Analisis komunitas bakteri selam tahapan perkembangan larva udang putih (Litopenaeus vannamei)

ANALISIS KOMUNITAS BAKTERI
SELAMA TAHAPAN PERKEMBANGAN LARVA
UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei)

ARTINI PANGASTUTI

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ’Analisis Komunitas
Bakteri Selama Tahapan Perkembangan Larva Udang Putih (Litopenaeus
vannamei)’ adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka dalam disertasi ini.

Bogor, November 2008


Artini Pangastuti
G361050041

RINGKASAN

Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas ekspor andalan
Indonesia. Dalam budidaya udang, komunitas bakteri yang berasosiasi dengan udang
telah diketahui memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup inangnya. Selama ini,
penelitian mengenai komunitas bakteri yang berasosiasi dengan udang masih
menggunakan metode kultur. Dalam penelitian ini, metode berbasis molekular, yaitu
Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP) dan Amplified
Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA) digunakan untuk memonitor keragaman
bakteri yang berasosiasi dengan tahap-tahap perkembangan larva, struktur komunitasnya
selama perkembangan larva, serta pembentukan komunitas bakteri ini.
. Sampel untuk analisis diperoleh dari satu siklus produksi di hatchery berupa telur,
nauplii, zoea, mysis, dan post larva. T-RFLP dan ARDRA menggunakan marker yang
sama, yaitu gen 16S rRNA, tetapi untuk T-RFLP amplifikasi dilakukan dengan primer
forward yang dilabel pada ujung 5’ sedangkan untuk ARDRA menggunakan primer yang
tidak dilabel.


Baik T-RFLP maupun ARDRA menunjukkan bahwa tiap tahapan

perkembangan larva memiliki pola sidik ragam komunitas bakteri yang unik. Komunitas
bakteri berubah secara dinamis mengikuti perkembangan larva, kecuali pada tahapan
yang lebih akhir, di mana sistem imunitas dan pencernaan larva sudah berkembang lebih
sempurna. Proses molting menyebabkan komunitas bakteri selalu berubah karena lapisan
kitin saluran pencernaan ikut mengelupas dan lapisan yang baru bebas dari bakteri.
Berdasarkan analisis keragaman, komunitas bakteri pada mysis atau post larva memiliki
tingkat keragaman dan distribusi jenis yang paling tinggi dan merata, sementara
komunitas bakteri pada zoea adalah yang terendah keragamannya dan tidak merata.
Filotipe yang dominan pada masing-masing tahapan berbeda. Demikian juga terdapat
perbedaan antara komunitas bakteri yang berasosiasi dengan larva dan komunitas bakteri
di air pemeliharaannya. Jenis yang dominan pada air pemeliharaannya bukan merupakan
jenis yang dominan berasosiasi dengan larva.

Akan tetapi, beberapa filotipe dapat

ditemukan pada keduanya, dan secara bersama-sama filotipe-filotipe ini dalam komunitas
memiliki kemelimpahan relatif yang besar dan dominan. Selain air, kemungkinan pakan

juga mempengaruhi komposisi komunitas bakteri yang berasosiasi dengan larva.

T-RFLP dan ARDRA dapat menggambarkan keragaman dalam komunitas bakteri
secara lebih baik dibandingkan teknik kultur, tetapi ARDRA menghasilkan pengukuran
tingkat keragaman yang lebih tinggi dibandingkan analisis T-RFLP. Dengan teknik
kultur didapatkan 7 isolat yang termasuk dalam 3 kelompok, yaitu Proteobacteria,
Bacteroidetes, dan Firmicutes. Tidak satupun dari isolat-isolat ini yang muncul dalam
hasil T-RFLP kecuali ada beberapa genus yang sama dalam jumlah minoritas.
Kemungkinan sebagian besar bakteri yang berasosiasi dengan larva udang putih tidak
dapat dikultur. Identifikasi TRF (Terminal Restriction Fragment) yang dominan untuk
tiap tahapan adalah: Proteobacteria untuk telur, Bacteroidetes untuk nauplii,
Cyanobacteria untuk zoea, dan Proteobacteria untuk mysis dan post larvae.

Tipe

ARDRA yang dominan diidentifikasi berdasarkan sekuens gen 16S rRNA klon.
Proteobacteria merupakan kelompok yang dominan dalam komunitas bakteri hampir di
seluruh tahapan, tetapi terdapat perbedaan dengan hasil T-RFLP. Sementara itu tipe
yang dominan pada tahap zoea memiliki kekerabatan paling dekat dengan suatu klon
Chloroflexi.


Semua sekuens hanya memiliki tingkat kesamaan ≤96% dengan kerabat

terdekatnya di database, menunjukkan bahwa sebagian besar bakteri yang berasosiasi
dengan larva udang putih adalah spesies yang baru. Kerabat terdekat dari sekuenssekuens tersebut sebagian besar merupakan jenis bakteri yang tidak dapat dikultur,
menguatkan dugaan bahwa bakteri-bakteri dalam komunitas itu mayoritas tidak dapat
dikultur. Dengan demikian, teknik yang berbasis kultur tidak dapat diandalkan untuk
mengungkap keragaman pada komunitas bakteri ini. Teknik berbasis molekular lebih
baik untuk diterapkan dalam monitoring komunitas bakteri sepanjang proses produksi
benur di hatchery.
Analisis T-RFLP dapat digunakan untuk memonitor perubahan sidik ragam
komunitas bakteri akibat suatu perlakuan. Dengan teknik ini dapat ditunjukkan bahwa
perlakuan perendaman dengan Povidone iodine pada telur dan nauplii dapat menurunkan
kandungan total bakteri. Akan tetapi efeknya hanya bersifat sementara, jumlah bakteri
kembali pulih pada tahapan lebih lanjut. Povidone iodine memiliki efek yang berbeda
pada berbagai kelompok bakteri yang berasosiasi dengan larva udang putih. Oleh karena
itu, perlakuan ini juga dapat mengubah profil komunitas bakteri yang berasosiasi dengan
larva udang putih serta menurunkan tingkat keragamannya. Kemungkinan perlakuan ini

dapat berbalik menimbulkan efek negatif jika menyebabkan bakteri yang menguntungkan

tertekan pertumbuhannya dan bakteri patogen menjadi lebih dominan.

Untuk itu

penggunaan disinfektan untuk mengendalikan jumlah kandungan bakteri perlu
dipertimbangkan kembali dari segi keuntungan maupun kerugiannya dalam rangka
perbaikan produksi akuakultur.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ABSTRACT


ARTINI PANGASTUTI. Analyses of bacterial communities during developmental
stages of white shrimp (Litopenaeus vannamei) larvae. Supervised by ANTONIUS
SUWANTO (Major Advisor), YULIN LESTARI, MAGGY THENAWIDJAYA
SUHARTONO (Co advisor)
Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP) and Amplified
Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA) were used to monitor the population
dynamics of bacterial communities associated with different developmental stages of
white shrimp (Litopenaeus vannamei) larvae. Samples were collected from egg, nauplii,
zoea, mysis, and post larvae stages in one cycle of production at hatchery. Either TRFLP or ARDRA indicated that every stage of shrimp development had unique
fingerprint pattern of microbial community. Diversity analyses showed that bacterial
community of mysis or post larvae had the highest diversity and evenness, meanwhile
bacterial community of zoea had the lowest diversity. There were differences between
bacterial community of larvae and its rearing water for all stages, but some phylotypes
were found either in larvae body or rearing water. Identification of most abundant TRF
for each stage resulted in Proteobacteria for egg, Bacteroidetes for nauplii, Cyanobacteria
for zoea, and Proteobacteria for mysis and post larvae. Bacterial community richness
were higher using molecular-based techniques than culture, but ARDRA resulted in more
diversity and evenness than T-RFLP analyses for almost all stages of larvae development.
Dominant ARDRA types were identified based on the sequence of 16S rRNA genes.

Proteobacteria was dominant group in bacterial community for all stages except zoea.
All sequences only had ≤96% similarity with closest relatives in database, suggesting that
most bacteria associated with white shrimp larvae were novel species and might be
unculturable. As shown by T-RFLP analysis, Povidone iodine treatment for eggs and
nauplii caused temporal decrease in total bacterial load. The treatment also affected
diversity and changed the profile of bacterial communities associated with white shrimp
larvae throughout developmental stages.

ANALISIS KOMUNITAS BAKTERI
SELAMA TAHAPAN PERKEMBANGAN LARVA
UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei)

ARTINI PANGASTUTI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul : Analisis
Komunitas Bakteri Selama Tahapan Perkembangan Larva Udang Putih (Litopenaeus
vannamei).
Penelitian ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dari banyak pihak. Untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Antonius Suwanto, Dr. Ir. Yulin
Lestari, serta Prof. Dr. Maggy T. Suhartono atas bimbingan dan arahan sebelum dan
selama pelaksanaan pelitian serta penulisan naskah disertasi ini.

Sungguh banyak

masukan dan ilmu yang penulis dapatkan dari para pembimbing yang sangat berguna
dalam kelanjutan karir penulis setelah ini. Sungguh suatu kehormatan bagi penulis untuk
dapat bekerja sama dengan para pembimbing. Terima kasih juga kepada Dr. Aris Tri

Wahyudi, Dr. Widanarni, dan Dr. Akhmaloka atas kesediaannya menguji dan memberi
masukan bagi disertasi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada PT. Charoen Phokphand Indonesia
atas dana dan fasilitas untuk penelitian yang telah diberikan, juga pada Marine Research
Center PT. Central Pertiwi Bahari untuk fasilitas pemeliharaan larva udang. Terima
kasih kepada seluruh staf peneliti dari R &D PT. CPI dan MRC PT. CPB atas segala
bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian ini. Untuk analisis bioinformatika,
penulis mengucapkan terima kasih kepada Yepy Hardy Rustam dari PT. CPI atas
bantuannya.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dirjen DIKTI Depdiknas atas
biaya studi S3 di Institut Pertanian Bogor melalui BPPS.
Terakhir, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk suami,
anak-anak, dan segenap keluarga atas dukungan dan kesempatan yang selalu diberikan
pada penulis selama menempuh pendidikan dalam 3 tahun ini.

Bogor, November 2008
ARTINI PANGASTUTI

RIWAYAT HIDUP


Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 1975 dari ayah Hadi Subroto dan
ibu Budiarti Wirasmani. Pendidikan dasar dan menengah penulis tamatkan di Surakarta,
yaitu SDN Cemara Dua tahun 1987, SMPN I tahun 1990, dan SMAN I tahun 1993.
Tahun 1993 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan diterima
di Jurusan Biologi FMIPA IPB tahun berikutnya. Gelar Sarjana Sains penulis dapatkan
pada tahun 1998 dan langsung bekerja di FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pada tahun yang sama, melalui program DUE dari DIKTI, penulis melanjutkan studi S2
di Institut Pertanian Bogor dengan mengambil spesialisasi mikrobiologi. Gelar Magister
Sains diterima pada tahun 2001.

Kemudian pada 2005 penulis kembali ke Institut

Pertanian Bogor untuk menempuh studi S3 dengan sponsor BPPS.
Setelah diterima pada tahun 1998 di FMIPA UNS, penulis diangkat sebagai
Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2000 dan menjabat sebagai Asisten Ahli tahun 2002.
Berturut-turut pada tahun 2004 dan 2005 penulis mendapatkan dana Penelitian Dosen
Muda dari Dikti.

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL......................................................................................
DAFTAR GAMBAR..................................................................................
PENDAHULUAN.......................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................

Halaman
v
vi
1
4

Produksi dan Ekspor Udang Indonesia..................................................
Perkembangan dan Siklus Hidup Udang Putih (Litopenaeus
vannamei)...............................................................................................
Komunitas Bakteri pada Hewan Akuatik..............................................
Pembentukan dan Dinamika Komunitas Bakteri pada Hewan Akuatik
Keragaman Komunitas Bakteri yang Berasosiasi dengan Hewan
Akuatik...................................................................................................
Pengaruh Pakan pada Komposisi Mikrobiota........................................
Interaksi Mikrobiota dengan Inang........................................................
Eksplorasi Komunitas Bakteri Berbasis Molekular...............................

4
5

11
13
16
19

BAHAN DAN METODE...........................................................................

23

Tempat dan Waktu Penelitian................................................................
Pengambilan dan Penyiapan Sampel.....................................................
Ekstraksi DNA.......................................................................................
Amplifikasi Gen 16S rRNA untuk T-RFLP..........................................
Digesti Amplikon..................................................................................
Analisis T-RFLP....................................................................................
Penghitungan Jumlah Bakteri dan Isolasi..............................................
Amplifikasi gen 16S rRNA untuk ARDRA...........................................
Kloning Produk PCR 16S rRNA...........................................................
ARDRA.................................................................................................
Sekuensing Gen Penyandi 16S rRNA...................................................
Analisis Keragaman...............................................................................
Diagram Alur Pekerjaan.........................................................................

23
23
24
24
25
25
25
26
26
26
27
27
28

HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................

29

Penghitungan Jumlah dan Isolasi Bakteri yang Dapat Dikultur...........
Analisis Komunitas Bakteri dengan T-RFLP.......................................
Pembentukan Komunitas Bakteri yang Berasosiasi Dengan Larva......
Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA)…………
Perbandingan Teknik Berbasis Kultur dan Molekular...........................
Pengaruh Perlakuan Iodine terhadap Komunitas Bakteri.....................

29
35
44
50
56
60

8
9

KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................

71

Kesimpulan ...........................................................................................
Saran ......................................................................................................

71
71

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
LAMPIRAN................................................................................................

73
82

DAFTAR TABEL

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Produksi udang Indonesia menurut spesies (dalam Ton)..............................
Tahapan perkembangan larva udang putih....................................................
Hasil identifikasi isolat yang berasosiasi dengan telur/larva.........................
Perbandingan jumlah relatif (%) kelompok bakteri yang ditemukan pada
tahapan perkembangan larva.........................................................................
Filotipe yang berasosiasi dengan 3 atau lebih tahapan perkembangan larva
udang putih....................................................................................................
Filotipe unik yang ditemukan pada tahapan perkembangan larva tertentu...
Keragaman bakteri pada tiap tahap perkembangan larva..............................
Filotipe yang kemungkinan berasal dari induk..............................................

9. Keragaman komunitas pada tiap tahapan perkembangan larva dengan
ARDRA.........................................................................................................
10. Hasil analisis sekuens dari klon yang dominan pada tiap tahapan..............
11. Perbandingan keragaman yang terukur dengan teknik T-RFLP dan
ARDRA.........................................................................................................
12. Perbandingan kelompok yang dominan pada tahap-tahap perkembangan
larva dengan menggunakan teknik berbeda.................................................
13. Keragaman komunitas bakteri yang berasosiasi dengan tahapan
perkembangan larva udang putih tanpa dan dengan perlakuan iodine……..
14. Filotipe yang sensitif terhadap iodine…………………………………….
15. Filotipe yang resisten terhadap iodine..........................................................

Halaman
5
7
32
38
39
41
42
49
52
54
59
60
67
68
69

DAFTAR GAMBAR

1. Siklus hidup Udang Putih (Litopenaeus vannamei).......................................
2. Prosedur dalam analisis T-RFLP....................................................................
3. Skema pengambilan sampel dalam satu siklus produksi benur di hatchery...
4. Jumlah CFU (Colony Forming Unit) bakteri dari air dan udang....................
5. Jumlah CFU (Colony Forming Unit) untuk kelompok Vibrio dari air dan
udang…...…………………………………………………………………...
6. Komposisi isolat yang ditemukan pada tiap tahapan perkembangan larva....
7. Komposisi TRF Sau3A1 selama tahapan perkembangan larva......................
8. Perkiraan jumlah bakteri berdasarkan luas Peak Area T-RFLP.....................
9. Perbandingan komposisi TRF Sau3A1 pada udang dengan air
pemeliharaan selama tahapan perkembangan larva.....................................
10. Grafik hubungan antara jumlah klon dan jumlah tipe yang ditemukan........
11. Hubungan kekerabatan klon yang dominan pada tiap tahapan
perkembangan larva udang putih dengan beberapa bakteri yang memiliki
kedekatan
kekerabatan
berdasar
hasil
analisis
sekuensing...................................................................................................
12. Jumlah total bakteri pada udang tanpa dan dengan perlakuan iodine...........
13. Jumlah total Vibrio pada udang dengan dan tanpa perlakuan iodine...........
14. Komposisi komunitas bakteri yang berasosiasi dengan udang tanpa dan
dengan perlakuan iodine.............................................................................
16. Komposisi Vibrio yang berasosiasi dengan udang tanpa dan dengan
perlakuan iodine..........................................................................................
17. Perkiraan jumlah total bakteri tanpa dan dengan perlakuan iodine
berdasarkan total peak area TRF................................................................
18. Perbandingan komposisi TRF Sau3A1 selama tahapan perkembangan
larva tanpa dan dengan perlakuan iodine....................................................

Halaman
6
21
24
30
31
32
37
43
46
51

55
62
63
64
65
66
67

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. TRF hasil pemotongan dengan enzim Sau3A1 yang ditemukan pada tahaptahap perkembangan larva udang putih.........................................................
2. Elektroforegram analisis T-RFLP komunitas bakteri pada udang dan air
pemeliharaannya..................................................................................................

82
85

PENDAHULUAN

Dengan semakin terbatasnya jumlah ikan dan produk perikanan lain yang dapat
ditangkap langsung, usaha budidaya menjadi alternatif untuk memenuhi permintaan akan
produk perikanan yang semakin meningkat. Dewasa ini sebagian besar usaha budidaya
udang terpusat di dua wilayah, yaitu Asia dan Amerika Latin. Indonesia merupakan
salah satu negara produsen terbesar, berada pada urutan ke-6 di tahun 2004.

Pada

awalnya, jenis udang yang dibudidayakan didominasi oleh udang windu (Penaeus
monodon) dan P. margueinsis.

Akan tetapi, produksi udang putih (Litopenaeus

vannamei) semakin meningkat dan mulai menggantikan jenis yang lain. Menurut FAO
(2006), produksi L. vannamei meningkat sebesar 120% antara tahun 2002-2003.
Permintaan yang meningkat pesat untuk komoditas ini telah memaksa petani untuk
mengintensifkan usaha budidaya untuk meningkatkan produksi.

Walaupun dapat

meningkatkan produksi, usaha budidaya intensif telah menyebabkan kerugian ekonomi
yang cukup signifikan bagi para petani akhir-akhir ini karena masalah penyakit. Kondisi
budidaya yang intensif, seperti padat tebar tinggi, akumulasi bahan organik sisa pakan
yang berlebih serta sisa udang yang mati, serta penggunaan senyawa anti mikroba yang
berlebih, menyebabkan timbulnya penyakit yang berakibat kematian massal udang. Di
Asia, kematian massal pada udang yang dibudidayakan akibat White Spot Syndrome
Virus (WSSV) dan Yellow Head Virus (YHV) telah menyebabkan kerugian sekitar $1
milyar per tahun sejak tahun 1994 (Lightner et al. 1994). Di Indonesia sendiri, penyakit
yang berasosiasi dengan Vibrio spp. dan virus merupakan masalah utama pada budidaya
udang.
Komunitas bakteri diduga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan dan kemampuan
bertahan hidup hewan akuatik. Adanya perbaikan pertumbuhan ini diduga berkaitan
dengan komunitas bakteri yang hidup berasosiasi. Peranan komunitas bakteri ini pada
udang belum diketahui, tetapi diduga pengaruhnya cukup signifikan bagi kelangsungan
hidup inang. Bakteri dapat membantu nutrisi inang baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan memproduksi enzim-enzim pencernaan dan senyawa esensial.
Keberadaan komunitas bakteri juga dapat mencegah bakteri oportunis untuk
berproliferasi dan mengkolonisasi tubuh udang, dan ini merupakan mekanisme

pertahanan tubuh yang penting pada tahap larva di mana sistem imunitas belum
berkembang sempurna (Vanbelle et al. 1990).
Sampai saat ini, beberapa penelitian mengenai komunitas bakteri yang berasosiasi
dengan udang telah dilakukan untuk berbagai tujuan, sebagian besar adalah untuk
mendapatkan galur yang potensial untuk probiotik dan galur yang berasosiasi dengan
suatu penyakit (Colorni 1985, Hameed 1993, Straub & Dixon 1993, Vandenberghe et al.
1999, Makridis et al. 2000). Akan tetapi seluruh studi di atas melakukannya dengan
metode kultur sehingga hanya jenis-jenis bakteri yang dapat dikulturkan yang terwakili.
Padahal, sebagian besar bakteri yang hidup di lingkungan adalah bakteri yang tidak dapat
ditumbuhkan pada medium artifisial di laboratorium (Amann et al. 1995). Dari bakteri
keseluruhan bakteri yang hidup berasosiasi dengan hewan akuatik yang teramati dengan
mikroskop, hanya sebagian kecil yang dapat dikulturkan (Van Elsas & Van Overbeek
1993, Wagner et al. 1994). Oleh karena itu, metode kultur tidak dapat menggambarkan
keanekaragaman yang sebenarnya dari komunitas bakteri.
Masalah tersebut dapat diatasi dengan menganalisis DNA atau RNA yang diisolasi
langsung dari contoh lingkungan. Beberapa teknik dapat dilakukan, antara lain yang
menggunakan gen penyandi 16S rRNA sebagai penanda molekuler seperti ARDRA
(Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis), DGGE (Denaturing Gradient Gel
Electrophoresis), dan T-RFLP (Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism).
Teknik T-RFLP merupakan salah satu pendekatan molekuler terkini yang dapat menduga
adanya perbedaan genetik yang rumit antar galur dan memberikan pengertian yang
mendalam tentang struktur dan fungsi suatu komunitas mikroba. Pada teknik ini yang
diukur adalah polimorfisme ukuran dari fragmen hasil pemotongan enzim restriksi pada
ujung produk PCR (TRF, Terminal Restriction Fragment). T-RFLP dapat digunakan
untuk melihat secara kuantitatif perubahan pada komunitas mikroba karena
kemelimpahan relatif suatu populasi dalam komunitas dapat dibandingkan antar sampel
dengan perlakuan yang berbeda atau diambil pada waktu yang berlainan. Teknik ini telah
digunakan untuk analisis mikrobiota pada manusia (Hayashi et al. 2002, Jernberg et al
2005). Dari beberapa studi tersebut, T-RFLP terbukti merupakan alat yang baik untuk
memonitor perubahan sidik jari komunitas mikrobiota sesuai waktu atau perlakuan.

Teknik ARDRA merupakan teknik yang lebih diskriminatif daripada T-RFLP
karena ARDRA menganalisis seluruh bagian gen 16S rRNA yang teramplifikasi. Akan
tetapi teknik ini memiliki kelemahan dalam hal konsumsi waktu dan banyaknya tahapan
kerja yang harus dilakukan.

Selain itu, untuk mendapatkan hasil yang konsisten

diperlukan jumlah pustaka gen 16S rRNA yang cukup besar agar filotipe-filotipe dalam
suatu komunitas dapat terwakili. Akibatnya biaya yang diperlukan juga lebih besar.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika populasi pada komunitas
bakteri yang berasosiasi dengan tahapan-tahapan perkembangan larva udang putih (L.
vannamei). Dengan demikian dapat diperoleh informasi mendalam mengenai keragaman
bakteri yang berasosiasi dengan tahap-tahap perkembangan larva, struktur komunitasnya
selama perkembangan larva, dan pembentukan komunitas bakteri ini. Selanjutnya data
yang diperoleh dapat menjadi basis bagi penelitian selanjutnya untuk lebih memahami
interaksi antara mikroba dan inang serta pengaruh perlakuan tertentu terhadap komunitas
bakteri yang berasosiasi dengan larva udang putih.

TINJAUAN PUSTAKA

Produksi dan Ekspor Udang Indonesia
Udang merupakan salah satu komoditas ekspor andalan bagi Indonesia.

Usaha

budidaya udang berkembang di Indonesia sekitar tahun 1964. Dimulai dari Sulawesi
Selatan, budidaya udang terus berkembang, tersebar di Jawa Tengah dan Timur, Pulau
Sumatera bagian utara dan selatan, Kalimantan Barat, Selatan, dan Timur serta Nusa
Tenggara Barat.

Sebelumnya produksi udang Indonesia berasal seluruhnya dari

penangkapan langsung di alam. Dengan semakin meningkatnya usaha budidaya udang,
pada tahun 2005 jumlah udang yang ditangkap langsung dari alam tinggal sekitar 40%
dari total produksi udang Indonesia. Untuk seluruh dunia, pada tahun 1999, budidaya
memproduksi sekitar 814250 metrik ton udang, dan ini meliputi kira-kira seperempat dari
total produksi udang dunia (Rosenberry 1999). Proporsi ini meningkat pada tahun 2004
menjadi 46% (FAO 2006).
Terdapat tiga tipe usaha budidaya udang di Indonesia, yaitu tambak tradisional, semi
intensif, dan intensif. Budidaya semi intensif dan intensif mencakup 25% dari total area
budidaya udang, tetapi produksinya mencakup 65% total produksi udang dan 80% ekspor
udang Indonesia. Produksi udang meningkat selama periode 2003-2007 sebesar 16,39%
dari 192,466 ton pada 2003 menjadi 352,220 ton pada 2007. Tabel 1. menunjukkan
produksi udang Indonesia menutut spesies. Dalam kurun waktu 1964-2000, terdapat dua
spesies udang yang mendominasi produksi, yaitu P. monodon dan P. marguiensis. Akan
tetapi sejak tahun 2005, produksi L. vannamei terus meningkat, walaupun spesies ini
bukan berasal dari Indonesia. Produksi L. vannamei di Indonesia meningkat 5 kali lipat
pada kurun waktu 2000-2005 (Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia).
Pemerintah telah menetapkan udang pada urutan ke-6 dalam komoditas ekspor non
migas. Ekspor udang mengalami peningkatan selama periode 2003-2007 karena tidak
adanya kuota.

Tahun 2004 Indonesia mengekspor sebesar 122,9 ribu metrik ton,

mengalami peningkatan sebesar 37% selama dekade 1994-2004, dengan nilai total
US$840 juta. Peningkatan volume ekspor mendorong pada peningkatan nilai produksi
udang, yaitu USD850,222 juta pada 2003 menjadi USD 1,048 miliar pada 2007. Nilai
ekspor udang pada 2007 mencapai hampir 50% dari nilai ekspor perikanan sebesar USD

2,3 miliar. Laju pertumbuhan produksi rata-rata untuk Indonesia antara tahun 2004-2008
diperkirakan sebesar 4% per tahun. Seluruh data di atas diperoleh dari Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia telah menargetkan produksi sebesar 540.000
ton untuk P. monodon dan L. Vannamei (Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia).
Akan tetapi, ada beberapa masalah yang dapat menghambat peningkatan produksi,
diantaranya adalah penurunan kualitas benih akibat inbreeding dan kualitas induk yang
tidak terstandardisasi dengan baik, degradasi lingkungan, dan pencemaran air. Selain itu,
penggunaan pakan yang berlebih serta padat tebar yang tinggi, juga penggunaan
antibiotik secara tidak bijaksana menyebabkan penyakit udang semakin menyebar dan
menyebabkan penurunan produksi.

Residu antibiotik yang digunakan petani untuk

mengatasi penyakit juga menyebabkan produk udang Indonesia banyak yang tidak
memenuhi standar beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor.

Tabel 1. Produksi udang Indonesia menurut spesies (dalam Ton)
Spesies

2001

2002

2003

2004

2005

P. monodon

103.603

112.840

133.636

131.399

134.686

P. marguiensis

25.862

24.708

35.249

33.797

27.088

Metapenaeus sp.

19.093

21.634

22.881

19.929

13.731

L. vannamei

-

-

-

53.217

103.874

Mysidopsis sp.

610

415

700

226

164

Total

149.168

159.597

192.466

238.568

279.543

Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia

Perkembangan dan Siklus Hidup Udang Putih (Litopenaeus vannamei)
Udang putih tergolong dalam famili udang penaeid (Penaeidae). Udang penaeid
merupakan anggota dari filum terbesar dalam kingdom binatang, yaitu Arthropoda, yang
dikarakterisasi oleh jointed appendages dan eksoskleton/kutikula yang mengalami
molting secara periodik (Bailey-Brock & Moss 1992). Siklus hidup udang putih ini dapat
dilihat pada Gambar 1.

naupli

dewasa

telur

zoea
juvenil

post larvae

mysis

Gambar 1. Siklus hidup udang putih (Litopenaeus vannamei) (dengan seijin Dr. Agung
Setiarto, Universitas Diponegoro Semarang)
Siklus hidup udang penaeid terdiri dari beberapa tahapan berbeda yang ditemukan
pada habitat yang bervariasi. Larva mendiami permukaan laut yang kaya akan plankton.
Juvenil lebih menyukai air payau di daerah pesisir, sementara udang dewasa biasanya
ditemukan pada kedalaman laut dan kadar garam yang lebih tinggi.

Larva udang putih

melalui 3 tahapan perkembangan, yaitu nauplii, zoea, dan mysis, kemudian
bermetamorfosis menjadi post larva (PL).
Saat telur menetas menjadi nauplii, larva belum mengambil makanan dari luar,
hanya menghabiskan sisa cadangan makanan dari telur (egg yolk). Selanjutnya pada
tahap zoea larva memakan fitoplankton dan kemudian dilanjutkan dengan zooplankton.
Pada tahap mysis dan selanjutnya, udang dapat memakan berbagai organisme kecil lain
seperti Artemia.

Untuk berkembang menjadi dewasa, udang putih harus melalui

beberapa siklus molting (Treece & Yates 1988). Molting merupakan proses pelepasan
eksoskleton yang terjadi secara periodik.

Jika terjadi pertumbuhan, udang harus

melepaskan penghubung longgar antara epidermis dan eksoskleton kemudian melepaskan
diri dari eksoskleton yang kaku tersebut.

Selanjutnya udang mengambil air untuk

mengembangkan eksoskleton baru yang fleksibel dan secepatnya mengeraskannya
dengan mineral dan protein.

Pada akhir tiap tahapan molting, air digantikan oleh

jaringan dan eksoskleton mengeras.

Akibatnya proses molting ini menghasilkan

penambahan ukuran badan yang diskontinyu. Beberapa tahapan perkembangan yang
dilalui oleh larva udang putih ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Tahapan perkembangan larva udang putih
Tahapan

Waktu dalam

Ukuran di akhir tahapan

tahapan
±14 jam (28 oC)

Telur
Nauplii (N) NI, NII,

o

36-51 jam (28 C)

NIII, NIV, NV
Zoea I (PI)

diameter ± 220 µm
Panjang: 0.43-0.58 mm,
lebar: 0.18-0.22 mm

36-48 jam (28 oC)

Panjang total: 1.0 mm
Panjang caudal (ekor): 0.3 mm

Zoea II (PII)

36-48 jam (28 oC)

Panjang total: 1.28-2.01 mm
Panjang caudal (ekor): 0.72-0.87 mm

Zoea III (PIII) (P3)

o

36-48 jam (28 C)

Panjang total: 2.4- 2.59 mm
Panjang caudal (ekor): 0.93-1.40 mm

Mysis I (MI) (M2)

24 jam (28oC)

Panjang total: 3.5 mm
Panjang caudal (ekor): 1.2 mm

Mysis II (MII)

24 jam (28 oC)

Panjang total: 3.3-4.2 mm
Panjang caudal (ekor): 1.2-1.4 mm

Mysis III (MIII)

o

24 jam (28 C)

Panjang total: 3.9-4.7 mm
Panjang caudal (ekor): 1.3-1.5 mm

Postlarva I (PLI)

24 jam (28 oC)

Panjang total: 4.2-5.0 mm
Panjang caudal (ekor): 1.4-1.6 mm

Sumber : Treece 1985
Komunitas Bakteri pada Hewan Akuatik
Komunitas bakteri sering ditemukan berasosiasi dengan organisme lain. Komunitas
ini berkembang pada bagian tertentu dari tubuh organisme yang biasanya memiliki
karakteristik khusus, misalnya tersedianya substrat bagi pertumbuhan mikroorganisme
yang melimpah. Komunitas mikroba yang secara normal mengkolonisasi organisme ini
biasa disebut mikrobiota. Mikrobiota hidup berinteraksi dengan inangnya. Jenis-jenis
penyusun mikrobiota dapat memiliki efek negatif, positif, ataupun netral bagi inangnya.

Pada hewan akuatik, mikrobiota yang hidup berasosiasi pada tubuhnya selalu
berhubungan dengan air dari lingkungan sekitarnya. Hal ini berbeda dengan pada hewan
terestrial yang mikrobiotanya relatif terisolasi dari lingkungan sekitar dan kondisi
habitatnya lebih stabil. Akibatnya, mikrobiota pada hewan akuatik bersifat tidak stabil
dan biasanya hanya menetap sementara. Air yang masuk ke dalam saluran pencernaan
terus menerus membilas dan mengintroduksi spesies-spesies bakteri dari luar. Karena
itu, komposisi mikrobiota yang hidup berasosiasi dengan hewan akuatik dapat
mencerminkan komposisi mikroorganisme di air yang ada di sekitarnya.
Komunitas bakteri diduga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan dan
kemampuan bertahan hidup hewan akuatik. Hal ini dibuktikan dengan misalnya pada
udang L. vannamei yang ditumbuhkan pada air yang kaya akan material organik
(termasuk di dalamnya mikroba).

Ternyata pertumbuhannya lebih baik jika

dibandingkan dengan yang ditumbuhkan pada air yang mengalami perlakuan untuk
menghilangkan kandungan bahan organiknya, yaitu sebesar 416% untuk larva, 48-89%
untuk juvenile, dan 33% untuk broodstock (Leber & Pruder 1988, Moss et al. 1992, Moss
1995). Adanya perbaikan pertumbuhan ini diduga berkaitan dengan komunitas bakteri
yang ada dalam kolam pemeliharaan, karena udang yang tumbuh pada air yang banyak
mengandung bahan organik memiliki jumlah bakteri aerob yang lebih kecil tetapi
keragamannya lebih besar dibandingkan dengan udang yang tumbuh dalam air yang tidak
mengandung bahan organik (Moss et al. 2000).
Hasil yang sama juga teramati pada bivalvia. Air laut yang disaring dengan filter
berukuran 0,2 μm tidak baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva
Argopecten purpuratus, dan hasil yang terbaik didapatkan jika menggunakan filter
berukuran 5 μm (Riquelme et al. 1997). Bivalvia kemungkinan tidak dapat dengan
efisien mempertahankan partikel berukuran kurang dari 1 μm (Bayne 1983). Air yang
disaring dengan filter 5 μm diketahui mengandung partikel dan agregat bakteri yang
terdiri dari 4-5 sel yang mungkin dapat ditangkap oleh larva dan memacu pertumbuhan.
Prieur et al. (1990) melaporkan bahwa Crassostrea gigas tidak tumbuh dalam periode 7
hari kultur tanpa adanya bakteri. Sementara pada Pecten maximus, filtrat yang diperoleh
dengan filter berukuran antara 0,22-1,0 μm dapat memacu pertumbuhan larva (Samain et
al. 1987).

Pembentukan dan Dinamika Komunitas Bakteri Pada Hewan Akuatik
Berbeda dengan pada hewan yang ada di darat, mikrobiota pada hewan akuatik
hidupnya selalu berhubungan dengan air yang ada di lingkungan sekitarnya. Manusia
dan hewan terestrial mengalami perkembangan embrionik dalam amnion, sementara larva
dari hewan akuatik harus menghadapi kondisi lingkungan luar pada tahap awal
ontogenetiknya. Pada larva invertebrata akuatik yang merupakan filter feeder, terjadi
aliran air yang terus-menerus memasuki saluran pencernaannya. Hal ini memperbesar
kemungkinan jenis bakteri dalam air mempengaruhi komposisi mikrobiota yang
mengkolonisasi saluran pencernaan.

Sebagai contoh, jenis-jenis bakteri yang sama

ditemukan baik pada air laut maupun saluran pencernaan udang Penaeus japonicus
(Moriarty 1990).
Menurut Moriarty (1990), sebagian besar mikroba hanya menempati saluran
pencernaan sementara saja.

Komposisi mikrobiota dalam saluran pencernaan selalu

berubah dengan dinamis seiring masuknya bakteri-bakteri asal air dan makanan.
Kelompok bakteri yang sama, tipikal sistem akuatik, berada dalam komposisi mikrobiota.
Kemungkinan proliferasi terjadi dalam saluran pencernaan dan sedikit perbedaan pada
jumlah atau spesies inisial dalam air atau pakan menentukan spesies mana yang akan
mendominasi mikrobiota. Pada ikan Rainbow Trout, hasil perhitungan jumlah bakteri
sangat bervariasi, menunjukkan bahwa mikrobiota tidak mengkolonisasi saluran
pencernaan secara permanen (Spanggaard et al. 2000).

Usus ikan tidak memiliki

mikrobiota yang stabil walaupun saluran gastrointestinal ikan merupakan ekosistem yang
sangat berbeda dari lingkungan air sekitarnya. Hasil yang berbeda didapatkan oleh
Sakata et al. (1980), yang tidak mendapatkan kesamaan antara kelompok bakteri yang
diisolasi dari air, usus ikan, maupun pakannya.
Pada hewan akuatik, bagian dalam tubuh yang biasanya dihuni oleh bakteri adalah
saluran pencernaan dan insang. Menurut Lavilla-Pitogo et al. (1992), kolonisasi bakteri
pada udang terjadi khusus pada organ-organ saluran pencernaan dan jarang ditemukan
pada eksoskleton. Bakteri Vibrio vulnificus ditemukan pada hemolimfe dan saluran
pencernaan udang windu P. monodon (Sung & Song 1996), sementara pada tahapan zoea
dan mysis larva L. vannamei, V. harveyi ditemukan pada saluran pencernaan (Soto-

Rodriguez et al. 2003). Pada ikan Rainbow Trout, penggunaan Fluorescens In Situ
Hibridization (FISH) pada cryo-section saluran pencernaan menunjukkan bahwa bakteri
mikrobiota dominan berada dalam lumen, bukan pada dinding saluran pencernaan
(Spanggaard et al. 2000). Hal ini menyebabkan mikrobiota tidak mengkolonisasi saluran
pencernaan secara permanen karena akan terus ikut terbuang bersama kotoran dan terus
digantikan oleh yang baru. Pada ikan Mas, terjadi fluktuasi dari hari ke hari dalam
komposisi mikrobiota yang diisolasi dari kotorannya (Sugita et al. 1987).
Besarnya pengaruh lingkungan terhadap komposisi mikrobiota pada larva hewan
akuatik juga disebabkan oleh belum sempurnanya perkembangan sistem pencernaan dan
sistem imun (Timmermans 1987, Vadstein 1997), sehingga jenis-jenis bakteri yang hidup
di air atau dari pakan bebas masuk ke saluran pencernaan dan menetap. Tidak ada
penghalang berupa asam lambung maupun garam empedu yang merupakan barrier bagi
masuknya bakteri dari luar. Grizes et al. (1997) menunjukkan bahwa tidak ada spesies
yang dominan dan persisten mengkolonisasi usus larva Seabream (Dicentrarchus labrax)
dan Seabass (Sparus aurata) selama tahap perkembangannya. Pada Rainbow Trout,
variasi komposisi mikrobiota yang ditemukan pada larva juga dipengaruhi oleh lokasi
dan waktu pengambilan sampel yang berbeda (Spanggaard et al. 2000).
Selain transmisi secara horisontal dari lingkungannya, hewan akuatik mendapatkan
mikrobiota yang berasosiasi dengannya secara vertikal antar generasi, yaitu dari
induknya.

Bakteri pengoksidasi sulfur yang merupakan simbion pada insang

Calyptogena magnifica (Bivalvia: Vesicomyidae) diketahui ditransmisi secara vertikal
melalui telur bivalvia (Hurtado et al. 2003). Suatu kelompok α-Proteobacteria yang
berasosiasi dengan 7 genus sponge laut yang diambil dari beberapa lokasi berbeda
ternyata tidak ditemukan pada air laut di sekitarnya dan diduga ditransmisi secara vertikal
melalui larva (Enticknap et al. 2006).

Keragaman Komunitas Bakteri Yang Berasosiasi Dengan Hewan Akuatik
Komposisi mikrobiota pada hewan akuatik berbeda dengan pada hewan terestrial.
Hal ini disebabkan berbedanya kondisi habitat pada saluran pencernaan keduanya. Jika
pada manusia dan hewan terestrial yang mendominasi mikrobiota adalah kelompok
bakteri gram positif anaerobik obligat atau fakultatif (Gournier-Chateau et al. 1994), pada

hewan akuatik mikrobiota didominasi oleh kelompok bakteri gram negatif anaerob
fakultatif. Baik pada Crustacea, Bivalvia, ataupun ikan air laut, genus yang dominan
adalah Vibrio dan Pseudomonas (Moriarty 1990, Sakata 1990, Prieur et al. 1990).
Sementara itu, pada ikan air tawar, genus yang dominan adalah Aeromonas, Plesiomonas,
dan berbagai enterobacteriaceae (Sakata 1990). Pada ikan Bandeng (Chanos chanos),
jenis-jenis bakteri yang ditemukan dari saluran pencernaannya adalah Moraxella,
Aeromonas, Citrobacter, Carnobacterium, Streptococcus, Bacillus, Pseudomonas,
Pleisomonas, Staphylococcus, Flavobacterium, Vibrio, dan Serratia (Aslamyah 2006).
Selain itu juga ditemukan genus yang belum pernah dilaporkan diisolasi dari saluran
pencernaan, yaitu Micrococcus, Proteus, Planococcus, dan Kurthia. Keempat genus
tersebut umumnya ditemukan pada tanah atau sedimen perairan.
Keragaman mikrobiota juga dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Dalam
studi yang dilakukan di kolam-kolam hypersaline di pantai San Francisco, California,
diketahui bahwa jenis-jenis bakteri yang berasosiasi dengan Artemia franciscana
berfluktuasi mengikuti kadar salinitas. Pada kadar salinitas yang rendah, jumlah bakteri
dan keragamannya lebih tinggi, genus yang ditemukan adalah Acinetobacter, Aeromonas,
Citrobacter, Vibrio, bakteri enterik, serta Pleisomonas dan Pseudomonas. Saat kadar
salinitas tinggi, jumlah bakteri maupun keragamannya turun drastis, genus yang
ditemukan adalah yang lebih halofilik, yaitu Vibrio spp. (Straub & Dixon 1993).
Untuk kelompok sponge, suatu kelompok α-Proteobacteria yang berkerabat dekat
ditemukan pada 7 genus sponge laut yang diambil dari beberapa lokasi. Isolat-isolat ini
menunjukkan kemiripan sekuens >99% pada gen 16S rRNA-nya, dan berkerabat dekat
dengan Pseudovibrio denitrificans (Enticknap et al. 2006).

Sponge juga diketahui

berasosiasi dengan kelompok Cyanobacteria, sebagian besar adalah dari kelompok
Synechococcus dan Prochlorococcus serta Oscillatoriales. Beberapa sponge laut dari
ordo Dictyoceratida diketahui berasosiasi dengan spesies Cyanobacteria Oscillatoria
spongeliae dalam jumlah besar di mesohyl (bagian dalam) dari sponge (Ridley et al.
2005). Dari beberapa spesies sponge yang diteliti, hanya satu spesies yang memiliki
bakteri -proteobacteria (masuk dalam kelompok Rhodobacter berdasar gen 16S rRNA)
dalam jumlah yang signifikan, dan hanya satu spesies yang memiliki Cyanobacteria jenis
lain (Synechocystis sp. ).

Mikrobiota utama yang berasosiasi dengan larva udang, terutama pada tahap nauplii
dan zoea, mempunyai keragaman yang tinggi (Vandenberghe et al. 1999). Kelompok
Vibrio bukan kelompok yang dominan pada nauplii P. indicus dan juga pada tahap awal
perkembangan larva L. vannamei (Vandenberghe et al. 1998; Vandenberghe et al. 1999).
Sementara itu, dari kelompok Vibrio yang ditemukan, jenis yang dominan adalah V.
alginolyticus, baik pada larva sehat maupun sakit (Vandenberghe et al. 1999). Hasil ini
berlawanan dengan Hameed (1993) yang menemukan bahwa kelompok yang dominan
selama tahap perkembangan larva sejak telur sampai post-larvae pada P. indicus adalah
Vibrio.

Pengaruh Pakan Pada Komposisi Mikrobiota
Anggota penyusun mikrobiota juga dapat dibawa oleh pakan, terutama jenis pakan
alami/hidup. Jenis pakan alami dapat mempengaruhi komposisi mikrobiota hewan yang
memakannya. Pada larva Seabream dan Seabass dari hatchery di Yunani dan Spanyol,
komposisi mikrobiota tampaknya menggambarkan komposisi bakteri dalam pakan hidup
yang diberikan (Grisez et al. 1997). Pada kelompok yang diberi pakan berupa rotifera,
jenis yang dominan adalah V. aunguilarum, V. tubiashi, dan bakteri non Vibrio.
Sementara, untuk kelompok yang diberi pakan Artemia, yang dominan adalah V.
alginolyticus, V. proteolyticus, V. harveyi, dan V. natriegens.
Menurut Liu et al. (1994), populasi bakteri yang berasosiasi dengan larva P.
monodon berubah dari dominan gram positif menjadi dominan gram negatif, saat
diintroduksi dengan nauplii Artemia sebagai pakan pertama untuk larva P. monodon
stadia zoea III. V. alginolyticus dan Vibrio spp. yang diisolasi dari tangki penetasan
Artemia ternyata berasosiasi dengan isolat dari tangki pemeliharaan larva tahap mysis,
zoea, maupun post-larva, menunjukkan bahwa Vibrio ini tetap berasosiasi dengan tahap
perkembangan berikutnya (Lopez-Torres & Lizarraga-Patida 2001).

Akan tetapi,

kemungkinan Vibrio spp. tersebut berasal dari tangki pemeliharaan, bukan berasosiasi
dengan cyst Artemia. Diketahui bahwa bakteri dominan yang berasosiasi dengan cyst
Artemia adalah kelompok Gram Positif (Lopez-Torres &Lizarraga-Patida 2001). Bakteri
dapat memproduksi senyawa organik yang berkembang menjadi lapisan film pada

permukaan yang terekspos pada air laut (Duan et al. 1995). Lapisan film tersebut terdiri
dari polisakarida, terutama glukosa dan galaktosa (Rodriguez & Bhosle 1991) yang dapat
melindungi bakteri terhadap pencucian dan klorinasi dinding tangki pemeliharaan.
Bakteri tertentu dapat berkembang selama proses pemeliharaan dalam tangki, walau
suplai air, udara, maupun pakan selalu dikontrol.
Pada teknik akuakultur, beberapa metode telah digunakan untuk memperbaiki
kualitas mikrobiologis dari pakan hidup, seperti disinfeksi dengan senyawa kimia
(GomezGil-RS et al. 1994) dan perendaman dalam air tawar (Rodriguez et al.1991).
Secara fisik, radiasi digunakan untuk menurunkan jumlah bakteri yang berasosiasi
dengan pakan hidup.

Pada Turbot, kemampuan bertahan hidup lebih besar pada

kelompok larva yang diberi pakan rotifera (Brachionus plicatilis) yang diiradiasi dengan
ultra violet, di mana kandungan bakterinya turun sebesar 88%. Hal ini diduga karena laju
kolonisasi bakteri pada saluran pencernaan larva berkurang karena rendahnya jumlah
bakteri inisial pada rotifera (Munro et al. 1999).
Selain cara fisik dan kimia, cara lain yang digunakan untuk mengurangi kandungan
bakteri pada pakan hidup dapat dilakukan dengan pemberian mikroalga.

Pada A.

franciscana, pemberian mikroalga Tetraselmis sp. mampu menurunkan proliferasi bakteri
dan mengintroduksi spesies baru dari kultur alga sehingga menghasilkan mikrobiota yang
lebih stabil dengan keragaman tinggi, yang kemudian dapat ditransfer secara langsung
kepada mikrobiota larva Halibut (Hipoglossus hipoglossus) yang memakannya (Olsen et
al. 2000). A. franciscana berumur 2 hari memiliki jumlah total bakteri 24000 ± 10700
CFU/hewan dengan proporsi Vibrio dan bakteri hemolitik berturut-turut sebesar 58% dan
10% dari total. Mikrobiota didominasi oleh V. alginolyticus (30 dari 40 isolat yang
diuji). Setelah 4 jam inkubasi dengan Tetraselmis sp., jumlah bakteri turun rata-rata
sebesar 75% dan V. alginolyticus menjadi kurang dominan.

Keragaman relatif

mikrobiota juga meningkat dari 0,17 menjadi 0,40. Setelah 24 jam inkubasi, jumlah total
bakteri semakin turun sementara prevalensi Vibrio menurun dan mikrobiota didominasi
oleh genus lain. Keragaman relatif bertambah menjadi 0,82.
Bagaimana mikroalga dapat mempengaruhi mikrobiota pada hewan yang digunakan
sebagai pakan hidup sampai saat ini belum jelas. Salah satu hipotesis adalah mikroalga
menyebabkan perubahan dalam komposisi dan menurunkan jumlah bakteri pada pakan

hidup dengan cara mengeluarkan isi saluran pencernaan yang merupakan substrat bagi
proliferasi bakteri. Umumnya Artemia diberi pakan berupa minyak ikan, suatu substrat
yang kaya nutrisi, sehingga memicu proliferasi bakteri tertentu dalam saluran pencernaan.
Selain itu, alga diketahui juga memproduksi senyawa antibakteri, seperti dilaporkan
untuk Tetraselmis sp.( Austin et al. 1992). Mikroalga mempunyai efek positif bagi
pertumbuhan larva ikan selama pemberian pakan pertama dengan meningkatkan kualitas
nutrisi pakan dan faktor mikrobialnya. Penambahan mikroalga pada tangki pemeliharaan
dapat mengubah komposisi mikrobiota yang berasosiasi dengan larva, tergantung spesies
dan tahap perkembangan alga yang digunakan (Salvesen et al. 2000).
Hasil yang berbeda diamati pada Macrobrachium rosenbergii yang diberi pakan
hidup berupa nauplii A. salina. Jenis bakteri Aeromonas liquefaciens dan V. anguilarum
umum ditemukan pada larva M. rosenbergii tetapi tidak terdapat pada nauplii A. salina
(Colorni 1985). Hal ini menunjukkan bahwa larva M. rosenbergii memiliki kemampuan
untuk mempertahankan komposisi mikrobiota normal dalam saluran pencernaannya dari
pengaruh introduksi bakteri asal makanan.
Jenis pakan buatan juga dapat mempengaruhi komposisi mikrobiota pada hewan
akuatik. Pada larva Seabass, pemberian pakan buatan menyebabkan jumlah total bakteri
jauh lebih banyak dibandingkan yang diberi pakan hidup.

Selain itu, keragaman

mikrobiota juga lebih besar pada kelompok yang diberi pakan hidup Artemia (Gatesoupe
et al. 1997). Pemberian diet dengan defisiensi besi juga dapat menurunkan jumlah total
bakteri dan meningkatkan keragamannya. Hal yang sama juga teramati pada studi yang
dilakukan oleh Garatun-Tjeldsto et al. (1989) pada larva ikan Cod di mana pemberian
pakan buatan terlalu dini dapat menyebabkan larva gagal bermetamorfosis dan ditemukan
sejumlah besar bakteri pada lumen ususnya. Lepasnya komponen larut air dari partikel
pakan diduga dapat menyebabkan proliferasi bakteri (Garatun-Tjeldsto 1994). Akan
tetapi, pada Japanese Flounder dan Rockfish, jumlah bakteri mencapai maksimum
selama periode pemberian pakan hidup, lalu justru menurun setelah diberi pakan buatan
(Tanasomwang & Muroga, 1988; 1989).
Jenis pakan juga mempengaruhi komposisi mikrobiota berdasarkan kemampuan
hidrolitiknya. Jenis pakan tertentu dapat menseleksi jenis bakteri tertentu yang memiliki
kemampuan untuk menggunakannya sebagai substrat. Pada larva Seabass yang diberi

pakan buatan terdapat sejumlah besar Vibrio yang menghasilkan siderofor, protease,
fosfolipase, dan amilase, yang hanya diproduksi oleh 25-60% mikrobiota pada kelompok
yang diberi pakan hidup. Sebaliknya, lipase adalah produk ek