KEDUDUKAN HUKUM KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN

ABSTRAK
KEDUDUKAN HUKUM
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN
Oleh
BERRY PRATAMA .S

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui alasan pencantuman kembali
Ketetapan MPR sebagai salah satu sumber hukum dalam tata uturan peraturan
perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, serta mengetahui alasan Kedudukan Ketetapan
MPR ditempatkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang di bawah
UUD Tahun 1945 dan di atas undang-undang. Jenis penelitian yang dilakukan
adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan normatif
analitis substansi hukum (approach of legal content analysis). Pengumpulan data
dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa,
Pertama alasan pencantuman kembali Ketetapan MPR sebagai sumber hukum
dalam tata uturan peraturan perundang-undangan dalam UU No.12 Tahun 2011:
a) Jaminan kepastian hukum terhadap Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR
No.I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun
2002; b) Sebagai konsekuensi hukum yang jelas terhadap 8 (delapan) Ketetapan
MPRS/MPR yang hingga saat ini masih berlaku. Kedua Kedudukan Ketetapan
MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan diposisikan berada di bawah
UUD 1945 dan di atas undang-undang berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011,
karena masih terdapat beberapa Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku dan
harus dijadikan sebagai salah satu sumber hukum materiil bagi peraturan
perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR itu sendiri, hal ini terkait dengan
penggolongan ketetapan MPRS/MPR pada Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor
I/MPR/2003 dimana dalam pasal ini ketetapan-ketetapan MPRS/MPR dinyatakan
tetap berlaku sampai terbentuknya sebuah undang-undang sebagai pengganti
ketetapan-ketetapan MPRS/MPR tersebut. Dengan ini jelas bahwa posisi
Ketetapan MPR berada di bawah UUD Tahun 1945 dan di atas undang-undang.

KEDUDUKAN HUKUM
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN

Oleh


BERRY PRATAMA .S

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan
Pendidikan Strata Satu
Pada
Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturaja pada tanggal 11 Desember 1989.
Anak Pertama buah cinta dari pasangan Ayahanda Suhaimi dan
Ibunda Rosmala Dewi. Jenjang Pendidikan penulis dimulai pada
Sekolah Dasar Pertiwi Teladan, Kota Metro diselesaikan tahun 2002. Selanjutnya

penulis melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Lanjut Tingkat Pertama
(SLTP) di SLTP Negeri 2 Metro selesai tahun 2005. Setelah itu melanjutkan ke
Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Kartikatama Metro pada
tahun 2008.
Pada

tahun

2008

penulis

diterima

dan

terdaftar

sebagai


mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2011,
Penulis

mengikuti

program

pengabdian

kepada

masyarakat

yaitu

Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Pancamarga Kecamatan Gunung Terang
Kabupaten Tulang Bawang Barat selama 40 hari. Selama menjadi mahasiswa
penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di Anggota Muda Dewan

Perwakilan

Mahasiswa

Universitas

(Amud.DPMU),

Dewan

Perwakilan

Mahasiswa Fakultas Hukum (DPMFH) Masa Bakti 2009-2010, Perhimpunan
Mahasiswa Hukum Untuk Seni (PERSIKUSI) Masa Bakti 2010-2011,
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEMFH) Masa Bakti 2010-2011,
Himpunan Mahasiwa Hukum Tata Negara (HIMAHTN) Masa Bakti 2010-2011.

MOTTO
““Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu Sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”

(Al-Baqarah: 153)

Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan
selama ada komitmen untuk menyelesaikannya.
( Berry Pratama .S )

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati kupersembahkan karya kecilku ini kepada:
Kedua Orang Tuaku
Terimakasih Untuk Semua Kasih Sayang dan Pengorbanannya Sehingga Aku
Bisa Menjadi Orang Yang Berhasil

Adik Kandungku, Bibi-bibiku, Paman-pamanku, Kakak-kakak Sepupuku, Serta
Adik-adik Sepupuku
Tumbuh Bersama Dalam Suatu Ikatan Keluarga Membuatku Semakin Yakin
Bahwa Merekalah Yang Akan Membantuku Di Saat Susah Maupun Senang

Seluruh Keluarga Besar
Selalu Memotivasi, Doa dan Perhatian Sehingga Aku Lebih Yakin Dalam

Menjalani Hidup Ini

Almamater Universitas Lampung
Tempat Aku Menimba Ilmu, Disinilah Aku Mendapatkan Ilmu Serta Pengetahuan
Dan Tentunya Proses Pencapaian Yang Sangat Menggembirakan

Serta Untuk Seseorang Yang Kelak akan Mendampingiku Setiap Langkah Hidup,
Tempat Curahan Hati, Menikmati Kesuksesan Yang Aku Dapat
(yang sampai saat ini masih menjadi rahasia ALLAH)

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu
Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah

SWT,

sebab

hanya


dengan

kehendaknya

maka

penulis

dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Kedudukan Hukum Ketetapan
Majelis

Permusyawaratan

Rakyat

Dalam


Hierarki

Peraturan

Perundang-undangan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun
penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi substansi maupun
penulisannya. Oleh karena itu, berbagai saran, koreksi, dan kritik yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini. Penulis menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri
akan tetapi berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril
maupun materiil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.
Bandar Lampung, 12 November 2013
Penulis,

Berry Pratama .S

SANWACANA
Penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan rasa terima kasih yang tulus

kepada :
1.

Ayahanda Suhaimi dan Ibunda Rosmala Dewi tercinta, serta Adikku Robbyul
Dwi Darmawan .S, terima kasih atas semua doa, dukungan, dan semangat
serta pengorbanannya;

2.

Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing I (satu) yang telah
banyak membantu dalam perbaikan skripsi ini agar lebih baik. Terima kasih
atas kebaikan hati, kesabaran, dan waktu yang telah diberikan untuk
membimbing penulis;

3.

Bapak Muhtadi, S.H.,M.H. selaku Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus Pembimbing II (dua) yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan saran, bimbingan dan bantuan
yang sangat berarti dalam penulisan skripsi ini;


4.

Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;

5.

Bapak Yusdiyanto, S.H., M.H. yang telah meluangkan waktu untuk memberi
saran, bantuan, dan masukan serta meminjamkan banyak referensi buku
kepada penulis untuk penulisan skripsi ini;

6.

Bapak Rudi, S.H., LL.M. LL.D Selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara
yang telah banyak memberikan saran dan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;

7.

Ibu Yulia Neta, S.H.,M.H. selaku Pembahas I (satu) atas kesediaannya untuk
membantu, mengarahkan, dan memberi masukan agar terselesaikannya
skripsi ini;

8.

Bapak Zulkarnain Ridwan, S.H.,M.H. selaku pembahas II (dua) yang telah
memberikan waktu, masukan, dan kritik dalam penulisan skripsi ini;

9.

Ibu Kingkin Wahyuningdiah, S.H., M.H. yang sudah menjadi pembimbing
akademik penulis;

10. Pak Marji, Mas Pendi dan Mas Jarwo yang telah menyemangati, memberi
saran, dan masukan kepada penulis;
11. Seluruh Dosen

Fakultas

Hukum Universitas

Lampung yang telah

memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis, serta kepada seluruh staf
administrasi Fakultas Hukum Universitas Lampung;
12. Pakwo, Makwo, Wak Rus, Wak Kom, Wak Amir, Bu Heni, Wak Ita, Bunda,
Wak Minak Ngatur, Wak Nanggem, Pipin, Kanjeng Fitri, Abang Risky,
Uni Mega, Kiyai Mardi, Itah Madya, Abang Matsin, Abang Murni, Mulia,
Kiyai Setuju, Uni Nur, Itah Erna, Abang Lihin, Cak Epi, Yuk Ya, Teteh Elok,
Kiyai Andri, Cik Santi, Kiyai Medi, Kiyai Hendrik, Kak Hendra, Kak Iwan,
Kiyai Rio, Kak Tiar, Cik Risky, Adek Okta, Wo Puteri, Adek Atih,
Abang Habibi terima kasih atas semua doa, dukungan, dan semangatnya;
13. Fajar, Bima, Riga, Nisa, Rini, Ayu yang telah memberikan doa dan
dukungannya, you are the best friend;
14. Rekan-rekan Fakultas Hukum Dandy, Abdi, Hendri, Ike, Boim, Ahadi,
Bambang, Devi, Rendi, Ferdi, Herdi, Alvin, Febri, Santog, Bachrul, Anda,
Erik, Rio, Linda, Iped, Riki Corang, dan masih banyak yang lainnya yang

todak dapat saya sebutkan satu persatu terima kasih atas semua doa dan
semangatnya;
15. Rekan-rekan Kost Comando 25 Merwanto, Ari, Rengga, Novri, Reza, Bayu,
Stev, Handri, Budi, Amed, Sutris, Een, Oky terima kasih atas semua doa dan
semangatnya;
16. Rekan-rekan

KKN

&

Aparatur

Desa

di

Desa

Pancamarga

Kec. Gunung Terang Kab. Tulang Bawang Barat Mogin, Riani, Dwi, Taufik,
Rangga, Bunga, Neni, Isna, Tomi, Ramdan, Yoseva, Pak Pram selaku Kepala
Desa Pancamarga, Pak Arman selaku Sekretaris Desa Pancamarga Pak
Ramdani selaku Keamanan Desa Pancamarga, Pak N’dut, Bu Tirah, Agus,
Eva terimakasih atas doanya;
17. Serta semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan semua pihak yang berkepentingan pada umumnya untuk kehidupan yang
lebih baik dan bermanfaat bagi semua.
Semoga Allah SWT meridhoi segala usaha dan ketulusan yang diberikan kepada
penulis.

Bandar Lampung, 12 November 2013
Penulis,

Berry Pratama .S

DAFTAR ISI

Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ........................................................

9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...............................................................

10

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat ..........

12

B. Sumber Hukum ......................................................................................

17

C. Produk Hukum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

19

III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .....................................................................................

22

B. Pendekatan Penelitian ............................................................................

22

C. Sumber Data ..........................................................................................

23

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................................................

24

E. Analisis Data ..........................................................................................

26

IV. PEMBAHASAN
A. Pencantuman Kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Dalam Hiearki Peraturan Perundang-undanganan.................................

27

B. Kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan...................................

36

V. PENUTUP
A. Simpulan................................................................................................. 46
B. Saran......................................................................................................... 47

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang
berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus
berkelompok-kelompok, dimana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber serta
berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku
bersumber serta juga berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm).1
Norma hukum memainkan peranan dalam hubungan kehidupan kenegaraan
maupun bermasyarakat, seperti Undang Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945)
menjadi dasar hukum tertulis untuk mengatur segala aspek kehidupan bernegara
yang akan lebih lanjut di atur dalam peraturan perundang-undangan lain yang
berada dibawah UUD Tahun 1945. Artinya peraturan perundang-undangan yang
berada di bawah UUD Tahun 1945 harus bersumber dan berdasar pada
UUD Tahun 1945 baik dari aspek prosedurnya maupun dalam hal materi muatan
yang tidak dapat bertentangan dengan materi muatan UUD Tahun 1945.
Adapun kelompok hierarki norma hukum di Indonesia :2
1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945)
2. Staatgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR), dan Konvensi Ketatanegaraan.
3. Foemell Gesetz : Undang-Undang
4. Verordnung & Autonome : Peraturan Pelaksana dan Peraturaturan Otonom
1

Hans Kelsen dalam Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 21-22
2
Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 171.

2

Peraturan perundang-undangan dalam sistematika hukum merupakan
bagian utama dari hukum tertulis dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Hukum tertulis adalah hukum yang dibentuk dan diterapkan oleh pejabat
yang berwenang berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan dalam bentuk dan
format tertentu.
Dalam

pembentukan

peraturan

perundang-undangan

haruslah

memperhatikan kaidah-kaidah pembentukannya, disamping itu harus juga
memperhatikan aspek formil atau disebut juga aspek prosedural dan aspek
materiil.3 Dalam ilmu hukum terdapat istilah undang-undang dalam arti formil
dan undang-undang dalam arti materil. Undang-undang adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama
Presiden.4
Undang-undang dalam arti formil adalah keputusan tertulis sebagai hasil
kerja sama antara pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR)
yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum.
Sedangkan yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti materil
adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang
berisi aturan tingkah laku dan mengikat secara umum.

3

Aspek formil berhubungan dengan landasan formal konstitusional dan aspek materiil
berhubungan dengan materi muatan yang harus diatur dalam peraturan perundang-undangan sesuai
dengan jenis dan hierarkinya dan sesuai dengan apa yang diperintahkan UUD.
4
Rumusan Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2004

3

Sejarah
dilatarbelakangi

hierarki
oleh

peraturan

perundang-undangan

Ketetapan MPRS

dimulai

dan

Nomor XX/MPRS/1966 tentang

Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, sebagai
berikut :5
1. Undang Undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi :
 Peraturan menteri
 Instruksi menteri
 Dan lain-lain.
Setelah reformasi, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan jenis peraturan
perundang-undangan adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Undang-Undang Dasar 1945
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (Ketetapan MPR)
Undang-undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
Peraturan Daerah
Penyebutan jenis peraturan perundang-undangan di atas sekaligus

merupakan hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan pada saat itu.
Artinya, suatu peraturan perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan
berdasar pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang

5

Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber
Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia jo Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 Tentang Peninjauan Produk-Produk yang
Berupa Ketetapan-Ketetapan Majelis

4

lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan
yang

paling

tinggi

tingkatannya.

Konsekuensinya,

setiap

peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pembentukan
berlaku

adalah

peraturan

Undang-Undang

perundang-undangan
Nomor

10

yang

Tahun

selanjutnya

2004

tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.6 Undang-undang ini merupakan
aturan formal yang secara garis besar memuat tiga bagian besar yaitu
Tata Urutan Perundang-undangan & Materi Muatan Perundangan, Pembentukan
Peraturan

Perundang-undangan

dan

Teknis

Perundang-undangan.

UU Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan tentang jenis hierarki peraturan
perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2), sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah

ayat (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
provinsi bersama dengan gubernur.
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa
atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

6

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lebaran Negara
Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 4389

5

Berbeda

dengan

pengaturan

tentang

tata

urutan

peraturan

perundang-undangan yang berlaku sebelumnya UU Nomor 10 Tahun 2004 ini
telah

menghilangkan

Ketetapan

MPR/S

dari

hierarki

peraturan

perundang-undangan. Terdapat beberapa alasan yang mendasari dikeluarkannya
Ketetapan

MPR

dari

hierarki

peraturan

perundang-undangan

dalam

UU Nomor 10 Tahun 2004 :7
1. Pasal 24C ayat (1) menggarisbawahi bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar…,”dan seterusnya. Ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan
yang langsung berada di bawah UUD adalah UU. Kalau seandainya ada Tap
MPR dibawah UUD maka ketentuan pengujiannya tentu akan menentukan
bahwa MK menguji Ketetapan MPR. Dengan demikian jelas bahwa Ketetapan
MPR bukanlah peraturan perundang-undangan.
2. Aturan Tambahan Pasal I UUD hasil amandemen menentukan bahwa “Majelis
Permusawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi
dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat utusan Sidang
MPR Tahun 2003. “Ketentuan ini jelas emerintahkan kepada MPR untuk
meninjau dan menentukan status baru bagi semua Ketetapan MPR/S yang
sudah ditetapkan bukan sebagai peraturan perundang-undangan lagi. Jadi
ketentuan Aturan Tambahan ini dibuat karena Ketetapan MPR bukan lagi
sebagai peraturan perudang-undangan sehingga harus dibuat status baru untuk
yang sudah ada dan terlanjur menjadi peraturan perundang-undangan.
3. Berdasarkan ketentuan hasil amandemen atas status Ketetapan MPR/S yang
(secara popular) dikenal dengan Tap Sapujagat yakni Ketetapan MPR Nomor
I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
UU No.10 Tahun 2004 yang dibuat antara lain, untuk menyesuaikan dengan
tuntutan UUD 945 hasil amandemen itu menetapkan jenis-jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan dengan tidak lagi memasukkan Ketetapan MPR
sebagai peraturan perundang-undangan.

7

Riri Nazria, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, FH UII
Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 297-298

6

Menurut penulis terdapat beberapa hal yang perlu digarisbawahi terkait
beberapa alasan dikeluarkannya Ketetapan MPR dari hierarki peraturan
perundang-undangan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, yakni:
1. Ketetapan MPR bukanlah peraturan perundang-undangan hal ini disebabkan
karena dasar hukum mengenai Ketetapan MPR/S dalam UUD Tahun 1945
tidak diatur secara jelas dan tegas seperti halnya undang-undang dan peraturan
pemerintah ditambah juga karena adanya amandemen UUD Tahun 1945
Pasal 1 Ayat (2), dimana kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga yang
superior tapi kedudukan MPR sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya.
Ini jelas berkaitan langsung dengan aturan-aturan yang berlaku baik itu yang
berlaku dalam UUD Tahun 1945 atau Ketetapan MPR dimana MPR dinilai
sudah tidak sewajarnya lagi mengeluarkan produk hukum yang bernama
Ketetapan MPR, karena Ketetapan MPR hanya tebatas pada kewenangan
MPR itu sendiri.
2. Ketetapan MPR bukan lagi sebagai peraturan perudang-undangan sehingga
harus dibuat status baru untuk yang sudah ada dan terlanjur menjadi peraturan
perundang-undangan
hal
ini
merujuk
pada
Ketetepan
MPR
Nomor III/MPR/2003 dimana Ketetapan MPR telah dikategorikan dalam
beberapa kelompok yang dimasing-masing kelompoknya sudah jelas status
hukumnya, antara lain :
a. Ketetapan MPR/S dinyatakan dicabut dan tidak berlaku;
b. Ketetapan MPR/S dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan;
c. Ketetapan MPR/S dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
pemerintahan hasil Pemilu 2004;
d. Ketetapan MPR/S dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
undang-undang;
e. Ketetapan MPR/S dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkanya
Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR-Ri hasil Pemilu 2004;
f. Ketetapan MPR/S dinyatakan tidak perlu tindakan hukum lebih lanjut,
baik karena einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai
dilaksanakan.
3. Tidak
lagi
memasukkan
Ketetapan
MPR
sebagai
peraturan
perundang-undangan ini menjelaskan bahwa Ketetapan MPR tidak dapat
dijadikan lagi sebagai bahan acuan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan karena tidak lagi memiliki status hukum.

7

Dapat

kita

amati

lebih

mudah

lagi

sejarah

hierarki

peraturan

perundang-undangan sejak tahun 1966-2004 yang dimuat dalam bentuk tabel di
bawah ini :8
Tabel 1
Evolusi Hierarki Peraturan Perundang-undangan 1966-2004

Ketetapan MPRS
No. XX/MPR/1966
1.
2.
3.
4.
5.
6.

UUD 1945
Ketetapan MPR
UU/Perpu
Peraturan Pemerintah
Kepres
Peraturan-peraturan
pelaksanaan lainnya:
 Peraturan Menteri
 Instruksi Menteri

Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004

Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

UUD 1945
Ketetapan MPR
Undang-undang
Perpu
Peraturan Peerintah
Keputusan Presiden
Peraturan Daerah

Pembaharuan hierarki

1.
2.
3.
4.
5.

UUD 1945
UU/Perpu
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah:
 Perda Provinsi dibuat oleh
DPRD dengan Gubernur
 Perda Kab/Kota dibuat
oleh DPRD Kab/Kota
bersama Bupati/walikota
 Peraturan Desa / peraturan
yang setingkat. Dibuat
oleh BPD atau nama
lainnya bersama Kepala
Desa atau nama lainnya.

peraturan perundang-undangan tidak hanya

berhenti pada UU Nomor 10 Tahun 2004, pada 12 Agustus 2011
UU Nomor 10 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku dengan munculnya
UU

Nomor

12

Tahun

2011

tentang

Pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan.9 UU Nomor 12 Tahun 2011 terjadi suatu perubahan tata
susunan peraturan perundang-undangan atau dapat disebut terjadi pembaharuan
terhadap tata susunan peraturan perundang-undangan.

8

Ibid., hlm. 299
LNRI Tahun 2001 Nomor 82, TLNRI Nomor 5234

9

8

Hal ini dikarenakana pada UU Nomor 10 Tahun 2004 telah
menghilangkan Ketetapan MPR sedangkan pada UU Nomor 12 Tahun 2011
kembali

mencantumkan

Ketetapan

MPR

dalam

hierarki

peraturan

perundang-undangan, serta terdapat beberapa kelemahan-keleamhan dalam
UU Nomor 10 Tahun 2011 antara lain :10
1. Materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang
menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan
suatu kepastian hukum;
2. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
3. Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan
atau
kebutuhan
hukum
dalam
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan;dan
4. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai
dengan sistematika
Ketetapan MPR kembali dimasukkan dalam tata susunan peraturan
perundang-undangan. Adapun tata susunan peraturan perundang-undangan
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Berdasarkan uraian diatas, maka munculah masalah hukum terhadap
kedudukan Ketetapan MPR dalam sistem hukum Indonesia saat ini,
mengingat telah ditetapkan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagai pengganti
UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang

10

LNRI Tahun 2001 Nomor 82, TLNRI Nomor 5234

9

Undangan yang didalamnya menjadikan Ketetapan MPR/S sebagai
peraturan perundang-undangan.

Penulisan skripsi ini merupakan lanjutan dari skripsi mahasiswa bagian
hukum tata negara fakultas hukum univesitas lampung yaitu Tantri
Wibisono dimana pada skripsi saudara Tantri belum terdapat pembahasan
TAP MPRS/MPR yang merujuk pada UU No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undanga. Sedagkan dalam skripsi ini
penulis membahas tantang status hukum ketetapan MPR dalam hierarki
peraturan perundang-undangan dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka
permasalahan yang menjadi batasan dalam penulisan ini adalah :
1) Mengapa Ketetapan MPR dicantumkan kembali sebagai peraturan
perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 ?
2) Mengapa kedudukan Ketetapan MPR ditempatkan pada tata urutan
peraturan perundang-undangan dibawah UUD Tahun 1945 dan diatas
undang-undang ?

10

2. Ruang Lingkup
1) Bidang Kajian Ilmu
Kajian ilmu dalam pembahasan penulisan adalah ilmu hukum dengan
konsentrasi Hukum Tata Negara, mengenai kedudukan hukum Ketetapan
MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan setelah munculnya
UU Nomor 12 Tahun 2011 .
2) Obyek kajian dalam pembahasan penulisan adalah kedudukan hukum
Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Mengetahui

alasan pencantuman kembali

Ketetapan

MPR

sebagai

salah satu sumber hukum dan tata uturan peraturan perundang-undangan
dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
2) Mengetahui alasan Kedudukan Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan
perundang-undangan yang diposisikan dibawah UUD Tahun 1945 dan
diatas undang-undang.
2. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini mempunyai dua fungsi, yaitu :
1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan
pengetahuan ilmu hukum ketatanegaraan terutama dalam bidang hukum
perundang-undangan, dan perkembangan ketatanegaraan, khususnya untuk

11

mengetahui alasan pencantuman kembali produk hukum lembaga MPR/S
dalam sistem hukum Indonesia setelah ditetapkannya UU Nomor 12
Tahun 2011, serta mengetahui kedudukannya dalam hierarki peraturan
perundang-undangan.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat :
a. Menambah

wawasan

bagi

penulis

serta para pembaca tentang

perkembangan dan kedudukan Ketetapan MPR/S saat ini dalam sisitem
hukum Indonesia setelah ditetapkannya UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.
b. Menjadi sumbangsi kepada Fakultas Hukum Universitas Lampung
khususnya minat Hukum Tata Negara, tempat penulis mendalami ilmu
pengetahuan tentang Hukum dan Hukum Ketatanegaraan serta untuk
melengkapi salah satu syarat akademik guna menyelesaikan pendidikan
starta satu (S1) dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat
1. Norma Hukum
Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik
secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi prilaku serta
tindakan masyarakat dalam koloninya. Norma-norma yang sangat peka dalam
kehidupan masyarakat adalah norma adat, norma agama, dan norma moral,
sedangkan norma hukum timbul bukan dari masyarakat tetapi berasal dari suatu
negara yang bersifat wajib untuk dipatuhi oleh setiap masyarakat yang ada
didalamnya. Ada persamaan serta perebedaan antara norma hukum dengan norma
lainya. Perbedaannya norma hukum dengan norma lainya adalah : 11
1. Suatu norma hukum itu bersifat „Heteronom , dalam arti bahwa norma hukum
itu datang dari luar diri seseorang. Sedangkan norma lainnya bersifat otonom,
dalam arti norma itu berasal dari diri seseorang.
2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun sanksi
pemaksa secara fisik, sedangkan norma yang lain tidak dapat dilekati dengan
sanksi pidana atau sanksi pemaksa secara fisik.
3. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan oleh
aparat negara (misalnya polisi, jaksa, hakim), sedangkan terhadap pelanggaran
norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri sendiri.
Sedangkan persamaannya adalah bahwa norma-norma itu merupakan
pedoman bagaiman seseorang harus bertindak,dan selain itu norma-norma itu
berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang lebih tinggi, norma yang
lebih tinggi ini berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi
lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar yang disebut dengan

11

Maria Farida,…Op, Cit, hlm. 25-26.

13

Grundnorm. Norma-norma hukum dan norma-norma lainnya itu berjenjang dan
berlapis-lapis, serta membentuk suatu hierarki.
2. Hierarki Norma Hukum
Menurut Hans Kelsen jenjang norma hukum atau stufentheorie itu
berjenjang-jenjang serta berlapis-lapis dalam suatu hierarki. Maksudnya suatu
norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat

ditelusuri

lebih

lanjut

dan

bersifat

hipotesis

dan

fiktif

yaitu

Norma Dasar/Grundnorm.12
Hamid S. Attamimi menunjukan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan
menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum
Indonesia adalah :13
1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945)
2. Staatgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3. Formell Gesetz : Undang-Undang.
4. Verordnung & Autonome : Secara hirarkis mulai dari Peraturan Pemerintah
sampai Keputusan Bupati atau Walikota.
Di

negara

Republik

Indonesia

Aturan

Dasar

Negara/

Aturan Pokok Negara tertuang dalam Batang Tubuh UUD 1945 dan
Ketetapan MPR, serta dalam Hukum Dasar Tidak Tertulis yang sering disebut
dengan Konvensi Ketatanegaraan. Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara ini

12

Maria Farida,…Op. Cit, hlm. 41
Jimly Asshiddiqie,…Op. Cit, hlm. 171.

13

14

merupakan landasan bagi pembentukan Undang-Undang (formell gesetz) dan
peraturan lain yang lebih rendah.14
a. Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm)
Norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki
norma hukum negara adalah Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental
Negara). Norma Fundamental Negara merupakan norma yang tidak dibentuk
oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat pre-supposed atau
ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan
norma

yang

menjadi

tempat

bergantungnya

norma-norma

hukum

dibawahnya.15
Berdasarkan sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila
merupakan norma fundamental negara yang merupakan norma hukum yang
tertinggi yang sekaligus merupakan cita hukum. Pancasila yang dimaksud
sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, ini berarti
Pembukaan UUD 1945 merupakan norma dasar yang derajatnya tertinggi
dalam negara, yaitu norma yang merupakan norma dasar bagi pebentukan
konstitusi atau UUD termasuk norma pengubahannya. Sedangkan konstitusi
dilihat dari teori keputusan Carl Schmid merupakan keputusan politik yang
tertinggi di dalam negara yang disepakati oleh suatu negara.16 Dengan
demikian Negara Republik Indonesia dengan hierarki norma hukum yang
merupakan Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) adalah

14

Maria Farida,…Op. Cit, hlm. 49
Ibid, hlm. 46
16
Armen Yasir, Hukum Perundang-Undangan, Cetakan Pertama, Lembaga Penelitian Universitas
Lampung, 2008, hlm. 12-13.
15

15

Pancasila17 yang merupakan cita hukum bangsa Indonesia serta menjadi dasar
bagi pembentukan konstitusi atau UUD termasuk norma pengubahannya.
b. Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz)
Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz) merupakan
kelompok norma hukum di bawah Norma Fundamental Negara. Norma-norma
dari Staatsgrundgesetz ini merupakan aturan yang masih bersifat pokok dan
merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga
masih merupakan norma hukum tunggal yang merupakan sumber dan dasar
bagi

terbentuknya

suatu

undang-undang

yang

merupakan

Peraturan

Perundang-undangan, yaitu peraturan yang mengikat secara langsung semua
orang.
Di dalam setiap Aturan Dasar Negara biasanya diatur hal-hal mengenai
pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan, dan selain itu mengatur
juga hubungan antar lembaga-lembaga negara, serta mengatur hubungan
antara negara dengan warga negaranya. Staatgrundgesetz (Aturan Dasar
/Aturan Pokok Negara) di negara Republik Indonesia tertuang dalam Batang
Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR, serta di dalam hukum dasar tidak
tertulis yang sering disebut dengan Konvensi Ketatanegaraan. Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara ini merupakan landasan bagi pembentukan
undang-undang dan peraturan lain yang lebih rendah.

17

Jimly Asshiddiqie,…Op. Cit, Hlm. 171.
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm pertama kali disampaikan oleh Notonegoro
dalam bukunya “Pembukaan UUD 1945 (Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia) dalam
Pancasila Dasar Falsafah Negara

16

c. Undang-undang (Formall Gesetz)
Formall Gesetz atau secara harfiah diterjemahkan menjadi undang-undang
merupakan norma hukum yang lebih kongkret dan terinci, serta sudah dapat
langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam
undang-undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi
norma-norma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang berpasangan,
sehingga terdapat norma hukum sekunder di samping norma hukum primernya,
dengan demikian dalam suatu undang-undang sudah dapat dicantumkan
norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi
pemaksa, selain itu undang-undang ini berbeda dengan peraturan lainnya, oleh
karena suatu undang-undang merupakan norma huku yang selalu dibentuk oleh
suatu lembaga legislatif.18
d. Peraturan

Pelaksanaan

dan

Peraturan

Otonom

dan

Peraturan

Otonom

(Verordnung

&

Autonome Satzung)
Peraturan

Pelaksanaan

ini

merupakan

peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan
Pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi sedangkan Peraturan
Otonom bersumber dari kewenangan atribusi. Pengertian atribusi kewenangan
dan delegasi kewenangan asalah sebagai berikut : 19

18

Maria Farida, …Op. Cit, hlm.51-52.
Ibid, hlm. 55-56

19

17

a. Atribusi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(attributie van wetgevingsbevoegdheid) ialah pemberian kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet
(Undang Undang Dasar) atau Wet (Undang-Undang) kepada suatu lembaga
negara/pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan
batas-batas yang diberikan.
Contohnya : UUD 1945 dalam Pasal 22 ayat (1) memberikan kewenangan
kepada Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah Penggati
Undang-Undang (Perpu) jika terjadi hal ihwal kegentingan yang memaksa.
b. Delegasi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undang
(delegatie van wetgevingsbevoegdheid) ialah pelimpahan kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peratuan
perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan
dengan tegas maupun tindakan.
Contohnya : Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang merumuskan, Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, dalam sistem norma hukum Negara Repulik Indonesia,
Pancasila merupakan Norma Fundamental Negara (Staatfundamentalnorm) yang
merupakan norma hukum yang tertinggi, dan kemudian secara berturut-turut
diikuti oleh Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta hukum dasar tidak
tertulis atau Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan
Pokok Negara (Staatsgrundgestz), Undang-Undang (Formell Gesetz) serta
Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung)
yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri,
dan peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom lainnya.
B. Sumber Hukum
Menurut Usep Ranawijaya, perkataan sumber hukum memiliki 2 (dua) arti.
Arti pertama adalah sumber sebagai penyebab adanya hukum. Dan, penyebab
adanya hukum tidak lain adalah keyakinan hukum dari orang-orang yang
melakukan peranan menentukan tentang apa yang harus menjadi hukum di dalam

18

negara. Arti kedua adalah sumber hukum dalam pengertian bentuk perumusan
kaidah-kaidah hukum tata negara yang terdapat dalam masyarakat dari mana kita
dapat mengetahui apa yang menjadi hukum itu. Pengertian ini biasa disebut
sumber hukum dalam arti formil.20
Ditinjau dari sudut Ilmu Hukum, sumber hukum memiliki arti :21
a. Sumber Hukum Formil, yaitu sumber hukum yang dikenal dalam bentuknya.
Karena bentuknya itulah sumber hukum formil diketahui dan ditaati sehingga
hukum berlaku. Sumber hukum formil meliputi undang-undang, kebiasaan
(custom), Perjanjian antar negara, keputusan-keputusan hakim, doktrin.
b. Sumber Hukum Materiil, yaitu sumber hukum yang menentukan isi hukum
atau sumber dari mana materi hukum itu diambil. Misalnya Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila menjadi sumber hukum materiil
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
Ketatapan MPRS Nomor XX/MPRS/1996 menyatakan bahwa, yang
menjadi Sumber Hukum Materiil Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah Pancasila. Pancasila sebagai sumber hukum dari segala sumber
hukum mengandung pengertian bahwa semua sumber hukum yang berlaku di
Indonesia (baik formil maupun materiil) seluruhnya bersumber pada Pancasila.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam arti materiil karena : 22
a. Pancasila merupakan isi dari sumber hukum
b. Pancasila merupakan pandangan hidup dan falsafah negara
c. Pancasila merupakan jiwa dari setiap peraturan yang dibuat, diberlakukan,
segala peraturan perundang-undangan atau hukum apapun yang bertentangan
dengan jiwa Pancasila harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

20

Widodo Ekatjahjana dan Totok Sudaryanto, Sumber Hukum Sumber hukum tata negara formal
di Indonesia: kilas balik ketetapan MPR RI no. III/MPR/2000, perubahan UUD 1945, ide
pemisahan kekuasaan kepala negara dan pemerintahan, Maklumat Presiden 28 Mei 2001, dan ide
Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid , Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm.11.
21
Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok hukum tata negara Indonesia pascaamandemen UUD 1945,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008, hlm. 12-35.
22
Titik Triwulan Tutik,…Op, Cit, hlm. 35

19

C. Produk Hukum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Setelah amandemen UUD Tahun 1945 kedudukan MPR berubah menjadi
Lembaga Negara dimana sebelum amandemen UUD Tahun 1945 MPR
berkedudukan sebagai “penjelmaan seluruh rakyat dan merupakan lembaga
tertinggi negara serta pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan
rakyat”.23Dalam melakukan tindakan hukum dan/atau membuat keputusan
hukum terhadap wewenang yang dimiliki MPR, MPR membutuhkan wadah
atau bentuk hukum tertentu. Bentuk hukum yang dikeluarkan oleh MPR diberi
nama Putusan Majelis, Putusan Majelis ialah hasil atau kesimpulan suatu
pemeriksaan yang berdasarkan pertimbangan dan kemufakatan para anggota
MPR untuk menetapkan sesuatu bentuk hukum tertulis.24 Putusan Majelis
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam putusan yang terbagi dalam
Perubahan dan Penetapan UUD Tahun 1945. Keputusan MPR, serta Ketetapan
MPR. Ketetapan MPR merupakan putusan majelis yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat ke luar dan ke dalam, sedangkan Keputusan MPR adalah
suatu putusan majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam
majelis.
Bentuk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh MPR dalam hal
ini Ketetapan MPR derajatnya dibawah UUD Tahun 1945 dan di atas
undang-undang. UUD Tahun 1945 ataupun Ketetapan MPR dikeluarkan oleh
MPR, tetapi derajat dalam hierarki peraturan perundang-undangannya berbeda
ini disebabkan karena materi muatannya yang berbeda.

23

Pasal 1 Ayat 2 Undanh-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum Amandemen)
Setiawan Widagdo, Kamus Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012, hlm. 287

24

20

UUD Tahun 1945 berisikan materi muatan, yaitu : a) jaminan terhadap hak-hak
asasi manusia dan warga negara; b) susunan ketetatanegaraan yang bersifat
fundamental; c) pembagian serta pembatasan tugas ketatanegaraan yang
bersifat fundamental.25 Sedangkan materi muatan Ketetapan MPR adalah halhal yang merupakan pelaksanaan UUD Tahun 1945 atau yang diperintahkan
oleh undang-undang dasar.26
Apabila dicermati lagi berdasarkan asal-usul kehadiran Ketetapan MPR
menuurt Bagir Manan terdapat dua hal yang memicu munculnya Ketetapan
MPR, yaitu : Pertama, Ketentuan-ketentuan yang tersirat dalam UUD Tahun
1945; Kedua, praktik ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan dimana
kebiasaan ketatanegaraan ini merupakan salah satu sumber hukum tata negara
yang terdapat pada setiap negara.27 Berdasarkan penjelasan ini jelas sudah
bahwa Ketetapan MPR derajatnya dibawah UUD Tahun 1945 dan di atas
undang-undang.
Berdasarkan Keputusan MPR RI Nomor 7/MPR/2004 tentang Peraturan Tata
Tertib MPR RI sebagaimana yang telah diubah dengan Keputusan MPR RI
Nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Tata Tertib MPR RI, jenis putusan
Majelis ada 3 yaitu:28

25

Sri Soemantri M, Ketetapan MPR(S) sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara,
CV Remajda Karya, Bandung, 1985, hlm. 54
26
Riri Nazria,…Op., Cit., hlm. 174
27
Ibid, hlm. 170-171
28
Martha Riananda, Politik Hukum dan Kedudukan Ketetapan MAjelis Permusyawaratan Rakyat
Di Dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan, Tesis, MH Unila, Lampung, 2012. hlm. 78

21

1) Perubahan dan Penetapan Undang-Undang Dasar:
Perubahan dan penetapan Undang-Undang Dasar adalah Putusan Majelis:
a. mempunyai kekuatan hukum sebagai Undang-Undang Dasar adalah
Putusan Negara Republik Indonesia;
b. tidak menggunakan nomor putusan Majelis.
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat:
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Putusan Majelis:
a. berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking);
b. mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar Majelis,
sebagaiman diatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002;
c. menggunakan nomor putusan Majelis.
3) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat:
Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Putusan Majelis:
a. berisi aturan/ketentuan intern Majelis;
b. mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis;
c. menggunakan nomor putusan Majelis.
Sebagaimana dijelaskan di atas, jenis Putusan MPR yang harus dilakukan
“peninjauan” adalah terutama mengenai materi dan status hukum Ketetapan
MPRS dan Ketetapan MPR sebelum adanya perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indaonesia Tahun 1945. Hal ini tidak berarti bahwa MPR
tidak dapat lagi membuat sebuah Ketetapan, karena dalam keadaan tertentu
MPR dapat mengeluarkan Ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking)
yaitu:29
a. menetapakan Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya;
b. memilih Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden;
c. memilih Presiden dan Wakl Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

29

Ibid, hlm. 79

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang biasa dikenal
juga penelitian teoritis hukum karena tidak mengkaji pelaksanaan ataupun
implementasi

hukum.

Penelitian

hukum

normatif

merupakan

penelitian

kepustakaan yang mana bahan kajiannya hanyalah data sekunder.30 Penelitian ini
merupakan penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
ilmu hukum dari sistem normatifnya dengan menitik beratkan kepada produk
hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai objek utamanya, serta untuk
menguatkan argumentasi dalam penentuan kesimpulan yang terkait dengan
kedudukan Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan dan
pencantuman kembali Ketetapaan MPR dalam struktur hierarki peraturan
perundang-undangan khusunya dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif analitis substansi hukum
(approach of legal content analysis) terhadap produk hukum dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam
penelitian

ini.31

Yaitu

melihat

segi

normatif

ketentuan

peraturan

perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan
30

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung ,
2004, hlm. 52
31
Ibid, hlm. 113

23

masalah yang diangkat untuk kemudian menganalisis berdasarkan logika hukum
untuk menemukan substansinya sehingga memperoleh kejelasan tentang
kedudukan Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan
berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011.

C. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sehingga data yang
diperlukan adalah data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, serta bahan
hukum sekunder. Sumber-sumber hukum penelitian ini adalah :
1. Bahan-bahan hukum primer :
a. Undang Undang Dasar 1945 (hasil amandemen).
b. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi
dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun
1960 sampai dengan Tahun 2002
c. Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Perusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
d. Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang Undangan.
2. Bahan-bahan hukum sekunder :
a. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

24

b. Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 Tentang Peninjauan Produk-Produk
yang Berupa Ketetapan-Ketetapan Majelis
c. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber dan Tata Urutan
Peraturan Perundang Undangan.
d. Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
e. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang Undangan.
f. Jurnal Hukum dan Hasil Karya Ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
g. Konsep serta pendapat ahli hukum tentang peraturan perundang-undangan
khususnya konsep dan pendapat tentang Ketetapan MPR kaitannya dengan
peraturan perundang-undangan.32
D. Pengumpulan dan Pengelolahan Data
1. Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
litertur-literatur (buku-buku,catatan-catatan, dan laporan-laporan) yang ada
hubungannya dengan masalah yang dibahas. Studi pustaka ini juga
menentukan sumber data sekunder, identifikasi data sekunder yang
diperlukan, inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah dengan

32

Tantri Wibisono, Kedudukan Hukum Ketetapan MPR/MPRS dalam Sistem Hukum Indonesia
Setelah Amandemen Keempat Undang_Undang Dasar 1945, Skripsi , FH Unila, Lampung, 2009,
hlm. 51

25

cara penguntipan atau pencatatan serta pengkajian data yang sudah
terkumpul yang relevan dengan kebutuhan dan rumusan masalah.33
b. Pemanfaatan Internet
Memanfaatkan akses internet dalam proses pencarian bahan-bahan
penunjang berupa peraturan perundang-undangan, e-book, hasil penelitian
ataupun artikel yang berkaitan dengan masalah yang dibahas yang berada di
dunia maya.34
2. Pengelolahan Data dilakukan dengan cara :
a. Identifikasi Data, ialah mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan
dengan pokok bahasan, yaitu teori-teori, karya ilmia para sarjana, serta
konsep dan pendapat ahli hukum yang berhubungan dengan masalah
penelitian.
b. Seleksi Data, adalah data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok
bahasan dengan mengutip data yang diperoleh dari buku-buku serta literatur
lainnya yang berhubungan dengan pokok bahasan.
c. Klasifikasi Data, yaitu menyusun data sesuai ketetapan dan aturan yang
telah ada.
d. Sistematika data, yaitu menysusun data menurut tata urutan yang telah
ditetapkan sesuai konsep, tujuan, dan bahan sehingga mudah dianalisa.

33

Abdulkadir Muhammad,…Op, Cit, hlm. 125
Asri Wijayant, Strategi Penulisan Hukum, CV. Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm. 65.

34

26

E. Analisis Data
Data yang telah diolah kemud