HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN NILAI ANAK DAN USIA KAWIN PERTAMA DENGAN JUMLAH ANAK LAHIR HIDUP PASANGAN PERKAWINAN USIA MUDA DI WAY KANAN (SEBAGAI KRITIK KEHIDUPAN SOSIAL)
THE RELATION OF EDUCATION LEVEL CHILDREN VALUE AND FIRST AGE MARRIAGE WITH THE FERTILITY OF A YOUNG
AGE MARRIAGE COUPLE IN WAY KANAN (SOCIAL STUDIES AS CRITICISM)
By : APRIYANTI
The research to know the relation of education level and first age marrige with fertility, relation of children’s value and first age marrige with fertility and relation of education level, children’s value and first age marrige with fertility. The method used in the research survey method. The population in this research to 250 responden with a total sample size of 125 responden, taken with the sample random sampling technique. Data collection technique used were question, interview and observation. To the hypothesis the outher using SPSS. The approach of the research is quantitative research with survey method. Data analyzis result korelasi ganda with a signifikansi 95%.
The result of research shows that there is a relation of education level and first age marrige with fertility, relation of children’s value and first age marrige with fertility and relation of education level, children’s value and first age marrige with fertility.
(2)
PERTAMA DENGAN JUMLAH ANAK LAHIR HIDUP PASANGAN PERKAWINAN USIA MUDA DI WAY KANAN
(SEBAGAI KRITIK KEHIDUPAN SOSIAL)
Oleh APRIYANTI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikandengan jumlah anak lahir hidup, hubungan nilai anak dengan jumlah anak lahir hidup, hubungan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup dan hubungan tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Populasi dalam penelitian ini adalah wanita PUS pasangan perkawinan usia muda yang berjumlah 250 dengan sampel 125 wanita pasangan perkawinan usia muda yang diambil dengan teknik random sampling jenis simple random sampling dengan metode undian di DesaCampanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner, wawancara terstruktur dan observasi. Analisis data menggunakan statitik versi 16 yaitu menggunakan Korelasi Ganda dengan signifikansi 95%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif tingkat pendidikan dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup, terdapat hubungan negatif nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup dan terdapat hubungan negatif tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup.
Kata kunci : jumlah anak lahir hidup, nilai anak, tingkat pendidikan, usia kawin pertama
(3)
(4)
(SEBAGAI KRITIK KEHIDUPAN SOSIAL)
(Tesis)
Oleh :
APRIYANTI
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN IPS
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
(5)
(6)
(7)
(8)
Biarlah perjuangan ini terasa panjang, tapi sangat manis saat kuraih.
(9)
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan ridha-Nya jualah aku dapat mempersembahkan karya kecilku ini kepada
orang-orang tercinta Kedua orang tuaku tercinta,
Bapak Abdullah dan Ibu Ratna yang selalumendoakanaku,
danmemberikandukunganbaikmorilmaupun spiritual. Limpahan kasih sayang kalian menjadi kekuatan aku dalam menjalani kehidupan untuk meraih harapan dan cita-citaku. Adik-adikku tersayang Astuti Alawiyah dan Maria Ulpah yang menjadi semangat aku dalam
menjalani kehidupan dan telah memberikan kekuatan untuk aku mewujudkan impian dan cita-cita.
Para pendidikku yang kuhormati, terimakasih atas semua ilmu yang telah diberikan serta dukungannya selama ini.
(10)
Penulis dilahirkan di Campanglapan Kecamatan Banjit KabupatenWay Kanan pada tanggal 18 Agustus 1988. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Abdullah dan Ibu Ratna.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh :
1. Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 2 Campanglapan Kecamatan Banjit KabupatenWay Kanan yang diselesaikan pada tahun 2001.
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 3 Banjit Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan yang diselesaikan pada tahun 2004.
3. Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 10 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2007.
4. Pendidikan S1 di Universitas Lampung pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan IPS Program Studi Pendidikan Sejarah yang diselesaikan pada tahun 2011.
5. Tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana program studi Pendidikan IPS di Universitas Lampung
(11)
Halaman HALAMAN JUDUL
DAFTAR TABEL DAFTAR ISTILAH DAFTAR ISI
I. Pendahuluan ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 8
1.3 Batasan Masalah... 9
1.4 Rumusan Masalah ... 9
1.5 Tujuan Penelitian ... 10
1.6 Kegunaan Penelitian... 11
1.7 Ruang Lingkup Penelitian... 11
2 Tinjauan Pustaka,Kerangka Fikir dan Paradigma ... 14
2.1Konsep Kekerabatan Suku Sunda……… ... 14
2.2 Konsep Perkawinan... 16
2.3 Konsep Perkawinan Usia Muda……….18
2.4 Tingkat Pendidikan ... 19
2.5 Konsep Nilai Anak ... 21
2.6 Jumlah Anak Yang Dilahirkan... 25
2.7 Teori Yang Berkaitan Dengan Perkawinan Usia Muda... 26
2.7.1 Teori Transisi Demografi ... 27
2.7.2 Teori Perolehan ... 29
2.8 Hasil Penelitian Terdahulu... 33
(12)
3 Metode Penelitian... 37
3.1 Metode Penelitian... 37
3.2 Variabel Penelitian ... 39
3.3 Definisi Operasional Variabel... 40
3.4 Populasi dan Sampel ... 44
3.5 Teknik Pengumpulan Data... 47
3.5.1 Teknik Kuesioner ... 47
3.5.2 Teknik Wawancara... 48
3.5.3 Teknik Dokumentasi ... 49
3.6 Teknik Pengolahan Data ... 49
3.7 Teknik Analisis Data... 50
4. Hasil dan Pembahasan... 55
A. Gambaran Umum Desa Campanglapan ... 55
4.1 Sejarah Singkat Desa Campanglapan ... 55
4.2 Letak dan Keadaan Geografis Desa Campanglapan ... 58
4.3 Keadaan Penduduk Desa Campanglapan... 60
4.4 Sistem Kekerabatan Sunda ...63
4.5 Perkawinan Ideal Menurut Suku Sunda... 65
4.6 Perkawinan Usia Muda ...67
B. Hasil Penelitian ... 70
4.7 Umur Responden ... 70
4.8 Tingkat Pendidikan Responden ...72
1.9 Jenis Pekerjaan Responden ...74
4.10 Jumlah Anak yang Dilahirkan ...76
4.11 Nilai Anak Dalam Keluarga Pasangan Usia Subur... 78
(13)
4.14 Hipotesis Ketiga ... 96
5. Simpulan dan Saran... 97
5.1 Simpulan ... 97
5.2 Implikasi ... 99
5.3 Saran ... 100
(14)
Lampiran Halaman
1. KuesionerPenelitian ………114
2. Hargaktiris r ………121
3. Hargakritisdistribusi t ………123
4. Hargakritisdistribusi f ………125
5. UjiValiditas ………127
6. UjiReliabilitas ………131
7. UjiReliabilitas ………131
8. UjiHipotesis 1 ………132
9. UjiHipotesis 2 ………133
10. UjiHipotesis 3 ………134
11. UjiNormalitasdanUjiHomogenitas ………135
12. HasilOlahKuesioner ………136
13. SuraiIjinPenelitian………138
(15)
Tabel Halaman
1.1 Anak Lahir Hidup Wanita PUS ... 3
1.2 Jumlah Rata-Rata Anak Lahir Hidup Wanita PUS ... 7
2.1 Hasil Penelitian Relevan ... 40
3.1 Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian ... 50
4.1 Mata Pencaharian Penduduk di Desa Campanglapan ... 68
4.2 Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Campanglapan ... 69
4.3 Etnis Penduduk di Desa Campanglapan ... 70
4.4 Usia Penduduk di Desa Campanglapan ... 71
4.5 Jenis Kelamin Penduduk di Desa Campanglapan ... 72
4.6 Kelompok Umur Wanita PUS ... 72
4.7 Tingkat Pendidikan Wanita PUS ... 73
4.8 Usia Kawin Pertama Wanita PUS ... 74
4.9 Mata Pencaharian Wanita PUS ... 75
4.10 Jumlah Anak Wanita PUS ... 76
4.11 Indikator Keuntungan Ekonomi ... 78
4.12 Indikator Keuntungan Emosional ... 80
4.13 Indikator Pengayaan dan Pengembangan Diri ... 82
4.14 Indikator Identifiksi Pada Anak ... 83
4.15 Indikator Kerukunan dan Kelanjutan Keluarga ... 85
(16)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan distribusi penduduk yang tidak merata masih menjadi masalah yang membutuhkan perhatian serius dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembangunan. Indonesia merupakan salah satu dari negara berkembang di dunia yang hingga saat ini mengalami masalah kependudukan. Masalah kependudukan di Indonesia tersebut, pada hakekatnya digolongkan menjadi dua yaitu laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan persebaran yang tidak merata.
Hasil sensus penduduk menunjukan bahwa jumlah penduduk Indonesia terus meningkat dengan pesat. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia 206.264.595 jiwa, berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 2010 diperoleh bahwa jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 237.556.363jiwa (BPS: 2010). Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 2012) TFR (Total Fertility Rate) Indonesia saat ini sebesar 2,6 anak per wanita usia subur yang artinya akan ada 2-3 anak per wanita usia subur. Angka ini masih jauh dari target yaitu 2,1 di tahun 2015 (BKKBN, 2013: 2).
(17)
2 Jumlah penduduk Indonesia makin hari semakin meningkat, padahal pemerintah terus berupaya untuk mencapai TFR 2,1 anak per wanita. Meski demikian, masih saja banyak penduduk memiliki anak yang jumlahnya banyak.Salah satu upaya pemerintah untuk menekan laju pertambahan penduduk melalui upaya pengendalian fertilitas yang instrumen utamanya adalah Program Keluarga Berencana (KB).
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan peningkatan
CPR (Prevalesni Pemakaiaan Kontrasepsi)Indonesia dari 54,4% pada tahun 2006, menjadi 57,4% pada tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh kesadaran PUS untuk menggunakan kontrasepsi dalam pengaturan kelahiran sudah semakin baik, namun peningkatan CPR belum mampu mencapai target TFR nasional yaitu 2,I(BKKBN, 2013: 4).
Jumlah penduduk di Provinsi Lampung dari hasil sensus penduduk tahun 2010 mencapai 7.608.405 jiwa (BPS: 2010) bila dibandingkan dengan hasil sensus penduduk tahun 2000 yang mencatat jumlah penduduk Lampung 6.730.751 orang, populasi penduduk hingga tahun 2010 bertambah menjadi 12,86% dengan laju pertumbuhan 1,23% pertahun. Sementara itu TFR Provinsi Lampung, berdasarkan SDKI tahun 2012, angka total fertilitas (TFR) menunjukkan kenaikan yaitu menjadi 2,7 dari 2,5 pada SDKI 2007, CPR Lampung menempati angka yang tinggi yaitu 66,3% (SDKI 2012: 8).
Hal ini menunjukkan anomali, karena seharusnya dengan CPR tinggi maka TFR akan turun, tetapi di Provinsi Lampung CPR nya tinggi tetapi TFR nya juga tinggi. Dalam RPJMN 2010 - 2014 telah ditetapkan bahwa sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan Program KB adalah menurunnya TFR menjadi 2,36 pada tahun 2014 (SDKI 2012: 9).
(18)
3 TFR yang tinggi juga dialami di sebagian kota dan desa yang berada di Provinsi Lampung seperti halnya juga terjadi di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kananangka kelahiran mencapai jumlah rata rata 2,55 masih melampaui jumlah target TFR Lampung 2,36 rendahnya tigkat pendidikan wanita pasangan usia subur (PUS) yang menyebabkan wawasan mereka mengenai maksud dan tujuan program keluarga berencana serta manfaatnya bagi mereka masih terbatas. Hal ini cenderung membuat mereka memiliki jumlah anak yang banyak, yaitu rata-rata lebih dari dua orang anak. Selain itu usia kawin pertama juga menjadi masalah yang mengakibatkan tingginya angka kelahiran. Pada umumya masyarakat di pedesaan ada kecenderungan untuk melangsungkan perkawinan pada usia muda. Berdasarkan data monografi di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan mempunyai 517 Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk 2586 jiwa, sedangkan pasangan usia subur (PUS) kawin muda sebanyak 500 Kepala Keluarga, dengan jumlah anak yang dilahirkan sebanyak1303 jiwa(Monografi Desa Campanglapan, 2014). Rata-rata jumlah anak lahir hidup yang dimiliki wanita pasangan usia subur (PUS) di Desa Campanglapan dapat dilihat pada Tabel 1.1 sebagai berikut.
Tabel 1.1 Jumlah Anak Lahir Hidup yang Dilahirkan Wanita Pasangan Usia Subur (PUS) disetiap Dusun di Desa CampanglapanTahun 2014. 1 Dusun Jumlah
PUS Total
Jumlah PUS Kawin Muda
Jumlah Anak PUS
Rata-rata Jumlah Anak PUS
1 I 285 275 693 2,52
2 II 130 125 355 2,84
3 III 102 100 255 2.55
Jumlah 517 500 1303 2,60
(19)
4
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dijelaskan bahwa rata-rata jumlah anak yang dimiliki PUS kawin muda di Desa Campanglapan Tahun 2014 tergolong tinggi karena anak yang dimiliki rata-rata lebih dari dua orang yaitu mencapai 2,60 orang anak.Jumlah anggota keluarga yang ideal menurut NKKBS dalam BKKBN (1992: 1) adalah 4 orang yang terdiri dari satu ayah, satu ibu dan dua anak cukup.Dimana suatu keluarga yang memiliki anak ≤ 2 dikategorikan sebagai keluarga kecil atau sedikit dan yang memiliki anak > 2 dikategorikan sebagai keluarga besar atau mempunyai banyak anak.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina keluarga bahagia. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi. Perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang merupakan unit terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang sah dan tidak di bawah tangan, karena perkawinan adalah sakral dan tidak dapat dimanipulasikan dengan apa pun.
Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral, maka setiap suku atau kelompok masyarakat memiliki adat yang berbeda, seperti Suku Sunda memiliki adat perkawinan, perkawinan yang ideal menurut Suku Sunda adalah perkawinan yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan menurut adat kebiasaan kawin dengan seketurunan/sepupu, atau dengan yang sederajat.
(20)
5
Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 27 tanggal 24 Juli 1983 tentang usia perkawinan batas usia untuk seorang pria 25 tahun dan untuk seorang wanita 20 tahun. Berdasarkan instruksi tersebut, yang dimaksud dengan kawin muda adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dibawah usia 25 tahun dan untuk wanita dibawah 20 tahun.Orang tua Suku Sunda kurang memperhatikan usia anak yang akan dinikahkan sehingga masih banyak terjadi perkawinan usia muda pada suku Sunda khususnya di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
Mengenai pendidikan yang berkaitan dengan jumlah anak lahir hidup (Holsinger dan Kasarda dalam Kartomo Wirosuhardjo, 1986: 67) berpendapat bahwa “pendidikan dapat mempengaruhi jumlah anak yang dilahirkan karena meningkatkan aspirasi mobilitas vertikal dan keinginan memperoleh kekayaan menekan keinginan akan kelaurga besar” (Wirosuhardjo, 1986: 67).
Mengenai nilai anak hubungannya dengan jumlah anak lahir hidup yaitu dahulu sebagian besar masyarakat, menilai anak sebagai sumber rezeki dengan pameo “banyak anak banyak rezeki”, maka sekarang pameo itu berubah menjadi “banyak anak banyak beban”. Keuntungan finansial (materi) dan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang tua apabila mempunyai anak, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam membesarkan anak. Jika jumlah anak dalam keluarga itu besar, maka biaya dan waktu alokasi untuk anak akan besar pula dan hal tersebut dapat membebani orang tuanya. Dilihat dari segi ekonomi yang menjadi sebab utama tinggi rendahnya fertilitas adalah beban ekonomi keluarga (Munir, 1986: 104).
(21)
6
Pembicaraan tentang beban dan manfaat ekonomi anakseharusnya tidak boleh membuat menutup mata kepada kenyataanbahwa tidak seorang pun yang pandangannya ekonomi. Nilai anak dilihat dari psikologi perasaancinta kasih, kebutuhan akan keluarga normal dan sebagainya, juga harus dipertimbangkan. Dari semua pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mengambil keputusan tentang jumlah anak atau besar keluarga yang akan dimiliki, seseorang akan dipengaruhi oleh daya guna yang diberikan oleh anak-anaknya.
Pendekatan terhadap nilai anak pendekatan mikro ekonomi dan pendekatan psikologi sosial yang dikembangkan dari kerangka kerja menekankan adanya kebutuhan masing-masing orang yang terpenuhi dengan mempunyai anak, cara lain untuk memenuhi kebutuhan ini, dan interaksi antara nilai emosional, sosial dan ekonomi, serta “beban” karena mempunyai anak.
Usia kawin memegang peranan penting dalam fetilitas (jumlah anak lahir hidup), alasannya adalah bahwa peningkatan usia kawin wanita berarti memperpendek masa subur. Untuk menentukan kejadia memulai hubungan kelamin, umumnya digunakan pendekatan umur ketika pertama kali menikah. Pada setiap kelompok masyarakat proses bereproduksi atau memiliki keturunan dilegalkan melalaui lembaga perkawinan walaupun tidak dipungkiri bahwa terdapat hubungan kelamin di luar pernikahannya, baik yang menghasilkan kelahiran maupun tidak. Seorang perempuan yang menikah pada usia yang sangat muda, sangat memungkinkan memiliki beberapa orang anak sebelum mereka menyelesaikan masa subur.
(22)
7
Pada kelompok masyarakat yang tidak mempunyai program pencegahan kelahiran seperti program keluarga berencana, maka penundaan usia kawin pertama merupakan salah satu cara untuk menghambat kelahiran. Gambaran mengenai jumlah anak yang dilahirkan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campangllapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan dapat dilihat pada Tabel 1.3 sebagai berikut.
Tabel 1.3 Jumlah Wanita PUS Pasangan Perkawinan Usia Muda Berdasarkan Jumlah Anak yang Dilahirkan di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan Tahun 2014.
No Banyaknya Anak Yang Dilahirkan Frekuensi Persentase 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 26 48 31 5 8 7 20,80 38,40 24,80 4,00 6,40 5,60
Jumlah 125 100,00
Sumber : Data Primer Hasil Penelitian 2014
Berdasarkan Tabel 1.3 dapat diketahui bahwa jumlah wanita PUS pasangan perkawinan usia muda terbanyak adalah 40 jiwa (32,00%) yang memiliki jumlah anak sebanyak 4 orang anak, wanita PUS pasangan perkawinan usia muda paling sedikit adalah 10 jiwa (8,00%) yang memiliki 1 orang anak. Dari data tersebut juga dapat diketahui, adanya wanita PUS pasangan perkawinan usia muda yang tidak berhasil dalam usaha pengaturan jumlah anak yang sedikit dalam keluarga.
(23)
8
Penelitian ini berkaitan dengan kawasan pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai kritik kehidupan sosial (social studies as social criticism), dilihat dari tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak yang dilahirkan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak yang dilahirkan pada pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan (Sebagai Kritik Kehidupan Sosial).
B. Identifikasi Masalah Penelitian
Identifikasi masalah penelitian hubungan antara tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak yang dilahirkan pada pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan (Sebagai Kritik Kehidupan Sosial) sebagai berikut.
1. Apasajakah faktor penyebab perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan ?
2. Bagaimana dampak perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan ?
3. Bagaimana nilai anak pada perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan ?
(24)
9
4. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda dengan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan ?
5. Apakah ada hubungan antara nilai anak dengan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan ?
6. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda dan nilai anak dengan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan ?
C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian sangatlah diperlukan agar penelitian menjadi lebih terarah dan meminimalisir kesalahan. Dalam penelitian ini dibatasi dan dititikberatkan pada hubungan antara tingkat pendidikan dan nilai anak dengan jumlah anak yang dilahirkan pada pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
(25)
10
D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda dengan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan ?
2. Apakah ada hubungan antara nilai anak dengan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan ?
3. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda dan nilai anak dengan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan ?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini.
1. Untuk mengkaji hubungan antara tingkat pendidikan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda dengan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
(26)
11
2. Untuk mengkaji hubungan antara nilai anak dengan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
3. Untuk mengkaji hubungan antara tingkat pendidikan pasangan perkawinan usia muda dan nilai anak dengan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
F. Kegunaan Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat secara teori dan manfaat secara praktik.
1. Secara teori, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan sebagai rujukan dalam mengadakan penelitian lain yang berkaitan denga nilai anak pada pasangan perkawinan usia mudaSuku Sunda.
2. Secara praktik, penelitian ini dapat digunakan sebagai suplemen pengajaran, mengenai nilai anak dan jumlah anak lahir hidup pada pasangan perkawinan usia muda dalam perkembangan ilmu geografi Indonesia.
(27)
12
G. Ruang Lingkup Penelitian
Mengingat masalah diatas cukup umum dalam penelitian untuk menghindari kesalahpahaman, maka dalam hal ini dijelaskan tentang sasaran dan tujuan yang mencakup :
1. Objek Penelitian : Tingkat Pendidikan dan Nilai Anak Terhadap Jumlah Anak Lahir
2. Subjek Penelitian : Masyarakat Suku Sunda 3. Tahun Penelitian : Tahun 2014
4. Tempat Penelitian : Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten
Way Kanan
4. Ruang lingkup ilmu : Geografi dalam ruang lingkup IPS karena geografi merupakan bagian dari pendidikan IPS, sehingga perlu suatu pembatasan di dalam pendidikan IPS itu sendiri. Menurut Pargito (2010: 44-49) lima kawasan dalam pendidikan IPS sebagai berikut.
1. IPS sebagai transmisi kewarganegaraan (social studies as citizenship transmission).
2. IPS sebagai pengembangan pribadi seseorang (social studies as personal development of the individual).
3. IPS sebagai pendidikan reflektif (social studies as reflective inquiri). 4. IPS sebagai pendidikan ilmu-ilmu sosial (social studies as social
sciences).
5. IPS sebagai kritik kehidupan sosial (social studies as social criticism).
Berdasarkan dari pernyataan tersebut di atas, maka kawasan IPS yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu IPS sebagai transmisi kewarganegaraan
(28)
13
(social studies as citizenship transmission), karena di dalam program citizenship transmission ada suatu upaya untuk mengajarkan tentang nilai-nilai luhur pada penelitian ini adalah proses pewarisan perkawinan usia muda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan kepada generasi penerus dalam kehidupan bermasyarakat.Tujuan citizenship transmission adalah membentuk sikap pribadi yang baik yang diharapkan dapat dimiliki oleh generasi muda. Kaitannya dengan penelitian ini adalah bahwa diharapkan generasi muda dapat mengetahui tentang persepsi pasangan usia muda terhadap nilai anak.
Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai pendidikan ilmu – ilmu sosial (social studies as social sciences). Inilah alasan yag sangat kuat terhadap perlunya pendidikan ilmu pengetahuan sosial sebagai program pendidikan ilmu–ilmu sosial adalah karena mengajarkan ilmu–ilmu sosial secara terpisah– pisah memberatkan siswa sekolah secara kurikuler. Program pembelajaran secara disipliner (terpisah) hanya akan menambah beban siswa sekolah Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas dalam belajar. Penelitian berjudul persepsi pasangan perkawinan usia muda tentang niali anak di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan sebagai suplemen mata pelajaran geografi kelas XI semester ganjil standar kompetensi kependudukan kompetensi dasar perkawinan usia muda.
(29)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1Konsep Kekerabatan Suku Sunda
Suku adalah kata yang digunakan untuk menunjuk pada kumpulan-kumpulan dari beberapa klan (Ariyono, 1985: 388). Sedangkan menurut Koentjaraningrat suku adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “ kesatuan kebudayaan ”, sedangkan kesadaran dan identitas tidak seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2002: 264).
Berdasarkan pengertian di atas maka suku adalah suatu golongan atau kumpulan manusia yang terikat oleh ikatan kesamaan kebudayaan. Untuk membedakan suku yang satu dengan suku yang lainnya biasanya dengan mengamati latar belakang adat keabsahan, bahasa atau agama yang mereka anut.
Secara antropologi budaya Suku Sunda adalah orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa ibu bahasa sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari dan berasal serta bertempat tinggal di Jawa Barat (Tanah Pasundan). Ciri kepribadian orang sunda adalah sangat mencintai dan menghayati kesenian, manusia yang optimis, suka dan mudah gembira, watak terbuka, bersifat terlalu perasa. Kebudayaan Sunda mengalami perubahan-perubahan disebabkan oleh bertambahnya penduduk.
(30)
15 Jadi yang dimaksud dengan Suku Sunda dalam penelitian ini adalah kelompok etnis yang berasal dari keturunan bagian barat pulau Jawa yang telah bermigrasi ke Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
Suku Sunda memperhitungkan dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari garis bapak maupun ibu. Sistem keluarga dalam Suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan Suku Sunda.
Suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Contohnya pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah dan vertikal yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia, makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan.
Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau keluarga dalam Suku Sunda menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu
(31)
16 yang langsung dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak langsung dan horisontal (dulur, dulur misan, besan), melainkan juga berdampak kepada masalah ketertiban dan kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati kedudukan lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak, incu, alo, suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi dari paman/bibi.
Hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya, menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi tidaknya pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru
2.2Konsep Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Sudarsono, 1991: 9). Pengertian perkawinan dalam undang-undang perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 “Perkawinan ialah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Undang - undang perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan yang dianut sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
(32)
17 Perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia (Idris, 1999: 1). Jadi yang dimaksud dengan perkawinan pada penelitian ini adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dalam sebuah keluarga (rumah tangga) dalam waktu relatif lama.
Perkawinan yang ideal menurut Suku Sunda adalah perkawinan yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan menurut adat kebiasaan kawin dengan seketurunan/sepupu, atau dengan yang sederajat. Pada hakekatnya tujuan perkawinan menurut Suku Sunda yaitu terciptanya kehidupan keluarga yang diliputi suasana damai, tenteram, bahagia, sejahtera baik lahir maupun batin.
Kebiasaan orang tua Suku Sunda mencarikan jodoh untuk anak-anak mereka diupayakan mencarikan jodoh di kalangan kerabat sendiri, yaitu antara saudara sepupu atau misan dari si anak dengan maksud mendekatkan kekeluargaan dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah ngadeukeutkeun baraya atau ngumpulkeun deui banda, nepung-nepung gagang seureuh (mengumpulkan lagi kekayaan, mempertemukan tangkai-tangkai sirih), yang artinya mempersatukan kekayaan kedua saudara sepupu untuk mempertemukan kekeluargaan agar lebih rapat. Perkawinan suku Sunda sekarang banyak yang tidak mengikuti perkawinan yang ideal, seperti banyak terjadinya perkawinan yang tidak dengan saudara sepupu dan perkawinan pada usia muda.
(33)
18 2.3Konsep Perkawinan Usia Muda
Pengertian perkawinan usia muda secara jelas telah tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 7, dinyatakan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan, seorang pria di bawah umur 19 tahun dan wanita di bawah usia 16 tahun dianggap belum cukup dewasa untuk melakukan sebuah perkawinan. Perkembangan lebih lanjut, banyak pihak yang beranggapan bahwa batas umur minimum untuk memasuki perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 7 tersebut terlalu rendah dan sudah tidak sesuai dengan tuntutan jaman.
Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan baru yang dituangkan dalam instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 27 tanggal 24 Juli 1983 tentang usia perkawinan. Dalam instruksi tersebut batas usia untuk seorang pria 25 tahun dan untuk seorang wanita 20 tahun. Berdasarkan instruksi tersebut, yang dimaksud dengan kawin muda adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dibawah usia 25 tahun dan untuk wanita dibawah 20 tahun, mereka belum dianggap belum benar-benar siap dan matang baik secara fisik maupun secara kedewasaan untuk melangsungkan sebuah perkawinan.
Perkawinan usia muda memberikan tanggungjawab lebih cepat dalam memelihara dan mendidik anak serta mengelola rumah tangga, dikala mereka sebetulnya masih berada pada dunia bermain dan mengembangkan diri (Abdurahman, 2008: 22).
(34)
19 Usia kawin bagi seseorang merupakan perubahan dari kehidupan di bawah pengawasan orang tua menjadi kehidupan yang lebih mandiri dengan segala hak dan kewajibanyang dibebankan kepadanya (Abdurahman, 2008: 24).
Jadi yang dimaksud dengan perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan oleh pria di bawah umur 25 tahun dan wanita di bawah umumr 20 tahun. Berdasarkan pengamatan penulis, perkawinan usia muda masih banyak terjadi pada Suku Sunda yang ada di desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
2.4Tingkat Pendidikan Wanita PUSPasangan Perkawinan Usia Muda Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan mempunyai kaitan dengan pengetahuan dan pandangan dalam pembatasan jumlah anak. Pendidikan yang dimiliki seseorang mempunyai jenjang yang berbeda. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (2003: 3) tingkat pendidikan adalah “Tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan”. Adapun jenjang pendidikan yang ada adalah pendidikan dasar (SD sampai SMP), pendidikan menengah (SMA) dan pendidikan tinggi (Akademi dan Perguruan Tinggi).
Banyaknya anak yang dilahirkan diduga erat hubungannya dengan tingkat pendidikan formal pasangan perkawinan usia muda yang rendah, hal ini bisa dilihat dari variabel antara usia kawin. Menurut Davis dan Blake tahun 1956 dalam buletin Populasi (Buletin Penelitian Kebijakan Kependudukan, mengatakan usia kawin sangat menarik untuk diteliti dalam kaitannya dengan studi fertilitas,
(35)
20 bahwa faktor usia kawin pertama sangat penting sebagai variabel antara, yaitu variabel yang secara langsung mempengaruhi fertilitas (Sukamdi, 1995: 55).
Teori Kingsley Davis dan Judith Blake pada tahun 1956. Yakni teori struktur sosial dan fertilitas yang kemudian biasa dikenal dengan teori Variabel Antara Davis & Blake. Garis merah dari teori ini adalah bahwa proses reproduksi menyangkut tiga tahapan penting, yaitu :
1. hubungan kelamin (intercourse),
2. konsepsi atau pembuahan (conception) dan
3. kehamilan (gestation). Menurut keduanya hanya melalui faktor tersebut kondisi budaya dapat mempengaruhi fertilitas.
Proses ini kemudian menjadi dasar pemikiran untuk merumuskan variabel penentu yang dapat menghambat dan atau meniadakan kelahiran. Karena pada masa itu, jumlah kelahiran tidak terbendung sehingga populasi melonjak tinggi. Variabel-variabel itu kemudian menjadi “variabel antara” yang menentukan fertilitas.
Untuk menentukan kejadian memulai berhubungan kelamin, umumnya digunakan pendekatan umur ketika pertama kali menikah. Pada setiap kelompok masyarakat proses bereproduksi atau memiliki keturunan dilegalkan melalui institusi perkawinan walaupun tidak dipungkiri bahwa terdapat hubungan kelamin diluar pernikahan, baik yang menghasilkan kelahiran maupun tidak. Seorang perempuan yang menikah pada usia yang sangat muda, sangat dimungkinkan memiliki beberapa orang anak sebelum mereka menyelesaikan masa subur.
(36)
21 Pada kelompok masyarakat yang tidak memiliki program pencegahan kelahiran seperti program keluarga berencana (KB), maka penundaan umur kawin pertama merupakan salah satu cara untuk menghambat kelahiran.
Menurut Malthus tahun 1798 dalam buletin Populasi (Buletin Penelitian Kebijakan Kependudukan, mengatakan untuk mengendalikan jumlah penduduk tidak dianjurkan pemakaian alat kontrasepsi yang sudah dikenal pada zamannya, cara untuk menekan angka fertilitas adalah dengan menunda perkawinan (Sukamdi, 1995: 56).
Kebanyakan masyarakat sederhana dan pedesaan, ide kontrasepsi yang menggunakan bahan kimia dan mekanis sudah diketahui dan berusaha menggunakannya. Namun dalam situasi yang mengharuskan membatasi fertilitas cara ini bukanlah yang biasa digunakan semata-mata karena tekhnologi masyarakat yang sedang berkembang tidak dapat menunjang dengan metode yang efektif karena tidak mengetahui fisiologi reproduksi, masyarakat kurang mampu mencari cara apa yang harus mereka pakai.
Usia kawin memegang peranan yang penting dalam penurunan angka fertilitas, alasannya adalah bahwa peningkatan usia kawin wanita berarti memperpendek masa subur. Jadi dengan variabel antara usia kawin dan pemakaian alat kontrasepsi, tingkat pendidikan pasangan perkawinan usia muda diduga mempunyai hubungan dengan tinggi rendahnya fertilitas yang berpengaruh terhadap jumlah anak yang dilahirkan pasangan perkawinan usia muda setiap keluarga, karena semakin tinggi pendidikan seseorang dengan sendirinya meningkatkan usia kawin sehingga memperpendek masa kesuburan dan semakin
(37)
22 luas pengetahuan dan pola pikirnya serta diduga semakin besar pula kemungkinan untuk mempertimbangkan program Keluarga Berencana (KB).
Mengenai pendidikan yang berkaitan dengan jumlah anak yang dilahirkan, Lies Achmad dalam Kartomo Wirosuhardjo (1986: 95) berpendapat bahwa “mereka yang berpendidikan tinggi umumnya mempunyai jumlah anak lahir yang rendah”. Dengan pendidikan yang semakin tinggi ditempuh seseorang, berarti menunda perkawinan yang dapat mempengaruhi jumlah anak yang dilahirkan. Pendidikan menurunkan kegunaan ekonomi yang diharapkan dari anak dan menyebabkan jumlah anak yang diharapkan juga berkurang.
Aris Anata (1993: 68) mengatakan bahwa “pendidikan yang tinggi seringkali mendorong kesadaran orang untuk tidak memiliki banyak anak. Dengan pendidikan yang tinggi orang cenderung memilih untuk mempunyai anak daam jumlah kecil tetapi bermutu, dibandingkan dengan memiliki banyak anak tetapi tidak bermutu”. Caldwell dalam Kartomo Wirosuhardjo (1993: 68) berpendapat bahwa “pendidikan adalah alat yang dapat merubah nilai-nilai dan norma-norma keluarga, karenadengan pendidikan maka seseorang dapat dipengaruhi olejh agama, hukum Negara dan lembaga masyarakat lainnya”.
Berdasarkan pendapat di atas diduga bahwa tingkat pendidikan pasangan perkawinan usia muda mempunyai hubungan dengan tinggi rendahnya jumlah anak yang dilahirkan padasetiap keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dengan sendirinya semakin luas pengetahuan dan pola pikirnya serta semakin besar pula kemungkinan untuk mempertimbangkan program keluarga berencana (KB).
(38)
23 2.5Konsep Nilai Anak
Pemilihan menambah jumlah anak diperoleh dengan cara mengorbankan pilihan terhadap barang lain, dimana keputusan itu pada akhirnya efek substitusi dan efek pendapatan (Abdurahman, 2008: 23). Konsep nilai anak atau “permintaan terhadap anak” (demand for children) mengacu pada pandangan pengambil keputusan tentang “pengganti hasil bangunan keluarga” yang disarikan dari sikapnya terhadap proses membangun keluarga. Menurut Leibenstein dalam buku Teori – Teori Kependudukan, membedakan tiga tipe manfaat apabila orang tua melahirkan seorang anak lagi yaitu anak sebagai sumber kegembiraan pribadi orang tua, anak sebagai pembantu produktif untuk menambah penghasilan keluarga dan anak sebagai sumber potensial untuk menjamin orang tua kemudian hari (Munir, 1986: 122).
Permintaan terhadap anak pada hakekatnya merefleksikan keinginan terhadap anak itu sendiri, disamping itu juga terhadap hal-hal yang berhubungan dengan anak seperti keuntungan ekonomi yang mungkin dibawa anak. Di banyak negara berkembang anak dipandang sebagai investasi, yaitu sebagai tambahan tenaga untuk menggarap lahan, atau sebagai gantungan hidup atau sebagai tabungan di hari tua. Dengan demikian penentuan fertilitas keluarga atau ‘tingkat permintaan akan anak’ merupakan bentuk pilihan ekonomi yang rasional bagi konsumen (dalam hal ini keluarga).
Tidak dapat dipungkiri bahwa anak mempunyai nilai tertentu bagi orang tua. Anak yang diibaratkan sebagai titipan Tuhan bagi orang tua memiliki nilai
(39)
24 tertentu serta menuntut dipenuhinya beberapa konsekuensi atas kehadirannya. Latar belakang sosial yang berbeda tingkat pendidikan, kesehatan, adat istiadat atau kebudayaan suatu kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan, menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak.
Anak memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosio kultural dan lain-lain. Yang dimaksud dengan persepsi nilai anak oleh orang tua adalah merupakan tanggapan dalam memahami adanya anak, yang berwujud suatu pendapat untuk memiliki diantara pilihan-pilihan yang berorientasi pada suatu hal yang pada dasarnya terbuka dalam situasi yang datangnya dari luar. Di daerah pedesaan anak mempunyai nilai yang tinggi bagi keluarga. Anak dapat memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya selain itu akan merupakan jaminan di hari tua dan dapat membantu ekonomi keluarga, banyak masyarakat di desa di Indonesia yang berpandangan bahwa banyak anak banyak rejeki.
Menurut Arnold dan Fawcett tahun 1975 dalam buku Teknik Penyusunan Skala Pengukur, konsep nilai anak memiliki dimensi sebagai berikut.
1. Nilai anak positif
a. Keuntungan emosional b. Keuntungan ekonomi c. Rasa aman
d. Pengayaan dan pengembangan diri e. Identifikasi dengan anak
f. Kemesraan keluaga g. Kelanjutan keturunan 2. Nilai anak negatif
a. Beban emosional b. Beban ekonomi
c. Berkurangnya keleluasan bergerak d. Membutuhkan banyak tenaga e. Beban bagi keluarga
(40)
25 3. Nilai keluarga besar
a. Persaingan antar anak b. Pilihan jenis kelamin c. Kelangsungan hidup anak 4. Nilai keluarga kecil
a. Beban bagi masyarakat b. Kesehatan ibu
(Ancok, 1987: 7).
Dalam sebuah keluarga sangat mendambakan kehadiran anak sebagai hasil dari sebuah perkawinan. Seperti pendapat yang menyatakan bahwa “Betapapun kecukupannnya suatu keluarga, apabila belum mempunyai anak terasa belum lengkap. Melalui anak pula, nilai-nilai dan kebudayaan dipertahankan dan dilestarikan. Oleh sebab itu, anak memberikan banyak arti dan fungsi bagi orang tua. Namun tidak dapat dipungkiri mempunyai anak berarti ada pengeluaran, ongkos dan ada juga harapan-harapan”. (Depdikbud, 1990: 120).
H. Leibenstein dalam Kartomo Wirosuhardjo (2000: 28) mengatakan bahwa “anak dilihat dari dua segi yaitu kegunaan dan biaya. Kegunaan ialah memberikan kepuasan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah biaya dari mempunyai anak tersebut”.
Nilai anak bagi orang tua dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui antara lain dari adanya kenyataan bahwa anak menjadi tempat orang tua mencurahkan kasih sayang, anak merupakn sumber kebahagiaan keluarga, anak sering dijadikan bahan pertimbangan bagi pasangan suami istri untuk membatalkan keinginan bercerai, kepada anak nilai-nilai dalam keluarga dapat disosialisasikan dan harta
(41)
26 kekayaan keluarga diwariskan dan juga menjadi tempat orang tua menggantungkan berbagai harapan.
Menurut Fawcett dalam David Lucas (1982: 160) berpendapat bahwa, dari segi psikologi tepatnya anak memiliki nilai positif maupun negatif. Nilai positif dipertimbangkan dengan perasaan puas karena anak memiliki manfaat seperti : a. Manfaat emosional : Anak membawa kegembiraan dan
kebahagiaan kedalam hidup orang tuanya b. Manfaat ekonomi dan
ketenagaan : Anak dapat membantu ekonomi orang tuanya dengan bekerja di sawah atau di perusahaan keluarga lainnya atau dengan menyumbangkan upah yang mereka dapat di tempat lain
c. Memperkaya dan
mengembangkan diri : Memelihara anka dalah suatu pengalaman belajar bagi orang tua, anak membuat orang tua lebih matang dan lebih bertanggungjawab
d. Mengenali anak : Orang tua memperoleh kebanggaan dan kegembiraan dari mengawasi anak tumbuh berkembang dan mengajari hal-hal baru, mereka bangga jika bisa memenuhi kebutuhan anaknya
e. Kerukunan dan
kelanjutan keluarga : Anak membantu mmeperkuat ikatan perkawinan antara suami istri dan mengisi kebutuhan keluarga
Sedangkan nilai negatif ditunjukkan dalam berbagai beban atau biaya yang dirasakan dan diderita orang tua karena memiliki anak adalah sebagai berikut: a. Beban emosional : Orang tua mengkhawatirkan anak tentang
perilaku, keamanan dan kesehatan anak b. Biaya ekonomi : Ongkos yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup anak cukup besar
c. Keterbatasan dan
biaya alternatif : Setelah mempunyai anak, kebebasan orang tua berkurang
(42)
27 d. Kebutuhan fisik : Begitu banyak pekerjaan rumah bertambah
yang diperlukan untuk mengasuh anak e. Pengorbanan kehidupan
pribadi suami istri : Waktu yang dinikmati oleh orang tua berkurang dan berdebat tentang pengasuhan anak
Dari uraian di atas pada hakekatnya orang tua mempunyai kepentingan terhadap anak-anaknya, baik bersifat ekonomi, sosial, budaya dan psikologi atau bahkan semuanya.
2.6Jumlah Anak Yang Dilahirkan (Fertilitas) Pasangan Perkawinan Usia Muda
Sehubungan dengan jumlah anak yang dilahirkan dalam suatu keluarga George W Barcley (1984: 1) mengatakan bahwa ”Fertilitas adalah tingkat daya guna nyata dari sejumlah penduduk tertentu didasarkan atas jumlah kelahiran hidup”.
Ida Bagus Mantra (2003: 145) mengatakan bahwa ”Istilah fertilitas adalah sama dengan kelahiran hidup, yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang perempuan dengan ada tanda-tanda kehidupan, misalnya berteriak, bernafas, jantung berdenyut dan sebagainya. Apabila pada waktu lahir tidak ada tanda-tanda kehidupan disebut dengan lahir mati yang dalam demografi tidak dianggap sebagi suatu peristiwa kelahiran”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa fertilitas adalah banyaknya anak yang dilahirkan hidup oleh seorang wanita atau sekelompok wanita yang mengakibatkan pertambahan jumlah anak dalam keluarga.
(43)
28 2.7Teori - Teori Kependudukan Yang Berkaitan Dengan Perkawinan Usia
Muda
Teori dan kebijakan kependudukan berpangkal pada pengamatan tentang perubahan yang terjadi pada penduduk dari wakru ke waktu. Teori kependudukan membahas sebab dan akibat dari struktur, jumlah dan penyebaran pendudukserta dinamika perubahan. Menurut Maltrus tahun 1963 dalam buku Psikologi dan Kependudukan, bahwa satu-satunya jalan untuk meloloskan diri dari situasi kemiskinan yang mengabadi itu berhubungan dengan tekanan penduduk terhadap sumber-sumber alam ialah membatasi pertumbuhan penduduk dengan cara menjalankan pengendalian penduduk secara bijaksana (Fawcett, 1984: 18).
Menurut Marx tahun 1953 dalam buku Psikologi dan Kependudukan, penderitaan umat manusia bukan sebagai akibat dari ledakan penduduk melainkan sebagai akibat dari distribusi pendapatan yang tidak merata dan kepncangan lainnya dalam masyarakat, bahwa di dalam bentuk masyarakat dapat dijalankan usaha preventif yang memadai terhadap kerja produktif akan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan jumlah penduduk (Fawcett, 1984: 19).
Menurut Thompson dan Lewis tahun 1965 dalam buku Psikologi dan Kependudukan, membedakan teori kependudukan yaitu teori alamiah dan teori sosial. Teori alamiah didasarkan pada suatu pandangan yang bersifat mekanis mengenai manusia dan alam. Teori sosial memiliki asumsi pokok bahwa pertumbuhan penduduk bukan merupakan subjek dari hukum yang kurang lebih berubah tetapi lebih ditentukan oleh sifat khusus manusia sebagaimana dikembangkan dalam lingkungan tempat hidup (Fawcett, 1984: 19).
(44)
29 2.7.1 Teori Transisi Demografi
Teori Transisi demografi adalah model yang menggambarkan perubahan penduduk dari tingkat pertumbuhan yang stabil tinggi (tingkat fertilitas dan mortalitas yang tinggi) ke tingkat pertumbuhan rendah (tingkat fertilitas dan mortalitas rendah) yang terjadi dari waktu ke waktu (Sukamdi, 1995: 60). Teori transisi demografi secara implisit menunjukkan bahwa penurunan fertilitas berkaitan dengan perkawinan. Pengalaman di Eropa Barat yang merupakan asal dari teori tersebut, menunjukkan bahwa penurunan fertilitas berjalan sejajar dengan kenaikan usia kawin. Hal ini diikuti oleh kecenderungan meningkatnya proporsi wanita yang tidak kawin.
Teori transisi demografi mula – mula berkembang sebagai salah satu usaha untuk menyusun suatu formula mengenai alasan umum yang dapat dijadikan pegangan untuk mengetahui proses penurunan tingkat mortalitas dan fertilitas. Lama – kelamaan teori transisi lebih diperinci dengan ditafsirkan secara lebih luas karena dianggap dapat diterapkan di negara berkembang yang masih mengalami perubahan demografis. Dengan demikian teori transisi demografi semakin dirasakan sebagai teori yang mampu menganalisa kecenderungan demografis untuk masa depan di negara yang masih megalami tahap awal transisi (Munir, 1986: 109).
Menurut Singarimbun dan Manning tahun 1976 dalam buletin Populasi (Buletin Penelitian Kebijakan Kependudukan, aspirasi masyarakat meningkat melalui pendidikan, pekerjaan serta mobilitas dapat meningkatkan status sosialnya, akibatnya intervensi orang tua dalam pemilihan jodoh berkurang dan usia kawin
(45)
30 makin tinggi, pemuda – pemudi lebih mudah bergaul, dengan kata lain, pergeseran usia kawin mengikuti perubahan kondisi sosial ekonomi (Sukamdi, 1995: 61).
Usia kawin memegang peranan yang penting dalam penurunan angka fertilitas, alasannya adalah bahwa peningkatan usia kawin wanita berarti memperpendek masa subur. Selama ini usaha peningkatan usia kawin di Indonesia menemui beberapa faktor penghambat yaitu adanya kesulitan dalam penyampaian informasi, tradisi yang kuat, isolasi tempat tinggal dan masalah sosial lainnya.
Berdasarkan teori transisi demografi dapat dipahami pula bahwa perubahan fertilitas dan mortalitas mengikuti proses industrialisasi atau modernisasi, artinya perubahan fertilitas erat kaitannya dengan perubahan kondisi sosial ekonomi. Sejalan dengan perubahan yang terjadi di bidang sosial, ekonomi, dan budaya terjadi pula pergeseran perkawinan tradisional.
2.7.2 Teori Perolehan
Di bidang ekonomi kajian mengenai perkawinan umumnya dihubungkan dengan ekonomi rumah tangga dan tenaga kerja. Sehubungan dengan hal tersebut, Becker tahun 1974 dalam Warta Demografi (Wahana Memasyarakatkan Pemikiran Demografi) Th-30, No. 2, 2000 telah mengembangkan teori perkawinan yang merupakan pengembangan dari teori ekonomi tentang fertilitas dikenal dengan “Teori Perolehan” (Siswono, 2000: 13).
(46)
31 Menurut Tee tahun 1988 dan Keeley tahun 1979 dalam Warta Demografi (Wahana Memasyarakatkan Pemikiran Demografi) Th-30, No. 2, 2000 berpendapat pula bahwa:
proses pencarian jodoh seperti memiliki kemiripan dengan proses mencari pekerjaan. Seseorang yang telah memasuki pasar perkawinan akan mencari pasangan yang sesuai dalam waktu tertentu. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan belum mendapat pasangan yang sesuai, maka pencarian pasangan akan dilanjutkan pada waktu berikutnya sampai mereka bertemu jodoh (Siswono, 2000: 13).
Perempuan yang bertempat tinggal di pedesaan seringkali dihadapkan pada suatu pilihan, bekerja dulu baru kawin atau sebaliknya kawin dulu lalu bekerja. Namun pada kenyataannya banyak perempuan yang memilih bekerja atau melanjutkan sekolah bagi yang mampu. Dari sisi penawaran membenarkan bahwa hal ini berakibat banyak perempuan masuk ke pasar kerja dengan cara meninggalkan desa untuk mencari kerja di perkotaan sehingga tanpa disadari akan menunda usia kawin. Sedangkan dari sisi permintaan, semakin meluasnya kesempatan kerja yang dapat menyerap tenaga kerja perempuan merupakan salah satu faktor pendorong perempuan untuk bekerja.
2.8Hakekat Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “sosial studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National Council for the Sosial Studies(NCSS).
(47)
32 Roberta Woolover dan Kathryn P. Scoot (1987) dalam Buku Dasar – Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial merumuskan ada lima perspektif dalam mengajarkan Ilmu Pengetahuan Sosial (Pargito, 2010: 44). Kelima perspektif tersebut tidak berdiri masing-masing, bisa saja ada yang merupakan gabungan dari perspektif yang lain. Kelima perspektif tersebut ialah:
1. Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai pewarisan nilai kewarganegaraan (social studies as citizenship transmission).
Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai program pendidikan pelestarian kebudayaan suatu bangsa sudah ada sejak adanya manusia itu sendiri, model ini berkembang hingga tahun 1960 an. Dalam berbagai literatur program pendidikan citizenship transmission dilakukan dengan memberikan contoh dan cerita yang disusun untuk mengajarkan kebijakan, cita – cita luhur bangsa dan nilai kebudayaan.
2. Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai Pendidikan ilmu-ilmu sosial (social studies as social sciences)
Inilah alasan yag sangat kuat terhadap perlunya pendidikan ilmu pengetahuan sosial sebagai program pendidikan ilmu – ilmu sosial adalah karena mengajarkan ilmu –ilmu sosial secara terpisah – pisah memberatkan siswa sekolah secara kurikuler. Program pembelajaran secara disipliner (terpisah) hanya akan menambah beban siswa sekolah Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas dalam belajar.
3. Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai cara berpikir reflektif (social studies as reflective inquiry).
(48)
33 Pendidikan reflektif bukan sekedar mengajarkan disiplin ilmu pengetahuan dan pemindahan nilai secara akumulatif, tetapi kurikulum sekolah harus berpegang kepadakebutuhan dan minat siswa sekolah. Siswa diarahkan agar menjadi warga Negara yang efektif tidak hanya dengan menghafalkan isi materi pelajaran tetapi mempraktekan pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari – hari.
4. Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai pengembangan pribadi siswa (social studies as personal development of the individual)
Pengembangan pribadi seseorang melalui Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial tidak langsung tampak hasilnya tetapi setidaknya melalui Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial akan membekali kemampuan seseorang dalam pengembangan diri melalui berbagai keterampilan sosial dalam kehidupannya.
5. Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai kritik sosial (social studies as social criticism). Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai media pengembangan kritis siswa agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berfikir kritis dengan berbagai metode pemecahan masalah.
Penelitian mengenai hubungan tingkat pendidikan dan nilai anak terhadap jumlah anak lahir hidup pada pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan yang masih terjadi hingga saat ini dan terulang secara terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya jadi penelitian ini masuk dalam kawasan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai proses pewarisan kepada generasi penerus dalam kehidupan bermasyarakat (social studies as transmission).
(49)
34 2.8 Hasil Penelitian Terdahulu
Tabel 5. Hasil Penelitian Terdahulu
No Nama Judul/
Tahun
Tujuan Metode
penelitian
Hasil /temuan
1 Dewi Windy Chintya
Nilai Anak Pada Ibu Dewasa Madya Etnis Jawa Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan Tahun 2013 1.Untuk mengetahui nilai anak pada Ibu Dewasa Madya Etnis Jawa 2.Untuk mengetahui nilai anak ditinjau dari tingkat pendidikan Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Metode penelitian menggunakan angket tertutup
Hasil penelitian menunjukkan ibu dewasa madya dengan tingkat pendidikan rendah memiliki nilai anak tipe psikologis-ekonomis-sosial, ibu tingkat pendidikan menengah memiliki tipe nilai anak psikologis-sosial dan psikologis-ekonomis-sosial, sedangkan tingkat pendidikan tinggi memiliki tipe nilai anak psikologis-sosial.
2. Reni Safitri studi Tentang Penyebab Banyaknya Anak Yang Dimiliki Setiap Kelarga Miskin Kabupaten Lampung Tengah 2011 1. Untuk mengetahui informasi mengenai usia kawin pertama 2. Untuk mengetahui jumlah anak yang diinginkan Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, pengumpulan data dengan observasi dan kuesioner
Hasil penelitian menunjukkan semakin muda usia kawin
cenderung memiliki anak banyak, semakin lama masa kawin cenderung memiliki anak banyak
(50)
35 2.9Kerangka Pikir
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat sakral dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina keluarga bahagia.Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi. Perkawinan usia muda masih banyak dijumpai di masyarakat suku Sunda. Sampai saat ini, makin sering terdengar fenomena perkawinan usia muda.
Setiap keluarga umumnya mendambakan anak, karena anak adalah harapan atau cita-cita dari sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari keluarga itu sendiri. Dengan demikian keputusan untuk memiliki sejumlah anak adalah sebuah pilihan, yang mana pilihan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai yang dianggap sebagai satu harapan atas setiap keinginan yang dipilih oleh orang tua. Setiap orang (dalam hal ini orang tua), telah memiliki sumber-sumber yang terbatas dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kepuasan dengan memilih antara berbagai barang, termasuk pilihan jumlah anak yang diinginkan. Dasar pemikiran yang utama dari teori transisi demografi adalah bahwa sejalan dengan diadakannya pembangunan sosial ekonomi, maka keinginan mempunyai anak lebih merupakan suatu proses ekonomis daripada proses.
Nilai anak sebagai perasaan cinta kasih, kebutuhan akan keluarga normal dan sebagainya, juga harus dipertimbangkan. Dari semua pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mengambil keputusan tentang jumlah anak atau besar keluarga yang akan dimiliki, seseorang akan dipengaruhi oleh daya guna (utility) yang diberikan oleh anak-anaknya.
(51)
36 Berbagai pendekatan terhadap nilai anak, adalah pendekatan mikro ekonomi dan pendekatan psikologi sosial yang dikembangkan dari kerangka kerja menekankan adanya kebutuhan masing-masing orang yang terpenuhi dengan mempunyai anak, cara lain untuk memenuhi kebutuhan ini, dan interaksi antara nilai emosional, sosial dan ekonomi, serta “beban” karenamempunyai anak.
Banyaknya anak yang dilahirkan diduga erat hubungannya dengan tingkat pendidikan formal pasangan perkawinan usia muda yang rendah, hal ini bisa dilihat dari variabel antara usia kawin dan pemakaian alat kontrasepsi. Usia kawin sangat menarik untuk diteliti dalam kaitannya dengan studi fertilitas, bahwa faktor usia kawin pertama sangat penting sebagai variabel antara, yaitu variabel yang secara langsung mempengaruhi fertilitas.
Teori Kingsley Davis dan Judith Blake pada tahun 1956. Yakni teori struktur sosial dan fertilitas yang kemudian biasa dikenal dengan teori Variabel Antara Davis & Blake. Garis merah dari teori ini adalah bahwa proses reproduksi menyangkut tiga tahapan penting, yaitu :
1. Hubungan kelamin (intercourse),
2. Konsepsi atau pembuahan (conception) dan
3. Kehamilan (gestation). Menurut keduanya hanya melalui faktor tersebut kondisi budaya dapat mempengaruhi fertilitas.
Proses ini kemudian menjadi dasar pemikiran untuk merumuskan variabel penentu yang dapat menghambat dan atau meniadakan kelahiran. Karena pada masa itu, jumlah kelahiran tidak terbendung sehingga populasi melonjak tinggi.
(52)
37 Variabel-variabel itu kemudian menjadi “variabel antara” yang menentukan fertilitas.
Untuk menentukan kejadian memulai berhubungan kelamin, umumnya digunakan pendekatan umur ketika pertama kali menikah. Pada setiap kelompok masyarakat proses bereproduksi atau memiliki keturunan dilegalkan melalui institusi perkawinan walaupun tidak dipungkiri bahwa terdapat hubungan kelamin diluar pernikahan, baik yang menghasilkan kelahiran maupun tidak. Seorang perempuan yang menikah pada usia yang sangat muda, sangat dimungkinkan memiliki beberapa orang anak sebelum mereka menyelesaikan masa subur. Pada kelompok masyarakat yang tidak memiliki program pencegahan kelahiran seperti program keluarga berencana (KB), maka penundaan umur kawin pertama merupakan salah satu cara untuk menghambat kelahiran.
Kebanyakan masyarakat sederhana dan pedesaan, ide kontrasepsi yang menggunakan bahan kimia dan mekanis sudah diketahui dan berusaha menggunakannya. Namun dalam situasi yang mengharuskan membatasi fertilitas cara ini bukanlah yang biasa digunakan semata-mata karena tekhnologi masyarakat yang sedang berkembang tidak dapat menunjang dengan metode yang efektif karena tidak mengetahui fisiologi reproduksi, masyarakat kurang mampu mencari cara apa yang harus mereka pakai.
Usia kawin memegang peranan yang penting dalam penurunan angka fertilitas, alasannya adalah bahwa peningkatan usia kawin wanita berarti memperpendek masa subur.
(53)
38 Jadi dengan variabel antara usia kawin dan pemakaian alat kontrasepsi, tingkat pendidikan pasangan perkawinan usia muda diduga mempunyai hubungan dengan tinggi rendahnya fertilitas yang berpengaruh terhadap jumlah anak yang dilahirkan pasangan perkawinan usia muda setiap keluarga, karena semakin tinggi pendidikan seseorang dengan sendirinya meningkatkan usia kawin sebinggaga memperpendek masa kesuburan dan semakin luas pengetahuan dan pola pikirnya serta diduga semakin besar pula kemungkinan untuk mempertimbangkan program Keluarga Berencana (KB).
Suatu keluarga yang berpandangan nilai anak positif, mempunyai kecenderungan memiliki jumlah anak yang banyak dibandingkan keluarga yang berpandangan nilai anak negatif yang cenderung memiliki jumlah anak yang sedikit. Atas dasar teori-teori tersebut, maka anggapan dasar penulis bahwa tingkat pendidikan dan nilai anak berpengaruh terhadap jumlah anak yang dilahirkan pasangan perkawinan usia muda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut.
Bagan 1. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Nilai Anak Terhadap Jumlah Anak Lahir Hidup Pada Wanita PUS Pasangan Usia Muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan. Tingkat Pendidikan Wanita
PUS Pasangan Perkawinan Usia Muda (X1)
Nilai Anak (X2)
Jumlah Anak yang Dilahirkan Wanita PUS Pasangan Perkawinan
Usia Muda (Y) Variabel Antara
Usia kawin kontrasepsi
(54)
39 2.10 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu dugaan yang mungkin benar atau mungkin juga salah. Hipotesis akan ditolak jika salah atau palsu dan akan diterima jika fakta-fakta membenarkannya (Hadi, 1987: 63). Berdasarkan deskripsi teoritis dan kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian yang diajukan dirumuskan sebagai berikut.
1. Ada hubungan yang erat antara tingkat pendidikan dengan jumlah anak yang dilahirkan Wanita PUS pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
2. Ada hubungan yang erat antara nilai anak dengan jumlah anak yang dilahirkan
Wanita PUS pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
3. Ada hubungan yang erat antara tingkat pendidikan dan nilai anak dengan jumlah anak yang dilahirkan Wanita PUS pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
(55)
III. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode survei. Dalam penelitian survei, informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Umumnya, penelitian survei dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. Hal ini berbeda dari sensus yang informasinya dikumpulkan dari seluruh populasi (Singarimbun, 1995: 3).
Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Sukardi, 2003: 193). Metode survei dapat menjadi bagian dari metode deskriptif, dan digunakan dalam evaluasi dengan mengumpulkan data dari sampel dengan menggunakan instrumen pengumpulan data, yaitu angket dan wawancara sehingga hasil pengolahan data dapat mewakili populasi yang relatif besar jumlahnya.
(56)
41 Penelitian survei informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Umumnya pengertian survei dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. Unit analisa dalam penelitian survei adalah individu, untuk penelitian tertentu unit analisa mungkin pasangan suami istri, pasangan yang sudah bercerai tetapi satu wawancara untuk kuesioner tetap ditujukan kepada satu orang.
Penelitian survei dapat digunakan untuk maksud penjajakan, deskriptif, penjelasan, evaluasi, prediksi atau operasional. Dalam penelitian survei ini menggunakan pendekatan deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu, peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa.
Langkah-langkah penelitian survei adalah:
1. Merumuskan masalah penelitian dan menentukan tujuan survei. 2.Menentukan konsep dan hipotesa serta menggali kepustakaan. Adakalanya hipotesa tidak diperlukan, misalnya pada penelitian operasional.
3. Pengambilan sampel. 4. Pembuatan kuesioner.
5. Pekerjaan lapangan, termasuk memilih dan melatih pewawancara 6. Pengolahan data.
(57)
42 Jadi dapat disimpulkan penelitian survei dalam penelitian ini adalah penelitian yang berupaya memperoleh dan mengumpulkan data asli untuk mendeskripsikan keadaan populasi dengan menggunakan kuesioner yang berkaitan dengan hubungan tingkat pendidikan dan nilai anak dengan anak lahir hidup pada pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda di Desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian atau objek pengamatan atau fenomena yang diteliti (Arikunto, 1998: 99). Variabel adalah himpunan sejumlah gejala yang memiliki beberapa aspek atau unsur di dalamnya yang dapat bersumber dari kondisi objek penelitian, tetapi dapat pula berada di luar dan berpengaruh pada objek penelitian(Nawawi, 1985: 55).
Jadi berdasarkan pendapat diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan variabel dalam penelitian ini adalah objek yang akan diteliti. Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas adalah variabel yang dapat mempengaruhi disebut dengan variabel X, yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan pasangan perkawinan usia muda (X1) (variabel antara usia kawin dan pemakaian alat kontrasepsi) dan nilai anak (X2).
2. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi disebut dengan variabel Y, yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah anak yang dilahirkan pasangan perkawinan usia muda (Y).
(58)
43 3.4 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel merupakan unsur penelitian yang memberitahukan atau memberi petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1995: 46).
Definisi operasional variabel adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan dapat diamati dan diobservasi. Berdasarkan pendapat diatas maka dapat peneliti simpulkan bahwa definisi operasional variabel merupakan suatu petunjuk yang dapat memberitahukan cara mengukur suatu variabel dengan cara memberikan makna untuk memudahkan peneliti. Untuk memberikan arahan dalam penelitian ini akan ditentukan definisi operasional variabel.
Dalam penelitian ini defenisi operasional variabelnya adalah sebagai berikut.
a. Tingkat pendidikan perkawinan usia muda yaitu jenjang pendidikan baik umum
maupun kejuruan yang pernah ditempuh oleh pasangan perkawinan usia muda melalui lama sekolah yang ditempuh yaitu > 6 tahun, 6 tahun, > 9 tahun, 9 tahun, >12 tahun dan 12 tahun. Adapun untuk menghitung hubungan antara tingkat pendidikan dengan jumlah anak yang dilahirkan digunakan lama sekolah yang pernah ditempuh.
Banyaknya anak yang dilahirkan diduga erat hubungannya dengan tingkat pendidikan formal pasangan perkawinan usia muda yang rendah, hal ini bisa dilihat dari variabel antara usia kawin dan pemakaian alat kontrasepsi. Usia kawin sangat menarik untuk diteliti dalam kaitannya dengan studi fertilitas, bahwa faktor
(59)
44 usia kawin pertama sangat penting sebagai variabel antara, yaitu variabel yang secara langsung mempengaruhi fertilitas.
Seorang perempuan yang menikah pada usia yang sangat muda, sangat dimungkinkan memiliki beberapa orang anak sebelum mereka menyelesaikan masa subur. Pada kelompok masyarakat yang tidak memiliki program pencegahan kelahiran seperti program keluarga berencana (KB), maka penundaan umur kawin pertama merupakan salah satu cara untuk menghambat kelahiran.Jadi dengan variabel antara usia kawin dan pemakaian alat kontrasepsi, tingkat pendidikan pasangan perkawinan usia muda diduga mempunyai hubungan dengan tinggi rendahnya fertilitas yang berpengaruh terhadap jumlah anak yang dilahirkan pasangan perkawinan usia muda setiap keluarga, karena semakin tinggi pendidikan seseorang dengan sendirinya meningkatkan usia kawin sebinggaga memperpendek masa kesuburan dan semakin luas pengetahuan dan pola pikirnya serta diduga semakin besar pula kemungkinan untuk mempertimbangkan program Keluarga Berencana (KB).
a. Nilai anak dalam keluarga menurut sikap atau pandangan setiap pasangana perkawinan usi muda berdasarkan aspek sosial, ekonomi dan budaya yang dianut. Nilai anak ada dua macam yaitu nilai anak positif dan nilai anak negatif.
1. Nilai Anak Positif
Nilai anak positif adalah hal-hal yang menguntungkan orang tua karena memiliki anak. Hal-hal yang bernilai positif selanjutnya dijabarkan ke dalam pernyataan yang lebih operasional. Pernyataan yang operasional ini akan
(60)
45 menjadi komponen skala pengukuran. Ada 15 butir pertanyaan yang akan digunakan untuk mengukur nilai anak positif, diukur dari beberapa aspek yaitu.
a. Keuntungan ekonomi
- Anak dapat menjadi sumber tenaga kerja - Banyak anak banyak rezeki
- Anak ada jaminan dimasa tua b. Keuntungan Emosional
- Anak membawa kebahagiaan dan kegembiraan dalam hidup orang tua - Anak menghilangkan rasa kesepian
- Jika memiliki anak laki-laki diusahakan memiliki anak perempuan c. Pengayaan dan pengembangan diri
- Orang tua banyak belajar dari pengalaman pengasuhan anak - Kreatifits akan berkembang dengan mengasuh anak
- Pengalaman mengasuh anak membuat pribadi lebih dewasa d. Identifikasi Pada Anak
- Orang tua bangga apabila dapat memenuhi kebutuhan anak - Orang tua bangga apabila anak sukses
- Anak adalah pewaris kehidupan orang tua e. Kerukunan dan Kelanjutan Kelurarga
- Anak membuat ikatan suami istri lebih kuat - Anak sebagai penerus keturunan
(61)
46 Untuk pengukuran nilai positif orang tua terhadap anak, digunakan skala sikap atau skala likert. Cara mengukur indikator tersebut yaitu menghadapkan responden dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat positif. Setiap butir pertanyaan diberi 5 alternatif jawaban. Kelima altenatif jawaban diberi rentang skor 1- 5, kemudian meminta responden untuk memberi jawaban dengan kriteria sebagai berikut bila jawaban sanagt setuju (SS) diberi skor 5, setuju (S) diberi skor 4, ragu-ragu (RR) diberi skor 3, tidak setuju (TS) diberi skor 2, sangat tidak setuju (STS) diberi skor 1.
1. Nilai Anak Negatif
Nilai anak negatif adalah hal-hal yang merugikan orang tua karena memiliki anak. Ada 15 butir pernyataan yang akan digunakan untuk mengukur nilai anak negatif yang diukur dari beberapa aspek.
a. Beban Ekonomi
- Banyak anak mengurangi rezeki
- Banyak anak keuangan keluarga akan berkurang - Hidup tanpa anak akan menjamin ekonomi keluarga b. Beban Emosional
- Memiliki anak membuat fikiran tidak tenang - Anak adalah sumber kecemasan orang tua - Perilaku anak sering menjengkelkan c. Berkurangnya Keleluasaan Bergerak
- Kehadiran anak membuat orang tua kurang bebas - Tanpa anak keinginan orang tua mudah tercapai - Kehadiran anak sangat merepotkan orang tua
(62)
47 d. Beban Tenaga
- Pekerjaan bertambah dengan memiliki anak - Tanpa anak orang tua akan lebih sehat badannya - Merawat anak menuntut banyak tenaga
e. Beban Keluarga
- Keintiman suami istri terganggu karena kehadiran anak - Tanpa anak perkawinan akan lebih bertahan
- Kehidupan pribadi orang tuabanyak dikorbankan untuk anak
Untuk pengukuran nilai negatif orang tua terhadap anak, digunakan skala sikap atau skala likert. Cara mengukur indikator tersebut yaitu menghadapkan responden dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat positif. Setiap butir pertanyaan diberi 5 alternatif jawaban. Kelima altenatif jawaban diberi rentang skor 1- 5, kemudian meminta responden untuk memberi jawaban dengan kriteria sebagai berikut bila jawaban sanagt setuju (SS) diberi skor 1, setuju (S) diberi skor 2, ragu-ragu (RR) diberi skor 3, tidak setuju (TS) diberi skor 4, sangat tidak setuju (STS) diberi skor 5.
Pada penelitian ini kriteria nilai anak positif pada setiap pernyataan per individu adalah apabila nilai yang diperoleh berkisar antara (3-5) dan nilai anak negatif apabila nilai yang diperoleh berkisar antara (1-2). Kemudian untuk menentukan nilai anak secara keseluruhan yaitu dengan menghitung skor total dari nilai positif dan negatif, sehingga skor terendah yang diperoleh adalah 30 dan skor tertinggi adalah 150. Skor rata-rata diperoleh dengan cara skor terendah (30) ditambah skor tertinggi (150) dibagi dua dan hasilnya 90, sehingga diperoleh nilai rata-rata 90.
(1)
97
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka penelitian mengenai “ Hubungan antara tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup wanita PUS pasangan perkawinan usia muda di desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan Tahun 2014 (Sebagai Kritik Kehidupan Sosial)”, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Ada hubungan negatif antara tingkat pendidikan dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup wanita PUS pasangan perkawinan usia muda di desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan Tahun 2014 (Sebagai Kritik Kehidupan Sosial). Hal ini berarti bahwa wanita PUS yang memiliki tingkat pendidikan dan usia kawin pertama tinggi akan memiliki jumlah anak yang sedikit dan sebaliknya bahwa ada kecenderungan wanita PUS yang memiliki tingkat pendidikan dan usia kawin pertama rendah akan memiliki jumlah anak yang banyak.
(2)
98 2. Ada hubungan negatif antara nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup wanita PUS pasangan perkawinan usia muda di desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan Tahun 2014 (Sebagai Kritik Kehidupan Sosial). Hal ini berarti bahwa wanita PUS yang memiliki nilai anak dan usia kawin pertama tinggi akan memiliki jumlah anak yang sedikit dan sebaliknya bahwa ada kecenderungan wanita PUS yang memiliki nilai anak dan usia kawin pertama rendah akan memiliki jumlah anak yang banyak.
3. Ada hubungan negatif antara tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup wanita PUS pasangan perkawinan usia muda di desa Campanglapan Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan Tahun 2014 (Sebagai Kritik Kehidupan Sosial). Hal ini berarti bahwa wanita PUS yang memiliki tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama tinggi akan memiliki jumlah anak yang sedikit dan sebaliknya bahwa ada kecenderungan wanita PUS yang memiliki tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama rendah akan memiliki jumlah anak yang banyak.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian maka implikasi dari penelitian ini sebagai berikut. 1. Secara teori, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan
sebagai rujukan dalam mengadakan penelitian lain yang berkaitan dengan tingkat pendidikan, nilaai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup wanita PUS pasangan perkawinan usia muda Suku Sunda.
(3)
99 2. Secara praktik, penelitian ini dapat digunakan sebagai suplemen pengajaran mengenai tingkat pendidikan, nilai anak dan usia kawin pertama dengan jumlah anak lahir hidup pasangan perkawinan usia muda dalam perkembangan ilmu geografi.
Penelitian ini berkaitan dengan pendidikan IPS sebagai kritik kehidupan sosial (social studies as social criticism) yaitu bagi wanita PUS pasangan perkawinan usia muda yang berpendidikan rendah hendaknya memperkaya pengetahuan dengan pemberian penyuluhan mengenai pengetahuan tentang pertimbangan untuk memiliki anak dan sosialisasi program keluarga berencana (KB).
Wanita PUS pasangan perkawinan usia muda yang berpandangan nilai anak positif bahwa dengan memiliki anak membawa keberuntungan dalam hidupnya. Anak memang menjadi sumber kebahagiaan keluarg tetapi diharapkan wanita PUS pasangan perkawinan usia muda bisa memenuhi kebutuhan anak yang dimilikinya karena nilai anak berkaitan dengan teori ekonomi tentang fertilitas yaitu mengenai pemenuhan kebutuhan anak.
Wanita PUS pasangan perkawinan usia muda yang melakukan usia kawin pertama pada usia masih sangat muda diharapkan bisa mengikuti program keluarga berencana (KB) untuk menjarangkan jumlah anak ang dimiliki karena diharapkan anak yang dimilikinya berkualitas. Untuk generasi yang akan datang diharapkan para wanita bisa menunda usia kawin pertama dengan melajutkan pendidikan atau bekerja dahulu sebelum melakukan perkawinan.
(4)
100 C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut.
1. Bagi wanita PUS pasangan perkawinan usia muda yang berpendidikan rendah hendaknya menerapkan pola keluarga kecil, dalam rangka pelaksanaan Keluarga Berencana dengan baik
2. Pandangan nilai anak bagi wanita PUS pasangan perkawinan usia muda hendaknya tidak dijadikan tolak ukur untuk memiliki anak
3. Bagi wanita PUS pasangan perkawinan usia muda yang sudah terlanjur memiliki jumlah anak banyak hendaknya cukup puas terhadap jumlah anak yang dimiliki dan bisa memenuhi kebutuhan anak-anak yang dimiliki 4. Bagi wanita PUS pasangan perkawinan usia muda hendaknya memberikan
nasihat kepada anak-anaknya agar meningkatkan tingkat pendidikan dan menunda usia kawin pertama
5. Bagi pemerintah daerah hendaknya memperhatikan pertumbuhan jumlah penduduk di Desa Campanglapan
6. Bagi pemerintah daerah hendaknya memperhatikan peraturan undang-undang perkawinan pada warganya agar tidak terjadi perkawinan usia muda di Desa Campanglapan
7. Bagi pemerintah daerah hendaknya memberikan penyuluhan tentang program keluarga berencana kepada warganya yang melakukan perkawina usia muda
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Edeng. 2008.Pola Perkawinan dan Perceraian di Jawa Barat.Warta Demografi (Wahana Memasyarakatkan Pemikiran Demografi) Tahun ke-38 No. 4. Lembaga Demografi FE UI. Jakarta. Ananta, Aris. 1993.Ciri Demografi Kualitas Penduduk dan Pembangunan
Ekonomi.Bina Aksara. Jakarta.
Ancok, Djamaludin. 1987.Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Yogyakarta.
Arikunto, Suharsimi. 2006.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta: Jakarta.
BKKBN. 1999.Petunjuk Pelaksanaan KB Oleh Bidan Desa. BKKBN Propinsi Lampung.
Depdikbud. 1990.Pola Pengasuhan Anak Secara Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta.Depdikbud. Jakarta.
Fawcett, James. 1984.Psikologi dan Kependudukan. Rajawali. Jakarta.
Hamid, Zahri. 1975.Pokok-Pokok Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Di Indonesia. Sumur Bandung.
Hartono. 2004.Statistik Untuk Penelitian. Lembaga Studi Filsafat,
Kemasyarakatan, Kependidikan dan Perempuan (LSK2P). Pekanbaru. Kartono, Kartini. 2004.Pengantar Metodologi Riserch Sosial. Alumni Bandung. Koentjaraningrat. 2002.Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru. Jakarta. Koestoro, Budi. 2006.Strategi Penelitian Sosial. Yayasan Kampusina. Surabaya. Lucas, David. 1982.Pengantar Kependudukan. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Mantra, Ida Bagus. 2003.Demografi Umum. Nur Cahya. Yogyakarta.
Mantra, Ida Bagus.1995.Penentuan Sampel dalam Masri Singarimbun dan Sofian Efendi (Editor). Metode Survai. Lembaga Penelitian Pendidikan
Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.
(6)
Mustapa, Hasan. 2002.Adat Istiadat Sunda. Bandung. Alumni.
Nawawi, Hadari. 2005.Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada university Press : Yogyakarta.
Nazir, Mohamad. 2005.Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Rusli, Said. 1996.Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3E. Jakarta.
Siswono, Eko. 2000.Pergesaran Budaya Perkawinan di Jawa Barat. Warta Demografi (Wahana Memasyarakatkan Pemikiran Demografi) Tahun ke-30 no. 2. Lembaga Demografi FE UI. Jakarta.
Singarimbun, Masri. 1982.Metode Penelitian Survai. Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.
Sukardi. 2003.Metodologi Penelitian Survei. Bumi Aksara. Yogyakarta. Sudjana. 2002.Metode Statistik. Tarsito. Bandung.
Sukamdi. 1995. Populasi (Buletin Penelitian Kebijakan Kependudukan). Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974.Tentang Perkawinan. Penerbit Pustaka Tinta Mas. Surabaya.
Usman, Husaini. 2008.Metodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta. Wirosuhardjo, Kartomo. 2000. Kebijaksanaan Kependudukan dan
Ketenagakerjaan.FEUI. Jakarta.
Wiyasa, Thomas. 2002.Upacara Perkawinan Adat Sunda. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.