OPTIMALISASI PEMANFAATAN LIMBAH AGROINDUSTRI MELALUI SUPLEMENTASI MINERAL Ca dan Mg ORGANIK TERHADAP KCBK DAN KCBO RANSUM KAMBING

(1)

ABSTRAK

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LIMBAH AGROINDUSTRI MELALUI SUPLEMENTASI MINERAL Ca dan Mg ORGANIK TERHADAP KCBK

DAN KCBO RANSUM KAMBING

Oleh Vera Septiani

Penelitian ini bertujuan: 1) mengetahui pengaruh penggunaan suplementasi mineral organik Ca dan Mg organik dalam ransum terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) pada kambing;

2) menentukan pengaruh terbaik dari penggunaan suplementasi mineral organik Ca dan Mg organik dalam ransum terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) pada kambing.

Penelitian dilaksanakan pada September sampai Oktober 2012, bertempat di Kandang Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Analisis bahan pakan dan feses dilaksanakan di Laboratorium Makanan Ternak, Jurusan Peternakan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Bobot tubuh sebagai ulangan dan perlakuan yang digunakan adalah R0 = Ransum Basal, R1 = Ransum Basal + Mineral Organik (Ca 0,50 %, Mg 0,04%), R2 = Ransum Basal + Mineral Organik (Ca 1,00%, Mg 0,08%). Data yang diperoleh di uji statistik untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati dengan analisis ragam. Kemudian dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5% dan atau 1%

Hasil penelitian menunjukkan bahwa; suplementasi mineral Ca dan Mg organik tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO).


(2)

ABSTRACT

THE OPTIMALIZATION OF THE USAGE OF AGROINDUSTRY WASTE BY THE SUPPLEMENT OF Ca AND Mg ORGANIC MINERAL TO THE DIGESTIBILITY OF DRY MATTER AND THE DIGESTIBILITY OF

ORGANIC MATTER OF GOATS RATION

By Vera Septiani

This research aimed to: 1) know the effect of the usage of the supplement of Ca and Mg organic in ration to the digestibility of dry matter and organic matter on goats; 2) know the best effect of the usage of the supplement of Ca and Mg organic in ration to the digestibility of dry matter and organic matter on goats. This research was held in September until October 2012, located in the pen of Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture, University of

Lampung. The analysis of feedstuff and feces wes held in Laboratory of Animal’s

Feedstuff, Department of Animal Husbandry. This research used Randomized Block Design with three treatments and three replications. The body weights are as the replications. The treatments used are R0 = Bassal Ration, R1 = Bassal Ration + Organic Mineral (0,50% Ca, 0,04% Mg), R2 = Bassal Ration + Organic Mineral (1,00% Ca, 0,08% Mg). The data obtained was statistic tested to know the treatments effect to the variables observed by Variance Analysis. Then, it was continued by Least Significant Different (LSD) on significant level 5% and or 1%. The result of the research showes that; the supplement of Ca and Mg organic mineral is non significant (P>0,05) to the digestibility of dry matter and organic matter.


(3)

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LIMBAH AGROINDUSTRI MELALUI SUPLEMENTASI MINERAL Ca dan Mg ORGANIK TERHADAP

KCBK DAN KCBO RANSUM KAMBING

Oleh : Vera Septiani

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Peternakan

pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

MENSAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S.

Sekretaris : Ir. Yusuf Widodo, M.P

Penguji

Bukan Pembimbing : Ir. Liman, M. Si.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 19610826 198702 1 001


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada 16 September 1991 di Tanjung Karang, Bandar Lampung dan merupakan anak ke-lima dari lima bersaudara buah kasih pasangan Bapak Hi. Taufiq Mba dan Ibu Ernialis.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Durian Payung pada 2003, pada 2006 menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 4 Bandar Lampung, selanjutnya menyelesaikan pendidikan tingkat atas di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bandar Lampung pada 2009. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur PKAB (Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat).

Penulis melaksanakan Praktik Umum di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Bandung Jawa Barat pada Januari—Februari 2012. Dan pernah menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik II di Desa Karya Maju Kecamatan Rebangtangkas Kabupaten Way Kanan selama bulan Juli-Agustus 2012. Selama masa studi penulis aktif di kepengurusan Himpunan Mahasiswa Peternakan (HIMAPET). Penulis pernah menjadi anggota Bidang II tentang Penelitian dan Pengembangan Himpunan Mahasiswa Peternakan (HIMAPET). Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Ternak, Dasar Fisiologi Ternak, Biokimia, Ilmu Tanaman Pakan dan Padang Pengembalaan.


(6)

(7)

Sahabat itu seperti bintang kadang terlihat kadang tidak, tetapi dia

selalu ada untuk kita.

Setiap ada awal pasti ada akhir, setiap masalah pasti ada solusi. Jangan

menyerah, percaya diri, dan bahagia menanti.

Hidup bukanlah peduli dipermulaan saja, tetapi seberapa besar

kepedulian kita sampai akhir.

Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.

Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan

penuh rasa terima kasih. Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.

Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa

memerlukan kedamaian.

Tak berhasil bukan karena gagal tetapi hanya menunggu waktu yang

tepat untuk mencoba lagi menjadi suatu keberhasilan. Hanya orang

gagal yang merasa dirinya berhasil dan tak mau belajar dari kegagalan


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Kegunaan Penelitian... 2

D. Kerangka Pemikiran ... 3

E. Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Agroindustri ... 6

B. Silase Daun Singkong ... 7

C. Kulit Kopi ... 9

D. Dedak Padi ... 11

E. Onggok ... 13

F. Mineral ... 14

G. Mineral Organik ... 15

H. Kalsium (Ca) ... 17


(9)

J. Minyak Goreng ... 20

K. Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia ... 21

L. Pakan Ternak Kambing ... 23

III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 26

1. Alat penelitian ... 26

2. Bahan penelitian ... 27

C. Rancangan Penelitian ... 27

D. Analisis Data ... 27

E. Pelaksanaan Penelitian ... 28

1. Persiapan mineral organik Ca ... 28

2. Persiapan mineral organik Mg ... 29

F. Peubah yang Diamati ... 29

1. Kecernaan bahan kering (KCBK) ... 29

2. Kecernaan bahan organik (KCBO) ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kecernaan Bahan Kering (KCBK)... 31

B. Kecernaan Bahan Organik (KCBO)... 34

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 39

B. Saran ... 39


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Komposisi gizi kulit kopi ... 10

2. Komposisi gizi onggok ... 14

3. Kebutuhan ternak kambing akan zat-zat makanan yang dibutuhkan ... 24

4. Pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan bahan kering ... 31

5. Pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan bahan organik ... 35

6. Tata letak percobaan ... 45

7. Rata-rata konsumsi bahan kering ransum perlakuan ... 45

8. Konsumsi bahan kering konsentrat dan silase perlakuan ... 45

9. Pertambahan bobot tubuh (PBT) ... 46

10. Kecernaan bahan kering (KCBK) ... 46

11. Uji analisis ragam kecernaan bahan kering (KCBK) ... 46

12. Kecernaan bahan organik (KCBO) ... 46

13.Uji analisis ragam kecernaan bahan organik (KCBO) ... 47

14. Formulasi ransum R0 ... 47

15. Formulasi ransum R1 Ransum Basal + 0,5% Ca dan 0,04% Mg ... 47

16. Formulasi ransum R2 Ransum Basal + 1% Ca dan 0,08% Mg ... 48


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Timbangan analitik... 49

2. Pembuatan mineral organik... 49

3. Mineral Ca organik ... 50

4. Mineral Mg organik ... 50

5. Pemberian pakan masa prelium ... 51

6. Pengeringan feses ... 51

7. Pengeringan feses ... 52

8. Persiapan analisis kecernaan bahan kering (KCBK) ... 52


(12)

1

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Penelitian pemanfaatan limbah agroindustri yang ada di Lampung sudah banyak dilakukan sejak tahun 1995, meliputi pengolahan dan tingkat penggunaan dalam ransum ruminansia (kambing dan sapi), namun diperlukan sentuhan teknologi untuk optimalisasi pemanfaatan limbah argoindustri tersebut. Limbah tersebut antara lain daun singkong, kulit kopi, dan onggok.

Suplementasi mineral dan asam amino pembatas merupakan teknologi yang dapat dimanfaatkan. Mineral yang dipadukan dengan minyak dalam ransum berserat tinggi mampu meningkatkan efisiensi dan mengendalikan populasi protozoa. Penggunaan minyak jagung dalam ransum menghasilkan gas CH4 20,8% dan

efisiensi penggunaan energi 81%. Penggunaan minyak jagung relatif lebih banyak memberi keuntungan dibandingkan kerugian.

Perpaduan penelitian penggunaan mineral organik dan limbah agroindustri sangat perlu dilakukan untuk mendapatkan optimalisasi pemanfaatan limbah agroindustri pada ternak ruminansia. Bioproses dalam rumen dan pascarumen juga harus didukung kecukupan mineral makro dan mikro.


(13)

2

Mineral-mineral ini berperan dalam optimalisasi bioproses dalam rumen dan metabolisme zat-zat makanan. Mineral mikro dan makro di dalam alat

pencernaan ternak dapat saling berinteraksi positif atau negatif dan faktor lainnya seperti asam fitat, serat kasar, dan zat-zat lainnya dapat menurunkan ketersediaan mineral. Pemberian mineral dalam bentuk organik dapat meningkatkan

ketersediaan sehingga dapat lebih tinggi diserap dalam tubuh ternak.

B.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk :

1) mengetahui pengaruh penggunaan suplementasi mineral organik Ca dan Mg organik dalam ransum terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) pada kambing;

2) menentukan pengaruh terbaik dari penggunaan suplementasi mineral organik Ca dan Mg organik dalam ransum terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) pada kambing.

C.Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada peternak mengenai pengaruh penambahan mineral makro organik Ca dan Mg di dalam ransum terhadap jumlah zat-zat makanan yang dapat tercerna pada kambing untuk meningkatkan penyerapan mineral dan metabolisme zat-zat makanan serta pertumbuhan kambing.


(14)

3

D.Kerangka Pemikiran

Penelitian pemanfaatan limbah agroindustri telah banyak dilakukan antara lain pemanfatan limbah tebu, limbah singkong, limbah sawit, dan limbah lainnya. Optimalisasi pemanfaatan limbah agroindustri harus dipadukan sentuhan teknologi suplementasi mineral organik. Zain (2000) menyatakan bahwa pakan yang berasal dari limbah pertanian sebagian mengalami defisien mineral penting untuk pertumbuhan mikroba sehingga berpengaruh terhadap enzim yang

dihasilkan mikroba dan menyebabkan rendahnya daya cerna. Selain itu menurut Komisarczuk dan Durand (1991), penggunaan limbah industri dalam pakan ternak ruminansia dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi mineral sehingga berpengaruh terhadap kecernaan komponen zat makanan. Defisiensi mineral sering sekali dialami oleh ternak ruminansia. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan penyerapan yang besar diantara mineral-mineral.

Limbah tanaman singkong sangat potensial sebagai pakan ternak alternatif, karena ketersediaannya banyak dan juga sebagian tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu kendala yang dihadapi limbah singkong adalah nilai gizi yang rendah, seperti protein rendah dan serat kasar yang tinggi. Hal ini berdampak pada kecernaanya menjadi rendah, yang pada akhirnya dapat

mengganggu penampilan ternak. Limbah singkong yang memiliki potensi besar sebagai pakan ternak adalah daun singkong. Sebagian besar limbah agroindustri memiliki kualitas yang rendah. Untuk mengatasinya perlu adanya sentuhan teknologi.


(15)

4

Mineral kalsium (Ca) adalah salah satu mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh ternak. Mineral Ca sangat penting sebagai komponen struktural (tulang dan gigi) dan non struktural (metabolisme dan jaringan lemak). Penyerapan Ca dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk mineral ini, juga oleh interaksinya dengan mineral lainnya. Laktosa mendorong penyerapan mineral Ca karena

meningkatkan permeabelitas ion kalsium. Konsumsi yang tinggi mineral Al dan Mg dapat menggangu penyerapan Ca. Asam oksalat dan fitat menurunkan penyerapan Ca. Asam lemak menstimulir membentuk sabun yang tidak larut, akan tetapi sejumlah lemak dalam jumlah tertentu mendorong penyerapan kalsium (Maynard et al., 1982). Pembuatan sabun kalsium dengan asam lemak diharapkan dapat mengurangi interaksi negatif dengan mineral lain dan dapat meningkatkan penyerapan pascarumen.

Mineral makro lainnya yang sangat penting adalah magnesium (Mg). Mineral ini sangat penting sebagai komponen struktural (tulang dan gigi), juga sebagai komponen enzim yang terlibat dalam transfer fosfat dari bentuk ATP ke bentuk ADP. Mineral K, pH rumen, asam fitat dan lemak berpengaruh terhadap penggunaan Mg. Suplementasi Mg dalam bentuk mineral organik dapat meningkatkan penyerapan Mg (Maynard et al., 1982).

Penambahan lemak dalam ransum ruminansia menurunkan kecernaan serat akibat terhambatnya metabolisme mikroba rumen oleh asam lemak rantai panjang (Jenkins & Palmquist, 1984). Asam linoleat yang banyak terdapat dalam minyak jagung terindikasi sebagai racun bagi protozoa (Doreau et al., 1997). Penambahan


(16)

5

mineral khususnya Ca pada ransum yang disuplementasi lemak meningkatkan kecernaan ransum. Penggunaan sabun kalsium yang tidak larut mampu

menghilangkan efek asam lemak pada bakteri, sehingga meningkatkan kecernaan serat (Fernandez, 1999). Bentuk lemak yang diproteksi dari degradasi dalam rumen dapat langsung ke pascarumen.

Bioproses dalam rumen dan pascarumen juga harus didukung kecukupan mineral makro dan mikro. Mineral-mineral ini berperan dalam optimalisasi bioproses dalam rumen dan metabolisme zat-zat makanan. Mineral mikro dan makro di dalam alat pencernaan ternak dapat saling berinteraksi positif atau negatif dan faktor lainnya seperti asam fitat, serat kasar, dan zat-zat lainnya dapat

menurunkan ketersediaan mineral. Pemberian mineral dalam bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaan sehingga dapat lebih tinggi diserap dalam tubuh ternak (Muhtarudin, 2003 dan Muhtarudin et al., 2003).

E.Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1) terdapat pengaruh penggunaan suplementasi mineral organik Ca dan Mg organik dalam ransum terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) pada kambing;

2) terdapat pengaruh terbaik dari penggunaan suplementasi mineral organik Ca dan Mg organik dalam ransum terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) pada kambing.


(17)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Limbah Agroindustri

Agroindustri merupakan bagian dari kompleks industri pertanian sejak produksi bahan pertanian primer, industri pengolahan atau transformasi sampai

penggunaannya oleh konsumen. Limbah agroindustri adalah limbah organik yang tidak tercampur dengan limbah-limbah anorganik (plastik, logam, dll) dan

jumlahnya sangat besar. Semakin besar agroindustri itu, semakin besar pula limbahnya. Jenis, ragam dan jumlah limbah yang dihasilkan dari sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan sangat bervariasi.

Limbah agroindustri terdiri dari cairan dan padatan (sludge). Sludge dari limbah agroindustri mempunyai tekstur yang halus dan mengandung kadar air yang cukup tinggi, yaitu sekitar 50 – 60% serta baunya menyengat. Berdasarkan sumbernya, limbah agroindustri mempunyai komposisi kimia yang bervariasi. Komposisi tergantung pada bahan baku yang digunakan oleh masing-masing industri dan proses yang dialaminya. Secara kimia limbah-limbah mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro ataupun unsur logam berat. Limbah agroindustri yang dapat digunakan adalah daun singkong, dedak, kulit kopi, onggok.


(18)

7

B. Silase Daun Singkong

Sumber hijauan pakan ternak yang paling utama pada saat musim kemarau adalah daun ketela pohon (ubi kayu) yang tersedia melimpah pada saat musim panen. Daun ubi kayu diketahui sangat disukai ternak dan berkualitas tinggi terutama sebagai sumber protein yang merupakan zat makanan yang potensi rendah di daerah tersebut. Tanaman ubi kayu mampu menghasilkan daun sedikitnya 7 sampai 15 ton per ha (Bakrie, 2001). Daun Ubi kayu mengandung protein antara 20 sampai 27 % dari bahan kering, sehingga dapat digunakan sebagai pakan suplemen sumber protein terhadap hijauan lain rumput lapangan, daun tebu dan jerami padi yang berkadar protein rendah. Nilai tersebut hampir setara dengan kandungan protein pada beberapa tanaman jenis leguminosa yang umum digunakan sebagai pakan ternak, misalnya lamtoro (24,2 %), glirisidia (24,3 %), turi (27,1 %) dan kaliandra (30,5 %) (Marjuki, 1993). Kandungan protein yang tinggi tersebut maka daun ubi kayu sangat potensial sebagai pakan sumber protein untuk ternak dan sangat cocok bagi petani karena ketersediaannya yang cukup banyak di sekitar area penanaman ubi kayu, terutama pada saat panen.

Daun ubi kayu tersedia secara melimpah hanya pada saat musim panen. Pada saat tersebut daun ubi kayu tersedia dalam jumlah sangat banyak, namun hanya

sebagian kecil yang bisa termanfaatkan sebagai pakan ternak dan banyak yang ditinggalkan membusuk di lahan. Satu kendala penggunaan daun ubi kayu sebagai pakan ternak adalah karena kandungan HCN yang cukup tinggi hingga mencapai 289 mg per kg BK daun ubi kayu (Kavana et al., 2005). Konsumsi HCN yang terlalu tinggi dapat menyebabkan keracunan pada ternak. Gomez (1991)


(19)

8

menyatakan bahwa batas maksimal kandungan HCN yang aman bagi ternak adalah 100 mg per kg BK pakan. Di samping itu karena kandungan proteinnya yang tinggi, pemberian daun ubi kayu pada ternak dalam jumlah banyak atau sebagai pakan utama juga merupakan pemborosan protein yang nilainya sangat mahal. Sementara itu daun ubi kayu mudah sekali busuk jika ditumpuk dalam kondisi basah (segar), dan jika dikeringkan daun menjadi remah dan mudah hancur sehingga banyak biomasa daun yang hilang terutama pada saat penjemuran, pengangkutan dan penyimpanan.

Pada tahun 2006 telah diperkenalkan teknologi pengawetan daun ubi kayu dalam bentuk silase. Silase merupakan metode pengawetan hijauan pakan ternak dalam bentuk segar melalui proses fermentasi dalam kondisi anaerob. Dengan metode tersebut maka daun ubi kayu yang tersedia melimpah pada saat panen dapat diawetkan dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan suplemen sumber protein dalam jumlah secukupnya dan dalam jangka waktu yang lama. Penyimpanan daun ubi kayu dalam bentuk silase terbukti dapat mempertahankan kondisi, kualitas dan palatabilitasnya dalam waktu yang cukup lama dan menurunkan kadar HCN sebesar 60 sampai 70 %, sehingga lebih aman diberikan pada ternak (Ly and Rodríguez 2001; Ly et al., 2005; Kavana et al., 2005). Pembuatan silase daun ubi kayu sebagai pakan ternak telah banyak dipraktekkan oleh peternak di Afrika (Wanapat, 2001) dan di Asia antara lain Malaysia, Thailand, China, Komboja, Laos, Vietnam, India dan Bangladesh.


(20)

9

Pemanfaatan daun ubi kayu di Indonesia sebagai silase untuk pakan ternak belum banyak dilaporkan. Untuk itu dilakukan penelitian bertujuan untuk mempelajari teknik pengolahan silase daun ubi kayu (Manihot sp) untuk bahan pakan ternak dan mempelajari pemanfaatan pakan yang dibuat dari silase daun ubi kayu (Manihot sp) untuk pakan ternak.

C. Kulit Kopi

Menurut data statistik (BPS, 2003), produksi biji kopi di Indonesia mencapai 611.100 ton dan menghasilkan kulit kopi sebesar 1.000.000 ton. Jika tidak dimanfaatkan akan menimbulkan pencemaraan yang serius. Dalam pengelolaan kopi akan dihasilkan 45% kulit kopi, 10% lendir, 5% kulit ari dan 40% biji kopi. Harga kulit kopi sangat murah, terutama pada saat musim panen raya (Juli-Agustus). Pemanfaatan kulit kopi sebagai pakan ternak digunakan sebagai pupuk organik pada perkebunan kopi, coklat atau pertanian lainnya. Pada usaha pembibitan sapi potong lokal, kulit kopi dapat menggantikan konsentrat

komersial hingga 20%.

Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar dalam ransum. Bahan pakan konvensional yang sering digunakan dalam penyusunan ransum sebagian besar berasal dari limbah dan pencarian bahan pakan yang belum lazim digunakan. Setelah kopi dipanen, kulitnya dikupas. Kemudian, bijinya dijemur. Biasanya, kulit kopi kecoklatan yang dipisahkan dari biji-biji kopi tersebut akan dibuang begitu saja. Atau, paling


(21)

10

tidak kulit kopi yang dipisahkan dari biji itu tadi dikumpulkan. Lalu, dibiarkan hingga busuk. Selanjutnya, ditaruh di sekeliling pohon kopi. Maksudnya, sebagai pengganti pupuk yang bertujuan untuk menyuburkan tanaman. Umumnya, hal seperti itulah yang sering dilakukan petani kopi.

Kandungan zat makanan kulit buah kopi dipengaruhi oleh metode pengolahannya apakah secara basah atau kering seperti terlihat pada tabel. Kandungan zat makanan kulit buah kopi berdasarkan metode pengolahan. Pada metode

pengolahan basah, buah kopi ditempatkan pada tanki mesin pengupas lalu disiram dengan air, mesin pengupas bekerja memisahkan biji dari kulit buah. Sedangkan pengolahan kering lebih sederhana, biasanya buah kopi dibiarkan masak pada batangnya sebelum dipanen. Selanjutnya langsung dipisahkan biji dan kulit buah kopi dengan menggunakan mesin.

Tabel 1. Kandungan zat makanan kulit buah kopi berdasarkan metode pengolahan Metode

Pengolahan BK (%)

% Bahan kering

PK SK Abu LK BETN

Basah 23 12,8 24,1 9,5 2,8 50,8

Kering 90 9,7 32,6 7,3 1,8 48,6

Sumber : Murni dkk., (2008)

Jenis mikroorganisme yang dapat berkembang biak pada kulit buah (exocarp) terutama jamur (Fusarium sp, Colletotrichum coffeanum) pada permukaan buah kopi yang terlalu kering (Aspergilus niger, Penicillium sp, Rhizopus, sp) beberapa jenis ragi dan bakteri juga dapat berkembang. Lamanya proses pengeringan buah kopi basah tergantung pada cuaca, ukuran buah kopi, tingkat kematangan dan kadar air dalam buah kopi, biasanya proses pengeringan memakan waktu sekitar 3


(22)

11

sampai 4 minggu. Setelah proses pengeringan kadar air akan menjadi sekitar 12%.

D. Dedak Padi

Dedak padi merupakan hasil ikutan penggilingan padi yang berasal dari lapisan luar beras pecah kulit dalam proses penyosohan beras. Proses pengolahan gabah menjadi beras akan menghasilkan dedak padi kira-kira sebanyak 10%, pecahan-pecahan beras atau menir sebanyak 17%, tepung beras 3%, sekam 20% dan berasnya sendiri 50%. Persentase tersebut sangat bervariasi tergantung pada varietas dan umur padi, derajat penggilingan serta penyosohannya (Grist, 1972).

Menurut National Research Council (1994) dedak padi mengandung energi metabolis sebesar 2980 kkal/kg, protein kasar 12.9%, lemak 13%, serat kasar 11,4%, Ca 0,07%, P tersedia 0,22%, Mg 0,95% serta kadar air 9%. Dedak padi merupakan hasil sampingan proses penggilingan padi. Pemanfaatan dedak di Indonesia saat ini hanya terbatas pada pakan ternak. Hal ini sangat disayangkan, mengingat dedak padi dapat dimanfaatkan secara lebih maksimal. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonomisnya adalah dengan mengekstrak minyak dedak (DSN, 2001).

Dedak merupakan limbah dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang

mengandung “bagian luar” beras yang tidak terbawa, tetapi tercampur pula dengan bagian penutup beras itu. Hal inilah yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya kandungan serat kasar dedak (Rasyaf, 1990). Karena kandungan


(23)

12

minyak yang tinggi, 6-10% dedak padi mudah mengalami ketengikan oksidatif. Dedak padi mentah yang dibiarkan pada suhu kamar selama 10-12 minggu dapat dipastikan 75-80% lemaknya berupa asam lemak bebas, yang sangat mudah tengik (Amrullah, 2002).

Dedak padi cukup disenangi ternak tetapi pemakaian dedak padi dalam ransum ternak umumnya hanya sampai 15% dari campuran konsentrat karena dedak padi memiliki zat antinutrisi inhibitor tripsin dan asam fitat (Amrullah, 2002).

Inhibitor tripsin dapat menghambat katabolisme protein, karena beberapa proteosa dan pepton dihancurkan oleh tripsin menjadi peptida sehingga apabila terganggu maka ketersediaan asam amino menurun (NRC, 1994).

Penggunaan dedak padi dalam jumlah besar pada ransum tidak memungkinkan dan perlu dibatasi. Jumlah dedak padi yang dapat digunakan dalam ransum unggas terbatas yaitu sebesar 10-20%. Salah satu pertimbangan pembatasan jumlah penggunaan dedak padi adalah asam fitat. Pada butir padi-padian yang sudah tua, P-fitat berjumlah sekitar 60 sampai 80 persen dari P total (Oberleas, 1973).

Pemanfaatan dedak sebagai bahan pakan ternak sudah umum dilakukan. Nutrisi dedak padi sangat bervariasi bergantung pada jenis padi dan jenis mesin penggiling. Pemalsuan dedak padi sering terjadi, dan akhir-akhir ini mutunya semakin menurun seiring dengan berkembangnya teknologi mesin penghalus (hummer mill). Pada saat panen raya (April-Mei) harganya sangat murah.


(24)

13

Pada saat harga mahal pemalsuan dedak padi cukup tinggi yaitu dengan melakukan pengurangan kandungan beras-menir dalam dedak, pemisahan sparator, dan penambahan tepung batu kapur, limbah rumput laut, tanah putih, tepung jerami padi, dll. Pada usaha pembibitan sapi potong lokal, dedak padi dapat menggantikan konsentrat komersial hingga 100%, terutama dedak padi kualitas sedang sampai baik yang biasa disebut dengan pecah kulit (PK) 2 atau sparator.

E. Onggok

Onggok merupakan limbah padat agro industri pembuatan tepung tapioka yang dapat dijadikan sebagai media fermentasi dan sekaligus sebagai pakan ternak. Onggok dapat dijadikan sebagai sumber karbon dalam suatu media karena masih banyak mengandung pati (75 %) yang tidak terekstrak, tetapi kandungan protein kasarnya rendah yaitu, 1.04 %berdasarkan bahan kering. Sehingga diperlukan tambahan bahan lain sebagai sumber nitrogen yang sangat diperlukan unmtuk pertumbuhan pakan (Nuraini et al.2007). Media fermentasi dengan kandungan nutrient yang seimbang diperlukakan untuk menunjang kapang lebih maksimal

dalam memproduksi β karoten sehingga dihasilkan suatu produk fermentasi yang kaya β karoten.

Penggunaan onggok untuk bahan baku penyusunan pakan ternak masih sangat terbatas, terutama untuk hewan monogastrik. Hal ini disebabkan kandungan proteinnya yang rendah disertai dengan kandungan serat kasarnya yang tinggi (lebih dari 35%).


(25)

14

Dengan proses bioteknologi dengan teknik fermentasi dapat meningkatkan mutu gizi dari bahan-bahan yang bermutu rendah. Misalnya, produk fermentasi dari ubikayu (Cassapro/ Cassava protein tinggi), memiliki kandungan protein 18-24%, lebih tinggi dari bahan asalnya ubikayu, yang hanya mencapai 3%.

Tabel 2. Komposisi gizi onggok

Gizi Tanpa ferementasi (%BK) Fermentasi (% BK)

Protein kasar 2,2 18,6

Karbohidrat 51,8 36,2

Abu 2,4 2,6

Serat Kasar 10,8 10,46

Sumber : Supriyati, dkk., 2003

F. Mineral

Mineral merupakan zat yang penting dalam kelangsungan hidup makhluk hidup. mineral dibutuhkan oleh ternak baik untuk memelihara kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi. Berdasarkan kegunaannya dalam aktifitas hidup, mineral dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang essensial dan golongan yang tidak essensial. Berdasarkan jumlahnya, mineral dapat pula dibagi atas mineral makro, dan mineral mikro (Georgievskii et al.. 1982).

Georgievskii et al. (1982) juga mengklasifikasikan mineral menjadi tiga golongan berdasarkan distribusi mineral pada jaringan dan organ tubuh. Golongan tersebut adalah (1) mineral yang didistribusikan pada jaringan tulang (osteotropic). Contoh mineral yang termasuk kedalam golongan ini yakni : kalsium, fosfor, magnesium, strontium, beryllium, flourine, vanalium, barium, titanium, radium. (2) Mineral yang didistribusikan kedalam sistem


(26)

15

reticuloendothelial. Contoh mineral pada golongan ini yakni: ferrum, copper, mangan silver, crhom, nikel, cobalt, dan beberapa lantannida. (3) Mineral yang didistribusikan pada jaringan yang tidak spesifik. Umumnya mineral tersebut terdistribusi lebih pada suatu jaringan tertentu. Contoh mineral tersebut adalah natrium, kalium, sulfur, chlorine, lithium, rubidium dan caesium.

Secara umum mineral-mineral essensial berfungsi sebagai pembangun tulang dan gigi. Mineral bersama-sama protein dan lemak membentuk otot, organ tubuh, sel darah, dan jaringan lunak lainnya. Disamping itu mineral juga berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa, mempertahankan kontraksi urat daging dan memainkan peranan penting untuk berfungsinya urat syaraf secara normal. Sebagian mineral essensial juga berfungsi mempertahankan tekanan osmotik, bagian dari hormon atau sebagai aktifator dari enzim, mengatur

metabolisme, transport zat makanan ke dalam tubuh, permeabilitas membran sel dan memelihara kondisi ionik dalam tubuh.

G. Mineral Organik

Mineral organik dapat dikelompokkan kedalam suatu bentuk yang disebut

“mineral protein”. Mineral protein dapat didefinisikan sebagai mineral yang telah mengalami proses kimia menjadi asam amino. Menurut Vandergrift (1992) bahwa gabungan antara mineral dengan protein dapat mengurangi kemampuan mineral tersebut berinteraksi dengan mineral atau bahan organik lain yang menyebabkan berkurangnya peluang untuk diabsorbsi sehingga mineral organik ini diserap kedalam tubuh secara utuh.


(27)

16

Mineral organik dapat langsung diserap karena terikat dengan asam-asam amino maupun senyawa organik lainnya. Penggunaan mineral organik selain dapat meningkatkan efisiensi pakan dengan ketersediaan mineral yang lebih baik, dapat pula meningkatkan kekebalan, mengatasi stress, dan meningkatkan reproduksi ternak (Vandergrift, 1992).

Bioproses dalam rumen dan pasca rumen harus didukung oleh kecukupan mineral makro dan mikro. Mineral berperan dalam optimalisasi bioproses dalam rumen dan metabolisme zat–zat makanan. Pemberian mineral dalam bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaan mineral sehingga dapat lebih tinggi diserap dalam tubuh ternak (Muhtarudin, 2003; Muhtarudin et al., 2003). Mineral organik memiliki keunggulan–keunggulan daripada mineral anorganik, antara lain lebih mudah larut karena mengikuti kelarutan senyawa organik yang mengikatnya, lebih mudah diserap dan mencegah antagonisme dengan mineral Ca dan Mg (McDowell, 1992). Mineral organik yang telah ada dibuat dengan bantuan fungi atau dengan bantuan media pengikatan seperti sumber protein.

Menurut Toharmat (2010), mineral organik memiliki beberapa fungsi seperti mengurangi antagonisme interferensi dan kompetisi antar mineral meningkatkan

bioavailability, mengurangi pengaruh negatif anti nutrisi dan mengurangi

pencemaran. Penelitian Arimbi (2004)memperlihatkan bahwa pemberian ransum suplemen mineral organik mampu meningkatkan konsumsi ransum, produksi susu, berat jenis susu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar laktosa susu. Anam


(28)

17

(2004) juga menyatakan bahwa pemberian ransum suplemen mineral organik dapat meningkatkan konsumsi BK, PK, produksi susu, dan kualitas susu.

H. Kalsium (Ca)

Kalsium merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan tubuh ternak. Mineral ini dibutuhkan untuk proses pembentukan dan perawatan jaringan rangka tubuh serta beberapa kegiatan penting dalam tubuh. Ca diperlukan untuk mengaktifkan enzim tertentu misalnya lipase dari kelenjar pankreas plasma lipoprotein, fosfolipase A dan fosfolipase kinase. Untuk melepaskan beberapa neuro transmiter tertentu, misalnya asetil kolin, serotonine dan non epinephrine diperlukan Ca (Tillman, et al., 1998). Kalsium (Ca) dan Pospor (P) adalah esensial terutama untuk membangun/membentuk tulang dan gigi yang normal pada ternak yang masih muda dan untuk memelihara sistem pertulangan tersebut secara sehat pada ternak yang sudah dewasa. Mineral Ca dan P terdapat dalam tubuh dengan perbandingan 2 : 1. Bila penggunaan Ca lebih banyak daripada P maka kelebihan kalsium dalam tubuh tidak akan diserap tubuh. Sebaliknya kelebihan fospor akan mengurangi penyerapan kalsium dan fospor.

Penambahan mineral khususnya Ca pada ransum yang disuplementasi lemak meningkatkan kecernaan ransum. Penggunaan sabun kalsium (CaSO4) yang tidak

larut mampu menghilangkan efek asam lemak pada bakteri, sehingga

meningkatkan kecernaan serat (Fernandez, 1999). Bentuk lemak yang diproteksi dari degradasi dalam rumen dapat langsung ke pascarumen. Lemak dalam bentuk sabun kalsium memperbaiki produktivitas ternak, mungkin karena asam-asam


(29)

18

lemak esensial dapat langsung dimanfaatkan oleh ternak tanpa didegradasi oleh mikroba rumen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mempertahankan kesehatan

sebagai pembangun struktur sel dan integritas struktur membran sel. Defisiensi asam lemak esensial dapat menyebabkan hiperkeratosis pada usus maupun kelenjar ambing. Hiperkeratosis pada usus dapat menyebabkan gangguan penyerapan nutrien sehingga pertumbuhan menjadi tidak normal. Bentuk-bentuk organik kalsium lebih baik diserap oleh tubuh dibandingkan bentuk mineral atau anorganik. Jumlah kalsium diserap dipengaruhi oleh bentuk kimia dan sumber kalsium, keterkaitan dengan nutrisi lainnya, dan kebutuhan hewan. Kebutuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti usia, berat badan, dan jenis dan tahap produksi.

Kecernaan serat dapat diperbaiki oleh sabun kalsium melalui aksi penghilangan efek negatif asam lemak terhadap bakteri. Aktivitas antibakteri dari asam lemak rantai panjang dapat berkurang oleh mineral alkali tertentu seperti kalsium. Garam dari campuran kalsium dengan asam lemak dikenal sebagai sabun kalsium, yaitu penggabungan asam lemak jenuh maupun tidak jenuh dengan ion kalsium (Fernandez, 1999). Pembentukan sabun kalsium dan asam lemak dapat

memaksimumkan penggunaan ransum tinggi lemak oleh ruminansia (Jenkins dan Palmquist, 1984). Dinyatakan pula bahwa sabun kalsium mampu meniadakan efek asam lemak terhadap bakteri, sehingga kecernaan serat ransum meningkat.


(30)

19

I. Magnesium (Mg)

Magnesium ikut berperan sebagai ion prosthetic dan bermacam-macam reaksi enzimatik yang penting. Meskipun dalam tubuh terdapat dalam jumlah yang lebih kecil dibanding Ca dan P unsur ini berhubungan erat dengan Ca dan P baik dalam distribusinya maupun dalam metabolismenya. Lebih kurang 70% dari Mg dalam tubuh terdapat dalam tulang dan sisanya tersebar dalam berbagai cairan tubuh, jaringan lunak dan mempunyai fungsi yang penting (Tillman, et al., 1998).

Nasution dan Karyadi (1988) menyebutkan magnesium berperan sangat penting sebagai ion esensial di dalam berbagai reaksi enzimatis dasar pada metabolisme senyawa. Enzim-enzim yang dimaksud salah satunya termasuk kelompok fospat pemindah (fosfokinase), karena itu Mg terlihat dalam fosforilase glukosa dan pengaktif asam amino (sintesa asam amino asli). Selain itu, Mg memegang peranan penting dalam transmisi dan kegiatan neuro muskuler. Pada beberapa bagian tubuh Mg bekerja secara sinergi dalam kalsium, sedangkan pada beberapa bagian lainnya bersifat antagonis.

Kekurangan Mg mengakibatkan terjadinya vasodilatasi, hiperiritabilitas, dan kematian. Pada ternak rumiansia gejala-gejala defisiensi yang nampak adalah gerakan otot fasial yang tak terkoordinasi, jalan sempoyongan, konvulsi dan akhirnya kematian. Perubahan kimiawi akibat defisiensi magnesium dapat menekan daya rangsang urat syaraf. Di samping itu pada berbagai spesies terlihat pula klasifikasi jaringan lunak.


(31)

20

Indikator defesiensi Mg adalah menurunnya kadar Mg dalam plasma menjadi 1,2

– 1,8 mg/100ml dari kadar normal sebesar 1,8 – 3,2mg/100ml (McDowell, 1992). Tempat utama absorsi Mg pada ternak ruminansia adalah pada bagian

reticulorumen, sekitar 25% Mg diabsorsi oleh hewan dewasa. Jumlah Mg yang diabsorsi menurun seiring dengan penurunan tingkat mineral di dalam pakan. Dalam kondisi defisiensi status Mg cadangan dalam tubuh untuk menggantikan sumbangan dari absorpsi Mg yang rendah ( McDowell, 1992 ).

J. Minyak Goreng

Penggunaan minyak dalam ransum berserat tinggi mampu meningkatkan efisiensi dan mengendalikan populasi protozoa. Penggunaan minyak jagung dalam ransum menghasilkan gas CH4 20,8% dan efisiensi penggunaan energi 81%. Penggunaan minyak jagung relatif lebih banyak memberi keuntungan dibandingkan kerugian (Sutardi, 1997), sementara minyak ikan banyak mengandung asam lemak arakhidonat yang merupakan bahan pembentuk hormon prostaglandin-E2 yang membantu penyerapan nutrien di saluran pencernaan (Needleman, 1982). Penambahan lemak dalam ransum sapi dan domba menurunkan kecernaan serat akibat terhambatnya metabolisme mikroba rumen oleh asam lemak rantai panjang (Jenkins & Palmquist, 1984). Asam linoleat yang banyak terdapat dalam minyak jagung terindikasi sebagai racun bagi protozoa (Doreau et al., 1997).

Penambahan mineral khususnya Ca pada ransum yang disuplementasi lemak meningkatkan kecernaan ransum. Penggunaan sabun kalsium yang tidak larut mampu menghilangkan efek asam lemak pada bakteri, sehingga meningkatkan kecernaan serat (Fernandez, 1999). Bentuk lemak yang diproteksi dari degradasi


(32)

21

dalam rumen dapat langsung ke pascarumen. Suplementasi 3% minyak ikan tuna diproteksi dan tanpa proteksi tidak berbeda terhadap kecernaan bahan kering pada kambing (Kitessa et al., 2001), sedangkan Bayourthe et al. (1993) menunjukkan suplementasi lemak diproteksi (prolip) 0, 5, 10 dan 20%

meningkatkan kecernaan bahan kering masing-masing 59; 59,8; 61 dan 64,2%.

Pada umumnya penambahan minyak ke dalam ransum memiliki beberapa manfaat, seperti meningkatkan energi ransum, meningkatkan efisiensi penggunaan energi melalui penghambatan metanogenesis, sebagai agent defaunasi, dan sumber asam lemak tak jenuh esensial seperti linoleat, linolenat dan arachidonat.

K. Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia

Pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam saluran pencernaan. Sistem pencernaan ruminansia lebih kompleks

dibandingkan dengan ternak non ruminansia. Hal ini karena di dalam saluran pencernaan ruminansia terdapat mikroba rumen. Bahan pakan yang dikonsumsi ternak tidak dapat langsung diserap oleh vili – vili usus, tetapi terlebih dahulu akan mengalami perubahan secara fisik maupun kimia, sehingga kandungan zat makanan yang terdapat dalam bahan makanan dapat dengan mudah diserap.

Organ pencernaan pada ternak ruminansia terdiri atas 4 bagian penting, yaitu mulut, perut, usus halus, dan organ pencernaan bagian belakang. Perut ternak ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum, rumen, omasum, dan


(33)

22

abomasum. Rumen dan retikulum dihuni oleh mikroba dan merupakan alat pencernaan fermentatif dengan kondisi anaerob, suhu 39°C, pH rumen 6--7.

Pada sistem pencernaan ruminansia terdapat suatu proses yang disebut memamah biak (ruminasi). Pakan berserat (hijauan) yang dimakan oleh ternak untuk

sementara ditahan dalam rumen. Pada waktu ternak tersebut beristirahat, pakan yang ada di dalam rumen lalu dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi) untuk dikunyah kembali (remastikasi) kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna oleh enzim-enzim mikroba rumen (mikrobial attack). Ukuran rumen dan retikulo sangat besar, dapat mencapai 15--22% dari bobot tubuh ternak (Sutardi, 1981). Jumlah tersebut meliputi sekitar 75% dari seluruh volume organ pencernaan ruminansia. Pada ternak ruminansia, bakteri dan protozoa lebih berperan dalam memecah bahan pakan. Terutama jenis bahan pakan berserat kasar tinggi yang tidak mampu dipecah dengan baik oleh saluran pencernaan ternak non-ruminansia. Dari data yang disampaikan Annison (1965) dan Banerjee (1978) bahwa terdapat 1010– 1011 bakteri dan lebih dari 107 protozoa per gram isi rumen pada proses fermentasi di retikulorumen.

Proses pencernaan fermentatif didalam retikulorumen terjadi sangat intensif dan dalam kapasitas yang sangat besar. Keuntungan dari pencernaan fermentatif ini adalah mudah diserap usus, dapat mencerna selulosa, dapat menggunakan non-protein nitrogen seperti urea, dan dapat memperbaiki kualitas non-protein pakan yang nilai hayatinya rendah. Kerugiannya adalah banyak energi yang terbuang sebagai


(34)

23

methan dan panas, protein bernilai hayati tinggi mengalami degradasi menjadi amonia (NH3) sehingga menurunkan nilai protein dan peka terhadap ketosis atau keracunan asam yang paling sering terjadi pada domba Siregar (1994).

L. Pakan Ternak Kambing

Kebutuhan ternak akan pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah nutrisi setiap harinya sangat tergantung pada jenis ternak, umur, fase pertumbuhan, kondisi tubuh dan lingkungan tempat hidupnya serta bobot badannya (Tomaszewska et al., 1993).

Pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi ternak dapat

menyebabkan defisiensi zat makanan sehingga ternak mudah terserang penyakit. Penyediaan pakan harus diupayakan secara terus-menerus dan sesuai dengan standart gizi menurut status ternak yang dipelihara (Cahyono, 1998)

Untuk memperoleh pertumbuhan ternak kambing yang baik sangatlah perlu diperhatikan kandungan zat-zat makanan yang dikandung oleh pakan. Bahan pakan harus mengandung zat-zat makanan seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin-vitamin, serta air yang dibutuhkan ternak. .

Untuk memperoleh pertumbuhan optimum perlu diperhatikan zat-zat makanan yang diperlukan oleh seekor ternak (Anggorodi, 1979), yang disesuaikan dengan tujuan produksi dari ternak tersebut. Untuk memenuhi kekurangan zat makanan yang diperoleh kambing dari hijauan, maka dapat diberikan makanan penguat


(35)

24

(konsentrat) dengan jumlah 200-300 g perhari dengan kandungan protein kasarnya 13-14% yang dapat meningkatkan pertambahan berat badan kambing (Speddy, 1980).

Tabel 3. Kebutuhan ternak kambing akan zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk setiap hari.

Body Feed Energi Crude Protein

weight TDN DE ME NE TP DP Ca P

(Kg) (g) (Mcal) (Mcal) (Mcal) (g) (g) (g) (g)

10 199 0.87 0.71 0.40 27 19 1 0.7 20 334 1.47 1.20 0.68 46 32 2 1.4 30 452 1.99 1.62 0.92 62 43 2 1.4 40 560 2.47 2.02 1.14 77 54 3 2.1 50 662 2.92 2.38 1.34 91 63 4 2.8 60 760 3.35 2.73 1.54 105 73 4 2.8 70 852 3.76 3.07 1.73 118 82 5 3.5 80 942 4.16 3.39 1.91 130 90 5 3.5 90 1030 4.54 3.70 2.09 142 99 6 4.2 100 1114 4.91 4.01 2.26 153 107 6 4.2 Sumber : NRC, (1981)

Ternak ruminansia harus mengkonsumsi hijauan sebanyak 10% dari bobot badannya setiap hari dan konsentratnya sekitar 1.5 – 2 % dari jumlah tersebut termasuk suplementasi vitamin dan mineral. Oleh karena itu hijauan dan sejenisnya terutama rumput dan dari berbagai jenis spesies merupakan sumber energi utama ternak ruminansia (Pilliang, 1997).

Ransum ternak ruminansia umumnya terdiri dari hijauan dan konsentrat,

pemberian ransum berupa kombinasi dari kedua bahan itu akan memberi peluang terpenuhinya zat-zat gizi. Namun bisa juga ransum terdiri dari hijauan, maka biaya relative lebih murah tetapi produksi yang tinggi sulit dicapai. Sedangkan


(36)

25

pemberian ransum yang hanya terdiri dari konsentrat saja akan memungkinkan tercapainya produksi yang tinggi, tetapi biaya ransum lebih mahal dan


(37)

26

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada September sampai dengan Oktober 2012 di Kandang Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Analisis bahan pakan dan feses dilaksanakan di Laboratorium Makanan Ternak, Jurusan Peternakan.

B. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang koleksi yang terbuat dari besi masing-masing dengan ukuran lebar 56 cm, dan panjang 136 cm, tinggi kandang 180 cm, 9 kandang perlakuan, penampungan feses, tempat makan dan tempat minum pada setiap kandang, timbangan ransum capacity graduation

kapasitas 50 kg dengan ketelitian 0,1 kg, timbangan digital 5.000 gram, penggiling, serta alat-alat analisis proksimat.


(38)

27

2. Bahan Penelitian

Penelitian menggunakan 9 ekor kambing dengan bobot antara 17,5-22,5 kg. Bahan lainnya adalah minyak goreng, mineral makro organik (Ca dan Mg), ransum basal yang terdiri dari silase daun singkong , onggok, kulit kopi, dedak halus.

C. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang dilakukan adalah :

R0 : Ransum Basal

R1 : Ransum Basal + Mineral Organik (Ca 0,50 %, Mg 0,04%) R2 : Ransum Basal + Mineral Organik (Ca 1,00%, Mg 0,08%)

D. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis ragam pada taraf nyata 5% dan atau 1% yang sebelumnya diuji homogenitas, aditifitas, dan normalitas. Apabila hasil analisis didapat peubah yang nyata dan atau sangat nyata maka dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5% dan atau 1% yang terencana untuk membandingkan dengan perlakuan kontrol (Steel dan Torrie, 1991).


(39)

28

E. Pelaksanaan Penelitian

Periode prapeneltian dilakukan selama satu minggu, yaitu melakukan

pembersihan kandang dan semua peralatan. Periode prelium dilaksanakan selama dua minggu, kemudian dilakukan koleksi selama lima hari pada minggu terakhir penelitian. Kecernaan nutrien setiap ransum diamati setiap hari selama lima hari (periode koleksi total) dalam kandang koleksi, dengan mencatat jumlah ransum yang diberikan, sisa ransum, dan mengukur jumlah feses yang dikeluarkan. Feses ditampung dengan bak koleksi yang telah disiapkan sedemikian rupa, sehingga feses tidak tercampur dengan urin dan tertampung pada bak koleksi. Feses yang diperoleh selama satu periode koleksi ditimbang beratnya kemudian diambil 10% per hari untuk analisis proksimat untuk mengetahui kadar bahan kering dan bahan organik.

1. Persiapan Mineral Organik Ca

Menurut Muhtarudin et al. (2004) pembuatan mineral organik Ca adalah sebagai berikut :

a. menentukan penyabunan minyak goreng

b. menyiapkan minyak minyak goreng sebanyak 912 g (larutan a); c. menyiapkan NaOH 10 M sebanyak 400 gr lalu dilarutkan ke dalam

aquades sampai 1000 ml (larutan b);

d. membuat larutan CaSO4 5 M sebanyak 680,33 gr yang dilarutkan dalam aquades sampai 1000 ml (larutan c);

e. mencampur larutan a dan b, setelah itu dicampur dengan larutan c dan kemudian dicurahkan pada ember.


(40)

29

Ca (SO4) + 2 Na (OH) Ca (OH)2 + 2 Na (SO4)

2. Persiapan Mineral Organik Mg

Menurut Muhtarudin et al, (2004) pembuatan mineral organik Mg adalah sebagai berikut :

a. menentukan penyabunan minyak goreng

b. menyiapkan minyak goreng sebanyak 912 g (larutan a)

c. menyiapkan NaOH 5 M sebanyak 400 gr lalu dilarutkan ke dalam aquades sampai 1000 ml (larutan b)

d. membuat larutan MgSO4 5 M sebanyak 601,84 gr yang dilarutkan dalam aquades sampai 1000 ml (larutan c)

e. mencampur larutan a dan b, setelah itu dicampur dengan larutan c. Mg (SO4) + 2 Na (OH) Mg (OH)2 + Na2 (SO4)

F. Peubah Yang Damati

1. Kecernaaan Bahan Kering (KCBK)

Pengukuran Kecernaan bahan kering (KCBK) berdasarkan rumus Tillman, et al. (1991) dilakukan dengan rumus :

∑ BK yang dikonsumsi (g) - ∑ BK dalam feses (g)

KCBK (%) = x 100 %


(41)

30

2.Kecernaan Bahan Organik (KCBO)

Pengukuran Kecernaan bahan organik (KCBO) berdasarkan rumus Tillman,

et al. (1991) dilakukan dengan rumus :

∑ BO yang dikonsumsi (g) - ∑ BO dalam feses (g)

KCBO (%) = x 100 %

∑ BO yang dikonsumsi (g)

Kecernaan dihitung berdasarkan rumus Tillman, et al. (1991) sebagai berikut:

∑ zat makanan yang dikonsumsi (g) - ∑ zat makanan dalam feses (g)

x 100 %


(42)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Ransum dengan suplementasi mineral Ca dan Mg organik tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) pada kambing.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh suplementasi mineral Ca dan Mg organik terhadap ternak kambing dengan tingkat pemberian mineral dibawah NRC.


(1)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada September sampai dengan Oktober 2012 di Kandang Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Analisis bahan pakan dan feses dilaksanakan di Laboratorium Makanan Ternak, Jurusan Peternakan.

B. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang koleksi yang terbuat dari besi masing-masing dengan ukuran lebar 56 cm, dan panjang 136 cm, tinggi kandang 180 cm, 9 kandang perlakuan, penampungan feses, tempat makan dan tempat minum pada setiap kandang, timbangan ransum capacity graduation kapasitas 50 kg dengan ketelitian 0,1 kg, timbangan digital 5.000 gram, penggiling, serta alat-alat analisis proksimat.


(2)

2. Bahan Penelitian

Penelitian menggunakan 9 ekor kambing dengan bobot antara 17,5-22,5 kg. Bahan lainnya adalah minyak goreng, mineral makro organik (Ca dan Mg), ransum basal yang terdiri dari silase daun singkong , onggok, kulit kopi, dedak halus.

C. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang dilakukan adalah :

R0 : Ransum Basal

R1 : Ransum Basal + Mineral Organik (Ca 0,50 %, Mg 0,04%) R2 : Ransum Basal + Mineral Organik (Ca 1,00%, Mg 0,08%)

D. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis ragam pada taraf nyata 5% dan atau 1% yang sebelumnya diuji homogenitas, aditifitas, dan normalitas. Apabila hasil analisis didapat peubah yang nyata dan atau sangat nyata maka dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5% dan atau 1% yang terencana untuk membandingkan dengan perlakuan kontrol (Steel dan Torrie, 1991).


(3)

E. Pelaksanaan Penelitian

Periode prapeneltian dilakukan selama satu minggu, yaitu melakukan

pembersihan kandang dan semua peralatan. Periode prelium dilaksanakan selama dua minggu, kemudian dilakukan koleksi selama lima hari pada minggu terakhir penelitian. Kecernaan nutrien setiap ransum diamati setiap hari selama lima hari (periode koleksi total) dalam kandang koleksi, dengan mencatat jumlah ransum yang diberikan, sisa ransum, dan mengukur jumlah feses yang dikeluarkan. Feses ditampung dengan bak koleksi yang telah disiapkan sedemikian rupa, sehingga feses tidak tercampur dengan urin dan tertampung pada bak koleksi. Feses yang diperoleh selama satu periode koleksi ditimbang beratnya kemudian diambil 10% per hari untuk analisis proksimat untuk mengetahui kadar bahan kering dan bahan organik.

1. Persiapan Mineral Organik Ca

Menurut Muhtarudin et al. (2004) pembuatan mineral organik Ca adalah sebagai berikut :

a. menentukan penyabunan minyak goreng

b. menyiapkan minyak minyak goreng sebanyak 912 g (larutan a); c. menyiapkan NaOH 10 M sebanyak 400 gr lalu dilarutkan ke dalam

aquades sampai 1000 ml (larutan b);

d. membuat larutan CaSO4 5 M sebanyak 680,33 gr yang dilarutkan dalam aquades sampai 1000 ml (larutan c);

e. mencampur larutan a dan b, setelah itu dicampur dengan larutan c dan kemudian dicurahkan pada ember.


(4)

Ca (SO4) + 2 Na (OH) Ca (OH)2 + 2 Na (SO4)

2. Persiapan Mineral Organik Mg

Menurut Muhtarudin et al, (2004) pembuatan mineral organik Mg adalah sebagai berikut :

a. menentukan penyabunan minyak goreng

b. menyiapkan minyak goreng sebanyak 912 g (larutan a)

c. menyiapkan NaOH 5 M sebanyak 400 gr lalu dilarutkan ke dalam aquades sampai 1000 ml (larutan b)

d. membuat larutan MgSO4 5 M sebanyak 601,84 gr yang dilarutkan dalam

aquades sampai 1000 ml (larutan c)

e. mencampur larutan a dan b, setelah itu dicampur dengan larutan c. Mg (SO4) + 2 Na (OH) Mg (OH)2 + Na2 (SO4)

F. Peubah Yang Damati

1. Kecernaaan Bahan Kering (KCBK)

Pengukuran Kecernaan bahan kering (KCBK) berdasarkan rumus Tillman, et al. (1991) dilakukan dengan rumus :

∑ BK yang dikonsumsi (g) - ∑ BK dalam feses (g)

KCBK (%) = x 100 % ∑ BK yang dikonsumsi (g)


(5)

2.Kecernaan Bahan Organik (KCBO)

Pengukuran Kecernaan bahan organik (KCBO) berdasarkan rumus Tillman, et al. (1991) dilakukan dengan rumus :

∑ BO yang dikonsumsi (g) - ∑ BO dalam feses (g)

KCBO (%) = x 100 % ∑ BO yang dikonsumsi (g)

Kecernaan dihitung berdasarkan rumus Tillman, et al. (1991) sebagai berikut:

∑ zat makanan yang dikonsumsi (g) - ∑ zat makanan dalam feses (g)

x 100 % ∑ zat makanan yang dikonsumsi (g)


(6)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Ransum dengan suplementasi mineral Ca dan Mg organik tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) pada kambing.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh suplementasi mineral Ca dan Mg organik terhadap ternak kambing dengan tingkat pemberian mineral dibawah NRC.