Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah (Monopterus albus)
ABSTRAK
AHMAD FATTAYA. Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah (Monopterus albus).
Dibimbing oleh ODANG CARMAN dan DADANG SHAFRUDDIN.
Belut di Indonesia masih mengandalkan benih dari alam sehingga ketersediaannya tidak berkelanjutan. Hal ini karena informasi mengenai reproduksi dan seksualitasnya belum jelas. Selain itu, belut juga diidentifikasi merupakan hermaprodit. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengupayaan pemijahan belut sawah perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan mencari cara memijahkan ikan belut sawah (Monopterus albus). Kegiatan penelitian terdiri atas
penentuan betina dan jantan, identifikasi kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami, dan upaya pemijahan dengan perangsangan hormon. Data yang didapat dalam penelitian ini dibahas secara deskriptif. Perlakuan yang dilakukan adalah pembedahan 60 sampel belut dengan 4 rentang ukuran yang berbeda secara mikroskopis (metode asetokarmin) dan makroskopis untuk menentukan jenis kelamin dan identifikasi tingkat kematangan gonad. Upaya pemijahan alami dilakukan pada bak terpal dengan rasio jantan:betina yang berbeda selama 2 bulan pemeliharaan. Pemijahan buatan dilakukan dengan perangsangan ovaprim yang disuntikan secara intramuscular kepada induk betina menggunakan dosis 0,5
mL/kg dan 0,7 mL/kg sebanyak 2 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu belut betina memiliki panjang total kurang dari 40 cm, sedangkan individu jantan memiliki panjang total lebih besar dari 50 cm. Belut dengan panjang total antara 40,5 - 50 cm berada pada fase peralihan dari jenis kelamin betina ke jantan atau interseks. Induk belut betina ataupun jantan yang telah matang gonad dan siap dipijahkan belum dapat dicirikan morfologinya secara khusus. Pemijahan secara alami telah berhasil terjadi dengan rasio jantan dan betina 1:4 pada kepadatan 3 ekor/m2. Pemijahan dengan perangsangan induk belut betina melalui penyuntikan menggunakan ovaprim dosis 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk tidak berhasil merangsang ovulasi.
Kata Kunci: Belut sawah (Monopterus albus), hermaprodit, tingkat kematangan
gonad, pemijahan
(2)
ABSTRACT
AHMAD FATTAYA. Spawning Efforts of Ricefield Eel (Monopterus albus).
Supervised by ODANG CARMAN and DADANG SHAFRUDDIN.
Ricefield eel in Indonesia has not been able to satisfy the demand because they still depends on the seeds from the wild, so it is not sustainable. This problem happens because information about reproduction and sexuality are still unclear. In addition, eels are also identified as hermaphrodite. Therefore, researches about spawning effort of ricefield eels are needed. This study aimed to explore how to breed the ricefield eel (Monopterus albus). This study’s activities consist of male
and female determination, identification of gonad maturity, naturally spawning effort, and spawning effort with hormonal stimulation. The data in this study are discussed descriptively. The treatments are dissecting 60 eel samples with 4 different size ranges microscopically (acetocarmine method) and macroscopically to determine sex and gonad maturity. Natural spawning efforts made on artificial pond with a different sex ratio for 2 months. Injuced spawning was done by ovaprim injection intramuscularly to the female broodstocks using doses of 0.5 mL/kg and 0.7 mL/kg broodstocks with 2 replications. The results showed that female individuals have a total length of less than 40 cm, while the male individuals have a total length more than 50 cm. Eels with a total length between 40.5 to 50 cm are intersex as the phase transition from female to male. Females or males mature and ready for spawning can not be characterized morphologically. Natural spawning has been successfully done with the male and female ratio of 1:4 at density of 3 individual/m2. Artificial spawning using hormone injection at doses of 0.5 mL/kg and 0.7 mL/kg broodstocks failed to stimulate ovulation. Keywords: Ricefield eel (Monopterus albus), hermaphrodite, gonad maturity,
spawning
(3)
I.
PENDAHULUAN
Terdapat tiga jenis belut di dunia, yaitu belut rawa (Synbranchus
bengalensis), belut sawah (Monopterus albus) dan belut kali/laut (Macrotema
caligans Cant). Namun, jenis belut yang sering dijumpai di pasar Indonesia
adalah jenis belut sawah (Prihatman 2000). Belut sawah adalah ikan asli wilayah Asia yang tersebar luas di berbagai negara seperti India, China, Jepang, Malaysia, Indonesia, Bangladesh (Guan et al. 1996) Thailand dan Vietnam (Khanh dan
Ngan 2010). Penyebaran belut sawah di Indonesia meliputi daerah Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, NTT, dan NTB. Belut sawah memiliki bentuk tubuh silinder dengan badan tanpa sisik dengan bagian kulitnya yang licin. Hidung belut tumpul membundar dengan bentuk mulut bagian atas melebihi bagian bawah dan sirip dada serta perut tereduksi menjadi lipatan kulit yang bersatu dengan sirip punggung, ekor, dan anal (Kottelat et al. 1993).
Belut sawah adalah komoditas air tawar yang permintaannya terus meningkat untuk ukuran konsumsi dengan size 80 - 50 untuk pasar lokal dan size 10 - 5 untuk diekspor. Pasar dalam negeri seperti Jakarta membutuhkan 20 ton belut per hari sedangkan Yogyakarta 30 ton belut per hari, Pekalongan 100 kg belut per hari serta wilayah Pati membutuhkan 50 kg belut per hari dan menurut Data Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007 ekspor belut mencapai 2.189 ton dalam bentuk beku, segar, dan hidup. Volume ekspor meningkat menjadi 2.676 ton pada tahun 2008 dan periode Januari - Juni 2009 jumlah belut yang diekspor mencapai 4.744 ton. Negara tujuan ekspor komoditas belut di antaranya adalah Hongkong, China, Jepang, Taiwan, Singapura, Korea dan Thailand. Total permintaan dunia terhadap belut beku atau dingin yaitu sebesar 230 ribu ton per tahun dan Indonesia hanya mampu memasok 2,2% sedangkan untuk belut hidup sekitar 7,1% (Warta Pasar Ikan 2010).
Kegiatan budidaya semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan akan kebutuhan belut. Pembudidaya belut di Indonesia selama ini hanya mengandalkan benih hasil dari tangkapan alam untuk dibesarkan sehingga belut untuk ukuran konsumsi secara kuantitas dan kualitasnya tidak mencukupi serta kontinyuitasnya tidak terjamin. Solusi yang dapat dilakukan yaitu
(4)
mengupayakan pemijahan belut secara terkontrol atau menghasilkan benih hasil pemijahan bukan dari alam. Namun, pemijahan belut belum dapat dilakukan karena masih adanya permasalahan yang dihadapi, antara lain studi mengenai belut yang masih sedikit khususnya di Indonesia sehingga informasi mengenai reproduksi dan seksualitasnya belum jelas. Selain itu, belut juga diidentifikasi sebagai hewan air yang tergolong hermaprodit yaitu di dalam tubuhnya memiliki jaringan ovarium maupun jaringan testis (Wahyuningsih dan Barus 2006). Oleh karena itu, penelitian mengenai upaya pemijahan belut sawah secara terkontrol perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari cara memijahkan ikan belut sawah (Monopterus albus) secara terkontrol.
(5)
II.
METODOLOGI
2.1 Prosedur Pelaksanaan
Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut sawah
(Monopterus albus) yang diperoleh dari pengumpul ikan di wilayah Dramaga.
Kegiatan penelitian terdiri atas penentuan betina dan jantan, identifikasi kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami, dan upaya pemijahan dengan perangsangan hormon. Data yang didapat dalam penelitian ini dibahas secara deskriptif.
2.1.1 Penentuan Betina dan Jantan
Penentuan betina dan jantan menggunakan 60 ekor belut dengan 4 rentang ukuran panjang yang berbeda. Ukuran panjang 20,5 - 30 cm, 30,5 - 40 cm, 40,5 - 50 cm, dan 50,5 - 60 cm yang masing-masing berjumlah 15 ekor untuk dibedah serta dilihat perbedaan jenis kelamin betina atau jantan secara makroskopis dan mikroskopis (metode asetokarmin). Setiap individu belut dengan rentang ukuran berbeda diambil dan dibius menggunakan es batu sebanyak 2 kg di dalam
styrofoam selama 5 menit. Setelah terbius, belut diberi penanda pada bagian
tubuhnya dan didokumentasikan. Setiap individu belut ditimbang bobot dan diukur lingkar perutnya lalu belut tersebut dibedah dan diamati gonadnya secara makroskopis. Selanjutnya gonad tersebut diambil dan ditaruh di atas slide glass, dicacah sampai halus, ditetesi larutan asetokarmin kemudian dilihat di bawah mikroskop. Tahapan metode asetokarmin dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.1.2 Identifikasi Kematangan Gonad
Belut diidentifikasi kematangan gonadnya untuk mengetahui belut yang siap memijah atau matang gonad saat melakukan pemilihan induk yang digunakan dalam upaya pemijahan alami maupun dengan perangsangan hormon. Setiap belut yang sudah diketahui jenis kelaminnya baik betina atau jantan diklasifikasikan berdasarkan tingkat kematangan gonad ovari atau testisnya. Individu belut pada tingkat kematangan gonad IV untuk jantan dan betina diamati ciri-ciri morfologinya terutama pada bagian ekor, perut, dan kelamin (genital/urogenital). Penentuan tingkat kematangan gonad belut betina dan jantan didasarkan pada Tabel 1 berikut ini.
(6)
- Testis bagian belakang kempis, dan di Tabel 1 Ciri-ciri tingkat kematangan gonad belut betina dan ikan jantan secara
umum.
TKG Belut betina* Ikan jantan secara umum**
I Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi telur lebih besar daripada proporsi jantan. II Secara visual telur sudah terlihat.
Telur yang terlihat berukuran sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 - 90 % dari isi gonad.
III Telur terlihat sangat jelas, butiran- butiran telur berukuran besar, antara butiran telur masih rekat sehingga sukar dipisahkan. Proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad. IV Telur terlihat sangat jelas, butiran-
butiran telur berukuran besar, antara butiran telur sulit terpisah. Gonad hampir seluruhnya berisi telur dengan proporsi sperma sangat sedikit.
Testis seperti benang lebih pendek dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, serta berwarna jernih.
Ukuran testis lebih besar, pewarnaan putih seperti susu, bentuk lebih jelas dari tingkat I.
Permukaan testis tampak bergerigi, warna makin putih, testis makin besar, dalam keadaan diawetkan mudah putus.
Seperti pada tingkat III tetapi lebih jelas, testis pejal.
V
bagian belakang pelepasan masih berisi. keterangan: * Bahri (2000), ** Effendie dan Sjafei (1977) dalam Bahri (2000)
2.1.3 Upaya Pemijahan Alami
Upaya pemijahan alami menggunakan 4 buah bak yang terbuat dari terpal dan bambu. Air yang digunakan adalah air sungai yang telah ditampung pada bak semen berukuran 1 x 1 x 0,5 m, selanjutnya air disalurkan menggunakan pipa ke bak 1 dan bak ke 2 sejauh 20 m, dan disalurkan pula ke bak ke 3 dan ke 4 melalui bak penampungan air (Gambar 1).
Bak 1
(2,7 x 2,7 x 0,8 m)
Bak penampungan
Bak 4 (2,5 x 2,5 x 0,8 m)
20 m 10 m (3 x 1,5air x 0,5
m)
Bak 3 (2,5 x 2,5 x 0,8 m) Bak 2
(2,7 x 2,7 x 0,8 m)
keterangan:
inlet outlet
Gambar 1 Tata letak bak pemijahan alami belut.
(7)
ditebar (ekor) 24 20 20 24
induk belut betina (cm) 29 - 37 27 - 39 29 - 38 28 - 37
induk belut jantan (cm) 51 - 60 51 - 59 53 - 59 52 - 57
bak (m) 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3 Seluruh bak diisi dengan lumpur setinggi 30 cm dari dasar bak dan dibuatkan pematang dengan menambahkan lumpur setinggi 20 cm dari permukaan lumpur. Kemudian bak diisi air setinggi 5 cm dari permukaan lumpur, diganti setelah 24 jam lalu diisi kembali dan didiamkan selama 1 minggu (Gambar 2).
5 cm 20 cm
keterangan:
inlet
Lumpur 30 cm
outlet
pematang Gambar 2 Penampang melintang bak pemijahan alami belut.
Pada setiap bak pemijahan ditebar induk belut jantan dan betina yang matang gonad dengan rasio berbeda, yaitu 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5 dengan kepadatan rata-rata 3 ekor/m2. Pakan yang diberikan selama pemeliharaan berupa pakan hidup ikan seribu (Lebistes sp.) secara ad libitum. Kisaran panjang belut matang
gonad yang ditebar pada bak untuk induk betina memiliki kisaran panjang 27 - 39 cm sedangkan induk jantan >50 cm. Pengecekan suhu, pH air, dan pengamatan permukaan air pada bak pemijahan untuk mengganti belut yang mati dilakukan setiap hari selama pemeliharaan. Selain itu, pengamatan lubang pada pematang untuk mengetahui adanya busa sebagai ciri-ciri belut memijah dilakukan pula setiap harinya. Kondisi bak pemijahan alami belut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 3 di bawah ini.
Tabel 2 Kondisi bak pemijahan alami belut.
Parameter Bak
1 4 3 2
Jumlah belut yang
Kisaran ukuran panjang
Kisaran ukuran panjang
Rasio jantan:betina 1:2 1:3 1:4 1:5
Ukuran bak (m) 2,7 x 2,7 x 0,8 2,5 x 2,5 x 0,8 2,5 x 2,5 x 0,8 2,7 x 2,7 x 0,8 Pengisian lumpur dalam
Kepadatan (ekor/m2) 3 3 3 3
(8)
Bak 1 Bak 2
Bak 3 Bak 4
Gambar 3 Kondisi bak pemijahan alami belut.
Pematang dibongkar secara perlahan setelah pemeliharaan 1,5 bulan untuk memeriksa dan mengamati kemungkinan adanya sarang yang dibuat belut untuk menyimpan telur serta mengamati bentuk lubang yang dibuat oleh belut. Seluruh bak dipanen setelah 2 bulan pemeliharaan untuk pengecekan ada atau tidaknya benih belut hasil pemijahan. Induk betina dan jantan yang didapat dihitung jumlahnya lalu benih yang didapatkan diukur panjang, bobot, dan lingkar perutnya serta dihitung jumlahnya, selanjutnya seluruh belut dipindahkan ke akuarium.
2.1.4 Upaya Pemijahan dengan Perangsangan Hormon
Pemijahan dengan perangsangan hormon dilakukan dengan menggunakan 4 ekor induk betina yang matang gonad di antara induk-induk yang telah digunakan pada pemijahan alami. Akuarium yang digunakan sebanyak 4 buah dengan ukuran 40 x 20 x 30 cm yang sebelumnya telah diberi aerasi dan diisi lumpur setinggi 15 cm serta diisi air setinggi 5 cm. Belut kemudian dibius menggunakan minyak cengkeh sebanyak 1 ppt selama 10 menit dalam wadah akuarium berukuran 30 x 20 x 30 cm. Selanjutnya masing-masing belut ditimbang bobotnya untuk menentukan dosis ovaprim yang diperlukan. Dosis ovaprim yang digunakan adalah 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk sebanyak 2 kali ulangan. Setiap belut disuntik menggunakan ovaprim yang telah diencerkan menggunakan
(9)
akuabides dengan perbandingan 1:2. Kemudian belut disuntik satu persatu pada bagian intramuscular dan ditempatkan pada akuarium yang berbeda. Pengamatan
keberhasilan ovulasi, penimbangan bobot belut serta percobaan stripping
dilakukan pada jam ke 8, 16, 20, dan 24 setelah penyuntikan. Selain itu, dilakukan pula pengukuran suhu air pada jam tersebut.
2.2 Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu jenis kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), keberhasilan pemijahan, dan keberhasilan ovulasi.
(10)
III.
HASIL
DAN
PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Jenis Kelamin Belut
Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada fase seksualitas betina karena pada gonadnya menghasilkan oosit. Belut dengan ukuran panjang antara 40,5 - 50 cm sudah memasuki fase interseks karena ditemukan ovari dan testis di dalam tubuhnya. Belut dengan ukuran panjang lebih dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan karena pada gonadnya menghasilkan spermatosit. Data hasil identifikasi 60 sampel belut dari pembedahan yang telah dilakukan dapat dilihat secara rinci pada Lampiran 2.
Tabel 3 Identifikasi jenis kelamin belut berdasarkan rentang ukuran panjang.
Seksualitas Panjang (cm)
20,5 - 30 30,5 - 40 40,5 - 50 50,5 - 60
Betina 15 13 2 2
Interseks 0 2 9 1
Jantan 0 0 4 12
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut ini adalah hasil pengamatan gonad belut secara mikroskopis dan makroskopis.
Betina Interseks Jantan
Gambar 4 Gonad belut secara mikroskopis.
Betina Jantan
Gambar 5 Gonad belut secara makroskopis.
3.1.2 Kematangan Gonad
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa belut memiliki keragaman tingkat kematangan gonadnya. Morfologi belut yang matang gonad (TKG IV) memiliki
(11)
TKG Seksualitas
ciri-ciri umum yaitu pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut bagian belakang ke arah genital terlihat penuh terisi telur dan bagian perut berwarna kuning kemerahan sedangkan pada jantan yaitu urogenital berwarna merah dan bagian perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, ciri-ciri pada belut jantan dan betina tidak lengkap ditemukan pada seluruh sampel belut yang memiliki TKG IV (12 sampel betina dan 3 sampel jantan). Rincian hasil penentuan tingkat kematangan gonad belut dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 4 Sebaran tingkat kematangan gonad belut.
Betina Jantan Interseks
TKG I 5 4 0
TKG II 7 6 0
TKG III 8 3 0
TKG IV 12 3 0
Interseks 0 0 12
3.1.3 Pemijahan Alami
Pengamatan lubang dilakukan setelah 1,5 bulan pemeliharaan hasilnya yaitu lubang belut yang digunakan sebagai tempat perlindungan dan pemijahan secara umum memiliki bentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal ke arah bawah kemudian mendatar. Namun, sarang penyimpanan telur maupun ciri-ciri adanya pemijahan dengan ditandai busa di sekeliling lubang tidak terlihat pada saat diamati. Gambar 6 berikut ini merupakan lubang persembunyian belut yang ditemukan pada bak pemijahan alami.
(a) (b) (c)
keterangan: (a) lubang di atas pematang, (b) lubang di dekat pematang, (c) lubang di antara pematang.
Gambar 6 Lubang persembunyian belut selama pemeliharaan di bak pemijahan alami.
Suhu harian pada bak pemijahan berkisar antara 25 - 31 0C sedangkan pH harian seluruh bak cenderung stabil pada nilai pH 6. Secara umum, kualitas air antara setiap bak tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik pH ataupun suhu.
(12)
Parameter Bak
Bak Rasio
Jumlah lubang pada setiap bak memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1 sebanyak 32 lubang, bak 2 sebanyak 40 lubang, bak 3 sebanyak 32 lubang sedangkan bak 4 sebanyak 35 lubang (Tabel 5).
Tabel 5 Jumlah lubang belut dan kisaran suhu serta pH selama pemeliharaan pada bak pemijahan alami.
1 2 3 4
Jumlah lubang belut 32 40 32 35
Kisaran suhu harian (oC) 25 - 31 25 - 31 26 - 30 26 - 30
Kisaran pH harian 6 6 6 6
Seluruh bak dilakukan pemanenan setelah 2 bulan masa pemeliharaan, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah belut yang dimasukan pada setiap bak berkurang. Rasio yang digunakan dalam pemijahan untuk bak 1, bak 4, bak 3, dan bak 2 antara jantan:betina yaitu 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5. Namun, dari keempat rasio tersebut hanya rasio 1:4 saja yang berhasil, yaitu pada bak 3 dengan jumlah induk belut sebanyak 20 ekor pada kepadatan 3 ekor/m2 dengan jumlah benih sebanyak 3 ekor (Tabel 6). Perbandingan induk betina dan benih belut hasil pemanenan bak 3 dapat dilihat pada Gambar 7. Induk yang ditebar pada setiap bak dapat dilihat pada Lampiran 3 - 6 dan benih yang dipanen dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 6 Hasil pemanenan belut pada seluruh bak pemijahan alami.
jantan:betina Awal
Penelitian (ekor) Akhir Penelitian (ekor) Betina Jantan Betina Jantan
Benih
1 1:2 16 8 7 5 -
4 1:3 15 5 2 1 -
3 1:4 16 4 7 4 3
2 1:5 20 4 8 - -
(a) (b) (c) (d) (e) (f)
keterangan: Induk belut betina: (a) 34,7 cm, (b) 30,2 cm, (c) 30 cm dan benih belut: (d) 25,4 cm, (e) 24,5 cm, dan (f) 17 cm.
Gambar 7 Perbandingan beberapa induk belut betina dengan seluruh benih hasil pemanenan pada bak ke 3.
(13)
Parameter Jam
3.1.4 Pemijahan dengan Perangsangan Hormon
Perangsangan ovulasi induk betina menggunakan ovaprim yang dilakukan selama 24 jam menunjukkan hasil bahwa penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk memberikan peningkatan bobot setiap pengamatannya, namun peningkatan tersebut kurang dari 10% bobot awal dan keberhasilan ovulasi tidak terjadi. Suhu yang diamati pada jam ke 8, 16, 20, dan 24 berkisar antara 25 - 32 0C (Tabel 7).
Tabel 7 Hasil penyuntikan induk belut betina matang gonad menggunakan ovaprim.
ke- (0,5Induk mL/kg) 1
Induk 2 (0,5 mL/kg)
Induk 3 (0,7 mL/kg)
Induk 4 (0,7 mL/kg)
Dosis penyuntikan (mL) - 0,009 0,014 0,022 0,016
Bobot awal (g) - 17,60 27,48 31,61 23,42
8 18,51 28,15 31,98 23,93
Bobot akhir (g) 16 18,60 28,45 32,03 24,12 20 18,72 28,56 32,15 24,30
24 18,76 28,68 33,38 24,50
ΔW (g) - 1,16 1,20 1,77 1,08
8 25 25 25 25
Suhu (oC) 16 32 31 32 32
20 28 27 27 27
24 29 27,5 27 29
Keberhasilan ovulasi - tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil
3.2 Pembahasan
Penelitian diawali dengan penentuan betina dan jantan, identifikasi kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami, dan upaya pemijahan dengan perangsangan hormon. Penentuan betina dan jantan, berdasarkan Tabel 3 hasilnya adalah pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut masih berada pada fase seksualitas betina karena pada gonadnya berkembang sel telur atau menghasilkan oosit. Belut dengan ukuran panjang antara 40,5 - 50 cm sudah memasuki fase interseks karena ditemukan ovari dan testis di dalam tubuhnya. Belut dengan ukuran panjang lebih dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan. Chan dan Philip (1969) dalam Gong et al (2011) menyatakan bahwa perubahan kelamin
belut sawah biasanya terjadi setelah pemijahan atau setelah belut mencapai ukuran panjang 35 - 45 cm dan secara umum belut betina memiliki ukuran panjang total kurang dari 40 cm. Khanh dan Ngan (2010) menambahkan bahwa belut jantan umumnya memiliki panjang total di atas 50 cm.
(14)
Belut sawah dapat dikategorikan sebagai hermaprodit protogini karena mengalami perubahan kelamin dari betina menjadi jantan dan mengalami fase perubahan kelamin yang disebut sebagai fase interseks. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shi (2005), yaitu belut sawah merupakan hermaprodit protogini karena mengalami perubahan kelamin secara alami, pada fase juvenil adalah betina selanjutnya memasuki fase interseks dimana kedua organ kelamin betina dan jantan dengan spermatosit dan oosit berkembang, kemudian pada fase akhir berubah menjadi jantan. Tang et al. (1974) menambahkan bahwa belut
mengalami perubahan kelamin atau bersifat hermaprodit protogini yang mengalami perubahan fungsional dari betina, interseks, dan fase jantan fungsional selama siklus hidupnya.
Belut pada tingkat kematangan gonad (TKG) IV adalah kondisi yang diinginkan untuk dilakukan pemijahan karena gonad sudah mencapai tingkat kematangan gonad akhir atau sudah matang gonad sehingga memiliki peluang keberhasilan pemijahan yang lebih besar daripada tingkat kematangan gonad I, II ataupun III. Hasil identifikasi kematangan gonad menunjukkan bahwa belut memiliki tingkat kematangan gonad yang beragam (Tabel 4), dari 60 sampel yang diamati hanya 15 ekor yang mencapai TKG IV yaitu terdiri dari 12 ekor betina dan 3 ekor jantan. Bahri (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penentuan TKG jantan sulit dilakukan secara visual ataupun menggunakan asetokarmin karena secara umum gonad terdiri dari sperma dan telur yang ada di dalam tubuhnya dan tidak diketahui apakah sperma yang ada mampu membuahi atau tidak.
Morfologi belut yang matang gonad (TKG IV) memiliki ciri-ciri umum yaitu pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut bagian belakang ke arah genital terlihat penuh terisi telur dan bagian perut berwarna kuning kemerahan sedangkan pada jantan yaitu urogenital berwarna merah dan bagian perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, dari 12 ekor belut betina dan 3 ekor belut jantan TKG IV tidak lengkap ditemukannya ciri-ciri umum pada sampel yang diamati. Selain itu, bobot dan ukuran panjang belut tidak dapat dijadikan sebagai ciri-ciri dalam menentukan tingkat kematangan gonad walaupun umumnya pada ikan akan terjadi perkembangan gonad dan mencapai maksimal
(15)
sesaat akan memijah kemudian akan menurun cepat setelah selesainya pemijahan. Perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan indeks kematangan gonad (IKG) (Effendie 1979 dalam Bahri 2000). Namun,
pada penelitian Elis (2003) menyatakan bahwa indeks kematangan gonad belut tidak dipengaruhi oleh panjang dan berat tubuh. Oleh karena itu, belut betina dan jantan TKG IV belum dapat dicirikan secara khusus baik berdasarkan ciri-ciri morfologi, bobot ataupun ukuran.
Upaya pemijahan alami dilakukan pada bak terpal yang telah dibuat seperti habitat alami belut yaitu mengisi bak dengan lumpur setinggi 30 cm dan membuat pematang setinggi 20 cm. Hal ini didasarkan pada pernyataan Gong et
al. (2011) bahwa habitat alami belut adalah lingkungan seperti sawah, kolam
berlumpur, rawa, dan kanal. Belut memiliki kemampuan hidup di daerah berlumpur karena mempunyai alat pernafasan tambahan berupa kulit tipis berlendir yang terdapat pada rongga mulut yang berfungsi menyerap oksigen langsung dari udara (Sarwono 1999 dalam Bahri 2000).
Liem (1980) dalam Straight et al. (2005) menyatakan bahwa belut dapat
diberikan pakan berupa ikan kecil, udang, siput, larva, serangga-serangga, katak, telur katak, dan berudu. Oleh karena itu, pakan yang diberikan untuk belut selama pengupayaan pemijahan adalah pakan hidup berupa ikan seribu yang diberikan secara ad libitum.
Suhu harian bak pemijahan berkisar antara 25 - 31 0C (Tabel 5). Suhu tersebut memiliki kisaran yang berbeda dengan Sterba dan Habil (1962) dalam
Elis (2003), suhu yang disukai belut berkisar antara 25 - 28 0C. Nilai pH harian cenderung stabil pada pH 6 (Tabel 5), nilai pH ini masih dalam kisaran normal yang dinyatakan oleh Asmawi (1983) dalam Bahri (2000), yaitu perairan yang
baik untuk kehidupan ikan adalah perairan dengan pH 6 - 8,7.
Pemeriksaan dan pengamatan lubang pada pematang dilakukan setelah 1,5 bulan masa pemeliharaan untuk mengetahui adanya sarang di dalam lubang yang diduga sebagai tempat menyimpan telur serta mengetahui bentuk lubang yang dibuat oleh belut. Berdasarkan Tabel 5, jumlah lubang belut pada setiap bak memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1 berjumlah 32 lubang, bak 2 berjumlah 40 lubang, bak 3 berjumlah 32 lubang, dan bak 4 berjumlah 35 lubang.
(16)
Lubang belut secara umum berbentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal ke arah bawah kemudian mendatar. Hal ini sesuai dengan Handojo (1986) dalam Elis (2003), belut sawah hidup di tanah lumpur sampai kedalaman lebih dari 10 cm dengan cara menggali lubang seperti sebuah terowongan yang berliku-liku, arah lubang awalnya vertikal mengarah ke bawah kemudian mendatar.
Pemanenan belut dilakukan pada seluruh bak setelah 2 bulan masa pemeliharaan. Berdasarkan Tabel 6, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah belut yang dimasukan pada setiap bak berkurang setelah dilakukannya pemanenan, baik untuk jumlah betina ataupun jantan. Hal ini diduga adanya kemungkinan belut yang mati di dalam lubang dan belut yang saling memakan. Bak 3 menunjukkan bahwa pemijahan belut secara alami berhasil terjadi walaupun hanya 3 ekor benih yang didapatkan. Rasio penebaran antara jantan:betina pada bak 3 yaitu 1:4 dengan kepadatan 3 ekor/m2. Jumlah benih yang sedikit (3 ekor) diduga karena belut betina melakukan pemijahan sebagian-sebagian (partial spawner) karena
dari hasil identifikasi gonad yang telah dilakukan terlihat bahwa telur belut tidak seluruhnya memiliki diameter telur yang sama besar. Penelitian Elis (2003) dan Bahri (2000) membenarkan bahwa belut betina dalam memijah, telur dikeluarkan sebagian-sebagian atau bertahap (partial spawner). Selain itu, telur belut
memiliki ukuran yang lebih besar daripada ikan lainnya, secara umumnya ikan yang memiliki ukuran telur besar memiliki fekunditas yang kecil dibandingkan dengan ikan yang memiliki ukuran telur kecil sehingga menyebabkan benih yang dihasilkan hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumantadinata (1981) bahwa hubungan ukuran butir telur dengan fekunditas terdapat kecenderungan bahwa semakin kecil ukuran butir telur maka fekunditasnya semakin tinggi. Bahri (2000) menambahkan bahwa fekunditas belut berkisar antara 54 - 585 butir dengan diameter telur berkisar antara 0,75 - 3,23 mm. Belut jantan juga memiliki kematangan gonad yang tidak bersamaan dengan betina karena jarang ditemukannya gonad jantan yang memiliki tingkat kematangan gonad IV saat pengidentifikasian kematangan gonad sehingga belut jantan yang mampu membuahi belut betina untuk terjadinya pemijahan hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tao et al (1993) bahwa faktor kendala dalam budidaya belut
yaitu sulitnya ketersediaan seksual jantan yang matang gonad.
(17)
Seluruh belut yang telah dipijahkan secara alami selanjutnya dipindahkan ke wadah akuarium. Pemijahan dengan perangsangan hormon dilakukan dengan menggunakan 4 ekor induk betina yang matang gonad di antara induk-induk yang telah digunakan pada pemijahan alami. Induk belut betina selanjutnya disuntik menggunakan ovaprim dengan tujuan untuk perangsangan ovulasi. Ovaprim digunakan sebagai perangsangan ovulasi karena ovaprim merupakan campuran antara analog dari salmon gonadotropin releasing hormon (sGnRH)-LHRH dan domperidone (Permana 2009), hormon sGnRH berperan dalam pengeluaran gonadotropin pada ikan untuk proses ovulasi maupun vitelogenesis sedangkan domperidone merupakan anti dopamin yang berperan untuk menghentikan peran dopamin yaitu menghambat sekresi gonadotropin dan membantu peningkatan sekresi 2 gonadotropin. Kedua bahan tersebut digunakan untuk membuat ikan cepat berovulasi (Nandeesha et al. 1990). Sumantri (2006) menambahkan bahwa
beberapa kegunaan ovaprim yaitu menekan musim pemijahan, merangsang pematangan gonad sebelum musim pemijahan normal, memaksimalkan potensi reproduksi, dan mempersingkat periode pemijahan.
Permana (2009) dalam penelitiannya menggunakan ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg bobot induk yang disuntikkan pada ikan Sumatra dengan keberhasilan mencapai 90%. Nandeesha et al. (1990) juga melaporkan bahwa ovaprim yang
disuntikkan secara intramuscular dengan dosis 0,5 mL/kg telah mampu
menginduksi pembenihan pada Indian major carp. Syndel Laboratories Ltd. (2012) menambahkan bahwa dosis ovaprim secara umum untuk ikan adalah 0,5 mL/kg berat badan. Dosis ini dapat bervariasi di antara spesies dan lokasi. Berdasarkan hal tersebut maka dosis 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk digunakan sebagai dasar penentuan dosis untuk percobaan penyuntikan belut menggunakan ovaprim secara intramuscular.
Penentuan jam ke 8, 16, 20, dan 24 setelah penyuntikan untuk dilakukan pengamatan keberhasilan ovulasi atau percobaan stripping didasarkan pada
penelitian Permana (2009), stripping pertama dilakukan pada jam ke 8 setelah
penyuntikan. Jika rentang waktu belum mengalami ovulasi maka dilanjutkan pengamatan setiap 3 jam selama 24 jam. Setelah rentang waktu tersebut ikan dianggap tidak memijah dan dimasukan ke dalam akuarium pemulihan.
(18)
Penentuan waktu ditentukan secara lebih umum oleh Syndel Laboratories Ltd. (2012) bahwa ikan golongan Carp dan Catfish umumnya memijah dalam rentang
waktu 8 - 24 jam setelah penyuntikan. Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui suhu lingkungan saat terjadinya ovulasi, suhu yang diukur berkisar antara 25 - 32 0C. Suhu tersebut masih dalam kondisi normal untuk pemijahan belut karena menurut Sarwono (1999) dalam Bahri (2000) perkawinan belut
umumnya terjadi pada malam hari yang panas hingga suhu air naik menjadi 28 0C lebih.
Berdasarkan Tabel 7, penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg memberikan peningkatan bobot kurang dari 10% bobot awal, artinya respons perangsangan tidak berlangsung karena penyerapan air untuk final
maturation tidak terjadi sehingga tidak ada pengaruh untuk terjadinya ovulasi dan
belut tidak dapat di stripping. Kenaikan bobot diduga karena organ tubuh
menyerap zat cair yang diterima akibat penyuntikan yang dilakukan tetapi tidak memberikan pengaruh perangsangan ke otak untuk ovulasi, artinya pada penyuntikan terjadi proses pematangan akhir yang hanya berlangsung secara alami tanpa adanya pengaruh dari ovaprim yang disuntikkan. Menurut Woynarovich dan Hovart (1980) dalam Arfah et al. (2006), efek pertama dari
gonadotropin pada telur adalah pergerakan nukleus ke arah mikrofil yang diikuti oleh hidrasi yaitu telur akan menyerap air dan disempurnakan selama tahap preovulasi. Hal ini terlihat dari pengukuran lebar perut ikan sebelum dan sesudah penyuntikan pertama. Respon positif dari ikan terhadap penyuntikan ditandai dengan bertambahnya lebar perut akibat pengaruh dari ovaprim yang disuntikkan. Selain pengukuran lebar perut, untuk mengetahui adanya perkembangan telur dilakukan penimbangan bobot ikan sebelum dan sesudah pemberian ovaprim akan tetapi perkembangan yang terjadi sangat kecil sehingga tidak memberikan perbedaan yang berarti terhadap berat tubuh ikan artinya penyuntikan tidak memberi pengaruh terhadap sampel yang disuntikan. Basuki (2007) menambahkan bahwa lambatnya reaksi hormonal juga diduga menjadi penyebab tidak terjadinya ovulasi karena tidak sampainya rangsangan menuju otak. Selain itu, menurut Mittelmark dan Kapuscinski (2008) bahwa faktor kesiapan induk juga diduga sebagai penyebab tidak terjadinya ovulasi.
(19)
IV.
KESIMPULAN
Individu belut betina memiliki panjang total kurang dari 40 cm, sedangkan individu jantan memiliki panjang total lebih besar dari 50,5 cm. Belut dengan panjang total antara 40,5 - 50 cm berada pada fase peralihan dari jenis kelamin betina ke jantan atau interseks. Induk belut betina ataupun jantan yang telah matang gonad dan siap dipijahkan belum dapat dicirikan morfologinya secara khusus. Pemijahan secara alami telah berhasil terjadi dengan rasio jantan dan betina 1:4 pada kepadatan 3 ekor/m2. Pemijahan dengan perangsangan induk belut betina melalui penyuntikan menggunakan ovaprim dosis 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk tidak berhasil merangsang ovulasi.
(20)
UPAYA
PEMIJAHAN
IKAN
BELUT
SAWAH
(Monopterus
albus)
AHMAD FATTAYA
DEPARTEMEN
BUDIDAYA
PERAIRAN
FAKULTAS
PERIKANAN
DAN
ILMU
KELAUTAN
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
2012
(21)
PERNYATAAN
MENGENAI
SKRIPSI
DAN
SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
UPAYA PEMIJAHAN IKAN BELUT SAWAH (Monopterus albus)
adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012
AHMAD FATTAYA
C14080028
(22)
ABSTRAK
AHMAD FATTAYA. Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah (Monopterus albus).
Dibimbing oleh ODANG CARMAN dan DADANG SHAFRUDDIN.
Belut di Indonesia masih mengandalkan benih dari alam sehingga ketersediaannya tidak berkelanjutan. Hal ini karena informasi mengenai reproduksi dan seksualitasnya belum jelas. Selain itu, belut juga diidentifikasi merupakan hermaprodit. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengupayaan pemijahan belut sawah perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan mencari cara memijahkan ikan belut sawah (Monopterus albus). Kegiatan penelitian terdiri atas
penentuan betina dan jantan, identifikasi kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami, dan upaya pemijahan dengan perangsangan hormon. Data yang didapat dalam penelitian ini dibahas secara deskriptif. Perlakuan yang dilakukan adalah pembedahan 60 sampel belut dengan 4 rentang ukuran yang berbeda secara mikroskopis (metode asetokarmin) dan makroskopis untuk menentukan jenis kelamin dan identifikasi tingkat kematangan gonad. Upaya pemijahan alami dilakukan pada bak terpal dengan rasio jantan:betina yang berbeda selama 2 bulan pemeliharaan. Pemijahan buatan dilakukan dengan perangsangan ovaprim yang disuntikan secara intramuscular kepada induk betina menggunakan dosis 0,5
mL/kg dan 0,7 mL/kg sebanyak 2 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu belut betina memiliki panjang total kurang dari 40 cm, sedangkan individu jantan memiliki panjang total lebih besar dari 50 cm. Belut dengan panjang total antara 40,5 - 50 cm berada pada fase peralihan dari jenis kelamin betina ke jantan atau interseks. Induk belut betina ataupun jantan yang telah matang gonad dan siap dipijahkan belum dapat dicirikan morfologinya secara khusus. Pemijahan secara alami telah berhasil terjadi dengan rasio jantan dan betina 1:4 pada kepadatan 3 ekor/m2. Pemijahan dengan perangsangan induk belut betina melalui penyuntikan menggunakan ovaprim dosis 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk tidak berhasil merangsang ovulasi.
Kata Kunci: Belut sawah (Monopterus albus), hermaprodit, tingkat kematangan
gonad, pemijahan
(23)
ABSTRACT
AHMAD FATTAYA. Spawning Efforts of Ricefield Eel (Monopterus albus).
Supervised by ODANG CARMAN and DADANG SHAFRUDDIN.
Ricefield eel in Indonesia has not been able to satisfy the demand because they still depends on the seeds from the wild, so it is not sustainable. This problem happens because information about reproduction and sexuality are still unclear. In addition, eels are also identified as hermaphrodite. Therefore, researches about spawning effort of ricefield eels are needed. This study aimed to explore how to breed the ricefield eel (Monopterus albus). This study’s activities consist of male
and female determination, identification of gonad maturity, naturally spawning effort, and spawning effort with hormonal stimulation. The data in this study are discussed descriptively. The treatments are dissecting 60 eel samples with 4 different size ranges microscopically (acetocarmine method) and macroscopically to determine sex and gonad maturity. Natural spawning efforts made on artificial pond with a different sex ratio for 2 months. Injuced spawning was done by ovaprim injection intramuscularly to the female broodstocks using doses of 0.5 mL/kg and 0.7 mL/kg broodstocks with 2 replications. The results showed that female individuals have a total length of less than 40 cm, while the male individuals have a total length more than 50 cm. Eels with a total length between 40.5 to 50 cm are intersex as the phase transition from female to male. Females or males mature and ready for spawning can not be characterized morphologically. Natural spawning has been successfully done with the male and female ratio of 1:4 at density of 3 individual/m2. Artificial spawning using hormone injection at doses of 0.5 mL/kg and 0.7 mL/kg broodstocks failed to stimulate ovulation. Keywords: Ricefield eel (Monopterus albus), hermaphrodite, gonad maturity,
spawning
(24)
UPAYA
PEMIJAHAN
IKAN
BELUT
SAWAH
(Monopterus
albus)
AHMAD FATTAYA
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
BUDIDAYA
PERAIRAN
FAKULTAS
PERIKANAN
DAN
ILMU
KELAUTAN
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
2012
(25)
SKRIPSI
Judul : Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah (Monopterus albus)
Nama Mahasiswa : Ahmad Fattaya Nomor Pokok : C14080028
Disetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc Ir.Dadang Shafruddin, M.Si NIP. 19591222 198601 1 001 NIP. 19551015 198003 1 004
Diketahui
Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc NIP. 1967013 199302 1 001
Tanggal Lulus : ...
(26)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya skripsi ini yang berjudul “Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah
(Monopterus albus)” berhasil diselesaikan. Penelitian dilakukan pada bulan
Januari - Juli 2012 bertempat di Kolam Percobaan Babakan dan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor serta di RT 02/05, Desa Cibanteng Proyek.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini tidak akan berjalan baik dan dapat diselesaikan maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc dan Ir. Dadang Shafruddin, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas ilmu yang telah diberikan, saran, bimbingan, dan nasihatnya serta terima kasih kepada Yuni Puji H, S.Pi, M.Si sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Sc sebagai perwakilan dari Ketua Program Studi yang telah memberikan saran dan bimbingannya. Terima kasih diucapkan pula kepada kedua orang tua, Kamiludin Atori dan Entin Surtini serta abang Reka Pratama atas dukungan, doa, kasih sayang, dukungan moril maupun materil selama ini. Tidak lupa juga terima kasih kepada orang yang saya sayangi atas dukungan serta doanya, seluruh dosen serta staf Departemen Budidaya Perairan atas ilmu yang telah diberikan, bimbingan, dukungan serta bantuannya selama saya kuliah, rekan-rekan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik dan mahasiswa S2/S3 Ilmu Akuakultur serta teman-teman BDP 45 (2008) atas bantuan selama penelitian berlangsung, dukungan dan persahabatan selama ini, serta semua pihak yang telah membantu ataupun mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penulisan ini. Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak, berguna bagi kesejahteraan masyarakat dan sesuai dengan yang diharapkan serta mendapatkan ridho Allah SWT.
Bogor, Oktober 2012
(27)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Ahmad Fattaya, dilahirkan di Jakarta pada 2 Mei 1990, merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Kamiludin Atori dan Entin Surtini. Pendidikan penulis diawali di TK Kicau Bintaro Jaya (1995 - 1996), dilanjutkan di SD Negeri 04 Bintaro (1996 - 2002), SMP Negeri 177 Jakarta (2002 - 2005). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 90 Jakarta (2005 - 2008).
Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor program studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI). Selama kuliah penulis pernah menjadi Ketua Panitia Masa Perkenalan Departemen (MPD) Budidaya Perairan pada tahun 2010, anggota divisi Publikasi, Dokumentasi, dan Dekorasi di Himpunan Mahasiswa Akuakultur periode 2010/2011. Penulis pernah lolos dan menjadi tim PKM tahun 2011 serta mendapatkan Pinjaman Dana Wirausaha Mandiri tahun 2011 serta Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) tahun 2012. Selain itu penulis menerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) selama periode 2011 - 2012. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Dasar-Dasar Genetika Ikan pada tahun 2011, Industri Perbenihan Organisme Akuatik 2012, dan Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik 2012. Penulis pernah mendapatkan kesempatan untuk menghadiri dan mengikuti konferensi mengenai perikanan di Inggris pada Mei 2012 dengan judul kegiatan Aquaculture UK 2012 serta menghadiri dan mengikuti konferensi mengenai pengemasan bahan pangan di Thailand pada Juni 2012 dengan judul kegiatan PROPAK ASIA 2012.
Penulis pernah melaksanakan praktik kerja lapangan di Mahameru Cahaya Internasional (MCI) Fish Farm pada bulan Juli - Agustus 2011 dengan judul “Pembesaran Ikan Diskus (Symphysodon sp.)”. Tugas akhir sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah (Monopterus albus)”.
(28)
DAFTAR
ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...ix
DAFTAR GAMBAR ... ... .x DAFTAR LAMPIRAN ... ... .xi
I. PENDAHULUAN ...1
II. METODOLOGI ………. ... .3
2.1 Prosedur Pelaksaan………. 3
2.2.1 Penentuan Betina dan Jantan ...3 2.2.2 Identifikasi Kematangan Gonad ...3 2.2.3 Upaya Pemijahan Alami ...4 2.2.4 Upaya Pemijahan dengan Perangsangan Hormon ...6 2.2 Parameter Pengamatan ...7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN ...8
3.1 Hasil ... …... ...8 3.1.1 Jenis Kelamin Belut ...8 3.1.2 Kematangan Gonad ...8 3.1.3 Pemijahan Alami ...9 3.1.4 Pemijahan dengan Perangsangan Hormon ...11 3.2 Pembahasan ...11
IV. KESIMPULAN...17 DAFTAR PUSTAKA ... ...18 LAMPIRAN ...20
(29)
DAFTAR
TABEL
Halaman
1. Ciri-ciri tingkat kematangan gonad belut betina dan ikan jantan secara umum ... ..4 2. Kondisi bak pemijahan alami belut ...5 3. Identifikasi jenis kelamin belut berdasarkan rentang ukuran panjang ...8 4. Sebaran tingkat kematangan gonad belut ………..……. 9 5. Jumlah lubang belut dan kisaran suhu serta pH selama pemeliharaan
pada bak pemijahan alami ... ... ..10 6. Hasil pemanenan belut pada seluruh bak pemijahan alami ...10 7. Hasil penyuntikan induk belut betina matang gonad menggunakan
ovaprim ...11
(30)
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
1. Tata letak bak pemijahan alami belut ...4 2. Penampang melintang bak pemijahan alami belut ... ...5 3. Kondisi bak pemijahan alami belut ... ...6 4. Gonad belut secara mikroskopis . ... ...8 5. Gonad belut secara makroskopis …………... ... ...8 6. Lubang persembunyian belut selama pemeliharaan di bak pemijahan
alami ………... 9 7. Perbandingan beberapa induk belut betina dengan seluruh benih hasil
pemanenan pada bak ke 3 ...10
(31)
DAFTAR
LAMPIRAN
Halaman
1. Tahapan pemeriksaan gonad metode asetokarmin... ...21 2. Data hasil identifikasi gonad belut sawah (Monopterus albus) ... ...22
3. Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 1 ... ...24 4. Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 2 ………... ..… 24 5. Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 3 ……… 25 6. Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 4 ……… 25 7. Benih belut hasil pemanenan pada bak 3 ………... 26 8. Dokumentasi kegiatan penelitian belut sawah (Monopterus albus) ...26
(32)
I.
PENDAHULUAN
Terdapat tiga jenis belut di dunia, yaitu belut rawa (Synbranchus
bengalensis), belut sawah (Monopterus albus) dan belut kali/laut (Macrotema
caligans Cant). Namun, jenis belut yang sering dijumpai di pasar Indonesia
adalah jenis belut sawah (Prihatman 2000). Belut sawah adalah ikan asli wilayah Asia yang tersebar luas di berbagai negara seperti India, China, Jepang, Malaysia, Indonesia, Bangladesh (Guan et al. 1996) Thailand dan Vietnam (Khanh dan
Ngan 2010). Penyebaran belut sawah di Indonesia meliputi daerah Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, NTT, dan NTB. Belut sawah memiliki bentuk tubuh silinder dengan badan tanpa sisik dengan bagian kulitnya yang licin. Hidung belut tumpul membundar dengan bentuk mulut bagian atas melebihi bagian bawah dan sirip dada serta perut tereduksi menjadi lipatan kulit yang bersatu dengan sirip punggung, ekor, dan anal (Kottelat et al. 1993).
Belut sawah adalah komoditas air tawar yang permintaannya terus meningkat untuk ukuran konsumsi dengan size 80 - 50 untuk pasar lokal dan size 10 - 5 untuk diekspor. Pasar dalam negeri seperti Jakarta membutuhkan 20 ton belut per hari sedangkan Yogyakarta 30 ton belut per hari, Pekalongan 100 kg belut per hari serta wilayah Pati membutuhkan 50 kg belut per hari dan menurut Data Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007 ekspor belut mencapai 2.189 ton dalam bentuk beku, segar, dan hidup. Volume ekspor meningkat menjadi 2.676 ton pada tahun 2008 dan periode Januari - Juni 2009 jumlah belut yang diekspor mencapai 4.744 ton. Negara tujuan ekspor komoditas belut di antaranya adalah Hongkong, China, Jepang, Taiwan, Singapura, Korea dan Thailand. Total permintaan dunia terhadap belut beku atau dingin yaitu sebesar 230 ribu ton per tahun dan Indonesia hanya mampu memasok 2,2% sedangkan untuk belut hidup sekitar 7,1% (Warta Pasar Ikan 2010).
Kegiatan budidaya semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan akan kebutuhan belut. Pembudidaya belut di Indonesia selama ini hanya mengandalkan benih hasil dari tangkapan alam untuk dibesarkan sehingga belut untuk ukuran konsumsi secara kuantitas dan kualitasnya tidak mencukupi serta kontinyuitasnya tidak terjamin. Solusi yang dapat dilakukan yaitu
(33)
mengupayakan pemijahan belut secara terkontrol atau menghasilkan benih hasil pemijahan bukan dari alam. Namun, pemijahan belut belum dapat dilakukan karena masih adanya permasalahan yang dihadapi, antara lain studi mengenai belut yang masih sedikit khususnya di Indonesia sehingga informasi mengenai reproduksi dan seksualitasnya belum jelas. Selain itu, belut juga diidentifikasi sebagai hewan air yang tergolong hermaprodit yaitu di dalam tubuhnya memiliki jaringan ovarium maupun jaringan testis (Wahyuningsih dan Barus 2006). Oleh karena itu, penelitian mengenai upaya pemijahan belut sawah secara terkontrol perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari cara memijahkan ikan belut sawah (Monopterus albus) secara terkontrol.
(34)
II.
METODOLOGI
2.1 Prosedur Pelaksanaan
Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut sawah
(Monopterus albus) yang diperoleh dari pengumpul ikan di wilayah Dramaga.
Kegiatan penelitian terdiri atas penentuan betina dan jantan, identifikasi kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami, dan upaya pemijahan dengan perangsangan hormon. Data yang didapat dalam penelitian ini dibahas secara deskriptif.
2.1.1 Penentuan Betina dan Jantan
Penentuan betina dan jantan menggunakan 60 ekor belut dengan 4 rentang ukuran panjang yang berbeda. Ukuran panjang 20,5 - 30 cm, 30,5 - 40 cm, 40,5 - 50 cm, dan 50,5 - 60 cm yang masing-masing berjumlah 15 ekor untuk dibedah serta dilihat perbedaan jenis kelamin betina atau jantan secara makroskopis dan mikroskopis (metode asetokarmin). Setiap individu belut dengan rentang ukuran berbeda diambil dan dibius menggunakan es batu sebanyak 2 kg di dalam
styrofoam selama 5 menit. Setelah terbius, belut diberi penanda pada bagian
tubuhnya dan didokumentasikan. Setiap individu belut ditimbang bobot dan diukur lingkar perutnya lalu belut tersebut dibedah dan diamati gonadnya secara makroskopis. Selanjutnya gonad tersebut diambil dan ditaruh di atas slide glass, dicacah sampai halus, ditetesi larutan asetokarmin kemudian dilihat di bawah mikroskop. Tahapan metode asetokarmin dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.1.2 Identifikasi Kematangan Gonad
Belut diidentifikasi kematangan gonadnya untuk mengetahui belut yang siap memijah atau matang gonad saat melakukan pemilihan induk yang digunakan dalam upaya pemijahan alami maupun dengan perangsangan hormon. Setiap belut yang sudah diketahui jenis kelaminnya baik betina atau jantan diklasifikasikan berdasarkan tingkat kematangan gonad ovari atau testisnya. Individu belut pada tingkat kematangan gonad IV untuk jantan dan betina diamati ciri-ciri morfologinya terutama pada bagian ekor, perut, dan kelamin (genital/urogenital). Penentuan tingkat kematangan gonad belut betina dan jantan didasarkan pada Tabel 1 berikut ini.
(35)
- Testis bagian belakang kempis, dan di Tabel 1 Ciri-ciri tingkat kematangan gonad belut betina dan ikan jantan secara
umum.
TKG Belut betina* Ikan jantan secara umum**
I Butiran telur tidak dapat dilihat secara visual, proporsi telur lebih besar daripada proporsi jantan. II Secara visual telur sudah terlihat.
Telur yang terlihat berukuran sangat kecil, proporsi telur sekitar 80 - 90 % dari isi gonad.
III Telur terlihat sangat jelas, butiran- butiran telur berukuran besar, antara butiran telur masih rekat sehingga sukar dipisahkan. Proporsi telur sekitar 95% dari isi gonad. IV Telur terlihat sangat jelas, butiran-
butiran telur berukuran besar, antara butiran telur sulit terpisah. Gonad hampir seluruhnya berisi telur dengan proporsi sperma sangat sedikit.
Testis seperti benang lebih pendek dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, serta berwarna jernih.
Ukuran testis lebih besar, pewarnaan putih seperti susu, bentuk lebih jelas dari tingkat I.
Permukaan testis tampak bergerigi, warna makin putih, testis makin besar, dalam keadaan diawetkan mudah putus.
Seperti pada tingkat III tetapi lebih jelas, testis pejal.
V
bagian belakang pelepasan masih berisi. keterangan: * Bahri (2000), ** Effendie dan Sjafei (1977) dalam Bahri (2000)
2.1.3 Upaya Pemijahan Alami
Upaya pemijahan alami menggunakan 4 buah bak yang terbuat dari terpal dan bambu. Air yang digunakan adalah air sungai yang telah ditampung pada bak semen berukuran 1 x 1 x 0,5 m, selanjutnya air disalurkan menggunakan pipa ke bak 1 dan bak ke 2 sejauh 20 m, dan disalurkan pula ke bak ke 3 dan ke 4 melalui bak penampungan air (Gambar 1).
Bak 1
(2,7 x 2,7 x 0,8 m)
Bak penampungan
Bak 4 (2,5 x 2,5 x 0,8 m)
20 m 10 m (3 x 1,5air x 0,5
m)
Bak 3 (2,5 x 2,5 x 0,8 m) Bak 2
(2,7 x 2,7 x 0,8 m)
keterangan:
inlet outlet
Gambar 1 Tata letak bak pemijahan alami belut.
(36)
ditebar (ekor) 24 20 20 24
induk belut betina (cm) 29 - 37 27 - 39 29 - 38 28 - 37
induk belut jantan (cm) 51 - 60 51 - 59 53 - 59 52 - 57
bak (m) 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3 Seluruh bak diisi dengan lumpur setinggi 30 cm dari dasar bak dan dibuatkan pematang dengan menambahkan lumpur setinggi 20 cm dari permukaan lumpur. Kemudian bak diisi air setinggi 5 cm dari permukaan lumpur, diganti setelah 24 jam lalu diisi kembali dan didiamkan selama 1 minggu (Gambar 2).
5 cm 20 cm
keterangan:
inlet
Lumpur 30 cm
outlet
pematang Gambar 2 Penampang melintang bak pemijahan alami belut.
Pada setiap bak pemijahan ditebar induk belut jantan dan betina yang matang gonad dengan rasio berbeda, yaitu 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5 dengan kepadatan rata-rata 3 ekor/m2. Pakan yang diberikan selama pemeliharaan berupa pakan hidup ikan seribu (Lebistes sp.) secara ad libitum. Kisaran panjang belut matang
gonad yang ditebar pada bak untuk induk betina memiliki kisaran panjang 27 - 39 cm sedangkan induk jantan >50 cm. Pengecekan suhu, pH air, dan pengamatan permukaan air pada bak pemijahan untuk mengganti belut yang mati dilakukan setiap hari selama pemeliharaan. Selain itu, pengamatan lubang pada pematang untuk mengetahui adanya busa sebagai ciri-ciri belut memijah dilakukan pula setiap harinya. Kondisi bak pemijahan alami belut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 3 di bawah ini.
Tabel 2 Kondisi bak pemijahan alami belut.
Parameter Bak
1 4 3 2
Jumlah belut yang
Kisaran ukuran panjang
Kisaran ukuran panjang
Rasio jantan:betina 1:2 1:3 1:4 1:5
Ukuran bak (m) 2,7 x 2,7 x 0,8 2,5 x 2,5 x 0,8 2,5 x 2,5 x 0,8 2,7 x 2,7 x 0,8 Pengisian lumpur dalam
Kepadatan (ekor/m2) 3 3 3 3
(37)
Bak 1 Bak 2
Bak 3 Bak 4
Gambar 3 Kondisi bak pemijahan alami belut.
Pematang dibongkar secara perlahan setelah pemeliharaan 1,5 bulan untuk memeriksa dan mengamati kemungkinan adanya sarang yang dibuat belut untuk menyimpan telur serta mengamati bentuk lubang yang dibuat oleh belut. Seluruh bak dipanen setelah 2 bulan pemeliharaan untuk pengecekan ada atau tidaknya benih belut hasil pemijahan. Induk betina dan jantan yang didapat dihitung jumlahnya lalu benih yang didapatkan diukur panjang, bobot, dan lingkar perutnya serta dihitung jumlahnya, selanjutnya seluruh belut dipindahkan ke akuarium.
2.1.4 Upaya Pemijahan dengan Perangsangan Hormon
Pemijahan dengan perangsangan hormon dilakukan dengan menggunakan 4 ekor induk betina yang matang gonad di antara induk-induk yang telah digunakan pada pemijahan alami. Akuarium yang digunakan sebanyak 4 buah dengan ukuran 40 x 20 x 30 cm yang sebelumnya telah diberi aerasi dan diisi lumpur setinggi 15 cm serta diisi air setinggi 5 cm. Belut kemudian dibius menggunakan minyak cengkeh sebanyak 1 ppt selama 10 menit dalam wadah akuarium berukuran 30 x 20 x 30 cm. Selanjutnya masing-masing belut ditimbang bobotnya untuk menentukan dosis ovaprim yang diperlukan. Dosis ovaprim yang digunakan adalah 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk sebanyak 2 kali ulangan. Setiap belut disuntik menggunakan ovaprim yang telah diencerkan menggunakan
(38)
akuabides dengan perbandingan 1:2. Kemudian belut disuntik satu persatu pada bagian intramuscular dan ditempatkan pada akuarium yang berbeda. Pengamatan
keberhasilan ovulasi, penimbangan bobot belut serta percobaan stripping
dilakukan pada jam ke 8, 16, 20, dan 24 setelah penyuntikan. Selain itu, dilakukan pula pengukuran suhu air pada jam tersebut.
2.2 Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu jenis kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), keberhasilan pemijahan, dan keberhasilan ovulasi.
(39)
III.
HASIL
DAN
PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Jenis Kelamin Belut
Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada fase seksualitas betina karena pada gonadnya menghasilkan oosit. Belut dengan ukuran panjang antara 40,5 - 50 cm sudah memasuki fase interseks karena ditemukan ovari dan testis di dalam tubuhnya. Belut dengan ukuran panjang lebih dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan karena pada gonadnya menghasilkan spermatosit. Data hasil identifikasi 60 sampel belut dari pembedahan yang telah dilakukan dapat dilihat secara rinci pada Lampiran 2.
Tabel 3 Identifikasi jenis kelamin belut berdasarkan rentang ukuran panjang.
Seksualitas Panjang (cm)
20,5 - 30 30,5 - 40 40,5 - 50 50,5 - 60
Betina 15 13 2 2
Interseks 0 2 9 1
Jantan 0 0 4 12
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut ini adalah hasil pengamatan gonad belut secara mikroskopis dan makroskopis.
Betina Interseks Jantan
Gambar 4 Gonad belut secara mikroskopis.
Betina Jantan
Gambar 5 Gonad belut secara makroskopis.
3.1.2 Kematangan Gonad
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa belut memiliki keragaman tingkat kematangan gonadnya. Morfologi belut yang matang gonad (TKG IV) memiliki
(40)
TKG Seksualitas
ciri-ciri umum yaitu pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut bagian belakang ke arah genital terlihat penuh terisi telur dan bagian perut berwarna kuning kemerahan sedangkan pada jantan yaitu urogenital berwarna merah dan bagian perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, ciri-ciri pada belut jantan dan betina tidak lengkap ditemukan pada seluruh sampel belut yang memiliki TKG IV (12 sampel betina dan 3 sampel jantan). Rincian hasil penentuan tingkat kematangan gonad belut dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 4 Sebaran tingkat kematangan gonad belut.
Betina Jantan Interseks
TKG I 5 4 0
TKG II 7 6 0
TKG III 8 3 0
TKG IV 12 3 0
Interseks 0 0 12
3.1.3 Pemijahan Alami
Pengamatan lubang dilakukan setelah 1,5 bulan pemeliharaan hasilnya yaitu lubang belut yang digunakan sebagai tempat perlindungan dan pemijahan secara umum memiliki bentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal ke arah bawah kemudian mendatar. Namun, sarang penyimpanan telur maupun ciri-ciri adanya pemijahan dengan ditandai busa di sekeliling lubang tidak terlihat pada saat diamati. Gambar 6 berikut ini merupakan lubang persembunyian belut yang ditemukan pada bak pemijahan alami.
(a) (b) (c)
keterangan: (a) lubang di atas pematang, (b) lubang di dekat pematang, (c) lubang di antara pematang.
Gambar 6 Lubang persembunyian belut selama pemeliharaan di bak pemijahan alami.
Suhu harian pada bak pemijahan berkisar antara 25 - 31 0C sedangkan pH harian seluruh bak cenderung stabil pada nilai pH 6. Secara umum, kualitas air antara setiap bak tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik pH ataupun suhu.
(41)
Parameter Bak
Bak Rasio
Jumlah lubang pada setiap bak memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1 sebanyak 32 lubang, bak 2 sebanyak 40 lubang, bak 3 sebanyak 32 lubang sedangkan bak 4 sebanyak 35 lubang (Tabel 5).
Tabel 5 Jumlah lubang belut dan kisaran suhu serta pH selama pemeliharaan pada bak pemijahan alami.
1 2 3 4
Jumlah lubang belut 32 40 32 35
Kisaran suhu harian (oC) 25 - 31 25 - 31 26 - 30 26 - 30
Kisaran pH harian 6 6 6 6
Seluruh bak dilakukan pemanenan setelah 2 bulan masa pemeliharaan, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah belut yang dimasukan pada setiap bak berkurang. Rasio yang digunakan dalam pemijahan untuk bak 1, bak 4, bak 3, dan bak 2 antara jantan:betina yaitu 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5. Namun, dari keempat rasio tersebut hanya rasio 1:4 saja yang berhasil, yaitu pada bak 3 dengan jumlah induk belut sebanyak 20 ekor pada kepadatan 3 ekor/m2 dengan jumlah benih sebanyak 3 ekor (Tabel 6). Perbandingan induk betina dan benih belut hasil pemanenan bak 3 dapat dilihat pada Gambar 7. Induk yang ditebar pada setiap bak dapat dilihat pada Lampiran 3 - 6 dan benih yang dipanen dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 6 Hasil pemanenan belut pada seluruh bak pemijahan alami.
jantan:betina Awal
Penelitian (ekor) Akhir Penelitian (ekor) Betina Jantan Betina Jantan
Benih
1 1:2 16 8 7 5 -
4 1:3 15 5 2 1 -
3 1:4 16 4 7 4 3
2 1:5 20 4 8 - -
(a) (b) (c) (d) (e) (f)
keterangan: Induk belut betina: (a) 34,7 cm, (b) 30,2 cm, (c) 30 cm dan benih belut: (d) 25,4 cm, (e) 24,5 cm, dan (f) 17 cm.
Gambar 7 Perbandingan beberapa induk belut betina dengan seluruh benih hasil pemanenan pada bak ke 3.
(1)
Lampiran
1
Tahapan
pemeriksaan
gonad
metode
asetokarmin.
Pembuatan larutan asetokarmin Preparasi gonad
Asam asetat 4,5 mL + Akuades 5,5 mL (larutan asam asetat 45%)
Larutan asam asetat 45% dididihkan menggunakan microwave selama 2- 4 menit, lalu didinginkan dan ditambahkan bubuk karmin sebanyak 0.06 g kemudian
disaring dengan kertas saring
Belut dibius, diberi penanda lalu dibedah
Gonad belut dipisahkan lalu diambil sebagian dan ditaruh di
atas slide glass
Gonad ikan ditetesi dengan larutan asetokarmin sebanyak 2 - 4 tetes lalu didiamkan selama 2 menit,
ditutup menggunakan cover glass, lalu ditekan
sehingga gonad yang diamati tidak terlalu tebal (memudahkan saat diamati)
Preparat diamati di bawah mikroskop
21
(2)
perut (cm) TKG Jantan Betina
Lampiran
2
Data
hasil
identifikasi
gonad
belut
sawah
(
Monopterus albus
).
No. Panjang
1 24,5 11,26 2 III √
2 25 11,89 2,5 I √
3 26 12,12 2,3 II √
4 26,5 12,42 2,3 III √
5 27 13,61 2,5 IV √
6 27 13,72 2,3 IV √
7 27,5 13,56 2 II √
8 27,5 13,74 2,1 IV √
9 28 19,45 2,4 IV √
10 28 17,50 2,7 III √
11 28,5 19,90 2,5 IV √
12 29 20,01 3 II √
13 29,5 19,87 2,7 IV √
14 30 20,18 2,5 II √
15 30 20,12 3 III √
16 30,5 22,01 2,7 IV √
17 30,5 21,67 2,9 II √
18 31 22,86 2,5 IV √
19 32 22,34 3,7 II √
20 32,5 22,89 3,4 IV √
21 33 30,02 3,3 IV √
22 33,5 30,21 3 IV √
23 34 30,88 3,5 IV √
24 36,5 43,40 4 III √
25 37 44,35 4,5 III √
26 37,5 47,94 3,4 III √
27 38 48,73 3,5 - √ √
28 38 48,82 4 II √
29 39,5 49,43 4 III √
30 40 60,21 4,5 - √ √
31 40,5 62,30 5 - √ √
32 40,5 61,51 5 - √ √
33 41 65,36 3,8 I √
34 41,5 68,95 4,1 III √
35 41,5 68,25 4,1 - √ √
36 43 72,63 4,6 - √ √
37 43,5 75,81 5 - √ √
22
(3)
perut (cm) TKG Jantan Betina
Lampiran
2
(lanjutan)
Data
hasil
identifikasi
gonad
belut
sawah
(
Monopterus
albus
).
No. Panjang
38 44,5 75,57 4,9 I √
39 45 78,54 4,5 - √ √
40 46 80,11 4,6 - √
√
41 46,5 83,16 5 I √
42 47 85,62 5 - √ √
43 48 90,77 5 I √
44 50 107,39 5 II √
45 50 109,13 5 - √ √
46 51 108,75 5,8 I √
47 51,5 123,89 6,5 II √
48 51,5 125,32 6,5 II √
49 52,5 145,89 6 II √
50 53 148,56 6 IV √
51 53 139,87 6 I √
52 54 143,33 6 II √
53 55,5 146,84 6 I √
54 55,5 151,63 6 IV √
55 55,5 148,12 6 - √ √
56 55,5 150,66 6,5 I √
57 56 165,46 5,7 III √
58 58 170,13 5,6 IV √
59 59 173,59 6,9 III √
60 60 176,61 6,5 II √
23
(4)
Lampiran
3
Ukuran
induk
belut
sawah
yang
ditebar
pada
bak
1.
Betina Jantan
No. Panjang
(cm)
Bobot (g)
Lingkar perut (cm)
Panjang (cm)
Bobot (g)
Lingkar perut (cm)
1 31 22,42 2,5 59 171,58 6,8
2 29 20,13 2,7 53,5 150,36 5,9
3 30 21,22 2,9 51 110,42 5,7
4 34 29,97 3,4 60 176,23 6,3
5 35 31,64 3,6 57 168,72 5,5
6 30 20,14 2,6 52,5 144,23 6
7 32,5 21,32 3,4 54 144,46 6
8 32 22,67 3,6 52 130,66 6,1
9 34 31,19 3,4
10 30,5 22,53 2,8
11 37 45,12 4,6
12 33 30,15 3,4
13 35,5 33,64 3,6
14 36,5 42,97 3,9
15 33,5 29,84 2,9
16 32 23,74 3,8
Lampiran
4
Ukuran
induk
belut
sawah
yang
ditebar
pada
bak
2.
Betina Jantan
No. Panjang
(cm)
Bobot (g)
Lingkar perut (cm)
Panjang (cm)
Bobot (g)
Lingkar perut (cm)
1 30 21,42 2,5 57 167,36 5,6
2 30,5 21,68 2,8 53 146,86 6,1
3 28 18,65 2,3 52 130,65 5,7
4 33,5 31,25 3,2 56 164,20 5,8
5 36 40,39 3,9
6 35 38,71 3,9
7 32 23,19 3,8
8 34 29,56 3,4
9 33 30,41 3,4
10 30,5 22,42 3
11 28,5 19,11 2,2
12 34,5 33,93 3,8
13 29,5 18,67 2,5
14 36 40,17 3,8
15 37 45,55 4,8
16 29,5 19,59 2,6
17 34 29,86 3,3
18 37,5 46,23 3,5
19 32,5 23,21 3,5
20 36 42,49 3,7
24
(5)
Lampiran
5
Ukuran
induk
belut
sawah
yang
ditebar
pada
bak
3.
Betina Jantan
No. Panjang
(cm)
Bobot (g)
Lingkar perut (cm)
Panjang (cm)
Bobot (g)
Lingkar perut (cm)
1 29,5 19,95 2,8 53 148,67 6
2 29 19,98 2,6 59 170,34 6,1
3 32 22,65 3,7 57,5 170,11 5,5
4 34 30,90 3,5 55 145,83 6
5 30 20,38 2,4
6 38 48,79 3,6
7 35,5 42,51 3,3
8 33 30,25 3,2
9 36,5 44,23 2,8
10 36 41,97 3,6
11 32,5 22,77 3,4
12 36 43,12 3,6
13 30 20,21 2,8
14 31 22,59 2,6
15 30,5 20,34 2,6
16 34 30,62 3,4
Lampiran
6
Ukuran
induk
belut
sawah
yang
ditebar
pada
bak
4.
Betina Jantan
No. Panjang
(cm)
Bobot (g)
Lingkar perut (cm)
Panjang (cm)
Bobot (g)
Lingkar perut (cm)
1 36 42,23 3,6 52 143,45 5,9
2 34,5 35,86 3,7 59 171,36 6,5
3 33 29,56 3,1 55 148,11 6
4 29 20,84 3 51 109,42 5,9
5 29,5 20,42 2,8 53,5 141,76 6
6 30,5 21,94 3
7 37,5 47,54 3,3
8 33 31,24 3,4
9 39 49,12 4
10 34 30,64 3,6
11 32 22,53 3,6
12 28 18,65 2,5
13 27,5 13,96 2,2
14 36 38,76 3,9
15 27 13,97 2,7
25
(6)
Lampiran
7
Benih
belut
hasil
pemanenan
pada
bak
3.
No. Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm)
1 17 3,14 1,1
2 25,4 12,29 2,1
3 24 11,19 1,9
Lampiran
8
Dokumentasi
kegiatan
penelitian
belut
sawah
(
Monopterus albus
).
Kegiatan
penyuntikan
belut
Kegiatan
pengambilan
media
tanah
Kegiatan
persiapan
pembedahan
belut