1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP sebagai
kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Struktur KTSP terdiri atas lima kelompok mata pelajaran,
salah satunya merupakan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Termasuk di dalam kelompok tersebut adalah mata pelajaran
matematika. Oleh karena itu, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah
sebagaimana telah dicantumkan dalam undang-undang tersebut. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran
Matematika lingkup pendidikan dasar menyebutkan bahwa mata pelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki lima kemampuan kunci sebagai
berikut: 1 memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat dalam pemecahan masalah; 2 menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti,
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3 memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model
dan menafsirkan
solusi yang
diperoleh; 4
mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; dan 5 memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah. Tujuan mata pelajaran matematika tersebut sejalan dengan gagasan
mengenai literasi matematika. Literasi
matematika didefinisikan
sebagai kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu dalam merumuskan,
menggunakan, serta menafsirkan matematika dalam berbagai konteks OECD, 2013. Kemampuan ini meliputi bernalar secara matematis dan menggunakan
konsep-konsep matematika, prosedur, dan fakta untuk menjelaskan serta memprediksi suatu fenomena. Kemampuan-kemampuan inilah yang diperlukan
seseorang untuk memahami peran matematika dalam kehidupan serta dalam proses pembentukan diri seseorang untuk menjadi warga negara yang konstruktif,
peduli, dan reflektif sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi OECD
menyelenggarakan studi PISA, yaitu penilaian tiga tahunan terhadap prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah usia 15 tahun.
Keikutsertaan Indonesia di dalam studi PISA sejak tahun 2000 menunjukkan bahwa capaian siswa-siswi Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali
laporan yang dikeluarkan oleh PISA. Pada PISA tahun 2012, Indonesia
memperoleh skor 375, jauh di bawah skor rata-rata OECD yaitu 494 dan berada di peringkat ke-64 dari 65 negara peserta.
Kondisi seperti yang ditunjukkan oleh hasil studi internasional di atas juga ditemukan pada empat SMP di Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Jawa
Tengah, yaitu SMP N 1 Petarukan, SMP N 4 Petarukan, SMP N 5 Petarukan, dan SMP N 6 Petarukan. Secara umum, kemampuan literasi matematika siswa belum
berkembang secara optimal. Hal ini terbukti dari perolehan skor rata-rata kemampuan literasi matematika siswa berturut-turut adalah 49, 44, 47, dan 51
pada skala 0-100. Hasil ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada soal-soal literasi matematika.
Kemampuan literasi matematika didasari oleh 7 kemampuan dasar, yaitu komunikasi, representasi, merancang strategi penyelesaian masalah, matematisasi,
penalaran dan argumentasi, menggunakan bahasa dan operasi simbolik, formal dan teknis, serta menggunakan alat-alat matematika. Selain itu, kemampuan
literasi matematika juga ditinjau dari tiga komponen, yaitu komponen konten, proses, dan konteks. Komponen konten berkaitan dengan materi yang dimuat
dalam kurikulum sekolah. Hasil observasi di SMP N 1 Petarukan memperlihatkan kemampuan literasi matematika siswa pada salah satu konten literasi, yaitu materi
luas permukaan dan volum kubus dan balok, tidak menggembirakan dengan persentase siswa yang menjawab dengan tepat adalah 25 dari 36 siswa,
sedangkan sisanya yaitu 75 siswa menjawab dengan kurang tepat. Gambar 1.1 menyajikan contoh hasil pekerjaan siswa. Pada contoh tersebut terlihat siswa
belum mampu menggunakan informasi yang diperoleh dari soal untuk menyelesaikan permasalahan dengan tepat.
Gambar 1.1 Contoh Hasil Pekerjaan Siswa Jika seorang siswa memiliki kemampuan literasi matematika, maka siswa
tersebut dapat mempersiapkan diri dalam pergaulan di masyarakat modern OECD, 2014. Alasannya adalah karena matematika tidak hanya dipandang
sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam masalah dunia nyata real world
problem atau kehidupan sehari-hari. Kemampuan literasi matematika dapat membantu siswa untuk memahami aturan yang menjadikan matematika sebagai
acuan pada kenyataan dan untuk membuat pertimbangan serta keputusan yang dibutuhkan dengan mengkonstruksi, menggunakan, dan merefleksikan diri
sebagai warga negara.
Seorang siswa perlu memiliki kemampuan literasi matematika agar menjadi siswa yang berdaya guna. De Lange 2006 menyebutkan bahwa kata literasi
terkait dengan masalah “nyata”, yaitu masalah yang bukan “murni” matematika. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah nyata dengan menggunakan apa
yang dipelajarinya di sekolah dan berdasarkan pengalaman di luar sekolah didasari oleh proses matematisasi, yaitu matematisasi horisontal dan matematisasi
vertikal. Proses ini dapat dimunculkan dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan Realistic Mathematics Education RME Fauzan dan Yerizon, 2013.
RME merupakan suatu pendekatan dengan paradigma bahwa matematika adalah suatu kegiatan manusia human activities, dan belajar matematika berarti
bekerja dengan matematika doing mathematics Freudenthal dalam Wijaya, 2012. Pendekatan RME telah diadaptasi oleh banyak negara di dunia, seperti
Inggris, Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brazil, Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia, termasuk Indonesia yang mengadaptasi RME
menjadi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI Sembiring, Hadi, dan Dolk, 2008. PMRI merupakan langkah perubahan pendidikan matematika di
Indonesia. Perubahan ini tidak hanya menerapkan cara baru dalam kegiatan belajar dan mengajar matematika, tetapi juga berkaitan dengan langkah untuk
mencapai transformasi sosial di Indonesia. Salah satu faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran
PMRI adalah perangkat pembelajaran yang digunakan Hadi, 2012. Mukunthan 2013 menyatakan bahwa perangkat pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran
matematika juga diperlukan sebab berkaitan dengan sifat matematika yang
abstrak. Perangkat pembelajaran adalah sejumlah bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Penyusunan
perangkat pembelajaran didasarkan pada kurikulum nasional agar sesuai dengan proses pembelajaran siswa. Perangkat pembelajaran yang perlu disiapkan oleh
guru antara lain adalah Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Bahan Ajar, Lembar Kerja Siswa, dan Tes Hasil Belajar. Berdasarkan hasil observasi di SMP
N 1 Petarukan, guru mata pelajaran matematika di kelas VIII telah menyusun Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, sedangkan untuk Bahan Ajar
guru menggunakan bahan ajar Pakar Matematika dari Penerbit Aviva. Pembelajaran merupakan sebuah proses yang terus berkembang pada setiap
individu siswa. Pembelajaran matematika yang diberikan sejak sekolah dasar bertujuan untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Hal-hal tersebut berkaitan dengan sifat dan karakteristik kepribadian siswa sehingga menjadi
perhatian pembelajaran matematika di kelas. Karakteristik pribadi siswa merupakan faktor yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran di samping
faktor-faktor lain seperti kurikulum yang digunakan, sarana dan prasarana yang tersedia, dan guru yang mengajar Rahman, 2008.
Berkaitan dengan
karakteristik pribadi
siswa, Winkel
1996 mengungkapkan aspek-aspek yang lebih luas, yaitu: a fungsi kognitif, b fungsi
konatif-dinamik, c fungsi afektif, d fungsi sensorik motorik, dan e individualitas biologis, kondisi mental, vitalitas psikis dan sebagainya. Aspek
yang berkaitan erat dengan keberhasilan belajar siswa dalam aspek kognitif adalah
fungsi kognisi yang mencakup: taraf intelegensi, daya kreativitas, bakat khusus, organisasi kognitif, taraf kemampuan bahasa, daya fantasi, gaya belajar gaya
kognitif, tipe belajar, gaya berpikir, dan teknik-teknik studi. Oleh karena itu, setiap siswa memiliki karakteristik kemampuan dan gaya kognitif yang berbeda
satu sama lain. Perbedaan
karakteristik kemampuan
dan gaya
kognitif siswa
memungkinkan siswa yang mempunyai gaya kognitif berbeda akan mempunyai gambaran pemikiran penyelesaian masalah yang berbeda pula. Akibatnya,
perbedaaan pada karakteristik gaya kognitif siswa merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran Daraini, 2012. Kegiatan
pembelajaran yang lebih menghargai perbedaan setiap siswa sebagai individu akan lebih mengembangkan siswa sesuai dengan kemampuan dan potensi yang
dimilikinya. Gaya kognitif atau gaya berpikir merujuk pada suatu istilah dalam psikologi
kognitif yang digunakan untuk mendeskripsikan cara seseorang berpikir, merasakan, dan mengingat berbagai informasi Umaru, 2013; Davies Graff,
2006. Gaya kognitif berbeda dari kemampuan kognitif atau tingkat kognitif yang pengukurannya menggunakan tes intelegensi. Gaya kognitif mengacu pada
karakteristik seseorang dalam menerima, menganalisis dan merespon suatu tindakan kognitif yang diberikan Rahmatina, dkk., 2014. Gaya kognitif seperti
kemampuan untuk menguraikan, mensintesiskan dan menerapkan, menganalisis serta mengevaluasi informasi pembelajaran sangat diperlukan untuk mencapai
kesuksesan baik dalam akademik maupun kehidupan sebab gaya kognitif
berhubungan dengan bagaimana seseorang memproses informasi, belajar, dan sejauh mana keberhasilannya dalam pembelajaran Umaru, 2013.
Para pakar pendidikan mengelompokkan perbedaan gaya kognitif dalam tiga kategori, yaitu: 1 perbedaan gaya kognitif secara psikologis, meliputi: gaya
kognitif field dependent dan field independent; 2 perbedaan gaya kognitif secara konseptual tempo, meliputi: gaya kognitif impulsif dan gaya kognitif reflektif; dan
3 perbedaan kognitif berdasarkan cara berpikir, meliputi: gaya kognitif intuitif- induktif dan logik deduktif Rahman, 2008. Palacios dan Servera dalam Dios,
2009 menyatakan bahwa gaya kognitif yang lebih menyeluruh diteliti adalah reflektif dan impulsif R-I. Tipe gaya kognitif tersebut menggunakan pendekatan
cognition approach yaitu pendekatan yang mencoba mengidentifikasi
karakteristik gaya atau cara individu dalam menghadapi masalah intelektual serta perbedaan fungsi kognitif itu sendiri.
Gaya kognitif reflektif dan impulsif diukur berdasarkan banyaknya waktu yang diperlukan untuk memecahkan masalah singkat dan lambat dan keakuratan
jawaban yang diberikan cermat dan tidak cermat. Rozencwajg dan Corroyer 2005 mengelompokkan gaya kognitif reflektif dan impulsif menjadi empat
kelompok berbeda, yaitu individu reflektif, individu impulsif, individu fast- accurate, dan individu slow-innaccurate. Seseorang yang impulsif cenderung
menjawab permasalahan secara cepat dengan tingkat kesalahan tinggi, sedangkan seseorang yang bergaya reflektif cenderung lebih lambat merespon dengan tingkat
kesalahan yang lebih rendah. Siswa reflektif biasanya lama dalam merespon,
namun mempertimbangkan semua pilihan yang tersedia Daraini, 2012; Rahmatina, dkk., 2014.
Berdasarkan hasil observasi awal di empat SMP di Kecamatan Petarukan ditemukan fakta bahwa sebaran gaya kognitif siswa beragam dengan persentase
tipe gaya kognitif impulsif yang paling tinggi, yaitu 33,3 di SMP 1; 36,4 di SMP 4; 37,1 di SMP 5; dan 60,5 di SMP 6. Di SMP 1, persentase tipe gaya
kognitif reflektif mencapai 13,9; tipe gaya kognitif fast accurate 25 dan tipe gaya kognitif slow innaccurate 27,8. Di SMP 4, persentase tipe gaya kognitif
reflektif mencapai 18,2; tipe gaya kognitif fast accurate 27,2 dan tipe gaya kognitif slow innaccurate 18,2. Di SMP 5, persentase tipe gaya kognitif reflektif
mencapai 17,1; tipe gaya kognitif fast accurate 22,9 dan tipe gaya kognitif slow innaccurate 22,9. Di SMP 6, persentase tipe gaya kognitif reflektif adalah
2,6; tipe gaya kognitif fast accurate 34,2 dan tipe gaya kognitif slow innaccurate 2,6. Dengan munculnya masing-masing kelompok gaya kognitif
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sebaran gaya kognitif siswa di keempat SMP tersebut cukup merata.
Rahayu, dkk. 2008 telah mengembangkan instrumen penilaian PMRI yang merupakan salah satu perangkat dalam pembelajaran PMRI. Instrumen penilaian
ini memiliki karakteristik valid berdasarkan penilaian validator sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu petunjuk pelaksanaan bagi guru dalam proses
pembelajaran. Penelitian Rahmatina, dkk. 2014 telah mendeskripsikan
kemampuan berpikir kreatif siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif dan gaya kognitif impulsif. Siswa yang bergaya kognitif reflektif menempati tingkat
berpikir kreatif keempat, sedangkan siswa bergaya kognitif impulsif menempati tingkat berpikir kreatif pertama dan ketiga.
Hasil observasi awal penelitian di SMP N 1 Petarukan sejalan dengan penelitian Rusmining, dkk. 2014 yang menyimpulkan bahwa kemampuan
literasi matematika siswa masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai karakteristik
pembelajaran PMRI di kelas VIII SMP N 1 Petarukan dan keefektifan pembelajaran PMRI di kelas VIII SMP N 1 Petarukan, serta karakteristik
kemampuan literasi matematika siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif, gaya kognitif impulsif, gaya kognitif fast-accurate, maupun gaya kognitif slow-
innaccurate dalam pembelajaran PMRI.
1.2 Identifikasi Masalah