KIT OBA ISOGOA Mekanisme Kehidupan Dama

(1)

KIT OBA ISOGOA

“Mekanisme Kehidupan Damai Masyarakat Islam Papua melalui Makan Bersama”

Oleh: Ahmad Syarif Makatita1

e-mail: airrose_minuz@yahoo.com/+62853-4494-4854

Tulisan ini di ajukan sebagai peserta pada Kompetisi Esai dengan tema:

“ISLAM NUSANTARA” Inspirasi Peradaban Dunia

A.Pendahuluan

Agama yang pada umumnya dikenal sebagai cara dalam berkomunikasi antara individu atau kelompok dengan realitas tertinggi (Tuhan, Allah, Dewa-Dewa), kini telah berubah. Manusia bersikap sebagai ahli Tafsir bagi bahasa Tuhan, melalui manuskrip kitab suci berdasarkan pengetahuannya saja. Sehingga yang muncul belakangan merupakan pola pemaknaan bahasa Tuhan yang bersifat destruktif serta saling mengkebiri. Sehingga agama nampak begitu ringkih dan tidak lagi menampilkan wajahnya yang ramah.

Dalam Tesis Yamin (Universitas Gadjah Mada: 2012), dibeberkan fakta yang menyayat bahwa dalam upaya mendapatkan identitas keagamaanya, seorang individu harus bertaruh nyawa melawan arus budaya yang hadir terlebih dahulu dalam kultur kehidupan masyarakatnya.2

“…Tidak boleh bangun masjid, di sini hanya Kristen saja, Islam itu Jangan”[Yamin: 2012; 47]

Hal ini ingin menunjukan bahwa ketika nilai baru hadir dalam kehidupan masyarakat homogen, tidak akan langsung diterima begitu saja. Melainkan akan mendapati resistensi yang bahkan harus dibayar dengan hak hidup penganutnya. Bahkan dalam beberapa aspek, pemilik budaya homogen merasa bahwa interpretasi terhadap bahasa Tuhan tersebut hanya akan mendatangkan musibah bagi pola kehidupan yang telah damai pada awalnya.

Hal serupa pun terjadi pada masyarakat di Aceh, Singkil beberapa bulan lalu, dimana mereka harus menelan pil pahit bahwa gereja mereka dibumi hanguskan oleh komunitas mayoritas. Di tambah lagi dengan peran pemerintah untuk mengkebiri hak beragama mereka dalam ruang publik (sekolah). Pada tahap ini, mereka akan semakin menganggap bahwa agama merupakan hasil penafsiran manusia terhadap bahasa Tuhan yang tidak lagi relevan dengan waktu dan tempatnya berada. Secara tidak langsung Islam telah menelanjangi hak-hak mereka yang tak se-Agama. Bukankah, Islam

1 Mahasiswa STAIN Al-Fatah Jayapura Jurusan Syari’ah (Pengurus Pergunu Wilayah Provinsi Papua) 2 Karena dalam proses mendapatkan sebuah hak pengakuan dari saudaranya sendiri, seorang Islam( Bapak Merasungun Asso) pada generasi awal di Uelesy harus di ikat lehernya dengan tali senar dan diseret sepanjang kurang lebih 8 Km ke kota untuk di adili oleh perangkat kampung dan juga pada masyarakat yang menolak kehadiran Islam serta niatan mereka untuk mendirikan masjid (Gereja Islam) sebutan mereka pada awalnya.


(2)

mengajarkan cinta dalam pelbagai aspek kehidupannya sebagai realisasi keimanan yang dimiliki. Seperti apa yang di isyaratkan oleh Rasulullah S.A.W dalam riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’I bahwasanya:

“Diriwayatkan dari Anas r.a (bahwa) Nabi saw., bersabda: “Tidaklah sempurna iman seseorang diantara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”. [HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasaa’i] (Bariyah : 2008; 30)

Hal ini mengisyaratkan bahwa sebagai seorang muslim yang beriman tentu tidak akan sempurna Imannya bila belum mencintai sesamanya, juga dalam membangun relasi baik sesama muslim dan sesama manusia, menyemai cinta, kasih sayang dan kedamaian bagi seluruh umat manusia.

Tentu saja hal ini kemudian menjadi sebuah tamparan keras bagi pemeluk Agama Rahmatan lil Alamin. Ini pula menjadi cermin besar bagi kita mengintrospeksi diri. Menghakimi dan juga mengkafirkan orang lain, yang berbeda paham dari kita bukanlah ajaran yang ada dalam Islam. Bila menengok kembali kalimat Allah yang termaktub dalam Qur’an Surah Huud 11: 118

“Jikalau Tuhanmu berkehendak, Tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”[Q.S. Huud 11: 118]

Dengan meminjam kalimat Prof. Dr. KH. Quraisy Syihab dalam menafsirkan ayat tersebut, maka,

“Seandainya, TuhanMu berkehendak, niscaya Dia akan menjadikan seluruh manusia satu Agama, tunduk dengan sendirinya kepada Allah, seperti malaikat.Dan alam pun tidak seperti yang ada ini.Tetapi Allah tidak mengkehendaki yang demikian itu. Allah membiarkan mereka bebas memilih, ….”[Shihab : Tafsir Al-Misbah.apk]

Dalam konteks Papua, heterogenitas agama dan budaya telah menjadi sendi bagi kehidpan masyarakatnya. Kehadiran agama tidak lantas mengubah secara radikal perspektif masyarakat terhadap budayanya. Hal yang muncul kemudian adalah bagaimana budaya dan agama berkolaborasi menjadi pola baru yang saling mendukung. Sebut saja bagaimana masyarakat Wamena yang begitu toleran3 ketika melaksanakan barapen4. Penjelasan lebih lanjut akan di bahas pada bagian-bagian selanjutnya.

3 Indikator toleran yang dimaksud, bukan kemudian menghilangkan nilai filosofis dari bangunan budaya itu sendiri, namun memperkaya dengan memberikan ruang bagi saudara mereka yang berbeda paham keagamaan. Ulasan lebih lanjut akan di bahas pada sub bab berikutnya.

4Tradisi bakar batu masyarakat Wamena dalam merayakan sesuatu sebagai bentuk syukur akan sesuatu. Dalam tradisi ini, babi menjadi menu utamaditambah dengan hasil bumi (ubi, sayur-mayur, dan buah merah). Namun untuk menghargai saudara mereka yang beragama Islam, kemudian ditambahkan lubang lain yang berisikan makanan halal bagi umat Islam Wamena.


(3)

Melalui tulisan ini, pembaca ingin di ajak menengok kehidupan masyarakat Papua melalui kearifan lokalnya yang telah menyatu tanpa terpisahkan dari Islam Rahmatan lil Alamin ala Papua. Pula bagaimana masyarakat papua menggunakan barapen sebagai mekanisme dalam menjaga perdamaian serta meresistensi radikalisme di Papua. Demi menampilkan wajah asli Islam yang moderat, ramah, dan hangat bagi siapapun.

B.

Bakar Batu sebagai Tradisi Masyarakat Papua.

Bakar Batu5 atau dalam bahasa Setempat disebut Gapiia (Paniai), Kit

Oba Isogoa (Wamena), atau Barapen (Jayawijaya dan Byak),[Wikipedia online] merupakan tradisi makan bersama dalam meralisasikan kedekadatan dan membangun hubungan relasi yang baik, diantara masyarakat, tanpa membedakan risalah ajaran agama yang di anut tiap individu. Dalam Islam hal ini telah di ajarkan oleh Rasulullah melalui hadits riwayat Abu Daud;

Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, & sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya….”[HR. Abu Daud No.3272].

Hal demikian bukanlah sesuatu yang tidak memiliki makna, Proses makan bersama adalah ruang dimana seluruh anggota keluarga berkumpul akan dan setelah melakukan aktivitas masing-masing dalam menjalankan peranannya dalam keluarga.

Hal ini dalam konteks masyarakat Papua, dijadikan sebagai wujud berbagi tanpa ada yang disembunyikan sa makan apa, itu sudah yang ko makan(Apa yang saya makan, itulah yang kamu makan) atau pada kelompok masyarakat Papua wilayah pegunungan disebut dengan istilah Secara filosofis, prosesi bakar batu tidak hanya sampai disini. Lebih mendalam lagi, prosesi tersebut di nisbahkan untuk melakukan perayaan sakral, serupa prosesi pendamaian suku pasca perang antar suku di Pedalaman atau peperangan yang melibatkan suku mereka6.

Dalam pembahasan berikut, pembaca ingin di ajak untuk berjalan mengunjugi dan berkenalan secara langsung dengan salah satu kearifan lokal milik masyarakat Papua dalam merepresentasikan perasaan mereka ketika berduka, berbahagia, ataupun merasa khidmat dalam sebuah prosesi yang sakral dalam budaya mereka.

a.

Apa Itu Bakar Batu

Menurut Wikipedia online, Tradisi bakar batu merupakan salah satu tradisi terpenting di Papua yang berfungsi sebagai tanda rasa syukur,

5 Bakar batu merupak metode dalam mengolah makanan dengan menggunakan panas dari batu yang telah dipanaskan hingga mencapai titik didih tertingginya.

6 Contoh kasus pada tahun 2009 terjadi konflik yang berujung antara suku Wamena dan suku Nafri di Jayapura, yang kemudian ditempuh dengan bakar batu sebagai jalan damai. Bagi masyarakat Wamena, ketika telah melaksanakan bakar batu dan mendeklarasikan perdamaian, maka tidak akan ada lagi peperangan-peperangan berikutnya.


(4)

menyambut kebahagiaan atas kelahiran, kematian, atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Tradisi ini menggunakan batu (stone) sebagai teknologi tradisional yang mendisribusikan kemampuan kognitif masyarakat demi pemenuhan kebutuhan primer.

Sementara H. Kahar Yelipelle, menyatakan bahwa tradisi Bakar Batu merupakan sebuah prosesi yang lahir bukan hanya untuk merayakan sebuah acara.

“Bakar batu sudah ada sejak agama belum masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarkat Wamena, bahkan dalam kegiatan sehari-hari, bakar batu menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Untuk memasak makanan sehari-hari dalam honai pun melakukan bakar batu. [Kahar Yelipelle].

Bakar batu adalah bagian tidak terpisahkan yang didalamnya mengandung unsur penting dalam kehidupan masyarakat Wamena. Dalam prosesi inilah, warga masyrakatnya menciptakan ruang perjumpaan dalam membagun relasi, tanpa membedakan emblem agama yang melekat pada diri mereka. Karena tidak hanya ketika merayakan sesuatu, bahkan demi memenuhi kebutuhan akan pangan, metode yang mereka tempuh adalah dengan menggunakan bakar batu, walaupun skala yang digunakan lebih kecil.

Dalam prosesi bakar batu yang akan dilaksanakan untuk merayakan sesuatu, akan bergantung pada kepala suku atau kepala klan dalam menentukan waktu pelaksanaannya. Pada umumnya prosesi bakar batu dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan yakni Pertama, Tahap awal (persiapan) Kedua Tahap bakar batu dan Ketiga Makan bersama7. Pada tahapan ini, tidak ada pembatasan tertentu bagi yang menghadiri dan mengikuti prosesi tersebut. Namun akan berbeda konteksnya, bila pada prosesi bakar batu yang khusus

(bakar batu adat), bagian ini akan di bahas pada sub bab berikutnya.

1. Tahap Awal (Persiapan)

Dalam tahap ini, diawali dengan penentuan waktu oleh kepala suku dan pembagian tugas terhadap anggota sukunya. Biasanya, setiap keluarga anggota keluarga di bagi menjadi 2 (dua) kelompok. Yakni kelompok laki-laki (ayah dan pemuda) dan kelompok perempuan (ibu-ibu dan pemudi). Tugas kelompok laki-laki adalam mengumpulkan kayu bakar dan batu-batuan kesemuanya, dari ukuran yang kecil sampai yang besar. Juga rerumputan seperti alang-alang dan rumput pakan kambing. Sementara kelompok perempuan bertugas untuk mengambil hasil bumi. Seperti, hipere (ubi jalar) iprika atau daun hipere, tirubug (daun

7 Dalam prosesi ini pula akan di isi dengan substansi penyelenggaraan acara. Seperti pendeklarasian damai setelah berperang, atau pun prosesi penganugerahan gelar (baik kepala suku atau panglima perang) serta peresmian sebuah bangunan. Pada dasarnya ritual bakar batu merupakan wujud rasa senang, sedih, dan khidmat masyarakat wamena akan sebuah kondisi yang tengah dialami oleh sukunya.


(5)

singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang), dan

towabug atau hopak (jagung). Pada bagian ini, kesemua hasil bumi di masukan kedalam su (tas dari anyaman kulit kayu) yang disusun mulai dari hipere pada bagian bawah, dilanjutkan dengan sayur-mayur dan di tutup dengan daun pisang pada bagian teratas.

Setelah terkumpul seluruhnya, kemudian dilanjutkan pada penyerahan babi dari setiap keluarga/suku untuk dijadikan sebagai menu santapan utama8. Setelah itu, kepala suku akan memanah babi tersebut, dan bila dalam sekali panah, babi tersebut langsung mati, maka dianggap bahwa prosesi atau ritual tersebut akan berlangsung dan sukses hingga akhir. Namun bila tidak, maka dipercayai bahwa hal ini merupakan pertanda buruk bagi masyarakat wamena. Kemudian akan dilanjutkan dengan tahap berikutnya.

2. Tahap Bakar Batu

Pada tahapan ini, dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Batu ditumpuk dengan urutan setiap lapisan sebagi berikut:

pertama, batu dengan ukuran yang besar, kedua, ranting-ranting/atau kayu berukuran kecil, ketiga, Batu-batu berukuran yang lebih kecil, keempat, Kayu dengan ukuran lebih besar yang di tata rapi, kelima, batu-batuan yang berukuran lebih kecil, dan pada bagian teratas atau keenam ditutup dengan daun pisang, atau dedaunan muda yang basah. Kemudan. Kesemuanya dibakar sampai kayu bakar habis terbakar dan batu menjadi panas (kadang sampai merah membara). Hal ini biasanya berlangsung selama satu jam.

2. Bersamaan dengan itu, kelompok laki-laki yang lain menggali lubang yang cukup dalam dan luasnya sesuai dengan banyaknya bahan makanan yang akan di masak saat itu.

3. Kemudian setelah batu yang hendak dijadikan sebagai material utama memask, selesai di panaskan, maka batu panas tadi di pindahkan ke dasar lubang yg sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang juga rerumputan menggunakan Apando (sejenis penjepit yang di buat dari bilah bambu dan dibengkokkan dengan ukuran yang sama).

8 Hewan babi merupakan bagian utama dan terutama dalam prosesi bakar batu. Namun hal tersebut telah mengalami pergeseran setelah Islam hadir dalam kehidupan masyarakat Wamena di Uelesi. Kini, mereka telah mampu menerima bahwa hidangan utama pada prosesi bakar batu dapat digantikan dengan hewan lain.


(6)

4. Di atas batu panas itu ditumpuklah daun pisang, dan di atasnya diletakkan daging babi.9

5. Di atas daging babi ditutup daun pisang, kemudian di atasnya diletakkan batu panas lagi dan ditutup daun

6. Di atas daun, ditaruh hipere, dan sayur-sayuran lainya dan ditutup daun lagi

7. Di atas daun paling atas ditumpuk lagi batu panas dan ditutup daun pisang dan alang-alang

8. Pada bagian terakhir ditaburkan tanah pada bagian teratas dengan maksud agar uap panas batu tidak keluar sepenuhnya.

3. Makan Bersama

Setelah prosesi bakar batu selesai kurang lebih sekitar 1 (satu) jam, maka tiba saatnya untuk bersantap bersama sebagai puncak ritual. Proses ini di mulai dengan terlebih dahulu dengan membongkar tumpukan batu berisi bahan makanan siap santap tersebut. Kelompok laki-laki akan menggunakan Apando untuk memindahkan batunya, sementara kelompok perempuan/ mama-mama akan mengambil bahan-bahan yang telah matang.10 Kemudian di tata pada bagian tempat terpisah yang tidak jauh dari lubang pembakaran, dan sebelumnya telah di alas menggunakan daun pisang.

Dalam prosesi makan bersama, biasanya kepala suku akan mendapatkan bagian terlebih dahulu lalu kemudian di bagi kepada masyarkatnya. Seperti layaknya keluarga, dimana kepala keluarga mendapatkan bagian terlebih dahulu dan anggota keluarganya.

“Jadi dalam proses makan bersama inilah, wujud kebersamaan dan nilai-nilai ajaran Islam dihadirkan, seperti makan dimulai dari yang paling tua atau kepala keluarga, dan kemudian istri dan terus sampai semua anggota keluarga mendapatkan bagiannya” [Ponto Yelipelle]. Budaya Bakar Batu kini telah bermetamorfosa menjadi sebuah agenda yang (dianggap) perlu dilakukan ketika menyambut tamu-tamu penting yang berkunjung, seperti bupati, gubernur, Presiden dan tamu Penting lainnya. Hal ini dianggap sebagai sebuah ritual kehormatan, dan menjunjung tinggi pemimpin dan perlu di ingat kembali bahwa tujuan prosesi tersebut adalah makan bersama, dan menjamu tamu.

9 Daging babi yang dimaksud, pada beberapa bagian ada yang langsung di belah menjadi 2(dua) bagian dari kepala hingga kaki, atau ada yang di belah dari bagian leher hingga ekor, sehingga bagian kepala dibiarkan utuh.

10 Hal unik yang perlu di perhatikan adalah bagaimana mama-mama mampu membedakan hipere

mereka dengan hipere yang bukan milik mereka. Pada bagian ini masyarakat wamena masih memegang budaya ini sa punya, ini bukan sa punya (ini milik saya dan ini bukan milik saya).


(7)

Bukankah dalam islam kita pun diperintahkan untuk menjamu dan memuliakan tamunya, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari;

“Dari Abu Hurairah ra, dia berkata; Rasulullah S.A.W bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam”[HR. Bukhari No. 5559]11

Dari penjelsan di atas, telah jelas bahwa dalam sendi kehidupan masyrakat Wamena yang dianggap sebagai masyarakat marginal, ternyata memiliki mutiara Islam yang telah dipendam dan menjadi sakral dalam perspektif mereka. Secara tidak langsung, merekalah yang kemudian mengamalkan apa yang disunahkan oleh Rasulullah. Sehingga tidakkah kita patut berbangga bahwa ada saudara kita walau tidak mengucap secara tersurat bahwa mereka meng-esa-kan Allah, namun telah mengamalkan ajarannya.

b. Bakar Batu Adat

Bagian ini sesungguhnya merupakan bagian terpisah namun perlu diketahui oleh setiap orang, sehingga tidak akan menimbulkan miss prespeption akan tradisi masyarkat Wamena, yang di anggap sebagai bagian kelompok masyarakat marginal dan tertinggal.

Sesuai dengan namanya, bakar batu adat merupakan prosesi sakral yang dimiliki oleh masyarakat Wamena dalam mengekspresikan perasaan mereka akan sebuah ritual. Pada dasarnya tidak ada yang membedakan antara bakar batu umum (yang sering kita dengar dan saksikan) dengan bakar batu adat. Dari penamaannya saja, dapat kita simpulkan secara mudah, bahwa ini adalah agenda privat yang tidak memberikan lisensi bagi masyarakat selain mereka untuk menyaksikan atau mengikuti ritual tersebut.

Tidak hanya kelompok masyarakat selain mereka yang tidak diberikan lisensi menyaksikan ataupun mengikuti ritual tersebut. Bahkan kelompok perempuan yang pada saat ‘bakar batu umum’ memiliki peranan penting, namun pada ritual yang satu ini, kelompok perempuan dan anak kecil di larang mengikuti, jangankan mengikuti, melihat asap pembakaran saja, tidak diizinkan oleh adat mereka.

“Pada saat bakar batu adat, perempuan dan anak-anak dilarang mengikutinya, bahkan melihat asapnya saja mereka tidak boleh, karena mereka bisa mengalami sakit. Jadi ketika ada acara bakar batu adat, perempuan dan anak-anak biasa

11 Lihat juga dalam Kitab Muslim hadits no 3255 “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan dan menjamu tamunya……”


(8)

pergi ke kali, baru setelah (bakar batu adat) selesai baru mereka kembali ke kampung” [Kahar Yelipelle].

Selain itu, hal yang juga menjadi pembeda dalam ritual ini adalah babi yang digunakan sebagai hidangan utama. Bila dalam prosesi bakar batu umum menggunakan babi dari hasil sumbangan setiap anggota klan, maka bakar batu adat menggunakan ‘babi adat’ yang telah di tentukan dalam honai adat12oleh Kepala suku atau tetua adat.

Dalam konteks yang lebih nyata, dapat dinyatakan bahwa tidak ada hal-hal yang mengganggu perdamaian dan ke-khusyu’-an masyarakat Wamena dalam menjalankan ritual agamanya. Karena dalam praksisnya, mereka mampu membedakan mana kamar agama dan mana kamar Tradisi. Namun, semenjak hadirnya agama Islam di tengah kehidupan masyarakat Wamena, perlahan namun pasti, kultur tradisi dan nilai baru telah mampu berkolaborasi sehingga menciptakan ‘ruang nyaman baru’ (new comfort room) dalam keberagamaan. Hal ini tidak terlepas dari dampak sosial yang ditularkan melalui budaya bakar batu sebagai ruang komunikasi.

Dalam tradisi bakar batu, masyarakat Wamena mampu mengitegrasikan kehidupan sosial, tanpa memperasalahkan risalah ajaran agama yang di anut. Hal ini seakan ingin mengisyaratkan bahwa prosesi makan bersama sebagai bagian puncak dari tradisi bakar batu masyarakat Wamena adalah instrumen penentu kebersamaan dan kedamaian dalam sendi kehidupan masyarakat Wamena. Sehingga elemen-elemen yang di gunakan menyusun bakar batu, merupakan simbol-simbol yang merepresentasikan masyarakat Wamena, yang berbeda namun dapat di persatukan dalam sebuah wadah yang merealisasikan pesan damai.

Hal ini dibuktikan dengan pemberian ruang bagi masyarakat Islam Wamena, dengan memberikan kolam13 sendiri dalam bakar batu. Dengan mengganti hidangan utamanya menjadi Ayam dan atau danging yang halal bagi kaum Muslim. Ini memberikan cerminan bahwa Islam tidak harus di dakwahkan dengan kekerasan, dan menggunakan metode tertentu akan mampu memberikan kemudahan dan hal-hal positif. Karena pada dasarnya Islam adalah agama Ramah bagi seluruh alam, sehingga tidak sepantasnya bersifat destruktif.

12 Rumah masyarakat wamena yang didalamnya hanya diperuntukan untuk membahas perihal adat. Seperti perkawinan, perang, dan penobatan kepala suku berikutnya. Dalam menentukan sebuah keputusan, maka digunakan musyawarah demi mencapai mufakat.

13 Kolam bakar batu, dalam pemahaman mereka mewakili wadah Masyarakat Wamena itu sendiri. Sehingga kolam dalam bakar batu di butuhkan untuk menampung seluruh elemen penyusun masyarkat Wamena dalam wadah yang sesuai. [Kahar Yelipelle]


(9)

C. Dampak sosial dan Integrasi Masyarakat

Wamena melalui Bakar Batu

Sebagai sebuah media pemersatu masyarakat Wamena, Bakar batu telah menyediakan ruangan bebas hambatan dalam menjalin relasi tak terhingga. Sebagai sebuah ritual adat yang mampu menghadirkan seluruh elemen masyarakat suku wamena, bakar batu telah mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan masyarakat Wamena ke dalam sebuah wadah untuk tetap membangun relasi. Dalam prosesi bakar batu terdapat sebuah nilai filosofis yang mampu menjadi elemen penguat keharmonisan masyarakat Wamena.

“simbol-simbol penyusun bakar batu itu dapat dijadikan sebagai simbol kebersamaan masyarakat wamena. Seperti ubi yang bermacam-macam warna dimuat dalam satu noken dan dimasak dalam satu kolam”

Ubi atau hipere dalam perspektif masyarakat wamena merupakan bagian tak terpisahka dari proses kelahiran mereka. Karena dalam pandangan masyarakat Wamena, babi dan manusia sebagai makhluk pertama, kemudian

hipere dan api berikutnya. Sehingga selain babi, prosesi bakar batu tidak akan lengkap tanpa adanya ubi atau hipere. Pada bagian inilah unsur filosofis yang saling melengkapi antara tradisi masyarakat Wamena dan Islam sebagai agama pelengkap dan penyempurna akidah umat manusia.

Islam yang pada mulanya mendapatkan resistensi kala hadir pertama di Wamena namun dewasa kini telah mampu duduk bersama dalam ‘honai

perdamaian’ tanpa saling menyakiti. Bahkan dalam hal bakar batu pun mendapatkan ‘kolam’ sendiri sebagai bentuk penerimaan masyarakat Wamena kepada saudara mereka yang berbeda paham dengan mereka. Hal ini sebenarnya ingin menunjukan bahwa sesungguhnya, masyarakat wamena tidak akan melepaskan identitas kekerabatan mereka yang terbentuk sejak mereka lahir, hanya berdasarkan agama.

Bagi masyarkat Wamena, agama yang berbeda tidak lantas menjadikan hubungan persaudaraan mereka hancur dan berubah menjadi permusuhan. Melalui bahasa kearifan local yang mereka miliki, seakan ingin mengatakan bahwa, Kita ini di ciptakan dalam perbedaan dan itu adalah sunatullah yang harusnya kita syukuri, bukan menjadi bercerai-berai karena hal tersebut. Dengan kecacatan yang demikian banyak disematkan kepada masyarakat Islam Wamena, namun mereka mampu menjalin keharmonisan keberagamaan tanpa harus menumpahkan darah. Karena ada sebuah keyakinan bahwa dalam berjihad, tidak harus dengan mengklaim bahwa kami yang paling benar, dan meng-kafir harbi-kan mereka yang berbeda paham dengan apa yang di ajarkan Rasulullah


(10)

Masyarakat Wamena pada dasarnya tidak mengenal agama secara

kaffah. Agama bagi masyarakat Wamena hanya merupakan sebuah pilihan dalam berkeyakinan dan mempercayai kekuatan Adikodrati. Pada tataran ini, proses memeluk agama tidak kemudian menjadi krikil sandungan dalam menjaga relasi diantara kelompok. Hingga Islam kemudian datang dan memberikan sebuah cara baru dalam menginternalisasikan nilai-nilai adikodrati.

Islam sebagai agama yang datang dan menjadi penyempurna akhlak manusia, tentu saja memiliki beban dan tanggung jawab yang berat. Islam Rahmatan lil alamin merupakan sebuah konsep syi’ar beraromakan hidayah bagi seluruh alam. Sehingga, tidak dapat dinafikan lagi bahwa Islam dalam bagian ini menjadi air penghilang dahaga bagi kaum akhir zaman. Ini pun terasa pada masyarakat Wamena, melalui konsep bakar batu. Hal ini telah dicontohkan oleh masyarakat Islam Wamena, dalam merayakan hari besar keagamaan.

“kami melalui Ikatan Keluarga Wilayah Uelesi (IKWU) mencoba melakukan terobosan dalam hal tradisi bakar batu, bila natal kami buat bakar batu dengan 2 (dua) kolam, dan ketika halal bi halal dengan 1 (satu) kolam dengan menu makanan ayam” [Kahar Yelipelle]

Dalam konteks bakar batu, memang tidak menjadi sebuah syarat atau rukun bahwa harus babi yang menjadi hidangan utama. Sehingga, dalam pelaksanaannya, memberikan ruang bagi budaya baru untuk mengintegrasikan diri. Pada hakikatnya makan bersama menggunakan media bakar batu merupakan sebuah ritual mengintegrasikan nilai-nilai kebersamaan yang diajarkan dalam Islam. Apa yang dijelaskan oleh ketua NU Kota Jayapura dan sekaligus bagian langsung dari masyarakat Islam Wamena di atas, telah menunjukan bahwa Islam mampu memberikan sebuah indikator baru dalam tatanan tradisi. Tanpa adanya resistensi, dan tidak berhenti pada bagian ini saja. Dalam kesehariannya, (tanpa harus menunggu momentum perayaan), bakar batu pun dilakukan dilingkungan bermukimnya. Beliaupun menjelaskan bahwa ketika mereka melakukan bakar batu dengan menu hidangan utama adalah ayam atau daging yang di halalkan Islam, maka masyarakat sekitar yang ikut menikmati akan dengan santai menikmati hidangan tanpa ada rasa curiga dan penolakan.

Dalam praksisnya, tradisi bakar batu telah memarjinalkan isu-isu keagamaan dan ihwal personal individu. Tidak ada komunikasi yang dibangun dalam prosesi makan bersama yang bersentuhan dengan agama dan gossip

kelompok, yang ada hanyalah bagaimana mereka merekatkan hubungan inter-personal dan menciptakan suasana kondusif sebagai budaya kebersamaan


(11)

yang melekat pada diri mereka baik secara individu maupun pola kehidupannya yang komunal.

Pada tatanan sosial masyarakat Papua, hidup bersama dalam perbedaan telah menjadi hal yang lumrah. Dalam satu keluarga hidup keyakinan yang berbeda telah menjadi pilihan dan itu dianggap sebagai warna yang memperkaya khazanah keluarga mereka14. Walaupun dalam perspektif hukum Islam hal tersebut belum tentu mendapatkan dalil keabsahan, karena di anggap dapat mengurangi kepastian dalam ihwal ubudiayah. Hal inilah yang kemudian (dianggap) pembeda antara umat Islam di Papua dengan umat Islam di lain tempat. Setting latar tempat yang bercorak heterogen serta dominasi kelompok yang berbeda. Dibumbui dengan budaya tradisi yang bernilai historis serta filosofis inilah yang kemudian berdampak pada pola pikir dan penerapan hukum Islam dalam tatanan pranata sosial masyarakatnya.

Dalam hal bakar batu dan makan bersama baik sesama saudara Islam ataupun non-Islam, masyarakat Wamena telah mempraktikkan apa yang dikatakan Rasulullah, dalam Shahih Bukhari:

“Dari Abdullah bin Amr r.a, bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah S.A.W, Islam seperti apakah yang lebih baik? Beliau menjawab: “Memberikan makanan dan mengucapkan salam baik kepada orang yang kamu kenal maupun tidak kamu kenal”

[Ringkasan Shahih Bukhari; 2007:10].

Sehingga tidak tepat bila kita menempatkan label negatif, dalam setiap hal yang berkenaan dengan Papua dan Islam di Pegunungan. Karena pada kenyataannya, mereka-lah yang menghidupkan nilai-nilai ajaran baginda Rasulullah dalam tradisi mereka, walau pada awalnya bukanlah ajaran Islam. Namun Islam berhasil menginternalisasikan nilai-nilai ukuwah Islamiyah

dalam praktik tradisi adat dan keagamaan.

E. Penutup

Islam sebagai agama yang mengajarkan cinta kasih dan saling menghargai serta memuliakan diantara manusia, dirasa akan menjadi emblem destruktif, bila kita menempatkan kekuatan pada dasarnya. Namun bila kita berpegang pada sifat agama yang bersikap penuh kasih dan sayang serta cinta, maka Islam akan mampu menjadi bagian penting dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat adat sekalipun itu. Sehingga tidak aka nada lagi label‒

saling meng-kafir harbi-kan diantara manusia.

Pada bagian lain, Islam sebagai risalah yang diperuntukan bagi seluruh manusia (termasuk sendi kehidupan sosial) tanpa memandang ras, etnis, suku, bangsa, bahasa, dan wilayah, maka adat istiadat bakar batu yang menjadi bagian masyarakat Wamena, tentu tidak mendapatkan pengcualian.

14Salah satu buktinya adalah dalam satu kelompok marga di Uelesi, tidak serta merta mereka harus menganut ajaran agama yang sama, atau pada prosesi penyambutan anggota keluarga yang baru saja menjadi Imam Katholik, sepulangnya menempuh pendidikan seminari.Ia di sambut dengan keluarga besar yang terdiri dari Ayah dan Ibunya (Kristen Protestan), dan Pamannya (Islam dan bergelar Haji), yang memiliki bagian keluarga yang berbeda agama.


(12)

Justeru pada bagian inilah, masyarakat Wamena mampu mengintegrasikan nilai-nilai islam ke dalam tradisi milik adat masyarakat.

Makan bersama yang menjadi puncak acara dan intisari dari perayaan bakar batu, sebagai bentuk local genius masyarakat Wamena, ternyata merupakan risalah Islam yang di amanahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada tataran inilah, prosesi makan bersama menjadi ihwal perekat (connector)

antara Islam sebagai sebuah budaya peradaban dan Makan bersama ala Wamena sebagai budaya masyarakat adat mengalami akulturaasi melalui bakar batu.

Dalam tahapan ini,bukan hanya toleransi yang terbangun, namun juga saling menerima yang berbuah pada perdamaian sebagai endingnya. Bila Islam hendak menghadirkan wajahnya yang hangat, moderat, juga penuh damai, maka integrasi sosial melalui budaya dapat digunkan sebagai jalan pintas untuk mencapai kesemuanya.

Daftar Referensi

Buku

A. Agus Alua dkk, 2006; Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua, Biro Penelitian STFT Fajar Timur, Jayapura, Cet. Ke II


(13)

Amstrong Karen, The Great Transformation: Sejarah Awal Tuhan, PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2013 Cet. I Ed. Ke-2

Departemen Agama RI, 2007; Al-Qur’an dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Jakarta

Departemen Agama RI, 2012; Al-Qur’an dan Terjemahnya,Ed. 2002 CV. Darus Sunnah, Jakarta Timur, Cet.ke-13

Haq Abdul, dkk, 2009; Formulasi Nalar Fiqh (Buku satu), Khalista, Surabaya, Cet V Hidayat Komaruddin, 2011; Memahami Bahasa Agama “Sebuah Kajian

Hermeneutika”, Mizan Pusaka, Edisi Baru Cet I

Kimball Charles, 2013; Kala Agama Menjadi Bencana, Mizan Publika, Jakarta Selatan, Cet. 1

Muller Karl, 2008; Mengenal Papua, Daisy World Books, Indonesia,

Nashiruddin Muhammad Al-Albani, 2007; Ringkasan Shahih Al-Bukhari Pustaka as-Sunnah, Jakarta, Cet. Ke- I

Nassaruddin H. Umar, 2014; Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminim, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta,

Nurul Oneng Bariyah, 2008; Materi Hadits ‘tentang Islam, Hukum, Ekonomi, Sosial dan Lingkungan’, Penerbit Kalam Mulia, Jakarta, Cet Pertama.

Yamin Ade, Izinkan Kami Memeluk Islam,tp, tt, tth

Laporan

Werfete Umar, Budaya Lokal dalam Ruang Agama: Laporan Penelitian Individu Dosen STAIN Al-Fatah Jayapura 2015

Surat Kabar

Cendrawasih Pos, 21 Maret 2016 Cendrawasih Pos, 28 Desember 2015

Wawancara

Wawanacara dengan Ketua NU Kota Jayapura, Bapak H. Kahar Yelipelle, M.Pd tanggal 27 Maret 2016

Wawancara dengan Ketua IKWU (Ikatan Keluarga Wilayah Uelesy) Bpk. Ponto Yelipelle, M.Pd pada tanggal 22 Maret 2015

Wawancara dengan salah seorang Ulama Islam, Dr. H. Husnul Yakin, M.HI pada tanggal 22 Maret 2016

Internet

http://budaya-indonesia.org/Upacara-Bakar-Batu/

http://print.kompas.com/baca/2016/02/03/MUI-Gafatar-adalah-Aliran-Sesat


(14)

http://www.tabayyunnews.com/2015/07/bagaimana-popularitas -islam-di-papua-ternyata-banyak-pendeta-dan-suku-papua-kristen-yang-masuk/islam/

Lain-Lain

Digital Qur’an Versi 3.2

Siswanto Eko, Dalam Ceramah kelasnya pada mata kuliah Kristologi Agama, 24 Maret 2016


(1)

C. Dampak sosial dan Integrasi Masyarakat

Wamena melalui Bakar Batu

Sebagai sebuah media pemersatu masyarakat Wamena, Bakar batu telah menyediakan ruangan bebas hambatan dalam menjalin relasi tak terhingga. Sebagai sebuah ritual adat yang mampu menghadirkan seluruh elemen masyarakat suku wamena, bakar batu telah mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan masyarakat Wamena ke dalam sebuah wadah untuk tetap membangun relasi. Dalam prosesi bakar batu terdapat sebuah nilai filosofis yang mampu menjadi elemen penguat keharmonisan masyarakat Wamena.

“simbol-simbol penyusun bakar batu itu dapat dijadikan sebagai simbol kebersamaan masyarakat wamena. Seperti ubi yang bermacam-macam warna dimuat dalam satu noken dan dimasak dalam satu kolam”

Ubi atau hipere dalam perspektif masyarakat wamena merupakan bagian tak terpisahka dari proses kelahiran mereka. Karena dalam pandangan masyarakat Wamena, babi dan manusia sebagai makhluk pertama, kemudian

hipere dan api berikutnya. Sehingga selain babi, prosesi bakar batu tidak akan lengkap tanpa adanya ubi atau hipere. Pada bagian inilah unsur filosofis yang saling melengkapi antara tradisi masyarakat Wamena dan Islam sebagai agama pelengkap dan penyempurna akidah umat manusia.

Islam yang pada mulanya mendapatkan resistensi kala hadir pertama di Wamena namun dewasa kini telah mampu duduk bersama dalam ‘honai

perdamaian’ tanpa saling menyakiti. Bahkan dalam hal bakar batu pun mendapatkan ‘kolam’ sendiri sebagai bentuk penerimaan masyarakat Wamena kepada saudara mereka yang berbeda paham dengan mereka. Hal ini sebenarnya ingin menunjukan bahwa sesungguhnya, masyarakat wamena tidak akan melepaskan identitas kekerabatan mereka yang terbentuk sejak mereka lahir, hanya berdasarkan agama.

Bagi masyarkat Wamena, agama yang berbeda tidak lantas menjadikan hubungan persaudaraan mereka hancur dan berubah menjadi permusuhan. Melalui bahasa kearifan local yang mereka miliki, seakan ingin mengatakan bahwa, Kita ini di ciptakan dalam perbedaan dan itu adalah sunatullah yang harusnya kita syukuri, bukan menjadi bercerai-berai karena hal tersebut. Dengan kecacatan yang demikian banyak disematkan kepada masyarakat Islam Wamena, namun mereka mampu menjalin keharmonisan keberagamaan tanpa harus menumpahkan darah. Karena ada sebuah keyakinan bahwa dalam berjihad, tidak harus dengan mengklaim bahwa kami yang paling benar, dan meng-kafir harbi-kan mereka yang berbeda paham dengan apa yang di ajarkan Rasulullah


(2)

Masyarakat Wamena pada dasarnya tidak mengenal agama secara

kaffah. Agama bagi masyarakat Wamena hanya merupakan sebuah pilihan dalam berkeyakinan dan mempercayai kekuatan Adikodrati. Pada tataran ini, proses memeluk agama tidak kemudian menjadi krikil sandungan dalam menjaga relasi diantara kelompok. Hingga Islam kemudian datang dan memberikan sebuah cara baru dalam menginternalisasikan nilai-nilai adikodrati.

Islam sebagai agama yang datang dan menjadi penyempurna akhlak manusia, tentu saja memiliki beban dan tanggung jawab yang berat. Islam Rahmatan lil alamin merupakan sebuah konsep syi’ar beraromakan hidayah bagi seluruh alam. Sehingga, tidak dapat dinafikan lagi bahwa Islam dalam bagian ini menjadi air penghilang dahaga bagi kaum akhir zaman. Ini pun terasa pada masyarakat Wamena, melalui konsep bakar batu. Hal ini telah dicontohkan oleh masyarakat Islam Wamena, dalam merayakan hari besar keagamaan.

“kami melalui Ikatan Keluarga Wilayah Uelesi (IKWU) mencoba melakukan terobosan dalam hal tradisi bakar batu, bila natal kami buat bakar batu dengan 2 (dua) kolam, dan ketika halal bi halal dengan 1 (satu) kolam dengan menu makanan ayam” [Kahar Yelipelle]

Dalam konteks bakar batu, memang tidak menjadi sebuah syarat atau rukun bahwa harus babi yang menjadi hidangan utama. Sehingga, dalam pelaksanaannya, memberikan ruang bagi budaya baru untuk mengintegrasikan diri. Pada hakikatnya makan bersama menggunakan media bakar batu merupakan sebuah ritual mengintegrasikan nilai-nilai kebersamaan yang diajarkan dalam Islam. Apa yang dijelaskan oleh ketua NU Kota Jayapura dan sekaligus bagian langsung dari masyarakat Islam Wamena di atas, telah menunjukan bahwa Islam mampu memberikan sebuah indikator baru dalam tatanan tradisi. Tanpa adanya resistensi, dan tidak berhenti pada bagian ini saja. Dalam kesehariannya, (tanpa harus menunggu momentum perayaan), bakar batu pun dilakukan dilingkungan bermukimnya. Beliaupun menjelaskan bahwa ketika mereka melakukan bakar batu dengan menu hidangan utama adalah ayam atau daging yang di halalkan Islam, maka masyarakat sekitar yang ikut menikmati akan dengan santai menikmati hidangan tanpa ada rasa curiga dan penolakan.

Dalam praksisnya, tradisi bakar batu telah memarjinalkan isu-isu keagamaan dan ihwal personal individu. Tidak ada komunikasi yang dibangun dalam prosesi makan bersama yang bersentuhan dengan agama dan gossip

kelompok, yang ada hanyalah bagaimana mereka merekatkan hubungan inter-personal dan menciptakan suasana kondusif sebagai budaya kebersamaan


(3)

yang melekat pada diri mereka baik secara individu maupun pola kehidupannya yang komunal.

Pada tatanan sosial masyarakat Papua, hidup bersama dalam perbedaan telah menjadi hal yang lumrah. Dalam satu keluarga hidup keyakinan yang berbeda telah menjadi pilihan dan itu dianggap sebagai warna yang memperkaya khazanah keluarga mereka14. Walaupun dalam perspektif hukum Islam hal tersebut belum tentu mendapatkan dalil keabsahan, karena di anggap dapat mengurangi kepastian dalam ihwal ubudiayah. Hal inilah yang kemudian (dianggap) pembeda antara umat Islam di Papua dengan umat Islam di lain tempat. Setting latar tempat yang bercorak heterogen serta dominasi kelompok yang berbeda. Dibumbui dengan budaya tradisi yang bernilai historis serta filosofis inilah yang kemudian berdampak pada pola pikir dan penerapan hukum Islam dalam tatanan pranata sosial masyarakatnya.

Dalam hal bakar batu dan makan bersama baik sesama saudara Islam ataupun non-Islam, masyarakat Wamena telah mempraktikkan apa yang dikatakan Rasulullah, dalam Shahih Bukhari:

“Dari Abdullah bin Amr r.a, bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah S.A.W, Islam seperti apakah yang lebih baik? Beliau menjawab: “Memberikan makanan dan mengucapkan salam baik kepada orang yang kamu kenal maupun tidak kamu kenal”

[Ringkasan Shahih Bukhari; 2007:10].

Sehingga tidak tepat bila kita menempatkan label negatif, dalam setiap hal yang berkenaan dengan Papua dan Islam di Pegunungan. Karena pada kenyataannya, mereka-lah yang menghidupkan nilai-nilai ajaran baginda Rasulullah dalam tradisi mereka, walau pada awalnya bukanlah ajaran Islam. Namun Islam berhasil menginternalisasikan nilai-nilai ukuwah Islamiyah

dalam praktik tradisi adat dan keagamaan.

E. Penutup

Islam sebagai agama yang mengajarkan cinta kasih dan saling menghargai serta memuliakan diantara manusia, dirasa akan menjadi emblem destruktif, bila kita menempatkan kekuatan pada dasarnya. Namun bila kita berpegang pada sifat agama yang bersikap penuh kasih dan sayang serta cinta, maka Islam akan mampu menjadi bagian penting dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat adat sekalipun itu. Sehingga tidak aka nada lagi label‒

saling meng-kafir harbi-kan diantara manusia.

Pada bagian lain, Islam sebagai risalah yang diperuntukan bagi seluruh manusia (termasuk sendi kehidupan sosial) tanpa memandang ras, etnis, suku, bangsa, bahasa, dan wilayah, maka adat istiadat bakar batu yang menjadi bagian masyarakat Wamena, tentu tidak mendapatkan pengcualian. 14Salah satu buktinya adalah dalam satu kelompok marga di Uelesi, tidak serta merta mereka harus menganut ajaran agama yang sama, atau pada prosesi penyambutan anggota keluarga yang baru saja menjadi Imam Katholik, sepulangnya menempuh pendidikan seminari.Ia di sambut dengan keluarga besar yang terdiri dari Ayah dan Ibunya (Kristen Protestan), dan Pamannya (Islam dan bergelar Haji), yang memiliki bagian keluarga yang berbeda agama.


(4)

Justeru pada bagian inilah, masyarakat Wamena mampu mengintegrasikan nilai-nilai islam ke dalam tradisi milik adat masyarakat.

Makan bersama yang menjadi puncak acara dan intisari dari perayaan bakar batu, sebagai bentuk local genius masyarakat Wamena, ternyata merupakan risalah Islam yang di amanahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada tataran inilah, prosesi makan bersama menjadi ihwal perekat (connector)

antara Islam sebagai sebuah budaya peradaban dan Makan bersama ala Wamena sebagai budaya masyarakat adat mengalami akulturaasi melalui bakar batu.

Dalam tahapan ini,bukan hanya toleransi yang terbangun, namun juga saling menerima yang berbuah pada perdamaian sebagai endingnya. Bila Islam hendak menghadirkan wajahnya yang hangat, moderat, juga penuh damai, maka integrasi sosial melalui budaya dapat digunkan sebagai jalan pintas untuk mencapai kesemuanya.

Daftar Referensi

Buku

A. Agus Alua dkk, 2006; Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua, Biro Penelitian STFT Fajar Timur, Jayapura, Cet. Ke II


(5)

Amstrong Karen, The Great Transformation: Sejarah Awal Tuhan, PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2013 Cet. I Ed. Ke-2

Departemen Agama RI, 2007; Al-Qur’an dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Jakarta

Departemen Agama RI, 2012; Al-Qur’an dan Terjemahnya,Ed. 2002 CV. Darus Sunnah, Jakarta Timur, Cet.ke-13

Haq Abdul, dkk, 2009; Formulasi Nalar Fiqh (Buku satu), Khalista, Surabaya, Cet V Hidayat Komaruddin, 2011; Memahami Bahasa Agama “Sebuah Kajian

Hermeneutika”, Mizan Pusaka, Edisi Baru Cet I

Kimball Charles, 2013; Kala Agama Menjadi Bencana, Mizan Publika, Jakarta Selatan, Cet. 1

Muller Karl, 2008; Mengenal Papua, Daisy World Books, Indonesia,

Nashiruddin Muhammad Al-Albani, 2007; Ringkasan Shahih Al-Bukhari Pustaka as-Sunnah, Jakarta, Cet. Ke- I

Nassaruddin H. Umar, 2014; Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminim, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta,

Nurul Oneng Bariyah, 2008; Materi Hadits ‘tentang Islam, Hukum, Ekonomi, Sosial dan Lingkungan’, Penerbit Kalam Mulia, Jakarta, Cet Pertama.

Yamin Ade, Izinkan Kami Memeluk Islam,tp, tt, tth

Laporan

Werfete Umar, Budaya Lokal dalam Ruang Agama: Laporan Penelitian Individu Dosen STAIN Al-Fatah Jayapura 2015

Surat Kabar

Cendrawasih Pos, 21 Maret 2016 Cendrawasih Pos, 28 Desember 2015

Wawancara

Wawanacara dengan Ketua NU Kota Jayapura, Bapak H. Kahar Yelipelle, M.Pd tanggal 27 Maret 2016

Wawancara dengan Ketua IKWU (Ikatan Keluarga Wilayah Uelesy) Bpk. Ponto Yelipelle, M.Pd pada tanggal 22 Maret 2015

Wawancara dengan salah seorang Ulama Islam, Dr. H. Husnul Yakin, M.HI pada tanggal 22 Maret 2016

Internet

http://budaya-indonesia.org/Upacara-Bakar-Batu/

http://print.kompas.com/baca/2016/02/03/MUI-Gafatar-adalah-Aliran-Sesat


(6)

http://www.tabayyunnews.com/2015/07/bagaimana-popularitas -islam-di-papua-ternyata-banyak-pendeta-dan-suku-papua-kristen-yang-masuk/islam/

Lain-Lain

Digital Qur’an Versi 3.2

Siswanto Eko, Dalam Ceramah kelasnya pada mata kuliah Kristologi Agama, 24 Maret 2016