BAB III JAMINAN HAK ASASI MANUSIA DALAM
DALAM PERKAWINAN
A. Jaminan Hak Asasi Manusia dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Hukum perkawinan yang berlaku saat ini di Indonesia adalah Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak terlepas dari pengalaman pancasila yang menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional perlu adanya undang-undang tentang perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Berlakunya Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974, maka semua perundang-undangan tentang perkawinan yang ada sebelum tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku sejauh telah diatur materinya dalam Undang-Undang tersebut. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 66 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974.
Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 terkandung prinsip dan jaminan hak asasi manusia dalam perkawinan sebelum dirumuskan jaminan hak-hak asasi manusia menurut undang-undang tersebut terlebih dahulu penyusun uraikan mengenai pokok-pokok esensial yang ada dalam Undang-Undang
(2)
Nomor 1 Tahun 1974 yang ada korelasinya dengan jaminan hak-hak asasi manusia.
Hakikat perkawinan bagi bangsa Indonesia pada dasarnya merupakan perwujudan dari pengamalan pancasila. Lebih jauh hakikat perkawinan bagi bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perwujudan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hakikat perkawinan dapat dilihat dalam penjelasan umum Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dan dari pengertian perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 undang-undang tersebut. Pasal 1 berbunyi: perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Penjelasan pasal 1 berbunyi: sebagai negara yang berdasarkan pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir / jasmani, tetapi unsur batin / rohani juga mempunyai peranan yang penting.
Sebelum merumuskan jaminan hak asasi manusia dalam perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974, terlebih dahulu penyusun uraikan mengenai prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut:
1
S. Sapto Ajie ed, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Dengan
(3)
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
2. Agama menentukan sahnya perkawinan. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Namun undang-undang mengizinkan bagi suami untuk beristri lebih dari seorang dengan syarat hukum agama yang bersangkutan mengizinkan dengan syarat-syarat tertentu yang diterima dan diputuskan oleh pengadilan.
4. Calon suami istri harus sudah masak jiwa raganya, untuk itu ditentukan batas minimal umur untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
5. Mempersukar terjadinya perceraian. Untuk melaksanakan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan. 6. Letak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Hak dan kedudukan suami istri itu seimbang, dengan
(4)
demikian sesuatu dalam keluarga dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.2
Sesuai dengan ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Jadi dari pasal tersebut dapat ditarik sebuah landasan yuridis perkawinan nasional, yaitu:
1. Dilakukan menurut hukum agamanya, dan
2. Dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan sah agar dapat dilaksanakan, harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditegaskan dalam pasal 6 undang-undang perkawinan dan ditindaklanjuti oleh hukum Islam. Adapun rukun dan syarat perkawinan adalah:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Syarat usia mempelai untuk melangsungkan perkawinan harus sudah
dewasa, wanita umur 16 tahun dan pria umur 19 tahun. (pasal 15 Kompilasi Hukum Islam).
3. Tidak diperbolehkan kawin paksa (pasal 16-17 Kompilasi Hukum Islam). 4. Tidak diperkenankan untuk mempermudah kewenangan wali hakim harus
lebih dahulu ada putusan Pengadilan Agama. 5. Adanya ijab kabul.3
Rukun dan syarat tersebut di atas di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 38.
2
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia, Serang: Saudara, 1995, hlm. 26-27.
3
(5)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijumpai beberapa pasal yang melarang melangsungkan perkawinan, hal ini termuat dalam pasal 8, 9 dan 10. Adapun larangan perkawinan tersebut dapat digolongkan menjadi 7 macam, yaitu:
1. Karena adanya hubungan nasab/ darah (pasal 8a, b). 2. Karena adanya hubungan semenda (pasal 8c) 3. Karena adanya hubungan susuan (pasal 8d)
4. Karena hubungan dalam perkawinan poligami (pasal 8e) 5. Karena larangan agama (pasal 8f)
6. Karena masih terikat dalam perkawinan (pasal 9) 7. Karena bercerai kedua kali (pasal 10).4
Lebih lanjut larangan perkawinan diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 39 sampai dengan pasal 44.
Undang-undang perkawinan juga memberikan peluang kepada para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah satu seorang calon mempelai, pihak yang berkepentingan, suami atau istri, pejabat yang ditunjuk, dapat mencegah perkawinan, apabila ada pihak-pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.5 Hal ini diatur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 16.
4
S. Sapto Ajie ed, op.cit., hlm. 5. 5
(6)
Undang-Undang perkawinan juga terdapat pasal yang mengatur masalah pembatalan perkawinan. Adapun yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 23 sampai dengan pasal 27, yaitu:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri. 2. Suami atau istri.
3. Pejabat yang berwenang. 4. Pejabat yang ditunjuk. 5. Jaksa.6
Pada pasal 30 sampai dengan 34, dalam undang-undang perkawinan mengatur hal dan kewajiban suami istri. Dalam pasal 31, hak dan kewajiban suami istri seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bermasyarakat. Pasal tersebut juga membedakan kedudukan antara suami dan istri. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Kewajiban suami istri di atas dalam pasal 34. adapun kewajiban suami adalah melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Pasal 39 sampai dengan pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang perceraian dan akibatnya. Cerai talak hanya khusus untuk yang beragama Islam dan hanya dapat dilakukan oleh suami. Sedangkan istri hanya punya peluang untuk melakukan perceraian lewat cerai gugat. Dan cerai gugat juga dapat dilakukan oleh suami.
6
(7)
Demikian uraian mengenai beberapa hal yang bisa dijadikan dasar-dasar rumusan jaminan hak-hak asasi manusia dalam hukum perkawinan. Sebagaimana uraian di atas, bahwa landasan filosofis adanya undang-undang tersebut tidak dapat dilepaskan dengan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Beberapa hal yang bisa penyusun rumuskan dari penjelasan diatas mengenai jaminan hak asasi manusia dalam hukum perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, adalah:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahu 1974 menjamin hak asasi manusia dalam hukum perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannnya itu. Ini berarti bahwa seseorang bebas dan dijamin dalam memilih pasangan dan menikah asal tidak bertentangan dengan agama, yaitu harus satu agama. Hal ini dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1).
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjamin seseorang yang akan melangsungkan pernikahan tanpa ada paksaan. Dengan demikian, Undang-Undang tersebut hanya menjamin perkawinan yang sesuai dengan syarat-syarat perkawinan yaitu kedua calon mempelai. Ini terdapat dalam pasal 6. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjamin kepada seseorang untuk
membentuk rumah tangga dengan warga negara sendiri maupun kewarganegaraan asing. Semua itu harus sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku yaitu setiap perkawinan harus dicatatkan pada pegawai pencatat nikah. Hal ini dijelaskan dalam pasal 2 ayat (2).
(8)
B. Jaminan Hak Asasi Manusia dalam Perkawinan Menurut Universal Declaration of Human Rights.
Masalah perkawinan atau keluarga merupakan perhatian tersendiri di dalam universal declaration of human rights. Hal ini tertuang di dalam pasal 16 yang berbunyi:
1. Laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa pembatasan apapun menurut ras, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan membentuk suatu keluarga. Mereka berhak atas hak-hak yang sama pada saat pernikahan, selama pernikahan dan saat perceraian.
2. Pernikahan hanya boleh dilakukan dengan sukarela dan kesepakatan bulat dari kedua mempelai.
3. Keluarga merupakan unit kelompok masyarakat yang alami; dan mendasar, dan berhak atas perlindungan dari masyarakat maupun negara.
Pasal 16 ini memerlukan tindakan positif di pihak negara-negara anggota PBB. Pasal ini memberikan hak pada laki-laki dan perempuan untuk melaksankan perkawinan atau berumah tangga. Dengan demikian tidak ada paksaan yang dibolehkan untuk mencegah perkawinan itu dan tidak ada penghalang yang legal dalam bentuk diskriminasi.
Pada ayat pertama, mengandung pengertian bahwa perkawinan hanya diperbolehkan untuk orang (laki-laki maupun perempuan) yang dewasa. Adapun batasan dewasa di sini disesuaikan dengan aturan masing-masing negara yang menganut pasal ini. Dalam hal ini, jika syarat dewasa sudah terpenuhi, maka tidak boleh ras, kebangsaan dan agama ikut mengatur
(9)
perkawinan tersebut. Pada bagian berikutnya, pada ayat yang sama mengandung pengertian, bahwa kedudukan suami istri selama perkawinan dan pada waktu perceraian adalah sama sejajar. Dengan demikian baik suami maupun istri, masing-masing berhak untuk menceraikan pasangannya.
Pada ayat kedua pasal 16 Universal Declaration of Human Rights mengandung pengertian sebuah syarat perkawinan yang harus dipenuhi yaitu persetujuan yang bebas dan penuh dari kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi dalam hukum perkawinan menurut pasal 16 ini, hanya ada dua syarat yang harus dipenuhi jika akan melakukan perkawinan yaitu:
1. Calon mempelai harus sudah dewasa. Batasan dewasa disesuaikan masing-masing negara yang menganut pasal ini.
2. Adanya persetujuan yang bebas dari kedua calon mempelai atas dasar suka sama suka, tanpa dibatasi ras, kebangsaan maupun agama.
Jika dua syarat tersebut telah terpenuhi, maka perkawinan tersebut sudah sah menurut pasal ini. Dan tidak ada yang boleh menghalangi, mencegah atau membatalkan perkawinan tersebut.
Ayat ketiga, mengandung pengertian bahwa masyarakat yang alami dibentuk dari sebuah keluarga dengan kata lain keluarga merupakan bagian/ unit dari masyarakat. Bagaimanapun bentuk sebuah keluarga, masyarakat dan negara harus melindunginya.
Demikian pengertian dan prinsip-prinsip hak asasi yang terdapat dalam pasal 16 Universal Declaration of Human Rights, yang menurut hemat
(10)
penyusun di dalamnya termuat jaminan hak-hak asasi manusia dalam perkawinan. Jaminan hak-hak asasi manusia menurut pasal tersebut adalah: 1. Jaminan hak-hak asasi manusia untuk menikah dan membentuk keluarga.
Jika pernikahan tersebut telah memenuhi syarat sesuai pasal 16 ayat (1) yaitu orang yang melakukan pernikahan harus sudah dewasa. Pasal tersebut juga memberikan klaim bahwa pernikahan merupakan hak asasi setiap manusia, artinya semua manusia mempunyai hak untuk menikah tanpa ada penghalang yang boleh untuk menghalanginya, baik ras, kewarganegaraan maupun agama, dan juga memberikan jaminan hak asasi yang sama atau sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan maupun dalam perceraian.
2. Pada pasal 16 ayat (2) memberikan jaminan kepada kedua calon mempelai untuk melaksanakan perkawinan tanpa ada paksaan atau atas dasar sukarela dan kesepakatan bulat.
3. Jaminan hak asasi yang diberikan oleh pasal 16 ayat (3) untuk keluarga adalah jaminan akan hak dan perlindungan dan pengakuan keluarga, oleh negara dan masyarakat.
(1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijumpai beberapa pasal yang melarang melangsungkan perkawinan, hal ini termuat dalam pasal 8, 9 dan 10. Adapun larangan perkawinan tersebut dapat digolongkan menjadi 7 macam, yaitu:
1. Karena adanya hubungan nasab/ darah (pasal 8a, b). 2. Karena adanya hubungan semenda (pasal 8c) 3. Karena adanya hubungan susuan (pasal 8d)
4. Karena hubungan dalam perkawinan poligami (pasal 8e) 5. Karena larangan agama (pasal 8f)
6. Karena masih terikat dalam perkawinan (pasal 9) 7. Karena bercerai kedua kali (pasal 10).4
Lebih lanjut larangan perkawinan diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 39 sampai dengan pasal 44.
Undang-undang perkawinan juga memberikan peluang kepada para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah satu seorang calon mempelai, pihak yang berkepentingan, suami atau istri, pejabat yang ditunjuk, dapat mencegah perkawinan, apabila ada pihak-pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.5 Hal ini diatur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 16.
4
S. Sapto Ajie ed, op.cit., hlm. 5. 5
(2)
Undang-Undang perkawinan juga terdapat pasal yang mengatur masalah pembatalan perkawinan. Adapun yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 23 sampai dengan pasal 27, yaitu:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri. 2. Suami atau istri.
3. Pejabat yang berwenang. 4. Pejabat yang ditunjuk. 5. Jaksa.6
Pada pasal 30 sampai dengan 34, dalam undang-undang perkawinan mengatur hal dan kewajiban suami istri. Dalam pasal 31, hak dan kewajiban suami istri seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bermasyarakat. Pasal tersebut juga membedakan kedudukan antara suami dan istri. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Kewajiban suami istri di atas dalam pasal 34. adapun kewajiban suami adalah melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Pasal 39 sampai dengan pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang perceraian dan akibatnya. Cerai talak hanya khusus untuk yang beragama Islam dan hanya dapat dilakukan oleh suami. Sedangkan istri hanya punya peluang untuk melakukan perceraian lewat cerai gugat. Dan cerai gugat juga dapat dilakukan oleh suami.
6
(3)
Demikian uraian mengenai beberapa hal yang bisa dijadikan dasar-dasar rumusan jaminan hak-hak asasi manusia dalam hukum perkawinan. Sebagaimana uraian di atas, bahwa landasan filosofis adanya undang-undang tersebut tidak dapat dilepaskan dengan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Beberapa hal yang bisa penyusun rumuskan dari penjelasan diatas mengenai jaminan hak asasi manusia dalam hukum perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, adalah:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahu 1974 menjamin hak asasi manusia dalam hukum perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannnya itu. Ini berarti bahwa seseorang bebas dan dijamin dalam memilih pasangan dan menikah asal tidak bertentangan dengan agama, yaitu harus satu agama. Hal ini dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1).
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjamin seseorang yang akan melangsungkan pernikahan tanpa ada paksaan. Dengan demikian, Undang-Undang tersebut hanya menjamin perkawinan yang sesuai dengan syarat-syarat perkawinan yaitu kedua calon mempelai. Ini terdapat dalam pasal 6. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjamin kepada seseorang untuk
membentuk rumah tangga dengan warga negara sendiri maupun kewarganegaraan asing. Semua itu harus sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku yaitu setiap perkawinan harus dicatatkan pada pegawai pencatat nikah. Hal ini dijelaskan dalam pasal 2 ayat (2).
(4)
B. Jaminan Hak Asasi Manusia dalam Perkawinan Menurut Universal Declaration of Human Rights.
Masalah perkawinan atau keluarga merupakan perhatian tersendiri di dalam universal declaration of human rights. Hal ini tertuang di dalam pasal 16 yang berbunyi:
1. Laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa pembatasan apapun menurut ras, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan membentuk suatu keluarga. Mereka berhak atas hak-hak yang sama pada saat pernikahan, selama pernikahan dan saat perceraian.
2. Pernikahan hanya boleh dilakukan dengan sukarela dan kesepakatan bulat dari kedua mempelai.
3. Keluarga merupakan unit kelompok masyarakat yang alami; dan mendasar, dan berhak atas perlindungan dari masyarakat maupun negara.
Pasal 16 ini memerlukan tindakan positif di pihak negara-negara anggota PBB. Pasal ini memberikan hak pada laki-laki dan perempuan untuk melaksankan perkawinan atau berumah tangga. Dengan demikian tidak ada paksaan yang dibolehkan untuk mencegah perkawinan itu dan tidak ada penghalang yang legal dalam bentuk diskriminasi.
Pada ayat pertama, mengandung pengertian bahwa perkawinan hanya diperbolehkan untuk orang (laki-laki maupun perempuan) yang dewasa. Adapun batasan dewasa di sini disesuaikan dengan aturan masing-masing negara yang menganut pasal ini. Dalam hal ini, jika syarat dewasa sudah terpenuhi, maka tidak boleh ras, kebangsaan dan agama ikut mengatur
(5)
perkawinan tersebut. Pada bagian berikutnya, pada ayat yang sama mengandung pengertian, bahwa kedudukan suami istri selama perkawinan dan pada waktu perceraian adalah sama sejajar. Dengan demikian baik suami maupun istri, masing-masing berhak untuk menceraikan pasangannya.
Pada ayat kedua pasal 16 Universal Declaration of Human Rights mengandung pengertian sebuah syarat perkawinan yang harus dipenuhi yaitu persetujuan yang bebas dan penuh dari kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi dalam hukum perkawinan menurut pasal 16 ini, hanya ada dua syarat yang harus dipenuhi jika akan melakukan perkawinan yaitu:
1. Calon mempelai harus sudah dewasa. Batasan dewasa disesuaikan masing-masing negara yang menganut pasal ini.
2. Adanya persetujuan yang bebas dari kedua calon mempelai atas dasar suka sama suka, tanpa dibatasi ras, kebangsaan maupun agama.
Jika dua syarat tersebut telah terpenuhi, maka perkawinan tersebut sudah sah menurut pasal ini. Dan tidak ada yang boleh menghalangi, mencegah atau membatalkan perkawinan tersebut.
Ayat ketiga, mengandung pengertian bahwa masyarakat yang alami dibentuk dari sebuah keluarga dengan kata lain keluarga merupakan bagian/ unit dari masyarakat. Bagaimanapun bentuk sebuah keluarga, masyarakat dan negara harus melindunginya.
Demikian pengertian dan prinsip-prinsip hak asasi yang terdapat dalam pasal 16 Universal Declaration of Human Rights, yang menurut hemat
(6)
penyusun di dalamnya termuat jaminan hak-hak asasi manusia dalam perkawinan. Jaminan hak-hak asasi manusia menurut pasal tersebut adalah: 1. Jaminan hak-hak asasi manusia untuk menikah dan membentuk keluarga.
Jika pernikahan tersebut telah memenuhi syarat sesuai pasal 16 ayat (1) yaitu orang yang melakukan pernikahan harus sudah dewasa. Pasal tersebut juga memberikan klaim bahwa pernikahan merupakan hak asasi setiap manusia, artinya semua manusia mempunyai hak untuk menikah tanpa ada penghalang yang boleh untuk menghalanginya, baik ras, kewarganegaraan maupun agama, dan juga memberikan jaminan hak asasi yang sama atau sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan maupun dalam perceraian.
2. Pada pasal 16 ayat (2) memberikan jaminan kepada kedua calon mempelai untuk melaksanakan perkawinan tanpa ada paksaan atau atas dasar sukarela dan kesepakatan bulat.
3. Jaminan hak asasi yang diberikan oleh pasal 16 ayat (3) untuk keluarga adalah jaminan akan hak dan perlindungan dan pengakuan keluarga, oleh negara dan masyarakat.