Kajian Perkembangbiakan Embrio Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara

(1)

KAJIAN PERKEMBANGBIAKAN BURUNG MAMOA

(

Eulipoa wallacei

) DI KECAMATAN GALELA

KABUPATEN HALMAHERA UTARA

NUR SJAFANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Perkembangbiakan Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara

adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Darftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, juni 2006

Nur Sjafani


(3)

ABSTRAK

NUR SJAFANI. Kajian Perkembangbiakan Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara. Dibimbing oleh IMAN RAHAYU HIDAYATI SOESANTO dan ANI MARDIASTUTI.

Perkembangbiakan embrio pada unggas telah banyak dilakukan, namun khususnya pada burung Mamoa belum ada informasi ilmiah yang jelas. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mempelajari karakteristik sarang pengeraman burung Mamoa pada habitat bertelur serta tahapan perkembangan embrio yang ditetaskan secara buatan dan alami, membandingkan tingkat keberhasilan penetasan buatan dan alami serta kemampuan hidup anak burung Mamoa sampai umur 1 bulan. Penelitian ini dilakukan pada 3 lokasi bertelur di pantai di kecamatan Galela. Dengan menggunakan telur tetas masing-masing 70 butir untuk penetasan buatan dan alami. Parameter yang diamati karakteristik sarang dan penetasan. Hasil penelitian menunjukan bahwa habitat bertelur di pantai memiliki tekstur tanah berpasir dengan pH antara 5.9-6.7 dan kandungan SiO2 (kuarsa) yang tinggi (51.2%). Dimensi sarang pengeraman dipengaruhi oleh musim (hujan/kemarau) dan keadaan bulan (gelap/terang). Hasil analisis bobot embrio menunjukan bahwa bobot embrio yang ditetaskan secara buatan lebih tinggi dibandingkan di alam pada hari ke-21 sampai ke-35, sedangkan pada hari yang lainnya tidak. Perkembangan burung Mamoa pada penetasan buatan dan alami mulai terlihat perkembangannya pada hari pengeraman ke-10. Fertilitas dan daya tetas pada penetasan alami lebih baik (100%) bila dibandingkan dengan penetasan buatan daya tetasnya rendah (81.18%), serta viabilitas anak burung Mamoa sampai umur 1 bulan pada penetasan buatan dan alami 100%. Hasil analisis persamaan regresi antara bobot telur dan bobot tetas pada kedua penetasan menunjukan hubungan yang berbanding lurus.


(4)

ABSTRACT

NUR SJAFANI. Study The Mamoa Bird (Eulipoa Wallacei) Reproduction Galela Districk, North Halmahera. Supervised of IMAN RAHAYU HIDAYATI SOESANTO dan ANI MARDIASTUTI.

Some studies on embryo’s reproduction on bird has already been done, however scientific studies on mamoa bird are very few. This research was done to study characteristics of hatching nest on laying habitat, embryo development stages which naturally and artificially hatched, compare the rate of natural and artificial hatchability and also vibiliability of Mamoa chick at 1 month old. This research was done in 3 laying area around the beach in Galela district. By using 70 eggs each or natural and aryificial hatching. Parameter observed were nesting and hatching characteristic. The result showed that laying habitat of Mamoa bird around the beach were sandy soil SiO2pH between 5.9-6.7, and high SiO2content

(51.2%). Hatching nests dimension were affected by season (rain/dry) and moon’s shine (dark/light). Embryo’s weight were high on artificial hatching than natural hatching on day 21 to 35, while in other day were not insignificant. Both of naturally and artificially hatched eggs were develop on day 10. Fertility and hatchability on natural hatching wete better (100%) if it compared to artificial hatching (81.18%). One month age Mamoa bird on viability of natural and artificial hatching were (100%). Regression analysis between egg weight and hatching weight on both hatching methods shows linier correlation.


(5)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

KAJIAN PERKEMBANGBIAKAN BURUNG MAMOA

(

Eulipoa wallacei

) DI KECAMATAN GALELA

KABUPATEN HALMAHERA UTARA

NUR SJAFANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

Judul : Kajian Perkembangbiakan Embrio Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara Nama : Nur Sjafani

NIM : D051030061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iman Rahayu H.S, M.S. Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatka kepa Alla SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini ditulis setelah melalui suatu proses penelitian yang dilaksanakan di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara, dengan judul Kajian Perkembangan Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara.

Tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dan dukungan dari beberapa pihak. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Iman Rahayu Hidayati Soesanto, M.S sebagai ketua dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc, sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala curahan ilmu, bimbingan, arahan dan semangat yang diberikan mulai dari persiapan penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini.

Kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Peternakan IPB dan Ketua Program Studi SPs serta seluruh staf pengajar, penulis ucapkan terima kasih atas ilmu, bantuan dan dukungan yang diberikan selama menempuh Program Magister. Ucapan terimakasih pula disampaikan kepada Rektor Universitas Khairun Ternate dan Dekan Fakultas Pertanian atas izin yag diberikan sehingga penulis dapat melanjutkan studi program Magister. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Ternak Universitas Khairun Ir. Abdurahman Hoda, Msi dan Ir. Lily Ishak, MSc, penulis ucapkan terimaksih atas dorongan, bantuan dan dukungannya.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Kel. Umar Tjanaba, Mohcdar Gangsano, Camat Kecamatan Galela, Kepala Desa Pune, Limau, Toweka dan Mamuya, atas bantuan selama melaksanakan penelitian. Kepada Zulkifli, Spd, Ute, Amat, Memet, Amin, Murid Pattiha, Slamet Pattiha, terima kasih atas bantuannya selama melakukan penelitian.

Penulisan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dan dukungan dari teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Ternak. Terima kasih diucapkan kepada Eli Sahara, SPt, MSi, Ir. Agus Triyanto, MSi, Zuraid Watihellow, SPt, Dwi Kusuma, SPt, MSi, Meisi Lianasari, SPt, MSi, Ir. Insun Sangaji, MSi, DR. Ir. Jasmal A. Syamsu MSi, Dra Diffah Hanim, MSi dan terima kasih kepada Insan


(9)

Kurnia S.Hut serta Asep Ahyat S.Hut yang telah membantu selama menempuh

studi di IPB.

Kepada Ayahanda Abu. B. Tamnge (Alm), Ibunda Norma Duwila, saudara-saudaraku Ruslia Tamnge, SH, Muchlis Tamnge dan Muhammad V. Tamnge, SH terimakasih atas segala kasih sayang, semangat dan dukungan kepada penulis untuk meraih dan mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Akhirnya kepada suamiku tersayang Ir. Sabrani penulis mengucapkan terima kasih atas pengertian yang diberikan serta semangat dan dukungan kepada penulis untuk meraih cita-cita.

Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan konservasi burung Mamoa khususnya di Maluku Utara.

Bogor, Juni 2006


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ternate (Maluku Utara) tanggal 22 Agustus 1971, anak kedua dari empat bersaudara dari ayah Abu B. Tamnge (alm) dan Ibu Norma Duwila. Pada tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri I Ternate dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado. Penulis memilih Jurusan Ilmu Produksi Ternak dan meraih sarjana peternakan pada tahun 1996. Sejak tahun 2001 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB baru terlaksana pada tahun 2003 dengan beasiswa BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.


(11)

KAJIAN PERKEMBANGBIAKAN BURUNG MAMOA

(

Eulipoa wallacei

) DI KECAMATAN GALELA

KABUPATEN HALMAHERA UTARA

NUR SJAFANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Perkembangbiakan Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara

adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Darftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, juni 2006

Nur Sjafani


(13)

ABSTRAK

NUR SJAFANI. Kajian Perkembangbiakan Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara. Dibimbing oleh IMAN RAHAYU HIDAYATI SOESANTO dan ANI MARDIASTUTI.

Perkembangbiakan embrio pada unggas telah banyak dilakukan, namun khususnya pada burung Mamoa belum ada informasi ilmiah yang jelas. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mempelajari karakteristik sarang pengeraman burung Mamoa pada habitat bertelur serta tahapan perkembangan embrio yang ditetaskan secara buatan dan alami, membandingkan tingkat keberhasilan penetasan buatan dan alami serta kemampuan hidup anak burung Mamoa sampai umur 1 bulan. Penelitian ini dilakukan pada 3 lokasi bertelur di pantai di kecamatan Galela. Dengan menggunakan telur tetas masing-masing 70 butir untuk penetasan buatan dan alami. Parameter yang diamati karakteristik sarang dan penetasan. Hasil penelitian menunjukan bahwa habitat bertelur di pantai memiliki tekstur tanah berpasir dengan pH antara 5.9-6.7 dan kandungan SiO2 (kuarsa) yang tinggi (51.2%). Dimensi sarang pengeraman dipengaruhi oleh musim (hujan/kemarau) dan keadaan bulan (gelap/terang). Hasil analisis bobot embrio menunjukan bahwa bobot embrio yang ditetaskan secara buatan lebih tinggi dibandingkan di alam pada hari ke-21 sampai ke-35, sedangkan pada hari yang lainnya tidak. Perkembangan burung Mamoa pada penetasan buatan dan alami mulai terlihat perkembangannya pada hari pengeraman ke-10. Fertilitas dan daya tetas pada penetasan alami lebih baik (100%) bila dibandingkan dengan penetasan buatan daya tetasnya rendah (81.18%), serta viabilitas anak burung Mamoa sampai umur 1 bulan pada penetasan buatan dan alami 100%. Hasil analisis persamaan regresi antara bobot telur dan bobot tetas pada kedua penetasan menunjukan hubungan yang berbanding lurus.


(14)

ABSTRACT

NUR SJAFANI. Study The Mamoa Bird (Eulipoa Wallacei) Reproduction Galela Districk, North Halmahera. Supervised of IMAN RAHAYU HIDAYATI SOESANTO dan ANI MARDIASTUTI.

Some studies on embryo’s reproduction on bird has already been done, however scientific studies on mamoa bird are very few. This research was done to study characteristics of hatching nest on laying habitat, embryo development stages which naturally and artificially hatched, compare the rate of natural and artificial hatchability and also vibiliability of Mamoa chick at 1 month old. This research was done in 3 laying area around the beach in Galela district. By using 70 eggs each or natural and aryificial hatching. Parameter observed were nesting and hatching characteristic. The result showed that laying habitat of Mamoa bird around the beach were sandy soil SiO2pH between 5.9-6.7, and high SiO2content

(51.2%). Hatching nests dimension were affected by season (rain/dry) and moon’s shine (dark/light). Embryo’s weight were high on artificial hatching than natural hatching on day 21 to 35, while in other day were not insignificant. Both of naturally and artificially hatched eggs were develop on day 10. Fertility and hatchability on natural hatching wete better (100%) if it compared to artificial hatching (81.18%). One month age Mamoa bird on viability of natural and artificial hatching were (100%). Regression analysis between egg weight and hatching weight on both hatching methods shows linier correlation.


(15)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(16)

KAJIAN PERKEMBANGBIAKAN BURUNG MAMOA

(

Eulipoa wallacei

) DI KECAMATAN GALELA

KABUPATEN HALMAHERA UTARA

NUR SJAFANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(17)

Judul : Kajian Perkembangbiakan Embrio Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara Nama : Nur Sjafani

NIM : D051030061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iman Rahayu H.S, M.S. Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(18)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatka kepa Alla SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini ditulis setelah melalui suatu proses penelitian yang dilaksanakan di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara, dengan judul Kajian Perkembangan Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara.

Tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dan dukungan dari beberapa pihak. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Iman Rahayu Hidayati Soesanto, M.S sebagai ketua dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc, sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala curahan ilmu, bimbingan, arahan dan semangat yang diberikan mulai dari persiapan penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini.

Kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Peternakan IPB dan Ketua Program Studi SPs serta seluruh staf pengajar, penulis ucapkan terima kasih atas ilmu, bantuan dan dukungan yang diberikan selama menempuh Program Magister. Ucapan terimakasih pula disampaikan kepada Rektor Universitas Khairun Ternate dan Dekan Fakultas Pertanian atas izin yag diberikan sehingga penulis dapat melanjutkan studi program Magister. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Ternak Universitas Khairun Ir. Abdurahman Hoda, Msi dan Ir. Lily Ishak, MSc, penulis ucapkan terimaksih atas dorongan, bantuan dan dukungannya.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Kel. Umar Tjanaba, Mohcdar Gangsano, Camat Kecamatan Galela, Kepala Desa Pune, Limau, Toweka dan Mamuya, atas bantuan selama melaksanakan penelitian. Kepada Zulkifli, Spd, Ute, Amat, Memet, Amin, Murid Pattiha, Slamet Pattiha, terima kasih atas bantuannya selama melakukan penelitian.

Penulisan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dan dukungan dari teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Ternak. Terima kasih diucapkan kepada Eli Sahara, SPt, MSi, Ir. Agus Triyanto, MSi, Zuraid Watihellow, SPt, Dwi Kusuma, SPt, MSi, Meisi Lianasari, SPt, MSi, Ir. Insun Sangaji, MSi, DR. Ir. Jasmal A. Syamsu MSi, Dra Diffah Hanim, MSi dan terima kasih kepada Insan


(19)

Kurnia S.Hut serta Asep Ahyat S.Hut yang telah membantu selama menempuh

studi di IPB.

Kepada Ayahanda Abu. B. Tamnge (Alm), Ibunda Norma Duwila, saudara-saudaraku Ruslia Tamnge, SH, Muchlis Tamnge dan Muhammad V. Tamnge, SH terimakasih atas segala kasih sayang, semangat dan dukungan kepada penulis untuk meraih dan mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Akhirnya kepada suamiku tersayang Ir. Sabrani penulis mengucapkan terima kasih atas pengertian yang diberikan serta semangat dan dukungan kepada penulis untuk meraih cita-cita.

Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan konservasi burung Mamoa khususnya di Maluku Utara.

Bogor, Juni 2006


(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ternate (Maluku Utara) tanggal 22 Agustus 1971, anak kedua dari empat bersaudara dari ayah Abu B. Tamnge (alm) dan Ibu Norma Duwila. Pada tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri I Ternate dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado. Penulis memilih Jurusan Ilmu Produksi Ternak dan meraih sarjana peternakan pada tahun 1996. Sejak tahun 2001 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB baru terlaksana pada tahun 2003 dengan beasiswa BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.


(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Manfaat ... 3

Kerangka Pemikiran ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) ... 5

Status Populasi ... 7

Habitat ... 8

Kebiasaan dan Tingkah Laku Umum ... 9

Penetasan Telur ... Perkembangan Embrio ... 11 12 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 16

MATERI DAN METODE PENELITIAN ... 19

Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

Materi Penelitian ... 19

Alat dan Bahan ... 19

Pelaksanaan Penelitian ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

Deskripsi Lokasi ... 30

Karakteristik Sarang Pengeraman ... 35

Tekstur Tanah Sarang Bertelur ... 35

pH (Keasaman) Sarang Pengeraman ... 36

Kandungan Kuarsa (SiO2) Sarang Pengeraman ... 36

Dimensi Sarang Pengeraman ... 37

Hubungan Temperatur dan Kedalaman Sarang Pengeraman... 38


(22)

Interaksi dengan Satwaliar Lain ... 43

Deskripsi Telur ... 44 Lama Inkubasi ... 47 Perkembangan Bobot Embrio ... 48

Tahapan Perkembangan Bobot Embrio ... 49

Fertilitas ... 56 Daya Tetas ... 57 Hubungan Bobot Telur dan Bobot Tetas ... 59 Viabilitas ... 60

KESIMPULAN ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64


(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Analisa tanah sarang pengeraman burung Mamoa ... 35 2. Dimensi sarang pengeraman ... 37 3. Hubungan temperatur dan kedalaman sarang pengeraman ... 39 4. Kelembaban sarang pengeraman ... 42 5. Interaksi burung Mamoa dengan satwaliar lain ... 43 6. Rataan morfometri telur burung Mamoa ... 46 7. Rataan bobot embrio burung Mamoa yang ditetaskan

secara buatan dan alami... 48 8. Tahapan perkembangan embrio burung Mamoa yang tetaskan

secara buatan dan alami ... 50 9. Daya Tetas Telur Burung Mamoa yang Ditetaskan Secara buatan

dan alami ... 58 10. Rataan Bobot Telur dan Bobot Tetas serta persamaan regresi... 60


(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 4 2. Induk burung Mamoa ... 6 3. Peta lokasi penelitian ... 18 4. Kerangka kotak sarang... 24 5. Tahapan pelaksanaan penelitian ... 29 6. Lokasi bertelur di pantai Denamabobane ... 31 7. Lokasi bertelur di pantai Tiabo ... 33 8. Lokasi bertelur di pantai Uwo Uwo ... 34 9. a. Perubahan temperatur sarang menurut waktu (siang dan

malam pantai di Denamabobane ... 40 b. Perubahan temperatur sarang menurut waktu (siang dan

malam di pantai Tiabo ... 40 c. Perubahan temperatur sarang menurut waktu (siang dan

malam di pantai Uwo Uwo ... 41 10. Bentuk telur burung Mamoa ... 45 11. Histogram lama inkubasi telur yang ditetaskan secara buatan

Dan alami ... 47 12. Perkembangan bobot embrio burung Mamoa yang ditetaskan

Secara buatan dan alami ... 49 13. Tahapan perkembangan embrio burung Mamoa yang ditetaskan

Secara buatan dan alami ... 54 14. Proses pipping pada burung Mamoa ... 56 15. Anak burung Mamoa ... 61


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Prosedur pembuatan preparat utuh 69

2. a Vegetasi habitat bertelur burung Mamoa di pantai

Denamabobane... 70 b. Vegetasi habitat bertelur burung Mamoa di pantai Tiabo... 71 c. Vegetasi habitat bertelur burung Mamoa di pantai Uwo Uwo... 72 3. Hasil analisis tanah sarang pengeraman burung Mamoa... 72 4. a. Hasil analisis statistik deskriptif dimnsi sarang burung Mamoa di pantai Denamabobane ... 73 b. Hasil analisis statistik deskriptif dimnsi sarang burung Mamoa di pantai Tiabo... 74 c. Hasil analisis statistik deskriptif dimnsi sarang burung Mamoa di pantai Uwo Uwo... 75 5. Hasil analisis deskriptif temperatur dan kelembabab sarang

pengeraman di pantai Denamabobane, Tiabo dan Uwo Uwo... 76 6. a. Hasil analisis regresi hubungan temperatur dan kedalaman

sarang pengeraman di pantai Denamabobane ... 77 b. Hasil analisis regresi hubungan temperatur dan kedalaman sarang Pengeraman di pantai Tiabo ... 78 c. Hasil analisis regresi hubungan temperatur dan kedalaman sarang Pengeraman di pantai Uwo Uwo... 79 7. Rataan pengukuran temperatur tanah sarang pengeraman di pantai

Denamabobane, Tiabo dan Uwo Uwo ... 80 8. Hasil analisis statistik deskriptif kelembaban tanah sarang

Pengeraman ... 81 9. Hasil analisis statistik morfometri telur burung Mamoa yang

ditetaskan secara buatan dan alami ... 82 10. Hasil analisis bobot embrio burung Mamoa yang ditetaskan secara

Buatan dan alami ... 83 11. a. Hasil analisis regresi hubungan antara bobot telur dan bobot

tetas burung Mamoa yang ditetaskan secara buatan ... 85 11. b. Hasil analisis regresi hubungan antara bobot telur dan bobot


(26)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Maluku Utara adalah salah satu daerah prioritas bagi konservasi, secara global menjadi daerah prioritas untuk biodiversity. Pulau Halmahera merupakan pulau utama yang mencakup bagian terbesar hidupan liar, dengan 210 jenis burung, sementara sebagian besar spesies burung endemik yaitu 26 speseies yang terdapat di kepulauan Maluku 24 diantaranya terdapat di Maluku Utara (Sujatnika

et al. 1995).

Megapodidae adalah salah satu genus burung endemik yang terdapat di Maluku Utara. Dari 22 spesies Megapoda 3 diantaranya terdapat di Maluku Utara yaitu: Eulipoa wallacei (Megapodius wallacei = Burung Mamoa = Gosong Maluku), Megapodius bernsteinii (Gosong sula), dan Megapodius freycinent

(Gosong kelam) (Sujatnika et al. 1995; Coates dan Bishop 2000). Burung Mamoa tidak mengerami telurnya sendiri seperti pada unggas lainnya, melainkan telurnya dibenamkan di dalam pasir dan menggunakan sumber panas matahari, dalam bumi atau keduanya untuk mengeramkan telurnya (Joanes 1995; Heij dan Rompas 1997).

Kecamatan Galela merupakan daerah populasi terbesar bagi burung Mamoa (Eulipoa wallacei). Masyarakat setempat memanfaatkan burung dan telurnya sebagai sumber protein untuk dimakan, juga sebagai sumber mata pencaharian. Ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup burung Mamoa yaitu adanya pemanenan telur yang berlebihan, berpotensi pada penurunan jumlah populasi burung ini serta dipercepat dengan degradasi dan fragmentasi lokasi bersarang.

Status populasi burung ini sudah dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 757/Kpts/Um/12/1979 tertanggal 5 Desember 1979 (Noerdjito dan Maryanto 2001). Namun sampai saat ini, lokasi bertelur burung Mamoa di Kecamatan Galela (Kabupaten Halmahera Utara) belum ada suatu keputusan untuk melindungi lokasi burung ini melangsungkan kehidupannya agar dapat terhindar dari ancaman kepunahan.

Lokasi atau lapangan bertelur adalah komponen yang penting yang harus diperhatikan, karena lapangan tempat bertelur juga berfungsi sebagai tempat untuk


(27)

mengeramkan telurnya. Megapodius tidak mengerami telurnya sendiri, telurnya

dibenamkan dalam pasir pada kedalaman tertentu di pantai sebagai sumber panas dari dalam bumi, setelah bertelur induk burung Mamoa meninggalkan telurnya yang telah dibenamkan di dalam pasir sampai waktunya menetas.

Dalam rangka upaya konservasi bagi burung Mamoa, diperlukan informasi baik ekologis maupun biologis dari satwa tersebut. Salah satu aspek biologis yang perlu diperhatikan adalah bagaimana tahapan perkembangan dari embrionya sehubungaan dengan penggunaan sumber panas bumi untuk inkubasi telurnya. dan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah gangguan oleh aktivitas manusia serta hewan lain yang berada di lokasi bertelur.

Penetasan merupakan proses yang harus dilalui oleh unggas pada umumnya demi kelangsungan keturunannya. Sangatlah penting untuk mengetahui informasi tentang perkembangan embrio burung Mamoa, karena sampai saat ini informasi dasar tentang perkembangan burung Mamoa masih sangat kurang sehingga belum diketahui bagaimana tahapan perkembangan embrionya. Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana tahapan perkembangan embrio burung Mamoa yang ditetaskan di dalam inkubator dan secara alami serta kemampuan hidup anak burung Mamoa setelah menetas sampai umur berumur 1 bulan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari karakteristik sarang pengeraman di habitat bertelur serta mempelajari tahapan perkembangan embrio burung Mamoa yang ditetaskan secara buatan dan di alam, agar dapat memperoleh gambaran: (1) perkembangan embrio dari setiap tahapan pada proses penetasan buatan dan di alam; (2) membandingkan tingkat keberhasilan penetasan buatan dan di alam; dan (3) gambaran kemampuan hidup anak burung Mamoa sampai berumur 1 bulan.

Perumusan Masalah

Penelitian burung Mamoa yang dilakukan selama ini masih bersifat eksplorasi pada habitat alaminya dan belum ada ada informasi karakteristik sarang pengeraman serta tahapan perkembangan embrio dan pertumbuhannya.


(28)

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian diharapkan berguna untuk :

1) memperoleh gambaran perkembangan embrio yang ditetaskan secara buatan dan di alam,

2) sebagai informasi dasar yang digunakan pada penelitian-penelitian selanjutnya untuk menunjang konservasi burung Mamoa dan

3) membantu program pegembangbiakan secara masal.

Kerangka Pemikiran

Habitat hidup burung Mamoa di hutan dan habitat bertelur di pantai. Setelah bertelur induk burung Mamoa terbang kembali ke hutan. Burung Mamoa tidak mengerami telurnya sendiri seperti unggas pada umumnya. Telurnya diinkubasi di alam dengan menggunakan sumber panas matahari. Penetasan merupakan proses yang harus dilalui oleh semua unggas untuk melihat perkembangan embrionya. Dalam penelitian ini proses penetasan terbagi atas dua yaitu proses penetasan secara alami dan di dalam mesin tetas. Tujuan kedua proses ini untuk mepelajari tahapan perkembangan dari embrio burung Mamoa baik yang ditetaskan secara buatan maupun di alam. Pada penetasan alami selain melihat tahapan perkembangan embrio juga mempelajari karakteristik sarang pengeraman. Dari proses penetasan alami dan buatan akan dikaji secara deskriptif dan analisis untuk untuk menunjang program konservasi burung Mamoa di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara.


(29)

Kembali

Gambar 1 Kerangka penelitian. Burung Mamoa

Hutan

Tahapan perkembangan Embrio Inkubasi

Alam (Matahari)

Karakteristik Sarang Pengeraman

Konservasi Pantai (Bertelur)

Data dasar

Habitat

Buatan


(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Burung Mamoa (Eulipoa wallacei)

Menurut Jones et al. (1995) burung Mamoa termasuk ordo Galiformes, terdiri atas lima Famili antara lain Megapodidae. Daerah penyebaran burung Mamoa yaitu pulau Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, Haruku dan Misol (Andrew 1992; Coates dan Bishops 2000). Menurut White dan Bruce (1986); Anonim (2006) klasifikasi burung Mamoa adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Philum : Chordata Sub philum : Vertebrata Kelas : Aves Ordo : Galiformes Famili : Megapodiidae

Genus : Megapodius (Gaimard 1832)

Spesies : Eulipoa wallacei (Ogilvie dan Grant 1893 dalam Heij dan Rompas 1997).

Sinonim : Megapodius wallacei (Gray 1860).

Nama daerah : Mamua (Obi), Mamoa (Ternate dan Halmahera), burung Galela (Halmahera Barat), Nan lato (Buru Tengah), Mamor (Seram Timur), Manulai (Seram Utara) (Heij dan Rompas 1997).

Dari klasifikasi nama ini nampak bahwa pemberian nama famili

Megapodidae ini terdapat beberapa pendapat pada pemberian nama. Megapodius wallacei (White dan Bruce 1986; Dekker 1990), menyebut Eulipoa wallacei

(Ogilvie dan Grant 1860 dalam Heij dan Rompas 1997; MacKinon dan Wind 1980; Hoyo et al. 1994). Rosellar dalam Heij (1997) dan Jones et al. (1995) mengemukakan bahwa dalam taksonomi Eulipoa wallacei dekat hubungannya dengan Megapodius tetapi secara jelas terdapat perbedaan pada warna bulu dan beberapa perbedaan struktur sehingga spesies ini ditempatkan ke dalam genus

Eulipoa.

Burung Mamoa merupakan burung dataran yang memiliki paruh pendek, keras dan melengkung ke bawah, sayapnya pendek, mampu berlari dengan baik


(31)

tetapi tidak bisa berenang. Burung Mamoa memiliki jari kaki dan kuku yang besar

serta kuat, ini ada hubungannya dengan fungsi dari kuku yaitu untuk menggali lubang pada tempat-tempat bertelur (Jones et al.1995).

Gambar 2 Induk burung Mamoa (Eulipoa wallacei) (Sumber : Coates dan Bishop 2000).

Jumlah telur yang dihasilkan seekor burung betina per tahun per musim tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan seekor burung bertelur antara 12 – 14 hari atau sekitar 8-9 butir per musim bertelur (Heij dan Rompas 1997). Warna telur dari burung ini dikatakan merah karat, semakin lama dalam penetasan warna telur akan semakin luntur. Berat telur dari burung ini berkisar antara 103.6-120 g/butirr pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau berkisar antara 100 – 124 gr/butir dengan panjang antara 78.1-85.5 mm dan lebar 42.0-51, 8 mm (Heij dan Rompas 1997; Gilliant 1998).

Anak burung yang baru menetas mempunyai bobot 61.1g. Berlainan dengan unggas lainnya anak burung Mamoa sewaktu menetas tidak mempunyai gigi telur (egg tooth). Anak burung ini dapat mencari makan secukupnya dalam jangka waktu sehari (Heij dan Rompas 1997). Burung Mamoa dewasa mempunyai panjang tubuh : 325-350 mm, sayap 190-200 mm, ekor 65-80 mm, tarsus 44-55 mm, paruh 133 mm, jari tengah 37 mm dan jari tengah dengan cakar 58 mm Anak burung memiliki sayap panjang 86,96 mm; panjang tarsus 25.5-28.1 mm; dengan


(32)

berat badan 68-79 (Gray 1986). Selanjutnya Menurut Heij dan Rompas (1997)

kisaran bobot burung betina dewasa 450-515 g/ekor.

Seluruh permukaan tubuh burung betina yang ditemukan di lokasi bertelur tertutup bulu, pada bagian punggung berwarna abu-abu; tungging dan ekor berwarna abu-abu terang, abu-abu kebiruan, abu-abu gelap dengan sedikit kehijauan pada bagian tepinya. Bulu penutup sayap utama berwarna abu-abu dengan pita merah marun dan abu-abu dengan warna kuning tua pada bagian tepi, sedangkan pada bulu penutup atas bagian tengah berwarna abu-abu dengan warna hijau pada bagian tepi. Bulu primer sayap atas kecoklatan, abu-abu coklat atau abu-abu gelap dengan warna kuning tua pada ujung bawah bagian dalam. Bulu sekunder berwarna abu-abu terang kehijauan, coklat kehijauan atau abu-abu dengan coklat kehijauan. Dada berwarna abu-abu atau abu-abu gelap, pada bagian perut berwarna abu-abu gelap tetapi lebih terang dari dada (Heij dan Rompas 1997).

Jumlah telur yang dihasilkan seekor burung betina per tahun per musim tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan seekor burung bertelur antara 12-14 hari atau sekitar 8-9 butir per musim bertelur (Heij dan Rompas 1997). Warna telur dari burung ini dikatakan merah karat, semakin lama dalam penetasan warna telur akan semakin luntur. Berat telur dari burung ini berkisar antara 103.6-120 g/butirr pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau berkisar antara 100- 124 gr/butir dengan panjang antara 78.1-85.5 mm dan lebar 42.0-51. 8 mm (Heij dan Rompas 1997; Gilliant 1998).

Status Populasi

Burung Mamoa terdapat di Kepulauan Maluku, Buru, Seram, Haruku, Ambon, Halmahera. Populasi burung Mamoadi alam mengalami penurunan tajam karena keterbatasan habitatnya. Berdasarkan pembagian wilayah biografi burung-burung yang terancam punah, status dari burung-burung adalah rentan karena hilangnya habitat, dan perburuan (Shannaz dan Rudiyanto 1995).

Di Maluku Utara populasi burung Mamoa terdapat di Pulau Halmahera, Tidore dan ternate, tetapi di pulau Tidore dan Ternate sekarang ini satwa ini tidak temukan (Heij dan Rompas 1997). Pengumpulan telur yang berlebihan untuk


(33)

keperluan sehari-hari dan perdagangan sering dilakukan penduduk setempat.

Pemerintah Daerah diharapkan berperan aktif untuk melindungi jenis burung ini, karena sampai saat ini lokasi tempat bertelur yang juga sekaligus berfungsi sebagai lokasi untuk pengeraman telurnya belum dilindungi. Populasi burung Mamoa di Galela sampai saat ini belum diketahui dengan pasti berapa populasinya. Selain rawan terhadap gangguan manusia, gangguan lain adalah predator seperti biawak (Varanus salvator), ular dan anjing (Gilliant 1998).

Ancaman yang berpotensi terhadap penurunan jumlah populasi burung Mamoa adalah kerusakan habitat dan pemanenan telur yang berlebihan serta perburuan. Kerusakan hutan, pengambilan pasir serta penutupan permukaan pasir pada lokasi bertelur oleh tanaman bawah (undergrowth) merupakan penyebab berkurangnya populasi burung Mamoa (Shannaz dan Rudiyanto 1995, Pengamatan pribadi 2005).

Habitat

Burung ini merupakan penghuni hutan pegunungan tropika, sebagaimana genus Megapodidae lainnya. Selanjutnya Wallace (1886) dalam Heij dan Rompas (1997), mengatakan burung ini terdapat dalam hutan dan perbukitan. Burung-burung betinanya akan terbang ke pantai untuk meletakkan telurnya. Satwa ini juga menghuni hutan hujan yang selalu hijau dan hutan pantai sampai hutan dataran rendah, dengan ketinggian antara 750-1 650 m dpl, juga hidup di hutan yang rusak.

Masa bersarang terjadi pada saat meletakkan telurnya, dan telur diletakan dalam lubang-lubang di pantai berpasir. Panas matahari merupakan salah satu faktor yang berperan untuk inkubasi. Tidak banyak yang diketahui mengenai habitat hidup burung Mamoa, karena dalam literatur hanya terdapat informasi yang terbatas dan kebanyakan hanya pengamatan sepintas. Burung ini merupakan hewan pemalu dan sulit untuk ditemukan, burung ini hanya akan ditemukan di tempat bertelur dan sebagian besar adalah induk betina, sedangkan yang jantannya jarang ditemukan di tempat bertelur (Heij dan Rompas 1997).

Lubang pengeraman terletak di pantai dan tanah vulkanik yang berada di gunung atau di hutan. Ukuran lubang pengeraman bervariasi dan kedalamannya


(34)

tergantung pada substrat dan temperatur serta musim dimana burung Mamoa ini

bertelur. Luas permukaan lubang 345 cm dengan kedalaman 78-100 cm dan pada musim kemarau luas permukaan 300 cm dengan kedalaman 60-70 cm, sedangkan suhunya pada kedalaman 60-100 cm berfluktuasi antara 31-350C (Heij dan Rompas 1997; Gilliant 1998). Predator merupakan salah satu ancaman bagi telur-telur burung ini seperti; biawak (Varanus salvator), soa-soa (Hydrosaturus amboinensis) dan manusia.

Di Galela lokasi bersarangnya di Desa Toweka dan Mamuya. Lokasi bersarang terdiri dari pasir vulkanis hitam di pantai Tiabo dan pantai Uwo-uwo. Pantai merupakan Lokasi bersarang yang utama, dengan vegetasi hutan pantai dan kelapa yang terletak di belakang lokasi bersarang (Gilliant 1998).

Kebiasaan Hidup dan Tingkah Laku Umum

Kebiasaan hidup dan tingkah laku umum dari burung Mamoa ini nampaknya hidup menetap di hutan. Memiliki sifat pemalu sehingga jarang sekali terlihat di luar daerah bertelur dan habitat hidupnya (Heij dan Rompas 1987). Di dalam hutan mereka mencari makan dan melakukan aktivitas hariannya seperti beristirahat, bermain dan bersuara. Burung ini termasuk hewan yang monogami hidupnya selalu berpasangan di dalam hutan, kadang-kadang terbang, kemudian hinggap dan bertengger di pohon untuk tidur (White dan Bruce 1986).

Menurut Heij dan Rompas (1997) menyatakan bahwa burung Mamoa bertelur pada sepanjang malam sampai pagi hari. Di pulau Haruku pada saat bertelur burung Mamoa terbang sejajar dengan garis pantai dan setinggi pohon. Saat tiba di pantai tempat bertelur berdiri diam sambil mengamati daerah tersebut. Kemudian seringkali burung ini bergerak ke kiri dan kanan, berhenti sambil melihat sekelilingnya. Jika merasa aman burung ini akan melakukan penggalian lubang sarang pengeraman dengan menggunakan cakarnya yang runcing dan keras. Dalam waktu 2 menit burung ini sudah berada dibawah pasir. Selama membuat lubang sarang pengeraman, burung ini selalu merubah arah, dan membuat 3 sampai 4 lubang, sehingga dapat berlansung sampai berjam-jam. Seteleh melakukan penggalian beberapa lubang, indunk burung Mamoa menghilang dalam salah satu lubang selama beberapa menit untuk meletakkan


(35)

telurnya. Setelah bertelur, kemudian keluar dari lubang sarang pengeraman induk

burung Mamoa menggetarkan bulunya dan membuang pasir kedalam lubang tersebut.

Pada lokasi bertelur yang terdapat di pantai Uwo Uwo, terlihat saat bertelur burung ini terbang dari habitat hidupnya di pegunungan Dukono menuju lokasi bertelur secara berkelompok. Dalam semalam biasanya terdapat tiga kelompok burung yang mengunjungi lokasi/sarang untuk meletakan telurnya. Kelompok pertama datang antara pukul 19.30-23.00, kelompok kedua datang antara pukul 24.00-02.00 dan kelompok ketiga datang pada pukul 03.00–05.30. Induk burung ini saat terbang ke habitat bertelur dari dua arah. Induk yang terbang dari arah barat dari lokasi bertelur akan terbang sampai melewati garis pantai kemudian berbalik menuju lokasi bertelur, sedangkan yang terbang dari arah selatan langsung menuju ke lokasi bertelurnya. Bila lokasi bertelur tidak aman induk ini akan hinggap di pepohonan yang terdapat dibelakang lokasi bertelur sampai merasa aman untuk bertelur (pengamatan pribadi 2005).

Peletakkan telur dari induk burung betina terjadi sepanjang malam hari sampai menjelang pagi. Setiap induk burung betina menggali 3-4 lubang tempat bertelur dan menutupnya kembali setelah telurnya diletakkan. Setelah itu akan kembali ke habitat aslinya (Wiljes 1953 dalam Susanto 1998). Perkawinan (kopulasi) pada burung Mamoa tidak pernah terjadi di lokasi bertelur, ini berarti perkawinan terjadi di dalam hutan tempat burung-burung ini melakukan aktivitas kesehariannya (Heij dan Rompas 1997; Gilliant 1998).

Musim bertelur pada sepanjang tahun di pantai, tetapi biasanya berlangsung pada musim kemarau di pulau Haruku, antara bulan Februari sampai Oktober, karena diduga pada musim tersebut merupakan kondisi yang terbaik untuk pengeraman yang optimal (Heij dan Rompas 1997).

Burung Mamoa yang ditemukan pada saat bertelur di habitat bertelurnya yang terlihat hanya betinanya saja (Heij dan Rompas 1997), berbeda dengan burung Maleo pada saat bertelur jantan dan betina bekerja sama dalam penggalian lubang sarang secara bergantian, bila salah satu menggali yang lainnya mengawasi dan mengusir pengganggunya (Jones et al. 1995). Kedalaman lubang sarang telur


(36)

diletakkan bervariasi tergantung pada bulan (gelap/terang). Pada saat bulan gelap

lebih dalam dibandingkan dengan bulan terang (Heij dan Rompas 1997).

Heij dan Rompas (1997) menyatakan bahwa burung ini mencari makan dengan cara menggaruk dan mencakar serasah di tanah dan memakan makanan yang kebetulan ditemukan di atas tanah. Jenis makanan yang biasanya dimakan oleh megapoda cukup beragam seperti : serangga (belalang, kaki seribu, semut, rayap, lalat dan kumbang), cacing, lintah dan beberapa jenis buah-buahan (pepaya, pinang-pinangan hutan dan manggis) serta biji-bijian (ketapang, kenari dan pala).

Penetasan Telur

Penetasan merupakan serangkaian proses reproduksi (perkembangbiakan) yang harus dilewati oleh semua unggas, baik yang secara alami maupun buatan. Proses penetasan dapat menggunakan inkubator, karena pada prinsipnya alat ini dikondisikan seperti keadaan induknya. Penetasan merupakan proses dimana akan terjadi beberapa peristiwa yang meliputi perubahan anatomi, morfologi, fisiologis dan biokimia yang bersamaan dengan peristiwa tersebut terjadi absorbsi zat makanan yang diambil dari kuning telur untuk menjadi individu baru.

Megapodidae seperti juga pada burung Mamoa tidak mengerami telurnya sendiri seperti unggas pada umumnya. Burung ini tidak mengerami telurnya sendiri, telurnya dibenamkan di dalam pasir vulkanik di pinggir pantai yang memiliki temperatur yang cukup hangat untuk menetaskan telurnya (Heij dan Rompas 1997). Baik penetasan secara alamiah maupun buatan ternyata faktor penting yang perlu diperhatikan adalah temperatur dan kelembaban. Gilliant (1998) menyatakan bahwa temperatur lubang sarang pengeraman di Galela berkisar antara 32-35oC pada kedalaman 30-60 cm, tetapi kelembaban tidak diukur. Pada musim hujan temperatur tanah 24oC ini akan berpengaruh pada lamanya penetasan. Menurut Heij dan Rompas (1997) temperatur lubang sarang pengeraman di Haruku berkisar antara 31-34oC pada kedalam 40–80 cm, dengan kelembaban 60-70%.

Penetasan telur di alam dipengaruhi oleh panas dari dalam bumi. Apabila panas dari sumber bumi cukup kuat maka kedalaman lubang pengeraman tidak terlalu dalam, tetapi bila panas bumi kurang maka lubang yang di gali bertambah


(37)

dalam. Semakin dalam lubang yang digali semakin bertambah ukuran lebar.

Kedalaman lubang sarang telur selain dipengaruhi oleh temperatur juga di pengaruhi oleh bulan gelap dan bulan terang pada bulan terang lebih dalam sedangkan bulan gelap tidak sedalam bulan terang. Lokasi/sarang beretelur burung Mamoa yang terdapat di Kecamatan Galela terdapat di pantai dan mendapatkan sumber panas dari matahari.

Perkembangan Embrio

Fisher dan Macpherson (1974) menyatakan bahwa perkembangan merupakan perubahan yang terjadi secara progresif dan akumulasi, termasuk pembagian sel, diferensiasi, determinasi, perubahan bentuk (morfogenesis) dan pertumbuhan. Kehidupan individu baru dimulai dari penembusan ovum oleh sperma yang menyebabkan bercampurnya bahan-bahan kromosom dari ovum dan sperma yang disebut fertilisasi (Patten 1987). Selanjutnya fertilisasi merupakan langkah pertama dalam pembentukan individu baru melalui proses interaksi antara sperma dengan sel telur, setelah mengalami proses kapasitasi (Suhana dan Rafiah 1982), lebih lanjut dikatakan sel telur yang pada awalnya dalam keadaan istirahat menjadi aktif melakukan kegiatan yang ditandai terjadinya perubahan morfologi dan meningkatnya metabolisme sel secara mendadak.

Menurut Etches (1996) bahwa perkembangan embrio pada unggas dan mamalia pada prinsipnya sangat berbeda, (1) fertilisasi pada unggas melibatkan beberapa sperma, sedangkan pada mamalia fertilisasai melibatkan satu sperma; (2) telur unggas mempunyai banyak kuning telur dan kuning telur tidak ikut membelah dalam proses pembelahan sel (meroblastic), sedangkan pada mamalia mempunyai sedikit kuning telur dan kuning telur ikut membelah (holoblastic); (3) embrio unggas berkembang di luar tubuh dan mempunyai tiga fase perkembangan yaitu dalam saluran reproduksi, sebelum telur diinkubasi dan dalam mesin tetas (masa pengeraman), sedangkan pada mamalia perkembangan embrio berada di dalam tubuh induk; (4) perkembangan embrio unggas tergantung dari lingkungan sekitarnya, sedangkan pada mamalia tidak tergantung dari lingkungan sekitarnya.

Menurut Bakst et al. (1997) tujuan dari tahap perkembangan embrio unggas : (1) melakukan standarisasi perkembangan embrio sehingga dapat


(38)

menduga baik untuk embrio yang berkembang normal maupun tidak normal; (2)

mengevaluasi pengaruh kondisi mesin tetas; (3) mengevaluasi strain, waktu oposisi dan kualitas kerabang telur; (4) menentukan tampilan luar dari invertil germinal.

Bellair (1993) menyatakan bahwa perkembangan embrio terdiri atas dua proses (1) meningkatnya jumlah sel; (2) terjadinya perubahan secara kontinyu dari struktur dan susunan sel. Selanjutnya dijelaskan bahwa proses pertama menghasilkan sejumlah sel dan selanjutnya terjadi diferensiasi membentuk berbagai organ tubuh serta adanya perubahan aktivitas biokimia dan fisiologis.

Setiap spesies unggas mempunyai perkembangan embrio yang berbeda dalam satuan waktu. Hamburger dan Hamilton (1951) menyatakan pada embrio ayam umur 1 hari (24 jam) masa inkubasi lipatan kepala embrio sudah terbentuk, dan pada umur 5 hari masa inkubasi paruh mulai nampak terbentuk. Selanjutnya Etches (1996) bahwa ayam umur 24 jam telah terbentuk satu pasang somit, bagian kepala dan ekor dari embrio sudah dapat dibedakan.

Hamilton (1952) menyatakan bahwa pada tiga setengah hari pengeraman kepala sudah berisi otak dan mata, saluran pencernaan dan hati yang letaknya dekat dengan kepala. Phillps dan Williams (1994) mengatakan bahwa embrio kalkun umur 5 hari bentuk tubuh embrio menyerupai “Koma” dan otak bagian tengah menyerupai “bola” di atas kepala, sedangkan pada embrio burung Maleo terlihat pada hari ke-10 sampai ke-12 (Sumangando 2002).

Embrio akan tumbuh bila keadaan lingkungan cocok untuk tumbuh dan berkembang serta kondisinya tetap terjaga sampai embrio menetas. Temperatur yang optimum untuk penetasan telur ayam adalah 37oC selama masa inkubasi (Funk dan Irwin 1955).

Hafez (1955) menyatakan permulaan perkembangan embrio vertebrata seperti halnya pada ayam bagian kepala terlihat cepat perkembangannya. Kepala mulai terlihat pada saat perkembangan saraf dan mulai ada tanda-tanda kehidupan setelah 24 jam dieramkan (Adamstone dan Shuway 1954).

Pada embrio ayam jantung terlihat berdenyut setelah 30 jam pengeraman dan pembelahan primer pada otak menunjukan dimulainya pembentukan mata, lubang telinga dan pembentukan bakal ekor (Nesheim et al. 1979). Ekor mulai


(39)

memendek setelah 51-56 jam dierami dan pada hari ketiga mulai membelok ke

kanan membentuk sudut 90o dengan axis (Hamilton 1952). Pada hari kedua masa pengeraman embrio diselimuti oleh selaput yang membungkus embrio. Ada 4 macam selaput yang membungkus embrio; kantung kuning telur, allantois, amnion dan chorion (Balinsky 1970).

Menurut Jull (1951) akhir hari ke-2 embrio diselimuti oleh pembungkus yang terdiri dari dua dinding, dinding bagian dalam disebut amnion dan bagian dalam chorion. Amnion berisi cairan bening dan kedua lapisan ini berfungsi untuk melindungi embrio dari goncangan mekanik dan mencegah pelekatan embrio melalui aksi jaringan atau pembuluh otot yang berkembang dalam dinding amnion. Allantois merupakan usus belakang embrio, muncul pada hari ketiga. Allantois berfungsi sbagai organ respiorasi, ekskresi ginjal dan menyerap kalsium dari kerabang telur untuk kebutuhan struktur tubuh embrio. Kuning telur dan albumin dimanfaatkan sebagai bahan makanan selama pertumbuhan dan perkembangan embrio.

Pada hari ke-4 setelah pengeraman bakal kaki dan sayap berkembang. Akhir hari keempat masa pengeraman, embrio sudah mempunyai semua organ yang diperlukan untuk berkembang dan umumnya bagian-bagian tubuh embrio sudah dapat diidentifikasi (Winter dan Funk 1956).

Menurut Hamilton (1952) pengeraman hari ke-5 tubuh embrio melengkung sehingga kepala dan ekor saling bertemu, otak membesar di bagian tengah sehingga kepala seolah-olah terbagi atas 3 bagian. Jull (1951) melaporkan pada hari pengeraman kedua sampai kedelapan hati membesar, perkembangan struktur tubuh embrio cepat berlangsung terutama di daerah kepala dan bagian-bagiannya, serta bakal bulu terlihat dengan jelas.

Pada hari ke-2 sampai ke-8 masa pengeraman, bobot kuning telur meningkat, disebabkan adanya aliran air dari bahan padatan dari fraksi albumin kekantong kuning telur lewat membran kuning telur. Pengeraman hari ke-11, sebagian besar albumin dan sebagian dan sebagian kecil kuning telur diserap ke dalam tubuh embrio, kemudian kuning telur digunakan sebagai sumber makanan utama embrio pada hari ke-14. Albumin dan kuning telur digunakan sebagai makanan embrio dan saat akan menetas sisa kuning telur masuk ke dalam sistem


(40)

pencenaan sebagai sumber makanan selama 2.5 sampai 3 hari. Kantung kuning

telur masuk kedalam tubuh setelah hari ke-19 masa pengeraman (Jull 1951; Hamilton 1952). Selama masa pengeraman telur pada hari ke-19 kantung kuning telur mulai masuk ke dalam tubuh dan hari ke-20 kantong kuning telur semuanya sudah masuk dalam tubuh secara sempurna dan telur menetas pada hari ke-21 (Esminger 1980 dalam Nggobe 2003).


(41)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Secara administratif Kecamatan Galela termasuk wilayah Kabupaten Halmahera Utara. Secara geografis terletak antara 1o LU dan 27o LS. Kabupaten Halmahera merupakan Kabupaten Pemekaran dari Propinsi Maluku Utara. Sesuai dengan UU No 1 Tahun 2003, batas luas Kabupaten Halmahera Utara adalah 1) Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik

2) sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Wasile Kabupaten Halmahera Utara;

3) sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat; dan

4) Sebelah Barat berbatasan dengan Loloda salah satu Kecamatan dari Kabupaten Halmahera Barat.

Di Kabupaten Halmahera Utara terdapat kawasan hutan konservasi seluas 21.060 Ha, hutan produksi terbatas seluas 112.960 km, hutan produksi konversi 98.190 Ha dan kawasan hutan lindung seluas 70.190 Ha yang berlokasi di Kecamatan Kao dan Malifut. Kecamatan Galela ditemukan 3 lokasi bertelur Burung Mamoa, dengan total luasan yang masih dimanfaatkan oleh burung Mamoa untuk bertelur 1 700 m (Bappeda Maluku Utara 2002).

Kecamatan Galela di pengaruhi oleh iklim Laut Tropis dan iklim Musim, dengan iklim yang bervariasi. Pada bulan Oktober sampai Maret dipengaruhi oleh musim utara, dan pada bulan April musim pancaroba. Musim Selatan terjadi pada bulan April sampai September, diselingi angin Timur dan pancaroba pada bulan September (Bappeda Maluku Utara 2002).

Di Maluku Utara terdapat 6 jenis tanah yang tersebar di berbagai wilayah terdiri dari jenis tanah mediteran, kompleks, latosol, regosol dan aluvial. Sedangkan jenis tanah yang terdapat di Kecamatan Galela adalah latosol. Topografi tanahnya mulai dari datar; berbukit sampai bergunung dengan ketinggian antara 500 – 1500 m dari permukaan laut (dpl). Ketinggian tempat dari permukaan laut berkisar antara 0 – 499 m. Di kawasan ini terdapat gunung Dukono terletak di Desa Mamuya dan di gunung ini merupakan habitat hidup burung Mamoa (Bappeda Maluku Utara 2000).


(42)

Hasil pengamatan menujukkan lokasi bertelur burung Mamoa yang berada di

Kecamatan Galela terdapat pada 3 tempat yang berbeda yaitu di Desa Limau lokasi bertelurnya di pantai Denamabobane, Desa Toweka lokasi bertelurnya di Pantai Tiabo dan Desa Mamuya lokasi bertelurnya di Pantai Uwo Uwo. Akses untuk ke lokasi bertelur yang terdapat di pantai Denamabobane (Desa Limau) dan Pantai Tiabo (Desa Toweka) harus menggunakan perahu dengan waktu tempuh masing-masing 60 menit dan 45 menit dari pusat Kecamatan. Sedangkan akses untuk ke lokasi bertelur di pantai Uwo-Uwo (Desa Mamuya) dapat melalui darat karena dari jalan utama ke pantai tempat bersarang berjarak 1 km. Panjang lokasi bertelur yang mash aktif dipakai burung Mamoa untuk meletakan telur di pantai Denamabobane, pantai Tiabo dan pantai Uwo-Uwo masing-masing adalah 200 m, 1 300 m dan 200 m.

Hasil pengamatan selama penelitian ditemukan, tipe vegetasi yang terdapat di 3 lokasi bertelur burung Mamoa umumnya sama, yaitu hutan tropis dataran rendah. Vegetasi yang mendominasi tempat-tempat bertelur burung Mamoa di Kecamatan Galela adalah Phaseoluss lunatus (katang-katang jantan), Ipomea pescaprae L (katang-katang betina), Hypolitrum latifolium (rumput teki pantai),

Andropogon acciculatus (rumput jarum), Passiflora foetida tali putri), Hibiscus tilliaceus (waru laut), Terminalia cattapa (ketapang), Calothropis gigantera (jeruk pantai), Mangifera indica (mangga), Anona muricata (sirsak), Arcangelisia flava

(tali kuning), Ficus septica (beringin pantai), Annas comosus, Cocos nucifera

(kelapa), Morinda citifolia (mengkudu), Scaefolia taccada (papaceda), Pandanus tectorius (pandan laut, nipah), Nypha fruticans, Avicenia lanata, Caesalpinia bonduc (kanikir). Rhizopora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza. Sedangkan jenis satwa yang ditemukan adalah burung Gosong kelam (Megapodius freycinent), anjing (Canius familiaris), biawak (Varanus salvator), ular (Phyton sp), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), penyu hijau dan penyu sisik.


(43)

Gambar 3 Peta lokasi penelitian ( Sumber : Atlas Indonesia baru 2000; [BPS] 2003).


(44)

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Galela Kabupaten Halmahera Utara yang berlangsung dari bulan April sampai dengan September 2005.

Materi Penelitian

Alat dan Bahan

Alat

1. Inkubator (merk wbc-Surabaya) 2 unit

Inkubator yang digunakan adalah inkubator yang bersumber panas dari listrik, untuk telur ayam dalam negeri kapasitas per mesin 100 butir. 2. Timbangan Analitik untuk menimbang embrio

3. Timbangan Ohause untuk menimbang telur dilapangan

4. Kotak sarang yang terbuat dari kayu, bambu dan ram kawat, berukuran PxLxT (100x 60x70 cm) sebanyak 5 unit yang digunakan untuk penetasan telur di alam.

5. Kandang untuk pemeliharaan anak burung setelah menetas, terbuat dari kayu dan bambu, berukuran P x L x T (100x50x50 cm) sebanyak 6 unit dan berukuran P x L x T (50x50x50), 4 unit.

6. Termometer tanah ; untuk mengukur suhu tanah

7. Moisturetster untuk mengukur kelembaban tanah Model DM 15 Japan 8. Caliper berskala millimeter dengan kepekaan 0,01 mm. Digunakan untuk

mengukur panjang dan lebar telur 9. GPS untuk menentukan titik lintang 10. Camera digital

11. alat tulis.

Bahan

1. Telur segar sebanyak 140 butir yang diambil dari alam saat penggalian telur (untuk ditetaskan di alam dan buatan masing-masing 70 butir)


(45)

2. Larutan formalin 10%, NaCl fisiologis, Xylol, aseton karmin, kertas saring,

sampel tanah sarang.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama Survai lapangan, tahap kedua pengamatan karakteristisk sarang pengeraman dan tahap ketiga penetasan. Metode pelaksanaan masing-masing tahap penelitian dijelaskan berikut ini.

Penelitian Tahap I. Survai Lapangan

Untuk mengetahui lokasi bertelur burung Mamoa yang terdapat di Kecamatan Galela dilakukan survai lapangan untuk pengenalan wilayah, menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dan data pendukung lainnya berupa studi pustaka yang menunjang penelitian ini serta data primer yaitu habitat bertelur burung Mamoa di pantai untuk penentuan lokasi penelitian.

Penelitian Tahap II. Karakteristik Sarang Pengeraman

Tujuan pada tahap II untuk mengetahui kondisi fisik dan kimia tanah sarang pengeraman, dimensi sarang pengeraman, temperatur serta menginventarisasi satwaliar lain yang terdapat di lokasi bertelur.

Lokasi Penelitian

Pengukuran dan pengamatan dilakukan pada tiga lokasi bertelur burung Mamoa. Lokasi bertelur terdapat pada tiga desa; desa Limau (pantai Denamabobane, desa Toweka (pantai Tiabo), dan deda Mamuya (pantai Uwo Uwo).

Metode Pengumpulan Data

Untuk mengetahui karakteristik sarang pengeraman dari burung Mamoa dilakukan pengukuran dan pengamatan pada ketiga lokasi bertelur. Data yang diperoleh dengan melakukan metode sebagai berikut :


(46)

1. Sifat Fisik dan Kimia Tanah

Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah sarang pengeraman dilakukan pengambilan tanah sarang dari ketiga lokasi bertelur. Dari setiap lokasi diambil sampel 5 sampel tanah sarang pada beberapa kedalaman. Sampel tanah sarang yang dianalisis meliputi: kimia (pH dan kandungan bahan SiO2), sifat fisik

(tekstur) di Laboratorium Tanah IPB Bogor. 2. Temperatur Tanah Lubang Sarang Pengeraman

Pengukuran temperatur (suhu dan kelembaban) dilakukan pada saat penggalian telur selama 3 hari. Selain itu dilakukan pengukuran temperatur tanah pada berbagai kedalaman. Untuk mengetahui fluktuasi temperatur tanah harian dilakukan pengamatan beberapa kali, pada waktu pagi antara pukul 06.00-08.00; siang antara pukul 12.00–14.00 dan pada malam hari pukul 20.00–22.00 selama 3 hari.

3. Dimensi Lubang Sarang Pengeraman Telur

Dimensi (diameter dan kedalaman) sarang pengeraman di ukur pada tiga lokasi. Parameter yang diukur adalah 1) penampang melintangnya (diukur 2x panampang lintang yang terbesar, 2) kedalaman diukur tegak lurus dari permukaan tanah sampai bagian tanah dimana telur diletakan, dan 3) ketebalan timbunanan diukur dari atas telur sampai permukaan timbunan.

4. Inventarisasi Satwaliar Lain

Observasi burung-burung selain burung Mamoa pada habitat bertelur untuk mengetahui hubungan antara burung Mamoa dengan satwa lain di habitat bertelurnya. Identifikasi untuk burung lain menggunakan Buku Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallace. Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara (Coates dan Bishop 2000).

Analisis Data

Data karakteristik sarang bertelur (dimensi, temperatur dan kelembaban) dianalisis secara deskriptif. Untuk mengkaji hubungan antara temperatur dengan


(47)

kedalaman pada lubang sarang dilakukan analisis regresi menurut Steel dan Torie

(1995), sedangkan untuk sifat tanah dianalisa di Laboratoroium Tanah Institut Pertanian Bogor.

Penelitian Tahap II. Penetasan

Pada penelitian tahap II dilakukan penetasan untuk melihat bagaimana tahapan perkembangan embrio yang ditetaskan secara alami dan buatan.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada dua lokasi. Lokasi penetasan alami dilakukan pada lokasi bertelur yang terdapat di desa Mamuya, lokasi bertelur berada di pantai Uwo Uwo. Sedangkan untuk penetasan buatan di lakukan di Ternate. Jarak antara lokasi pengambilan telur dengan lokasi tempat penetasan buatan berjarak sekitar 350 km.

Metode Penelitian

Penetasan Alami

Penetasan alami dilakukan pada lokasi bertelur di pantai Uwo Uwo, menggunakan kotak sarang. Penggunaan kotak sarang dimaksudkan agar saat menetas anak burung yang muncul kepermukaan tidak langsung masuk kedalam semak-semak tetapi tetap berada dalam kotak sarang.

Telur burung Mamoa diletakan dalam kotak sarang kedalaman 50 cm karena selama 3 hari pengumpulan telur untuk ditetaskan, 34% dari total sarang yang berisi telur berada pada kedalaman tersebut. Peletakkan telur pada kedalan 50 cm juga mempertimbangkan keselamatan anak burung saat menetas dengan selamat sampai pada permukaan tanah sarang pengeraman. Tahap-tahap yang dilakukan pada penetasan alami sebagai berikut :

1. Telur-telur yang digali oleh pengumpul telur dikumpulkan, sebelum dimasukan kedalam kotak sarang, telur dibungkus dengan menggunakan daun nipah. Pengumpulan telur untuk telur yang ditetaskan di alam dilakukan selama 5 hari.


(48)

2 Kotak sarang telah disiapkan sebelumnya, berukuran 100x60x70 cm,

terbuat dari bambu dan bagian atasnya ditutup dengan kawat ram, ditempatkan ke dalam lubang sarang yang sudah digali sebelumnya, sedalam 50 cm sebanyak 5 lubang, Sketsa kotak sarang dapat dilihat pada Gambar 5.

3 Telur-telur yang sudah disiapkan untuk penetasan di alam sebelum dimasukkan ke dalam lubang sarang terlebih dahulu ditimbang untuk mengetahui bobot telur (g), kemudian diukur panjang (mm) dan lebar telur (mm) untuk mengerahui indeks telur, selanjutnya dilakukan pemberian nomor pada kedua ujung telur, setelah itu telur dipindahkan ke kotak sarang yang telah dipersiapkan. Telur siap dimasukkan dalam kotak sarang diletakkan dengan posisi bagian tumpul di atas.

4 Setelah semua telur dimasukan, pada bagian atasnya kotak sarang ditutup dengan kawat ram. Untuk kotak sarang yang akan diambil telurnya guna pemeriksaan embrio, bagian atas kotak sarang menggunakan bambu untuk memudahkan pada saat pengambilan. Kotak sarang yang telurnya tidak digunakan untuk pemeriksaan embrio (dibiarkan sampai menetas) ditutup dengan kawat ram, ditutupi lagi dengan pasir yang bertujuan untuk melindungi telur agar tidak diganggu.

5. Setelah telur dimasukan kedalam tanah, setiap 7 hari akan dilakukan pengambilan telur untuk diamati tahapan perkembangan embrio, dengan cara memecahkan telur secara hati-hati.

6. Lama inkubasi telur dihitung mulai dari hari ke-nol telur dimasukkan kedalam lubang pengeraman sampai telur menetas.

7. Pencatatan tahapan perkembangan dilakukan mulai umur 7, 10, dan 14 selanjutnya dilakukan pemeriksaan setiap 7 hari sampai telur menetas.


(49)

Gambar 4 Kerangka kotak sarang (skala 1 : 20).

Penetasan Buatan

Pada penetasan buatan dilakukan penelitian pendahuluan untuk mengetahui suhu dan kelembaban yang cocok bagi penetasan telur burung Mamoa. Pada tahap ini digunakan 3 mesin tetas dengan suhu 34oC, 35oC dan 36oC dengan kelembaban 70%. Masing- masing mesin dimasukkan telur burung Mamoa sebanyak 5 butir, setelah 14 hari dilakukan pemeriksaan. Hasil yang di dapat pada suhu 35oC dan kelembaban 70% embrio dapat tumbuh dan berkembang, sedangkan pada suhu 34oC dan 36oC dengan kelembaban 70% embrio dapat tumbuh tetapi saat


(50)

pemeriksaan heri ke-14 embrio mati. Dalam penelitian ini suhu dan kelembaban

yang digunakan untuk penetasan telur pada mesin tetas untuk telur burung Mamoa digunakan suhu 35oC dan kelembaban 70%.

Persiapan Mesin Tetas

Sebelum digunakan mesin tetas dibersihkan lebih dahulu dan disucihamakan dengan menggunakan disinfektan. Setelah disucihamakan, dilakukan kalibrasi, dimaksudkan untuk mendapatkan keadaan temperatur dan kelembaban udara yang konstan. Untuk menetaskan, telur diletakkan dalam rak bersekat yang terbuat dari kawat ram untuk alasnya. Untuk mencegah agar telur tidak jatuh pada saat pemutaran, maka pada rak telur dilengkapi dengan pita karet sebagai penyekatnya.

Cara Penetasan Buatan

1. Telur yang digunakan adalah telur segar yang didapatkan dari lokasi bertelur burung Mamoa di pantai setiap harinya. Telur yang diambil dari lokasi bertelur di pantai dimasukkan ke dalam daun nipah yang telah dianyam dan telah dipersiapkan sebelumnya. Telur yang dibungkus dengan daun nipah ditempatkan dalam kardus yang diisi pasir sebagai alasnya. Tujuannya agar selama dalam perjalanan ke tempat penetasan buatan (mesin inkubator) telur terlindung dari goncangan, selain itu fungsi dari daun ini agar telur dapat disimpan dalam waktu yang lama.

2. Telur-telur yang dibawa dari lokasi bertelur ke tempat mesin inkubator sebelum dimasukkan kedalam inkubator, telur ditimbang dan dicatat beratnya, dilakukan pengukuran panjang (mm) dan lebar (mm) dari setiap telur untuk mengetahui indeks telur. Kemudian pada setiap telur diberi nomor pada kedua bagian ujungnya. Telur di foto/gambar. Telur yang akan dimasukan kedalam mesin tetas, dicuci dengan menggunakan air hangat sebelum dimasukkan ke dalam mesin tetas.

3. Selama masa inkubasi telur burung Mamoa dipecahkan setiap 7, 10 dan 14, selanjutnya dilakukan pengamatan setiap 7 hari sampai menetas. Sebelum dipecah dilakukan peneropongan terlebih dahulu untuk memastikan embrio tersebut hidup atau tidak. Telur yang berembrio hidup akan terlihat gerakan


(51)

dari embrio. Telur-telur ini dipecah pada pagi hari secara konsisten yaitu

pada pukul 10.00.

4. Pada embrio umur 21 hari dibuat preparat utuh (whole mount), sedangkan umur umur 35 sampai 63 hari diawetkan dengan menggunakan formalin 10% setelah dicuci dengan NaCl fisiologis.

5. Telur burung Mamoa yang sudah dibersihkan disusun dalam rak telur dengan posisi bagian yang tumpul menghadap keatas, kemudian dimasukan kedalam mesin tetas. Pemutaran dilakukan setiap enam jam sekali. Pemutaran dilakukan agar embrio tidak menempel pada satu sisi dan melekat dengan selaput telur. Selain itu pemutaran juga membantu pemerataan temperatur pada permukaan telur. Telur yang digunakan sebanyak 70 butir.

Pengamatan Perkembangan Embrio

1. Selama masa inkubasi telur burung Mamoa yang ditetaskan secara buatan dan di alam dipecah pada hari ke-7, 10 dan 14, ditempatkan dalam cawan petri selanjutnya dipecah selang 7 hari untuk melihat tahapan perkembangan embrio.

8. Sebelum telur dipecahkan dilakukan peneropongan (candling) untuk mengetahui telur tersebut fertil atau tidak. Pada telur burung Mamoa dengan peneropongan (candling) tidak dapat dipastikan fertil atau tidak, karena persentase kuning telur yang lebih besar. Telur dipecah untuk mengetahui fertil dan tidaknya telur yang ditetaskan. Telur yang fertil ditandai dengan adanya pembuluh darah.

9. Telur yang berembrio hidup dipecahkan secara perlahan-lahan dan ditempatkan dalam cawan petri. Telur dipecah secara konsisten pada pulul 10.00 pagi. Telur yang berembrio ditempatkan dalam cawan petri. Embrio yang berumur 21 hari dibuat preparat utuh, embrio umur 28 sampai 63 hari diawetkan dengan menggunakan formalin 10%.

10. Sebelum embrio dipisahkan dari kuning telur embrio ditimbang untuk mengetahui bobot pada setiap minggu.


(52)

Peubah yang diamati

1. Morfometri telur yang meliputi : - warna telur

- bobot telur (g), panjang telur (mm) dan lebar telur (mm).

- Indeks telur (%) adalah perbandingan antara lebar dan panjang telur dikalikan 100.

2. Perkembangan embrio

Pengamatan perkembangan embrio dilakukan mulai hari ke 7 10 dan 14 selanjutnya dilakukan setiap 7 hari sampai menetas. Total telur yang digunakan pada pengamatan embrio yang ditetaskan secara buatan n = 15 dan alami n = 18.

3. Lama inkubasi

Lamanya inkubasi dihitung dari hari ke-nol setelah telur dimasukkan dalam inkubator dan dalam kotak sarang untuk penetasan alami di lokasi bertelur sampai telur menetas. Masing-masing 55 butir untuk inkubasi di inkubator dan 52 butir yang diinkubasi di alam.

4. Fertilitas adalah persentase telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio tanpa memperhatikan telur tersebut menetas atau tidak dari sejumlah telur yang ditetaskan.

5. Daya tetas yaitu persentase telur yang menetas dari sejumlah telur fertil yang ditetaskan.

6. Viabilitas

Viabilitas adalah kemampuan anak untuk dapat bertahan hisup setelah menetas, yang dapat dilihat melalui pengamatan. Ciri-cirinya aktif dan sehat, organ tubuh sempurna dan berkembang baik, mata bersinar, bulu kering, warna seragam sesuai dengan tipe bangsanya (Jull 1951).

Analisis Data

Untuk mengetahui morfometri telur, inkubasi serta tahapan perkembangan, daya tetas, fertilitas dan viabilitas dianalisis secara deskriptif, sedangkan untuk mengetahui perbedaan bobot embrio dilakukan uji ‘t-student’ dan untuk mengetahui hubungan bobot telur dan bobot tetas dilakukan uji analisis regresi


(53)

dan korelasi menurut Steel and Torrie (1995). Data diolah menggunakan


(54)

Gambar 4 Tahapan Penelitian.. Mulai

Survai Lapangan Data Primer

dan Sekunder Pengenalan Wilayah

Penelitian Penentuan Lokasi

Tahap 1

Karakteristik Sarang Pengeraman

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Sarang Pengeraman Dimensi Sarang

Temperatur Sarang Pengeraman Inventarisasi Satwa Liair Lain Tahap 2

Penetasan

Alam Buatan

Morfometri, Lama Inkubasi, Bobot Embrio, Tahapan perkembangan Embrio, Fertilitas, Daya Tetas dan Viabilitas

Analisis Data

Penyajian Tesis

Selesai Tahap 3


(55)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Habitat Lokasi Bertelur

Pada awalnya diduga lokasi bertelur burung Mamoa yang terdapat di Kecamatan Galela hanya terdapat di 2 lokasi, yaitu Desa Toweka, terdapat 2 lokasi bertelur pantai Tiabo dan Desa Mamuya. Dari hasil pengamatan di lapangan ternyata lokasi bertelur burung Mamoa yang terdapat di Kecamatan Galela terdiri dari tiga lokasi yaitu di Pantai Denamabobane Desa Limau, Pantai Tiabo Desa Toweka (lokasi yang masih aktif di pantai Tiabo) dan Pantai Uwo Uwo desa Mamuya.

Pengamatan dan pengukuran pada penelitian ini dilakukan pada tiga lokasi bertelur burung Mamoa, yaitu di pantai Denamabobane, Tiabo dan Uwo Uwo. Secara geografis Pantai Denamabobane terletak pada 127o50.964´ Bujur Timur dan 1o53.309´ Lintang Utara, Tiabo terletak pada 127o50.895´ Bujur Timur dan 1o51.533´ Lintang Utara, sedangkan Uwo uwo terletak pada 127o53.213´ Bujur Timur dan 1o47.818´ Lintang Utara.

Letak geografi Desa Limau (Pantai Denamabobane), Desa Toweka (Pantai Tiabo) dan Desa Mamuya (Pantai Uwo Uwo) umumnya berada di daerah pantai dengan topografi berbukit dan ketinggian dari permukaan laut 0-499 m. Pantai yang merupakan tempat bagi induk burung Mamoa untuk meletakan telur pada ketiga lokasi yang terdapat di Kecamatan Galela umumnya terletak pada areal yang datar.

Habitat bertelur burung Mamoa yang terdapat di Kecamatan Galela meliputi hutan pantai, rawa, mangrov, kebun kelapa dan hutan dataran rendah. Lokasi bertelur yang di jumpai di ketiga lokasi umumnya berada di pantai dengan hamparan pasir terbuka yang mendapat sinar langsung dari matahari. Lokasi bertelur/bersarang berbatasan dengan pantai dan sungai, sedangkan habitat hidupnya berada di hutan pegununungan. Burung Mamoa di temukan pada habitat bertelurnya hanya pada masa bertelur.

Pantai Denamabobane

Habitat tempat bertelur yang terdapat di pantai Denamabobane merupakan pantai berpasir hitam dengan vegetasi hutan pantai (didominasi oleh Terminalia


(56)

cattapa, Calothropis gigantera) dan hutan mangrove yang mengelilingi habitat bertelur di pantai Denamabobane dan ditemukan tumbuhan sebanyak 19 jenis (Lampiran 1a).

Panjang pantai Denamabobane +2 km, panjang lokasi bertelur 900 m, sarang yang masih aktif dipakai panjang sekitar 200 m, lebar 25 m. Jarak dari lubang/sarang bertelur ke pantai +10 m (Gambar 6a), sedangkan jarak dari lubang/sarang bertelur ke rawa yang berada di belakangnya 5 m (Gambar 6b), lebar lokasi bertelur/bersarang 10m. Lokasi bertelur di pantai Denamabobane ditunjukkan pada Gambar 6.

a b

c

Gambar 6 Lokasi bertelur burung Mamoa di pantai Denamabobane. (a) Lokasi bertelur yang berbatasan dengan rawa (b) Berbatasan dengan pasang tertinggi (c) Lubang/Sarang bertelur burung Mamoa.


(57)

Lokasi bertelur/sarang di pantai Denamabobane selain digunakan oleh induk burung Mamoa untuk meletakkan telurnya, juga ditemukan sarang bertelur penyu, terletak di sebelah Utara. Sebelah Utara pantai Debanabobane berbatasan dengan Kali Gilitopa (Kali = sungai), sebelah Barat berbatasan dengan rawa, sebelah Timur berbatasan dengan pantai dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kali Tiabo (= sungai Tiabo).

Pantai Tiabo

Pantai Tiabo adalah lokasi bertelur/bersarang terbesar bila dibandingkan dengan kedua lokasi lainnya. Panjang pantai Tiabo + 3 km, sedangkan panjang lokasi bertelur di Pantai Tiabo sekitar 1 300 m. Sarang yang ditemukan umumnya merupakan sarang aktif. Sarang aktif yang belum digali, telur masih berada di dalam lubang/sarang karena belum diambil oleh pengumpul telur pada saat dilakukan pengamatan. Dibandingkan dengan dua lokasi lainnya sarang burung Mamoa yang ditemukan disini umumnya merupakan sarang yang aktif yang masih dipergunakan untuk bertelur oleh induk burung Mamoa.

Habitat tempat bertelur burung Mamoa di pantai Tiabo adalah hutan pantai (didominasi oleh Hibiscus tilliaceus, Terminalia cattapa dan Calonthropis gigantera), dengan hamparan pasir terbuka dan mendapatkan sinar langsung dari matahari. Adapun tubuhan bawah yang ditemukan menutupi permukaan pasir di pantai Tiabo didominasi oleh tumbuhan Andropogon acciculatus. Hasil pengamatan dilapangan menunjukan bahwa tumbuhan yang terdapat di Pantai Tiabo terdapat 21 jenis.

Lokasi bertelur di pantai Tiabo di apit oleh dua sungai yaitu Kali Tiabo (= sungai Tiabo) disebelah utara dan sebelah timur berbatasan dengan Kali Hela, sedangkan pada bagian barat berbatasan dengan hutan dataran rendah (Gambar 6a) dan perkebunan pisang milik PT Global, bagian Utaranya berbatasan dengan pantai. Gambar 7a menunjukkan lubang sarang pengeraman aktif yang berisi telur yang belum digali, diantara ketiga lubang yang terlihat hanya salah satu dari lubang tersebut yang berisi telur.


(58)

a b

c

Gambar 7 Lokasi bertelur burung Mamoa di Pantai Tiabo (a) Sarang bertelur/bersarang yang masih aktif (b) Vegetasi yang berbatasan dengan lokasi bertelur (c) Tumbuhan pantai Andropogon acciculatus

yang menutupi permukaan pasir di lokasi bertelur.

Pantai Uwo Uwo

Habitat bertelur burung Mamoa yang terdapat di Pantai Uwo Uwo adalah hutan pantai, rawa dan mangrove. Terdapat 23 jenis tumbuhan yang ditemukan. Habitat bertelur yang terdapat di pantai Uwo Uwo didominasi oleh Terminalia cattapa, Hibiscus tiliaceus, sedangkan tumbuhan bawah yang menutupi permukaan pasir yaitu Ipomea peescaprae, Phaseolus lunatus dan Andropogon acciculatus.

Lokasi bertelur/bersarang berada pada pantai dengan hamparan terbuka dan mendapat sinar langsung dari matahari. Panjang lokasi bertelur burung Mamoa yang terdapat di Pantai Uwo-Uwo + 2 km, panjang lokasi yang digunakan untuk


(59)

bersarang 900 m dan sarang aktif yang ditemukan sekitar + 200 m. Dari hasil

pengamatan di habitat bertelur sarang/lubang bertelur yang tidak aktif karena tertutup oleh tanaman bawah (undergrowth). Lokasi bertelur burung Mamoa di pantai Uwo Uwo dapat ditunjukkan pada Gambar 8.

Lokasi bertelur burung Mamoa yang terletak di pantai Uwo Uwo pada bagian Utara berbatasan dengan Kali Uwo Uwo, sebelah timur berbatasan dengan laut (Teluk Galela), sebelah Selatan berbatasan dengan Kali Mamuya dan sebelah Barat berbatasan langsung dengan kebun kelapa, jalan utama dan hutan produksi hingga sampai ke habitat hidupnya yaitu di gunung Dukono (= gunung Mamuya).

a b

c

Gambar 8 Lokasi bertelur burung Mamoa di pantai Uwo Uwo. (a) penutupan lubang/sarang bertelur oleh tumbuhan bawah (b) sarang bertelur yang berbatasan dengan pantai (c) hutan pantai yang terdapat di sekitar lokasi bertelur/bersarang.


(1)

Lampiran 8 Hasil analisis statistik deskriptif kelembaban tanah sarang pengeraman.

Denamabobane Tiabo Uwo Uwo

Siang Malam Siang Malam Saiang Malam

Mean 66.9 68.12 68.4 67.8 65.99 60

Standard Error 1.64957907 2.27570746 0.96838927 3.24139887 1.35926451 1.054093

Median 67.5 65 68 70 65 60

Mode 60 65 65 70 65 60

Standard Deviation 5.21642704 7.196418862 3.062315754 10.2502033 4.29837178 3.333333

Sample Variance 27.2111111 51.78844444 9.377777778 105.066667 18.476 11.11111

Kurtosis -1.40768498 -0.350718007 -1.07974327 -1.70690168 -0.27945944 0.080357

Skewness -0.42222993 0.818727908 0.396967494 -0.0168376 0.2501245 0

Range 13 20 8 25 12.65 10

Minimum 60 60 65 55 60 55

Maximum 73 80 73 80 72.65 65

Sum 669 681.2 684 678 659.9 600

Count 10 10 10 10 10 10

Largest(1) 73 80 73 80 72.65 65

Smallest(1) 60 60 65 55 60 55


(2)

Lampiran 9 Hasil analisis statistik deskriptif morfometri telur burung Mamoa yang ditetaskan secara buatan dan alami.

Buatan Alami

Bobot Panjang Lebar Indeks Bobot Panjang Lebar Indeks

(g) (cm) (cm) (%) (g) (cm) (cm) (%)

Mean 99.91429 78.267 48.03243 61.39252 101.7781 78.57214 48.388 61.60838

Standard Error 0.70335 0.386564 0.241186 0.215855 0.833728 0.361589 0.183888 0.136533

Median 98.5 78 48.125 61.98526 98.85 78.35 48.445 61.75694

Mode 99.25 75.65 48 62.04744 98.85 78.35 48 61.75694

Standard Deviation 5.884649 3.234224 2.017904 1.805969 6.975468 3.025273 1.538516 1.142315

Sample Variance 34.6291 10.4602 4.071937 3.261522 48.65715 9.152275 2.367031 1.304883

Kurtosis 5.890863 -0.91923 1.500273 0.261368 1.089957 -0.14454 0.029997 -0.17338

Skewness 2.358298 0.491417 -1.15045 -1.12311 1.558114 0.190779 -0.62327 -0.14595

Range 28.39 11.3 8.72 6.965459 25.47 12.15 6.85 5.092039

Minimum 94.15 74.1 42 56.68016 95.07 73 43.82 59.03699

Maximum 122.54 85.4 50.72 63.64562 120.54 85.15 50.67 64.12903

Sum 6994 5478.69 3362.27 4297.476 7124.47 5500.05 3387.16 4312.586

Count 70 70 70 70 70 70 70 70

Largest(1) 122.54 85.4 50.72 63.64562 120.54 85.15 50.67 64.12903

Smallest(1) 94.15 74.1 42 56.68016 95.07 73 43.82 59.03699


(3)

Lampiran 10 Hasil analisis bobot embrio burung Mamoa yang ditetaskan

secara buatan dan alami.

Hasil analisa bobot embrio burung Mamoa umur 14 hari

Two sample T-Test and Confidence Interval N Mean StDev SE Mean Eks-situ 2 2.175 0.191 0.135 Insitu 2 1.550 0.071 0.050 Difference 2 0.625 0.262 0.185 95% CI for mean difference: (-1.726, 2.976)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 3.38 P-Value = 0.183

Hasil analisa bobot embrio burung Mamoa umur 21 hari

Two sample T-Test and Confidence Interval N Mean StDev SE Mean Eks-situ 2 8.455 0.460 0.325 Insitu 2 4.380 0.679 0.480 Difference 2 4.075 1.138 0.805 95% CI for mean difference: (-6.153, 14.303)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 5.06 P-Value = 0.124

Hasil analisa bobot embrio burung Mamoa umur 28 hari

Two sample T-Test and Confidence Interval N Mean StDev SE Mean Eks-situ 2 19.36 1.45 1.02 Insitu 2 7.96 1.05 0.74 Difference 2 11.40 2.50 1.77 95% CI for mean difference: (-11.07, 33.87)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 6.45 P-Value = 0.098

Hasil analisa bobot embrio burung Mamoa umur 35 hari

Two sample T-Test and Confidence Interval N Mean StDev SE Mean BB E. Eks-si 2 33.471 0.935 0.661 BB E. In-sit 2 17.260 0.849 0.600 Difference 2 16.2115 0.0863 0.0610 95% CI for mean difference: (15.4357, 16.9872)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 265.54 P-Value = 0.002

Hasil analisa bobot embrio burung Mamoa umur 42 hari

Two sample T-Test and Confidence Interval N Mean StDev SE Mean BB E. Eks-si 2 41.96 2.38 1.68 BB E. In-sit 2 31.47 1.56 1.10 Difference 2 10.485 0.827 0.585 95% CI for mean difference: (3.052, 17.918)


(4)

Hasil analisa bobot embrio burung Mamoa umur 49 hari

Two sample T-Test and Confidence Interval N Mean StDev SE Mean BB E. Eks-si 2 46.405 0.318 0.225 BB E. In-sit 2 36.695 0.460 0.325 Difference 2 9.710 0.141 0.100 95% CI for mean difference: (8.439, 10.981)


(5)

Lampiran 11a Hasil analisis regresi hubungan antara bobot telur dan bobot tetas burung Mamoa yang ditetaskan secara buatan Regression Statistics

Multiple R 0.928910123

R Square 0.862874016

Adjusted R

Square 0.859685039

Standard Error 2.301368699

Observations 45

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 1433.073591 1433.074 270.5802 3.64134E-20

Residual 43 227.7408092 5.296298

Total 44 1660.8144

Coefficients

Standard

Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Lower 95.0%

Upper 95.0% Intercept 60.55851078 2.452069087 24.6969 4.97E-27 55.61344557 65.503576 55.613446 65.503576 X Variable 1 0.663766201 0.040352188 16.44932 3.64E-20 0.582388313 0.7451441 0.5823883 0.7451441


(6)

Lampiran 11b Hasil analisis regresi hubungan antara bobot telur dan bobot tetas burung Mamoa yang ditetaskan di alam. Regression Statistics

Multiple R 0.999269095 R Square 0.998538725 Adjusted R

Square 0.998509499

Standard Error 0.238986722

Observations 52

ANOVA

df SS MS F Significance F

Regression 1 1951.418335 1951.418 34166.68 1.47534E-72

Residual 50 2.855732672 0.057115

Total 51 1954.274067

Coefficients

Standard

Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Lower 95.0%

Upper 95.0% Intercept 41.1384692 0.324532059 126.7624 2.2E-64 40.48662711 41.790311 40.486627 41.790311 X Variable 1 1.111475925 0.006013103 184.8423 1.48E-72 1.099398247 1.1235536 1.0993982 1.1235536