Permasalahan Yang Terjadi Saat Ini

A. Permasalahan Yang Terjadi Saat Ini
Seperti tawuran antar pelajar selalu menjadi agenda perbincangan setiap
tahunnya, masalah ini bukan perkara baru, dan jangan dianggap perkara yang
remeh. Padahal kalau kita kaji masalah tawuran antar pelajar akan membawa
dampak panjang, bukan hanya bagi pelajar yang terlibat, namun juga untuk
keluarga, sekolah serta lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Tawuran antara pelajar saat ini sudah menjadi masalah yang sangat
mengganggu ketertiban dan keamanan lingkungan di sekitarnya. Saat ini,
tawuran antar pelajar sekolah tidak hanya terjadi di lingkungan atau sekitar
sekolah saja, namun terjadi di jalan-jalan umum, tak jarang terjadi
pengrusakan fasilitas publik. Penyimpangan pelajar ini menyebabkan pihak
sekolah, guru dan masyarakat yang melihat pasti dibuat bingung dan takut
bagaimana untuk mererainya, sampai akhirnya melibatkan pihak kepolisian.
Hal ini tampak beralasan karena senjata yang biasa dibawa oleh pelajarpelajar yang dipakai pada saat tawuran bukan senjata biasa.Bukan lagi
mengandalkan keterampilan tangan, tinju satu lawan satu. Sekarang, tawuran
sudah menggunakan alat bantu, seperti benda yang ada di sekeliling (batu dan
kayu) mereka juga memakai senjata tajam layaknya film action di layar lebar
dengan senjata yang bisa merenggut nyawa seseorang. Contohnya, samurai,
besi bergerigi yang sengaja dipasang di sabuk, pisau, besi.
Penyimpangan seperti tawuran antar pelajar, menjadi kerusuhan yang
dapat menghilangkan nyawa seseorang tidak bisa disebut sebagai kenakalan

remaja, namun sudah menjadi tindakan kriminal. Yang menjadi pertanyaan,
adalah bagaimana bisa seorang pelajar tega melakukan tindakan yang ekstrem
sampai menyebabkan hilangnya nyawa pelajar lain hanya karena masalahmasalah kecil?
B. Lingkungan Keluarga Mempengaruhi Moral Anak
Keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama.
Predikat ini mengindikasikan betapa esensialnya peran dan pengaruh
lingkungan keluarga dalam pembentukan perilaku dan kepribadian anak.
1

Pandangan yang sangat menghargai posisi dan peran keluarga sebenarnya
bukan merupakan sesuatu yang istimewah. Pandangan seperti ini sangat logis
dan mudah dipahami karena beberapa alasan berikut ini.
1. Keluarga lazimnya merupakan, pihak yang paling awal memberikan
banyak perlakuan kepada anak. Begitu anak lahir, lazimnya pihak
keluargalah yang langsung menyambut dan memberikan layanan interaktif
kepada anak.
2. Sebagian besar waktu anak lazimnya dihabiskan di lingkungan keluarga.
3. Karakteristik hubungan orang tua-anak berbeda dari hubungan anak
dengan pihak-pihak lainnya (guru, teman, dan sebagainya ).
4. Interaksi kehidupan orang tua-anak di rumah bersifat “asli”, seadanya dan

tidak dibuat-buat.
Peran keluarga lebih banyak memberikan pengaruh dukungan, baik dari
dalam penyediaan fasilitas maupun penciptaan suasana belajar yang kondusif.
Sebaliknya, dalam hal pembentukan perilaku, sikap dan kebiasaan, penanaman
nilai, dan perilaku-perilaku sejenisnya, lingkungan keluarga bisa memberikan
pengaruh yang sangat dominan.
Di sini lingkungan keluarga dapat memberikan pengaruh kuat dan sifatnya
langsung berkenaan dengan pengembangan aspek-aspek perilaku seperti itu,
keluarga dapat berfungsi langsung sebagai lingkungan kehidupan nyata untuk
memperaktekkan aspek-aspek perilaku tersebut.Karena itu tidaklah
mengherankan kalau Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2/1989
menyatakan secara jelas bahwa keluarga merupakan bagian dari jalur
pendidikan luar sekolah yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya,
nilai-nilai moral, dan keterampilan.
Selanjutnya, Radin menjelaskan 6 kemungkinan cara yang dilakukan
orang tua dalam mempengaruhi anak, yakni sebagai berikut ini :

2

1. Permodelan perilaku (modeling of behavior). Baik disengaja atau tidak,

orang tua dengan sendirinya akan menjadi model bagi anaknya. Imitasi
bagi anak tidak hanya yang baik-baik saja yang diterima oleh anak, tetapi
sifat-sifat yang jeleknyapun akan dilihat pula.
2. Memberikan ganjaran dan hukuman (giving rewards and punishments).
Orang tua mempengaruhi anaknya dengan cara memberikan ganjaran
terhadap perilaku-perilaku yang dilakukan oleh anaknya dan memberikan
hukuman terhadap beberapa perilaku lainnya.
3. Perintah langsung (direct instruction).
4. Menyatakan peraturan-peraturan (stating rules).
5. Nalar (reasoning). Pada saat-saat menjengkelkan, orang tua bias
mempertanyakan kapasitas anak untuk bernalar, dan cara itu digunakan
orang tua untuk mempengaruhi anaknya.
6. Menyediakan fasilitas atau bahan-bahan dan adegan suasana (providing
materials and sttings). Orang tua dapat mempengaruhi perilaku anak
dengan mengontrol fasilitas atau bahan-bahan dan adegan suasana.
Perkembangan moral anak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana
lingkungan keluarganya. Karenaya, keharmonisan keluarga menjadi sesuatu
hal mutlak untuk diwujudkan, misalnya suasana rumah. Ketika keikhlasan,
kejujuran dan kerjasama kerap diperlihatkan oleh masing-masing anggota
keluarga dalam hidup mereka setiap hari, maka hampir bisa dipastikan hal

yang sama juga akan dilakukan anak bersangkutan.
Sebaliknya, anak akan sangat sulit menumbuhkan dan membiasakan
berbuat dan bertingkah laku baik manakala di dalam lingkungan keluarga
(sebagai ruang sosialasi terdekat, baik fisik maupun psikis) selalu diliputi
dengan pertikaian, pertengkaran, ketidakjujuran, kekerasan, baik dalam
hubungan sesama anggota keluarga ataupun dengan lingkungan sekitar rumah.

3

Demikian pula status sosio – ekonomi.Status sosio-ekonomi, dalam
banyak kasus menjadi sangat dominan pengaruhnya. Ini sekaligus menjadi
latar mengapa anak-anak tersebut memutuskan terjun ke jalanan. Namun
selain faktor tersebut (ekonomi), masih ada penyebab lain yang juga akan
sangat berpengaruh mengapa anak memutuskan tindakannya itu, yakni
peranan lingkungan rumah, khususnya peranan keluarga terhadap
perkembangan nilai-nilai moral anak, dapat disingkat sebagai berikut :
1. Tingkah laku orang di dalam (orangtua, saudara-saudara atau orang lain
yang tinggal serumah) berlaku sebagai suatu model kelakuan bagi anak
melalui peniruan-peniruan yang dapat diamatinya.
2. Melalui pelarangan-pelarangan terhadap perbuatan-perbuatan tidak baik,

anjuran-anjuran untuk dilakukan terus terhadap perbuatan-perbuatan yang
baik misalnya melalui pujian dan hukuman.
3. Melalui hukuman-hukuman yang diberikan dengan tepat terhadap
perbuatan-perbuatan yang kurang baik atau kurang wajar diperlihatkan, si
anak menyadari akan kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan
akibat perbuatan-perbuatannya.
Lingkungan keluarga merupakan aspek yang pertama dan utama dalam
mempengaruhi perkembangan anak. Anak lebih banyak menghabiskan
waktunya di lingkungan keluarga, sehingga keluarga mempunyai peran yang
banyak dalam membentuk perilaku dan kepribadian anak serta memberi
contoh nyata kepada anak.Karena di dalam keluarga, anggota keluarga
bertindak seadanya tanpa dibuat-buat.
Dari keluarga inilah baik dan buruknya perilaku dan kepribadian anak
terbentuk. Walaupun ada juga faktor lain yang mempengaruhi. Orang tua
merupakan contoh yang paling mendasar dalam keluarga. Apabila orang tua
berperilaku kasar dalam keluarga, maka anak cenderung akan meniru. Begitu
juga sebaliknya, orang tua yang berperilaku baik dalam keluarga, maka anak
juga cenderung akan berperilaku baik.

4


Selain faktor lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat
juga berpengaruh dalam perkembangan anak.Sekolah mempunyai peranan
dalam mengembangkan potensi pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
anak, menciptakan budi pekerti yang luhur, membangun solidaritas terhadap
sesama yang tinggi, serta mengembangkan keimanan dan ketakwaan anak
agar menjadi manusia yang beragama dan beramal kebajikan.
Lingkungan masyarakat mempunyai peranan dalam mengembangkan
perilaku dan kepribadian anak. Dalam masyarakat anak bergaul dengan teman
sebayanya maupun yang lebih muda atau bahkan yang lebih tua. Dari
pergaulan inilah anak akan mengetahui bagaimana orang lain berperilaku dan
anak dapat mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
serta anak dapat berpikir dan mencari penyelesaiannya.
Dalam kehidupan masyarakat modern, komunikasi merupakan suatu
kebutuhan yang sangat penting terutama untuk menerima dan menyampaikan
informasi dari satu pihak ke pihak lain. Akibat pengaruh kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi dalam waktu yang sangat singkat, informasiinformasi

tentang


peristiwa-peristiwa,

pesan,

pendapat,

berita,

ilmu

pengetahuan, dan lain sebagainya dengan mudah diterima oleh masyarakat,
sehingga media massa surat kabar, TV,film, radio, majalah, dan lainnya
mempunyai peranan penting dalam proses transformasi nilai-nilai dan normanorma baru kepada masyarakat. Di samping itu, media massa juga
mentransformasikan simbol-simbol atau lambang tertentu dalam suatu konteks
emosional.
Dengan adanya tayangan adegan kekerasan dan adegan-adegan yang
menjurus ke pornografi, ditengarai juga telah banyak berperan menyulut
perilaku agresif remaja, dan menyebabkan terjadinya pergeseran moral
pergaulan, serta meningkatkan terjadinya berbagai pelanggaran norma susila
di media massa, nyaris setiap hari bisa dibaca terjadinya kasus-kasus

perkosaan dan pembunuhan yang menghebohkan karena si pelaku diilhami

5

oleh adegan-adegan porno dan sadis yang pernah ditontonnya di film atau di
tayangan yang lain (J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto 2006 : 96).

C. Hakikat Perkembangan Moral Pada Anak Usia Dini
Kata moral sering kali diperbincangkan di masyarakat kita, dimanapun dan
kapanpun. Sebenarnya apa itu moral?. Lalu sebenarnya apakah perkembangan
moral pada anak usia dini itu?.
Moral berasal dari bahasa latin, yaitu mos yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, cara, tingkah laku dan kelakuan. Selain itu bisa pula diartikan
dengan mores, yang berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan
cara hidup. Pada Bamus besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa secara
bahasa moral berarti ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum
mengenai suatu perbuatan, sikap, kewajiban, dsb.
Menurut Sjarkawi dalam Wiyani (2014:173) secara istilah moral nilai
merupakan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sementara itu Aliah B.

Purwakania Hasan dalam Wiyani (2014: 173) mendefinisikan moral dengan
suatu kapasitas yang dimiliki oleh individu untuk membedakan yang benar
dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan
penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu
ketika melanggar standar tersebut. Lebih lanjut Desmita dalam Wiyani
(2014:173) mengungkapkan bahwa perkembangan moral adalah
perkembangan yang berkaitan dengan atura dan konfesi mengenai apa yang
seharusnya dilakukan oleh individu dalam interaksinya dengan orang lain.
Menurutnya anak-anak pda saat dilahirkan tidak memiliki moral (imoral),
tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan.
Melalui pengalamannya katika berinteraksi dengan orang lain, anak belajar
memahami mengenai perilaku mana yang baik yang boleh dilakukan dan
tingkah laku mana yang buruk yang tidak boleh dilakukan.

6

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa perkembangan moral pada
anak usia dini adalah perubahan psikis pada anak usia dini yang
memungkinkannya dapat mengetahui mana perilaku yang baik yang harus
dilakukan dan mengetahui mana perilaku yang buruk yang harus dihindarinya

berdasarkan norma-morma tertentu. Norma merupakan aturan, kaidah atau
ukuran yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai atau
membandingkan sesuatu. Norma tersebut bisa berasal dari masyarakat
sehingga disebut dengan norma sosial ataupun norma susila, juga bisa berasal
dari agama sehingga bisa disebut norma agama. Itulah sebabnya ketika kita
membicarakan tentang perkembangan moral pada anak usia dini.
Beberapa sikap orang tua yang turut dalam menentukan moral pada anak
usia dini antara lain:
1. Konsistensi Orang Tua dalam Mendidik Anaknya
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam
melarang atau memperbolehkan perilaku tertentu kepada anak. Suatu perilaku
anak yang di larang oleh orang tua pada suatu waktu harus di larang juga jika
anak melakukan lagi di waktu yang lain.
2. Sikap Orang Tua di Lingkungan Keluarga
Sikap orang tua terhadap anak secara tidak langsung dapat mempengaruhi
perkembangan moral dan agama anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi).
Sikap orang tua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin
semu pada anak. Sikap orang tua yang acuh tak acuh, cuek atau masa bodoh
akan cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang
memperdulikan norma yang harus dipatuhi oleh anak. Sikap yang sebaiknya

dimiliki oleh orang tua adalah seperti sikap kasih sayang, keterbukaan,
musyawarah dan kesopanan.
3. Penghayatan dan Pengalaman Agama yang Dianut Orang Tua
Orang tua merupakan teladan atau panutan bagi anaknya, termasuk
panutan bagi anak dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang
menciptakan iklim keluarga yang religius (agamis) dengan cara memberikan
ajaran atau bimbingan tentang nilai-ilai agama pada anak maka akan
menjadikan anak mengalami perkembangan moral dan agama yang optimal.
4. Konsistensi Orang Tua dalam Menerapkan Norma Agama
Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong atau berlaku tidak
jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau
7

tidak jujur. Jika orang tua mengajarkan pada anak untuk berlaku jujur, bertutur
kata yang sopan, bertanggung jawab dan taat beragama, tetapi orang tua
sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami
konflik pada dirinya dan akan menggunakan ketidak konsistenan orang tua
tersebut sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orang
tuanya, bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orang tuanya.
Setidaknya ada 3 aspek yang harus dikembangankan dalam
perkembangan moral pada anak usia dini, antara lain:
1. Aspek Kognitif
Aspek kognitif ini berhubungan dengan kemampuan anak usia dini dalam
mengetahui perilaku yang baik serta perilaku yang buruk berdasarkan ajaran
agamanya. Kemampuan tersebut dapat menjadikan anak memiliki berbagai
pengetahuan tentang kebaikan (knowing the good) sesuai dengan ajaran
agamanya.
2. Aspek Afektif
Aspek afektif ini berhubungan dengan kemampuan anak usia dini dalam
merasakan dan mencintai berbagai perilaku yang baik berdasarkan ajaran
agamanya. Kemampuan tersebut dapat menjadikan anak memiliki kecintaan
terhadap kebaikan (loving the good) sesuai dengan ajaran agamanya.
3. Aspek Perilaku
Aspek perilaku ini berhubungan dengan kemampuan anak usia dini dalam
memilih melakukan perbuatan yang baik serta memilih menghindari perbuatan
yang buruk sesuai dengan peraturan yang didasari ajaran agamanya.
Kemampuan tersebut dapat memotivasi anak untuk konsisten dalam
melakukan kebaikan (acting the good) sesuai dengan peraturan-peraturan yang
diberikan untuknya.
Optimalisasi perkembangan moral pada anak usia dini harus mencangkup
3 aspek diatas. Pendidik PAUD maupun orang tua tidak boleh cenderung pada
salah satu aspek, misalnya cenderung pada aspek kognitif. Kecenderungan
tersebut hanya dapat menjadikan anak usia dini memiliki pengetahuan tentang
berbagai kebaikan tetapi tidak mencintai kebaikan, bahkan enggan melakukan
kebaikan tersebut. Pengembangan moral dan agama pada aspek kognitif,
afektif, maupun perilaku harus berjalan saling beriringan satu sma lain.

8

Terkait dengan perkembangn moral pada anak usia dini, menurut
Kohlberg perkembangan moral mereka berada pada tingkatan yang paling
dasar yang dianamakan dengan penalaran moral pra konvensional. Menurut
Kohlberg dalam Wiyani (2014:181) perkembangan moral yang terjadi pada
anak dipengaruhi oleh berbagai aktivitas anak yang terikat oleh peraturan
orang tua mereka.
D. Tahapan Perkembangan Moral Anak
Selain Piaget, Kohlberg juga menekankan bahwa cara berpikir anak
tentang moral berkembang dalam beberapa tahapan. Kohlberg
menggambarkan 3 (tiga) tingkatan penalaran tentang moral, dan setiap
tingkatannya memiliki 2 (dua) tahapan, yaitu :
1. Morolitas Prakonvensional
Penalaran prakonvensional adalah tingkatan terendah dari penalaran moral,
pada tingkat ini baik dan buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan)
dan punishment (hukuman) eksternal.
a. Tahap satu, Moralitas Heteronom adalah tahap pertama pada tingkatan
penalaran prakonvensional. Pada tahap ini, anak berorientasi pada
kepatuhan dan hukuman, anak berpikir bahwa mereka harus patuh dan
takut terhadap hukuman. Moralitas dari suatu tindakan dinilai atas
dasar akibat fisiknya.
Contoh : “Bersalah” dicubit. Kakak membuat adik menangis, maka
ibu memukul tangan kakak (dalam batas-batas tertentu).
b. Tahap kedua, individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran.
Pada tahap ini, anak berpikir bahwa mementingkan diri sendiri adalah
benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak
berpikir apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan
atau pertukaran yang setara. Jika ia berbuat baik, maka orang juga
harus berbuat baik terhadap dirinya, anak menyesuaikan terhadap
harapan social untuk memperoleh penghargaan.
Contoh : berbuat benar ia dipuji “ pintar sekali”.
2. Moralitas Konvensional

9

Penalaran konvensioanal adalah tingkat kedua atau menengah dalam
tahapan Kohlberg. Pada tahapan ini, individu memberlakukan standar tertentu,
tetapi standar ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya oleh orang tua atau
pemerintah. Moralitas atas dasar persesuaian dengan peraturan untuk
mendapatkan persetujuan orang lain dan untukmempertahankan hubungan
baik dengan mereka.
a. Tahap satu, ekspektasi interpersonal, hubungan dengan orang lain,
pada tahap ini anak menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan
terhadap orang lain sebagai dasar penilaian moral. Pada tahap ini,
seseorang menyesuaiakan dengan peraturan untuk mendapatkan
persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan baik
dengan mereka.
Contoh adalah mengembalikan krayon ketempat semula sesudah
digunakan (nilai moral = tanggung jawab).
b. Tahap kedua, moralitas system social, pada tahap ini penilaian moral
didasari oleh pemahaman tentang keteraturan dimasyarakat, hukum,
keadilan, dan kewajiban. Seseorang yakin bahwa bila kelompok social
menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh kelompok, maka mereka
harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari keamanan
dan ketidaksetujuan social. Contohnya adalah bersama-sama
membersihkan kelas, semua anggota kelompok wajib membawa alat
kebersihan (nilai moral = gotong royong).
3. Moralitas Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional merupakan tahapan tertinggi dalam tahapan
moral Kohlberg, pada tahap ini seseorang menyadari adanya jalur moral
alternative, dapat memberikan pilihan, dan memutuskan bersama tentang
peraturan, dan moralitas didasari pada prinsip-prinsip yang diterima sendiri.Ini
mengarah pada moralitas sesungguhnya, tidak perlu disuruh karena
merupakan kesadaran dari diri orang tersebut.
a. Tahap satu, hak individu, pada tahap ini individu menalar bahwa nilai,
hak, dan prinsip lebih utama. Seseorang perlu keluwesan dalam ‘?
adanya modifikasi dan perubahan standar moral apabila itu dapat
menguntungkan kelompok secara keseluruhan.

10

Contoh pada tahun ajaran baru sekolah memperkenankan orangtua
menunggu anaknya selama lebih kuarang satu minggu, setelah itu
anak harus berani ditinggal.
b. Tahap kedua, prinsip universal pada tahap ini, seseorang
menyesuaikan dengan standar social dan cita-cita internal terutama
untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan
untuk menghindari kecaman social (orang yang tetap
mempertahankan moralitas tanpa takut dari kecaman orang lain).
Contohnya adalah anak secara sadar merapikan kamar tidurnya segera
setelah ia bangun tidur dengan harapan agar kamarnya terlihat selalu
dalam keadaaan

11