objektif
(dibagi 1000) untuk mengetahui diameter telur dalam satuan mm. Kemudian,
dikalikan dengan pembesaran empat puluh kali, maka didapatkan hasil diameter
telur belut sawah sebenarnya dalam satuan mm.
Tingkat kebuntingan
Tingkat kebuntingan pada penelitian ini dihitung dengan menjumlahkan
belut sawah yang telah terdapat gamet (telur) di gonad. Pengamatan dilakukan
pada awal hingga akhir penelitian dengan total belut yang diamati sebanyak
7 ekor.
Fekunditas
Fekunditas telur belut sawah diukur pada akhir penelitian. Effendie (1979)
menjelaskan fekunditas telur dapat diukur dengan cara perhitungan langsung
jumlah telur yang ada dalam gonad. Gonad pada akhir penelitian diambil 1 ekor
belut sawah sebagai sampel setiap perlakuan, kemudian dilakukan pembedahan
untuk pengambilan gonad. Gonad yang didapat ditimbang dengan timbangan
digital (ketelitian 0.01 g), selanjutnya dibagi menjadi dua bagian (salah satunya
untuk histologi gonad). Gonad direndam dilarutan sera, setelah itu dilepaskan
kulit tipis gonad dan dilakukan pemisahan telur. Telur dihitung dengan cara
menghitung jumlah telur pada sebagian gonad, lalu dikalikan dengan bobot gonad
total dan dibagi bobot gonad yang diamati. Maka, didapatkan fekunditas telur
belut sawah secara keseluruhan.
Kualitas air
Kualitas air diamati setiap minggu kecuali amoniak diamati pada awal,
minggu ke-1, ke-2, ke-3, dan minggu ke-4. Parameter kualitas air yang diamati
diantaranya: kandungan oksigen terlarut (DO meter mg/L), temperatur air
(termometer (oC)), nilai pH (pH meter) dan amoniak (spektrofotometer (mg/L)).
Kualitas air pada saat penelitian dijaga kestabilan kondisinya seperti Tabel
2.1 dibawah ini:

15

Tabel 2.1 Kualitas air media penelitian belut sawah

Perlakuan

DO
(mg/L)
5.44
5.62
5.38
5.32
5.50
5.84
5.58

NaCl
PMSG
hCG
Antidopamin
PMSG+hCG
PMSG+AD
hCG+AD

Parameter kualitas air
Amoniak
pH
Temperatur
(mg/L)
(1-14)
(oC)
0.558
6.25
27.94
1.299
5.93
28.00
0.978
6.28
27.92
0.730
6.06
27.80
0.990
5.93
27.92
0.757
6.42
27.92
0.735
6.36
27.94

Analisis data
Data hasil penelitian GSI, HSI dan pertambahan panjang dan bobot tubuh
pada minggu terakhir diuji secara ANOVA. Jika, hasil menunjukkan berbeda
nyata atau berbeda sangat nyata maka akan dilanjutkan dengan Uji Tukey. Hasil
penelitian pada parameter konsentrasi estradiol-17β, GSI, HSI setiap minggu,
pengamatan histologi, diameter telur, tingkat kebuntingan, fekunditas dan status
kelamin dianalisis secara deskriptif.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi hormonal
Hasil penelitian parameter tingkat kebuntingan belut sawah selama
empat minggu (n= 7 ekor) dalam satuan persen dapat dilihat pada Gambar 4.1
dibawah ini:

Gambar 4.1 Tingkat kebuntingan belut sawah hasil induksi hormonal

16

Hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD sebesar 100%, sedangkan
perlakuan PMSG+hCG, hCG+AD sebesar 85.71%, perlakuan hormon PMSG,
hCG sebesar 71.43% dan NaCl, antidopamin (AD) sebesar 14.28%. Kualitas dari
tingkat kebuntingan belut sawah setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan
Tabel 4.2.
Tabel 4.1 Perkembangan tingkat kematangan gonad belut sawah pada setiap
perlakuan selama penelitian (n=7)
Jumlah belut setiap TKG
(%)

Perlakuan

Total belut
bunting
(%)

NaCl

TKG 0
85.71

TKG 1
14.28

TKG 2
-

TKG 3
-

TKG 4
-

14.28

PMSG

28.6

14.28

28.6

14.28

-

71.43

hCG

28.6

14.28

14.28

28.6

AD

85.71

14.28

-

-

PMSG+hCG

14.28

14.28

-

28.6

PMSG+AD

-

14.28

-

28.6

57.1

100

hCG+AD

14.28

14.28

28.6

14.28

28.6

85.71

14.3
42.6

71.43
14.28
85.71

Gonado Somatik Indeks dan Hepatosomatik Indeks belut sawah
Hasil penelitian parameter GSI dan HSI belut sawah setiap minggu selama
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 di bawah ini:

Gambar 4.2 Nilai GSI belut sawah setiap minggu hasil induksi hormonal. M0:
minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke3, M4: minggu ke-4

Gambar 4.3 Nilai HSI belut sawah setiap minggu hasil induksi hormonal. M0:
minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu
ke-3, M4: minggu ke-4.

17

Gonado somatik indeks belut sawah setiap minggu terjadi peningkatan dan
penurunan selain perlakuan PMSG+AD. Pola grafik pada perlakuan PMSG+AD
setiap minggu selalu meningkat. Nilai GSI belut sawah pada perlakuan
PMSG+AD pada minggu ke-4 mencapai 4.36%.
Hepatosomatik indeks belut sawah setiap minggu terjadi peningkatan dan
penurunan. Perlakuan PMSG+AD mengalami peningkat pada minggu ke-1
(2.07%), ke-2 (2.87%), ke-3 (4.98%), sedangkan minggu ke-4 mengalami
penurunan menjadi 3.52%. Nilai GSI dan HSI belut sawah hasil induksi hormonal
pada akhir penelitian (minggu ke-4) dengan n: 4 ekor belut sawah untuk setiap
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 di bawah ini:

Gambar 4.4 Nilai GSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4.

Gambar 4.5 Nilai HSI belut sawah setiap perlakuan pada minggu ke-4.
Gonado somatik indeks belut sawah pada akhir penelitian (minggu ke-4)
menunjukkan bahwa GSI tertinggi adalah perlakuan PMSG+AD sebesar
3.249±0.907%, dimana secara ANOVA semua perlakuan memiliki pengaruh
signifikan (F>0.05) terhadap nilai GSI dibandingkan perlakuan kontrol (NaCl)
dan antidopamin.
Hepatosomatik indeks belut sawah hasil induksi hormonal menunjukkan
hasil terbaik adalah perlakuan PMSG+AD sebesar 3.047±0.407%. Secara
ANOVA menunjukkan bahwa seluruh perlakuan memiliki pengaruh signifikan
(F>0.05) terhadap nilai HSI belut sawah dibandingkan perlakuan kontrol. Nilai
HSI belut sawah semua perlakuan lebih tinggi dibandingkan nilai GSI, sedangkan
perlakuan PMSG+AD nilai HSI pada minggu ke-4 lebih rendah dibandingkan
dengan nilai GSI.

18

Konsentrasi hormon estradiol-17β belut sawah
Hasil analisis konsentrasi hormon estradiol-17β dalam darah belut sawah
dapat dilihat pada Gambar 4.6 dibawah ini:

Gambar 4.6 Konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah belut sawah.
M0: minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu
ke-3, M4: minggu ke-4
Pola konsentrasi hormon estradiol-17β dalam plasma darah belut sawah
hasil induksi hormonal pada setiap minggunya. Hasil terbaik konsentrasi
estradiol-17β dalam darah belut sawah adalah perlakuan PMSG+AD dengan dosis
20 IU+0.01 mg/kg dikarenakan adanya pada minggu ke-1 sebesar 235.2 pg/ml dan
turun hingga mencapai 42.53 pg/ml pada minggu ke-4.
Diameter telur belut sawah hasil induksi hormonal
Hasil penelitian parameter diameter telur belut sawah dapat dilihat pada
Gambar 4.7 dibawah ini (n=4)

Gambar 4.7 Diameter telur belut sawah hasil induksi secara hormonal. M0:
minggu ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu
ke-3, M4: minggu ke-4
Gambar 4.7 menggambarkan pengaruh perlakuan induksi hormon terhadap
perkembangan ukuran diameter telur setiap minggunya. Hasil menunjukkan
bahwa berdasarkan kualitas telur dan diameter telur pada minggu ke-4 maka
perlakuan PMSG+AD merupakan perlakuan terbaik, karena diameter telurnya
mencapai rata-rata diameter 3.19 mm sedangkan perlakuan NaCl, PMSG, hCG,
AD, PMSG+hCG, hCG+AD berturut-turut sebesar 0, 0.54, 0.87, 2.24, 0.85 mm.

19

Tingkat Kematangan Gonad belut sawah hasil induksi hormonal
Hasil pengamatan morfologi dan histologi untuk tingkat kematangan gonad
belut sawah dapat dilihat pada Gambar 4.8 dibawah ini:

Gambar 4.8 Tingkat kematangan gonad belut sawah setiap minggu. M0: minggu
ke-0, M1: minggu ke-1, M2: minggu ke-2, M3: minggu ke-3, M4:
minggu ke-4
Berdasarkan Gambar 4.8, tingkat kematangan gonad belut sawah hasil
induksi hormonal pada minggu ke-4 adalah perlakuan NaCl, antidopamin
mencapai tingkat kematangan gonad I (TKG I), hormon PMSG mencapai tingkat
kematangan gonad III (TKG III) dan hormon hCG, hCG+AD, PMSG+hCG dan
PMSG+AD mencapai tingkat