21 2008 sebesar 96,40 persen, ternyata hanya bisa dicapai sebesar 83,87 persen,
atau minus sebesar 12,53 poin persen. Dengan kata lain, masih ada gap antara target dengan pencapaian.
Angka absolutnya, dari jumlah total anak usia 7-15 tahun tahun 2008 sebanyak 409.694 orang sebagaimana telah disajikan dalam bab
sebelumnya, hampir 30.000 anak diantaranya ternyata belum bisa tersentuh dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang digulirkan pemerintah
Kabupaten Cianjur selama ini. Dan sesuai dengan hasil kajian, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besarnya - kalaupun tidak sampai seluruhnya-
dari mereka yang belum tersentuh itu kebijakan itu adalah anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks.
Itu semua menunjukan bahwa dari banyak aspeknya, target yang dibuat oleh Kabupaten Cianjur seperti telah dibahas dalam uraian
sebelumnya menjadi tidak achievable dan bahkan tidak realistik jika dikaitkan dengan kemampuan dan kondisi riel pemerintah Kabupaten
Cianjur dalam melakukan langkah intervensinya. Tegasnya, terget itu dibuat dan ditetapkan lebih banyak berdasarkan kepada upaya untuk mengejar
besarnya target yang telah ditentukan pemerintah provinsi, bahkan mungkiun kepentingan politik ketimbang pertimbangan riel di lapangan.
b. Beberapa Faktor Penyebab Tidak Tercapainya Target
Banyak faktor bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya target tersebut. Tidak saja karena menyangkut lemahnya tugas dan fungsi
koordinasi dari Tim Wajar Dikdas yang telah dibentuk, atau karena kurangnya sosialisasi serta kurang akuratnya sasaran yang menjadi target
22 kebijakan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tetapi secara substantif,
program-program yang digulirkannya itu sendiri ternyata belum sepenuhnya bisa menjawab dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan riel yang dihadapi
anak dari keluarga miskin. Dari upaya peningkatan daya tampung sekolah yang dilakukan
pemerintah ternyata sangat tidak sebanding dengan besarnya laju pertambahan penduduk usia Wajar Dikdas 9 tahun 7-15 tahun sebagai
akibat dari tinnginya laju pertumbuhan penduduk. Persisnya, seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya, rata-rata penambahan jumlah anak usia
wajar Dikdas 9 tahun, anak usia 7-15 tahun, setiap tahunnya bertambah sebanyak 7.586 anak. Padalah pemerintah melalui penambahan ruang kelas
baru RKB dan unit sekolah baru USB, rata-rata setiap tahunnya hanya bisa menampung sebanyak 3.624 anak, atau hanya sekitar 47,7 persen dari
kebutuhan. Fakta itu sekaligus juga menunjukan bahwa meskipun target
pencapaian Wajar Dikdas 9 Tahun sebagaimana yang telah ditetapkan dan dibahas di atas tidakterlalu tinggi, bahkan masih berada di bawah rata-rata
pencapaian empat tahun sebelumnya, namun jika dibandingkan dengan kemampuan pemerintah untuk melayaninya, sebut pula kemampuan
pemerintah untuk meningkatkan daya tampung sekolahnya, maka penentuan target itu menjadi sangat tidak realistik. Dengan kata lain, ada inkonsistensi
antara kebijakan yang dibuat dengan implementasinya, antara rumusan dengan implementasinya. Tegasnya, ada gap atau diskrepansi antara
pelayanan yang disediakan dengan tuntutan masyarakat.
23 Itulah faktor yang selama ini menjadi salah satu penyebab banyak
anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung dalam jalur pendidikan dasar formal. Itulah pula yang menjadi salah satu alasan mengapa jalur
pendidikan non formal dan jalur pendidikan formal non reguler menjadi salah satu alternatif strategis, bahkan menjadi satu-satunya pilihan, dan
karenanya cenderung meningkat sebagaimana bisa dilihat dalam tabel di atas. Itu pun, dalam realitasnya, tidak seluruh anak dari keluarga miskin,
karena berbagai alasannya, tetap masih tidak bisa mengaksesnya. Di pihak lain, meskipun selama ini juga tidak sedikit upaya yang
telah dilakukan pemerintah dalam rangka meringankan beban anak dari keluarga miskin melalui pemberian berbagai bantuan seperti BOS, Beasiswa
Miskin BSM dan sejenisnya, namun dari hasil penelitian terungkap bahwa besarnya jumlah bantuan itu ternyata masih jauh dari kebutuhan dan
karenanya belum bisa menjawab sepenuhnya masalah yang dihadapi anak dari keluarga miskin.
Masalah lainnya, meskipun ada pos atau bagian dari dana BOS yang mestinya diberikan kepada anak dari keluarga miskin untuk membantu biaya
transportasi yang memang sangat membutuhkannya, misalnya, namun tidak banyak sekolah yang bisa melakukannya karena sebagian besarnya habis
untuk mendanai operasional sekolah. Padahal dari hasil penelitian terungkap, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa drop out
karena masalah besar atau mahalnya biaya transportasi ini. Demikian halnya dengan sumber bantuan yang diberikan dalam
bentuk program yang disebut dengan ”Bantuan Siswa Miskin” atau BSM,
24 selain jumlah kuota yang diberikan oleh pemerintah jauh lebih sedikit
dibanding dengan jumlah anak miskin yang perlu mendapat bantuan – dan karenanya ada gap. Sekedar gambaran, dari jumlah siswa miskin tingkat SD
yang diajukan untuk mendapatkan BSM pada tahun 2008 sebesar 15.725 anak, yang bisa dipenuhi tingkat provisnsi hanya sebanyak 7.832 anak, atau
sekitar 50 persen dari kebutuhan. Parahnya, karena keterbatasan yang dimilikinya, kekurangan itu belum bisa dipenuhi oleh dukungan anggaran
yang khusus disediakan pemerintah daerah. Masalah lainnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa
pengelolaannya pun, sebagian besarnya, tidak langsung diberikan kepada anak melainkan dilakukan oleh sekolah dengan alasan bahwa kalau
diberikan kepada anak, dikhawatirkan tidak digunakan untuk membiayai kebutuhan pendidikannya. Yang memprihatinkan, dari hasil penelitian
terungkap bahwa ketika dana itu dikelola oleh pihak sekolah pun, sebutlah dibelikan untuk pakaian seragam atau buku tulis, banyak murid dan orang
tua yang mengeluh kalau bentuk-bentuk bantuan yang diberikan sekolah itu tidak selamanya sesuai dengan kebutuhan riel pendidikan yang dirasakan
anak dari keluarga miskin. Terbatasnya dukungan anggaran yang diberikan pemerintah dalam
mendukung program akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun ini merupakan persoalan tersendiri yang bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya
target. Sebagaimana secara deskriptif telah disajikan dalam bab sebelumnya, kendatipun besaran jumlah anggaran untuk mendukung program Wajar
Dikdas 9 tahun ini mengalami peningkatan dari Rp. 19,9 Milyar pada tahun
25 2004 menjadi 62,6 milyar pada tahun 2008, namun sebagian besarnya lebih
banyak digunakan untuk pembangunan fisik berupa rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru, termasuk pembangunan unit sekolah baru.
Itu pun sebagian besarnya merupakan bantuan anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat DAK dan sumber anggaran provinsi Jawa Barat
Rolesharing. Sebaliknya, dukungan anggaran untuk Wajar Dikdas 9 tahun yang
disediakan pemetrintah Kabupaten Cianjur justeru mengalami penurunan dari Rp. 19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya Rp. 14,4 milyar pada
tahun 2008. Itupun penggunaan anggarannya bukan diperuntukan untuk mendanai program-program yang secara langsung bisa membantu
pendidikan anak dari keluarga miskin karena seagian besarnya diperuntukan untuk mendukung pelaksanaan Wajar Dikdas secara umum. Bahkan dari
hasil kajian terungkap, tidak ada dukungan anggaran yang disediakan itu yang secara khusus dan langsung diperuntukan dalam rangka membantu
meringankan biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. Dilihat dari aspek supply side-nya, singkatnya, walaupun selama ini
telah banyak program dilakukan pemerintah dalam rangka membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, namun
karena keterbatasan bantuan yang diberikannya, atau karena kekeliruan dalam mengelolanya, semua program itu belum mampu menjawab persoalan
pendidikan yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Dengan kata lain, masih ada gap atau diskrepansi antara layanan yang diberikan pemerintah
dengan tuntutan riel anak dari keluarga miskin.
26
C. Kajian Terhadap Anak dari Keluarga Miskin yang Tidak Bisa